Author
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM RANGKA PERCEPATAN SWASEMBADA PANGAN
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013
http://www.google.com/imgres?start=115&um=1&hl=en&biw=972&bih=546&tbm=isch&tbnid=BUtqbTSbqxTxqM:&imgrefurl=http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=93:bima-8-jagung-hibrida&catid=44:database-varietas-jagung&docid=TSh-_tl22H0z3M&imgurl=http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/images/stories/bima8.jpg&w=600&h=1068&ei=dBr2UYSDNIrkrAfDwYDgCw&zoom=1&ved=1t:3588,r:21,s:100,i:67&iact=rc&page=11&tbnh=211&tbnw=123&ndsp=13&tx=70&ty=4�
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Swasembada pangan merupakan salah satu dari empat target utama
pembangunan pertanian ke depan (2010-2014). Program swasembada pangan
ini mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa
karena pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan
pangan seperti terjadinya krisis beras pada tahun 2008 yang ditandai oleh
gejolak harga beras, telah memberikan pelajaran bahwa melindungi pasar dalam
negeri dengan swasembada pangan yang efisien merupakan hal yang sangat
diperlukan.
Indonesia saat ini masih sulit mencapai target swasembada pangan 2014
karena produksi dan produktivitas tanaman pangan terus menurun. Bahkan hasil evaluasi Indeks Ketahanan Pangan Global yang dilakukan oleh Economist
Intelligence Unit pada tahun 2012 menempatkan Indonesia di posisi ke 5 dari 7
negara ASEAN. Posisi ketahanan pangan Indonesia tersebut berada di bawah
Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Hal tersebut menunjukan bahwa
dengan demikian, peran diversifikasi konsumsi pangan menjadi penting sebagai
salah satu instrumen kebijakan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi
pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan
dapat dijadikan sebagai instrumen peningkatan produktifitas kerja melalui
perbaikan gizi masyarakat.
Analisis terhadap perkembangan pola diversifikasi dan tingkat konsumsi
pangan pokok di Indonesia menjadi sangat penting untuk dilakukan. Demikian
pula analisis kebijakan pangan pokok di Indonesia pada saat ini dan waktu
mendatang dalam perspektif percepatan pencapaian swasembada pangan pokok
juga sangat perlu dilakukan melalui serangkaian analisis, yang mencakup: (1)
Dinamika permintaan, penawaran dan kebijakan perdagangan tentang komoditas
pangan pokok di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara lain di
kawasan ASEAN; (2) Proyeksi perkembangan permintaan dan penawaran
pangan pokok dalam jangka pendek, menengah dan panjang; dan (3) Alternatif
kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk mendorong diversifikasi konsumsi
pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada
pangan pokok.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan ii
Tujuan dari kajian ini adalah menganalisis dinamika pola diversifikasi dan
tingkat konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia. Menganalisis
perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di
Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Merumuskan opsi-opsi
kebijakan perdagangan untuk mendorong diversifikasi konsumsi komoditas
pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada
pangan pokok.
Berdasarkan hasil analisis dan FGD dapat disimpulkan beberapa hal yaitu
1) Pangsa pengeluaran pangan masyarakat Indonesia meningkat dari 52,42
persen pada tahun 2002 menjadi 54,69 persen pada 2011 atau meningkat
sebesar 4,15 persen selama periode 2002-2011. Pola konsumsi masyarakat
masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-jadi sehingga kualitas
konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah, dimana konsumsi karbohidrat
masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbi-umbian
rendah. Padahal, potensi keanekaragaman pangan Indonesia sebenarnya
tergolong besar karena negeri ini kaya akan jenis pangan nabati dan hewani. 2)
Konsumsi energi masyarakat selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode
2002-2011 sehingga tidak sesuai dengan pola pangan yang ditetapkan dalam
Pola Pangan Harapan (PPH). Untuk menuju PPH, konsumsi beras harus
dikurangi, sebaliknya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah
perlu ditingkatkan secara signifikan. 3) Dilihat dari segi ketersedian energi
pangan, di Indonesia terjadi kesinambungan surplus energi pangan sejak 2005.
Namun terdapat masalah pada keseimbangannya, yang diindikasikan oleh
persentase ketersedian energi dari: (a) Padi-padian terlalu tinggi, (b) Pangan
Hewani terlalu rendah, (c) Umbi-umbian terlalu tinggi, dan (d) Kacang-kacangan
terlalu rendah. Apabila ketersedian energi dibandingkan dengan konsumsi energi
maka kelebihan energi tertinggi diperoleh dari Padi-padian (992 kkal), yang
kemudian diikuti dari Umbi-umbian (56 kkal) dan Pangan Hewani (165 kkal). 4)
Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak
tahun 60-an. Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan
lebih ditekankan pada usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, karena
diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan
pokok. Program diversifikasi konsumsi pangan juga dilakukan secara parsial,
baik dalam konsep, target, wilayah maupun sasaran, dan tidak dalam kerangka
diversifikasi secara utuh.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan iii
Berdasarkan hasil analisis terhadap Perkembangan Permintaan dan
Penawaran diperoleh gambaran bahwa: 1) Permintaan lima komoditas pangan
yang dianalisis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami
pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu
masing-masing 4,14 persen, 6,16 persen, 7,58 persen, 8,24 persen dan 8,11
persen per tahun. Laju pertumbuhan permintaan tersebut jauh melebihi laju
pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01 persen per tahun. Hal ini
mengindikasikan pertumbuhan yang cepat pada industri pengolahan makanan
dan minuman; 2) Selama kurun waktu 2008-2012, produksi lima komoditas
pangan yang dianalisis mengalami pertumbuhan yang bervariasi dari negatif
yaitu gula (-1,73 persen/tahun), sangat lambat yaitu kedelai (0,75 persen/tahun),
lambat yaitu jagung (3,21 persen/tahun) dan beras (2,85 persen/tahun), dan
sangat cepat yaitu daging sapi (19,50 persen/tahun). Khusus daging sapi, perlu
dicatat bahwa laju pertumbuhan produksi yang sangat cepat tersebut bukan
berasal dari ternak sapi lokal saja tetapi juga termasuk sapi bakalan dari
Australia yang diimpor, digemukkan dan dipotong di Indonesia; 3) Selama kurun
waktu yang sama (2008-2012), secara konsisten terjadi defisit produksi dan
cenderung meningkat cepat. Laju peningkatan defisit rata-rata per tahun sangat
cepat pada beras dan jagung, yaitu masing-masing 62,06 persen dan 69,68
persen, sedangkan deficit gula, daging sapi dan kedelai masing-masing sebesar
24,38 persen, 18,73 persen dan 11,23 persen; 4) Hasil estimasi elastisitas
menunjukkan penurunan sensitivitas dari konsumsi pangan langsung terhadap
perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan
gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis). Elastisitas
pengeluaran pada 2011 menunjukkan bahwa kelima komoditas yang dikaji
tergolong barang normal. Dengan demikian, permintaan akan terus meningkat
jika pendapatan masyarakat meningkat; 5) Luas panen padi, jagung, kedelai dan
tebu/gula dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh harga output sendiri di
tingkat produsen dengan elastisitas paling rendah pada padi (0,477) dan paling
tinggi pada tebu/gula (0,901). Harga komoditas pesaing yang berpengaruh hanya
harga jagung terhadap luas panen kedelai dengan elastisitas -0.648, namun luas
panen jagung tidak dipengaruhi oleh harga kedelai. Dengan perkataan lain,
perluasan areal panen jagung dapat menurunkan luas areal panen kedelai, tetapi
tidak terjadi yang sebaliknya; 6) Hasil analisis respon produktivitas menunjukkan
bahwa harga output sendiri berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung,
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan iv
kedelai dan tebu/gula dengan elastisitas yang bervariasi dari paling rendah yaitu
0,103 pada jagung dan 0,403 pada tebu/gula. Variabel Trend sebagai proksi
teknologi berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan gula.
Untuk produksi daging sapi, harga produsen berpengaruh positif dengan
elastisitas 0,381. Produksi daging sapi juga dipengaruhi secara positif oleh
teknologi dengan elastisitas 0,019; 7) Elastisitas transmisi harga impor ke harga
konsumen berkisar dari yang paling rendah sebesar 0,663 (gula) hingga yang
tertinggi sebesar 0,974 (jagung). Elastisitas transmisi TBM ke harga konsumen
bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,175 (beras) sampai dengan yang
tertinggi yaitu 0,320 (gula). Harga produsen dipengaruhi secara positif oleh harga
konsumen dengan elastistas yang bervariasi dari yang paling rendah sebesar
0,884 (gula) hingga yang tertinggi sebesar 0,966 (kedelai). Khusus untuk gabah
dan gula, harga produsen juga dipengaruhi oleh HPP dengan elastisitas masing-
masing 0,080 dan 0,144.
Berdasarkan Proyeksi Permintaan dan Penawaran 2013-2050 dapat
disimpulkan bahwa untuk Beras: pada tahun 2014 masih akan mengalami defisit
produksi 71.818-78.639 ton. Surplus produksi diproyeksikan akan mulai diraih
pada tahun 2015 yang mencapai 693-1.113 ribu ton. Surplus tersebut akan terus
meningkat sampai dengan tahun 2050 yang mencapai 28.962-35.933 ribu ton.
