Author
trinhduong
View
245
Download
4
Embed Size (px)
Laporan Akhir
ANALISIS KELOMPOK KONSUMEN (CONSUMER GROUP)
DALAM UPAYA PENINGKATAN KEBERDAYAAN KONSUMEN
Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Kementerian Perdagangan 2016
iiPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmatNya laporan Analisis Kelompok Konsumen (Consumer Group) Dalam
Upaya Peningkatan Keberdayaan Konsumen dapat diselesaikan. Salah satu
indikator keberhasilan pelaksanaan perlindungan konsumen dapat dilihat dari
tingkat keberdayaan konsumennya. Saat ini, secara umum, konsumen di
Indonesia masih berada pada tahap belum berdaya. Pembentukan
kelompok/organisasi konsumen atau lebih dikenal dengan Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), merupakan salah satu
bentuk upaya untuk melakukan sosialiasi dan edukasi kepada konsumen
mengenai hak dan kewajibannya, sekaligus membantu konsumen dalam
melakukan advokasi dengan pelaku usaha, yang pada akhirnya diharapkan
dapat membantu meningkatkan keberdayaan konsumen secara umum.
Analisis ini bertujuan untuk memetakan potensi dan prioritas kelompok
konsumen yang dapat dibentuk, mengidentifikasi bentuk kelembagaan dan
pengelolaan kelompok/organisasi konsumen dalam meningkatkan
pemberdayaan konsumen, serta merumuskan usulan kebijakan terkait
kelompok/organisasi konsumen dalam rangka pemberdayan dan perlindungan
konsumen. Hasil dari analisis ini menunjukkan bahwa saat ini telah terdapat
beberapa LPKSM yang berperan cukup aktif dalam membantuk meningkatkan
keberdayaan konsumen. Namun, kinerja LPKSM dinilai masih belum optimal dan
seringkali terbentur dengan permasalahan dana dan SDM yang terbatas. Oleh
karena itu, perlu ada dukungan dari pemerintah untuk lebih memberdayakan
LPKSM serta melibatkan LPKSM dalam upaya pelaksanaan perlindungan
konsumen.
Kami sadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan,
namun kami harapkan agar analisis ini dapat menjadi bahan masukan bagi
pimpinan dalam merumuskan kebijakan terutama di bidang standardisasi dan
perlindungan konsumen.
Jakarta, Agustus 2016
Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri
iiiPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
ABSTRAKSI
Tingkat keberdayaan konsumen Indonesia masih relatif rendah, konsumen belum cukup terdidik dan terinformasi dengan baik sehingga belum mampu memilih barang dan jasa yang terbaik dan belum aktif melindungi dirinya. Kelompok/lembaga konsumen (LPKSM) menjadi penting karena dapat membentuk kesadaran kritis konsumen individu sehingga menjadi kesadaran komunal untuk meningkatkan keberdayaan konsumen. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi dan prioritas pembentukan kelompok konsumen, menganalisis kelembagaan dan pelaksanaan kegiatan dengan metode Case Study Approach dan AHP. Hasilnya, LPKSM masih menemui hambatan yaitu keterbatasan SDM, keterbatasan dana operasional serta persepsi negatif masyarakat. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlu dibentuk LPKSM berbasis sektor prioritas yaitu finansial, properti, fasilitas umum, jasa telekomunikasi, dan kesehatan sehingga pelaksanaan kegiatan edukasi dan advokasi lebih efektif. Sebagian LPKSM belum berbadan hukum, masih fokus pada kegiatan advokasi, dan koordinasi masih kurang antar LPKSM dan antara LPKSM dengan pemerintah. Untuk itu, pemerintah perlu lebih memberdayakan LKPSM, menyusun modul edukasi konsumen yang terstandar, serta bersama LPKSM membangun citra positif dan memperbaiki koordinasi dengan meningkatkan peran asosiasi LPKSM.
Kata kunci : keberdayaan konsumen, edukasi, advokasi, kelompok konsumen
ABSTRACT
Indonesia consumers empowerment level is still low which causes consumers incapability to protect themselves actively. Role of consumers group (LPKSM) become important in developing individual critical conscious into communal level. This study objects to prioritize assorted leading sectors as basis for developing consumers group, analyze organization and management of the groups in conducting education and advocacy programs. Three factors hampering development of the groups are limitation in human resource quality and quantity, limitation on funding, and negative perception of consumers group in society. Result shows five priority sectors consecutively are finance, property/housing, public utilities, telecommunication service, and health service. Some consumer groups do not have legal standing, only focus on advocacy programs, and lack of coordination not only among themselves but also between the groups and government. Therefore, government need to put more effort on consumer groups empowerment, produce standardized consumers education modules, together with consumer groups build their positive image, and improve coordination by enhance the role of existing consumer groups association.
Keywords : consumer empowerment, consumer group, education, advocacy
ivPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
ABSTRAK .......................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1.Latar Belakang .................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah .............................................................. 4
1.3.Tujuan dan Output .............................................................. 4
1.4. Keluaran Analisis 5
1.4.Dampak Analisis .................................................................... 5
1.5.Ruang lingkup ..................................................................... 5
1.6. Sistematika penulisan ....................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 7
2.1.Tinjauan regulasi ...................................................... 7
2.2. Tinjauan empiris ............................ 14
2.3. Kelompok/organisasi konsumen di beberapa negara .................. 25
2.4. Kerangka Pikir ............................................................ 29
BAB III METODOLOGI ....................................................................... 32
3.1. Data dan Sumber Data ................................................................ 32
3.2. Metode PengumpulanData .......................... 32
3.3. Metode Analisis Data . 33
3.4. Jadwal Operasional 35
BAB IV KELOMPOK ORGANISASI KONSUMEN DI DAERAH PENELITIAN.. 39
4.1. Kelompok Konsumen dan Pengelolaannya................................ 39
4.2. Layanan Produk atau Jasa............................................................. 65
4.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Kelompok Konsumen.................. 68
4.4. Peran Pemerintah............................................................... 71
BAB V HASIL ANALISA. 74
5.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Kelompok Konsumen.................. 74
vPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
5.2. Profil, Hambatan serta Yang Dilakukan oleh Kelompok
Konsumen . 76
5.3. Potensi dan Prioritas Kelompok Konsumen yang Dapat
Dibentuk . 82
5.4. Peran Pemerintah Terhadap Kelompok Konsumen...................... 85
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN............................ 91
6.1. Kesimpulan ....................................................... 91
6.2. Rekomendasi Kebijakan............................ 93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Pembobotan dalam Dimensi Indeks Keberdayaan
Konsumen................................................................................... 20
Tabel 3.1. Skala Penilaian Metode AHP ..................................................... 39
Tabel 3.2. Skala Penilaian ..................................................... 39
Tabel 3.3. Perbandingan Antar Kriteria ....................................................... 40
Tabel 3.4. Sintesa Penilaian ...................................................... 41
Tabel 3.5. Sektor-sektor Penting Terkait Perlindungan Konsumen........... 41
Tabel 3.6. Operasional Survey....................................................... 42
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Pikir ........................................................ 35
Gambar 4.1. Prosedur Penanganan Sengketa Konsumen..... 45
Gambar 4.2. Majalah Consumers yang diterbitkan YLKIT....... 59
Gambar 5.1. Hasil Penilaian Sektor-sektor Prioritas........ 89
viiPuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
1PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Upaya perlindungan konsumen dapat dikatakan berhasil apabila
konsumen Indonesia sudah berdaya, dalam arti bahwa konsumen memahami
hak dan kewajibannya serta mampu untuk melindungi dirinya sendiri dari
potensi kerugian. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan
perlu mengoptimalkan upaya dalam pemberdayaan konsumen. Hal ini
dilatarbelakangi beberapa faktor (Puska Dagri, 2016), pertama yaitu
pelanggaran hak-hak konsumen masih sering terjadi, kedua adalah perlunya
kesejajaran antara penghormatan atas hak konsumen dengan kewajiban
pelaku usaha. Kemudian yang ketiga adalah makin terbukanya pasar bagi
masuknya berbagai jenis produk dan jasa. Kewenangan Kementerian
Perdagangan terkait perlindungan konsumen tertuang dalam Undang-
Undang No.7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan khususnya pasal 5 ayat (2)
dan (3) yang menyatakan bahwa kebijakan perdagangan dalam negeri
diarahkan dan mengatur tentang perlindungan konsumen dimana
pemberdayaan konsumen menjadi salah satu upaya dalam perlindungan
konsumen. Hal tersebut juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 58
Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan pasal 4 poin (e) bahwa menteri terkait harus berkoordinasi
untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan
dan keterampilan.
Keberdayaan konsumen adalah peningkatan kontrol konsumen yang
berdampak positif pada perilaku konsumen terkait konsumsi barang dan jasa
(Direktorat Pemberdayaan Konsumen, 2015). Keberdayaan konsumen
memiliki tiga dimensi utama yaitu dimensi ketegasan konsumen, dimensi
pengalaman praktik tidak adil pelaku usaha dan pemenuhan hak konsumen,
dan dimensi keterampilan konsumen (Simanjuntak, 2014). Konsumen yang
berdaya adalah mereka yang paham dengan baik mengenai hak dan
kewajibannya, sehingga memiliki ketrampilan dasar yang memadai dalam
perilakunya sehari-hari sebagai konsumen. Keterampilan dasar tersebut
antara lain mampu membandingkan harga, mengecek tanggal kadaluarsa,
label dan nomor registrasi produk, serta memperhatikan kualitas produk yang
2PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
dibeli (Simanjuntak, 2014). Selain itu, mereka juga berperan aktif dalam
memperjuangkan hak-haknya. Namun demikian, hasil studi yang dilakukan
oleh Direktorat Pemberdayaan Konsumen (2015) menunjukkan bahwa
tingkat keberdayaan konsumen di Indonesia, yang diukur melalui Indeks
Keberdayaan Konsumen (IKK), masih rendah yaitu 34,17%. Artinya,
konsumen di Indonesia ada pada tahap memahami hak dan kewajibannya,
namun belum mampu berperan aktif melindungi dirinya.
Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu untuk melakukan upaya-upaya
dalam rangka meningkatkan keberdayaan konsumen. Seperti yang telah
disebutkan dalam salah satu regulasi di atas, pemberdayaan konsumen
dapat ditingkatkan melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan. Upaya
tersebut diimplementasikan dalam bentuk penyuluhan ke kelompok-kelompok
masyarakat, seminar dan workshop di perguruan tinggi dan instansi terkait,
serta kampanye Konsumen Cerdas. Namun demikian, berdasarkan hasil
survey yang dilakukan oleh Puska Dagri (2016) pada hampir 5.000
konsumen di seluruh Indonesia, rata-rata lebih dari 80% dari mereka tidak
mengetahui dan tidak ikut serta dalam kegiatan sosialisasi Konsumen
Cerdas. Dengan demikian, pemerintah dinilai perlu menggunakan sarana
lain dalam upaya pemberdayaan konsumen. Salah satunya adalah menyasar
program pemberdayaan kepada kelompok konsumen tertentu, misalnya
penggalakan sadar SNI melalui Masyarakat Standarisasi (MASTAN).
Kelompok konsumen ini berfungsi melakukan edukasi dan advokasi terkait
perlindungan konsumen kepada para anggotanya.
Keberadaan kelompok konsumen atau kelompok konsumen merupakan
hal yang lumrah di negara-negara lain, terutama negara maju. Sebagai
contoh, di negara ASEAN seperti Malaysia memiliki Consumers Affairs and
Protection Society of Sabah (CAPS) yang merupakan lembaga independen
beranggotakan masyarakat umum. Beberapa kegiatan utama lembaga ini
antara lain 1) melindungi konsumen dari penipuan, pemalsuan, penindasan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab; 2) memupuk kesadaran
konsumen akan hak-hak mereka dan mendorong konsumen untuk berperan
aktif dalam memperjuangkan haknya; 3) menyerahkan masalah yang
dihadapi konsumen kepada pihak yang berwenang untuk ditindaklanjuti; dan
4) menyampaikan saran, komentar dan teguran kepada pihak yang
berwenang. Dengan kata lain, organisasi konsumen ini memberikan edukasi
3PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
kepada anggotanya, melakukan advokasi, serta menjadi perantara antara
anggotanya dengan pihak-pihak berwenang terkait. Sementara di Australia,
salah satu organisasi konsumen non-profit yang dibentuk sejak tahun 1959
adalah CHOICE. Organisasi ini beranggotakan masyarakat umum dan
melakukan kampanye melalui penerbitan majalah, jurnal dan buku-buku.
Kegiatan utamanya adalah melakukan tes dan review terhadap berbagai
produk yang beredar di pasar untuk memastikan konsumen anggotanya
memperoleh produk yang aman dan sesuai ketentuan.
Beberapa contoh kelompok konsumen di atas menunjukkan bahwa
keberadaan kelompok/organisasi konsumen dapat meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman konsumen akan hak-haknya dan
mendampingi konsumen dalam memperjuangkan hak mereka, sehingga
konsumen memiliki hak tawar yang lebih tinggi secara kolektif. Sebagai
contoh, pembentukan kelompok konsumen di daerah yaitu Kelompok
Konsumen Sadar di Daerah Istimewa Yogyakarta membawa perubahan
kepada konsumen yang menjadi anggotanya: 1) konsumen menjadi lebih
aktif dalam berbagi pengalaman terkait masalah pelanggaran konsumen; 2)
meningkatnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan hak-hak
mereka sebagai konsumen; dan 3) masyarakat lebih berani memperjuangkan
haknya dan menuntut pelaku usaha (Purnomo, 2014). Inisiasi pembentukan
kelompok konsumen dapat dilakukan baik oleh kelompok
masyarakat/konsumen maupun pemerintah. Namun demikian,
kelompok/organisasi konsumen belum banyak berkembang di Indonesia.
Hasil studi yang dilakukan oleh AIPEG (2015) menyatakan bahwa lembaga
advokasi masyarakat belum berkembang secara memadai. Kapasitas
masing-masing organisasi konsumen di daerah juga sangat bervariasi
sehingga belum optimal dalam memperjuangkan kepentingan konsumen.
Selain itu, sampai saat ini belum ada asosiasi yang berfungsi sebagai
coordinator dari para lembaga/organisasi konsumen.
Pentingnya peranan kelompok/organisasi konsumen belum diiringi
dengan perkembangan yang memadai. Padahal dengan jumlah konsumen
sebesar 250 juta dan beragamnya jumah barang dan jasa yang beredar di
masyarakat, seharusnya para konsumen dapat direpresentasikan melalui
kelompok/organisasi.
4PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
1.2. Rumusan masalah
Pentingnya peran konsumen dalam perekonomian harus diiringi usaha
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan konsumen.
Salah satu sebab masih kurang berdayanya konsumen yaitu konsumen
belum cukup terdidik dan terinformasi dengan baik sehingga tidak mampu
memilih barang dan jasa yang terbaik dan tidak mampu melindungi dirinya
(AIPEG, 2015). Untuk itu, kelompok/organisasi konsumen dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu sarana dalam mengoptimalkan upaya
pemberdayaan konsumen. Berdasarkan gambaran tersebut, maka
pemerintah perlu mendorong dan mendukung pembentukan kelompok
konsumen dalam rangka peningkatan upaya pemberdayaan konsumen.
Kelompok/organisasi konsumen dapat dibentuk berdasarkan kelompok
barang dan jasa yang dikonsumsi, berdasarkan wilayah atau domisili para
anggotanya, dan juga berdasarkan kesamaan profil social ekonomi.
Walaupun potensi pembentukannya besar, namun jumlah dan
perkembangannya tidak seperti yang diharapkan. Selain itu, hasil literature
menunjukkan kelompok/organisasi konsumen ini merupakan lembaga non-
profit, non-pemeritah, pembiayaannya swadaya, serta keanggotaannya
sebagian besar relawan. Keanggotaan dan pengelolaan organisasi ini
menghadapi berbagai kendala dari kurangnya komitmen anggota sampai
kurang terorganisirnya berbagai program dan kegiatan.
Dengan demikian, untuk mengoptimalkan peranan kelompok/organisasi
konsumen maka perlu dilakukan pemetaan potensi pembentukannya,
kemudian bagaimana bentuk lembaga dan pengelolaannya yang efektif/ideal,
serta sejauh mana pemerintah dapat berperan dalam mendukung peran
kelompok konsumen dalam pemberdayaan dan perlindungan konsumen.
1.3. Tujuan analisis
1. Memetakan potensi dan prioritas kelompok/organisasi konsumen yang
dapat dibentuk
2. Mengidentifkasi bentuk kelembagaan dan pengelolaan
kelompok/organisasi konsumen dalam meningkatkan pemberdayaan
konsumen
5PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
3. Merumuskan usulan kebijakan terkait kelompok/organisasi konsumen
dalam rangka pemberdayaan dan perlindungan konsumen
1.4. Keluaran analisis
1. Peta potensi dan prioritas kelompok/organisasi konsumen yang dapat
dibentuk
2. Hasil identifkasi bentuk kelembagaan dan pengelolaan
kelompok/organisasi konsumen dalam meningkatkan pemberdayaan
konsumen
3. Merumuskan usulan kebijakan terkait kelompok/organisasi konsumen
dalam rangka pemberdayaan dan perlindungan konsumen
1.5. Dampak analisis
1. Bagi pemerintah
Pemerintah dapat mengoptimalkan kelompok/organisasi konsumen
sebagai sarana dalam mengimplementasikan program-program
pemberdayaan konsumen, antara lain edukasi dan advokasi dalam
rangka optimalisasi perlindungan konsumen
2. Bagi masyarakat
Masyarakat atau konsumen secara umum dapat memanfaatkan
consumer group sebagai media atau sarana untuk meningkatkan
pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai konsumen serta
menyalurkan aspirasi dan keluhan terkait konsumsi barang dan jasa di
masyarakat.
1.6. Ruang lingkup analisis
a. Aspek yang dikaji
Regulasi yang terkait dengan pemberdayaan konsumen, kelompok dan
organisasi konsumen di tingkat pusat maupun daerah
Potensi pembentukan kelompok/organisasi konsumen : berdasarkan
kelompok barang dan atau jasa dan wilayah
6PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Prioritas pembentukan kelompok/organisasi konsumen berdasarkan
indikator : jumlah aduan konsumen, potensi kerugian konsumen, dan
proporsi pengeluaran konsumen
Aspek kelembagaan, pengelolaan serta kegiatan kelompok/organisasi
konsumen dalam mencapai tujuan
b. Daerah penelitian
Daerah yang menjadi ruang lingkup dalam analisis ini adalah lokasi
keberadaan kelompok/organisasi konsumen yang telah terbentuk di
masyarakat yang dibatasi pada 4 daerah yaitu Daerah Istimewa
Yogyakarta, Banten, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
1.7. Sistematika penulisan laporan
Laporan kajian ini terdiri dari 6 (enam) bab sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan, output, dampak dan ruang lingkup analisis yang
dilakukan.
BAB II : Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir. Bab ini menjelaskan
kerangka berpikir dalam pengkajian dan tinjauan literatur yang akan
digunakan sebagai referensi dalam kajian ini.
BAB III
BAB IV:
: Metode Pengkajian. Bab ini menjelaskan metode yang digunakan
dalam kajian ini untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan
untuk menjawab tujuan kajian meliputi metode analisis, serta sumber
data dan teknik pengumpulan data.
