Author
dokhanh
View
224
Download
0
Embed Size (px)
LAPORAN AKHIR
ANALISIS USULAN PELABUHAN BITUNG-SULAWESI UTARA SEBAGAI PELABUHAN TUJUAN IMPOR PRODUK TERTENTU
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2014
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, laporan akhir Analisis Usulan Pelabuhan Bitung-Sulawesi Utara Sebagai Pelabuhan Tujuan Impor Produk Tertent dapat terselesaikan dengan baik dan segala keterbatasan tidak membuat tim analisis laporan ini patah semangat di sela tugas-tugas lainnya.
Usulan pelabuhan Bitung sebagai pelabuhan impor untuk produk tertentu bertujuan untuk meningkatkan volume perdagangan di wilayah Provinsi Sulawesi Utara dan sekitarnya. Diharapkan dengan masuknya produk tertentu secara langsung ke pelabuhan Bitung dapat memberikan dorongan bagi terbukanya usaha-usaha baru. Dengan dibukanya pelabuhan Bitung untuk impor produk tertentu, beberapa sektor diharapkan dapat berkembang seperti sektor jasa transportasi dan perdagangan menambah lapangan kerja, mendorong kinerja perdagangan luar negeri dan pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Utara dan Indonesia.
Dengan selesainya laporan ini, tak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu sampai dengan terwujudnya laporan. Ucapan terimakasih secara khusus kami sampaikan kepada Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri yang telah senantiasa memberikan bimbingan baik substansi maupun motivasi,.
Harapan kami, laporan analisis ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi perumusan kebijakan tidak hanya bagi Pelabuhan Bitung juga bagi pelabuhan lainnya yang diusulkan menjadi pelabuhan ekspor impor untuk produk tertentu.
Jakarta, Maret 2014 Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
iii
ABSTRAK
Analisis Usulan Pelabuhan Bitung-Sulawesi Utara Sebagai Pelabuhan Tujuan Impor Produk Tertentu
Kebijakan penetapan pelabuhan tujuan impor Produk Tertentu berimplikasi pada kegiatan pelabuhan Bitung yang belum dapat melayani perdagangan ekspor dan impor untuk produk yang sangat diperlukan oleh konsumen di kawasan Indonesia Timur. Analisis ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian dan kelayakan pelabuhan Bitung-Sulawesi Utara sebagai pelabuhan tujuan impor Produk Tertentu berdasarkan kriteria aspek persyaratan penyelenggaraan Pelabuhan Laut dan mengidentifikasi produk-produk yang dapat diimpor melalui pelabuhan Bitung. Analisis ini menemukan bahwa pelabuhan Bitung telah memenuhi lima aspek persyaratan pelabuhan terbuka bagi perdagangan ekspor-impor sehingga sesuai dan layak untuk menjadi pelabuhan tujuan impor Produk Tertentu atas produk Makanan dan Minuman, Pakaian Jadi, dan Elektronika.
Kata kunci: impor, produk tertentu, dan pelabuhan Bitung.
ABSTRACT
Feasibility Study of BItung Port, North Sulawesi as Destination Port for Certain Import Products
The implementation of import certain product policy by certain ports causes Bitung port cannot do export and import activities as usual for several important products for consumers in East Indonesia region. This analysis aims to study the feasibility of Bitung port-North Sulawesi based on several seaport criteria and to identify which products that can be imported by Bitung Port. This analysis finds that Bitung Port has passed five opened port requirement aspects for export and import so it can be opened for importing certain products, such as Food and Beverages, Textile and apparel, and Electronics
Keywords: import, certain product, and Bitung Port.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ii
ABSTRAK iii
DAFTAR ISI Iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Output Penelitian 3
1.5. Manfaat Penelitian 3
1.6. Ruang Lingkup Penelitian 3
1.7. Sistematika Laporan 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Tinjauan tentang Pelabuhan 6
2.1.1 Definisi, Fungsi, dan Peranan Pelabuhan 6
2.1.2 Klasifikasi Pelabuhan 9
2.1.3 Bangunan dan Fasilitas Pelabuhan 12
2.1.4 Indikator Kelayakan Pelabuhan 14
2.1.5 Pelabuhan dan Terminal Khusus yang Terbuka bagi Perdagangan Luar Negeri
18
2.1.6 Dampak Globalisasi terhadap Transportasi dan Logistik
21
2.2 Tinjauan Perdagangan Internasional 23
2.2.1 Teori Perdagangan Internasional 23
2.2.2 Teori Permintaan Impor 35
2.2.3 Kebijakan Impor Produk Tertentu di Indonesia 39
2.3 Penelitian Sebelumnya 44
v
2.3.1 Penelitian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2012)
44
2.3.2 Penelitian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2013)
45
BAB III METODE PENGKAJIAN 47
3.1 Metode Analisis 47
3.2 Data dan Teknik Pengumpulan Data 47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 49
4.1 Analisis Kesesuaian dan Kelayakan Pelabuhan Bitung-Sulawesi Utara Sebagai Pelabuhan Tujuan Impor Produk Tertentu Berdasarkan Kriteria Aspek Persyaratan Penyelenggaraan Pelabuhan Laut
49
4.2 Identifikasi Produk-produk Tertentu yang Dapat Diimpor Melalui Pelabuhan Bitung-Sulawesi Utara
56
4.3 Analisis Biaya dan Manfaat atas Penetapan Pelabuhan Bitung-Sulawesi Utara Sebagai Pelabuhan Tujuan Impor Produk Tertentu
64
4.4 Perkembangan Kinerja Impor Produk Tertentu Indonesia
73
4.5 Hasil Temuan Lapang 75
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 84
5.1 Kesimpulan 84
5.2 Rekomendasi Kebijakan 84
DAFTAR PUSTAKA 85
LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Persyaratan Penentapan Pelabuhan yang Terbuka bagi Perdagangan Luar Negeri
20
Tabel 2.2 Daftar 25 Pelabuhan Strategis Indonesia 21
Tabel 4.1 Fasilitas Pokok Pelabuhan Bitung 52
Tabel 4.3 Ketersediaan Sumber Daya Manusia di KPPBC Tipe Madya Kepabeanan C Kota Bitung
55
Tabel 4.4 Kesesuaian dan Kelayakan Pelabuhan Bitung Sulawesi Utara Sebagai Pelabuhan Tujuan Impor Produk Tertentu Berdasarkan Kriteria Aspek Persyaratan Penyelenggaraan Pelabuhan Laut
56
Tabel 4.5 Impor Pelabuhan Bitung Berdasarkan Kelompok Barang
60
Tabel 4.6 Produk Utama Impor Barang Konsumsi Pelabuhan Bitung
60
Tabel 4.7 Komoditi Impor Utama Pelabuhan Bitung Berdasarkan KPPBC TMP C Bitung Tahun 2013
62
Tabel 4.8 Pertumbuhan dan Proyeksi Kapasitas dan Nilai Tambah Bongkar Muat di Pelabuhan Bitung
68
Tabel 4.9 Perkembangan Investasi Provinsi Sulawesi Utara 68
Tabel 4.10 Komitmen Investasi di Pelabuhan Bitung dalam Rangka MP3EI
69
Tabel 4.11 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sulawesi Utara
71
Tabel 4.12 Indeks Tendensi Konsumen Triwulan II dan III Tahun
2013 Sulawesi Utara Menurut Variabel
Pembentuknya
71
Tabel 4.13 Perkembangan Realisasi Nilai Impor Produk Tertentu Indonesia Tahun 2009-2013
73
Tabel 4.14 Perkembangan Realisasi Nilai Impor Produk Tertentu Indonesia Berdasarkan Pelabuhan Tahun 2009-2013
74
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Skema Hubungan Laut, Pantai, dan Lingkungan Sekitarnya
16
Gambar 2.2 Dampak Globalisasi Bisnis terhadap Transportasi dan Logistik
22
Gambar 2.3 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional
25
Gambar 2.4 Gains from Trade 27
Gambar 4.1 Perkembangan Volume Kinerja Perdagangan Pelabuhan Bitung 2009-2013, Jnuari 2013, dan Januari 2014
51
Gambar 4.2 Fasilitas Pelayanan Kapal Pelabuhan Bitung 52
Gambar 4.3 Fasilitas Terminal Konvensional Pelabuhan Bitung
53
Gambar 4.4 Kinerja Perdagangan Pelabuhan Bitung Tahun 2009-2013, Januari 2014
57
Gambar 4.5 Perkembangan Nilai dan Persentase Impor Pelabuhan Bitung
58
Gambar 4.6 Struktur Impor Pelabuhan Bitung Berdasarkan Kelompok Barang
59
Gambar 4.7 Perkembangan Realisasi Nilai Impor dan Ekspor Pelabuhan Bitung (dalam Juta USD)
59
Gambar 4.8 Perkembangan Inward Manifest Pelabuhan Bitung Tahun 2013
63
Gambar 4.9 Penjaluran PIB Pelabuhan Bitung dan
Perbandingan Jumlah PIB Kontainer
Pelabuhan Bitung
66
Gambar 4.10 Posisi Strategis Pelabuhan Bitung ke Beberapa Negara Asia Pasifik
73
Gambar 4.11 Potensi Pelabuhan Bitung Sebagai Pusat Distribusi
74
Gambar 4.12 Pemasok Utama Impor Produk Tertentu Indonesia
75
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka menciptakan perdagangan yang sehat dan iklim
usaha yang kondusif serta peningkatan tertib administrasi impor,
Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) No. 83/M-DAG/PER/12/2012 tentang
Ketentuan Impor Produk Tertentu sebagaimana terakhir diubah melalui
Permendag No. 61/M-DAG/PER/9/2013 yang mengatur atas impor Produk
Tertentu (Produk Makanan dan Minuman, Obat Tradisional dan Suplemen
Makanan, Kosmetik, Pakaian Jadi, Alas Kaki, Mainan Anak-anak) oleh IT-
Produk Tertentu yang hanya dapat dilakukan melalui Pelabuhan laut
(Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Soekarno-Hatta,
Dumai, Jayapura, Tarakan, dan Krueng Geukuh) dan/atau Pelabuhan
udara (Kualanamu, Soekarno Hatta, Ahmad Yani, Juanda dan
Hasanuddin).