Skenario III (optimis) menghasilkan surplus beras paling besar, sedangkan
Skenario I (pesimis) paling kecil. Jagung: defisit produksi akan terus menurun
sampai dengan tahun 2025 dan mencapai surplus 39.946 ton pada tahun 2026
dengan Skenario I (pesimis) pada tahun 2023 surplus 3.885 ton dengan Skenario
II (sedang) dan pada tahun 2020 surplus 33.579 ton dengan Skenario III
(optimis). Dengan Skenario III (optimis), swasembada jagung dapat dicapai
paling cepat. Surplus terus meningkat sampai dengan 2050 yang mencapai
12.618-15.064 ribu ton. Kedelai: defisit produksi diproyeksikan akan terus
meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi kedelai akan
mencapai 2.053-2.078 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan naik menjadi 4.921-
5.051 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara
Skenario III (optimis) paling kecil. Gula: defisit produksi diproyeksikan akan terus
meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi gula akan mencapai
2.197-2.198 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat cepat menjadi 8.068-
9.363 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara
Skenario III (optimis) paling kecil. Daging sapi lokal: defisit produksi
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan v
diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit
produksi daging sapi akan mencapai 101.242-109.986 ton, dan pada tahun 2050
akan meningkat sangat cepat menjadi 2.589-2.650 ribu ton. Kebalikan dari empat
komoditas sebelumnya, pada daging sapi Skenario I (pesimis) menghasilkan
defisit paling kecil, sementara Skenario III (optimis) paling besar.
Berdasarkan hasil analisis terhadap pola konsumsi, analisis trend dan hasil
proyeksi, maka langkah-langkah kebijakan yang dapat diambil adalah 1)
Pengembangan produk (product development) yang diperankan oleh industri
pengolahan makanan untuk meningkatkan cita-rasa dan citra-produk pangan
khas nusantara; 2) Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis
sumberdaya pangan lokal bagi aparat pemerintahan di tingkat pusat dan daerah,
individu, kelompok masyarakat dan industri; 3) Pendidikan diversifikasi konsumsi
pangan secara sistematis, terutama mengenai pola pangan beragam, bergizi,
dan berimbang, yang dilakukan sejak dini (perlu dimasukkan ke dalam kurikulum
di SD, SLTP dan SLTA); 4) Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak
memproduksi, menyediakan, memperdagangkan, dan/atau mengkonsumsi
pangan yang tidak aman (mengandung zat adiktif, terkontaminasi mikroba, kotor,
dan lain-lain); 5) Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu
diselaraskan, khususnya dalam pengembangan pertanian, perikanan dan industri
pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi sumber
pangan non-beras, namun tidak menggantungkan pada barang pangan impor; 6)
Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka
pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumber
daya lokal. Untuk itu, perlu program yang jelas dan terkoordinasi untuk
memproduksi pangan lokal secara memadai.
Sedangkan untuk Kebijakan Perdagangan Luar Negerinya yang feasible
untuk dilakukan adalah Kebijakan perdagangan dalam bentuk TBM (Tarif Bea
Masuk), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk
jagung, kedelai dan daging sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan
kuantitatif bagi pertanian kelima komoditas pangan strstegis tersrbut di Indonesia
masih tetap diperlukan. Sehubungan dengan itu, Indonesia berkewajiban untuk
menotifikasi atau merenegosiasi TBM-nya dengan anggota ASEAN dan
ASEAN+mitra, sebagaimana Indonesia juga harus menotifikasikan TBM-nya ke
negara-negara anggota WTO melalui Sekretariat WTO. Tujuan kebijakan
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan vi
perdagangan dalam bentuk TBM tersebut adalah untuk menghambat laju
pertumbuhan konsumsi per kapita bagi komoditas-komoditas yang konsumsi per
kapitanya dinilai sudah berlebihan, sekaligus mendorong pertumbuhan produksi
beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, sehingga swasembada dapat lebih
cepat tercapai.
Kebijakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah Kebijakan Pertanian dan
Prasarana Umum melalui: 1) Pengembangan inovasi teknologi secara terus-
menerus sesuai dengan kondisi alam perdesaan, sosial-budaya dan ekonomi
petani, yang disertai dengan sistem penyuluhan yang efektif untuk diseminasi
teknologi tersebut kepada petani produsen, sehingga produktivitas dan efisiensi
proses produksi makin tinggi; 2) Percepatan peningkatan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) untuk beras dan Harga Patokan (HP) untuk gula untuk
mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik sekaligus mendorong
perluasan areal tanam; 3) Perlambatan kenaikan harga subsidi input, yaitu benih
unggul baru, pupuk organik dan pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK) untuk
mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik; 4) Pembangunan dan
perbaikan prasarana pertanian, utamanya jaringan irigasi, jalan pertanian,
jembatan dan pelabuhan laut. Jaringan irigasi diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan pengairan sehingga Indeks Pertanamaan (IP) dan produktivitas dapat
ditingkatkan; 5) Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan lahan untuk
kedelai dan tebu/ gula harus lebih besar dibanding konversinya. Pemerintah
Daerah harus mematuhi berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan
kelestarian lahan pangan dan alih fungsi lahan pertanian, dan tidak sekadar
mengejar PAD melalui pembangunan kaawsan industri yang dapat mengancam
produksi pangan pokok, utamanya beras; 6) Pengendalian/pencegahan
pemotongan ternak sapi potong betina produktif untuk mencegah terjadinya
pengurasan populasi ternak sapi potong melalui pengawasan pemotongan di
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) milik pemerintah, swasta dan pribadi. Untuk
itu perlu diterbitkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pelarangan pemotongan
sapi betina produktif. Pemotongan harus mendapatkan izin Dinas Peternakan
dan para pelaku yang melanggar harus dikenakan sanksi hukum sesuai dengan
Perda terkait; 7) Jalan pertanian diperlukan untuk memperlancar angkutan hasil
pertanian dari lahan/kebun ke jalan desa/jalan raya, sementara jalan raya,
jembatan dan pelabuhan laut diperlukan untuk memperlancar proses distribusi
pangan dalam daerah dan antar daerah (aspek konektivitas).
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan vii
Untuk kebijakan Kebijakan Demografi yang perlu dilakukan adalah
Perlambatan laju pertumbuhan penduduk melalui penggalakan kembali program
Keluarga Berencana (KB) dengan moto “Dua Anak Cukup” dan “Keluarga Kecil
Sejahtera” untuk memperlambat laju pertumbuhan jumlah penduduk. Salah satu
dampak positif dari perlambatan laju pertumbuhan jumlah penduduk adalah
memperlambat laju kenaikan konsumsi pangan. Peran lembaga-lembaga yang
terkait erat dengan masalah kependudukan (PKK, Posyandu, dan lain-lain),
lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan perlu mengajarkan dan
menanamkan pengertian tentang pentingnya melakukan KB.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan hidayah-Nya, laporan tentang : Kajian Peran Kebijakan
Perdagangan Dalam Rangka Pencapaian Swasembada Pangan ini dapat
diselesaikan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Kajian ini bertujuan
untuk menganalisis dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas
pangan pokok di Indonesia. Menganalisis perkembangan permintaan dan
penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek,
menengah dan panjang. Merumuskan opsi-opsi kebijakan perdagangan untuk
mendorong diversifikasi konsumsi komoditas pangan masyarakat dalam
mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan Data dan informasi
tentang dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan
pokok di Indonesia. Perkembangan permintaan dan penawaran komoditas
pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang serta
Informasi tentang rumusan opsi-opsi kebijakan perdagangan untuk mendorong
diversifikasi konsumsi komoditas pangan masyarakat dalam mendukung
percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.
Akhir kata, semoga hasil kajian ini menjadi langkah awal bagi proses
penyusunan rencana dan tindak lanjut kebijakan perdagangan untuk mendukung
pencapaian swasembada pangan yang komprehensif dan berguna bagi
pembangunan perekonomian daerah dan nasional.
Jakarta, Nopember 2013
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan ix
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF .............................................................................
KATA PENGANTAR .......................................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................................
DAFTAR TABEL .............................................................................................
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
Hal
i
viii
ix
xi
xiii
xiv
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN ..........................................................................
1.1. Latar Belakang ......................................................................
1.2. Tujuan ...................................................................................
1.3. Keluaran Yang Diharapkan ...................................................
1.4. Dampak Kajian ......................................................................
1.5. Ruang Lingkup ......................................................................
1.6. Sistimatika Laporan ...............................................................
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
2.1. Konsep Diversifikasi dan Pola Konsumsi Pangan .................
2.2. Hukum Permintaan dan Penawaran ......................................
2.3. Konsep Kebijakan Perdagangan – Tarif Bea Masuk .............
2.4. Konsep Ketergantungan Impor ..............................................
2.5. Metode Analisis Penawaran dan Permintaan Pangan ..........
2.6. Pengalaman Kebijakan Perdagangan dan Harga Komoditas
Pangan Strategis di Indonesia ..............................................
2.7. Promosi Diversifikasi Pangan ................................................
METODOLOGI .............................................................................
3.1. Kerangka Teori ......................................................................
3.2. Kerangka Analisis ..................................................................
3.3. Jenis dan Sumber Data .........................................................
3.4. Metoda Analisis .....................................................................
POLA DIVERSIFIKASI DAN TINGKAT KONSUMSI
KOMODITAS PANGAN STRATEGIS ..........................................
4.1. Dinamika Pola Konsumsi .......................................................
4.2. Pola Konsumsi Energi Pangan ..............................................
1
1
3
4
4
4
5
7
7
10
13
15
17
19
36
37
37
42
44
44
57
57
63
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan x
BAB V
BAB VI
BAB VII
4.3. Ketersediaan Energi Pangan .................................................
4.4. Pola Diversifikasi ...................................................................
4.5. Kebijakan Diversifikasi Pangan .............................................
PERKEMBANGAN PERMINTAAN DAN PENAWARAN
KOMODITAS PANGAN SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA ................................................................
5.1. Perkembangan Permintaan dan Penawaran .........................
5.2. Faktor-faktor Determinan Permintaan dan Penawaran .........
5.3. Transmisi Harga ....................................................................
PROYEKSI PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS
PANGAN STRATEGIS THUN 2013-2050 ....................................
6.1. Skenario Kebijakan Pemerintah dan Variabel lain ................
6.2. Proyeksi Konsumsi/Permintaan .............................................
6.3. Proyeksi Produksi/Penawaran ...............................................
6.4. Pencapaian Swasembada Pangan .......................................
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..............................