Hasil Studi Lapangan. Bab ini membahas hasil studi lapangan di
daerah survey antara lain profil kelompok konsumen, pelaksanaan
kegiatan, pengelolaan dan hambatan yang dihadapi.
BAB V : Hasil Analisis dan Pembahasan. Bab ini akan menggambarkan potensi
pembentukan, bentuk kelembagaan, dan pengelolaan
kelompok/organisasi konsumen dalam mendukung upaya
pemberdayaan konsumen, serta peran pemerintah dalam
pengembangannya
BAB VI : Kesimpulan dan Rekomendasi. Bab ini memberikan kesimpulan hasil
analisis dan rekomendasi.
7PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1. Tinjauan Regulasi
2.1.1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Perlindungan konsumen, menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU PK), adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. Sementara itu, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Tingkat optimalisasi perlindungan konsumen dapat ditunjukkan dari
seberapa besar upaya pemerintah dalam memenuhi tujuan dari
perlindungan konsumen seperti yang tertera di dalam Pasal 3 UU PK, yakni:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
8PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Disamping itu, optimalisasi pelaksanaan perlindungan konsumen juga
dapat dilihat dari seberapa besar upaya pemerintah dalam memberikan
perlindungan kepada konsumen dalam memperoleh haknya serta
memberikan sosialisasi dan edukasi kepada konsumen mengenai kewajiban
konsumen, hingga pada akhirnya diharapkan dapat tercipta konsumen yang
lebih berdaya. Terkait hal tersebut, yang dimaksud dengan hak dan
kewajiban konsumen menurut Pasal 4 dan 5 UU PK antara lain adalah:
(1) Hak Konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
(2) Kewajiban konsumen adalah:
9PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Pada Pasal 44 dan juga dijelaskan dalam PP No. 59 Tahun 2001 Tentang
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), maka
tugas LPKSM adalah menjalankan fungsi :
i. Edukasi; dengan cara
- menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas
hak dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa. Meliputi penyebarluasan berbagai pengetahuan
mengenai perlindungan konsumen termasuk peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen.;
- memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan secara lisan
atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya;
- melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen yaitu dengan cara pertukaran informasi
mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang dan/atau
jasa yang beredar, dan penyuluhan serta pendidikan konsumen.
ii. Advokasi; dengan cara membantu konsumen dalam memperjuangkan
haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
LPKSM dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar
mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara
perorangan maupun kelompok.;
iii. Pengawasan; dengan cara melakukan pengawasan bersama
pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan
konsumen atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan
cara penelitian, pengujian dan/atau survei.
10PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
2.1.2. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan
oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait, yang meliputi upaya untuk :
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat
antara pelaku usaha dan konsumen. Hal ini dilakukan terkait :
1. Penyusunan perundangan di bidang PK,
2. Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan,
3. Peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan
kualitas SDM dan lembaga,
4. peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan
konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing
5. Peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan,
pelatihan, keterampilan
6. Penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang
menyangkut perlindungan konsumen
7. peningkatan kualitas barang dan/atau jasa
8. peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku
usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa
9. meningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam
memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta
pencantuman label dan klausula baku.
b. Pengembangan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat (LPKSM) terkait dalam hal pemasyarakatan peraturan
perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen, pembinaan dan peningkatan sumber daya
manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan
keterampilan; dan
c. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan
kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan
konsumen dilakukan dengan cara peningkatan kualitas PPNS,
11PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
tenaga Peneliti dan penguji barang/jasa; pengembangan dan
pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang; dan penelitian dan
pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang
dan/atau jasa serta penerapannya.
Dalam melakukan ketiga upaya di atas, Menteri melakukan koordinasi
penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis.
Menteri teknis bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan
oleh :
1. Pemerintah Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha
dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa,
pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual
barang dan/atau jasa. Pengawasan dilakukan dalam proses
produksi, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang/ jasa
dimana hasil dari pengawasan tersebut dapat disebarluaskan
kepada masyarakat. Ketentuan tata cara pengawasan ditetapkan
oleh menteri dan atau menteri teknis yang terkait.
2. Masyarakat Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian,
pengujian, dan atau survey. Aspek pengawasan meliputi
pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika
diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang
disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Hasil dari
pengawasan tersebut dapat disebarluaskan dan dapat
disampaikan kepada menteri dan menteri teknis.
3. LPKSM Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau
jasa yang beredar di pasar dilakukan dengan cara penelitian,
pengujian dan atau survey terhadap barang dan/atau jasa yang
diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan
12PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
dan keselamatan konsumen. Aspek pengawasan meliputi
pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika
diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang
disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Hasil dari
pengawasan tersebut dapat disebarluaskan dan dapat
disampaikan kepada menteri dan menteri teknis. Pengujian
terhadap barang dan/atau jasa yang beredar dilaksanakan melalui
laboratorium penguji yang telah diakreditasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.1.3. Peraturan Pemerintah No.59 Tahun 2001 Tentang LPKSM
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang
selanjutnya disebut LPKSM adalah Lembaga Non Pemerintah yang
terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan
menangani perlindungan konsumen. LPKSM yang di akui oleh
pemerintah yaitu LPKSM terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
yang bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum
dalam anggaran dasarnya.
Tugas LPKSM meliputi kegiatan :
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas
hak dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Meliputi penyebarluasan
berbagai pengetahuan mengenai perlindungan konsumen termasuk
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah
perlindungan konsumen;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan secara
lisan atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya;
c. Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya
mewujudkan perlindungan konsumen yaitu dengan cara pertukaran
informasi mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas
barang dan/atau jasa yang beredar, dan penyuluhan serta
pendidikan konsumen;
13PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen. LPKSM dapat
melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu
memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan
maupun kelompok;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen atas barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian,
pengujian dan/atau survei.
Dalam melaksanakan tugasnya LPKSM dapat bekerja sama dengan
organisasi atau lembaga lainnya, baik yang bersifat nasional maupun
internasional dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota setiap tahun.Pemerintah dapat membatalkan pendaftaran
LPKSM, apabila LPKSM tersebut tidak lagi menjalankan kegiatan
prlindungan konsumen dan terbukti melakukan kegiatan pelanggaran
ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan peraturan pelaksanaannya. Ketentuan mengenai tata cara
pembatalan pendaftaran diatur lebih lanjut dalam keputusan Menteri
(Kepmenperindag No. 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran
LPKSM).
2.1.4. Rencana Strategis Kementerian Perdagangan Tahun 2015-2019
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Perdagangan Tahun 2015-
2019 merupakan dokumen perencanaan kementerian Perdagangan untuk
periode 5 (Lima) tahun terhitung sejak tahun 2015 hingga tahun 2019.
Perlindungan konsumen merupakan salah satu isu penting yang juga
dibahas dalam renstra tersebut, karena perlindungan konsumen merupakan
salah satu prasayarat dalam mewujudkan perekonomian yang sehat melalui
keseimbangan antara perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku
usaha. Hingga tahun 2013, Kementerian Perdagangan telah membuat 9
(Sembilan) nota kesepahaman/memorandum of understanding (MoU)
dengan beberapa instansi teknis terkait. Selain itu, dalam lingkup penguatan
kelembagaan perlindungan konsumen, Kementerian Perdagangan telah
memfasilitasi pembentukan Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK) yang
14PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
sampai dengan tahun 2013 telah mencapai 111 unit BPSK yang tersebar di
kabupaten/kota.
Dalam rangka meningkatkan upaya perlindungan konsumen,
Kementerian Perdagangan melalui Renstra tahun 2015-2019 telah
menetapkan beberapa sasaran yang ingin dicapai yakni meningkatnya
pemberdayaan konsumen, standardisasi, pengendalian mutu, tertib ukur dan
pengawasan barang/jasa. Penetapan sasaran ini bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya serta
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha akan pentingnya perlindungan
konsumen sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas
barang/jasa yang berada di pasar dalam negeri. Meningkatnya
pemberdayaan konsumen ditunjukkan dengan semakin meningkatnya
pelaksanaan edukasi konsumen yang menjangkau seluruh lapisan
masyarakat, semakin cerdasnya konsumen serta ketersediaan infrastruktur
dan lembaga perlindungan konsumen. Adapun indikator yang digunakan
sebagai ukuran kinerja dari peningkatan pemberdayaan konsumen adalah
Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK). IKK merupakan indeks yang
mengukur tingkat keberdayaan konsumen di Indonesia. Semakin tinggi nilai
IKK menunjukkan bahwa konsumemn di Indonesia semakin berdaya. Dalam
periode tahun 2015-2019, nilai IKK ditargetkan meningkat dari 37 pada tahun
2015 menjadi 50 pada tahun 2019. Langkah strategis untuk peningkatan
perlindungan konsumen antara lain adalah:
(i) Edukasi konsumen cerdas (Gerakan konsumen cerdas, mandiri dan cinta
produk dalam negeri); dan
(ii) Publikasi perlindungan konsumen secara lebih masif melalui pelaksanaan
tot dalam upaya pembentukan motivator perlindungan konsumen kepada
mahasiswa, pelatihan motivator mandiri serta aktivasi motivator-motivator
perlindungan konsumen yang telah dilatih.
2.2. Tinjauan Empiris
2.2.1. Studi diagnostik perlindungan konsumen
Salah satu studi mengenai konsumen yang membahas mengenai
hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perlindungan konsumsen di
Indonesia adalah studi yang dilakukan oleh AIPEG (2015). Faktor-faktor
terkait perlindungan konsumen yang ditelaah adalah persaingan usaha yang
15PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
sehat, konsumen yang berdaya, dan kerangka kebijakan perlindungan
konsumen yang efektif. Hasil studi menunjukkan bahwa hambatan pertama
adalah UU PK yang selama ini menaungi upaya perlindungan konsumen
memiliki beberapa kelemahan. Undang undang ini tidak mengakomodir
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sehingga perlu diamandemen.