Pelabuhan Bitung ditetapkan sebagai Pelabuhan internasional
sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan
Presiden RI (Perpres) No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, PP
No. 88 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi,
Perpres RI No. 26 Tahun 2012 tentang Sistem Logistik Nasional, dan
Keputusan Menteri Perhubungan No. KP 414 Tahun 2013 tentang
Penetapan Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN). Namun demikian,
Pelabuhan Bitung belum dapat melayani perdagangan ekspor dan impor
untuk produk yang sangat diperlukan oleh konsumen di kawasan Sulawesi
Utara, Gorontalo, dan Maluku Utara karena terkendala dengan adanya
penetapan impor Produk Tertentu melalui Pelabuhan tertentu
sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2
(Permendag) No. 83/M-DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Impor
Produk Tertentu yang diubah terakhir melalui Permendag No. 61/M-
DAG/PER/9/2013. Pelabuhan Bitung tidak termasuk dalam kategori
Pelabuhan tertentu yang ditetapkan untuk pemasukan Produk Tertentu.
Terkait dengan hal tersebut, Gubernur Sulawesi Utara melalui surat
No. 513/3751/Sekr-Bappeda tanggal 30 September 2013 memohon
kepada Menteri Perdagangan agar dapat meninjau kembali Permendag
No. 83/M-DAG/PER/12/2012 dan memasukkan Pelabuhan Bitung
sebagai Pelabuhan tujuan produk impor tertentu oleh IT-Produk Tertentu.
Dengan adanya penetapan Pelabuhan Bitung sebagai salah satu
Pelabuhan tujuan impor produk tertentu oleh IT-Produk Tertentu
diharapkan dapat mengakselarasi dan mempercepat pembangunan
secara khusus perdagangan komoditas di Provinsi Sulawesi Utara dan
secara umum di Kawasan Timur Indonesia.
Untuk menindaklanjuti permohonan Gubernur Sulawesi Utara,
maka Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Kementerian
Perdagangan melakukan Analisis Usulan Pelabuhan Bitung-Sulawesi
Utara sebagai Pelabuhan Tujuan Impor Produk Tertentu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dijabarkan
beberapa rumusan masalah yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah Pelabuhan Bitung-Sulawesi Utara memiliki kesesuaian dan
kelayakan sebagai Pelabuhan tujuan impor Produk Tertentu
berdasarkan kriteria aspek persyaratan penyelenggaraan Pelabuhan
Laut?
2. Produk-produk Tertentu apakah yang dapat diimpor melalui Pelabuhan
Bitung-Sulawesi Utara?
3. Bagaimana biaya dan manfaat penetapan Pelabuhan Bitung-Sulawesi
Utara sebagai Pelabuhan tujuan impor Produk Tertentu?
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari analisis ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis kesesuaian dan kelayakan Pelabuhan Bitung-Sulawesi
Utara sebagai Pelabuhan tujuan impor Produk Tertentu berdasarkan
kriteria aspek persyaratan penyelenggaraan Pelabuhan Laut
2. Mengidentifikasi Produk-produk Tertentu yang dapat diimpor melalui
Pelabuhan Bitung-Sulawesi Utara
3. Menganalisis biaya dan manfaat atas penetapan Pelabuhan Bitung
Sulawesi Utara sebagai Pelabuhan tujuan impor Produk Tertentu
4. Merumuskan rekomendasi dalam rangka penyusunan bahan kebijakan
penetapan Pelabuhan Bitung-Sulawesi Utara sebagai Pelabuhan
tujuan impor Produk Tertentu
1.4 Output Penelitian
Output dari analisis ini berupa laporan dan bahan rekomendasi
dalam rangka penyusunan kebijakan penetapan Pelabuhan Bitung-
Sulawesi Utara sebagai Pelabuhan tujuan impor Produk Tertentu.
1.5 Manfaat Penelitian
Analisis ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
bagi para pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan
Ketentuan Impor Produk Tertentu.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Analisis ini memfokuskan pada beberapa aspek, yakni aspek
administrasi, persyaratan penyelenggaraan Pelabuhan laut sebagai
Pelabuhan ekspor-impor, ekonomi, dan hukum.
1.7 Sistematika Laporan
Laporan analisis ini terbagi menjadi beberapa bab, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Output Penelitian
1.5 Manfaat Penelitian
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
1.7 Sistematika Laporan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan tentang Pelabuhan
2.1.1 Definisi, Fungsi dan Peranan Pelabuhan
2.1.2 Klasifikasi Pelabuhan
2.1.3 Bangunan dan Fasilitas Pelabuhan
2.1.4 Indikator Kelayakan Pelabuhan
2.1.5 Pelabuhan dan Terminal Khusus yang Terbuka bagi
Perdagangan Luar Negeri
2.1.6 Dampak Globalisasi terhadap Transportasi dan Logistik
2.2 Tinjauan tentang Perdagangan Internasional
2.3.1 Teori Perdagangan Internasional
2.3.2 Teori Permintaan Impor
2.3.3 Kebijakan Impor Produk Tertentu di Indonesia
2.3 Penelitian Sebelumnya
BAB III METODE PENGKAJIAN
3.1 Metode Analisis
3.2 Data dan Teknik Pengumpulan Data
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kesesuaian dan Kelayakan Pelabuhan Bitung-
Sulawesi Utara Sebagai Pelabuhan Tujuan Impor Produk
Tertentu Berdasarkan Kriteria Aspek Persyaratan
Penyelenggaraan Pelabuhan Laut
4.2 Identifikasi Produk-produk Tertentu yang Dapat Diimpor
Melalui Pelabuhan Bitung-Sulawesi Utara
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5
4.3 Analisis Biaya dan Manfaat atas Penetapan Pelabuhan
Bitung-Sulawesi Utara Sebagai Pelabuhan Tujuan Impor
Produk Tertentu
4.4 Perkembangan Kinerja Impor Produk Tertentu Indonesia
4.5 Hasil Temuan Lapangan
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Rekomendasi Kebijakan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan tentang Pelabuhan
2.1.1 Definisi, Fungsi, dan Peranan Pelabuhan
Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran, Pelabuhan diartikan sebagai tempat yang terdiri atas
daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai
tempat berkegiatan pemerintah dan kegiatan pengusahaan yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun
penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan
tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta
sebagai tempat perpindahan intra-dan antar-moda transportasi.
Pelabuhan sebagai prasarana transportasi yang mendukung
kelancaran sistem transportasi laut memiliki fungsi yang erat
kaitannya dengan faktor-faktor sosial dan ekonomi. Secara ekonomi,
pelabuhan berfungsi sebagai salah satu penggerak roda
perekonomian karena menjadi fasilitas yang memudahkan distribusi
hasil-hasil produksi sedangkan secara sosial, pelabuhan menjadi
fasilitas publik dimana di dalamnya berlangsung interaksi antar
pengguna (masyarakat) termasuk interaksi yang terjadi karena
aktivitas perekonomian. Secara lebih luas, pelabuhan merupakan titik
simpul pusat hubungan (central) dari suatu daerah pendukung
(hinterland) dan penghubung dengan daerah di luarnya.
Pelabuhan merupakan salah satu rantai perdagangan yang
sangat penting dari seluruh proses perdagangan, baik perdagangan
antarpulau maupun internasional. Pelabuhan menjadi sarana
bangkitnya perdagangan antar pulau bahkan perdagangan antar
negara. Selain sebagai prasarana transportasi, pelabuhan juga dapat
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7
dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata karena juga dapat
membawa keuntungan baik bagi negara maupun masyarakat sekitar
(Indriyanto, 2005). Pelabuhan dalam aktivitasnya mempunyai peran
penting dan strategis untuk pertumbuhan ekonomi, industri, dan
perdagangan serta merupakan segmen usaha yang dapat
memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional.
Sebagai titik temu antar transportasi darat dan laut, peranan
pelabuhan menjadi sangat vital dalam mendorong pertumbuhan
perekonomian, terutama daerah hinterlandnya menjadi tempat
perpindahan barang dan manusia dalam jumlah banyak serta
perkembangan industri. Pelabuhan bukan hanya digunakan sebagai
tempat merapat bagi sebuah kapal melainkan juga dapat berfungsi
untuk tempat penyimpanan stok barang, seperti contohnya sebagai
tempat penyimpanan cadangan minyak dan peti kemas (container),
karena biasanya selain sebagai prasarana transportasi manusia
pelabuhan juga kerap menjadi prasarana transportasi untuk barang-
barang. Dalam segi kepentingan suatu daerah pelabuhan memiliki
arti ekonomis yaitu karena pelabuhan mempunyai fungsi sebagai
tempat ekspor impor dan kegiatan ekonomi lainnya yang saling
berhubungan sebab akibat (Bintarto, 1968). Dengan adanya kegiatan
di pelabuhan, maka keuntungan secara ekonomi yang langsung
dapat dirasakan adalah terbukanya banyak lapangan kerja bagi
masyarakat sekitar, karena dalam segala bidang kegiatan di
pelabuhan tenaga kerja manusia akan sangat dibutuhkan seperti
contohnya tenaga kerja sebagai kuli (untuk mengangkat barang
barang), pengatur lalu lintas pelabuhan (terutama pengatur lalu lintas
kendaraan yang akan masuk ke kapal), dan petugas kebersihan
pelabuhan. Pelabuhan pada suatu daerah pun akan lebih
menggairahkan perputaran roda perekonomian, berbagai jenis usaha
akan tumbuh mulai dari skala kecil sampai dengan usaha skala
internasional, harga-harga berbagai jenis produk akan lebih
terjangkau mulai dari produksi dalam negeri sampai dengan luar
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8
negeri. Sementara itu, pelabuhan yang bertaraf internasional akan
mengundang investor dalam dan luar negeri untuk menanamkan
modal yang pada akhirnya akan menumbuhkan perekonomian rakyat
(PT Pelabuhan Indonesia I (Persero), 2012).
Berdasarkan pada fakta yang ada pada beberapa negara,
barangbarang ekspor impor sebagian besar dikirim melalui jalur laut
(menggunakan kapal) yang berarti membutuhkan pelabuhan atau
tempat untuk bertambat, meskipun rute perjalanan yang dituju dapat
dilalui oleh alat transportasi lain. Hal tersebut dapat terjadi mengingat
jumlah barang yang dapat diangkut oleh kapal lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah barang yang dapat diangkut oleh
armada lain seperti pesawat (seperti contohnya kapal P. Guillaumat
yang dapat mencapai 555.000 DWT (Triatmodjo, 2008).
