15
LBM 5 SGD 21 Step 7 1. Step of clinical trial ? Menurut Deklarasi Helsinki uji klinik terdiri dari 4 fase. 1. Fase I calon uji pada sukarelawan sehat untuk mendapatkan hasil yang sama dengan hewan percobaan. Biasanya dilakukan terhadap 50-150 sukarelawan yang sehat 2. Fase II calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Dilakukan terhadap 100-200 pasien. Fase II awal : dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding. Jumlah pasien 100-200; dilakukan uji toksisitas kronik, uji sediaan bahan obat Fase II akhir :dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding. 3. Fase III efikasi dan keamanan obat baru dibandingkan obat pembanding efeknya pada kelompok besar yang sakit. Pasien yang dilibatkan biasanya 50-5000 orang. Setelah calon obat dibuktikan berkhasiat, mirip obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai, maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug. Obat dipasarkan dengan nama dagang tertentu yang dapat diresepkan oleh dokter. - Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada.

LBM 5 SGD 21

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SGD

Citation preview

LBM 5 SGD 21Step 71. Step of clinical trial ?Menurut Deklarasi Helsinki uji klinik terdiri dari 4 fase.1. Fase I calon uji pada sukarelawan sehat untuk mendapatkan hasil yang sama dengan hewan percobaan. Biasanya dilakukan terhadap 50-150 sukarelawan yang sehat2. Fase II calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Dilakukan terhadap 100-200 pasien.Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding. Jumlah pasien 100-200; dilakukan uji toksisitas kronik, uji sediaan bahan obatFase II akhir:dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding.

3. Fase III efikasi dan keamanan obat baru dibandingkan obat pembanding efeknya pada kelompok besar yang sakit. Pasien yang dilibatkan biasanya 50-5000 orang.Setelah calon obat dibuktikan berkhasiat, mirip obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai, maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug. Obat dipasarkan dengan nama dagang tertentu yang dapat diresepkan oleh dokter. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropah lain oleh EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll. Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.

4. Fase IV setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pascapemasaran yang diamati pada pasien dalam berbagai kondisi, usia, dan ras. Studi ini dilakukan pada jangka waktu lama untuk melihat terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase ini dievaluasi, masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan.Sebagai contoh cerivastatin, suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal. Talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan janin. Sedangkan troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.Prof Dr Ellin Yulinah, Farmakolog Institut Teknologi Bandung. http://www.trubusonline.co.id/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=1467 http://www.kalbe.co.id/index.php?mn=med&tipe=cdk&detail=printed&cat=det&det_id=141

a. Fase I: terbuka, tanpa kontrolb. Fase II: paralel, acak, tersamarc. Fase III: paralel, acak, tersamard. Fase IV: studi observasional atau paralel

Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar.

2. What is the purpose of scientification of traditional herbal ? Tujuan dan ruang lingkup scientifikasi jamuTUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2Tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah: a. Memberikan landasan ilmiah (evidence based ) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. b. Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu. c. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu. d. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.

Ruang lingkup:Pasal 31) Ruang lingkup saintifikasi jamu diutamakan untuk upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif.2) Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis pasien sebagai komplementer-alternatif setelah pasien memperoleh penjelasan yang cukup.Peraturan Menteri Kesehatan No. 03/MENKES/PER/2010.

Kriteria/syarat dari scientifikasi jamuPasal 81) Klinik Jamu terdiri dari : a. Klinik Jamu Tipe A b. Klinik Jamu Tipe B 2) Klinik jamu tipe A harus memenuhi persyaratan: a. Ketenagaan yang meliputi : 1. Dokter sebagai penanggung jawab 2. Asisten Apoteker. 3. Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan. 4. Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan. 5. Tenaga administrasi. b. Sarana yang meliputi: 1. Peralatan medis 2. Peralatan jamuMemiliki ruangan: a) Ruang tunggu. b) Ruang pendaftaran dan rekam medis (medical record). c) Ruang konsultasi/pelaksanaan penelitian. d) Ruang pemeriksaan/tindakan. e) Ruang peracikan jamu. f) Ruang penyimpanan jamu. g) Ruang diskusi. h) Ruang laboratorium sederhana.i) Ruang apotek jamu.

