Author
dangngoc
View
214
Download
0
Embed Size (px)
LAPORAN AKHIR ANALISIS STRATEGI INDONESIA UNTUK MENINGKATKAN AKSES
PASAR PRODUK CRUDE PALM OIL (CPO) INDONESIA KE AMERIKA SERIKAT
PUSAT KEBIJAKAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA
2015
ABSTRAK
1. Amerika Serikat sebagai salah satu pasar utama di dunia, ternyata sangat banyak
mengimpor produk minyak dan lemak hewani dan nabati (HS 15). Khusus untuk
produk Palm oil & its fraction (HS 1511), berdasarkan data UN Comtrade (ITC,
2015), di tahun 2014 Amerika Serikat mengimpor sebagian besar dari Malaysia
(63,2 persen) dan Indonesia (35,4 persen), serta beberapa negara lain dengan
pangsa dibawah 1 persen seperti Singapura, Ekuador, Kolombia dan Brasil.
2. Salah satu kebijakan Amerika Serikat yang dianggap menghambat ekspor minyak
sawit Indonesia yang termasuk dalam kategori Palm oil & its fraction (HS 1511)
adalah produk yang berasal dari Indonesia dianggap tidak ramah lingkungan.
Hambatan ini mulai diberlakukan Amerika Serikat di tahun 2012 dan masih
berlaku sampai saat ini. Kebijakan tersebut disebut Notice of Data Availability
(NODA) yang menentukan kandungan emisi gas rumah kaca agar produk minyak
sawit dapat digolongkan sebagai produk ramah lingkungan.
3. Kajian ini dengan menggunakan metode structure-conduct-performance dari data
sekunder dan survey bertujuan untuk (a) mengetahui pemanfaatan, pola
perdagangan dan kebijakan terkait minyak nabati khususnya minyak sawit di
Amerika Serikat, serta (b) merumuskan usulan rekomendasi kebijakan untuk
meningkatkan akses pasar dan ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika
Serikat.
4. Pemanfaatan minyak sawit di Amerika Serikat khususnya digunakan untuk fatty
acid, fatty alcohol, biodidesel dan glycerin yang akan digunakan sebagai bahan
baku industri makanan dan farmasi. Adapun pemasok utama minyak sawit
Amerika Serikat adalah Malaysia dan Indonesia.
5. Kebijakan yang saat ini dikenakan terhadap produk dari minyak sawit antara lain
terdiri dari tarif import dan kebijakan Notice of Data Availability (NODA) dari
Environmental Protection Agency (EPA), serta ketidakinginan distributor dan
wholesale di Amerika Serikat menjual minyak goreng dari Crude Palm Oil (CPO)
di Indonesia. Kebijakan ini sangat menghambat akses pasar minyak sawit
Indonesia di Amerika Serikat.
6. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka direkomendasikan untuk melakukan
perbaikan citra kelapa sawit Indonesia sebagai produk yang ramah lingkungan,
perbaikan akses informasi pasar minyak sawit di Amerika Serikat bagi eksportir
Indonesia, secara aktif terus melakukan pertemuan dan negosiasi dengan
berbagai pihak terkait di Amerika Serikat dan pemangku kepentingan kelapa sawit
di Amerika Serikat terkait EPA-NODA tersebut, meningkatkan ekspor jenis produk
turunan minyak sawit yang bernilai tambah tinggi, dan sosialisasi sertifikasi RSPO
sebagai bukti bahwa perkebunan di Indonesia telah memberlakukan sistem
perkebunan lestari.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya
sehingga analisis yang berjudul Analisis Strategi Indonesia Untuk
Meningkatkan Akses Pasar Produk Crude Palm Oil (CPO) Indonesia Ke
Amerika Serikat dapat diselesaikan.
