Upload
harris-murdianto
View
233
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
SNH
Citation preview
STROKE INFARK
I. PENDAHULUAN
Stroke merupakan masalah kesehatan mayor di dunia, menjadi penyebab kematian ketiga
setelah penyakit jantung dan kanker, serta menjadi penyebab kecacatan utama.20-22 Belum ada
data pasti stroke di Indonesia, namun riset kesehatan dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan
Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama di
rumah-rumah sakit di Indonesia. Prevalensi stroke di India diperkirakan 203 pasien per 100.000
penduduk, sedangkan di China insidennya 219 per 100.000 penduduk. Kemajuan teknologi
kedokteran berhasil menurunkan angka kematian akibat stroke, namun angka kecacatan akibat
stroke cenderung tetap bahkan meningkat. Diperkirakan terdapat 2 juta penderita pasca stroke di
Amerika dengan biaya perawatan 65,5 miliar dolar pada tahun 2008.1
Definisi yang banyak diterima secara luas bahwa stroke adalah suatu sindrom yang
ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa
gangguan fungsional otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam yang tidak
disebabkan oleh sebab lain selain vaskuler.2
Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular Disease (CVD) dan
kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI) mengistilahkan stroke sebagai penyakit
akibat gangguan peredaran darah otak (GPDO)2. Stroke atau gangguan aliran darah di otak
disebut juga sebagai serangan otak (brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas,
invaliditas).3
Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda tanda klinis
yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dan dapat menyebabkan kematian.4
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak
fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau
menyebabkan kematian, tanpa ada penyebab lain yang jelas selain vaskuler (PERDOSSI, 1999 ;
Gofir, 2009).5
Menurut AHA/ASA 2013 stroke infark susunan saraf adalah kematian sel otak, medulla
spinalis dan retina yang disebabkan oleh iskemia, berdasarkan : patologis, pencitraan, atau bukti
obyektif lainnya dari cedera iskemik fokal otak, medulla spinalis, atau retina yang sesuai
distribusi vaskular; atau bukti klinis cedera iskemik fokal otak, medulla spinalis, atau retina
berdasarkan gejala yang bertahan ≥ 24 jam atau sampai kematian, dan etiologi lainnya
disingkirkan.5
II. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi Di Amerika Serikat, terdapat 4 juta penderita stroke dan lebih dari 750.000
ada penderita stroke yang baru. Resiko stroke meningkat sesuai umur, dengan insidensi stroke
yang tinggi pada orang-orang diatas 65 tahun (Frtzsimmons, 2007). Insidensi serangan stroke
pertama sekitar 200 per 100.000 penduduk per tahun. Insidensi stroke meningkat dengan
bertambahnya usia. Konsekuensinya, dengan semakin panjangnya angka harapan hidup,
termasuk di Indonesia, akan semakin banyak pula kasus stroke yang dijumpai. Perbandingan
antara penderita pria dan wanita hampir sama (Hankey, 2002). Stroke meliputi tiga penyekit
serebrovaskular utama, yaitu stroke iskemik, perdarahan intraserebral primer, dan perdarahan
subaraknoid. Stroke iskemik atau serebral infark, adalah yang paling sering, yaitu 70-80% dari
semua kejadian stroke (Frtzsimmons, 2007).4
III. FAKTOR RISIKO
Pada pasien stroke yang kita temui, identifikasi faktor-faktor risiko stroke sangat penting.
Hal ini berkaitan dengan berbagai usaha prevensi primer. Menurut penelitian Hamersen et al.
(2006) usia, diabetes meilitus dan tekanan darah tinggi memiliki hubungan yang independen
dengan peningkatan risiko stroke. TIA, Atrial Fibrilasi sebelumnya, riwayat nyeri dada,
merokok, dan stress psikoogi memiliki hubungan yang independen dengan stroke. Peningkatan
BMI memprediksi stroke dan demikian juga (hampir) aktivitas fisik yang rendah selama waktu
luang, bersama dengan pengobatan antihipertensi.2
Dari studi yang dilakukan terhadap sekelompok masyarakat di Framingham,
Massachusets yang dilakukan selama lebih dari 24 tahun, didapatkan beberapa faktor resiko
mayor untuk terjadinya aterosklerosis, yang terbagi atas faktor yang tidak dapat dimodifikasi
seperti usia, jenis kelamin dan riwayat penyakit jantung dalam keluarga. Selain itu dikenal juga
faktor resiko minor seperti obesitas, gaya hidup bermalas malasan (sedentary life style) dan stres.
