Author
duongkiet
View
219
Download
0
Embed Size (px)
LAPORAN
ANALISIS IDENTIFIKASI PRODUK IMPOR YANG BERMASALAH DI PELABUHAN
PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2016
i Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat, hidayah, kekuatan dan kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan kajian ini dengan baik dan sesuai
dengan waktu yang telah ditetapkan.
Kementerian Perdagangan sebagai salah satu instansi penerbit
perijinan yang menjadi bagian dalam pengurusan barang pada proses
bongkar muat di pelabuhan terus berupaya agar target dweeling time
dapat tercapai, melalui penyederhanaan perijinan melalui Deregulasi
kebijakan ekspor dan impor. Terkait dengan hal tersebut, Kementerian
Perdagangan berencana untuk melakukan identifikasi terhadap lalu lintas
barang yang masuk melalui beberapa pelabuhan utama di Indonesia.
Dalam rangka upaya mendorong daya saing perekonomian
Indonesia dan sekaligus mencapai target penurunan Dwelling Time di
pelabuhan, maka Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri melakukan
kajian terkait Analisis Identifikasi Produk Impor Yang Bermasalah di
Pelabuhan. Hasil analisis ini diharapkan dapat memetakan produk-
produk impor yang selama ini paling banyak bermasalah dalam
pengurusan waktu bongkar muat di pelabuhan agar dapat ditentukan
solusinya bagi pencapaian target dweeling time yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran diharapkan dari semua pihak untuk tahap
pengembangan dan penyempurnaan kajian ini di masa akan datang.
Besar harapan penulis bahwa informasi sekecil apapun yang terdapat
dalam kajian ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan
bagi para pembaca.
Jakarta, Maret 2016
Tim Analisis
ii Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
BAB I .............................................................................................................1
PENDAHULUAN ...........................................................................................1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................3
1.3. Tujuan ................................................................................................4
1.4. Output.................................................................................................4
1.5. Dampak / Manfaat ..............................................................................4
1.6. Ruang Lingkup Analisis ......................................................................5
1.7. Sistematika Laporan ...........................................................................5
BAB II ............................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................7
2.1. Dwelling Time .....................................................................................7
2.2. Ketentuan Proses Bongkar Muat di Pelabuhan ................................ 10
2.3. Benchmarking Negara Lain .............................................................. 11
BAB III ......................................................................................................... 13
METODE PENGKAJIAN ............................................................................. 13
BAB IV ........................................................................................................ 15
IDENTIFIKASI PRODUK YANG BERMASALAH DI PELABUHAN ............. 15
4.1. Identifikasi Jumlah Kontainer Menurut Pelabuhan Masuk ................ 15
4.2. Identifikasi Waktu Bongkar Muat Kontainer Menurut Jenis Produk .. 18
4.3. Identifikasi Permasalahan Bongkar Muat di Pelabuhan ................... 21
BAB V ......................................................................................................... 26
ANALISIS DAN PEMBAHASAN ................................................................. 26
5.1. Penyebab Produk yang Sering Bermasalah di Pelabuhan ............... 26
iii Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
5.2. Peran Kemendag dalam Mengurangi Potensi Permasalahan di
Pelabuhan ............................................................................................... 27
5.3. Potensi Pengurangan Dwelling Time ............................................... 28
5.4. Mempelajari Proses Bongkar Muat di Pelabuhan Busan, Korea
Selatan .................................................................................................... 31
BAB VI ........................................................................................................ 34
PENUTUP ................................................................................................... 34
6.1. Kesimpulan ....................................................................................... 34
6.2. Rekomendasi ................................................................................... 36
iv Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Hal.
Tabel 2.1 Target dan Realisasi Dwelling Time di Pelabuhan
Tanjung Priok 2015
9
Tabel 2.2 Tarif Pelayanan Jasa Petikemas di Pelabuhan Tanjung
Priok
11
v Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Hal.
Gambar 1.1 Perkembangan Waktu Pengurusan Bongkar Muat
di Pelabuhan
2
Gambar 2.1 Proses Dwellling Time Impor 8
Gambar 4.1 Jumlah Arus Kontainer Seluruh Indonesia 16
Gambar 4.2 Jumlah Arus Kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok 17
Gambar 4.3 Volume Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung Priok 18
1 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Melihat kenyataan bahwa kondisi geografis Indonesia merupakan
negara kepulauan dimana wilayah perairan jauh lebih luas dibanding
daratannya maka sudah merupakan hal yang wajar apabila pembangunan
dan pengaturan transportasi laut dewasa ini perlu mendapat perhatian
yang besar. Pelabuhan sebagai pintu gerbang perekonomian mutlak
harus dapat memberikan kontribusi antara lain penekanan distribution cost
yang berdampak pada daya beli, daya saing, dan efek multiplier terhadap
pertumbuhan dan pendapatan nasional. Untuk itu, lamanya proses
bongkar muat di pelabuhan menjadi salah satu penyebab inefisiensi
dalam perekonomian di Indonesia.
Lamanya waktu bongkar muat barang di pelabuhan sering disebut
dengan istilah Dwelling Time. Proses Dwelling Time terbagi dalam tiga
tahapan yang meliputi aktivitas bongkar, penyimpanan dan penyiapan
dokumen peti kemas di pelabuhan (pre customs clearance), aktivitas
kepabeanan (customs clearance), dan pengangkutan serta pembayaran
yang melibatkan perbankan (post customs clearance).
Terkait dengan dunia kepelabuhan, Dwelling Time yang menjadi isu
hangat di berbagai media massa beberapa bulan terakhir adalah mengacu
kepada waktu tunggu kontainer sejak dibongkar dan ditimbun di dalam
area pelabuhan hingga dikeluarkannya kontainer tersebut dari pelabuhan.
Waktu tunggu tersebut mempengaruhi kelancaran arus barang di
pelabuhan dan kelancaran distribusi barang impor, serta kelancaran
proses produksi, sehingga Dwelling Time turut memiliki pengaruh
terhadap perekonomian di suatu negara.
Dalam terminologi kepelabuhan, penyebab meningkatnya waktu
proses Dwelling Time di pelabuhan banyak diakibatkan oleh sarana dan
2 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
prasarana seperti kapasitas tempat penimbunan kontainer yang kurang
luas, jalanan yang macet, maraknya praktik pungutan liar atau pungli,
tumpang tindihnya perijinan, birokrasi yang rumit, dan panjangnya
prosedur yang harus diselesaikan. Itu belum termasuk disparitas biaya
penumpukan kontainer di pelabuhan yang lebih murah ketimbang
menyewa gudang penimbunan di luar pelabuhan sehingga banyak
importir yang lebih senang memanfaatkan pelabuhan sebagai tempat
untuk "menitipkan" kontainer impor mereka.
Berdasarkan data statistik, perkembangan jumlah lamanya waktu
dalam pengurusan bongkar muat di pelabuhan sepanjang periode Januari
2013-Mei 2015 menunjukkan adanya penurunan dengan rata-rata
lamanya waktu berkisar antara 5,47 hari hingga 9,24 hari. Data tersebut
menunjukkan masih belum tercapainya target yang ditetapkan oleh
pemerintah yaitu 4,7 hari.
Gambar 1.1. Perkembangan Waktu Pengurusan Bongkar Muat di
Pelabuhan Sumber: Ditjen Bea dan Cukai
Kementerian Perdagangan sebagai salah satu instansi penerbit
perijinan yang menjadi bagian dalam pengurusan barang pada proses
bongkar muat di pelabuhan terus berupaya untuk mengurangi waktu
pengurusan perijinan agar target dweeling time dapat tercapai. Langkah
7.91
8.66
6.756.37
8.45
9.24 9.21
8.60
7.46
8.57
7.006.66
8.32
7.72
6.04
6.616.33
6.32
5.74 5.855.47
5.605.805.93
6.335.92
5.635.59 6.09
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
3 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
perbaikan yang telah dilakukan guna mendukung target pemerintah antara
lain adalah dengan melakukan penyederhanaan perijinan melalui
Deregulasi kebijakan ekspor dan impor. Terkait dengan hal tersebut,
Kementerian Perdagangan berencana untuk melakukan identifikasi
terhadap lalu lintas barang yang masuk dan keluar melalui beberapa
pelabuhan utama di Indonesia. Identifikasi ini akan sangat berguna bagi
pengambilan keputusan terutama terkait beberapa kebijakan yang
terdapat di Kementerian Perdagangan.