7.1. Kesimpulan ............................................................................
7.2. Implikasi Kebijakan ................................................................
67
70
74
79
79
82
87
89
89
93
95
97
101
101
104
Daftar Pustaka ................................................................................................ 108
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan xi
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1. Rasio Ketergantungan Impor Pangan (Persen) ......................... 16
Tabel 2.2. Regim Kebijakan Pergulaan Nasional ........................................ 26
Tabel 4.1. Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan Pendk Indonesia ...... 59
Tabel 4.2. Dinamika Konsumsi Beberapa Jenis Pangan (Kg/Kp/Th) .......... 60
Tabel 4.3. Besaran Pengeluaran Pangan Penduduk Indonesia Menurut
Kelas Pengeluaran (Kg/Kap/Th) .................................................
61
Tabel 4.4. Susunan Pola Pangan Harapan(PPH) Nasional Kkal/Kap/Hr .... 64
Tabel 4.5. Konsumsi Energi Pangan Penduduk Indonsia MenurutKelas
Pendapatan (Kka/Kap/Hr)Tahun 2011 .......................................
66
Tael 4.6. Pola Ketersediaan dan Konsumsi Energi Bahan Pangan
Penduduk Indonesia Tahun 2010 ..............................................
70
Tabel 4.7. Konsumsi Pangan Sumber Karbohindrat : Beras, Umbi-umbian
dan Terigu Tahun 2002-2011 (Kg/Kp/Th) ..................................
71
Tabel 4.8. Konsumi Pangan Sumber Protein : Daging, Telur, Susu dan
Kedelai Tahun 2002-2011 (Kg/Kp/Th) ........................................
72
Tabel 5.1. Perkembangan Konsumsi Lima Komoditas Pangan Strategis
Tahun 2008-2012 (Ton) .............................................................
79
Tabel 5.2. Perkembangan Produksi Lima Komoditas Pangan Strategis
2008-2012 (ton) ..........................................................................
80
Tabel 5.3. Perkebangan Defisit Produksi Lima Komodta Pangan Strategis
2008-2012 (ton) ..........................................................................
82
Tabel 5.4. Elastisitas Harga Sendiri dan Elastisitas Pengeluaran
Konsumsi Langsung Komoditas Pangan Strategis Per Kap .....
83
Tabel 5.5. Elastisitas Luas Panen dan Prduktivitas Komoditas Pangan
Strategis .....................................................................................
86
Tabel 5.6. Elastisitas Transmisi Harga Impor dan TBM Ke Harga
Konsumen Komoditas Pangan strategis ....................................
88
Tabel 5.7. Elastisitas Transmisi Harga Konsumen dan HPP/HP Ke Harga
Produsen Komoditas Pangan strategis ......................................
88
Tabel 6.1. Skenario Analisis Simulasi Untuk Proyeksi Permintaan dan
Penawaran Komoditas Pangan Strategis ..................................
90
Tabel 6.2. Proyeksi Konsumsi Beras 2013-2050 (ton) ................................ 93
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan xii
Tabel 6.3. Proyeksi Konsumsi Jagung 2013-2050 (ton) ............................. 93
Tabel 6.4. Proyeksi Konsumsi Kedelai 2013-2050 (ton) ............................. 94
Tabel 6.5. Proyeksi Konsumsi Gula 2013-2050 (ton) .................................. 94
Tabel 6.6. Proyeksi Konsumsi Sapi 2013-2050 (ton) .................................. 94
Tabel 6.7. Proyeksi Produksi Beras 2013-2050 (ton) .................................. 95
Tabel 6.8. Proyeksi Produksi Jagung 2013-2050 (ton) ............................... 96
Tabel 6.9. Proyeksi Produksi Kedelai 2013-2050 (ton) ............................... 96
Tabel 6.10. Proyeksi Produksi Gula 2013-2050 (ton) ................................... 96
Tabel 6.11. Proyeksi Produksi Sapi 2013-2050 (ton) .................................... 97
Tabel 6.12. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Beras 2013-2050 (ton) ......... 99
Tabel 6.13 Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Jagung 2013-2050 (ton) ....... 99
Tabel 6.14. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Kedelai 2013-2050 (ton) ....... 100
Tabel 6.15. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Gula 2013-2050 (ton) ........... 100
Tabel 6.16. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Dg Sapi 2013-2050 (ton) ...... 100
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan xiii
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1. Kurva Penawaran, Permintaan dan Harga .......................... 11
Gambar 2.2. Teori Dampak Kebijakan TBM ............................................ 14
Gambar 4.1. Pangsa Pengeluaran Masyarakat Perkapita Pertahun........ 57
Gambar 4.2. Pangsa Pengeluaran 2002 .................................................. 62
Gambar 4.3. Pangsa Pengeluaran 2005 .................................................. 62
Gambar 4.4. Pangsa Pengeluaran 2008 .................................................. 62
Gambar 4.5. Pangsa Pengeluaran 2009 .................................................. 62
Gambar 4.6. Pangsa Pengeluaran 2010 .................................................. 62
Gambar 4.7. Pangsa Pengeluaran 2011 .................................................. 62
Gambar 4.8. Konsumsi Energi Pangan Penduduk Indonesia Per Kap
Per Hari................................................................................
63
Gambar 4.9. Konsumsi Energi Pangan dari Beberapa Jenis Kelompok
Bahan Pangan Penduduk Indonesia ...................................
65
Gambar 4.10. Skor Aktual Pola Pangan Harapan (PPH) ........................... 67
Gambar 4.11. Pola Ketersediaan Energi Pangan Dari 4 Kelompok Bahan
Pangan ................................................................................
68
Gambar 4.12. Pola ketersediaan Energi Pangan Tahun 2002-2010 ......... 69
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1 Jenis dan Sumber Data........................................................ 112
Lampiran 2 Proyeksi Konsumsi Beras 2013-2050 (ton) ......................... 113
Lampiran 3 Proyeksi Konsumsi Jagung 2013-2050 (ton) ...................... 114
Lampiran 4 Proyeksi Konsumsi Kedelai 2013-2050 (ton) ...................... 115
Lampiran 5 Proyeksi Konsumsi Gula 2013-2050 (ton) .......................... 116
Lampiran 6 Proyeksi Konsumsi Daging Sapi Lokal 2013-2050 (ton) ..... 117
Lampiran 7 Proyeksi Produksi Beras 2013-2050 (ton) ........................... 118
Lampiran 8 Proyeksi Produksi Jagung 2013-2050 (ton) ........................ 119
Lampiran 9 Proyeksi Produksi Kedelai 2013-2050 (ton) ........................ 120
Lampiran 10 Proyeksi Produksi Gula 2013-2050 (ton) ............................ 121
Lampiran 11 Proyeksi Produksi Daging Sapi Lokal 2013-2050 (ton) ....... 122
Lampiran 12 Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Beras 2013-2015 (ton) ........ 123
Lampiran 13 Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Jagung 2013-2015 (ton) ..... 124
Lampiran 14 Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Kedelai 2013-2015 (ton) ..... 125
Lampiran 15 Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Gula 2013-2015 (ton) .......... 126
Lampiran 16 Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Daging Sapi Lokal 2013-
2015 (ton) ............................................................................
127
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Swasembada pangan merupakan salah satu dari empat target utama
pembangunan pertanian ke depan (2010-2014). Program swasembada pangan ini
mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena
pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti
terjadinya krisis beras pada tahun 2008 yang ditandai oleh gejolak harga beras,
telah memberikan pelajaran bahwa melindungi pasar dalam negeri dengan
swasembada pangan yang efisien merupakan hal yang sangat diperlukan (Sawit et
al, 2010).
Dengan permintaan pangan yang terus meningkat seiring dengan laju
pertumbuhan penduduk yang pada 10 tahun terakhir mencapai sekitar 1,49 persen
atau 4,5 juta jiwa per tahun (BPS, 2011), tidak mengherankan untuk memenuhi
kebutuhan pangan dalam negeri, ketergantungan pada bahan pangan impor
semakin tidak dapat dihindari. Hal ini terlihat dari jumlah impor pangan yang terus
bertambah dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, impor pangan pada Semester I
tahun 2011 tercatat Rp 45,6 triliun atau bertambah Rp 5 triliun dibanding Semester I
tahun 2010 yang tercatat Rp 39,91 triliun (BPS, 2011).
Bahkan saat ini ketergantungan Indonesia pada produk pangan impor terus
meningkat. Beras misalnya, dari dari 2,2 persen pada tahun 2008 menjadi 5,8
persen pada tahun 2012. Demikian pula untuk komoditi lainnya, seperti gula dari
34,4 persen (2008) menjadi 65,6 persen (2012), dan jagung dari 8,3 persen (2008)
menjadi 19,5 persen (2012). Khusus komoditi kedelai meskipun ketergantungan
terhadap impor cenderung menurun dari 60,1 persen (2008) menjadi 50,3 persen
(2012), namun proporsi tingkat ketergantungan Indonesia pada impor masih cukup
besar.
Selama ini pemerintah Indonesia selalu berupaya mewujudkan swasembada
pangan terutama beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, dengan berbagai
program. Untuk mewujudkan swasembada pangan, pemerintah menargetkan
produksi padi sebanyak 75,7 juta ton, jagung 29 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, gula
4,81 juta ton, dan daging sapi 0,55 juta ton. Namun untuk mengejar target tersebut
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 2
masih terdapat sejumlah kendala, di antaranya adalah alih fungsi lahan, perubahan
iklim, dan kerusakan infrastruktur pertanian.
Pada sisi permintaan, pemerintah juga terus mendorong percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan untuk mencapai skor pola pangan harapan
(PPH) sekitar 93,3 poin pada tahun 2014. Untuk mencapai target tersebut,
diperlukan gerakan untuk mendorong peningkatan kesadaran dan motivasi
masyarakat dalam mengembangkan diversifikasi pangan melalui peningkatan
konsumsi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, dan pangan hewani dengan
mengutamakan produksi pangan lokal. Salah satu sasaran dari gerakan ini adalah
tingkat konsumsi pangan beras per kapita diharapkan dapat turun sekitar 1,5 persen
per tahun.