Dengan semakin banyaknya kegiatan ekspor impor yang
melalui pelabuhan maka pajak yang akan diterima oleh Indonesia
juga akan semakin besar dan hal ini akan dapat menambah
pendapatan negara. Dengan penambahan pendapatan negara,
maka negara ini dapat memenuhi semua kebutuhan kebutuhannya
tanpa harus meminjam dari negara lain. Selain itu dengan semakin
banyaknya pajak yang diterima oleh negara, pemerintah juga
diharapkan dapat mengalokasikan pendapatan negara tersebut
dengan baik, seperti contohnya menambah subsidi bahan pangan
kepada masyarakat yang kurang mampu, pembangunan daerah
yang tertinggal, dan subsidi pendidikan.
Pelabuhan sebagai salah satu infrastruktur juga berpengaruh
penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia,
antara lain peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas
tenaga kerja, serta peningkatan kemakmuran masyarakat sekitar.
Dengan adanya pelabuhan maka barang-barang dagang banyak
masuk ke sebuah negara, hal ini juga bertujuan untuk memenuhi
keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi barang tersebut.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9
Secara umum pelabuhan memiliki beberapa peran, yakni
sebagai simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan
hierarkinya, pintu gerbang kegiatan perekonomian, tempat kegiatan
alih moda transportasi, penunjang kegiatan industri dan/atau
perdagangan, tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan
atau barang, dan mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan
negara. Sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian, pelabuhan
merupakan sarana perkembangan perekonomian daerah, nasional,
dan kegiatan perdagangan internasional karena suatu kapal dapat
memasuki suatu negara/ daerah melalui pelabuhan negara/daerah
bersangkutan. Selain itu, pelabuhan berfungsi sebagai tempat
kegiatan pemerintahan dan pengusahaan.
Bagi Indonesia pelabuhan memiliki arti penting karena
mendukung kelangsungan sistem transportasi laut yang merupakan
sistem transportasi paling besar di Indonesia. Peran pelabuhan
sangat penting bagi perkembangan sosial dan ekonomi suatu daerah
mengingat pelabuhan merupakan pusat segala kegiatan pelayanan
pelayaran yang meliputi pelayanan terhadap kapal dan muatannya
(penumpang, barang, dan hewan).
2.1.2 Klasifikasi Pelabuhan
Dalam menjalankan perannya, pelabuhan terdiri atas dua
jenis, yakni pelabuhan laut dan pelabuhan sungai dan danau.
Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
pelabuhan laut didefinisikan sebagai pelabuhan yang dapat
digunakan untuk melayani angkutan laut dan/atau angkutan
penyeberangan. Sementara itu, pelabuhan sungai dan danau adalah
pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan sungai dan
danau yang terletak di sungai dan danau (Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan).
Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
membagi pelabuhan laut ke dalam tiga hierarki pelabuhan, yaitu:
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10
1. Pelabuhan utama. Pelabuhan utama adalah pelabuhan yang
fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri
dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan
internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan
penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyebrangan
dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi. Pelabuhan utama
berfungsi sebagai:
a. Pelabuhan internasional adalah pelabuhan utama yang
terbuka untuk perdagangan luar negeri.
b. Pelabuhan hub internasional adalah pelabuhan utama yang
terbuka untuk perdagangan luar negeri dan berfungsi sebagai
pelabuhan alih muat (transshipment) barang antarnegara.
2. Pelabuhan pengumpul. Pelabuhan pengumpul didefinisikan
sebagai pelabuhan yang memiliki fungsi pokok melayani kegiatan
angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri
dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan
penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan
dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.
3. Pelabuhan pengumpan. Pelabuhan pengumpan adalah
pelabuhan yang fungsi pokok melayani kegiatan angkutan laut
dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah
terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan
pelabuhan pengumpul dan sebagai tempat asal tujuan
penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan
dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.
Suyono (2005) mengklasifikasikan jenis-jenis pelabuhan
sebagai berikut:
1. Lingkup Pelayaran yang Dilayani
a. Pelabuhan Hub Internasional, merupakan pelabuhan utama
primer dan berperan sebagai pelabuhan internasional terbuka
untuk perdagangan luar negeri dan berfungsi sebagai alih
muat (transshipment) barang antarnegara.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 11
b. Pelabuhan Internasional, merupakan pelabuhan utama
sekunder dan berperan sebagai tempat alih muat penumpang
dan pusat distribusi peti kemas nasional dan pelayanan
angkutan peti kemas internasional.
c. Pelabuhan Nasional, merupakan pelabuhan utama tersier dan
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang
umum nasional.
d. Pelabuhan Regional, merupakan pelabuhan pengumpan
primer dan berperan sebagai tempat alih muat penumpang
dan barang dari/ke pelabuhan utama dan pelabuhan
pengumpan.
e. Pelabuhan Lokal, merupakan pengumpan sekunder dan
berperan sebagai tempat pelayanan penumpang di daerah
terpencil, terisolasi, perbatasan, daerah perbatasan yang
hanya didukung oleh mode transportasi laut.
2. Penyelenggaraan
Ditinjau dari segi penyelengaraannya, pelabuhan digolongkan
menjadi dua) jenis pelabuhan, yaitu pelabuhan umum dan
pelabuhan khusus.
a. Pelabuhan umum diselenggarakan untuk kepentingan
pelayanan masyarakat umum oleh pemerintah atau Badan
Usaha Pelabuhan.
b. Pelabuhan khusus diselenggarakan untuk kepentingan sendiri
guna menunjang kepentingan tertentu. Umumnya, pelabuhan
khusus dibangun oleh sebuah perusahaan yang berfungsi
sebagai prasarana transportasi bagi distribusi hasil-hasil
produksi perusahaan tersebut.
3. Penggunaan pelabuhan
a. Pelabuhan perikanan
b. Pelabuhan minyak
c. Pelabuhan barang
d. Pelabuhan penumpang
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12
e. Pelabuhan campuran
f. Pelabuhan militer
4. Kondisi Alam
a. Pelabuhan Terbuka. Pelabuhan terbuka adalah pelabuhan
dimana kapal-kapal dapat masuk dan merapat secara
langsung tanpa bantuan pintu-pintu air.
b. Pelabuhan Tertutup. Pelabuhan tertutup adalah pelabuhan
dimana kapal-kapal yang masuk harus melalui beberapa pintu
air.
Di samping itu, Suyono (2005) mengemukakan suatu pelabuhan
dapat dibedakan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Banyaknya muatan yang dikerjakan dalam satu tahun
2. Jumlah harga dari muatan yang dikerjakan dalam satu tahun
3. Banyaknya kapal yang keluar masuk dalam satu tahun
4. Jumlah tempat sandar kapal yang tersedia
5. Besarnya kapal yang dapat dikerjakan oleh pelabuhan
6. Banyaknya peti kemas yang ditangani oleh pelabuhan dalam satu
tahun
2.1.3 Bangunan dan Fasilitas Pelabuhan
Fasilitas pelabuhan terbagi menjadi fasilitas infrastruktur dan
fasilitas suprastruktur. Fasilitas infrastruktur merupakan fasilitas
dasar yang digunakan untuk melayani kapal-kapal, seperti alur
pelayaran dan sarana bantuan navigasi, kolam pelabuhan, break-
water, dermaga/tambatan dan lahan pelabuhan, dsb. Definisi fasilitas
suprastruktur adalah fasilitas dan peralatan tambahan yang
digunakan untuk kelancaran penanganan barang muatan kapal di
pelabuhan seperti gudang/lapangan penumpukan, peralatan bongkar
muat, jaringan jalan, dsb (Apakah Yang Dimaksud Dengan
Pelabuhan , 2011).
Menurut Suyono (2005), pada umumnya bangunan dan
fasilitas yang terdapat pada pelabuhan meliputi:
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13
1. Pemecah gelombang, digunakan untuk melindungi daerah
perairan pelabuhan dari gangguan gelombang. Pemecah
gelombang ini tidak diperlukan bila pelabuhan tersebut telah
terlindungi secara alamiah.
2. Jembatan (jetty) adalah bangunan berbentuk jembatan yang
dibuat menjorok keluar ke arah laut dari pantai atau daratan yang
digunakan untuk menampung sementara barang yang akan
dimuat/ dibongkar dari/ke kapal yang sandar di jembatan itu.
3. Dolphin adalah kumpulan dari tonggak-tonggak yang digunakan
agar kapal dapat bersandar untuk melakukan kegiatan bongkar/
muat ke tongkang.
4. Pelampung pengikat adalah pelampung dimana kapal
ditambatkan untuk melakukan suatu kegiatan.
5. Tempat labuh adalah tempat perairan dimana kapal melego
jangkarnya untuk melakukan kegiatan dan berfungsi sebagai
tempat menunggu untuk masuk ke suatu pelabuhan.
6. Alur pelayaran, berfungsi mengarahkan kapal-kapal yang akan
keluar masuk pelabuhan.
7. Kolam pelabuhan, merupakan daerah perairan dimana kapal
berlabuh untuk melakukan bongkar muat dan gerakan memutar.
8. Dermaga, merupakan bangunan pelabuhan yang digunakan
untuk merapatnya kapal dan menambatkan pada waktu bongkar
muat.
9. Tongkang
10. Rambu Kapal
11. Alat penambat
12. Gudang
13. Gudang terminal
14. Fasilitas bahan bakar kapal
15. Fasilitas pandu kapal
Fasilitas pokok yang pada umumnya terdapat pada wilayah
daratan Pelabuhan laut, terdiri dari dermaga, gudang lini 1, lapangan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14
penumpukan lini 1, terminal penumpang, terminal peti kemas,
terminal Ro-Ro, fasilitas penampungan dan pengolahan limbah,
fasilitas bunker, fasilitas pemadam kebakaran, fasilitas gudang untuk
bahan atau barang berbahaya dan beracun (B3), fasilitas
pemeliharaan dan perbaikan peralatan, serta Sarana Bantu Navigasi
Pelayaran (SBNP). Fasilitas penunjang wilayah daratan pada
Pelabuhan laut, antara lain kawasan perkantoran, fasilitas pos dan
telekomunikasi, fasilitas pariwisata dan perhotelan, instalasi air
bersih, listrik dan telekomunikasi, jaringan jalan dan rel kereta api,
jaringan air limbah, drainase, dan sampah, areal pengembangan
pelabuhan, tempat tunggu kendaraan bermotor, kawasan
perdagangan, kawasan industri, dan fasilitas umum lainnya
(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 61 Tahun 2009
tentang Kepelabuhanan).