Panduan mengenai tata kelola dan pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga
pelaksana perlindungan konsumen tidak diatur secara jelas, sehingga
menyulitkan mereka dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Selanjutnya, upaya perlindungan konsumen dianggap tidak memberikan
insentif bagi pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah tidak
menyediakan dana operasional yang memadai. Bidang perlindungan
konsumen belum menjadi prioritas bagi pemerintah daerah dalam menyusun
kebijakan dibandingkan bidang social lainnya seperti pendidikan dan
kesehatan. Selain itu, program perlindungan secara nasional belum terarah
dan terkoordinasi dengan baik sehingga tidak sinkron satu sama lain.
Hambatan pelaksanaan perlindungan konsumen yang kedua adalah
masih rendahnya kesadaran konsumen akan hak-haknya, terutama di kota-
kota kecil dan luar pulau Jawa. Dengan demikian, program-program edukasi
konsumen sebaiknya dievaluasi pelaksanaan dan efektifitasnya mengingat
besarnya jumlah konsumen dan luasnya wilayah Indonesia. Temuan
hambatan selanjutnya adalah persaingan usaha yang kurang sehat, tidak
hanya disebabkan oleh perilaku pelaku usaha namun juga akibat dari
kebijakan pemerintah.
Ada beberapa penyebab tidak berdayanya konsumen, pertama adalah
tidak terwakilinya konsumen dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan kesejahteraannya karena lembaga swadaya
masyarakat yang lemah. Kedua, konsumen kurang terdidik karena
keterbatasan informasi sehingga konsumen tidak dapat membuat keputusan
yang terbaik dalam melakukan pembelian atau konsumsi barang dan jasa.
Keterbatasan tersebut juga menghambat konsumen dalam memperjuangkan
hak-haknya.
Lebih lanjut mengenai lembaga konsumen, khususnya lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM), dari keseluruhan
jumlah LPKSM sebanyak 426, sebagian besar masih berlokasi di pulau Jawa
dan hanya 3 yang menjadi anggota lembaga Consumer International yaitu
16PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
YLKI, Lembaga Konsumen Yogya, dan LP2K Semarang. Keanggotaan
LPKSM pada lembaga internasional tersebut menunjukkan tingkat
kemampuan LPKSM dalam membangun jaringan. Kemampuan LPKSM
dinilai variatif dan tidak merata sehingga ini merupakan indikasi bahwa tugas
pembinaan yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Perdagangan dan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional kurang efektif. Forum komunikasi
antar LPKSM juga belum terbentuk sehingga kegiatan antar mereka belum
terkoordinasi dengan baik.
2.2.2. Indeks Keberdayaan Konsumen
Analisis mengenai Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) dilakukan oleh
Direktorat Pemberdayaan Konsumen, Kementerian Perdagangan
bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan dilatarbelakangi
fakta bahwa dengan makin beragamnya barang dan jasa yang tersedia di
pasar sehingga konsumen seharusnya berdaya sehingga mampu melindungi
dirinya sendiri dari hal-hal yang merugikan. Studi ini bertujuan untuk
menganalisis indeks keberdayaan konsumen dan dimensinya berdasarkan
wilayah, demografi, aspek sosial dan ekonomi. Penelitian ini dilakukan di 13
provinsi dengan 1.950 responden yang dibagi antara responden yang tinggal
di perkotaan dan pedesaan. Variabel utama dalam studi ini adalah indeks
keberdayaan konsumen yang terdiri dari tahapan pembelianya itu, pra
pembelian, saat pembelian dan pasca pembelian. Masing-masing tahapan
pembelian tersebut memiliki beberapa dimensi yang dirinci dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Pembobotan dalam Dimensi Indeks Keberdayaan Konsumen
Tahapan
Pembelian Dimensi Pembobotan
Pra pembelian Pencarian informasi
Pengetahuan tentang undang-
undang dan lembaga perlindungan
konsumen
20%
10%
Saat pembelian Pemilihan barang dan jasa
Preferensi barang dan jasa
Perilaku pembelian
5%
5%
15%
Pasca pembelian Kecenderungan untuk bicara 5%
17PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Perilaku komplain 40%
Kemudian, tingkat keberdayaan konsumen atau skor IKK dikelompokkan
menjadi 5 yaitu :
1. Sadar; mengenali hak dan kewajiban dasar sebagai konsumen (skor
indeks 0.0 20.0)
2. Paham; memahami hak dan kewajiban sebagai konsumen untuk
melindungi dirinya (skor indeks 20.1 40.0)
3. Mampu; mampu menggunakan hak dan kewajiban konsumen untuk
menentukan pilihan terbaik termasuk menggunakan produk dalam negeri
bagi diri dan lingkungannya (skor indeks 40.1 60.0)
4. Kritis; berperan aktif memperjuangkan hak dan melaksanakan
kewajibannya serta mengutamakan produk dalam negeri (skor indeks
60.1 80.0)
5. Berdaya; memiliki nasionalisme tinggi dalam berinteraksi dengan pasar
dan memperjuangkan kepentingan konsumen (skor indeks 80.1 100.0)
Hasil studi menunjukkan bahwa secara rata-rata di Indonesia,
konsumennya masih belum berdaya dengan skor 34,17. Dengan kata lain,
konsumen Indonesia ada dalam tahap paham yaitu mereka memahami
apa-apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai konsumen, namun
belum memperjuangkan hak maupun menjalankan kewajibannya. Dimensi
yang memiliki skor indeks tertinggi adalah pereferensi barang dan jasa yaitu
78,60, sementara dimensi dengan skor indeks terendah adalah perilaku
komplain yaitu 11,14.
Sementara itu, jika dianalisis berdasarkan karakter demografi responden,
maka konsumen yang paling berdaya adalah berjenis kelamin perempuan,
tinggal di wilayah perkotaan, memiliki rentang usia 25-54 tahun,
berpendidikan tinggi setara sarjana atau lebih tinggi, dan berpendapatan
rata-rata di atas 10 juta per bulannya.
2.2.3. Pemetaan Kebutuhan Konsumen
Identifikasi kebutuhan konsumen dapat dilihat dari hasil survey Analisis
Pemetaan Kebutuhan Konsumen, yang telah dilakukan pada awal tahun
2016 oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Badan Pengkajian
dan Pengembangan Perdagangan, bekerjasama dengan Institut Pertanian
18PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Bogor (IPB). Penelitian ini merupakan program kerja sama dengan
Kementerian PPN/Bappenas dalam rangka merancang strategi nasional dan
rencana aksi penguatan perlindungan konsumen di Indonesia yang
bertujuan untuk menciptakan harmonisasi penyelenggaraan program dan
implementasi kebijakan perlindungan konsumen di berbagai sektor serta
memberikan manfaat yang optimal bagi konsumen di Indonesia.
Penelitian atau survey ini dilakukan terhadap 4829 responden yang
berada di 15 provinsi di Indonesia. tujuan penelitian ini antara lain adalah: (1)
melakukan identifikasi tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kebijakan
pemerintah terkait perlindungan konsumen, hak-haknya selaku konsumen,
prosedur pengaduan konsumen, serta lembaga tempat pengaduan
konsumen; (2) melakukan identifikasi permasalahan yang dihadapi
masyarakat selaku konsumen dalam penggunaan barang dan jasa serta
cara penyelesaian masalahnya; dan (3) Melakukan identifikasi kebutuhan,
permasalahan, dan harapan masyarakat terhadap program dan sistem
perlindungan konsumen.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kebutuhan perlindungan konsumen
dapat dibagi ke dalam tiga bagian besar, yakni:
1) Sosialisasi dan edukasi terhadap hak dan kewajiban konsumen
Hasil survey menunjukkan bahwa masih terdapat cukup banyak
konsumen yang belum memahami hak dan kewajibannya seperti yang
tertera di dalam Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. Tingkat kesadaran konsumen akan hak-
haknya sangat rendah. Hasil survey menunjukkan bahwa sekitar 67%
konsumen memiliki pengetahuan yang rendah terhadap haknya, hanya
sekitar 4% konsumen yang memliki pengetahuan yang tinggi akan haknya.
Hal ini menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia rentan terhadap
pelanggaran atak hak-haknya yang disebabkan oleh rendahnya
pengetahuan atas hak-haknya tersebut.
Sementara itu, tingkat kesadaran konsumen dalam menjalankan
kewajibannya dapat dilihat dari tingkat kepedulian konsumen dalam
melakukan pengecekan terhadap kualitas produk, tanggal kadaluarsa, ada
tidaknya label halal, komposisi produk, aturan penggunaan produk, nomor
layanan pengaduan, dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat sekitar 32% dari konsumen yang
19PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
tidak peduli dengan kewajibannya dalam membeli atau mengkonsumsi
barang atau jasa. Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi masih menjadi
kebutuhan utama konsumen dalam menciptakan konsumen berdaya yang
mengetahui hak-haknya serta mampu melaksanakan kewajibannya sebagai
konsumen yang baik.