Dari studi yang sama juga didapatkan bahwa 5 faktor mayor untuk penyakit jantung
koroner (PJK) juga merupakan faktor resiko untuk terjadinya stroke, yaitu hipertensi, adanya
gejala klinis PJK, gagal jantung, adanya bukti PJK secara EKG atau radiologis dan atrial
fibrilasi.1
Sedangkan kenaikkan kadar LDL dan rendahnya kadar LDL, walaupun secara statistik
sangat bermakna untuk kejadian PJK ternyata kurang bermakna untuk kejadian stroke
aterombotik. Dalam pembahasan mengenai faktor resiko stroke yang digolongkan ke dalam
faktor resiko pasti adalah merokok, konsumsi alkohol, hipertensi, DM dan kenaikan kadar
fibrinogen darah. Berikut akan diterangkan bagaimana faktor resiko yang menyebabkan
aterosklerosis :
HipertensiMekanisme mengapa hipertensi dapat merangsang aterogenesis tidak diketahui dengan
pasti, namun diketahui bahwa penurunan tekanan darah secara nyata menurunkan resiko
terjadinya stroke. Diduga tekanan darah yang tinggi merusak endotel dan emnaikkan
permeabilitas dinding pembuluh dara terhadap lipoprotein. Selain itu juga diduga beberapa jenis
zat yang dikeluarkan oleh tubuh seperti renin, angiotensin dan lain-lain dapat menginduksi
perubahan seluler yang menyebabkan aterogenesis.3
Dari banyak penelitian, didapatkan bahwa tekanan darah tinggi tidak berdiri sendiri,
namun meliputi beberapa penyakit lain, sehingga dikenal dengan istilah sindroma hipertensi
yang secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dapat menjadi faktor resiko terjadinya
aterosklerosis. Yang termasuk dalam sindroma hipertensi adalah gangguan profil lipid, resistensi
insulin, obesitas sentral, gangguan fungsi ginjal. LVH dan penurunan kelancaran aliran darah
arterial.3
HiperlipidemiTerdapat banyak bukti yang menyokong pendapat bahwa hiperlipidemi berhubungan
dengan aterogenesis. Orang yang menderita kelainan genetis yang menyebabkan tingginya kadar
kolesterol dalam darah biasanya akan mengalami aterosklerosis prematur bahkan tanpa adanya
faktor resiko lain pada orang tersebut. Selain itu kolesterol terbukti merupakan komponen utama
dalam plak aterosklerosis.5
Jenis kolesterol yang paling berhubungan dengan aterogenesis adalah LDL, sedangkan
HDL dikatakan bersifat protektif terhadap penyakit jantung aterosklerosis karena HDL berfungsi
memfasilitasi pembuangan kolesterol.5
Dari studi Framingham, didapatkan bahwa subyek dengan kadar kolesterol
total >265 mg% mempunyai resiko mendapat PJK 5 x lebih besar daripada orang – orang dengan
kadar kolesteral total <220 mg%. Namun demikian, hiperlipidemi tidak berhubungan dengan
peningkatan resiko stroke Infark.
Diabetes
Diabetes diperkirakan mempengaruhi 8 % dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat .
Prevalensi adalah 15 % sampai 33 % pada pasien dengan stroke iskemik. Diabetes merupakan
faktor risiko yang jelas untuk stroke pertama , namun data diabetes pendukung sebagai risiko
factofor stroke berulang lebih jarang. Diabetes mellitus tampaknya menjadi prediktor
independen stroke berulang dalam studi berbasis populasi , dan 9,1 % dari stroke berulang telah
diperkirakan disebabkan diabetes. Diabetes adalah prediktor dari adanya beberapa infark lakunar
di 2 studi kohort stroke. Glukosa puasa yang normal didefinisikan sebagai glukosa <100 mg/dL (
5,6 mmol / L ) , dan gangguan glukosa puasa telah didefinisikan sebagai glukosa plasma puasa
100 mg-125 mg/dL ( 5,6-6,9 mmol/L ). Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L) ,
atau HbA1C ≥6,5 % , atau glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) disertai gejala
yang disebabkan hiperglikemia digunakan sebagai parameter untuk diagnosis diabetes . Kadar
A1c hemoglobin ( HbA1c ) >7 % didefinisikan sebagai kontrol yang tidak memadai untuk
hiperglikemia. Diet, olahraga, obat hipoglikemik oral, insulin dan dianjurkan untuk mengontrol
kadar glukosa darah.