Selain itu Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala
Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional, BP2KP dan Kepala Bidang
Multilateral di Pusat Kerjasama Perdagangan Internasional atas arahan dan
bimbingan dalam penulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan dan pihak lain yang memberikan bantuan dan tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Menyadari laporan ini masih banyak kekurangan, diharapkan masukan
yang membangun untuk memperbaiki laporan ini dimasa mendatang.
Jakarta, November 2015
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Bab I. PENDAHULUAN ................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................. 2
1.4 Hasil Analisis................................................................... 3
1.5 Dampak/Manfaat ............................................................. 3
1.6 Ruang Lingkup ................................................................ 3
Bab II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 4
2.1 Hasil Studi Terdahulu ..................................................... 4
Bab III. DATA DAN METODOLOGI ................................................. 11
3.1 Data ............................................................................... 11
3.2 Analisa Data................................................................... 11
Bab IV. KELAPA SAWIT DI INDONESIA .......................................... 14
4.1 Produksi Kelapa Sawit ................................................... 14
4.2 Ekspor Kelapa Sawit Indonesia ..................................... 19
Bab V. PASAR MINYAK NABATI DI AMERIKA SERIKAT .............. 23
5.1 Pasar Minyak Nabati Amerika Serikat ............................ 23
Bab VI. PASAR MINYAK SAWIT INDONESIA DI AMERIKA SERIKAT 29
6.1 Analisa Deskriptif Struktur Perilaku dan Kinerja Minyak
Sawit di Pasar Amerika Serikat ...................................... 29
6.2 Penggunaan Minyak Sawit di Amerika Serikat............... 37
6.3 Hambatan Ekspor Minyak Sawit Indonesia ke Amerika
Serikat ............................................................................ 40
Bab VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................ 42
7.1 Kesimpulan .................................................................. 42
7.2 Rekomendasi ............................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 44
iii
DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR TABEL
Daftar Gambar Halaman 4.1 Pangsa Produksi Kelapa Sawit Dunia Tahun 2013 .............. 15
4.2 Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Berdasarkan Status
Pengusahaan Tahun 1968-2015 (Ha) .................................. 16
4.3 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit (CPO) Menurut Sta-
tus Pengusahaan Tahun 1968-2014 (ton) ............................ 17
4.4 Pangsa Produksi CPO Menurut Status Pengusahaan Tahun
2015 ...................................................................................... 18
4.5 Perkembangan Produksi Inti Sawit Menurut Status Pengusa-
haan Tahun 1968-2015 (ton) ................................................. 18
4.6 Pangsa Produksi Inti Sawit Menurut Status Pengusahaan
Tahun 2015 ........................................................................... 19
5.1 Perkembangan Pangsa Volume Impor Empat Jenis Minyak
Nabati di Amerika Serikat Tahun 2010-2014 (%) .................. 25
5.2 Perkembangan Harga Empat Jenis Minyak Nabati di Pasar
Amerika Serikat ..................................................................... 26
5.3 Perkembangan Pangsa Nilai Impor Empat Jenis Minyak Nabati
Di Amerika Serikat Tahun 2010-2014 ................................... 28
6.1 Perkembangan RCA Indonesia dan Malaysia di Pasar Minyak
Sawit Amerika Serikat Tahun 2010-2014 .............................. 36
6.2 Perkembangan RSCA Indonesia dan Malaysia di Pasar Minyak
Sawit Amerika Serikat Tahun 2010-2014 .............................. 37
Daftar Tabel Halaman 4.1 Volume Ekspor dan Pangsa Ekspor Minyak Sawit dan Turun-
annya ke 20 Negara Tujuan Tahun 2010 dan 2014 .............. 20
4.2 Nilai Ekspor dan Pangsa Ekspor Minyak Sawit dan Turunan-
nya ke 20 Negara Tujuan Tahun 2010 dan 2014 ................... 21
5.1 Perkembangan Volume Impor Minyak Nabati dan Hewani di
iv
Amerika Serikat Tahun 2010-2014 (ton) ................................ 23
5.2 Produktivitas Beberapa Jenis Minyak Nabati ......................... 27
5.3 Perkembangan Nilai Impor Minyak Nabati dan Hewani di Ame-
rika Serikat Tahun 2010-2014 (000 US$) .............................. 27
6.1 Perkembangan Volume Impor dan Pangsa Negara Eksportir
Minyak Kelapa Sawit di Amerika Serikat Tahun 2010-2014 .. 30
6.2 Perkembangan Nilai Impor dan Pangsa Negara Eksportir Minyak
Kelapa Sawit di Amerika Serikat Tahun 2010-2014 .............. 30
6.3 Ketentuan Tarif Impor Kelapa Sawit di AS ............................. 31
6.4 Perkembangan Harga Impor Minyak Sawit Yang Diterima Negara
Eksportir Tahun 2010-2014 (US $/ton) ................................. 36
6.5 Temuan Turun Lapang .......................................................... 40
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Amerika Serikat sebagai salah satu pasar utama di dunia, ternyata sangat
banyak mengimpor produk minyak dan lemak hewani dan nabati (HS 15).