2) Advokasi (saluran pengaduan, pemberian kompensasi/ganti rugi atas
kerugian akibat penggunaan barang/jasa)
Pemberian perlindungan kepada konsumen tidak hanya dilakukan saat
pembelian atau saat mengkonsumsi barang atau jasa, tetapi juga harus
diberikan jika konsumsi barang atau jasa tersebut menimbulkan kerugian
atau dampak buruk bagi konsumen di kemudian hari. Dalam hal ini,
konsumen membutuhkan jaminan advokasi dari pemerintah apabila suatu
saat konsumen memperoleh kerugian akibat mengkonsumsi barang atau
jasa. Advokasi dalam hal ini dapat berbentuk saluran pengaduan, pemberian
kompensasi atau ganti rugi atas kerugian akibat penggunaan barang atau
jasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 37% konsumen pernah
mengalami masalah dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Masalah
tersebut dapat berasal dari pedagang maupun pengecer. Dari sejumlah
konsumen yang mengalami masalah, hanya terdapat sekitar 54% konsumen
yang melakukan pengaduan. Sebagian besar (44%) konsumen langsung
mengadu pada penjual produk, sementara sisanya ke produsen (15%) dan
keluarga atau kerabat (9%). Hanya sebagian kecil (1%) yang melakukan
pengaduan ke Lembaga Pengaduan Konsumen (LPK).
Rendahnya pengaduan yang dilakukan pada LPK disebabkan masih
rendahnya tingkat pengenalan konsumen pada LPK yang ada di Indonesia.
Diantara beberapa LPK yang ada saat ini, hanya YLKI yang paling dikenal
oleh konsumen, sementara pengenalan masyarakat terhadap Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan lain sebagainya
masih relatif rendah. Selain itu, sekitar 44% konsumen menyatakan
alasananya tidak melakukan pengaduan antara lain adalah karena tidak
mengetahui lokasi tempat mengadu, prosedur pengaduan yang rumit, serta
prosesnya yang lama. Oleh karena itu, dibutuhkan sosialisasi dan edukasi
20PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
terkait dengan bentuk bentuk advokasi yang diberikan oleh pemerintah
serta lembaga terkait didalamnya.
3) Pengawasan barang (meliputi label, timbangan, standar mutu produk (SNI),
manual kartu garansi (MKG), dll)
Pengawasan terhadap barang dan jasa dapat dilakukan oleh pemerintah
untuk mencegah konsumen dari kerugian yang lebih besar akibat
mengkonsumsi barang atau jasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat sekitar 37% konsumen yang pernah mengalami masalah dalam
mengkonsumsi barang atau jasa. Umumnya masalah yang ditemukan oleh
konsumen antara lain meliputi kualitas produk atau jasa yang tidak sesuai
dengan yang dijanjikan, kebenaran atau kejujuran informasi yang
disampaikan, adanya diskriminasi dalam pelayanan, serta tidak adanya
informasi mengenai efek samping dari produk yang digunakan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, pengawasan barang atau jasa menjadi
salah satu kebutuhan vital konsumen dalam mengkonsumsi barang atau
jasa, sekaligus menjadi bentuk upaya pemerintah dalam menjaga kualitas
mutu barang dan jasa agar memenuhi syarat keamanan dan kesehatan.
2.2.4. Peranan Kelompok/Organisasi Konsumen, Kelembagaan dan
Pengelolaan
Kelompok konsumen, dalam hal ini LPKSM, menurut Peraturan
Pemerintah No.59 Tahun 2001 Tentang LPKSM merupakan lembaga yang
bertugas dalam bidang perlindungan konsumen dan memiliki fungsi :
a. Edukasi; dengan cara
- Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa. Meliputi penyebarluasan berbagai pengetahuan
mengenai perlindungan konsumen termasuk peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen;
- Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan secara lisan
atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan kewajibannya;
- Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen yaitu dengan cara pertukaran informasi
21PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
mengenai perlindungan konsumen, pengawasan atas barang dan/atau
jasa yang beredar, dan penyuluhan serta pendidikan konsumen.
b. Advokasi; dengan cara membantu konsumen dalam memperjuangkan
haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen. LPKSM
dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu
memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun
kelompok.
c. Pengawasan; dengan cara melakukan pengawasan bersama pemerintah
dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen atas barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian
dan/atau survei.
Sementara itu, studi empiris menunjukkan bahwa kegiatan edukasi
konsumen meliputi menyediakan informasi seluasnya sehingga konsumen
dapat memilih barang/jasa dgn lebih baik (informed choice), melindungi
konsumen dari praktek tidak adil dan eksploitatif, dan merubah perilaku
konsumen sehingga menjadi konsumen kritis yang dapat berdampak secara
sosial dan politik bagi lingkungannya (ASIC, 2001). Sekanjutnya untuk
pelaksanaan fungsi advokasi memerlukan infrastruktur advokasi yang efektif.
Menurut hasil studi Brown (2011), infrastruktur advokasi konsumen yang
efektif antara lain meliputi pengetahuan dan pemahaman, kredibilitas,
networks, dan consumers engagement yang kesemuanya diimplementasikan
melalui kampanye aktif dan advokasi yang responsif.
Kemudian, beberapa hasil studi juga menunjukkan pentingnya peranan
kelompok/organisasi konsumen. Pembentukan kelompok konsumen yang
menjalankan tugas dan fungsinya secara baik akan memberikan dampak
yang positif sehingga masyarakat (konsumen) lebih berdaya. Sebagai
contoh adalah pembentukan Kelompok Konsumen Sadar Di DIY
berdasarkan hasil studi Purnomo (2014) yaitu bahwa Pembentukan
kelompok konsumen tersebut membawa perubahan kepada konsumen yang
menjadi anggotanya. Perubahan tersebut meliputi : 1) konsumen menjadi
lebih aktif dalam berbagi pengalaman terkait masalah pelanggaran
konsumen; 2) meningkatnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat
akan hak-hak mereka sebagai konsumen; dan 3) masyarakat lebih berani
memperjuangkan haknya dan menuntut pelaku usaha.
22PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Lebih lanjut, studi yang dilakukan di New Zealand pada sektor pelayanan
kesehatan (Coney, 2004) menekankan pentingnya partisipasi konsumen,
khususnya yang tergabung dalam kelompok, untuk meningktakan kualitas
layanan kesehatan yang mereka terima. Hasil studi di Amerika Serikat dan
Inggris Raya menunjukkan bahwa kelompok konsumen yang aktif
berpartisipasi mampu memperbaiki pelayanan kesehatan di negara-negara
tersebut. Partisipasi konsumen yang efektif membutuhkan dukungan
pemerintah, komitmen, serta organisasi konsumen yang kuat. Dengan
demikian, hasil studi yang dilakukan Coney ini mendorong pembentukan
kelompok/organisasi konsumen di sektor kesehatan karena New Zealand
saat itu belum memiliki kelompok konsumen tingkat nasional dan belum
memiliki sistem yang terorganisir sebagai wadah komunikasi dan berbagi
informasi bagi konsumen, baik dari pihak pemerintah maupun penyedia
layanan kesehatan.
2.2.5. Metode Analytical Hierarchy Process Dalam Penentuan Prioritas
AHP atau Analytical Hierarchy Process merupakan salah satu metode
pengambilan keputusan multi kriteria yang pertama kali ditemukan dan
dikembangkan oleh Thomas L Saaty, seorang ahli matematika dari
Universitas Pittsburg, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. AHP merupakan
metode penelitian yang dapat digunakan untuk membantu menyusun suatu
prioritas dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (multi
criteria). Selain bersifat multi kriteria, AHP juga didasarkan pada suatu
proses yang terstruktur dan logis. Pemilihan atau penyusunan prioritas
dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur, dan dilakukan
oleh para ahli yang representatif berkaitan dengan alternatif alternatif yang
akan disusun prioritasnya (Bourgeois, 2005). Dengan menggunakan metode
AHP, prioritas pilihan yang dihasilkan akan lebih bersifat konsisten dengan
teori, logis, transparan, dan partisipatif. Oleh karena itu, metode AHP akan
sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik yang
menuntut transparansi dan partisipasi.
Dalam perkembangannya, metode AHP dinilai memiliki beberapa
kelebihan dalam sistem analisanya, antara lain (Syaifullah, 2010):
23PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
1) Kesatuan (Unity). AHP mampu menjadikan permasalahan yang luas dan
tidak terstruktur menjadi suatu model yang fleksibel dan mudah
dipahami.
2) Kompleksitas (Complexity). AHP memecahkan permasalahan yang
kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian secara
deduktif.
3) Saling ketergantungan (Inter Dependence). AHP dapat digunakan pada
elemen-elemen sistem yang saling bebas dan tidak memerlukan
hubungan linier.
4) Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring). AHP mewakili pemikiran alamiah
yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-level yang
berbeda dari masing-masing level berisi elemen yang serupa.
5) Pengukuran (Measurement). AHP menyediakan skala pengukuran dan
metode untuk mendapatkan prioritas.
6) Konsistensi (Consistency). AHP mempertimbangkan konsistensi logis
dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas.
7) Sintesis (Synthesis). AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan
mengenai seberapa diinginkannya masing-masing alternatif.
8) Trade Off. AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada
sistem sehingga orang mampu memilih alternatif terbaik berdasarkan
tujuan mereka.
9) Penilaian dan konsensus (Judgement and Consensus). AHP tidak
mengharuskan adanya suatu konsensus, melainkan menggabungkan
hasil penilaian yang berbeda.
10) Pengulangan Proses (Process Repetition). AHP mampu membuat orang
menyaring definisi dari suatu permasalahan dan mengembangkan
penilaian serta pengertian mereka melalui proses pengulangan.
Sementara itu, kelemahan metode AHP terletak pada ketergantungan
model AHP pada input utamanya yang berupa persepsi seorang ahli,
sehingga melibatkan subyektifitas sang ahli yang berpotensi menjadikan
model tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru.
Selain itu, metode AHP tidak disertai pengujian secara statistik sehingga
tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk.
Susila & Munadi (2007), dalam penelitiannya, telah menggunakan metode
AHP untuk menyusun prioritas proposal penelitian Badan Litbang
24PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Terdapat lima proposal penelitian
yang akan ditentukan prioritas pelaksanaannya oleh para ahli, berdasarkan
kriteria penilaian yang ditentukan. Adapun kriteria penilaian yang telah
ditentukan dan digunakan untuk menyusun prioritas proposal penelitian,
sesuai dengan urutan bobot prioritas masing masing kriteria antara lain
adalah:
(i) Efektifitas dari penelitian untuk mencapai visi dan misi dari Kementerian
Perdagangan. Semakin dianggap efektif penelitian tersebut, maka nilai
yang diberikan akan semakin tinggi dan sebaliknya.