3) Klinik Jamu tipe B harus memenuhi persyaratan: a. Ketenagaan yang meliputi: 1. Dokter sebagai penanggung jawab 2. Tenaga kesehatan komplementer _alternatif lainnya sesuai kebutuhan. 3. Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui Departemen Kesehatan. 4. Tenaga administrasi.

b. Sarana yang meliputi: 1. Peralatan medis. 2. Peralatan jamu. 3. Memiliki ruangan : a) Ruang tunggu dan pendaftaran. b) Ruang konsultasi, pemeriksaan/tindakan/penelitian dan rekam medis (medical record). c) Ruang peracikan jamu. 4) Tenaga pengobat tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) hanya merupakan tenaga penunjang dalam pemberian pelayanan jamu. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Klinik Jamu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 5 Jamu dan/atau bahan yang digunakan dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademicum, atau merupakan bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. Harus aman, sesuai dg MMI, farmakope indo dan harus dibuktikan secara empiris.Peraturan Menteri Kesehatan No. 03/MENKES/PER/2010.

3. What is the limitation of clinical trials in indonesia ?

4. Indication of traditional herbal medicine used ?

5. What is the different between clinical trial of phytofarmaceuticals and scientification of traditional herbal medicine ?

PerbedaanFitofarmakaSaintifikasi Jamu

RamuanRamuan (komposisi) hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/sediaan galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan dapat terdiri dari beberapa simplisia,/sediaan galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima) simplisia/sediaan galenik. Simplisia tersebut masing-masing sekurang-kurangnya telah diketahui khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman.

Tidak ada batasan berapa jumlah simplisia/ sediaan galenik yang digunakan dan telah digunakan secara turun temurun

Dukungan penelitianAgar supaya fitofarmaka dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan khasiatnya dalam pemakaiannya pada manusia, maka pengembangan obat tradisional tersebut harus mencakup berbagai tahap pengujian dan pengembangan secara sistematik. Tahap-tahap ini meliputi: 1. Pemilihan. 2. Pengujian Farmakologik a. Penapisan aktivis farmakologik diperlukan bila belum terdapat petunjuk mengenai khasiat. b. Bila telah ada petunjuk mengenai khasiat maka langsung dilakukan pemastian khasiat. 3. PengujianToksisitas a. Uji toksisitas akut. b. Uji toksisitas sub akut. c. Uji toksisitas kronik. d. Uji toksisitas spesifik: - Toksisitas pada janin. - Mutagenisitas. - Toksisitas topikal. - Toksisitas pada darah. - Dan lain-lain. 4. Pengujian Farmakodinamik 5.Pengembangan Sediaan (formulasi). 6. Penapisan Fitokimia dan Standarisasi Sediaan. 1. Pengujian klinik.

Penelitian dibedakan menjadi 2 untuk formula turun temurun dan formula baru.Subjek penelitian adalah pasien yang berobat pada dokter saintifikasi jamu (SJ)

SediaanSediaan Oral :Serbuk ; Rajangan ; Kapsul (ekstrak ) ; Tablet ( ekstrak ) ; Pil ( ekstrak ) ; Sirup ; Sediaan terdispersi ( emulsi / suspensi ).Sediaan Topikal :Salep / Krim ( ekstrak ) ; Suppositoria ( ekstrak ) ; Linimenta ( ekstrak ) ; Bedak ; Param.

Bentuk sediaan yang dapat dipakai sebagai bahan uji pada program Saintifikasi Jamu adalah jamu tradisional, ramuan simplisia kering (untuk dijadikan jamu godhogan), Obat Herbal Terstandar, ekstrak dalam bentuk tanaman tunggal, campuran ekstrak tanaman, dan bentuk sediaan lainnya.