Merokok
Ada bukti kuat dan konsisten bahwa merokok merupakan faktor risiko independen utama
untuk stroke iskemik. Ada juga bukti bahwa paparan asap tembakau lingkungan atau perokok
pasif meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, termasuk stroke.
IV. VASKULARISASI OTAK
Otak mendapatkan vaskularisasi dari 2 pasang arteri besar yaitu sepasang arteri karotis
interna dan sepasang arteri vertebralis dan cabang-cabangnya beranastomosis pada permukaan
bawah otak membentuk system Willis. Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing
fungsi. Fungsi-fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat
sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area Wernicke atau pusat
bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat
koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan serabutserabut saraf ke target organ.
Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada
anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah.
Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke. (PDF)
1. Anatomi Sistem Karotis
Sistem karotis memperdarahi mata, ganglia basalis, sebagian besar hipotalamus, dan lobus
frontalis, lobus parietalis, serta sebagian besar lobus temporal serebrum.6 Pada tingkat kartilago
tiroid, arteri karotis komunis terbagi menjadi arteri karotis eksterna dan interna.7
Arteri Karotis Interna
Batang arteri karotis interna terbagi menjadi empat bagian, yaitu: 7
1. Pars servikalis
Berasal dari arteri karotis komunis dalam trigonum karotikum sampai ke dasar tengkorak.
2. Pars petrosa
Terletak di dalam os petrosum bersama-sama dengan pleksus venosus karotikus internus.
Setelah meninggalkan kanalis karotikus, di sisi depan ujung puncak piramid pars petrosa
hanya dipisahkan dari ganglion trigeminal yang terletak disisi lateral oleh septum berupa
jaringan ikat atau menyerupai tulang pipih.
3. Pars kavernosa
Melintasi ujung sinus kavernosus, membentuk lintasan berliku menyerupai huruf "S" yang
sangat melengkung, dinamakan Karotissphon. Di sisi medial, pars kavernosa terletak
berdekatan badan tulang baji di dalam suatu slur mendatar yang membentang sampai dengan
dasar prosesus klinoidesus anterior.
4. Pars serebralis
Dalam lamela duramater kranial arteri ini membentuk cabang arteri oftalmika, yang segera
membelok ke rostral dan berjalan di bawah nervus optikus dan ke dalam orbita.
Pembuluh darah ini berakhir pada cabang-cabang yang memberi darah kulit dari dahi, pangkal
hidung dan kelopak mata dan beranastomosis dengan arteri fasialis serta arteri maksilaris interna,
yang merupakan cabang dari arteri karotis eksterna.2
2. Anatomi Sistem Vertebrobasiler
Arteri vertebralis (VA) merupakan cabang pertama dari arteri subclavia. Setelah keluar dari
sudut kanan arteri subclavia, VA berjalan beberapa cm sebelum masuk kedalam foramen
intervertebralis dari C6. Setelah itu ia akan berjalan sepanjang foramen dari C6 hingga C1 dan
melewati bagian superior dari arcus C1 dan menembus membran atlantooccipital dan masuk
kedalam rongga kepala. Saat berjalan kearah ventral dan superior, ia memberikan cabang arteri
cerebellar inferior posterior (PICA) sebelum akhirnya bersatu dengan VA dari arah yang
berlawanan pada pertengahan bagian ventral dari pontomedulary junction untuk membentuk
arteri basillaris (BA). BA akan bercabang membentuk dua arteri cerebral posterior pada
pontomesencephalic junction. Hubungan menuju sirkulasi anterior melalui PCoA akan
melengkapi sirkulus Willisi.