Dalam rangka upaya mendorong daya saing perekonomian
Indonesia dan sekaligus mencapai target penurunan Dwelling Time di
pelabuhan, maka Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri melakukan
kajian terkait Analisis Identifikasi Produk Impor Yang Bermasalah di
Pelabuhan. Hasil analisis ini diharapkan dapat memetakan produk-
produk impor yang selama ini paling banyak bermasalah dalam
pengurusan waktu bongkar muat di pelabuhan agar dapat ditentukan
solusinya bagi pencapaian target dwelling time yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta tujuan yang hendak diraih, maka
permasalahan yang akan dikaji dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Berapakah volume bongkar muat kontainer pada pelabuhan besar
di Indonesia?
2. Apa saja produk yang paling banyak dibongkar di pelabuhan?
3. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk proses pembongkaran
satu kontainer?
4. Apa saja produk yang sering mengalami permasalahan di
pelabuhan?
5. Apa saja yang menjadi penyebab permasalahan di pelabuhan?
4 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari analisis ini adalah untuk:
a. Menganalisis jumlah kontainer dan produk yang dimuat dan
dibongkar berdasarkan pelabuhan masuk di Indonesia.
b. Menganalisis waktu bongkar muat kontainer di pelabuhan.
c. Mengidentifikasi produk yang sering bermasalah dan penyebab
permasalahan bongkar muat di pelabuhan.
d. Merumuskan rekomendasi kebijakan impor dalam mendukung target
Dwelling Time yang ditetapkan pemerintah.
1.4. Output
Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan output sebagai berikut:
a. Analisis jumlah kontainer dan produk yang dimuat berdasarkan
pelabuhan masuk di Indonesia.
b. Analisis waktu bongkar muat kontainer di pelabuhan.
c. Identifikasi produk yang bermasalah dan penyebab permasalahan
bongkar muat di pelabuhan.
d. Rekomendasi kebijakan impor dalam mendukung target Dwelling
Time yang ditetapkan pemerintah.
1.5. Dampak / Manfaat
Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam
penyusunan kebijakan impor, khususnya yang terkait dengan produk
impor yang bermasalah dalam proses bongkar muat di pelabuhan, jumlah
peti kemas yang bermasalah di pelabuhan dan faktor-faktor yang
mendasari terjadi permasalahan dalam proses bongkar muat di
pelabuhan.
5 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
1.6. Ruang Lingkup Analisis
Analisis ini hanya dibatasi pada analisis perkembangan jumlah
kontainer yang masuk dan keluar dari beberapa pelabuhan utama di
Indonesia serta analisis permasalahan yang dihadapi dalam proses
bongkar muat barang di pelabuhan tersebut.
1.7. Sistematika Laporan
Bab I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
1.2. Perumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Output
1.5. Dampak/Manfaat
1.6. Ruang Lingkup
1.7. Sistematika Laporan
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1. Dwelling Time
2.2. Ketentuan Proses Bongkar Muat di Pelabuhan
2.3. Benchmarking Negara Lain
Bab III Metode Pengkajian
Bab IV Identifikasi Produk yang Bermasalah di Pelabuhan
4.1. Identifikasi Jumlah Kontainer Menurut Pelabuhan
Masuk
4.2. Identifikasi Waktu Bongkar Muat Kontainer Menurut
Jenis Produk
4.3. Identifikasi Permasalahan Bongkar Muat di Pelabuhan
6 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Bab V Analisis dan Pembahasan
5.1. Penyebab Produk yang Sering Bermasalah di
Pelabuhan
5.2. Peran Kemendag dalam Mengurangi Potensi
Permasalahan di Pelabuhan
5.3. Potensi Pengurangan Dwelling Time
5.4. Mempelajari Proses Bongkar Muat di Busan, Korea
Selatan
Bab VI Penutup
6.1. Kesimpulan
6.2. Rekomendasi
7 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dwelling Time
Dwelling Time dalam perdagangan internasional menunjukkan waktu
yang sebenarnya konsinyasi tinggal di pelabuhan masuk, terhitung sejak
waktu selesai pembongkaran kargo dari transportasi sampai keluar dari
tempat penyimpanan di pelabuhan, setelah menyelesaikan semua
formalitas yang relevan (USAID, 2014).
Sedangkan menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Dwelling
Time diartikan sebagai waktu berapa lama petikemas (barang impor)
ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di pelabuhan sejak
dibongkar dari kapal sampai dengan barang impor keluar dari TPS.
Adapun Dwelling Time terbagi menajdi tiga bagian, yakni :
1. Pre-Customs Clearance : Waktu yang diperlukan sejak peti kemas
dibongkar dari kapal sampai dengan importir melakukan submit
Pemberitahuan Impor Barang (PIB) ke Bea Cukai.
2. Customs Clearance : Waktu yang dibutuhkan dari sejak PIB
diterima sampai dengan diterbitkannya Surat Persetujuan
Pengeluaran Barang (SPPB) oleh Bea Cukai.
3. Post-Customs Clearance : Waktu yang dibutuhkan dari sejak SPPB
sampai dengan pengeluaran barang impor dari Tempat Penimbunan
Sementara.
Terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi Dwelling Time seperti
proses penumpukan kontainer di area penumpukan kontainer di
Pelabuhan. Container yard atau area penumpukan kontainer adalah salah
satu fasilitas utama dari pelabuhan kontainer untuk menyimpan kontainer
sebelum dapat dikeluarkan dari pelabuhan. Terdapat dua cara dalam
menangani kontainer di lapangan penumpukan kontainer. Opsi pertama
adalah langsung menempatkan kontainer pada chassis (sasis) dan opsi
8 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
kedua adalah kedua dengan menumpuknya di tanah. Sistem sasis dapat
diakses dengan mudah, namun sistem ini membutuhkan area yang lebih
luas. Di sisi lain, menumpuk di sistem penumpukan di tanah tidak bisa
diakses langsung meskipun tidak memerlukan daerah yang luas. Menurut
Vis dan Koster (2003) sistem susun yang dominan digunakan saat ini
adalah susun di tanah karena memakan ruang yang sedikit. Tingkat
pemanfaatan fasilitas pelabuhan merupakan manajemen yang penting
yang dapat memandu keputusan terkait perencanaan dan investasi. Salah
satu alat untuk mengukur tingkat pemanfaatan fasilitas pelabuhan adalah
Yard Occupacy Ratio (YOR), yang merupakan rasio antara pemanfaatan
area penumpukan dan kapasitas area yang efektif.
Selain sistem penumpukan kontainer, aspek lain yang
mempengaruhi Dwelling Time adalah jumlah waktu yang diperlukan untuk
memproses dokumen untuk pembongkaran kontainer. Sistem dan
administrasi dokumen secara digital umumnya dapat memberikan dampak
pada pengurangan Dwelling Time. Pengaruh dari kedua aspek tersebut
dalam menentukan Dwelling Time, khususnya dalam penanganan
kontainer impor, dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Proses Dwellling Time Impor
Sumber : State of Logistics Indonesia 2015
9 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Berdasarkan laporan dari Dirjen Bea dan Cukai, kinerja Dwelling
Time di pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 2015 mencapai 5,5 hari,
sedikit lebih lama dari yang ditargetkan pemerintah yakni selama 4,7 hari,
dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 2.1. Target dan Realisasi Dwelling Time di Pelabuhan Tanjung
Priok 2015
Uraian Target Realisasi
Pre customs
clearance 2,7 hari 3,6 hari
Customs clearance 0,5 hari 0,6 hari
Post customs
clearance 1,5 hari 1,3 hari
Total 4,7 hari 5,5 hari
Sumber : Ditjen Bea dan Cukai (2015)
Perlu dicatat bahwa Dwelling Time yang lebih pendek menandakan
pemanfaatan terminal kontainer yang lebih tinggi. Secara teori, rendahnya
Dwelling Time rata-rata kontainer merupakan ukuran penghematan biaya
untuk mengoptimalkan arus kontainer di terminal. Terutama pada terminal
dengan area penyimpanan yang terbatas, sedikit pengurangan Dwelling
Time akan berdampak signifikan pada kapasitas area penyimpanan.