Wilayah perairan untuk pelabuhan laut terdiri dari fasilitas
pokok dan fasilitas penunjang. Fasilitas pokok meliputi alur-
pelayaran, perairan tempat labuh, kolam pelabuhan untuk kebutuhan
sandar dan olah gerak kapal, perairan tempat alih muat kapal,
perairan untuk kapal yang mengangkut B3, perairan untuk kegiatan
karantina, perairan alur penghubung intrapelabuhan, perairan pandu,
dan perairan untuk kapal pemerintah. Untuk fasilitas penunjang
meliputi perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang,
perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal,
perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar), perairan tempat
kapal mati, perairan untuk keperluan darurat, dan perairan untuk
kegiatan kepariwisataan dan perhotelan (Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan).
2.1.4 Indikator Kelayakan Pelabuhan
Agar dapat berfungsi dengan baik, maka pelabuhan utama
yang digunakan untuk melayani angkutan laut harus mengikuti
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 15
pedoman ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan sebagai berikut:
1. Kedekatan secara geografis dengan tujuan pasar internasional
2. Kedekatan dengan jalur pelayaran internasional
3. Memiliki jarak tertentu dengan pelabuhan utama lainnya
4. Memiliki luas daratan dan perairan tertentu serta terlindung dari
gelombang
5. Mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu
6. Berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang
internasional
7. Volume kegiatan bongkar muat dengan jumlah tertentu
Di sisi lain, jika pelabuhan utama tersebut digunakan untuk melayani
angkutan penyeberangan maka harus memiliki jaringan jalan
nasional, dan/atau jaringan jalur kereta api nasional.
Indikator kelayakan suatu pelabuhan dapat juga dilakukan
dengan penilaian mengenai kelayakan teknis, kelayakan ekonomi,
kelayakan lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan
sosial daerah setempat, keterpaduan intra- dan antarmoda, adanya
aksesibilitas terhadap hinterland, keamanan dan keselamatan
pelayaran, dan pertahanan dan keamanan. Beberapa indikator lain
yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan kelayakan suatu
pelabuhan, antara lain:
1. Aspek Kelautan
Wilayah pesisir, pantai, muara, dan lautan memiliki dinamika
perairan yang kompleks. Beberapa proses utama yang terjadi di
wilayah pesisir meliputi sirkulasi massa air, percampuran,
sedimentasi, erosi, dan upwelling (Dahuri, et. al., 2001). Perairan
laut lepas berhubungan langsung dengan pantai, dengan
demikian fenomena yang terjadi di laut lepas akan mempengaruhi
prosesproses yang terjadi di wilayah pantai (Gambar 2.1).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16
Gambar 2.1 Skema Hubungan Laut, Pantai, dan Lingkungan Sekitarnya
Sumber: Henny Pratiwi Adi (2008).
2. Aspek Perikanan
Karakteristik dan potensi sumberdaya ikan di suatu perairan
berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya karena
dipengaruhi oleh kondisi hidrografi dan oceanografi. Ketersediaan
sumberdaya ikan di suatu perairan merupakan faktor penting bagi
pengembangan kegiatan perikanan tangkap di wilayah tersebut,
karena tanpa adanya ketersediaan sumberdaya ikan yang
mencukupi atau terbatas maka tidak mungkin dapat
mengembangkan kegiatan perikanan tangkap. Oleh karena itu,
pengembangan perikanan tangkap haruslah memperhatikan
ketersediaan atau potensi sumberdaya ikan yang ada, sehingga
pemanfaatannya tidak merusak lingkungan dan sumberdaya ikan
tetap lestari. Berdasarkan hal itu, pemanfaatan sumberdaya ikan
harus memperhatikan hasil tangkapan lestari (maximum
sustainable yield) yaitu jumlah tangkapan yang dapat dilakukan
untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada.
Namun demikian, dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian
(precautionary approach) dalam pemanfaatan sumberdaya
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17
perikanan, pemerintah telah menetapkan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) yang besarnya 80% dari potensi lestari.
3. Aspek Transportasi
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, transportasi
memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan
bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin
pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah.
Transportasi merupakan sarana untuk memperlancar roda
perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa,
dalam rangka memantapkan perwujudan wawasan nusantara dan
meningkatkan ketahanan nasional, serta mempererat hubungan
antar bangsa.
4. Aspek Lingkungan
Dengan adanya kegiatan atau aktivitas di lokasi dan sekitar lokasi
pelabuhan akan timbul tekanan atau pengaruh terhadap
lingkungan sekitar. Pengaruh yang timbul berasal dari aktivitas
darat maupun aktivitas laut. Aktivitas darat diantaranya berasal
dari kegiatan bongkar muat di darat, sampah-sampah, air limbah
yang berasal dari kegiatan di darat, dan sebagainya. Aktivitas laut
diantaranya berasal dari kegiatan bongkar muat di laut,
ceceran/tumpahan bahan bakar dan minyak pelumas (oli),
sampah-sampah maupun air limbah dari sisa kegiatan di laut, dan
sebagainya. Dari aspek teknis ini akan berdampak terhadap
lingkungan di lokasi pelabuhan dan lokasi sekitar pelabuhan (laut
maupun darat). Dampak yang timbul adalah terjadi pencemaran,
baik itu pencemaran air (air darat dan air laut), pencemaran
tanah, pencemaran udara, maupun pencemaran estetika.
Dampak pencemaran ini mengakibatkan terganggunya ekosistem
makhuk hidup di lokasi sekitar. Dalam jangka pendek, dari aspek
teknis pengaruh terhadap lingkungan akibat pembangunan
maupun keberadaan pelabuhan belum terlalu signifikan. Namun
untuk jangka menengah maupun jangka panjangseiring dengan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 18
peningkatan aktivitas pelabuhan, dampak nyata terhadap
lingkungan akan timbul.
2.1.5 Pelabuhan dan Terminal Khusus yang Terbuka bagi
Perdagangan Luar Negeri
Untuk menunjang kelancaran perdagangan luar negeri,
pelabuhan utama dan terminal khusus tertentu dapat ditetapkan
sebagai pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri
sebagaiamana termaktub dalam Pasal 111 ayat (1) dan (3) Undang-
Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 149 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 61 Tahun 2009.
Penetapan pelabuhan utama dan terminal khusus tertentu yang
terbuka bagi perdagangan luar negeri didasarkan atas pertimbangan
sebagai berikut (Pasal 111 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran dan Pasal 149 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 61 Tahun 2009):
1. Pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional
2. Kepentingan perdagangan internasional
3. Kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional
4. Posisi geografis yang terletak pada lintasan pelayaran
internasional
5. Tatanan Kepelabuhan Nasional yang diwujudkan dalam Rencana
Induk Pelabuhan Nasional
6. Fasilitas pelabuhan
7. Keamanan dan kedaulatan negara
8. Kepentingan nasional lainnya
Adapun persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pelabuhan
utama dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar
negeri (Pasal 111 ayat (4) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran, Pasal 150 dan 151 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 61 Tahun 2009, dan Pasal 59 Keputusan
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 19
Menteri Perhubungan No. KM 54 Tahun 2002 tentang
Penyelenggaraan Pelabuhan Laut), sebagai berikut:
1. Aspek administrasi, adalah rekomendasi dari gubernur, bupati/
walikota, Syahbandar setempat, dan instansi terkait lainnya
seperti dari instansi Bea dan Cukai, Imigrasi dan Karantina,
Kesehatan, serta Perindustrian dan Perdagangan.
2. Aspek ekonomi, adalah menunjang industri tertentu, dengan arus
barang khusus bervolume besar, arus barang umum minimal
10.000/tahun, dan arus barang ekspor minimal 50.000/tahun.
3. Aspek keselamatan dan keamanan pelayaran, adalah
dipenuhinya kedalaman perairan dan kolam pelabuhan, Sarana
Bantu Navigasi-Pelayaran, stasiun radio pantai, termasuk sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia. Kedalaman di muka
dermaga minimal -6 MLWS dan luas kolam cukup untuk olah
gerak minimal tiga buah kapal, dan kapal patroli.
4. Aspek teknis fasilitas kepelabuhanan, adalah fasilitas pokok,
fasilitas penunjang serta fasilitas pencegahan dan
penanggulangan pencemaran.
5. Fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang
fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai,
imigrasi, dan karantina,
6. Jenis komoditas khusus.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 20
Tabel 2.1 Persyaratan Penentapan Pelabuhan yang Terbuka bagi Perdagangan Luar Negeri
Sumber: Kementerian Perhubungan
Pada tahun 2008 pemerintah telah melakukan pengurangan
jumlah pelabuhan terbuka bagi perdagangan luar negeri dari total
141 pelabuhan menjadi 25 pelabuhan dengan tujuan agar
pengelolaan pelabuhan lebih efisien, selain untuk mencegah
penyalahgunaan pelabuhan untuk kegiatan perdagangan ilegal
seperti penyelundupan. Pengurangan tersebut telah
mempertimbangkan berbagai aspek, yang meliputi keamanan,
efisiensi, kepentingan daerah, aktivitas ekspor-impor nonmigas, dan
infrastruktur pendukung, dan pengontrolan secara efektif (Investor
Daily, 2008). Dari 25 pelabuhan itu dua diantaranya berada di
Sulawesi, masing-masing lima pelabuhan di Sumatera dan Jawa,
empat pelabuhan di Kalimantan, dan masing-masing satu pelabuhan
di Nusa Tenggara Timur, Bali, Maluku, Papua, dan Batam (Tabel
2.2).