Apalagi Indonesia saat ini dinilai oleh berbagai pihak masih sulit mencapai
target swasembada pangan 2014 karena produksi dan produktivitas tanaman
pangan terus menurun. Bahkan hasil evaluasi Indeks Ketahanan Pangan Global
yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 menempatkaan
Indonesia di posisi ke 5 dari 7 negara ASEAN. Posisi ketahanan pangan Indonesia
tersebut berada di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Oleh karena itu,
isu ketahanan pangan menjadi topik penting di negeri ini karena pangan merupakan
kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumberdaya manusia dan
stabilitas sosial politik sebagai prasayarat untuk melaksanakan pembangunan.
Bagi pemerintah ketahanan pangan merupakan hal yang harus diwujudkan.
Sebagai bangsa dengan jumlah penduduk besar dan tersebar di ribuan pulau
Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pangan. Untuk mewujudkan hal
tersebut Kementerian Pertanian telah mentargetkan pencapaian swasembada dan
swasembada yang berkelanjutan yaitu mensukseskan upaya pencapaian surplus 10
juta ton beras dan mencapai swasembada jagung, kedelai, daging, dan gula pada
2014.
Meskipun upaya pencapaian swasembada pangan terus dilakukan, namun
fenomena eskalasi harga pangan masih terus terjadi. Hal ini lebih disebabkan oleh
aspek suplai karena gangguan sistem produksi dan distribusi di beberapa tempat.
Apabila peningkatan harga di titik konsumsi cukup proporsional dengan peningkatan
harga di titik produksi, maka dimensi keadilan masih dapat diharapkan. Akan tetapi,
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 3
karena karakter beberapa komoditas pangan di Indonesia memiliki nilai elastisitas
transmisi yang rendah, maka peningkatan harga di titik konsumsi hanya sedikit yang
dinikmati petani. Persentase kenaikan harga di tingkat konsumen jauh lebih besar
dibandingkan dengan persentase kenaikan harga di tingkat produsen. Kenaikan atau
ketidakstabilan harga pangan tersebut menyebabkan turunnya kemampuan
konsumen membeli pangan sehingga berpotensi terjadinya krisis pangan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka peran kebijakan perdagangan dalam
upaya percepatan pencapaian swasembada pangan sangat penting untuk
dirumuskan secara komprehensif. Pada kenyataannya, pemerintah sering kali
berada di posisi yang sulit dalam mengambil kebijakan. Pemerintah harus sama-
sama memikirkan konsumen dan petani, karena kalau harga pangan naik,
konsumen yang dirugikan. Di sisi lain, apabila pemerintah menekan harga, produsen
dan petani yang dirugikan. Oleh karena itu, diperlukan peran kebijakan mulai dari
upaya peningkatan kemampuan konsumen membeli pangan yang cukup, hingga
peningkatan kesejateraan petani. Hal ini penting karena target swasembada pangan agak sulit terealisasi jika tidak ada insentif bagi petani. Untuk itu, analisis terhadap
dinamika permintaan dan penawaran komoditas pangan perlu dilakukan sehingga
dapat dirumuskan kebijakan perdagangan pangan yang tepat dan efektif untuk
meningkatkan kemampuan konsumen membeli pangan dan meningkatkan
kesejahteraan petani, yang pada akhirnya dapat mempercepat pencapaian
swasembada pangan.
1.2. Tujuan
a. Menganalisis dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas
pangan pokok di Indonesia.
b. Menganalisis perkembangan permintaan dan penawaran komoditas
pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan
panjang.
c. Merumuskan opsi-opsi kebijakan perdagangan pangan dalam
mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 4
1.3. Keluaran yang Diharapkan
a. Data dan informasi tentang dinamika pola diversifikasi dan tingkat
konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia.
b. Data tentang perkembangan permintaan dan penawaran komoditas
pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan
panjang.
c. Informasi tentang rumusan opsi-opsi kebijakan perdagangan pangan
dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan. 1.4. Dampak Kajian
Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan bahan masukan yang dapat
dijadikan sebagai referensi dalam merumuskan kebijakan dibidang perdagangan,
khususnya dalam menunjang percepatan swasembada pangan.
1.5. Ruang Lingkup
Kajian ini difokuskan pada peran kebijakan perdagangan pangan, yang
dianalisis melalui dinamika permintaan dan penwaran komoditi pangan di Indonesia.
Selain itu, kajian ini juga akan melakukan proyeksi jumlah penawaran dan
permintaan komoditas pangan pokok di Indonesia di dalam jangka pendek,
menengah dan panjang. Komoditas pangan yang dianalisis adalah beras, jagung,
kedelai, gula dan daging sapi. Pangan tersebut merupakan pangan strategis yang
mendapat perhatian khusus pemerintah dalam mewujudkankan swasembada
pangan. 1.6. Sistematika Laporan
Laporan hasil kajian ini terdiri dari enam bab, yaitu sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan tentang latar belakang, tujuan dan keluaran, ruang lingkup kajian, dan sistematika penulisan
laporan.
BAB II : Tinjauan Pustaka. Bab ini berisi hasil studi literatur yang digunakan sebagai referensi di dalam kajian ini, yang meliputi konsep
diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan, hukum permintaan dan
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 5
penawaran, teori dampak tarif impor, konsep ketergantungan impor,
metode proyeksi penawaran dan permintaan pangan yang pernah
digunakan, dan perkembangan kebijakan perdagangan lima
komoditas yang dikaji.
BAB III : Metodologi. Bab ini menjelaskan tentang metode yang digunakan di dalam kajian ini, yang meliputi kerangka pemikiran, metode analisis
data, lokasi kajian dan responden, serta jenis, sumber dan teknik
pengumpulan data.
BAB IV : Pola Diversifikasi dan Tingkat Konsumsi Komoditas Pangan Strategis. Bab ini menguraikan hasil-hasil analisis tentang dinamika pola diversikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan strategis
(beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi) berdasarkan data hasil
Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari BPS tahun 2002,
2005, 2008 dan 2011.
BAB V : Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Pangan Strategis. Bab ini berisi hasil-hasil analisis mengenai perkembangan (laju pertumbuhan) permintaan dan penawaran, tingkat
ketergantungan impor, faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan permintaan dan penawaran, transmisi harga, simulasi
dampak kebijakan tarif impor dan kebijakan lain, serta proyeksi
jumlah permintaan dan penawaran dengan berbagai skenario/opsi
kebijakan perdagangan dan lain-lain untuk lima komoditas pangan
strategis (beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi).
BAB VI : Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Pangan Strategis. Bab ini berisi hasil proyeksi permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2050
dengan skenario kebijakan Tarif Bea Masuk (TBM) dan lain-lain.
BAB VII : Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil-hasil analisis dan rumusan kebijakan perdagangan untuk mempercepat
pencapaian swasembada komoditas pangan pokok (beras, jagung,
kedelai, gula dan daging sapi) di Indonesia.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Diversifikasi dan Pola Konsumsi Pangan
2.1.1. Diversifikasi Pangan
Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam terminologi
kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia karena konsep tersebut telah
banyak dirumuskan dan diinterprestasikan oleh para pakar. Kasryno et al (1993)
memandang diversifikasi pangan sebagai upaya yang sangat erat kaitannya dengan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pembangunan pertanian di bidang
pangan dan perbaikan gizi masyarakat, yang mencakup aspek produksi, konsumsi,
pemasaran, dan distribusi.
Pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang
saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan
pangan, dan diversifikasi produksi pangan. Pada kajian ini, diversifikasi yang
dimaksud adalah diversifikasi konsumsi pangan. Pakpahan dan Suhartini (1989)
mendefinisikan diversifikasi konsumsi pangan sebagai pengurangan konsumsi beras
yang dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan pangan non beras. Secara
lebih tegas, Suhardjo dan Martianto (1992) menyatakan dimensi diversifikasi
konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada diversifikasi konsumsi makanan pokok,
tetapi juga makanan pendamping.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas terlihat bahwa dimensi diversifikasi
konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada pangan pokok tetapi juga pangan jenis
lainnya. Di Indonesia terdapat pedoman untuk mengukur diversifikasi konsumsi
pangan termasuk pangan pokok yang dikenal dengan indeks Pola Pangan Harapan
(PPH). Indeks PPH ideal diharapkan mencapai angka 100, namun indeks PPH
penduduk Indonesia pada tahun 2008 baru sebesar 81,9. Pemerintah menetapkan
bahwa pada tahun 2015, indeks PPH akan mencapai 95, yang berarti setiap tahun
harus meningkat sekitar 2,5.
Dalam konsep PPH, setiap orang per hari dianjurkan mengkonsumsi pangan
seperti berikut: padi-padian 275 gr, umbi-umbian 100 gr, pangan hewani 150 gr,
minyak+lemak 20 gr, buah/biji berminyak 10 gr, kacang-kacangan 35 gr, gula 30 gr
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 7
dan sayur+buah 250 gr. Artinya, dalam setahun kebutuhan padi-padian yang terdiri
dari beras, jagung dan terigu untuk konsumsi langsung penduduk adalah 99
kg/kapita/tahun. Dengan kata lain, susunan hidangan makanan dalam PPH
dianggap baik apabila mengandung 10-12 persen energi dari protein, 20-25 persen
energi dari lemak dan sisanya dari karbohidrat. 2.1.2. Pola Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis, dan
frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan
ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu (Harper, 1985; Suhardjo, 1998).
Pemetaan dan analisis pola konsumsi sangat penting dilakukan karena dapat
dijadikan sebagai acuan untuk memprediksi indikator-indikator kesejahteraan
penduduk seperti status kesehatan penduduk, status gizi, dan status kemiskinan
penduduk.