Namun, mengingat fakta bahwa area penyimpanan terminal kontainer
yang digunakan oleh pengirim / penerima barang (baik untuk impor dan
ekspor kargo) sebagai node overflow dalam rantai pasokan mereka,
Dwelling Time cenderung diatur oleh pengirim barang dan pada akhirnya
memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan. Sehingga kualitas
layanan menjadi bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi dwellingi
time, tetapi biaya penyimpanan di pelabuhan juga berkontribusi. Jadi,
penurunan Dwelling Time kontainer impor tidak hanya berpengaruh pada
peningkatan jumlah kontainer yang dapat ditanagani, tetapi juga
mengurangi biaya logistik umum karena mengurangi lead time dalam
rantai pasokan (State of Logistics Indonesia, 2015).
10 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
2.2. Ketentuan Proses Bongkar Muat di Pelabuhan
Undang-undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran
menjelaskan bahwa tugas untuk menjamin kelancaran arus barang di
pelabuhan merupakan tanggung jawab dari Otoritas Pelabuhan dan Unit
Penyelenggara Pelabuhan. Otoritas Pelabuhan merupakan lembaga
pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi
pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan
yang diusahakan secara komersial. Sementara Unit Penyelenggara
Pelabuhan merupakan lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas
yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan
kegiatan kepelabuhanan, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan
untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.
Salah satu kegiatan arus barang di Pelabuhan adalah kegiatan
usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal, yang diatur dalam
Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor PM 60 tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang Dari dan Ke
Kapal. Dalam Peraturan tersebut disebutkan bahwa kegiatan usaha
bongkar muat meliputi kegiatan stevedoring, cargodoring, dan
receiving/delivery. Stevedoring merupakan pekerjaan membongkar barang
dari kapal ke dermaga/tongkang/truk ke dalam kapal sampai dengan
tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan derek kapal atau derek
darat. Cargodoring merupakan pekerjaan melepaskan barang dari tali/jala
di dermaga dan mengangkut dari dermaga ke gudang/lapangn
penumpukan barang atau sebaliknya. Sementara receiving/delivery
merupakan pekerjaan memindahkan barang dari timbunan/tempat
penumpukan di gudang/lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai
tersusun di atas kendaraan di pintu gudang/lapangan penumpukan atau
sebaliknya.
Kegiatan bongkar muat tersebut hanya boleh dilakukan oleh badan
usaha yang didirikan khusus untuk bongkar muat barang di pelabuhan
11 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
yang memiliki izin usaha bongkar muat barang. Berdasarkan Pasal 112
ayat (1) huruf PP 20 Tahun 2010, izin tersebut diberikan oleh Gubernur
pada lokasi pelabuhan tempat kegiatan berdasarkan pemenuhan
persyaratan administrasi dan teknis.
Selain mengatur pelaksana dan kegiatan bongkar muat di
pelabuhan, kementerian Perhubungan juga mengatur pedoman
perhitungan tarif pelayanan jasa bongkar muat melalui Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor KM 35 tahun 2007 tentang Pedoman Perhitungan
Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat Barang Dari dan Ke Kapal di
Pelabuhan. Berdasarkan peraturan tersebut, besarnya tarif bongkar muat
memperhitungkan upah tenaga kerja, kesejahtaeraan tenaga kerja,
Asuransi, Supervisi, pemeliharaan alat, dan administrasi pelabuhan.
Adapun tarif pelayanan jasa petikemas di Pelabuhan Tanjung Priok
tertuang pada Surat Edaran PT. Jakarta Internasional Container Terminal
Nomor HM.608/1/11/JITC-2014, dengan rincian tarif sebagai berikut :
Tabel 2.2. Tarif Pelayanan Jasa Petikemas di Pelabuhan Tanjung
Priok
Masa Petikemas Isi Petikemas Kosong
0-3 hari Tidak dipungut biaya Tidak dipungut biaya
4-10 hari 500% dari tarif dasar 200% dari tarif dasar
11 hari 750% dari tarif dasar 300% dari tarif dasar
Catatan : Tarif dasar penumpukan sebesar Rp. 27.200,-/hari (kontainer 20) dan Rp. 54.400,-/hari (kontainer 40) Sumber : PT Pelindo II (Persero)
2.3. Benchmarking Negara Lain
Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pelabuhan terbesar ke-22
untuk jumlah kontainer di tahun 2013. Adapun 5 (lima) pelabuhan
kontainer terbesar di dunia adalah Shanghai (RRT), Singapura, Shenzen
(RRT), Hong Kong, dan Busan (Korea Selatan) dengan jumlah volume
12 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
masing-masing sebesar 33,6 juta Teus, 32,6 juta Teus, 23,3 juta Teus,
22,4 juta Teus, dan 17,7 juta Teus (http://www.worldshipping.org/).
Selain sebagai pelabuhan dengan volume terbesar di dunia, Dwelling
Time di Pelabuhan Shanghai, RRT juga merupakan yang tercepat, yakni
hanya sekitar 12-24 jam. Lama Dwelling Time di Pelabuhan Singapura
juga tercatat sebagai yang tercepat di dunia yakni hanya 1 (satu) hari.
Adapun menurut catatan OECD, lamanya Dwelling Time impor di
pelabuhan Hong Kong di tahun 2010 adalah 5-7 hari, sedikit lebih lama
dibanding Pelabuhan Tanjung Pelepas Malaysia yang mencapai 4 (empat)
hari. Sementara di India, Dwelling Time tercatat lebih lama yakni
mencapai 8-9 hari (http://www.cbec.gov.in/htdocs-cbec/dwell_time).
Meneladani pelabuhan terbesar dan tercepat, Pelabuhan Shanghai,
banyak hal yang dapat dicontoh oleh pelabuhan Indonesia. Pelabuhan
Shanghai beroperasi 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Dengan 38.000
staf (21.000 karyawan penuh waktu dan 17.000 pekerja pelabuhan) serta
peningkatan lalu lintas kontainer tahunan sebesar 30% setiap tahun,
pelabuhan itu sendiri dianggap sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi
paling cepat di dunia. Hal tersebut karena pelabuhan Shanghai
merupakan bagian penting dari rencana pembangunan nasional
pemerintah pusat di RRT. Prioritas utama Pemerintah RRT adalah untuk
membuat pusat pelayaran internasional dengan menjadikan pelabuhan
Shanghai sebagai pelabuhan besar yang kuat. Pada saat yang sama,
pemerintah RRT juga meningkatkan layanan logistik sehingga konsumen
dapat memanfaatkan pelabuhan Shanghai dan dapat memenuhi
kebutuhan bisnis stakeholder di seluruh dunia.
http://www.cbec.gov.in/htdocs-cbec/dwell_time
13 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
BAB III
METODE PENGKAJIAN
Pada studi ini, data yang digunakan adalah berupa data primer dan
data sekunder. Data primer didapatkan dari in-depth interview terhadap
pemangku kepentingan. Sementara, data sekunder diperoleh dari instansi
dan lembaga terkait dan diyakini ke-valid-an datanya.
Untuk mengevaluasi seberapa besar potensi kerugian yang timbul
akibat lamanya waktu proses bongkar muat di pelabuhan dalam kaitannya
dengan prosedur ekspor maupun impor, digunakan perhitungan simulasi.
Simulasi didasarkan pada data sirkulasi jumlah kontainer di beberapa
pelabuhan utama di Indonesia selam kurun 5 tahun terakhir. Diharapkan,
melalui simulasi akan diperoleh nilai dari dampak kerugian atas waktu
proses yang terjadi terhadap kontainer tersebut.