Kriteria Persyaratan
1. Aspek Administrasi
a. Rekomendasi dari Gubernur, Bupati/Walikota
b. Rekomendasi dari pejabat pemegang fungsi keselamatan pelayaran di Pelabuhan
c. Rekomendasi dari instansi terkait lainnya
2. Aspek Ekonomi
a. Menunjang Industri Tertentu
b. Arus Barang Umum Minimal 10.000 ton/tahun
c. Arus barang ekspor minimal 50.000 ton/tahun
3. Aspek Keselamatan dan Keamanan Pelayaran
a. Kedalaman perairan minimal -6 meter LWS
b. Luas kolam cukup untuk olah gerak minimal 3 unit kapal (lebih dari 1.200 m2)
c. Sarana bantu navigasi
d. Stasiun radio operasi pantai
d. Prasarana, sarana dan sumber daya manusia pandu
e. Kapal patroli
4. Aspek Teknis Fasilitas Kepelabuhanan
a. Dermaga beton permanen minimal
b. Gudang tertutup
c. Peralatan bongkar muat
d. PMK (pemadam kebakaran) 1 unit kapasitas
e. Fasilitas bunker (BBM)
f. Fasilitas pencegahan pencemaran
5. Aspek Fasilitas Kantor Dan Peralatan Penunjang Bagi Instansi Pemegang Fungsi
Keselamatan Dan Keamanan Pelayaran, Instansi Bea Cukai, Imigrasi, Dan
Karantina
6.Jenis Komoditas Khusus
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 21
Tabel 2.2 Daftar 25 Pelabuhan Strategis Indonesia
Sumber: Kementerian Perhubungan (2014).
2.1.6 Dampak Globalisasi terhadap Transportasi dan Logistik
Christopher (1998) mengemukakan dampak globalisasi bisnis
terhadap logistik, yakni semakin panjang jarak transportasi kepada
konsumen, maka semakin besar biaya transportasi yang dikeluarkan.
Hal ini mengakibatkan semakin berkurangnya biaya produksi
(Gambar 2.2). Di sisi lain, kondisi tersebut menimbulkan trade-off di
antara menabung biaya produksi dan pengeluaran biaya transportasi.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 22
Gambar 2.2 Dampak Globalisasi Bisnis terhadap Transportasi dan Logistik
Sumber: Christopher (1998).
Sebagai konsekuensi, pengembangan bisnis secara
internasional, transportasi internasional dan jaringan distribusi
internasional akan menghadapi beberapa tantangan, di antaranya
banyaknya waktu yang dibutuhkan, lebih banyak ketidaktepatan,
lebih banyak pilihan, dan kurang aman. Untuk menghadapi beberapa
tantangan tersebut, maka perlu dilakukan mitigasi dengan
menerapkan beberapa solusi logistik global dengan struktur dan
kontrol: pengambilan keputusan secara sentral dan desentralisasi,
manajemen pelayanan berbasis selera lokal dan panduan global, dan
outsourcing serta kemitraan.
Pengembangan logistik internasional dengan strategi
penempatan terminal pelabuhan dapat memegang peranan penting
dan menjadi salah satu solusi dalam menghadapi tantangan
pengembangan bisnis, transportasi, logistik dan jaringan distribusi
internasional. Hal ini dikarenakan Pelabuhan mendukung
perekonomian dan bertujuan untuk membantu meningkatkan posisi
dan daya saing Pelabuhan. Untuk mengevaluasi daya saing
pelabuhan, maka terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dan
dievaluasi sebagai berikut:
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 23
1. Pilihan transportasi (kemampuan teknis pelabuhan, ketersediaan
koneksi di darat (inland), keseluruhan biaya sistem transportasi)
2. Kinerja operasional (dermaga hunian, waktu tunggu kapal, dan
rasio utilisasi berth terhadap keseimbangan penawaran/
permintaan)
3. Perbandingan tarif (perkembangan tingkat tarif secara historis,
perbandingan tarif dengan beberapa Pelabuhan di negara yang
sama, dan perbandingan tarif secara teoritis berdasarkan model
biaya Pelabuhan)
4. Kinerja keuangan (keuntungan keuangan, tingkat pengembalian
modal (Return on Equity, ROE), dan tingkat pengembalian aset
(Return on Assets, ROA))
Di samping itu, beberapa faktor yang memegang peranan penting
dalam kesuksesan suatu Pelabuhan sebagai suatu noda
transportasi sebagai berikut:
1. Akses Kapal (kedalaman yang cukup, kanal terdekat, dan akses
dermaga)
2. Kapasitas terminal (efisiensi operasional dalam menangani
kontainer, tingkat penanganan kargo)
3. Ketersediaan pelayanan feeder yang sering
4. Koneksi Pelabuhan di darat: truk, kereta api, dan kapal tongkang
2.2 Tinjauan tentang Perdagangan Internasional
2.2.1 Teori Perdagangan Internasional
Krugman dan Obstfeld (2003) menjelaskan bahwa terdapat
dua alasan utama setiap negara melakukan perdagangan
internasional. Alasan pertama, negara-negara melakukan
perdagangan internasional adalah karena mereka berbeda satu
sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-
individu, selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-
perbedaan di antara mereka melalui suatu pengaturan sedemikian
rupa sehingga setiap pihak dapat melakukan sesuatu secara relatif
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 24
lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satu-sama lain dengan
tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala
ekonomis (economics of scale) dalam produksi. Seandainya setiap
negara dapat membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan
sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang
memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya,
sehingga mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam
skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan dengan jika
negara tersebut mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang
secara sekaligus. Dalam dunia nyata, pola-pola perdagangan
internasional mencerminkan adanya interaksi yang terus-menerus
dari kedua motif dasar di atas.
Perdagangan internasional, dijelaskan juga oleh Krugman dan
Obstfeld (2003), dapat meningkatkan output dunia karena
memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang mereka
kuasai keunggulan komparatifnya. Suatu negara memiliki keunggulan
komparatif (comparative advantage) dalam memproduksi suatu
barang kalau biaya pengorbanannya dalam memproduksi barang
tersebut (dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-
negara lainnya. Ada keterkaitan yang terpisahkan antara konsep
keunggulan komparatif dengan perdagangan internasional, yaitu
perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah
pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor
produk yang keunggulan komparatifnya ia kuasai.
Salvatore (1997) berpendapat bahwa terdapat beberapa hal
yang mendorong terjadinya perdagangan internasional diantaranya
dikarenakan perbedaan permintaan dan penawaran antar negara.
Perbedaan ini terjadi karena: (a) tidak semua negara memiliki dan
mampu menghasilkan komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-
faktor alam negara tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis
dan kandungan buminya dan (b) perbedaan pada kemampuan suatu
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 25
negara dalam menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih
efisien.
Perdagangan internasional antar dua negara yang terjadi
akibat dari perbedaan permintaan dan penawaran dapat dilihat pada
Gambar 1 yang mengambarkan perdagangan antara Negara P dan
Negara Q. DP dan SP adalah kurva permintaan dan penawaran untuk
Negara P. Sedangkan DQ dan SQ adalah kurva permintaan dan
penawaran untuk Negara Q.
Pada kondisi dimana kedua negara tidak dalam perdagangan,
produksi dan konsumsi Negara P untuk suatu komoditi (misalnya
tekstil) berada pada keseimbangan di titik A, berdasarkan harga
relatif sebesar P1. Pada Negara Q produksi dan konsumsinya terjadi
pada titik keseimbangan A dengan tingkat harga P3. Kondisi ini
dengan asumsi bahwa harga domestik di Negara P lebih rendah
dibandingkan dengan harga di Negara Q ( P1
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 26
lain pihak jika harga yang berlaku lebih kecil dari P3, maka Negara Q
akan mengalami peningkatan permintaan (karena konsumen akan
meminta lebih banyak pada tingkat harga yang relatif murah),
sehingga tingkat permintaannya lebih tinggi daripada produksi
domestiknya. Hal ini akan mendorong Negara Q untuk mengimpor
kekurangan kebutuhannya atas komoditi tekstil tersebut dari Negara
yang mengalami kelebihan produksi komoditi tekstil yaitu Negara P.
Berdasarkan harga relatif P1, kuantitas komoditi tekstil yang
ditawarkan akan sama dengan kuantitas yang diminta. Pada saat
berlangsungnya perdagangan internasional antara Negara P dan Q
tingkat harga berada di titik P2 dan mengambil asumsi bahwa tidak
ada biaya transportasi dalam proses perdagangan tersebut, maka
Negara P akan mengekspor hasil kelebihan produksinya yang
ditunjukkan oleh garis BE. Sementara itu karena tingkat harga yang
berlaku di pasar internasional lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat harga domestik Negara Q, maka Negara Q akan mengimpor
kekurangan produksinya sebesar garis BE. Hubungan penawaran
dan permintaan kedua negara tersebut pada tingkat harga P2 akan
menyebabkan terjadinya keseimbangan internasional di titik E*
(Panel B). Kurva S dan D pada panel B menunjukkan tinkat
penawaran dan permintaan yang terjadi dalam perdagangan
internasional. Pada tingkat keseimbangan, kuantitas ekspor yang
ditawarkan oleh Negara P sama dengan yang diminta oleh Negara Q
(BE = BE).
Masngudi (2006) menjelaskan bahwa pengertian perdagangan
dalam ilmu ekonomi adalah suatu proses tukar menukar yang
didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak. Aspek
sukarela ini penting karena memiliki implikasi fundamental, hal ini
dilakukan apabila setiap pihak memperoleh manfaat dan tidak ada
pihak yang merasa dirugikan. Motif pertukaran adalah adanya
manfaat dari perdagangan (gains from trade) yang ditunjukkan oleh
garis D-E pada Gambar 2.4.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 27
Gambar 2.4 Gains from Trade
Sumber: Diktat Kuliah Prof. Masngudi (2006)
Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional
adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri.
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil
produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya
adalah kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan teknologi dan
lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap
negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi
sendiri.
2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan
perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan
yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat
memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang
diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila
negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
3. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para
pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya)
dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan
produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka.
Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 28
menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual
kelebihan produk tersebut keluar negeri.
4. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri
memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi
yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern
Teori perdagangan internasional telah mengalami
perkembangan. Masngudi (2006) menjelaskan bahwa pada abad ke-
16 dan 17 telah berkembang suatu sistem kebijakan ekonomi yang
dilakukan oleh para negarawan di Eropa, yang oleh Adam Smith
disebut dengan sistem merkantilisme (merchantilism). Aliran
Merkantilis mempunyai tujuan utama untuk mendirikan negara
nasional yang kuat dan memupuk kemakmuran nasional.
Perdagangan internasional diharapkan harus selalu terjadi surplus
neraca perdagangan, sehingga terjadi pengumpulan logam mulia
yang diidentikkan dengan kemakmuran. Pemerintah membuat
peraturan di bidang perdagangan bagi kepentingan nasionalnya,
yakni untuk mendorong ekspor dan mengurangi serta membatasi
impor (khususnya impor barang-barang mewah). Di samping itu,
pemerintah akan mendorong output dan kesempatan kerja nasional.