Pola konsumsi masyarakat pada masing-masing daerah berbeda-beda,
tergantung dari potensi daerah dan struktur budaya masyarakat (Ariningsih,
2009). Pola konsumsi juga mencerminkan perilaku penduduk yang berkaitan dengan
keadaan sumberdaya manusia yang merupakan modal dasar dalam pertumbuhan
ekonomi suatu negara (Ayiek, 2008). Perubahan perilaku konsumsi penduduk
(rumahtangga) dapat dijadikan sebagai indikator kemampuan rumahtangga tersebut
untuk memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari perubahan pendapatan.
Selama ini pola konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh padi-
padian, khususnya beras, yang diindikasikan oleh starchy staple ratio yang
tinggi (Ni Made, 2008). Masyarakat umumnya mempunyai ketergantungan yang
kuat terhadap beras sebagai sumber karbohidrat. Hasil analisis Sumaryanto (2009)
dengan menggunakan data SUSENAS 2008 menunjukkan bahwa konsumsi beras
penduduk Indonesia adalah sekitar 107,8 kg/kapita/tahun. Dari jumlah itu yang langsung dari beras konsumsi rumahtangga (beras dari padi cere untuk dimasak)
adalah sekitar 88 %. Sisanya adalah beras dalam bentuk tepung, makanan olahan,
beras ketan, dan sebagainya.
Dari sisi teori ekonomi, pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, di antaranya adalah harga dan pendapatan (yang dapat didekati dari sisi
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 8
pengeluaran). Hal ini dapat ditunjukkan dengan teori Engel yang menyatakan bahwa
rumahtangga berpendapatan rendah akan mengeluarkan sebagian besar
pendapatannya untuk membeli kebutuhan pokok (pangan). Sebaliknya, rumah
tangga yang berpendapatan tinggi hanya akan membelanjakan sebagian kecil
lsaja dari total pendapatannya untuk kebutuhan pokok (Nicholson, 2002).
Peningkatan pendapatan akan menurunkan permintaan terhadap pangan
pokok tetapi akan meningkatkan permintaan terhadap pangan mewah, yaitu
barang yang elastisitas pendapatannya lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan
adanya realokasi dari suatu pemusatan belanja konsumen ke bentuk
pembelanjaan yang lebih menyebar sesuai dengan peningkatan pendapatan.
Teori yang mendasari analisis konsumsi ini adalah teori pendekatan kurva indifferent (indifferent curve), yang mengasumsikan bahwa barang-barang yang
dikonsumsi mempunyai nilai guna batas (utility). Utility adalah kepuasan yang
diterima dari kombinasi jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi.
Variabel-variabel yang mempengaruhi konsumsi masyarakat (seseorang)
sebenarnya tidak hanya harga dan pendapatan saja, akan tetapi juga variabel-
variabel lain di antaranya adalah variabel sosial ekonomi, selera, faktor geografis
seperti perkotaan dan pedesaan, dan sebagainya (Chandra dan Moeis, 2007).
Menurut Riyadi (2003), makin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan yang
dimiliki seseorang umumnya makin tinggi pula kesadaran untuk menseleksi
pangan guna memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat gizi
berkaitan dengan ketahanan pangan. Hal ini berarti makin tinggi pendidikan formal
masyarakat maka pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya kualitas pangan
yang dikonsumsi masyarakat makin baik, sehingga makin bervariasi pula komoditas
pangan yang dikonsumsi. Sementara ketahanan pangan umumnya merupakan
capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan ruang lingkup wilayah nasional,
sasaran utamanya adalah komoditas pangan dari produk pertanian seperti beras,
jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar. Dengan demikian
strategi yang diterapkan dalam swasembada pangan adalah subtitusi impor.
Ketahanan pangan menurut definisi FAO 1997 merupakan situasi dimana
semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk
memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak
beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Berdasarkan definisi dapat
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 9
disimpulkan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi yaitu
berorientasi pada rumah tangga dan individu, dimensi waktu setiap saat pangan
tersedia dan dapat diakses, menekankan pada akses pangan rumah tangga dan
individu, baik fisik, ekonomi dan social, berorientasi pada pemenuhan gizi serta
ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. Capaian utama dalam konsep ini meliputi
peningkatan status gizi (penurunan kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk).
Jumlah anggota rumahtangga juga akan mempengaruhi pola konsumsi
pangan. Makin banyak jumlah anggota rumahtangga maka kebutuhan pangan
yang dikonsumsi akan makin bervariasi karena masing-masing anggota
rumahtangga mempunyai selera yang belum tentu sama. Dengan makin
bervariasinya (beranekaragamnya) komoditas pangan yang dikonsumsi, kondisi gizi
dan kesehatan masyarakat diharapkan akan menjadi makin baik.
Perubahan pola konsumsi pangan secara tidak langsung tergantung pada
kemampuan daya beli masyarakat dan kestabilan harga pangan. Karena itu,
kebijaksanaan pangan mencakup usaha peningkatan produksi dan pemerataan
distribusi pangan, efisiensi perdagangan, pengembangan industri pangan, dan
peningkatan daya beli masyarakat menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera
diupayakan.
2.2. Hukum Permintaan dan Penawaran
Di dunia ini ada dua kelompok barang, yaitu barang publik (public good) dan
barang privat (private good). Suatu barang dapat dikategorikan sebagai barang
publik jika barang itu mempunyai empat ciri, yaitu: non-rivalry, non-excludable, non-
transferrable, dan ada free rider (George and Shorey, 1978). Non-rivalry berarti
bahwa konsumsi barang/jasa oleh seseorang tidak mengurangi jumlah yang dapat dikonsumsi oleh orang lain karena suplainya tidak terbatas; non-excludable berarti
semua orang bebas mengkonsumsi barang tersebut pada jumlah berapapun; non-
transferrable berarti kepemilikan barang/jasa itu tidak bisa dipindahtangankan; dan
free rider berarti orang yang menggunakan barang/jasa itu tidak perlu membayar.
Karena itu, barang publik tidak mempunyai harga. Contoh klasik barang publik
adalah udara dan pertahanan/keamanan.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 10
Sementara itu, suatu barang dapat dikategorikan sebagai barang privat jika
barang itu mempunyai karakteristik yang sebaliknya dari karakteristik barang publik,
yaitu: rivalry, berarti bahwa konsumsi barang/jasa oleh seseorang akan mengurangi
jumlah yang dapat dikonsumsi oleh orang lain karena suplainya terbatas; excludable
berarti tidak semua orang dapat mengkonsumsi barang tersebut pada jumlah berapapun; transferrable berarti kepemilikan barang/jasa itu bisa dipindahtangankan
(menjadi milik pribadi, dan lain-lain); dan tidak ada free rider, berarti orang yang
menggunakan barang/jasa itu harus membayar. Karena itu, barang privat
mempunyai harga.
Pada barang privat, termasuk komoditas pertanian, harga barang tersebut
terbentuk pada titik temu (titik keseimbangan) antara permintaan dan penawaran.
Gambar 2.1 memberikan ilustrasi bahwa perpotongan kurve penawaran S1 dan
kurve permintaan D1 pada titik E1, terbentuk harga keseimbangan P1, dimana
jumlah barang yang diminta sama dengan jumlah barang yang ditawarkan yaitu Q1.
Di pasar yang bersaing, harga per unit barang akan bergerak dan berhenti
sampai pada suatu titik dimana jumlah permintaan sama dengan jumlah penawaran
yang menghasilkan keseimbangan ekonomi bagi kuantitas dan harga. Ini disebut sebagai keseimbangan statis (static equilibrium), karena jumlah penawaran hanya
bergerak di sepanjang kurve penawaran yang ada, demikian pula jumlah permintaan
hanya bergerak di sepanjang kurve permintaan.
Gambar 2.1.
Kurva Penawaran, Kurva Permintaan dan Harga
Q3
E4 E3
P4 P3
D2
E2 E1
0 Jumlah
Harga
Q1 Q2
P1 P2
D1 S1 S2
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 11
Ada empat hukum dasar penawaran dan permintaan, yaitu: (1) Jika
penawaran turun tetapi permintaan tetap, maka terjadi kekurangan penawaran, yang
akan meningkatkan harga keseimbangan; (2) Jika penawaran meningkat tetapi
permintaan tetap, maka akan terjadi surplus penawaran, yang akan menurunkan
harga keseimbangan; (3) Jika permintaan naik tetapi penawaran tetap, maka akan
terjadi kekurangan penawaran, yang akan meningkatkan harga keseimbangan; dan
(4) Jika permintaan turun tetapi penawaran tetap, maka akan terjadi surplus
penawaran, yang akan menurunkan harga keseimbangan.
Jika kurve kurve permintaan tetap D1, tetapi kurve penawaran bergeser kekiri
atas dari S1 ke S2, yang mencerminkan berkurangnya penawaran, maka titik
keseimbangan akan bergerak ke kiri atas dari E1 ke E2, dimana harga akan naik
dari P1 ke P2 dan jumlah permintaan/penawaran akan turun dari Q1 ke Q2. Jika
permintaan meningkat yang tercermin pada bergesernya kurve permintaan ke kanan
atas dari D1 ke D2, tetapi penawaran tetap S1, maka titik keseimbangan akan
bergeser dari E1 ke E3, dimana jumlah permintaan/penawaran akan naik menjadi
Q3 dan harga akan naik menjadi P3. Jika permintaan meningkat yang tercermin
bergesernya kurve permintaan ke kanan atas menjadi D2, dan penawaran menurun
menjadi S2, maka titik keseimbangan akan bergeser ke E4, dimana harga akan naik
menjadi P4 dan jumlah permintaan/ penawaran akan turun lagi menjadi Q1.