Untuk mempertajam asumsi dari metode simulasi, ditambahkan
dengan informasi tambahan dari in-depth interview yang akan
memberikan gambaran mengenai masalah yang dihadapi dalam proses
bongkar muat yang tidak dapat diperoleh dari gambaran data sekunder
yang ada.
Selain itu, digunakan pula gap analysis yang mengacu pada studi
USAID (2014) dan Centre for WTO Studies, Indian Institute of Foreign
Trade (2012). Gap Analysis mencakup perbandingan kinerja pada saat
ini dengan kinerja yang ingin dicapai (ideal). Penilaian kinerja didasarkan
atas pemanfaatan sumber daya untuk mencapai hasil yang lebih potensial
dengan mengadopsi konsep ekonomi production possibilites frontier.
Fungsi metodologi ini juga merupakan identifikasi perbedaan yang muncul
antara alokasi optimum dari sumber daya dengan alokasi yang ada saat
ini. Sehingga diharapkan dapat diperoleh pada bagian mana bisa
dilakukan perbaikan dan pengembangan untuk mencapai kondisi ideal.
Untuk itu, diperlukan juga suatu benchmark dan penilaian mendalam agar
14 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
nantinya permasalahan dan celah yang ditemukan dapat benar benar
dikembangkan dan tepat guna dan tepat tujuan.
Adapun dalam kaitannya denga studi ini, untuk mendapatkan
benchmark dan mendeterminasi ruang untuk pengembangan, hal hal
penting yang perlu diukur adalah pada proses dari Pre Clearance hingga
Post Clearance.
15 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
BAB IV
IDENTIFIKASI PRODUK YANG BERMASALAH DI PELABUHAN
4.1. Identifikasi Jumlah Kontainer Menurut Pelabuhan Masuk
Berdasarkan kondisi geografis, pengelolaan pelabuhan di
Indonesia terbagi menjadi 4 (empat) wilayah, yakni dibawah wewenang
operator pelabuhan PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I sampai dengan
PT. Pelindo IV. Wilayah kerja PT Pelindo I meliputi Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utata (Sumut), Riau dan Kepulauan
Riau (Kepri). PT. Pelindo I memiliki tugas utama untuk mengelola
Pelabuhan Belawan, Medan; Pelabuhan Dumai, Dumai; dan Pelabuhan
Batam, Batam.
PT Pelindo II atau IPC merupakan operator pelabuhan terbesar di
Indonesia memiliki misi untuk selalu memberikan layanan kelas dunia
kepada para pengguna jasanya sehingga bisa turut memberikan
kontribusi untuk pertumbuhan nasional. PT Pelindo II memiliki 12 cabang
pelabuhan yang tersebar di wilayah bagian barat Indonesia, yaitu
Pelabuhan Tanjung Priok; Pelabuhan Bengkulu; Pelabuhan Sunda
Kelapa; Pelabuhan Panjang; Pelabuhan Palembang; Pelabuhan Cirebon;
Pelabuhan Pontianak; Pelabuhan Jambi; Pelabuhan Teluk Bayur;
Pelabuhan Pangkal Balam; Pelabuhan Banten; dan Pelabuhan Tanjung
Pandan.
Adapun PT Pelindo III, operator pelabuhan terbesar kedua setelah
PT Pelindo II, mengelola pelabuhan paling banyak dibanding PT Pelindo
lainnya, yakni mencapai 43 pelabuhan yang tersebar di 7 Provinsi yaitu
Jawa Timur; Jawa Tengah; Kalimantan Selatan; Kalimantan Tengah; Bali;
Nusa Tenggara Barat; dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan PT Pelindo
IV mengelola 22 pelabuhan di Kawasan Indonesia Timur meliputi wilayah
Kalimantan Timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
16 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Pada tahun 2014, total arus kontainer di seluruh pelabuhan
Indonesia mencapai 13,9 juta Teus, naik rata-rata 5,7% per tahun. Volume
tersebut didominasi oleh Pelindo II dan Pelindo III yang masing-masing
memberikan kontribusi sebesar 46,4% dan 31,2% dari total volume
kontainer di Indonesia. Adapun jumlah arus kontainer yang mengalami
peningkatan terbesar adalah arus kontainer di Pelindo IV, yakni naik rata-
rata 8,7% per tahun selama 2010-2014, diikuti Pelindo III yang naik 6,5%
per tahun.
Gambar 4.1. Jumlah Arus Kontainer Seluruh Indonesia
Sumber : Pelindo I - IV
Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pelabuhan terbesar di
Indonesia, dengan arus kontainer mencapai 41% dari total arus kontainer
di Indonesia tahun 2014, yakni mencapai 5,7 juta teus. Selama 2010-
2014, arus kontainer di Tanjung Priok naik 5,3% per tahun, meskipun
sedikit mengalami penurunan di tahun 2014 dibanding tahun 2013. Arus
2010 2011 2012 2013 2014
Pelindo IV 1,280,338 1,349,961 1,590,376 1,590,376 1,793,574
Pelindo III 3,244,829 3,940,146 3,940,146 4,130,874 4,337,555
Pelindo II 5,397,543 5,913,617 6,468,567 6,589,587 6,442,968
Pelindo I 1,111,398 1,277,709 1,304,237 1,335,139 1,322,543
Total Indonesia 11,034,108 12,481,433 13,303,326 13,645,976 13,896,640
-
2,000,000
4,000,000
6,000,000
8,000,000
10,000,000
12,000,000
14,000,000
16,000,000
TEU
s
17 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok didominasi oleh terminal Jakarta
International Container Terminal (JITC) dan terminal Konvensional,
masing-masing sebesar 2,4 juta dan 2,5 juta teus. Pada Semester
pertama di tahun 2015, arus kontainer di pelabuhan tersebut mencapai
2,6 juta teus.
Gambar 4.2. Jumlah Arus Kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok
Sumber : Pelindo II
Volume kontainer di pelabuhan Tanjung Priok juga mendominasi
dibanding volume bongkar muat curah dan kargo. Di tahun 2014, total
volume bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok mencapai 52,6 juta ton,
terdiri dari volume kontainer 20,7 juta ton; volume curah kering (dry bulk)
12,7 juta ton; liquid cargo 8,5 juta ton; bag cargo 1,9 juta ton, dan general
cargo 8,8 juta ton. Selama 2010-2014, volume general cargo di tanjung
priok mengalami penurunan, sementara volume kontainer mengalami
peningkatan signifikan, yakni naik rata-rata 11,6% per tahun.
18 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Gambar 4.3. Volume Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung Priok
Sumber : PT Pelabuhan Tanjung Priok
4.2. Identifikasi Waktu Bongkar Muat Kontainer Menurut Jenis
Produk
Sebagaimana diketahui bahwa target pemerintah untuk Dwelling
Time nasional adalah 4,7 hari. Pada tahun 2015 lalu, lama Dwelling Time
di Pelabuhan Tanjung Priok mencapai 5,5 hari. Namun demikian, dengan
beberapa perbaikan yang telah dilakukan, lama Dwelling Time di
Pelabuhan Tanjung Priok pada akhir Maret 2016 ini sudah mencapai
sekitar 4 hari.
Meninjau pelabuhan Tanjung Perak dan Belawan, ternyata kedua
pelabuhan tersebut memiliki Dwelling Time yang lebih lama dibanding
dengan Tanjung Priok. Pada awal tahun ini, Dwelling Time impor di
Pelabuhan Tanjung Perak mencapai sekitar 6 hari, sementara di Belawan
tercatat sekitar 5 hari. Hal terseBut membuktikan bahwa jumlah atau
volume bongkar muat di sebuah pelabuhan bukan faktor utama yang
menentukan lamanya Dwelling Time.