Dalam hubungan ini, Adam Smith telah melemparkan kritik-
kritiknya, baik yang menyangkut pengertian kekayaan, masalah
surplus neraca perdagangan, maupun masalah campur tangan
pemerintah yang demikian besar di bidang perdagangan. Teori pra-
klasik atau merkantilisme dianggap tidak relevan, selanjutnya
muncullah teori keunggulan absolut (absolute advantage theory) dari
Adam Smith. Adam Smith berpendapat bahwa kemakmuran suatu
negara bukan ditentukan oleh banyaknya logam mulia yang
dimilikinya, tetapi ditentukan oleh sumber daya ekonomi dan produksi
hasil tenaga kerja. Keuntungan perdagangan internasional
tergantung pada produktivitas tenaga kerja yang dimiliki oleh masing-
masing negara dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya.
Semakin tinggi produktivitas dan efisiensi, maka negara akan dapat
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 29
lebih menekan ongkos-ongkos produksinya. Negara akan
mengekspor barang tertentu karena negara tersebut bisa
menghasilkan barang dengan biaya yang secara mutlak lebih murah
daripada negara lain. Menurut Adam Smith, peranan pemerintah
harus dikurangi guna menciptakan perdagangan bebas. Dengan
adanya perdagangan bebas, maka akan menimbulkan persaingan
yang semakin ketat. Hal ini akan mendorong masing-masing negara
untuk melakukan spesialisasi dan pembagian kerja internasional
berdasarkan keunggulan absolutnya. Melalui perdagangan
internasional akan diperoleh barang yang lebih banyak, lebih
bervariasi, meningkatkan konsumsi dan demikian pula peningkatan
kemakmuran (Masngudi, 2006).
David Ricardo menilai bahwa teori keunggulan absolut yang
dikemukakan oleh Adam Smith memiliki kelemahan. David Ricardo
berusaha menyempurnakan kelemahan dalam teori keunggulan
absolut dengan teori keunggulan komparatif (comparative advantage
theory). Menurut teori keunggulan komparatif, nilai penukaran suatu
barang didasarkan pada biaya komparatif dan nilai
kegunaan/manfaat. Dengan teori keunggulan komparatif, masing-
masing negara akan mengambil sesuatu yang relatif efisien.
Perdagangan antarnegara akan terjadi jika masing-masing negara
memperoleh manfaat dengan spesialisasi yang lebih efisien. Dengan
adanya spesialisasi, maka akan terjadilah pembagian kerja
internasional yang makin efisien, realokasi faktor-faktor produksi, dan
mobilitas faktor-faktor produksi di dalam negeri yang pada akhirnya
mendorong terjadinya persaingan di pasar faktor produksi. Walaupun
suatu negara memiliki keunggulan absolut, perdagangan akan tetap
menguntungkan bagi kedua negara.
John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan
komparatif dengan menyatakan bahwa suatu negara akan
menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang
memiliki keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor barang
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 30
yang memiliki ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang dapat
dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau
dihasilkan sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata
lain, dasar tukar perdagangan internasional yang sebenarnya
ditentukan oleh permintaan timbal balik. Hal ini akan stabil bilamana
nilai ekspor suatu negara cukup untuk membayar nilai impornya.
Berdasarkan teori ini, nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya
tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut
sedangkan dasar nilai pertukaran ditentukan dengan batas-batas
nilai tukar masing-masing barang di dalam negeri (Masngudi, 2006).
Teori Heckscher-Ohlin (H-O), yang merupakan teori
perdagangan internasional modern, mencoba menjawab kelemahan
teori klasik keunggulan komparatif dalam menjelaskan mengenai
penyebab perbedaan produktivitas. Menurut Heckscher-Ohlin,
penyebab perbedaan produktivitas dikarenakan adanya jumlah atau
proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) oleh
masing-masing negara, sehingga selanjutnya menyebabkan
terjadinya perbedaan harga barang yang dihasilkan. Oleh karena itu,
teori modern H-O dikenal dengan The Proportional Factor Theory.
Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau
murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi
untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing
negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut
memiliki faktor produksi yang realtif langka atau mahal dalam
memproduksinya (Darwanto). Di samping itu, penyebab perbedaan
produktivitas lainnya adalah faktor intensitas (factor intensity), yaitu
teknologi yang digunakan di dalam proses produksi (labor intensity
atau capital intensity). Teori H-O menggunakan dua kurva, yaitu
kurva isocost (kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang
sama) dan kurva isoquant (kurva yang menggambarkan total
kuantitas produk yang sama). Kelemahan dari teori H-O yaitu jika
jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 31
negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula
sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.
Studi empiris Wassily Leontief pada tahun 1953
mengemukakan fakta struktur perdagangan luar negeri Amerika
Serikat pada tahun 1947 bertentangan dengan teori H-O. Pada tahun
tersebut Amerika Serikat cenderung mengekspor produk padat
tenaga kerja dan mengimpor produk padat modal padahal secara
umum Amerika Serikat diasumsikan sebagai negara yang relatif
memiliki banyak modal dan tenaga kerja yang lebih sedikit
dibandingkan dengan negara lain. Pertentangan kesimpulan ini
kemudian dikenal dengan sebutan Paradoks Leontief. Berdasarkan
penelitian lebih lanjut yang dilakukan ahli ekonomi perdagangan
ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena empat sebab
utama, yaitu intensitas faktor produksi yang berkebalikan, tarif dan
hambatan non tarif, perbedaan dalam skill dan human capital, dan
perbedaan faktor sumber daya alam. Adapun kelebihan dalam teori
ini adalah jika suatu negara memiliki banyak tenaga kerja terdidik,
maka ekspornya akan lebih banyak. Sebaliknya, jika suatu negara
kurang memiliki tenaga kerja terdidik, maka ekspornya akan lebih
sedikit.
Opportunity cost digambarkan sebagai production possibility
curve (PPC) yang menunjukkan kemungkinan kombinasi output yang
dihasilkan suatu Negara dengan sejumlah faktor produksi secara full-
employment. Dalam hal ini bentuk PPC akan tergantung pada
asumsi tentang opportunity cost yang digunakan, yaitu PPC Constant
cost dan PPC increasing cost.
Offer Curve/Reciprocal Demand (OC/RD) diperkenalkan
pertama kali oleh dua ekonom Inggris, yaitu Marshall dan Edgeworth
yang menggambarkan sebagai kurva yang menunjukkan kesediaan
suatu Negara untuk menawarkan/menukarkan suatu barang dengan
barang lainnya pada berbagai kemungkinan harga. Kelebihan dari
offer curve yaitu masing-masing negara akan memperoleh manfaat
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 32
dari perdagangan internasional yaitu mencapai tingkat kepuasan
yang lebih tinggi. Permintaan dan penawaran pada faktor produksi
akan menentukan harga faktor produksi tersebut dan dengan
pengaruh teknologi akan menentukan harga suatu produk. Pada
akhirnya semua itu akan bermuara kepada penentuan keunggulan
komparatif dan pola perdagangan suatu negara. Kualitas sumber
daya manusia dan teknologi adalah dua faktor yang senantiasa
diperlukan untuk dapat bersaing di pasar internasional. Teori
perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori modern yaitu
teori offer curve.
Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu
keuntungan bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-
keuntungan dari perdagangan internasional adalah: tercipta
persaingan di pasar internasional yang mendorong efisiensi dunia,
spesialisasi dalam menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik
dari segi bahan maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan,
cadangan devisa, transfer modal, dan bertambahnya kesempatan
kerja. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pendorong semua
negara di dunia untuk melakukan perdagangan luar negeri dan yang
terpenting diantaranya adalah (Sukirno, 2004): (1) Memperoleh
barang yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri; (2) Mengimpor
teknologi yang lebih modern dari negara lain; (3) Memperluas pasar
produk-produk dalam negeri; dan (4) Memperoleh keuntungan dari
spesialisasi. Keuntungan-keuntungan perdagangan tersebut
mendorong seluruh negara di dunia untuk mengaplikasikan
perdagangan internasional yang menekan biaya ekonomi serendah
mungkin. Hal inilah yang kemudian menjadi latar belakang
tumbuhnya semangat liberalisasi bagi negara-negara seluruh dunia
yang tergabung dalam WTO.
Komposisi, arah dan bentuk perdagangan internasional atau
kegiatan perdagangan internasional suatu negara tidak terlepas dari
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 33
segala tindakan pemerintahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kebijakan perdagangan internasional memiliki implikasi
yang sangat luas, tidak hanya dalam volume dan komposisi impor
dan ekspor, tetapi juga pola investasi dan arah pengembangan,
tetapi juga kondisi persaingan, kondisi biaya, sikap pebisnis dan
wirausahawan, pola konsumsi, dsb. Oleh karena itu, kebijakan
perdagangan internasional sangat penting dalam keputusan
kebijakan ekonomi suatu negara dan kebijakan ini hanya salah satu
bagian kebijakan makroekonomi yang harus dikombinasikan dan
bersifat mendorong pembangunan perekonomian suatu negara.
Kebijakan perdagangan internasional dapat ditujukan untuk
melindungi industri dalam negeri yang sedang tumbuh (infant
industry) dan persaingan-persaingan barang-barang impor. Adapun
tujuan kebijakan perdagangan internasional yang bersifat proteksi
adalah memaksimalkan produksi dalam negeri, memperluas
lapangan kerja, memelihara tradisi nasional, menghindari resiko yang
mungkin timbul jika hanya menggantungkan diri pada satu komoditi
dikhawatirkan akan terganggu jika bergantung pada negara lain.
Proteksi dapat dilakukan dengan penerapan berbagai instrumen
kebijakan perdagangan internasional berupa hambatan perdagangan
tarif maupun non tarif.
Kebijakan perdagangan internasional tidak hanya bersifat
untuk melindungi, tetapi juga mendukung kebijakan perdagangan
bebas yang memungkinkan bila setiap negara berspesialisasi dalam
memproduksi barang di mana suatu negara memiliki komparatif.
Pendukung kebijakan perdagangan bebas menekankan bahwa
kebijakan perdagangan bebas akan mengarah pada efisiensi dan
akan meningkatkan kesejahteraan nasional. Setelah Perang Dunia II
peranan perdagangan internasional mengarah pada kebijakan
perdagangan bebas. Hal ini ditandai dengan terbentuknya the
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang
melatarbelakangi lahirnya perundingan pengurangan tarif secara
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 34
multilateral melalui Most Favoured Nation (MFN) kepada seluruh
anggota GATT. Tidak hanya dalam kerangka pengurangan tarif,
pada Putaran Uruguay (1986-1993), tetapi juga mencakup subsidi,
countervailing measures, anti-dumping, technical barriers to trade,
government procurement, dll (Gandolfo, 1998).