Dapat disimpulkan bahwa titik keseimbangan bersifat dinamis (dynamic
equilibrium) dengan pola sebagai berikut: (1) Permintaan tetap tetapi penawaran
turun, maka harga akan naik; (2) Naiknya harga akan direspon secara positif oleh
produsen/pemasok sehingga penawaran naik; (3) Naiknya penawaran akan
menyebabkan harga turun, yang kemudian direspon secara positif oleh konsumen
sehingga permintaan naik; (4) Naiknya permintaan akan meningkatkan harga; (5)
Naiknya harga akan direspon oleh produsen/pemasok kembali sehingga penawaran
akan naik. Tingkat respon produsen/pemasok dan konsumen terhadap harga
berubah dari tahun ke tahun, yang menyebabkan terjadinya fluktuasi harga, jumlah
penawaran dan jumlah permintaan dari tahun ke tahun.
Secara teoritis, faktor-faktor selain harga barang itu sendiri yang menentukan
jumlah permintaan adalah: (1) Pendapatan masyarakat; (2) Selera/preferensi; (3)
Harga barang substitusi/komplemen; (4) Ekspektasi konsumen mengenai harga
barang dan pendapatan di masa datang; dan (5) Jumlah konsumen potensial.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 12
Sementara faktor-faktor selain harga barang itu sendiri yang ikut menentukan jumlah
penawaran adalah: (1) Biaya produksi; (2) Harga barang substitusi/komplemen; (3)
Tingkat teknologi produksi yang digunakan; (4) Ekspektasi produsen/pemasok
mengenai harga barang itu sendiri di masa datang; dan (5) Jumlah
produsen/pemasok
Oleh karena itu, dalam analisis permintaan dan penawaran masing-masing
dikenal fungsi respon permintaan (demand response function) dan respon
penawaran (supply response function), sebagaimana ditunjukkan oleh Tomek dan
Robinson (1982). Fungsi respon yang banyak digunakan adalah dari kelas Partial
Adjustment Model yang diperkenalkan oleh Marc Nerlove and Addison (1958), yang
dapat menghasilkan elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran jangka pendek
dan jangka panjang. Karena itu, untuk tujuan analisis proyeksi permintaan dan
penawaran jangka panjang, banyak yang mengadopsi Partial Adjustment Model dari
Marc Nerlove dan Addision tersebut.
2.3. Konsep Kebijakan Perdagangan – Tarif Bea Masuk
Terkait dengan tujuan kajian ini, konsep kebijakan perdagangan yang perlu dipahami adalah konsep kebijakan impor, yang terdiri dari tarif dan non-tarif (kuota,
pengaturan, SPS, dan lain-lain). Di dalam kajian ini, kebijakan tarif (selanjutnya
digunakan terminologi Tarif Bea Masuk/TBM) menjadi fokus perhatian utama karena
datanya tersedia paling lengkap dan secara kuantitatif dapat diukur dampaknya.
Tujuan kebijakan TBM adalah untuk melindungi industri di dalam negeri, termasuk
pertanian, dari kejatuhan harga karena jumlah impor yang berlebihan.
Untuk lima komoditas pangan yang dianalisis (beras, jagung, kedelai, gula dan dgaing sapi), Indonesia berada pada posisi sebagai Net Importing Country,
dimana jumlah konsumsi lebih besar daripada jumlah penawaran sehingga
diperlukan impor. Untuk menjelaskan teori kebijakan TBM digunakan Gambar 2.2.
Secara teoritis, pengenaan TBM dapat meningkatkan harga domestik dari P1 ke P2,
dimana P2 = P1 + TBM. Naiknya harga domestik akan berdampak menurunkan
konsumsi dari QD1 ke QD2, sekaligus meningkatkan produksi dari QY1 ke QY2
sehingga jumlah impor berkurang. Besarnya penurunan konsumsi dan peningkatan
produksi masing-masing dipengaruhi oleh elastisitas konsumsi dan elastisitas
produksi terhadap harga domestik dari output komoditas yang bersangkutan.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 13
Dari aspek kesejahteraan ekonomi (economic welfare), kenaikan harga dan
penurunan konsumsi berdampak menurunkan surplus ekonomi konsumen dari
daerah segitiga P1EH menjadi P2GH yang berarti kesejahteraan konsumen
menurun sebesar daerah trapesium P1EGP2. Sementara kenaikan harga dan
peningkatan produksi berdampak meningkatkan surplus ekonomi produsen/petani
dari daerah segitiga ABP1 menjadi AFP2, yang berarti kesejahteraan produsen
meningkat sebesar daerah trapesium P1BFP2. Dengan adanya TBM, pemerintah
juga memperoleh pendapatan dari pajak impor (tax revenue) sebesar daerah
segiempat CDGF sebesar jumlah impor (QD2 – QY2) dikalikan dengan TBM.
Namun kesejahteraan total sebenarnya mengalami penurunan karena jumlah
surplus ekonomi produsen dan pendapatan Negara dari pajak impor lebih kecil
dibanding penurunan surplus ekonomi konsumen sebagai akibat dari timbulnya Deadweight Economic Lost (DEL) yaitu bagian dari surplus ekonomi yang hilang
begitu saja sebesar daerah dua segitiga BCF + DEG. Karena itu, timbulnya DEL
tersebut sebenarnya menyebabkan ekonomi secara keseluruhan menjadi kurang
efisien. Namun jika tujuan pembangunan nasional di bidang pertanian adalah untuk
meningkatkan produksi dalam upaya mencapai ketahanan pangan sekaligus
memperbaiki kesejateraan petani, maka kebijakan tarif mendapatkan justifikasi untuk
dilakukan. Namun TBM tidak boleh berlebihan karena disamping dapat
menyebabkan penurunan yang berlebihan dari daya beli atau kesejahteraan
konsumen yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia, juga akan bertentangan
Gambar 2.2. Teori Dampak Kebijakan TBM
QY1 A
H
G
E D C
QD1
F
B
0 Jumlah
Harga
QD2 QY2
P1
P2
D S
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 14
dengan aturan WTO dan timbul retaliasi dari Negara-negara partner dagang
Indonesia.
2.4. Konsep Ketergantungan Impor
Untuk komoditas pangan pokok, banyak negara yang mempunyai
ketergantungan pada impor karena produksi domestik tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Tingkat ketergantungan impor masing-
masing Negara bervariasi dari rendah sampai dengan tinggi, yang dapat diukur
dengan menghitung nilai Rasio Ketergantungan Impor (Import Dependency Ratio),
sebagaimana diperlihatkan pada rumus sebagai berikut (FAO, 2012):
( ) QXQMQYQMIDR
−+=
dimana: IDR = Import Dependency Ratio; QM = Jumlah impor (ton); QY = Jumlah produksi domestik (ton); dan QX = Jumlah ekspor (ton). Dengan catatan bahwa impor hanya untuk konsumsi domestik, dan tidak ada yang diekspor kembali (re-export).
Ada beberapa terminologi yang terkait dengan penghitungan rasio
ketergantungan impor, khususnya untuk komoditas pangan, yang perlu dipahami
secara benar (Shapouri et al, 2010), yaitu: (1) Suplai Pangan Domestik = (Total
Produksi Domestik + Impor Komersial + Bantuan Pangan) – Ekspor; (2)
Ketersediaan Pangan Domestik = Suplai Pangan Domestik – Penggunaan Non
Pangan (pakan, bahan baku industri pengolahan pangan dan minuman, tercecer);
dan (3) Konsumsi Pangan Domestik = Ketersediaan Pangan Domestik
Nilai IDR untuk tiga kelompok komoditas pangan, yaitu serealia, gula dan
daging menurut kelompok negara disajikan pada Tabel 2.1. Untuk komoditas
serealia, negara Asia yang sudah maju, mempunyai rasio ketergantungan impor
paling tinggi (83 persen), posisi kedua ditempati Amerika Tengah (46 persen),
sedangkan kelompok negara lainnya berkisar 5-18 persen (rata-rata dunia 15
persen). Untuk komoditas gula, banyak kelompok negara yang rasio ketergantungan
impornya tinggi (29-86 persen), dan hanya Amerika Tengah yang rendah (12
persen). Untuk komoditas daging, hanya kelompok negara Asia maju yang rasio
ketergantungan impornya tinggi (46 persen), sedangkan kelompok negara lainnya
rendah (3-24 persen). Lanchovichina et al (2012) juga menunjukkan bahwa 15
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 15
negara Arab dan Timur Tengah mempunyai rata-rata rasio ketergantungan impor yang tinggi, yaitu 78.1 persen (39-101 persen) untuk biji-bijian (grains), 57.1 persen
(23-88 persen) untuk daging, dan 93.2 persen (37-151 persen) untuk gula. Hal ini
erjadi karena Negara-negaar Arab dan Timur tengah tidak atau sedikit memproduksi
komoditas-komoditas tersebut.
Tabel 2.1. Rasio Ketergantungan Impor Pangan (persen)
Countries Cereals Sugar Meat
World 15 32 10 Industrial countries 18 30 17 Europe 18 49 21 Asia (developed) countries 83 51 46 Least developed countries 16 40 3 Central America 42 12 17 Eastern Europe 5 29 6 Transition markets 9 60 13 CIS 13 73 18 Russian Federation 13 86 24 Sumber: FAOSTAT (FAO, 2012)
Negara-negara yang rasio ketergantungan impornya tinggi akan lebih rentan terhadap guncangan (shock) yang terjadi pada produksi karena berbagai sebab,
baik di dalam maupun di luar negeri. Faktor penyebab di dalam negeri antara lain
adalah banjir, kekeringan, dan gempa/tsunami dan serangan hama/penyakit yang
terjadi dalam wilayah yang luas. Sementara faktor penyebab di luar negeri adalah stok pangan dunia yang tipis (thin market) sebagai akibat produksi yang rendah
yang disebabkan oleh perubahan iklim dunia, dan permintaan yang meningkat
karena meningkatnya jumlah penduduk. Situasi demikian akan menyebabkan harga
dunia meningkat, yang akan meningkatkan beban ekonomi Negara-negara yang
rasio ketergantungan impor pangannya tinggi.