LevelSama dengan obat modernTidak seperti obat modern, tetapi sudah ada EBMnya

PhytopharmaceuticalScientific traditional herbal medicine

pengembangan obat dari tanaman dan senyawa alam lainnya sekarang menjadi daerah yang signifikan dari penelitian untuk pengembangan obat baru dengan dasar historis suara.

Can be reciped by doctor

terstandarisasi dengan uji klinik berjumlah 6 berupa fitofarmaka.

Terdiri dari tidak lebih dari 5 bahan herbal

Klinik Saintifikasi JamuHortus MedicusadalahKlinik Tipe A, merupakan implementasi Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk menjamin jamu aman, bermutu dan berkhasiat. Bahan yang digunakan berupa simplisia yang telah terbukti khasiat dan keamanannya melalui uji praklinik

http://www.uel.ac.uk/study/courses/phytopharmaceuticals.htmhttp://www.b2p2toot.litbang.depkes.go.id/v110606/index.php?mod=menu.page&id_menu=106

6. What is the term and condition to a certain herbal clinic of hospital with the license from the goverment ?Bagian KetigaKetenagaanPasal 111) Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan jamu pada fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (2) harus memiliki: a. Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia untuk dokter atau dokter gigi, STRA untuk apoteker dan surat izin/registrasi dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi tenaga kesehatan lainnya. b. Memiliki surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi dan surat izin kerja/surat izin praktik bagi tenaga kesehatan lainnya dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. c. Memiliki surat bukti registasi sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (SBR-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. d. Memiliki surat tugas sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (ST-TPKA/SIK-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN.

7. How about the etical view about scientification traditional herbal medicine ?SYARAT-SYARAT SCIENTIFICASI JAMU :

Kelemahan dan kelebihan dari scientifikasi jamu :1. WeaknessBelum melalui uji preklinik uji klinik uji toksisitasBelum tau dosis pasti . Kelemahan dari birokrasi Terdapat produk-produk palsu yang menyebabkan produsen jamu ini semakin berkurang2. BenefitSaintifikasi JamuRiset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa 50% penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk pengobatan karena sakit. Data Riskesdas ini menunjukkan bahwa, jamu sebagai bagian dari pengobatan tradisional, telah diterima oleh masyarakat Indonesia. Meskipun pengobatan tradisional, termasuk jamu, sudah banyak digunakan oleh tenaga kesehatan profesional maupun battra, namun banyak tenaga profesional kesehatan yang mempertanyakan pengobatan tradisional (jamu) dalam pelayanan kesehatan formal. Hal ini bisa dimengerti, karena sesuai dengan Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter/dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan harus memenuhi standar pelayanan medis, yang pada prinsipnya harus memenuhi kaidah praktik kedokteran berbasis bukti (evidence based medicine). Di pihak lain, bukti-bukti ilmiah tentang mutu, keamanan dan manfaat pengobatan tradisional (jamu) dinilai belum adekuat untuk dapat dipraktikkan pada pelayanan kesehatan formal. Dengan kata lain, pengobatan tradisional (jamu) masih memerlukan bukti ilmiah yang cukup untuk dapat digunakan oleh tenaga profesional kesehatan.

Dalam rangka menyediakan bukti ilmiah terkait mutu, keamanan, dan manfaat obat tradisional (jamu), maka Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.03/MENKES/PER/2010 tentang Saintifikasi Jamu. Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.2 Salah satu tujuannya adalah memberikan landasan ilmiah (evidenced based) penggunaan jamu secara empirik melalui penelitian berbasis pelayanan yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, dalam hal ini klinik pelayanan jamu/dokter praktik jamu.Untuk menjalankan Saintifikasi Jamu sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.03/MENKES/PER/2010, maka telah ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1334 Tahun 2010 tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, yang salah satu tugasnya adalah menyusun pedoman metodologi penelitian jamu.http://www.litbang.depkes.go.id/riset-jamu, http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/regulasi/permenkes/PMK_No._03_Th_2010.pdf