Selain fasilitas, teknologi dan informasi, Sumber Daya Manusia
(SDM), dan birokrasi perizinan, masih banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi lamanya Dwelling Time, termasuk moral hazard dari
19 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
pelaku usaha sendiri. Meskipun Dwelling Time di Tanjung Perak dan
Belawan lebih lama dibanding Tanjung Priok dan belum dapat mencapai
target pemerintah, namun demikian, hal tersebut tidak menjadi persoalan
yang besar baik bagi pemerintah daerah ataupun pelaku usaha di wilayah
tersebut. Hal tersebut dimungkinkan karena lama pengurusan di
pelabuhan selama 5-6 hari tersebut masih dianggap wajar dan tidak
terlalu membebani pelaku usaha. Ditambah dengan kapasitas lapangan
penumpukan kontainer yang belum mencapai maksimum.
Kembali pada Pelabuhan Tanjung Priok, dimana pada awal tahun
ini sudah mencapai Dwelling Time sekitar 4 hari (kurang dari target
pemerintah), tidak memungkinkan terjadi proses bongkar muat yang
melebihi dari rata-rata Dwelling Time yang tercatat. Sebagai misal,
sebagaimana catatan dari KSO, masih terdapat kontainer yang lamanya
pengurusan di pelabuhan melebihi rata-rata Dwelling Time dan bahkan
lebih dari 30 hari. Dari data rekapitulasi 5 kontainer penyumbang Dwelling
Time terbesar selama periode tanggal 3 Agustus 2015 sampai dengan 08
Maret 2016 terlihat bahwa rata-rata lama pengurusan kontainer paling
lama adalah lebih dari 20 hari. Dari jumlah kontainer penyumbang
Dwelling Time terlama tersebut, sebanyak 19% merupakan barang yang
diatur impornya dan mewajibkan adanya Laporan Surveyor (LS),
sedangkan sisanya 81% merupakan kontainer yang tidak diatur impornya
(non-Lartas). Lima komoditas/jenis produk impor yang mewajibkan
dokumen LS yang menyumbang lamanya Dwelling Time adalah Barang
Berbasis Sistem Pendingin (BBSP), Besi atau Baja, Elektronika, Limbah
Non B3, dan Baja Paduan dengan lama pengurusan mulai dari 7 hari
sampai dengan 31 hari.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari diskusi dengan Bea
Cukai, PT Pelindo I, II, dan III, serta Otoritas Pelabuhan, maka dapat
disimpulkan bahwa, produk-produk yang sering bermasalah di Pelabuhan
dan berpotensi menimbulkan lamanya Dwelling Time, antara lain :
20 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
1. Barang yang diatur impornya oleh lebih dari satu instansi.
Pengaturan impor oleh lebih dari satu instansi dapat berpotensi
menimbulkan masalah seperti inefisiensi pengurusan izin impor baik
dari segi waktu, biaya, dan tenaga, yang berdampak pada lamanya
barang impor menumpuk di pelabuhan.
Contoh : Produk pertanian dan peternakan (diatur oleh Kementerian
Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Badan Karantina); produk
perikanan (diatur oleh Kementerian Perdagangan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, dan Badan Karantina); Produk Kosmetik dan
Makanan Minuman (diatur oleh Kementerian Perdagangan dan
BPOM).
2. Barang yang menyangkut keselamatan dan keamanan lingkungan
hidup.
Barang berbahaya dan beracun dapat mencemari lingkungan dan
bahkan menimbulkan penyakit berbahaya bagi manusia di sekitarnya,
sehingga dibutuhkan persyaratan yang lebih ketat untuk melakukan
importasi. Oleh karena itu, pengurusan impor untuk barang yang
menyangkut keselamatan dan keamanan lingkungan hidup berpotensi
menimbulkan permasalahan di pelabuhan.
Contoh : limbah berbahaya dan beracun; pakaian bekas.
3. Produk jadi/ barang konsumsi.
Produk jadi atau barang konsumsi berpotensi menimbulkan masalah
karena sebagain besar importirnya adalah trader yang tidak memiliki
gudang sendiri, sehingga importir cenderung membiarkan
kontanernya ditumpuk di pelabuhan.
Contoh : produk tertentu
4. Barang yang sulit dalam menentukan kode HS-nya.
Sulitnya penentuah kode HS bagi suatu barang akan menghambat
proses pengurusan impor di pelabuhan.
Contoh : gaharu; garam.
21 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
4.3. Identifikasi Permasalahan Bongkar Muat di Pelabuhan
Sejalan dengan semakin meningkatnya perkembangan ekonomi
dewasa ini di Indonesia, terutama mengenai kegiatan perdagangan
internasional, sehingga menghasilkan frekuensi arus barang dan jasa
melalui pelabuhan-pelabuhan di Indonesia yang semakin meningkat.
Seiring dengan meningkatnya frekuensi arus barang melalui pelabuhan,
timbul beberapa permasalahan dalam pelaksanaannya di lapangan.
Permasalahan yang terjadi terkait proses bongkar muat di
pelabuahan telah menjadi cerita klasik sejak beberapa tahun terakhir.
Berbagai permasalahan tersebut telah menjadi penghambat dalam
perkembangan sistem perlogistikan di Indonesia. Permasalahan tersebut
menyebabkan terganggunya kelancaran arus barang hingga
meningkatnya biaya logistik. Akibatnya, pengusaha harus menanggung
biaya yang lebih mahal karena tingginya biaya logistik. Tingginya biaya
logistik di Indonesia akan mengakibatkan inefisiensi dalam perekonomian
dan akan menurunkan daya saing bangsa.
Pemerintah perlu segera mencarikan pemecahan atas
permasalahan yang dihadapi terkait dengan proses bongkar muat barang
di pelabuhan. Solusi yang ditawarkan salah satunya adalah dengan
memberikan tenggat waktu penyelesaian proses bongkar muat. Kini,
pemerintah telah menargetkan waktu Dwelling Time selama 4,7 hari.
Target waktu tersebut menjadi acuan bagi beberapa kementerian/lembaga
terkait dalam mengukur waktu tempuh dalam proses bongkar muat barang
di pelabuhan mulai dari pengurusan dokumen hingga barang keluar dari
area pelabuhan.
Guna mengetahui kendala dan permasalahan yang dihadapi, Tim
melakukan kunjungan ke beberapa tempat antara lain ke Surabaya, Jawa
Timur. Berdasarkan hasil kunjungan lapangan ke Surabaya, Tim
memperoleh hasil survey yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai. Ditjen Bea dan Cukai mendapatkan beberapa fakta menarik terkait
terjadinya kendala dalam pelaksanaan proses bongkar muat barang di
22 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
pelabuhan. Pihak Bea dan Cukai telah memetakan kendala yang terjadi
dalam tiap tahap yakni pre clearance, customs clearance, dan post
clearance.