Mengenai penghitungan jumlah konsumsi nasional, Bappenas (2012) menggunakaan konsep Domestic Food Supply, namun dengan catatan bahwa
produksi domestik adalah sebesar total produksi kotor (gross production) dikurangi
dengan bibit (khususnya padi, jagung, kedelai) dan tercecer (semua komoditas),
atau disebut sebagai produksi neto (net production). Dengan demikian, maka jumlah
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 16
konsumsi domestik mencerminkan total konsumsi, baik yang dikonsumsi rumah
tangga (konsumsi langsung) maupun yang digunakan untuk bahan baku industri
pakan dan industri pengolahan makanan dan minuman (konsumsi tidak langsung).
2.5. Metoda Analisis Penawaran dan Permintaan Pangan
Proyeksi jangka panjang permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia sudah dilakukan oleh beberapa peneliti atau lembaga penelitian
dengan menggunakan berbagai model kuantitatif (ekonometrik) kelas Cobb-Douglas
dengan persamaan tunggal, antara lain Syafa’at et al (2005). Beberapa kelemahan
yang ditemui di dalam model yang digunakan antara lain pertama, analisis
konsumsi/permintaan menggunakan data cross-section dari hasil SUSENAS BPS
untuk konsumsi langsung (oleh rumah tangga) per kapita, kemudian dilakukan
proyeksi perdasarkan proyeksi jumlah penduduk. Model yang digunakan bisa Almost
Ideal Demand System dari Deaton and Muelbauer (1980) dengan persamaan
regresi simultan. Analisis fungsi konsumsi langsung per kapita memang lebih tepat
untuk beras dan gula, tetapi kurang tepat untuk komoditas-komoditas pangan yang
sebagian besar digunakan untuk bahan baku industri pengolahan, yaitu jagung
(untuk industri pakan), kedelai (untuk industri tahu dan tempe), dan daging sapi
(untuk bakso), sehingga konsumsi langsungnya sangat kecil. Karena itu hasil
analisis akan cukup baik untuk beras dan gula tetapi kurang baik untuk jagung,
kedelai dan daging sapi.
Kedua, di dalam model produksi/penawaran tanaman pangan menggunakan
data time series dan model Partial Adjustment Model dari Nerlove and Addison
(1958), tetapi tidak memasukkan variabel iklim (utamanya curah hujan), harga
komoditas pesaing dan perkembangan teknologi di dalam model produksi, padahal
ketiga variabel ini sangat menentukan luas panen dan produktivitas tanaman
tersebut. Di Indonesia sudah sering terjadi kekeringan yang menyebabkan gagal
panen di beberapa daerah. Demikian pula, antar komoditas pangan terjadi
persaingan di dalam penggunaan lahan pertanian (utamanya sawah di pulau Jawa).
Perkembangan teknologi juga berpengaruh pada produktivitas tanaman/ternak.
Hasil analisis Priyanto (2005) yang menggunaan persamaan simultan
penawaran, impor dan harga daging sapi menyimpulkan bahwa tarif impor daging
sapi berpengaruh negatif dan nyata terhadap jumlah daging sapi impor. Selanjutnya
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 17
disimpulkan bahwa meningkatnya harga daging impor akan meningkatkan harga
daging di pasar domestik. Namun meningkatnya harga daging di pasar domestik
tidak mampu merangsang perkembangan populasi sapi potong. Pada sisi produksi,
populasi sapi nasional berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi potong
rakyat, walaupun populasi sapi yang ada belum sepenuhnya mencerminkan
produksi daging sapi karena bobot hidup yang rendah. Program IB (Inseminasi
Buatan) mampu memperbaiki kualitas ternak sapi yang ada. Kebijakan proteksi
melalui pembebanan tarif impor daging dipandang mampu memacu perkembangan
sistem usaha peternakan rakyat di Indonesia. 2.6. Pengalaman Kebijakan Perdagangan dan Harga Komoditas Pangan
Strategis di Indonesia
2.6.1. Kebijakan Perdagangan
1) Beras
Terlepas dari relatif rendahnya tingkat kepentingan perdagangan internasional
beras, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, tujuan untuk meningkatkan volume
perdagangan internasional beras telah mendominasi kebijakan perberasan di tingkat
internasional dan nasional di banyak negara. Di Indonesia, misalnya sejak tahun
1967 berbagai kebijakan beras telah diimplementasikan. Kebijakan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga fase.
Fase pertama (1967-1996): Pada fase ini, pemerintah mengendalikan pasar
beras di dalam negeri dengan melakukan intervensi pasar dalam rangka mendorong
produksi padi dan menjaga stabilitas harga. Intervensi dilakukan dengan cara
mengelola persediaan beras nasional melalui BULOG (Badan Usaha Logistik), yaitu
lembaga pemerintah yang bertanggungjawab mengelola logistik. Pada saat itu impor
diatur secara ketat melalui kebijakan pengendalian impor dan tarif dengan tujuan
untuk menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi nasional. Pada tahun
1984, Indonesia mencapai swasembada pangan dan pada tahun 1985-1987 menjadi
pengekspor beras. Setelah masa tersebut Indonesia kembali menjadi negara
pengimpor beras.
Selanjutnya, pada tahun 1995 Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation – WTO) dan mulai menerapkan
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 18
Agreement on Agriculture (AoA) atau Perjanjian Pertanian dalam WTO yang
meminta pemerintah Indonesia membuka pasar terhadap produk dari negara-negara
lain, menurunkan dan akhirnya menghapuskan subsidi input pertanian seperti
pupuk, pestisida dan bibit. Lebih jauh, batas harga beras ditetapkan sebesar 160
persen dari harga impor c.i.f dan berdasarkan jadwal AoA Indonesia harus membuka
akses masuknya beras dengan kuota minimal 70.000 ton per tahun. Dengan kuota
tersebut, tingkat tarif preferensi (preferential tariff) ditetapkan maksimum 90 persen.
Indonesia kemudian berkomitmen menurunkan subsidi ekspor yang telah dilakukan
selama tahun 1986-1990. Subsidi tersebut menghasilkan total ekspor 300.000 ton
beras per tahun dengan nilai subsidi US$ 28.000.000 per tahun.
Sejak AoA diberlakukan, Indonesia berhenti mengekspor beras dan berbalik
menjadi pengimpor. Sejak tahun 1995 Indonesia membuka pasar dalam negeri yang
melebihi ketentuan WTO. Pada tahun 1995-1997, tidak ada pengenaan tarif impor,
dan kuota impor diterapkan fleksibel dan mengundang masuknya 3,1 juta ton beras
impor pada tahun 1995, 1 juta ton pada tahun 1996 dan 400 ribu ton pada tahun
1997. Keseluruhan impor tersebut membuat Indonesia menjadi negara pengimpor
beras terbesar dunia selama tahun 1995-1997. Thailand, Vietnam dan Amerika
Serikat adalah pemasok utama beras impor Indonesia selama periode tersebut.
Fase kedua (1997-2000): Pada fase ini, pemerintah Indonesia meliberalkan
pasar berasnya, memprivatisasikan BULOG dan menghapuskan hambatan
perdagangan. Semua ini dilakukan oleh pemerintah atas desakan World Bank dan IMF yang memaksa pemerintah menandatangani surat perjanjian (Letter of Intent -
LOI) sebagai usaha untuk keluar dari dampak krisis ekonomi Asia. Selama kurun
waktu tersebut swasembada pangan Indonesia menurun, ketergantungan terhadap
beras impor meningkat, dan harga di tingkat konsumen dan produsen beras menjadi
tidak stabil. Pada periode ini terjadi lonjakan volume impor beras yang sangat tajam
yaitu dari 911 ribu ton pada periode 1996-1997 menjadi 3,8 juta ton pada 1998-
1999. Pemerintah tidak mampu menahan serbuan impor ini akibat kebijakan
liberalisasi perdagangan ditambah nilai tukar sudah relatif stabil (setelah tahun 1998)
sehingga harga beras juga menurun drastis (Sawit et al, 2007).
Pada tahun 1997, penerapan AoA bertumpang-tindih dengan kebijakan
penyesuaian struktural IMF dan World Bank yang melampaui ketetapan WTO. Pada
tahun yang sama Indonesia dan negara-negara Asia lain mengalami krisis ekonomi
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 19
yang parah. Dalam konteks tersebut pemerintah menghapuskan atau menurunkan
dalam jumlah besar semua subsidi pertanian, termasuk subsidi input yang
sebelumnya berperan penting di dalam pengembangan sektor pertanian di
Indonesia. Kebijakan penetapan harga beras di pasar dalam negeri dihentikan dan
BULOG kehilangan hak monopoli impor. Tarif impor menjadi nol persen dan impor
dalam jumlah tak terbatas mengalir antara tahun 1998 dan 1999.
Fase ketiga (sejak 2001): Secara bertahap pemerintah kembali melakukan
pengendalian pasar beras di dalam negeri namun dengan berbagai modifikasi
dibandingkan masa sebelum liberalisasi di tahun 1997. Kebijakan ini diambil karena
dampak negatif liberalisasi pasar terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen
beras. Kebijakan terdahulu yaitu harga dasar gabah telah diganti dengan harga
pembelian pemerintah (HPP) dengan batas harga atas yang ternyata tidak efektif.
Kebijakan menerapkan tarif spesifik yang bertujuan untuk melindungi petani dan mengatur pengelolaan impor beras tidak berjalan efektif (Sawit et al, 2007).
Kebijakan perdagangan tersebut bertujuan khusus menstabilkan harga gabah di
dalam negeri melalui pelarangan impor berkala dan mengatur persediaan beras
melalui privatisasi Bulog. Akhir-akhir ini, tarif impor yang dikenakan terhadap impor
beras adalah Rp 400/kg sebagai bentuk proteksi.