PICA merupakan cabang terbesar dari sirkulasi posterior (vertebrobasiller) dan mensuplai
medulla vermis inferior, tonsil, dan bagian inferior hemisfer cerebellum. PICA juga sangat erat
kaitannya dengan saraf kranial ke 9, 10, dan 11.
Arteri cerebellar inferior anterior (AICA) biasanya bermula dari distal dari
vertebrobasilary junction setinggi pontomedullary junction, mensuplai pons, pedunculus
cerebellar media, dan bagian tambahan cerebellum. Selain itu AICA juga terkait erat dengan
saraf kranial ke 7 dan 8.
Arteri cerebellar superior (SCA) berasal dari proksimal percabangan basilaris, dan
mensuplai otak tengah, pons sebelah atas, dan bagian atas cerebellum. Cabang dari SCA akan
membentuk anastomose dengan cabang dari PICA dan IACA pada hemisfer cerebellum dan
merupakan sumber potensial dari aliran kolateral.
Arteri cerebralis posterior (PCA) dibentuk oleh percabangan BA dan mensuplai otak
tengah bagian atas, thalamus posterior, bagian posteromedial lobus temporalis, dan lobus
occipitalis.
Sirkulus Willisi merupakan sirkulasi kolateral antara pembuluh darah intrakranial.
Terpisah dari kolateral ophtalmicus, terdapat beberapa tempat anastomose lain antara pembuluh
darah ekstra dan intrakranial, mencakup anastomose melalui arteri sphenopalatina, arteri dari
foramen rotundum dan cabang kecil yang biasanya ada pada tulang petrosus. Arteri utama yang
mensuplai dura adalah arteri meningea media dan cabang ascending arteri pharyngeal, cabang
dari sirkulasi eksternal. Terkadang dapat terbentuk anastomose antara dura dan permukaan
korteks. Sebagai tambahan, hubungan antara carotis dan vertebrobasillar dapat terjadi.
V. PATOFISIOLOGI
Dislipidemia
Adanya penimbunan kolesterol intra dan ekstra seluler disertai adanya fibrosis maka akan
terbentuk plak fibrolipid. Pada inti dari plak tersebut, sel-sel lemak dam lainnya akan menjadi
nekrosis dan terjadi klasifikasi. Plak ini akan menginvasi dan menyebar kedalam tunika media
dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan menebal dan penyempitan lumen.
Degenerasi dan perdarahan pada pembuluh darah yang mengalami akan menyebabkan kerusakan
endotel pembuluh darah sehingga terjadi perangsangan adhesi, aktifasi dan agregasi trombosit,
yang mengawali koagulasi darah dan thrombosis. Trombosit akan terangsang dan menempel
pada endotel yang rusak, sehingga plak aterotrombotik.
Aterosklerosis dapat menyebabkan stroke iskemik dengan cara trombosis yang
menyebabkan tersumbatnya arteri-arteri besar terutama a.karotis interna, a. serebri media atau a.
basilaris, dapat juga mengenai arteri kecil yang meyebabkan terjadinya infark lakuner. Sumbatan
juga dapat terjadi pada vena-vena atau sinus venosa intra kranial. Dapat juga terjadi emboli,
dimana stroke terjadi mendadak karena arteri serebri tersumbat oleh thrombus dari jantung, arkus
aorta atau arteri besar lainnya. (SI)
Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke. Hipertensi meningkatkan
risiko terjadinya stroke sebanyak 4 sampai 6 kali. Makin tinggi tekanan darah kemungkinan
stroke makin besar karena terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga
memudahkan terjadinya penyumbatan/perdarahan otak. Hipertensi sangat berpengaruh pada
peredaran darah otak, karena menyebabkan tterjadi penebalan dan remodeling pembuluh darah
hingga memperkecil diameternya. Perubahan ini dapat meningkatkan tekanan vaskuler dan
memicu terjadinya arterosklerosis saaat volume atau aliran darah melalui ginjal berubah maka
sel-sel di ginjal akan mendeteksi perubahan itu akan melepas renin. Ini akan merubah atau
mengkonversi Angiostensin menjadi angiostensin I dibantu oleh Angiostensin Converting
Enzym (ACE) menjadi Angiostensin II. ACE ini 90% ada dijaringan dan 10 % ada diplasma.