(ii) Urgensi penelitian (penelitian bersifat responsif terhadap isu isu
penting yang dihadapi oleh Kementerian Perdagangan dan merupakan
isu terkini). Semakin urgen atau penting isu yang disebutkan didalam
penelitian tersebut, maka nilai yang diberikan akan semakin tinggi dan
sebaliknya.
(iii) Kemudahan secara teknis. Semakin mudah penelitian tersebut, maka
nilai yang diberikan akan semakin tinggi dan sebaliknya.
(iv) Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penelitian. Semakin lama
waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan penelitian maka nilai yang
diberikan akan semakin kecil dan sebaliknya.
(v) Biaya atau total anggaran yang tersedia untuk sebuah penelitian.
Semakin tinggi biaya yang diperlukan, maka nilai yang diberikan akan
semakin kecil dan sebaliknya.
Hasil analisis dengan metode AHP dengan menggunakan kriteria tersebut
diatas menunjukkan urutan prioritas proposal penelitian yang diajukan oleh
Badan Litbang Perdagangan adalah sebagai berikut:
1) Kajian dampak peraturan perijinan perdagangan dalam negeri terhadap
keinginan untuk melakukan bisnis di Indonesia;
2) Dampak penurunan tarif impor di sektor perikanan, kehutanan, dan
produk produk kimia;
3) Kajian pengembangan pasar distribusi regional untuk produk agro;
4) Kajian minuman beralkohol asal impor;
5) Kajian tentang strategi yang kompetitif dalam pemasaran hasil industri
kerajinan tangan di Indonesia.
Sementara itu Kusdiana & Gunardi (2014), dalam penelitiannya berjudul
Pengembangan Produk Unggulan UMKM di Kabupaten Sukabumi,
25PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
menggunakan metode AHP untuk melihat produk unggulan UMKM di
berbagai sektor di Kabupaten Sukabumi, yang cocok untuk dikembangkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi upaya pengembangan potensi
unggulan produk UMKM yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Sukabumi sehingga diharapkan dapat membantu Pemerintah
Daerah Kabupaten Sukabumi dalam menetapkan program yang lebih fokus
untuk mengembangkan produk unggulan UMKM. Metode AHP yang
digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan prioritas produk
unggulan di setiap sektor melalui penilaian yang dilakukan oleh para ahli
terkait. Terdapat tiga sektor yang akan diteliti yakni sektor pertanian, industri
dan jasa, dengan lima produk unggulan pada masing masing sektor. Untuk
menentukan produk unggulan pada setiap sektor digunakan tiga kriteria
yakni keunikan, aspek pasar dan kontribusi ekonomi. Hasil penelitian dengan
menggunakan metode AHP menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria
keunikan, potensi pasar, dan manfaat ekonomi, potensi unggulan produk
UMKM prioritas di Kabupaten Sukabumi adalah manggis, pengolahan
logam, dan jasa perbengkelan.
Penelitian lainnya dengan menggunakan metode AHP juga telah
dilakukan oleh Soebagiyo & Wahyudi (2008). Penelitiannya bertujuan untuk
menganalisis kompetensi unggulan daerah pada produk batik tulis dan batik
cap Solo di Daerah Tingkat II Kota Surakarta. Terdapat beberapa metode
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: (i) Metode Bayes,
untuk memperoleh peringkat produk unggulan prioritas; (ii) AHP, dengan
mengaplikasikan Software Expert Choice, yang bertujuan untuk mengetahui
kompetensi unggulan IKM di daerah Surakarta; (iii) Analisis Ekonomi Rantai
Nilai, yang diawali dengan pemetaan rantai (chain map) atas produk
unggulan prioritas yang tergolong sebagai peringkat utama, kemudian setiap
mata rantai nilai diidentifikasi kekuatan atau kompetensinya, untuk
selanjutnya dikuantifikasi dan dinilai analisis ekonomi rantai nilainnya.
Analisis dengan menggunakan metode AHP dilakukan melalui diskusi
dengan narasumber yang kompeten serta memiliki kewenangan dan fokus
terhadap produk kompetensi daerah. Metode AHP dilakukan untuk
menentukan produk kompetensi unggulan prioritas dari kompetensi-
kompetensi produk unggulan yang telah diidentifikasi. Adapun kriteria yang
digunakan dalam melakukan penilaian antara lain adalah: (i) keunikan; (ii)
26PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
daya saing; (iii) keterbukaan terhadap pasar baru; dan (iv) manfaat yang
lebih baik bagi pelanggan. Hasil analisis dengan menggunakan metode AHP
menunjukkan bahwa batik dan produk batik yang berada di peringkat
pertama dalam produk unggulan IKM di Kota Surakarta atau Solo adalah
yang memiliki keunikan dalam motif, memiliki daya saing unggulan yang
dominan dalam karakteristik, desain dan daya inovasi, serta memiliki makna
filosofis atas motifnya.
2.3. Kelompok/Organisasi Konsumen di Beberapa Negara
2.3.1. Thailand
Foundation for Consumers (FFC), 1994
Merupakan lembaga non-profit dan non-pemerintah yang terbentuk tahun
1983 dengan nama The Coordinating Committee for Primary Health Care of
Thai NGOs (CCPN) yang bergerak dibidang kesehatan. Lembaga bertujuan
untuk:
a. Melakukan koordinasi antara konsumen dan organisasi konsumen untuk
melindungi hak-hak mereka sendiri;
b. Untuk mempromosikan dan memperkuat organisasi konsumen dan
konsumen untuk berpartisipasi dalam perlindungan konsumen;
c. Untuk penelitian dan studi tentang masalah konsumen untuk
mempromosikan perlindungan konsumen;
d. Melakukan koordinasi dengan organisasi nasional dan Internasional
untuk perlindungan konsumen
2.3.2. Malaysia
1. Consumers Affair and Protection Society of Sabah (CAPS)
Merupakan lembaga independen yang anggotanya berasal dari
masyarakat umum dengan membayar iuran. Kegiatan utama lembaga ini
sebagai berikut :
a. Melindungi dan menjaga masyarakat pengguna dari berbagai unsur
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan penindasan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab.
b. Memupuk kesadaran pengguna sehingga membedakan dengan hak-hak
mereka dan bersuara berdasarkan landasan hak dasar pengguna
seperti berikut:
27PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
- Hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar
- Hak untuk mendapatkan keamanan
- Hak untuk mendapatkan informasi
- Hak untuk membuat pilihan
- Hak untuk berekspresi
- Hak untuk mendapatkan ganti rugi
- Hak untuk mendapatkan pendidikan pengguna
- Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan aman
c. Membantu pemerintah melalui pemantauan harga barang kebutuhan
harian terutama harga barang-barang terkendali di seluruh daerah
d. Menyampaikan saran, komentar dan teguran kepada pihak yang
berwajib agar keluhan atau permasalahan konsumen dapat
ditindaklanjuti.
e. Membentuk masyarakat konsumen ke arah konsumen cerdas melalui
penerapan kebiasaan 'berhemat' dalam mengelola urusan keuangan
pribadi dan keluarga.
f. Mengusulkan seminar, lokakarya, kampanye, kursus, dialog dan lain-lain
kegiatan konsumen yang dapat memberikan ilmu pengetahuan kepada
pengguna di tingkat desa, mukim, daerah dan zona seluruh negeri
dengan kerjasama dan izin pemerintah daerah yang bersangkutan.
g. Bekerjasama dengan asosiasi, organisasi atau organisasi lain baik di
dalam atau di luar negeri yang memiliki misi, visi dan tujuan yang sama
untuk melindungi masyarakat pengguna.
2. Consumers' Association of Subang and Shah Alam, Selangor
(CASSA)
Merupakan lembaga non pemerintah untuk masyarakat Malaysia kelas
bawah. Lembaga ini bertujuan untuk :
a. Melindungi hak-hak konsumen dibidang makanan, perumahan dan
tempat tinggal, perawatan kesehatan, sanitasi, transportasi umum,
pendidikan, kebijakan publik, hak asasi manusia dan lingkungan.
b. Mendidik masyarakat menjadi konsumen yang bertanggung jawab dan
melindungi konsumen dari penyalahgunaan dan malpraktek yang terjadi
di Pasar.
28PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
3. FOMCA: Federation of Malaysian Consumers Associations -
Gabungan Persatuan-Persatuan Pengguna-Pengguna Malaysia
Merupakan lembaga dengan lingkup nasional, non pemerintah, bersifat
sukarela, dan non-profit. Lembaga ini terdiri dari 13 asosiasi konsumen di
Malaysia yaitu asosiasi di setiap negara bagian. Tujuan utama lembaga
adalah melaksanakan kegiatan dalam rangka melindungi hak-hak
konsumen; hak untuk membuat pilihan, hak untuk mendapatkan keamanan,
hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk bersuara, hak untuk
mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan
aman, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar, dan hak untuk
mendapatkan pendidikan pengguna.
Federation of Malaysian Consumers Associations (FOMCA) merupakan
organisasi non pemerintah yang bersifat sukarela, non-profit, berorientasi
kepada masyarakat. FOMCA adalah sebuah badan organisasi yang
memayungi beberapa asosiasi/organisasi konsumen yang terdaftar di
Malaysia. FOMCA telah berdiri sejak 10 Juni 1973. Sebagai payung
organisasi konsumen di Malaysia, FOMCA berperan dalam menghubungkan
segala aktivitas dari berbagai asosiasi konsumen baik di dalam negeri
(Malaysia) maupun di tingkat internasional yang terkait dengan penguatan
perlindungan konsumen melalui pengaruh, jaringan, perwakilan, kampanye
dan edukasi.