Pada tahap pre clearance, kendala-kendala yang dirasakan para
pemangku kepentingan antara lain sebagai berikut:
a. Pihak pelayaran tidak memberikan notice arrival
b. Pembayaran Delivery Order (D/O) melalui transfer antar bank dan
adanya perbedaan waktu antar negara
c. Ada pelayaran yang melayani penggambilan D/O s.d pukul14.00
d. Importir terlambat dalam memperoleh informasi BC 1.1
e. Importir tidak segera melakukan pembayaran karena masalah
keuangan
f. Ijin impor sementara dari Daglu >= 10 hari
g. Kekurangpahaman pengurusan Standar Nasional Indonesia (SNI)
h. Importasi sayuran dan buah-buahan menunggu Pemeriksaan dari
karantina sampai terbit KT-9
i. Perijinan dari karantina hewan harus menunggu adanya BC 1.1
j. Pemeriksaan oleh Karantina tidak dilakukan di Tempat Pemeriksaan
Fisik Terpadu (TPFT) dan membutuhkan waktu 3 hari
k. Dokumen pelengkap tidak valid (Form D)
l. Original document lama diterima oleh Importir, sehingga pengajuan
PIB menjadi lambat
m. Waktu pelayanan BPPOM s.d. Pukul 12 dan Perijinan berlaku 2 tahun
n. Laporan Surveyor (LS) belum dibuat di port of loading
o. Regulasi barang impor tertentu dari Disperindag tidak pasti
p. Kesalahan pengetikan dokumen pelengkap
q. Proses pemeriksaan fisik oleh surveyor kadang cukup lama
r. Perijinan dari K/L tidak bisa di upload ke Indonesia National Single
Window (INSW)
23 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Sementara itu, pada tahap customs clearance ditemukan beberapa
kendala sebagai berikut:
a. Dokumen belum lengkap sehingga tertunda penyerahannya ke Bea
dan Cukai
b. Respon terkadang lama diterima oleh importir (memakan waktu satu
jam)
c. Pelayanan redress Bill of Lading (B/L) perlu dipercepat
d. Perbedaan antara kode di B/L dan di pengemas
e. Biaya bongkar buruh melebihi yg ditetapkan TPS
f. Persetujuan Hi-Co memerlukan waktu lama
g. Kontainer yang sudah diperiksa dikembalikan ke Container yard
h. Pemeriksaan lab dirasakan masih lama
i. Beban Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPB) disarankan
agar tidak terlalu banyak
j. K/L tidak melakukan update data lartas yang terdapat pada INSW
k. Pergerakan kontainer diatas sift 2, sehingga pemeriksaan fisik hanya
bisa dilakukan besoknya
l. Permasalahan sistem baik PDE, INSW, maupun CEISA
m. Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) tidak segera
dilunasi karena kondisi keuangan perusahaan
Sedangkan kendala yang dihadapi ditahap post customs clearance
antara lain sebagai berikut:
a. Pencetakan/pelayanan Equipment Interchange Receipt (EIR) atau
dukumen sah yang menerangkan kondisi fisik petikemas secara detil di
TPS sampai Pukul 17
b. Kontainer tidak segera dikeluarkan dari TPS karena jumlah buruh di
importir kurang
Ditjen Bea dan Cukai pun mencatat kendala lainnya yang
menghambat proses bongkar muat barang di pelabuhan pada tahapan pre
customs clerance yaitu rendahnya kesadaran importir untuk segera submit
Pemberitahuan Impor Barang (PIB), kurangnya koordinasi antar instansi
24 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
terkait perijinan Larangan dan Pembatasan (Lartas), dan sering terjadinya
gangguan pada portal Indonesia National Single Window (INSW).
Sedangkan pada tahapan customs clearence, kendala yang dihadapi yaitu
masih lamanya waktu saat penyerahan hardcopy dokumen jalur kuning
dan merah, masih lamanya penarikan kontainer untuk periksa fisik, dan
lamanya pengurus barang dalam pendampingan periksa fisik. Disamping
itu, kendala yang terjadi pada tahapan post customs clearance yaitu
masih adanya Tempat Penimbunan Sementara (TPS), Shipping Line,
trucking dan Depo Kontainer yang belum buka 24/7, dan belum
diterapkannya penyerahan Delivery Order (D/O) secara elektronik (D/O
Online).
Selain kendala dalam pengurusan dokumen, terdapat kendala lain
yang menyumbang terjadinya Dwelling Time yakni masih banyaknya
importir yang termasuk dalam jalur Merah. Importir jalur Merah merupakan
jenis importir yang pengeluaran Barang Impor dari kawasan pabean (port)
dengan pemeriksaan fisik barang terlebih dahulu, dan dilakukan penelitian
dokumen setelah penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang
(SPPB). Untuk melakukan penetapan jalur tersebut, terdapat persyaratan
dan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi. Jadi pihak Bea Cukai tidak bisa
sembarangan dalam melakukan penetapan jalur. Adapun kriteria
penetapan Jalur Merah tersebut antara lain:
a. Importir baru
b. Importir yang termasuk dalam kategori risiko tinggi (High risk importer)
c. Barang yang di impor termasuk barang impor sementara
d. Barang Operasional Perminyakan (BOP) golongan II
e. Barang re-impor
f. Barang impor yang terkena pemeriksaan acak (Random inspection)
g. Barang impor tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah
h. Barang impor yang termasuk dalam komoditi berisiko tinggi atau
berasal dari negara yang berisiko tinggi
25 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Penetapan importir kedalam Jalur Merah sebagai salah satu upaya
dari Ditjen BC untuk memastikan bahwa barang-barang yang diimpor
tersebut sesuai dengan yang tertera didokumen dan diizinkan masuk ke
wilayah pabean Indonesia berdasarkan ketentuan bea dan cukai serta
untuk pencegahan terhadap tindak pidana kepabeanan dan cukai, yakni
penyelundupan. Akibat pemeriksaan fisik barang dan dokumen, maka
dibutuhkan waktu yang cukup lama pada proses bongkar muat barang di
pelabuhan. Untuk itu, salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk
mengurangi Dwelling Time adalah dengan mengurangi jumlah importir
yang masuk dalam kategori Jalur Merah.
26 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1. Penyebab Produk yang Sering Bermasalah di Pelabuhan
Terdapat 4 jenis produk yang sering bermasalah di pelabuhan,
yakni Barang yang diatur impornya oleh lebih dari satu instansi; Barang
yang menyangkut keselamatan dan keamanan lingkungan hidup; Produk
jadi/ barang konsumsi; dan Barang yang sulit dalam menentukan kode
HS-nya. Faktor-faktor penyebab produk yang sering bermasalah di
pelabuhan tersebut dibagi menjadi 2, yakni penyebab permasalahan yang
berkaitan dengan regulasi dan penyebab non regulasi. Dari sisi regulasi,
hal-hal yang menjadi penyebab permasalahan di pelabuhan antara lain :
Perizinan impor yang tumpang tindih antar kementerian/lembaga,
sehingga pengurusan izin menjadi lebih lama.
Kurangnya transparansi Bea Cukai.
Koordinasi dan integrasi antara kementerian/lembaga kurang serta
cenderung ego-sectoral.
Kurangnya sosialisasi peraturan ke pelaku usaha.
Adanya beberapa peraturan yang belum terintegrasi dengan INSW.
Sementara faktor non regulasi yang sering menjadi penyebab
produk sering bermasalah di pelabuhan antara lain :
Fasilitas pelabuhan kurang memadai dan masih banyak yang bersifat
konvensional serta belum dapat mengakomodir cuaca buruk.
Sistem di Syahbandar, Otoritas Pelabuhan, Pelindo dan Bea Cukai
belum terintegrasi.
Adanya oknum pemerintah yang menghambat proses pengurusan
barang di pelabuhan.
Penempatan pejabat bea cukai yang kurang berkompeten dalam
memutuskan penyelesaian permasalahan di pelabuhan.
Pengetahuan pelaku usaha terkait proses impor kurang.
27 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Kesengajaan pelaku usaha untuk menumpuk kontainer di pelabuhan
karena berbagai alasan seperti belum memiliki uang untuk membayar
Bea Masuk dan biaya-biaya jasa lainnya; atau karena biaya
penumpukan di pelabuhan lebih murah dibanding sewa gudang di luar
pelabuhan.
Jumlah buruh pelabuhan yang belum memadai.
5.2. Peran Kemendag dalam Mengurangi Potensi Permasalahan di
Pelabuhan
Peran Kementerian Perdagangan dalam mengurangi potensi
permasalahan di pelabuhan hanya terbatas pada pengurangan
permasalahan regulasi. Mengingat sebagian besar perizinan ekspor impor
berada di Kementerian Perdagangan, maka sebagai upaya untuk
mengurangi permasalahan di pelabuhan, Kementerian Perdagangan
harus terus melakukan deregulasi peraturan terkait ketentuan impor.
Selain itu, Kementerian Perdagangan sebaiknya juga menerapkan sistem
yang berbeda dalam melakukan sosialisasi peraturan terkait
perdagangan, yakni jangan hanya melalui forum sosialisasi dan
mencantumkan dalam website, namun juga proaktif mengirimkan email
terkait peraturan baru yang diterbitkan ke semua daftar eksportir dan
importir yang masuk ke dalam database perdagangan.