ACE diplasma berespon terhadap tekanan darah. ACE yang dijaringan akan mengkonversi A1
menjadi A2 yang berperan pada stuktur pembuluh darah di system saraf pusat. Perubahan pada
jangka panjang vaskuler yang disebabkan oleh Sistem Renin Angiostensin jaringan akan
menyebabkan perubahan pada stuktur dan fungsi vaskuler. Bila ACE jaringan berlebihan maka
akan menyebabkan terjadinya mekanisme yang akan mempercepat artersklerosis. Angiostensi II
dalam tubuh, akan berikatan dengan reseptor, termasuk reseptor AT1 dan AT2.
Hubungan hipertensi dan stroke
Aliran darah otak (ADO) adalah jumlah darah yang menuju ke otak. Otak orang dewasa
menggunakan 20% darah yang di pompa oleh jantung pada saat keadaan istirahat, dan darah
dalam keadaan normal mengisi 10% dari ruang intracranial. ADO secara ketat meregulasi
kebutuhan dari metabolik otak, rata-rata aliran ADO dipertahankan 50 ml per 100 gram jaringan
otak per menit pada manusia dewasa.2 Sangat penting untuk mempertahankan ADO dalam batas
yang normal karena terlalu banyak ADO dapat meningkatkan tekanan intrakranial sehingga
dapat menekan dan merusak jaringan otak, sedangkan terlalu sedikit ADO akan menyebabkan
suplai darah yang tidak adekuat. Iskemik akan terjadi jika aliran darah ke otak di bawah 18-20
ml per 100 gram otak permenit dan kematian jaringan otak terjadi bila ADO turun di bawah 8-10
ml per 100 gram jaringan otak per menit. Di dalam jaringan otak terdapat biochemical cascade
atau yang disebut sebagai iskemik cascade yang menyebabkan jaringan otak menjadi iskemik,
yang lebih lanjut menyebabkan kerusakan dan kematian dari sel-sel otak.2 ADO ditentukan oleh
beberapa faktor seperti viskositas darah, kemampuan pembuluh darah dalam berdilatasi, tekanan
perfusi serebral yang ditentukan oleh tekanan darah dan tekanan intrakranial. Pembuluh darah
serebral mempunyai kemampuan untuk mengubah aliran darah dengan cara mengubah diameter
lumen pembuluh darah, proses ini disebut dengan autoregulasi. Konstriksi pembuluh darah akan
terjadi bila tekanan darah meningkat dan akan berdilatasi bila tekanan darah menurun.
Hipertensi dapat menimbulkan perubahan patologik yang berbeda pada pembuluh darah sedang
dan pembuluh darah kecil otak. Berdasarkan ini stroke yang timbul akibat hipertensi dapat
dibedakan atas dua golongan yang gambaran patologi dan kliniknya berbeda13. Pada pembuluh
darah sedang, seperti a. karotis, a vertebrobasilaris atau arteri dibasal otak, perubahan
patologiknya adalah berupa aterosklerosis, dan manifestasi kliniknya adalah stroke iskemik. Di
sini peranan hipertensi hanyalah sebagai salah satu faktor risiko di samping faktor-faktor lain
seperti diabetes mellitus, hiperlipidemia, merokok dan lain-lain. Pembuluh darah kecil otak, ialah
cabang-cabang penetrans arteri yang menembus ke dalam jaringan otak, berukuran diameter 50–
200 mikron. Dasar kelainan pada pembuluh darah jenis ini adalah spasme dan lipohialinosis;
spasme terjadi pada hipertensi akut seperti hipertensi maligna, dan manifestasi kliniknya adalah
Infark lakunar. Lipohialinosis juga terjadi pada hipertensi kronik, pembuluh darah dengan
lipohialinosis ini dapat mengalami mikroaneurisma yang dapat pecah dan terjadi Perdarahan
Intraserebral. Berbeda dengan aterosklerosis, pada lipohialinosis hipertensi dapat dikatakan
merupakan faktor penyebab satu-satunya.15
VI. PENATALAKSANAAN
PENATALAKSANAAN MEDIKAMENTOSA ( PERDOSSI, 2007 )
STADIUM HIPERAKUT :
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan tindakan
resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada
stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian
cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi,
foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa
darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan
lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien serta
memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang.