Kegiatan FOMCA berfokus pada peningkatan keberdayaan konsumen
terutama di negara berkembang dengan jumlah konsumen yang terus
bertumbuh.
Visi FOMCA antara lain adalah:
1. Mewujudkan konsumen yang berdaya, berdikari dan mampu melindungi
dirinya sendiri;
2. Mewujudkan konsumen yang cerdas, yang membeli sesuai dengan
kebutuhan hidup dan daya beli konsumen (tidak boros).
Peranan FOMCA terkait dengan visi di atas antara lain adalah:
1. Sebuah badan yang memberi dan menyebarkan informasi;
2. Sebuah badan penyidik yang memberi pendidikan kepada semua
anggota (konsumen);
3. Sebuah badan bertindak yang memberi perlindungan kepada konsumen;
29PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
4. Sebuah badan yang menyusun strategi, membuat kajian dan ujian untuk
mendapatkan informasi yang benar.
Beberapa aktivitas atau kegiatan FOMCA antara lain adalah:
1. Melakukan kajian terkait isu-isu konsumen dan dampaknya pada rakyat;
2. Melakukan sosialisasi dan edukasi kepada konsumen;
3. Memberikan perlindungan konsumen yang lebih baik;
4. Bila perlu, menjalankan pemeriksaan produk.
Beberapa tujuan dari FOMCA antara lain adalah:
1. Memperkuat perkembangan pergerakan konsumen di Malaysia;
2. Meneliti isu-isu dan masalah konsumen dan berjuang untuk hak-hak
konsumen;
3. Mengusahakan perlindungan konsumen melalui daya beli konsumen
untuk mendapatkan satu orientasi pembangunan yang akan menjamin
keadilan sosial ekonomi dan kualitas perdagangan yang lebih baik bagi
semua stakeholder;
4. Menngkoordinasikan dan menjadi badan konsultasi bagi organisasi
konsumen lain di Malaysia.
Beberapa fungsi utama dan peran FOMCA antara lain adalah:
1. Memberikan pelayanan sebagai koordinator, konsultan dan agen
penasehat terhadap asosiasi konsumen di Malaysia yang terdaftar
sebagai anggotanya;
2. Menampung dan memberikan saran sesuai minat konsumen dalam
rangka mempromosikan kesejahteraan konsumen;
3. Membantu menyelesaikan permasalahan konsumen melalui kebijakan
yang berkembang dan advokasi;
4. Menyediakan perwakilan bagi anggota asosiasi dalam hal hubungan
dengan pemerintah;
5. Menyebarkan informasi kepada konsumen dan memberikan edukasi
kepada konsumen.
Adapun beberapa prinsip FOMCA antara lain adalah:
1. Bekerjasama dengan pemerintah tetapi bukan untuk pemerintah;
2. Bekerjasama dengan konsumen tetapi bukan untuk konsumen;
3. Mengawal kaidah perdagangan yang bersifat mengeksploitasi dan tidak
beretika tetapi bukan menentang kaidah perdagangan yang bertanggung
jawab.
30PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
FOMCA juga mewakili konsumen dalam hal pembuatan kebijakan dan
implementasi kebijakan di berbagai Kementerian dan Badan, seperti
Kementerian Perdagangan Domestik dan Urusan Konsumen (The Ministry of
Domestic Trade and Consumer Affairs), Kementerian Kesehatan (The
Ministry of Health), Kementerian Keuangan (The Ministry of Finance), dan
lain sebagainya.
2.4. Kerangka pikir
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan perlu mengoptimalkan
upaya dalam pemberdayaan konsumen. Bagian penting dari aspek
pemberdayaan konsumen adalah peningkatan peran kelompok konsumen
untuk memperjuangkan kepentingan konsumen. Hasil studi sementara dari
berbagai literatur menunjukkan masih sedikit LPKSM yang memiliki lingkup
kerja yang spesifik. Pembentukan LPKSM dengan lingkup spesifik akan
meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan edukasi dan advokasi
karena LPKSM menguasai materi secara spesifik. Potensi pembentukan
LPKSM tersebut termasuk berdasarkan kelompok barang dan jasa (sector)
dan berdasarkan wilayah. Kemudian, potensi tersebut akan dibahas dan
dianalisis dengan menggunakan metode case study dan juga Analytical
Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan potensi mana yang
memungkinkan serta untuk menentukan prioritas yang mana yang akan
menjadi basis pembentukan kelompok konsumen.
Selain itu, dari hasil studi lapangan juga akan dijabarkan bagaimana
bentuk kelembagaan serta pelaksanaan program dan kegiatan yang
dilaksanakan oleh LPKSM. Secara umum, LPKSM merupakan lembaga non-
profit dan non-pemerintah yang membiayai dirinya sendiri dan bersifat
sukarela. Selanjutnya akan dibahas bagaimana bentuk kelembagaan
tersebut mempengaruhi LPKSM dalam menjalankan program dan
kegiatannya dengan metode pendekatan studi kasus. Lebih lanjut, studi
literatur menyatakan bahwa selain frekuensi kegiatan yang memadai, ada
beberapa unsur atau elemen dalam pelaksanaan program edukasi dan
advokasi yang perlu dipenuhi sehingga kegiatan tersebut memberikan
dampak yang positif dan signifikan. Dalam pelaksanaan edukasi, konsumen
perlu: 1) memperoleh informasi yang memadai terkait pilihan barang dan
jasa yang tersedia (informed choice); 2) memperoleh perlindungan dari
31PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
eksploitasi yang mungkin terjadi; dan 3) program edukasi juga harus
memupuk daya pikir kritis konsumen sehingga konsumen dapat secara aktif
melindungi dirinya sendiri (critical view). Sementara itu, yang diperlukan
dalam pelaksanaan kegiatan advokasi adalah pengetahuan yang cukup,
kredibilitas sudah dibangun secaa baik oleh LPKSM, memperkuat jaringan,
serta penting untuk selalu melibatkan konsumen dalam proses advokasi.
Kelompok/OrganisasiKonsumendalamMendukungPemberdayaan
Konsumen
Potensi
PembentukanBentuk
KelembagaanPelaksanaanProgram
Program- Berdasarkankelompokbarangdanjasa
- Berdasarkanwilayah
- Berdasarkankesamaansosialekonomi
- Non-profit- Non-government- Self/memberfunding
- Voluntary
a. Edukasi:- Informedchoice- Perlindungandari
eksploitasi- Criticalview
b. Advokasi:- Knowledge- Kredibilitas- Networks- Consumer
engagement
MetodeAnalisis:
CaseStudyApproach
32PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
BAB 3
METODOLOGI
3.1. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer berasal dari para responden yaitu key person pada
consumer group yang sudah terbentuk di masyarakat serta lembaga terkait
lainnya untuk menggali informasi tentang pembentukan consumer group,
perekrutan anggota, pembentukan jaringan, serta program dan kegiatan
yang dilaksanakan dalam rangka mengedukasi dan mengadvokasi anggota
dan masyarakat secara umum. Sementara data sekunder yang dikumpulkan
meliputi regulasi, literatur dan referensi yang terkait, data jumlah consumer
group dan LPKSM, program edukasi dan advokasi yang dilaksanakan
pemerintah dan pihak lainnya.
3.2. Metode Pengumpulan Data
- Purposive sampling
33PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Penentuan responden dilakukan dengan purposive sampling, yaitu
responden dipilih berdasarkan kriteria tertentu, antara lain merupakan
penggagas terbentuknya kelompok konsumen, pengurus, anggota, dan
mitra terkait.
- In-depth interview
In-depth interview dilakukan untuk memperoleh keterangan secara
mendalam sesuai dengan tujuan penelitian. Wawancara dilakukan
dengan tatap muka antara pewawancara dengan responden atau
orang yang diwawancarai. Penggalian dilakukan untuk
mengetahui pendapat responden dalam memandang sebuah
permasalahan. Salah satu kelebihan teknik ini adalah topik atau
pembahasan masalah yang ditanyakan bisa bersifat kompleks
atau sangat sensitif.
- Group discussion
Dalam diskusi grup ini akan diundang seluruh pemangku kepentingan
dalam pelaksanaan pemberdayaan konsumen, antara lain perwakilan
pihak pemerintah, akademisi, penggiat perlindungan konsumen,
termasuk key person yang terlibat dalam kelompok/organisasi
konsumen. Bahasan yang didiskusikan dalam diskusi grup ini meliputi
program dan regulasi pemerintah dan pihak lainnya dalam mendukung
perkembangan kelompok/organisasi konsumen, pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan konsumen baik oleh pemerintah maupun oleh
kelompok/organisasi konsumen, hambatan dan permasalahan yang
dihadapi serta dukungan yang diharapkan.
3.3. Metode Analisis Data
3.3.1. Case-study approach
Metode analisis yang digunakan untuk memetakan potensi pembentukan
kelompok/organisasi konsumen adalah dengan analisis deskriptif terhadap
data dan informasi yang diperoleh melalui studi literatur maupun hasil in-
depth interview. Kemudian, pendekatan yang digunakan terkait
kelembagaan/organisasi dan pengelolaan kelompok konsumen adalah case
study atau studi kasus untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam
mengenai kelompok/organisasi konsumen yang sudah terbentuk.