Kini peranan GATT digantikan oleh World Trade Organization
(WTO) yang terakhir telah menggelar Putaran Doha. Dewasa ini,
WTO merupakan kerjasama perdagangan bebas dalam tataran
multilateral, bersifat non-diskriminasi, dan resiprokal. Tak hanya
melalui pengurangan tarif bea masuk secara multilateral, upaya
liberalisasi perdagangan dijalin melalui kebijakan kerjasama
perdagangan secara regional dan bilateral. WTO tidak hanya
mencakup perdagangan barang semata, melainkan meliputi juga
perdagangan jasa yang terkait dengan aspek kekayaan intelektual.
Beberapa dasawarsa terakhir terjadi perluasan baik dalam
pengenaan hambatan perdagangan non tarif dan kebijakan
diskriminasi komersial (preferential trading agreement, PTA).
2.2.2 Teori Permintaan Impor
Impor adalah kegiatan mendatangkan barang maupun jasa
dari luar negeri ke dalam wilayah pabean suatu negara. Akan tetapi,
dalam pencatatan statistik impor tidak mencakup: (1) pakaian dan
barang-barang perhiasan milik penumpang, (2) barang-barang
penumpang untuk dipakai sendiri kecuali lemari es, pesawat TV dsb,
(3) barang-barang yang diimpor untuk keperluan perwakilan
(kedutaan) suatu negara, (4) uang dan surat-surat berharga, (5)
barang-barang pameran, contoh atau sampel dan (6) barang-barang
yang dikirim keluar negeri untuk diperbaiki (BPS, 2010).
Pada dasarnya, impor suatu produk terjadi karena tiga alasan.
Pertama, produksi dalam negeri terbatas sedangkan permintaan
domestik tinggi. Impor hanya sebagai pelengkap. Keterbatasan
produksi dalam negeri tersebut dikarenakan dua hal, yakni (a)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 35
kapasitas produksi terbatas (titik optimum dalam skala ekonomi telah
tercapai) atau (b) pemakaian kapasitas terpasang masih di bawah
kapasitas maksimal. Kedua, impor lebih murah dibandingkan dengan
harga dari produk sendiri yang dikarenakan ekonomi biaya tinggi
atau tingkat efisiensi yang rendah. Ketiga, impor lebih
menguntungkan karena produksi dalam negeri ditujukan untuk
ekspor dan harga ekspornya lebih tinggi sehingga dapat
mengkompensasi biaya yang dikeluarkan untuk impor.
Pada prinsipnya, impor dapat dipandang sebagai suatu fungsi
permintaan. Oleh karena itu, suatu negara juga melakukan impor
baik terhadap barang-barang maupun jasa-jasa yang dihasilkan oleh
negara lain, pada dasarnya juga telah melakukan suatu permintaan
terhadap barang dan jasa tersebut. Seperti diketahui, di dalam suatu
teori permintaan terdapat variabel-variabel yang mempengaruhi
impor sebagai fungsi permintaan akan dijelaskan secara singkat
berikut ini:
1. Harga
Teori ekonomi mengatakan bahwa sesuai hukum permintaan,
kurva permintaan mempunyai kemiringan negatif dimana jumlah
permintaan sangat tergantung pada harga barang. Ketika harga
suatu komoditas mengalami kenaikan, ceteris paribus, pembeli
cenderung berkurang melakukan pembelian suatu komoditas.
Sebaliknya, ketika harga jauh lebih rendah, kuantitas permintaan
meningkat (Samuelson,1983). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah
permintaan sangat tergantung pada harga barang tersebut.
Dengan kata lain harga barang akan menentukan jumlah
permintaan terhadap suatu barang.
2. Tingkat Pendapatan
Samuelson (1983) mengatakan bahwa permintaan akan suatu
barang juga dipengaruhi oleh rata-rata pendapatan nasional,
jumlah populasi, harga dan ketersediaan barang-barang terkait
lainnya. Ketika tingkat pendapatan mengalami peningkatan,
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 36
masyarakat cenderung banyak membeli barang-barang
(Samuelson, 1983). Hal ini dikemukakan juga oleh Lindert dan
Kindleberger yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
permintaan dengan tingkat pendapatan nasional suatu bangsa,
khususnya permintaan akan barang dan jasa dari luar negeri atau
impor.
3. Nilai Tukar Mata Uang Asing
Dalam perdagangan internasional yang melibatkan dua negara
yang berbeda mengharuskan penggunaan alat pembayaran suatu
mata uang yang dapat diterima di kedua negara baik negara yang
mengekspor maupun negara yang mengimpor barang dan jasa
tersebut. Dalam hal ini perubahan nilai tukar mata uang
mempengaruhi secara relatif suatu barang.
4. Selera
Selera atau pola preferensi konsumen pada umumnya berubah
dari waktu ke waktu. Naiknya intensitas keinginan seseorang
terhadap suatu barang tertentu pada umumnya berakibat naiknya
jumlah permintaan terhadap barang tersebut. Begitu pula
sebaliknya, turunnya selera konsumen terhadap suatu barang
akan berakibat turunnya jumlah permintaan.
5. Harga barang-barang lain yang sejenis dan barang pelengkap
(subtusi dan komplementer)
Barang-barang konsumen pada umumnya mempunyai kaitan
penggunaan antara satu dengan yang lain. Kaitan penggunaan
antar kedua barang konsumsi pada dasarnya dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu saling mengganti (substitute relation)
dan saling melengkapi (complementarity relation). Dua barang
dikatakan mempunyai hubungan yang saling mengganti adalah
apabila naiknya harga salah satu barang mengakibatkan naiknya
permintaan terhadap barang yang lain. Untuk hubungan yang
saling melengkapi adalah apabila naiknya harga salah satu
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 37
barang mengakibatkan turunnya permintaan terhadap barang
yang lain.
Impor sebagai salah satu komponen dari perdagangan
internasional mempunyai dua persoalan. Pertama, jika nilai impor
lebih besar dari ekspor, maka akan mengakibatkan defisit neraca
perdagangan cadangan devisa akan berkurang. Kedua jika sebagian
besar dari barang impor adalah barang konsumsi, bukan barang
modal maupun bahan baku/penolong yang akan digunakan untuk
proses produksi dalam negeri, maka kenaikan impor tidak banyak
mendorong bagi pertumbuhan ekspor.
Kebijakan impor merupakan salah satu instrumen strategis
untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas.
Penerbitan kebijakan impor digunakan sebagai instrumen
menertibkan arus barang masuk dan melindungi kepentingan
nasional dari pengaruh masuknya barang-barang negara lain dengan
tujuan untuk menjaga dan mengamankan aspek K3LM (Kesehatan,
Keselamatan, Keamanan Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa),
melindungai dan meningkatkan pendapatan petani, mendorong
penggunaan barang dalam negeri, dan meningkatkan ekspor
nonmigas (Widayanto, 2011).
Pada umumnya, kebijakan impor dapat dikelompokkan
menjadi dua, yakni kebijakan tarif dan kebijakan hambatan non-tarif.
Tarif merupakan pengenaan pajak atau custom duties terhadap
barang-barang yang melewati batas suatu negara. Dilihat dari aspek
asal komoditi (barang/produk), ada dua macam tarif, yaitu
(Salvatore,1997) :
1. Tarif impor, adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi
yang diimpor dari negara lain.
2. Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang diekspor.
Sementara bila ditinjau dari mekanisme perhitungannya, ada tiga
jenis tarif, yaitu:
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 38
1. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka
persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor.
2. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap per unit barang yang
diimpor.
3. Tarif campuran adalah gabungan antara tarif ad valorem dengan
tarif spesifik.
Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling
tua dan secara tradisional telah digunakan sebagai sumber
penerimaan pemerintah sejak lama. Maksud utama pengenaan tarif
biasanya tidak semata-mata untuk memperoleh pendapatan
pemerintah, melainkan juga sebagai alat untuk melindungi sektor-
sektor tertentu di dalam negeri dan mengurangi tekanan persaingan
produk impor. Tarif pun bertujuan untuk pemerataan distribusi
pendapatan nasional (C. Kebijaksanaan Impor). Efek kebijakan
impor ini terlihat langsung pada kenaikan harga barang, konsumsi,
produk yang diproteksi, dan restribusi pendapatan. Pada saat ini
peranan tarif telah mengalami penurunan. Hal ini disebabkan
pemerintah dari berbagai negara lebih suka dan terbiasa melindungi
sektor industri domestik mereka dengan memberlakukan berbagai
macam dan bentuk hambatan non-tarif seperti kuota impor ataupun
kuota ekspor (Krugman dan Obstfeld, 2003).
Kebijakan hambatan non-tarif adalah kebijakan perdagangan
selain kebijakan tarif yang dapat menimbulkan distorsi sehingga
mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional. Kebijakan
hambatan non-tarif juga dapat didefinisikan sebagai langkah-langkah
kebijakan yang memiliki efek membatasi perdagangan tanpa
melanggar hukum perdagangan internasional. Penggunaan
kebijakan hambatan non-tarif bertujuan untuk mencapai efektivitas,
konsistensi, kepastian, dan perlindungan perdagangan. Selain itu,
kebijakan hambatan non-tarif tersebut ditujukan untuk melindungi
kesehatan, keamanan, keselamatan, sanitasi, nutrisi, keagamaan,
atau untuk melindungi sumber daya alam yang tidak dapat
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 39
diperbaharui dan tidak menciptakan hambatan perdagangan yang
tidak berguna.
Kebijakan hambatan non-tarif (non tariff measures, NTMs)
mencakup berbagai jenis, yakni kuota impor, subsidi pemerintah,
SPS, hambatan teknis, larangan, dan lain-lain. NTMs dapat
mencakup persyaratan dokumentasi dan biaya kepabeanan serta
pengaturan kebijakan seperti penerapan standar. Sedangkan
klasifikasi kebijakan non-tarif menurut OECD adalah mencakup, para
tariff measures, price control measures, finance measures, automatic
licensing measures, quantity control measures, monopolistic
measures, technical measures, dan miscellaneous measures.