STADIUM AKUT :
Pada stadium ini, dilakukan penanganan factor- faktor etiologik maupun penyulit. Juga
dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial untuk
membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut
dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat
dilakukan keluarga.
Terapi umum :
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang; ubah posisi
tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya,
bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah.
Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari
penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan elektrolit
sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per
oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran
menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi
sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi
segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri
kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah
tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg,
Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang
waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium
nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi
hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL
selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi
dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi
dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg. Jika kejang, diberi
diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan
pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2
minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang. Jika didapatkan tekanan intrakranial
meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai
fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap
6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif,
dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti
koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen
Activator). Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dalam jangka waktu 24 jam bersamaan dengan
pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan. Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu
sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia). Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan
mencegah timbulnya stroke ulang awal, menghentikan perburukan defisit neurologi, atau
memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak direkomendasikan sebagai pengobatan
untuk pasien dengan stroke iskemik akut. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dlam 24
sampai 48 jam setelah awitan stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik akut (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence A).2,3 b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan
intervensi akut pada stroke, seperti pemberian rtPA intravena (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence B), Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan, Penggunaan
aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah pemberian obat trombolitik tidak
direkomendasikan.
EDUKASI
Pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga,ini membutuhkan tempat dan waktu yang padat.
Bukan hal yang realitis jika semua pendidikan kesehatan dapat diberikan secara lengkap dalam
waktu yang pendek. Pendidikan kesehatan harus dilakukan secara berkelanjutan setelah pasien
pulang oleh pemberi layanan kesehatan dikomunitas.
REHABILITASI MEDIK
Rehabilitation dimulai segera setekah pasien kondisinya stabil dan perawat perlu bekerjasama
dengan tim yang lain untuk mengembangkan rencana perawatan pasien. Diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul pada pasien stroke, dimana pasien membutuhkan rehabilitasi secepatnya
yaitu: defisit keperawatan diri, perubahan persepsisensori, kerusakan komunikasi verbal,
kerusakan mobilitas fisik, perubahan eliminasi urin, disuse syndrome, perubahan proses fikir,
impaired adjustment, gangguan penampilan peran dan unilateral neglect. Rehabilitasi unuk
mengatasi masalah perubahan eliminasi urin, hendaknya juga dilakukan bladder training sejak
pasien melewati fase akut. Masalah kolaboratif yang mungkin muncul pada fase ini adalah efek
disamping dari terapi anti platelet.
Komplikasi
Infark miokard akut, trombosis venus dan tromboemboli, pneumoni, dekubitus dan
infeksi saluran kemih merupakan komplikasi tersering pada stroke iskemik akut. Apabila upaya
untuk pencegahan kontraktur dan malposisi ekstremitas tidak dilakukan secara dini,
penyembuhan akan tertunda meski fungsi neurologisnya baik, hal tersebut akan memperburuk
prognosis kualitas hidup pasca stroke.10
Serangan epileptik pasca stroke juga mengganggu fase penyembuhan stroke. Pada studi
yang dilakukan Camilo dan Goldstein pada tahun 2004 didapatkan angka kejang dini pada pasien
stroke yang sedang dirawat inap berkisar 2-33%, sedangakan kejang laten yang terjadi sampai 5
tahun pasca stroke berkisar 3-67% kasus. Dari semuanya yang menjadi epilepsi pasca stroke
adalah sekitar 2-4% dan paling banyak berasal dari yang mengalami kejang laten. Serangan ini
umumnya terjadi pada lesi hemisferik, pada infark maupun perdarahan otak.11
VII. PROGNOSIS
Angka kematian akibat stroke bervariasi antara 10%-30%. Angka kematian stroke
mencapai 20 % pada 3 hari pertama dan 25 % pada tahun pertama. Hal ini berarti bahwa akan
ada 70% orang yang selamat dari serangan stroke. Dari stroke registri di Indonesia didapatkan
kematian pada stroke iskemik sekitar 8,3% setelah 48 jam dan 3,5% dalam waktu kurang dari 48
jam. Orang yang selamat dari serangan stroke dikenal sebagai “the stroke survivors”. Para stroke
survivors ini memiliki derajat kecacatan yang bervariasi, mulai ringan sampai dengan berat.