Dalam pelaksanaan pengurusan izin, Kementerian Perdagangan
juga sangat berperan terkait lamanya pengurusan perizinan. Sehingga
perubahan SOP terkait waktu dan transparansi pengurusan izin di
Kementerian Perdagangan diharapkan dapat mengurangi potensi
permasalahan di pelabuhan secara signifikan. Trensparansi pengurusan
izin tersebut dapat dimulai dengan digitalisasi seluruh sistem perizinan
atau merubah pola pengurusan perizinan menjadi on-line, sehingga
mengurangi dampak negatif akibat pengurusan izin secara transaksional.
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan Kementerian
Perdagangan, bekerjasama dengan kementerian/lembaga terkait lainnya
28 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
antara lain adalah melakukan koordinasi dan integrasi dalam menyusun
dan mengimplementasikan peraturan atau regulasi terkait kegiatan ekspor
impor. Selain itu, Kementerian beserta Bea Cukai harus bersama-sama
menegakkan implementasi Permendag Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015
tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor, dimana barang boleh masuk
ke pelabuhan jika perizinannya sudah lengkap. Hal tersebut akan sangat
membantu dalam mengurangi potensi permaslahan di pelabuhan,
khususnya terkait masalah dokumen perizinan.
5.3. Potensi Pengurangan Dwelling Time
Dwelling Time telah menjadi isu nasional dan menarik banyak
perhatian publik sejak pertengahan tahun 2015 lalu. Publik mengganggap
bahwa lamanya waktu Dwelling Time telah menurunkan tingkat daya
saing. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perbaikan dalam penanganan
Dwelling Time sehingga dapat menurunkan biaya logistik sekaligus
meningkatkan efisiensi perekonomian Indonesia. Pada akhirnya, seluruh
upaya pemerintah dalam menurunkan Dwelling Time akan meningkatkan
daya saing bangsa Indonesia diantara bangsa-bangsa lain di dunia.
Ditjen Bea dan Cukai mencatat bahwa tahapan paling krusial dalam
penanganan Dwelling Time berada pada tahapan pre customs clearance
yakni pembenahan pada sektor perijinan yang berada pada
kementerian/lembaga teknis terkait. Saat ini terdapat 18
kementerian/lembaga yang memiliki keterkaitan langsung dengan
perijinan di pre customs clearance antara lain:
No. Kementerian/Lembaga
1. Kementerian Perdagangan
2. Badan POM
3. Karantina Hewan
4. Karantian Tumbuhan
29 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
No. Kementerian/Lembaga
5. Pusat Karantina Ikan
6. Kementerian Perindustrian
7. Kementerian ESDM
8. Bapeten
9. Kementerian Kehutanan
10. Ditjen Postel Kemenkominfo
11. Kementerian Pertanian
12. Kementerian Kesehatan
13. POLRI
14. Kementerian Lingk. Hidup
15. Kementerian Pertahanan
16. Kementerian Perhubungan
17. Bank Indonesia
18. Ditjen Bea Dan Cukai
Berdasarkan catatan waktu yang dicatat oleh Ditjen Bea dan
Cukai, pada bulan Mei 2015 Dwelling Time yang terjadi yakni selama 6,09
hari dengan rincian sebagai berikut:
a. Pre customs clearance : 4,13 hari
b. Customs clearance : 0,82 hari
c. Post customs clearance : 1,14 hari
Catatan waktu tersebut masih diatas target Dwelling Time yang
dicanangkan oleh pemerintah yaitu selama 4,7 hari. Dengan mengacu
pada realisasi waktu Dwelling Time tersebut diatas, maka capaian waktu
terlama berada pada tahapan pre customs clearance yaitu mencapai
30 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
waktu 4,13 hari. Tahapan pre customs clearance ini menyangkut proses
perijinan yang berada di kementerian/lembaga teknis tersebut diatas.
Guna mengurangi lamanya waktu Dwelling Time, pemerintah perlu
mengambil langkah-langkah strategis. Salah satu upaya terobosan yang
telah dilakukan pemerintah untuk mempersingkat waktu perijinan adalah
dengan diterbitkannya Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I yang didalamnya
menyangkut upaya Deregulasi dan Debirokratisasi sektor perijinan.
Kebijakan Deregulasi dan Debirokratisasi yang diterbitkan
pemerintah mencakup beberapa Paket Kebijakan. Didalam beberapa
paket tersebut diantaranya mencakup sektor perijinan di bidang
perdagangan. Di dalam Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I, terdapat
sekitar 134 peraturan perundang-undangan yang menjadi bagian dari
Deregulasi Kebijakan dimana 32 diantaranya merupakan bagian dari
tugas Kementerian Perdagangan. Adapun tujuan utama dari deregulasi
tersebut adalah untuk mendukung upaya peningkatan kelancaran arus
barang dalam rangka ekspor, impor dan distribusi barang di dalam negeri
serta meningkatkan iklim usaha yang sehat dan berdaya saing.
Poin penting dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang
telah dilakukan oleh Kementerian Perdagangan adalah ke depannya
pelayanan perizinan dan non perizinan dilakukan melalui sistem elektronik
dimana proses perizinan ekspor impor akan dilakukan secara mandatory
online melalui Indonesia National Single Window (INSW) dengan tanda
tangan elektronik (digital signature). Dengan mekanisme tersebut,
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi waktu dan biaya pengurusan
perizinan serta meningkatkan transparansi dan kepastian berusaha. Guna
menyukseskan mekanisme mandatory online tersebut, maka harus
didukung oleh Sistem Informasi Perdagangan (SIP) yang lengkap, akurat,
cepat, dan tepat guna yang melibatkan K/L terkait (Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat
Statistik, pemerintah daerah, dan K/L lainnya) sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Selain
31 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
fungsi perijinan, INSW dapat pula digunakan untuk mendukung
mekanisme post audit.
Penerapan sistem perijinan online akan mengurangi jumlah
dokumen yang harus dilampirkan sekaligus mengurangi rantai proses
perijinan. Dengan diterapkannya perijinan online diharapkan akan dapat
mengurangi waktu proses pengurusan perijinan di Kementerian
Perdagangan. Sistem perijinan online memiliki 2 (dua) keuntungan yaitu
disisi pelaku usaha dapat mengurangi potensi biaya-biaya yang tidak perlu
dan mempercepat waktu pengurusan perijinan. Disisi pemerintah,
perijinan online akan mengurangi potensi timbulnya praktek transaksional
antara pegawai Kementerian Perdagangan dengan pelaku usaha.
5.4. Mempelajari Proses Bongkar Muat di Pelabuhan Busan, Korea
Selatan
Busan Port (Pelabuhan Busan) di Korea Selatan menghubungkan
500 pelabuhan di 100 negara di dunia dan merupakan pelabuhan logistik
hub di Asia Timur Laut pada abad ke-21. Untuk mengakomodasi cepatnya
peningkatan lalu lintas kontainer di kawasan tersebut, Busan Port
Authority (BPA) terus memperluas fasilitas pelabuhan dan sistem
distribusi, disamping mempercepat pembangunan Busan New Port.
Beberapa Upaya BPA dalam meningkatkan Daya Saing Busan
Port, antara lain :
Mendorong Busan Port menjadi hub transshipment untuk industri
pelayaran global.
Menerapkan langkah-langkah pemotongan biaya untuk distribusi.
Memperluas penerapan aplikasi untuk insentif transshipment kargo
dengan pembebasan biaya masuk pelabuhan untuk T / S kargo dan
pengurangan biaya masuk dan izin untuk kapal.
Pemberian insentif transshipment (untuk perusahaan pelayaran
dengan lebih dari 5.000 TEUs dalam penanganan tahunan).
32 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Penerapan efisiensi dan percepatan pengurusan customs clearance,
karantina dan sistem inspeksi.
Memperluas jaringan global yang mempromosikan peluang bisnis
pelabuhan di luar negeri untuk menghasilkan barang transshipment
dan mendorong Pelabuhan Aliansi dengan pelabuhan di China dan
Jepang.