Pendekatan ini menekankan pada analisis kontekstual pada aspek
34PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
pembentukan, kelembagaan, pengelolaan dan kemudian menganalisis relasi
atau hubungannya. Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan
analisis case study adalah sebagai berikut :
1. Menentukan dan mendefisinikan pertanyaan penelitian
2. Menentukan contoh kasus yang dijadikan obyek analisis
3. Menyiapkan pengumpulan data termasuk menyusun kuesioner atau
panduan wawancara (in-depth interview)
4. Pengumpulan data
5. Penyusunan laporan
Setelah in-depth interview dilakukan, tahap berikutnya adalah melakukan
analisis deskriptif. Beberapa tahapan sebelum melakukan analisis :
a. Meninjau ulang data dan informasi yang dikumpulkan
b. Membuat transkrip atau verbatim dan membaca ulang transkrip
c. Melakukan koding terhadap sikap, pendapat responden yang
memiliki kesamaan
d. Menentukan kesamaan sikap dan pendapat berdasarkan konteks
yang berbeda
e. Menentukan persamaan istilah yang digunakan, termasuk
perbedaan pendapat terhadap istilah tersebut
f. Mencari hubungan diantara masing-masing kategorisasi yang ada
untuk menentukan bentuk bangunan hasil diskusi atau sikap dan
pendapat
3.3.2. Analytical Hierarchy Process (AHP)
Secara garis besar, terdapat tiga tahapan pelaksanaan AHP dalam
penyusunan prioritas (Susila & Munadi, 2007):
1. Dekomposisi dari masalah
Untuk menyusun prioritas, maka masalah penyusunan prioritas harus
mampu didekomposisi menjadi tujuan dari suatu kegiatan, identifikasi
pilihan-pilihan, dan perumusan kriteria untuk memilih prioritas.
2. Penilaian untuk membandingkan elemen-elemen hasil dekomposisi
Pada bagian ini, terdapat dua tahap penilaian atau pembandingan antar
elemen yaitu perbandingan antar kriteria dan perbandingan antar pilihan
untuk setiap kriteria. Perbandingan antar kriteria bertujuan untuk
menentukan bobot untuk masing masing kriteria. Sementara itu,
35PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
perbandingan antar pilihan untuk setiap kriteria dimaksudkan untuk
melihat bobot suatu pilihan untuk suatu kriteria. Dengan demikian,
tujuan dari penilaian ini adalah untuk melihat seberapa penting suatu
pilihan dilihat dari kriteria tertentu.
Pada awalnya, penilaian atau perbandingan yang digunakan oleh Saaty
(2008) adalah dengan menggunakan skala dari 1/9 sampai dengan 9. Jika
pilihan A dianggap sama (indifferent), maka A dan B masing masing diberi
nilai 1/3. Jika A jauh lebih disukai dibanding B, maka A diberi nilai 3 dan B
diberi nilai 1/3. Atau dengan penilaian lainnya dimana jika A jauh lebih
disukai dibanding B, maka A misalnya diberi nilai 7 dan B diberi nilai 1/7.
Tabel 3.1 Skala Penilaian Metode AHP Skala Penilaian
(Tingkat Kepentingan) Definisi Keterangan
1 Sama penting 2 Lemah atau sedikit lebih
penting
Dua kegiatan memiliki kontribusi yang sama terhadap pencapaian tujuan
3 Cukup penting 4 Lebih penting
Pengalaman dan penilaian sedikit lebih mendukung satu kegiatan dibanding yang lainnya
5 Kepentingan yang kuat 6 Kepentingan yang lebih
kuat
Pengalaman dan penilaian sedikit lebih mendukung satu kegiatan dibanding yang lainnya
7 Sangat kuat atau kepentingan yang didemonstrasikan
8 Sangat, sangat penting
Sebuah kegiatan yang sangat didukung dibanding kegiatan lainnya; dominan dari kegiatan tersebut ditunjukkan oleh praktek di lapangan
9 Sangat penting (kepentingan yang ekstrim)
Terdapat bukti pendukung untuk mendukung suatu kegiatan dibanding pilihan kegiatan lainnya
1.1-1.9 Jika kegiatan-kegiatannya sangat berdekatan
Kondisi dimana sulit untuk menetapkan kegiatan mana yang lebih penting, namun tetap dapat diputuskan melalui kepentingan relatif antar kegiatan.
Sumber: Saaty, 2008.
36PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Alternatif penilaian lainnya adalah seperti yang digunakan oleh Bourgeois
(2005) yang menggunakan skala antara 0,1 sampai dengan 1,9. Sebagai
contoh, misalkan A sedikit lebih baik/disukai dari B, maka A diberi nilai 1,3
dan B dinilai 0,7. Namun, jika A jauh lebih disukai dibanding B, maka nilai A
menjadi 1,6 dan B menjadi 0,4 (Tabel 3.2).
Tabel 3.2 Skala Penilaian Hasil Penilaian Nilai A Nilai B
A sangat jauh lebih disukai dari B 1,9 0,1 A jauh lebih disukai dari B 1,6 0,4 A sedikit lebih disukai dari B 1,3 0,7 A sama dengan B 1,0 1,0 A sedikit kurang disukai dari B 0,7 1,3 A jauh kurang disukai dari B 0,4 1,6 A sangat jauh kurang disukai dari B 0,1 1,9 Sumber: Bourgeois, 2005.
Dengan menggunakan penilaian seperti tabel diatas, maka perbandingan
antar kriteria akan menghasilkan seperti Tabel 3.3 berikut. Jika diasumsikan
hanya terdapat empat kriteria, maka dari tabel tersebut dapat dirangkum
sebagai berikut:
Cij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara kriteria i dengan j;
Ci merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki kriteria ke-i;
C merupakan penjumlahan semua nilai ci;
Bobot kriteria ke I diperoleh dengan membagi nilai ci dengan c.
Tabel 3.3 Perbandingan antar Kriteria Kriteria CR1 CR2 CR3 CR4 Jumlah Bobot
CR1 - C12 C13 C14 C1 Bc1=c1/c CR2 C21 - C23 C24 C2 Bc2=c2/c CR3 C31 C32 - C34 C3 Bc3=c3/c CR4 C41 C42 C43 - C4 Bc4=c4/c
Jumlah C
Proses penilaian antar pilihan dilakukan untuk semua kriteria dan
dilakukan oleh ahli atau stakeholder utama. Jumlah ahli yang diikutsertakan
bervariasi tergantung pada ketersediaan sumber daya. Penilaian ini dapat
dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada masing masing ahli
ataupun dengan melakukan suatu pertemuan para ahli untuk melakukan
penilaian tersebut.
37PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
3. Sintesis Penilaian
Sintesis penilaian merupakan tahap akhir dari AHP. Sintesis merupakan
penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap pilihan pada masing masing
kriteria setelah diberi bobot dari kriteria tersebut. Secara umum, nilai suatu
pilihan adalah sebagai berikut:
!"#$= $=1%!"$& * !'&
(1)
Bop = nilai/bobot untuk pilihan ke-i
Formula tersebut dapat juga disusun dalam bentuk tabel. Untuk
memudahkan penilaian, diasumsikan ada empat kriteria dengan empat
pilihan seperti Tabel 3.4 berikut. Sebagai contoh, nilai prioritas/bobot pilihan
1 (OP1) diperoleh dengan mengalikan nilai bobot pada kriteria dengan nilai
yang terkait dengan kriteria tersebut untuk pilihan 1 sebagai berikut:
Bop1 = bo11 * bc1 + bo12 * bc2 + bo13 * bc3 + bo14 * bc4
..(2)
Hal yang sama dilakukan untuk pilihan ke-2, 3 dan 4. Setelah diperoleh
nilai untuk masing masing pilihan, prioritas dapat disusun berdasarkan
besarnya nilai tersebut. Smakin tinggi nilai suatu pilihan, maka semakin
tinggi prioritasnya dan sebaliknya.
Tabel 3.4 Sintesa Penilaian CR1 CR2 CR3 CR4 Prioritas bc1 bc2 bc3 bc4 bopi
OP1 bo11 bo12 bo13 bo14 bop1 OP2 bo21 bo22 bo23 bo23 bop2 OP3 bo31 bo32 bo33 bo34 bop3 OP4 bo41 bo42 bo43 bo44 Bop4
Sektor Prioritas Dalam Pembentukan LPKSM
Selanjutnya, dengan metode AHP maka disusun prioritas sektor atau
kelompok barang yang menjadi basis pembentukan kelompok konsumen
atau LPKSM. Untuk itu diperlukan pilihan sektor-sektor prioritas, indikator
atau kategori penilaian, dan bobot dari masing indikator tersebut.
Berdasarkan hasil tinjauan literatur dan diskusi dengan expert, maka sektor-
38PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
sektor yang penting untuk dijadikan basis pembentukan LPKSM tercantum
dalam tabel berikut.
Tabel 3.5. Sektor-sektor penting terkait perlindungan konsumen
3.4. Jadwal Operasional Pengumpulan Data di Daerah
Pelaksanaan survey dilakukan oleh Tim Peneliti yang dibagi menjadi 4
(empat) tim berdasarkan wilayah. Adapun susunan tim dan target
responden adalah sebagai berikut:
Tabel 3.6. Operasional Survey
Daerah Waktu
Pelaksanaan
Petugas Survey Target
Responden
Sumatera
Utara
M5 Mei 2016 Michael
Manurung, Yudha
Hadian Nur Ratna
Anita
Key person pada
kelompok
konsumen yang
sudah ada, dinas
dan lembaga
terkait
D.I.Yogyakarta M4 Juni 2016 Ratna Anita, Riska
Pujiati, Deasy
Key person pada
kelompok
39PuskaDagri,BPPP,KementerianPerdagangan,2016
Hariyani konsumen yang
sudah ada, dinas
dan lembaga
terkait
Banten M5 Juni 2016 Ranni Resnia,
Bagus Wicaksena,
Riska Pujiati
Key person pada
kelompok
konsumen yang
sudah ada, dinas
dan lembaga
terkait
Jawa Barat M4 Juli 2016 Sri Hartini, Ranni
Resnia, Ratna