Salah satu bentuk hambatan impor bukan tarif adalah kuota.
Kuota adalah pembatasan secara langsung jumlah fisik terhadap
barang yang masuk (kuota impor) dan keluar (kuota ekspor).
Pemberlakuan kuota impor memberikan dampak-dampak terhadap
konsumsi dan produksi seperti yang ditimbulkan oleh penerapan tarif
impor yang setara. Penyesuaian terhadap setiap pergeseran dalam
kurva permintaan atau kurva penawaran sehubungan dengan
adanya kuota impor akan terjadi pada kuantitas domestik sedangkan
jika yang diberlakukan adalah tarif impor, maka penyesuaian
tersebut akan terjadi pada harga-harga komoditas impor. Secara
umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif impor yang
setara. Kuota impor biasanya dikenakan terhadap bahan mentah
sebagai barang perdagangan penting serta di bawah suatu
pengawasan badan internasional. Krugman dan Obstfeld (2003)
menyatakan bahwa dengan menerapkan kuota, pemerintah tidak
memperoleh pendapatan secara langsung.
2.2.3 Kebijakan Impor Produk Tertentu di Indonesia
Kebijakan impor selalu menjadi perhatian utama bagi
Indonesia. Hal tersebut terkait dengan luasnya kondisi dan besarnya
potensi pasar dalam negeri yang yang dimiliki oleh bangsa
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 40
Indonesia. Tak hanya itu, kebijakan impor hampir selalu menjadi isu
sensitif terutama bila dikaitkan dengan upaya hubungan kerja sama
perdagangan internasional. Kebijakan impor Indonesia akan
berpengaruh secara langsung terhadap kelancaran arus
perdagangan barang yang terikat perjanjian kerja sama perdagangan
internasional dengan Indonesia.
Pada dasarnya, kebijakan impor Indonesia disusun sebagai
upaya perlindungan konsumen dan kepentingan nasional yang
terkait dengan aspek kesehatan keselamatan, keamanan,
lingkungan hidup dan moral bangsa (K3LM). Selain itu, pemerintah
menggunakan kebijakan impor sebagai salah satu instrumen
strategis untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih
luas lagi, yakni melindungi dan meningkatkan pendapatan petani,
mendorong penggunaan produk dalam negeri, dan meningkatkan
ekspor nonmigas.
Krisis ekonomi global yang telah mengakibatkan
ketidakpastian dan menimbulkan dampak negatif yang tidak
menguntungkan bagi perekonomian Indonesia pada tahun 2008
telah mendorong pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah
kebijakan di bidang impor atas beberapa produk tertentu dalam
rangka untuk mendorong terciptanya persaingan usaha yang sehat
dan pelaksanaan perlindungan konsumen, yang salah satunya
melalui penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.
44/M-DAG/PER/10/2008 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
Melalui Permendag No. 44/M-DAG/PER/10/2008, impor atas Produk
Tertentu (Elektronika, Pakaian Jadi, Mainan Anak-anak, Alas Kaki,
dan Produk Makanan dan Minuman) hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan yang telah memenuhi persyaratan dan mendapatkan
penunjukan sebagai Importir Terdaftar Produk Tertentu (IT-Produk
Tertentu) dan hanya dapat dilakukan melalui pelabuhan laut
(Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta, Tanjung Emas di
Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, dan Soekarno-Hatta di
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 41
Makassar) dan/atau seluruh pelabuhan udara internasional. Impor
Produk Tertentu oleh IT-Produk Tertentu untuk kebutuhan kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas diatur sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai kawasan perdagangan
bebas dan pelabuhan bebas. Permendag tersebut mulai berlaku
tanggal 15 Desember 2008 dan berakhir pada tanggal 31 Desember
2010.
Dalam perkembangannya, pemerintah telah mengubah
beberapa kali Permendag No. 44/M-DAG/PER/10/2008
sebagaimana telah disempurnakan dengan Permendag No. 52/M-
DAG/PER/12/2008. Permendag No. 52/M-DAG/PER/12/2008 dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diterbitkannya Permendag
No. 56/M-DAG/PER/12/2008 tentang Ketentuan Impor Produk
Tertentu untuk mendukung upaya mempertahankan pertumbuhan
ekonomi Indonesia dalam mendorong terciptanya perdagangan yang
sehat dan iklim usaha yang kondusif yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2010. Jika
dibandingkan dengan Permendag sebelumnya, terdapat perbedaan
dalam cakupan Produk Tertentu yang diatur dalam Permendag No.
56/M-DAG/PER/12/2008. Melalui Permendag No. 56/M-
DAG/PER/12/2008 impor Produk Tertentu tersebut harus dilakukan
Verifikasi dan Penelusuran Teknis Impor (VPTI) oleh Surveyor di
negara tempat pelabuhan muat sebelum dikapalkan yang mulai
diberlakukan penuh per 1 Februari 2009.
Permendag No. 23/M-DAG/PER/5/2010 merupakan
perubahan kedua atas Permendag No. 56/M-DAG/PER/12/2008
tentang Ketentuan Impor. Menurut Permendag No. 23/M-
DAG/PER/5/2010, perusahaan yang telah memperoleh penetapan
sebagai IT-Produk Tertentu wajib menyampaikan laporan tertulis
pelaksanaan impor Produk Tertentu baik yang importasinya
terealisasi maupun tidak terealisasi. Di samping itu, terdapat
penambahan cakupan kelompok Produk Tertentu yang diatur
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 42
importasinya (Obat Tradisional dan Herbal, Kosmetik, dan
Elektronika) dan penambahan dua pelabuhan laut sebagai
pelabuhan tujuan atas impor Produk Tertentu (Dumai di Dumai dan
Jayapura di Jayapura). Impor Produk Tertentu oleh IT-Produk
Tertentu yang dilakukan melalui pelabuhan laut Dumai dan
pelabuhan laut Jayapura hanya untuk produk Makanan dan
Minuman. Adapun Ketentuan kewajiban VPTI tidak berlaku bagi
impor Obat Tradisional dan Herbal. Permendag No. 23/M-
DAG/PER/5/2010 mulai diberlakukan setelah 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal 21 Mei 2010.
Pada tanggal 27 Desember 2012 pemerintah kembali
menetapkan Permendag No. 83/M-DAG/PER/12/2012 tentang
Ketentuan Impor Produk Tertentu dalam rangka untuk menciptakan
perdagangan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif dan
meningkatkan tertib administrasi impor yang mulai diberlakukan pada
tanggal 1 Januari 2013 dan berakhir pada tanggal 31 Desember
2015. Produk Tertentu yang diatur dalam Permendag ini terdiri dari
tujuh kelompok barang yang mencakup 827 produk, yaitu produk
Makanan dan Minuman, Obat Tradisional dan Suplemen Makanan,
Kosmetik, Pakaian Jadi, Elektronika, Alas Kaki, dan Mainan Anak.
Pada dasarnya ketujuh kelompok barang tersebut telah diatur
kebijakan importasinya sejak tahun 2008.
Berbeda dengan Ketentuan Impor Produk Tertentu
sebelumnya, Permendag No. 83/M-DAG/PER/12/2012 mengatur
penambahan satu pelabuhan laut (Tarakan di Tarakan) sebagai pintu
masuk impor Produk Tertentu sehingga setiap impor Produk Tertentu
oleh IT-Produk Tertentu hanya dapat dilakukan melalui delapan
pelabuhan laut (Belawan di Medan, Tanjung Priok di Jakarta,
Tanjung Emas di Semarang, Tanjung Perak di Surabaya, Soekarno
Hatta di Makassar, Dumai di Dumai, Jayapura di Jayapura, dan
Tarakan di Tarakan) dan membatasi lima bandar udara sebagai pintu
masuk impor Produk Tertentu (Polonia di Medan, Soekarno Hatta di
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 43
Tangerang, Achmad Yani di Semarang, Juanda di Surabaya, dan
Hasanuddin di Makassar). Pelabuhan laut Dumai, Jayapura, dan
Tarakan, hanya dapat dipergunakan untuk mengimpor produk
Makanan dan Minuman. Selain itu, Permendag tersebut juga
mengatur pemasukan Produk Tertentu untuk kebutuhan penduduk di
kawasan Daerah Pabean ke Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas, dan melarang Produk Tertentu asal luar daerah
pabean dikeluarkan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean. Pengaturan
ini dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
mengenai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Untuk meningkatkan kelancaran arus barang dan efektivitas
pelaksanaan dan pengawasan impor produk tertentu, maka
pemerintah melakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan
Permendag No. 83/M-DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Impor
Produk Tertentu yang dituangkan dalam Permendag No. 61/M-
DAG/PER/9/2013 yang mulai berlaku pada tanggal 30 September
2013. Salah satu diantara perubahan tersebut adalah pembukaan
pelabuhan Krueng Geukuh di Aceh Utata sebagai pintu masuk impor
Produk Tertentu untuk produk Makanan dan Minuman, Pakaian Jadi,
Alas Kaki dan Elektronika dan terdapatnya penambahan 1 pos tarif
untuk cakupan impor Produk Tertentu kelompok Alas Kaki (HS
6404.19.00.00). Selain itu, pencantuman Nomor Sertifikasi Produk
Penggunaan Tanda SNI (SPPT SNI) untuk Produk Tertentu yang
SNI-nya diberlakukan secara wajib dan Nomor Certificate of Analysis
(CoA) untuk Produk Tertentu yang dipersyaratkan adalah tambahan
persyaratan minimal data atau keterangan Verifikasi atau
Penelusuran Teknis Impor (VPTI) yang diatur melalui Permendag
No. 61/M-DAG/PER/9/2013.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 44
2.3 Penelitian Sebelumnya
2.3.1 Penelitian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2012)
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2012) telah
mengadakan penelitian untuk mengidentifikasi kriteria ideal
penetapan pelabuhan yang ditetapkan sebagai pintu masuk impor
produk hasil industri dan pertanian/hortikultura, menganalisis
kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan ditetapkan dengan
sentra produksi dan sentra industri dan potensi dampak ekonomi dari
kebijakan penetapan pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu
masuk impor produk hasil industri dan pertanian/ hortikultura. Hasil
penelitian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri (2012)
menyimpulkan bahwa beberapa kriteria utama yang dapat dijadikan
rujukan sebagai pintu masuk impor produk industri/ hortikultura
adalah (1) Kriteria keamanan, Ketahanan,