Penanganan terhadap kecacatan tersebut memerlukan tindakan rehabilitasi yang baik. Penelitian
memperlihatkan adanya konsep neuroplastisitas yang memungkinkan perbaikan fungsi saraf
sampai dengan 6 bulan pasca serangan stroke. Waktu 6 bulan inilah yang harus dikejar untuk
mencapai pemulihan yang optimal. Para stroke survivors ini juga harus terus menerus
memperbaiki pola hidup dan mengkonsumsi obat secara teratur untuk mencegah serangan stroke
ulang. Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) Framingham Stroke Study,
50% ± 70% dari penderita stroke mendapatkan kembali kemandirian fungsional,tapi 15% ± 30%
tetap cacat permanen. Rehabilitasi yang komprehensif dapat meningkatkan kemampuan
fungsional dari penderita stroke tergantung dari usia dan defisit neurologis dan mengurangi biaya
perawatan pasien jangka panjang. Sekitar 80% dari korban stroke dapat mengambil manfaat dari
rehabilitasi rawat inap atau rawat jalan. Penyebab kematian yang utama pada minggu-minggu
pertama adalah kompresi pada batang otak akibat edema otak masif. Pada minggu kedua dan
ketiga umumnya disebabkan komplikasi pneumonia, emboli paru atau gangguan jantung seperti
atrial fibrilasi.12,13
Pada studi yang dilakukan Hardie dan kawan-kawan pada tahun 2004 di suatu komunitas di perth
didapatkan setelah pemantauan selama 10 tahun pada penderita stroke diperkirakan risiko angka
kekambuhan sekitar 43%, dan kasus yang fatal pada 30 hari pertama stroke berulang adalah
41%, meningkat signifikan dibanding kasus fatal pada stroke pertama kali yang berkisar 22%.
Rehabilitasi tentu memegang peranan penting dalam prognosis fase penyembuhan stroke,
dimana rehabilitasi sebenarnya sudah dimulai sedini mungkin saat stroke fase akut. Semakin
optimal rehabilitasi yang dilakukan makan semakin bagus pula prognosis pasien tersebut selama
fase penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk
Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59.
2. Gofir A, Manajemen Stroke (Evidence Based Medicine). Pustaka Cendekia Press. 2011
3. Jauch EC, Saver JL, Adams HP, Bruno A, Demaerschalk BM, Khatri P, et al. Guidelines
for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke A Guideline for
Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke
Association. Stroke. 2013;44(3):870-947.
4. Deb P, Sharma S, Hassan K. Pathophysiologic mechanisms of acute ischemic stroke: an
overview with emphasis on therapeutic significance beyond thrombolysis.
Pathophysiology. 2010;17(3):197-218.
5. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Culebras A, Elkind MS, et al. An
Updated Definition of Stroke for the 21st Century Stroke. 2013;44(7):2064-89.
6. Aminoff Michael J, Greenberg David, Simon Roger. 2005. Clinical neurology. Sixth
Edition. United States of America: the McGraw Hill Companies.
7. Kaur H, Prakash A, Medhi B. Drug Therapy in Stroke: From Preclinical to Clinical
Studies. Pharmacology. 2013;92(5-6):324-34.
8. Brouns, R., & De Deyn, P. P. (2009). The complexity of neurobiological processes in
acute ischemic stroke. Clinical neurology and neurosurgery,111(6), 483-495.
9. Tong, X., Kuklina, E. V., Gillespie, C., & George, M. G. (2010). Medical complications
among hospitalizations for ischemic stroke in the United States from 1998 to
2007. Stroke, 41(5), 980-986
10. Zorowitz, R. D., Gross, E., & Polinski, D. M. (2002). The stroke survivor. Disability &
Rehabilitation, 24(13), 666-679.
11. Bronnum-Hansen, H., Davidsen, M., & Thorvaldsen, P. (2001). Long-term survival and
causes of death after stroke. Stroke, 32(9), 2131-2136.
12. Hardie K, Hankey GJ, Jamrozik K, Broadhurst RJ, Anderson C. Ten-year risk of first
recurrent stroke and disability after first-ever stroke in the Perth Community Stroke
Study. Stroke. 2004 Mar;35(3):731-5