Busan port merupakan pelabuhan terbesar ke-6 di dunia dengan
volume kontainer mencapai 18,6 juta Teus di tahun 2014. Adapun
Dwelling Time untuk impor di Busan Port saat ini tercatat 6 hari. Busan
Port memiliki ketentuan yang disebut dengan free time, yakni 3 hari untuk
ekspor dan 6 hari untuk ekspor yang artinya, jika pengurusan kontainer di
pelabuhan masih dibawah free time tersebut, maka kontainer tidak
dipungut biaya penumpukan. Namun jika melebihi free time tersebut,
maka dikenakan biaya USD 10/box/hari.
Lama Dwelling Time selama 6 hari tersebut dianggap sedikit lama
oleh BPA, karena seharusnya bisa 3-4 hari. Namun demikian, pemerintah
Korea Selatan tidak memberikan perhatian khusus terhadap lamanya
Dwelling Time dan tidak terjun langsung dalam pengurusan Dwelling Time
dan proses bongkar muat di pelabuhan. Bahkan, pemerintah tidak
memiliki target lamanya Dwelling Time yang harus dipenuhi. Pemerintah
Korea Selatan memberikan kepercayaan kepada BPA dan pelaku usaha
sendiri dalam proses bongkar muat di pelabuhan, dimana fasilitas sudah
disediakan dengan baik, SDM yang ada juga profesional, dan terdapat
kepentingan tersendiri dari pelaku usaha untuk segera mengeluarkan
kontainer dari pelabuhan. Namun demikian, pemerintah memberikan
perlakuan khusus bagi produk strategis, yakni produk bahan baku yang
digunakan pada industri di Korea Selatan. Insentif tersebut diberikan
berupa kemudahan periznan dan prioritaspengurusan bongkar muat di
pelabuhan.
33 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Menurut BPA, pemerintah Indonesia agar mulai memperhatikan
hal-hal kecil namun berdampak besar. Selain itu, untuk mengurangi lama
Dwelling Time, perizinan sudah harus selesai ketika kapal masuk atau
ketika barang akan masuk pelabuhan. Pemerintah juga harus merubah
sistem customs menjadi lebih bersahabat dan transparan serta
meningkatkan kepercayaan kepada pelaku usaha. Di sisi operasional,
sebaiknya pemerintah Indonesia melakukan upaya pengembangan
stacking and handling technologies, optimalisasi dan efisiensi lapangan
penumpukan kontainer, serta membangun depo penumpukan kontainer
kosong yang berada di luar terminal pelabuhan.
34 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis Identifikasi Produk Impor Yang Bermasalah di
Pelabuhan, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pada tahun 2014, total arus kontainer di seluruh pelabuhan Indonesia
mencapai 13,9 juta Teus, naik rata-rata 5,7% per tahun. Volume
tersebut didominasi oleh Pelindo II dan Pelindo III yang masing-
masing memberikan kontribusi sebesar 46,4% dan 31,2% dari total
volume kontainer di Indonesia.
2. Pada tahun 2015 lalu, lama dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok
mencapai 5,5 hari. Namun demikian, dengan beberapa perbaikan
yang telah dilakukan, lama dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok
pada akhir Maret 2016 ini sudah mencapai sekitar 4 hari. Adapun
dwelling time impor di Pelabuhan Tanjung Perak mencapai sekitar 6
hari, sementara di Belawan tercatat sekitar 5 hari.
3. Dari data rekapitulasi 5 kontainer penyumbang Dwelling Time terbesar
selama periode tanggal 3 Agustus 2015 sampai dengan 08 Maret
2016 terlihat bahwa rata-rata lama pengurusan kontainer paling lama
adalah lebih dari 20 hari. Dari jumlah kontainer penyumbang dwelling
time terlama tersebut, sebanyak 19% merupakan barang yang diatur
impornya dan mewajibkan adanya Laporan Surveyor (LS), sedangkan
sisanya 81% merupakan kontainer yang tidak diatur impornya (non-
Lartas). Lima komoditas/jenis produk impor yang mewajibkan
dokumen LS yang menyumbang lamanya dwelling time adalah Barang
Berbasis Sistem Pendingin (BBSP), Besi atau Baja, Elektronika,
Limbah Non B3, dan Baja Paduan dengan lama pengurusan mulai
dari 7 hari sampai dengan 31 hari.
35 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
4. Produk-produk yang sering bermasalah di Pelabuhan dan berpotensi
menimbulkan lamanya dwelling time, antara lain 1. Barang yang diatur
impornya oleh lebih dari satu instansi; 2.Barang yang menyangkut
keselamatan dan keamanan lingkungan hidup; 3. Produk jadi/ barang
konsumsi; dan 4. Barang yang sulit dalam menentukan kode HS-nya
5. Dari sisi regulasi, hal-hal yang menjadi penyebab permasalahan di
pelabuhan antara lain :
Perizinan impor yang tumpang tindih antar kementerian/lembaga,
sehingga pengurusan izin menjadi lebih lama.
Kurangnya transparansi Bea Cukai.
Koordinasi dan integrasi antara kementerian/lembaga kurang
serta cenderung ego-sectoral.
Kurangnya sosialisasi peraturan ke pelaku usaha.
Adanya beberapa peraturan yang belum terintegrasi dengan
INSW.
Sementara faktor non regulasi yang sering menjadi penyebab produk
sering bermasalah di pelabuhan antara lain :
Fasilitas pelabuhan kurang memadai dan masih banyak yang
bersifat konvensional serta belum dapat mengakomodir cuaca
buruk.
Sistem di Syahbandar, Otoritas Pelabuhan, Pelindo dan Bea
Cukai belum terintegrasi.
Adanya oknum pemerintah yang menghambat proses pengurusan
barang di pelabuhan.
Penempatan pejabat bea cukai yang kurang berkompeten dalam
memutuskan penyelesaian permasalahan di pelabuhan.
Pengetahuan pelaku usaha terkait proses impor kurang.
36 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
Kesengajaan pelaku usaha untuk menumpuk kontainer di
pelabuhan karena berbagai alasan seperti belum memiliki uang
untuk membayar Bea Masuk dan biaya-biaya jasa lainnya; atau
karena biaya penumpukan di pelabuhan lebih murah dibanding
sewa gudang di luar pelabuhan.
Jumlah buruh pelabuhan yang belum memadai.
6.2. Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat disarankan antara lain :
1. Mengingat sebagian besar perizinan ekspor impor berada di
Kementerian Perdagangan, maka sebagai upaya untuk mengurangi
permasalahan di pelabuhan, Kementerian Perdagangan harus terus
melakukan deregulasi peraturan terkait ketentuan impor secara
selektif. Selain itu, Kementerian Perdagangan sebaiknya juga
menerapkan sistem yang berbeda dalam melakukan sosialisasi
peraturan terkait perdagangan, yakni jangan hanya melalui forum
sosialisasi dan mencantumkan dalam website, namun juga proaktif
mengirimkan email terkait peraturan baru yang diterbitkan ke semua
daftar eksportir dan importir yang masuk ke dalam database
perdagangan.
2. Dalam pelaksanaan pengurusan izin, Kementerian Perdagangan
diharapkan dapat melakukan perubahan SOP terkait waktu dan
transparansi pengurusan izin di Kementerian Perdagangan sehingga
dapat mengurangi potensi permasalahan di pelabuhan secara
signifikan. Transparansi pengurusan izin tersebut dapat dimulai
dengan digitalisasi seluruh sistem perizinan atau merubah pola
pengurusan perizinan menjadi on-line, sehingga mengurangi dampak
negatif akibat pengurusan izin secara transaksional.
37 Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, BPPP, Kementerian Perdagangan
3. Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan kementerian/
lembaga terkait lainnya diharapkan melakukan koordinasi dan
integrasi dalam menyusun dan mengimplementasikan peraturan atau
regulasi terkait kegiatan ekspor impor. Selain itu, Kementerian
Perdagngan beserta Bea Cukai harus bersama-sama menegakkan
implementasi Permendag Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang
Ketentuan Umum di Bidang Impor, dimana barang boleh masuk ke
pelabuhan jika perizinannya sudah lengkap. Hal tersebut akan sangat
membantu dalam mengurangi potensi permasalahan di pelabuhan,
khususnya terkait masalah dokumen perizinan.