2) Jagung
Jagung di Indonesia merupakan komoditas pangan terpenting kedua setelah
padi/beras. Selain sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja, komoditas ini
juga dapat menghasilkan devisa negara melalui ekspor, khususnya di masa-masa
mendatang. Di masa datang terdapat indikasi kuat bahwa tingkat permintaan jagung
oleh industri akan terus meningkat, seiring dengan penambahan penduduk dan
peningkatan kebutuhan pakan ternak. Sementara produksi jagung pada 2011 turun
1,1 juta ton atau 5,99 persen menjadi 17,23 juta ton pipilan kering dibandingkan
produksi pada tahun 2010. Sementara kebutuhan jagung di dalam negeri pada
tahun 2011 mencapai 22 juta ton, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut
harus dipasok melalui impor (BPS, 2011).
Data yang dirilis oleh BPS menyebutkan bahwa impor jagung selama Januari
sampai November 2011 mencapai 3 juta ton, dengan nilai impor USD 967,33 juta.
Nilai impor ini melampaui realisasi impor jagung selama jangka waktu yang sama
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 20
pada 2010 sebesar 1,52 juta ton dengan nilai USD 369,07 juta. Masih tingginya
volume impor jagung tersebut antara lain karena minimnya produksi jagung
domestik menyusul sikap petani yang cenderung memilih bertanam padi karena
harga gabah yang relatif makin mahal.
Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dayasaing jagung Indonesia cukup baik, sebagaimana diperlihatkan oleh nilai koefisien Domestic
Resource Cost Ratio DRCR yang lebih kecil dari satu, yaitu di luar Jawa 0,52-0,73,
dan di Jawa 0,54-0,92. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan sumberdaya
domestik dalam usaha memproduksi jagung di dalam negeri lebih efisien dibanding
dengan melakukan impor, sebab setiap satuan devisa yang dihasilkan dari produksi
jagung di Indonesia hanya memerlukan modal sumberdaya domestik sekitar 52–73 persen (Hutabarat et al, 1997; Sadikin et al, 1999 dan 2000).
Masalah perdagangan jagung di Indonesia, tidak terlepas dari berbagai
kebijakan yang diimplementasikan. Instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol
pada komoditas ini adalah kebijakan harga dasar dan stabilisasi harga dalam negeri.
Kebijakan harga dasar jagung diawali tahun 1977/78, namun dalam perjalanannya
dinilai tidak efektif karena harga pasar di tingkat petani selalu berada diatas harga dasar. Karena itu sejak 1990 kebijakan harga jagung dihentikan (Rachman et al,
2000). Tataniaga jagung diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta sehingga
harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar.
Kebijakan perdagangan lainnya adalah pengenaan tarif impor jagung dengan
tujuan melindungi petani jagung dalam negeri. Selama 1974-1979, besaran tarif
yang dikenakan adalah 5 persen, kemudian meningkat menjadi 10 persen selama
tahun 1980-1993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi 5 persen pada tahun 1994
hingga saat ini. Meskipun tarifikasi dan bentuk-bentuk proteksi lainnya akan
mempengaruhi kesejahteraan petani produsen, semua bentuk proteksi dipandang
sebagai upaya sementara sebelum sistem produksi nasional mampu bersaing
secara efisien.
Saat ini pemerintah sedang mengkaji penurunan tarif bea masuk (TBM) impor
jagung yang saat ini sebesar 5 persen. Langkah ini dilakukan untuk menurunkan
harga pakan ternak. Permintaan penurunan TBM ini juga diusulkan oleh Gabungan
Pengusaha Pakan Ternak Indonesia yang terbebani tingginya biaya impor jagung.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 21
Karena itu, tujuan penurunan TBM ini lebih pada penurunan harga pakan ternak
jangka panjang.
3) Komoditas Kedelai
Di Indonesia kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis
sehingga mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah dalam kebijakan pangan
nasional. Upaya untuk berswasembada tidak hanya bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pangan, tetapi juga untuk mendukung agroindustri dan menghemat
devisa dan mengurangi ketergantungan terhadap impor. Namun, tingkat
swasembada kedelai sampai saat ini belum tercapai karena jumlah kebutuhan masih
jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah produksi. Hal ini menyebabkan impor
kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPS (2012) volume
impor kedelai sepanjang Januari-Agustus 2010 naik sebesar 33,96 persen dari
periode yang sama tahun 2009, yaitu dari 928.200 ton menjadi 1.243.400 ton. Pada
tahun 2011 volume impor kedelai mencapai 1,9 juta ton dengan nilai US$ 1,2 milyar
dan menjadi 2,1 juta ton atau US$ 1,3 milyar pada 2012. Bahkan Kementerian
Pertanian, mencatat bahwa konsumsi kedelai Indonesia pada 2012 mencapai 2,5
juta ton. Konsumsi ini jauh dari produksi lokal yang hanya 700-800 ribu ton per
tahun. Oleh karena itu, pemerintah sangat membutuhkan impor (sekitar 70-80%)
untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Swasembada kedelai di dalam negeri memang cukup sulit karena tantangan
yang dihadapi cukup berat dan kompleks. Selain terbatasnya lahan, tingkat harga
kedelai di dalam negeri juga tidak selalu berpihak kepada petani. Kedelai impor
yang harganya lebih murah saat ini membuat harga kedelai produksi dalam negeri
terpukul, sehingga petani pun lebih bergairah bertanam padi dan jagung. Agar petani
kembali bergairah mengembangkan komoditi ini, pemerintah harus membuat
kebijakan yang secara nyata melindungi kedelai produksi dalam negeri.
Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 2012, sasaran tanaman kedelai
mencapai 600 ribu ton dengan target produksi sebesar 1,92 juta ton sedangkan
tahun 2013 menjadi 2,2 juta ton. Guna mencapai sasaran ini, produktivitas harus
dipacu menjadi 1,5 ton/ha.
Di tengah harga pangan dunia yang melonjak, ancaman terjadinya
kekurangan pasokan pangan menghantui Indonesia. Hal itu ditandai dengan terus
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 22
melonjaknya harga beberapa bahan pangan termasuk kedelai. Harga kedelai terus
meningkat, dari sekitar Rp 3.800 per kg pada tahun 2010, menjadi Rp 6.800,
bahkan hingga Rp 8.000 pada tahun 2011, dan naik lagi menjadi Rp 10,300 pada
tahun 2012. Kenaikan tersebut sebagai dampak pemenuhan kebutuhan kedelai
nasional yang masih harus diimpor, sehingga sangat rentan terhadap fluktuasi harga
di pasar internasional.
Berbagai kebijakan untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri telah
dilakukan sejak lama. Pada awal tahun delapan puluhan BULOG melaksanakan
pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya adalah untuk
menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota
KOPTI (Koperasi Perajin Tahu-Tempe Indonesia). Pengadaan dalam negeri hanya
berlangsung selama 3 tahun (1979/80-1982/83) dan jumlahnya sangat kecil atau
kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui
impor berlangsung tiap tahun dengan jumlah yang cukup besar. Pengadaan melalui
impor meningkat hingga mencapai 1,1 juta ton pada tahun 1984, tetapi kemudian
menurun drastis pada tahun berikutnya dan meningkat lagi hingga mencapai 490,9
ton pada tahun 1991 (Purwoto, 1997; Sudaryanto, 1999).
Kebijakan perdagangan internasional yang lain adalah pengenaan tarif ad-
valorem untuk impor kedelai. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen
yang dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 sampai tahun 1993 tarif
impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada
tahun 1994 sampai 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2,5
persen dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 (Erwidodo dan
Hadi, 1999). Pada Januari 2008, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri
Keuangan atau PMK menetapkan tarif impor nol persen pada komoditas kedelai
akibat meroketnya harga kedelai dunia (Ahmad, 2009).
Selanjutnya, pada tahun 2011 Kementerian Keuangan menerbitkan PMK
Nomor 13/PMK.011/2011 yang menetapkan TBM untuk komoditas kedelai sebesar
nol persen hingga 31 Desember 2011. Hal ini berarti tarif bea masuk untuk kedelai
akan kembali dinaikkan pada 1 Januari 2012 menjadi 5 persen. Langkah ini
dilakukan untuk mendukung program swasembada kedelai pada tahun 2014.
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 23
4) Komoditas Gula
Gula juga merupakan salah satu komoditas pokok dan strategis di Indonesia.
Pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang mempunyai efek langsung
dan tidak langsung terhadap pasang-surutnya industri gula nasional. Kebijakan
pergulaan nasional diterapkan secara intensif, identik dengan intensitas kebijakan
yang berkaitan dengan industri beras. Di samping intensitasnya tinggi, kebijakan
pemerintah tersebut juga mempunyai dimensi yang cukup luas, mulai dari kebijakan
lahan, input, produksi, distribusi, kelembagaan, hingga kebijakan harga.
Walaupun dimensi kebijakan yang demikian luas dan sudah diterapkan sejak
lama oleh pemerintah Indonesia, secara garis besar kebijakan tersebut dapat dibagi
ke dalam tiga regim yang dilandasi oleh aspek esensi dan periode waktu (Tabel 2.2).
Ketiga regim kebijakan tersebut adalah: (i) Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi
(1971-1997); (ii) Regim Kebijakan Liberalisasi (1997-2002); dan (iii) Regim
Kebijakan Proteksi dan Promosi (2002-sekarang).
Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi
Sejalan dengan isu utama pada tahun 1970-an di negara sedang
berkembang, masalah ketersediaan dan ketahanan pangan merupakan salah satu
isu nasional yang sangat penting. Oleh sebab itu, upaya pemerintah Indonesia untuk
mendorong pembangunan sektor pertanian secara umum, dan secara lebih spesifik
untuk mencapai swasembada pangan, dalam hal ini, upaya peningkatan produksi
pangan dengan harga yang murah, merupakan fenomena utama kebijakan
pertanian, bahkan kebijakan nasional pada saat itu.
Tabel 2.2. Regim Kebijakan Pergulaan Nasional
Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 24
Regim Kebijakan Nomor SK/Keppres/ Keputusan Menteri Perihal Tujuan
Suportif dan Stabilisasi (1971 -1997)
Keppres No. 43/1971, 14 Juli 1971
Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula
Me