Berdasarkan data UN Comtrade (ITC, 2015), sebagian besar produk impor
Amerika Serikat untuk HS 15 ditahun 2014 terdiri dari 34,67 persen produk Rape
Seed, Colza and Mustard OIl (HS 1514), 25,97 persen untuk Palm oil & its
fraction (HS 1511), dan 17,97 persen untuk Coconut (copra),palm
kernel/babassu oil & their fractions (HS 1513). Sebagian besar minyak dan
lemak hewani dan nabati tersebut digunakan dalam industri makanan dan non
makanan, untuk dikonsumsi di Amerika Serikat atau diekspor kembali.
Khusus untuk produk Palm oil & its fraction (HS 1511), berdasarkan data UN
Comtrade (ITC, 2015), di tahun 2014 Amerika Serikat mengimpor sebagian besar
dari Malaysia (63,2 persen) dan Indonesia (35,4 persen), serta beberapa negara
lain dengan pangsa dibawah 1 persen seperti Singapura, Ekuador, Kolombia dan
Brasil. Kondisi tingginya impor Palm oil & its fraction (HS 1511) dari Amerika
Serikat untuk produk Indonesia cukup mengherankan mengingat mereka selalu
mempermasalahkan kandungan Carbon Dioksida (CO2) dan berbagai hal lain
untuk produk yang berasal dari Indonesia. Selain itu juga sangat aneh
mengetahui bahwa Malaysia yang memiliki banyak kesamaan dengan produk
Indonesia mampu meraih pangsa pasar sebesar 63,2 persen ditahun 2014 dan
tidak banyak mengalami kendala seperti produk Indonesia.
Salah satu kebijakan Amerika Serikat yang dianggap menghambat ekspor
minyak sawit Indonesia yang termasuk dalam kategori Palm oil & its fraction (HS
1511) adalah produk yang berasal dari Indonesia dianggap tidak ramah
lingkungan. Hambatan ini mulai diberlakukan Amerika Serikat di tahun 2012 dan
masih berlaku sampai saat ini. Kebijakan tersebut disebut Notice of Data
Availability (NODA) yang menentukan kandungan emisi gas rumah kaca agar
produk minyak sawit dapat digolongkan sebagai produk ramah lingkungan.
Adapun institusi yang berperan dalam penentuan kebijakan tersebut adalah
Environmental Protection Agency (EPA) dengan ketetapan setiap produk yang
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2
termasuk dalam produk ramah lingkungan harus dapat memenuhi pengurangan
20 persen emisi gas rumah kacar dari kegiatan budidaya produk bersangkutan
(EPA, 2011).
Besaran 20 persen yang ditetapkan oleh EPA menuai banyak kecaman
karena kurangnya bukti ilmiah atas hal tersebut. Indonesia aktif berupaya
mengatasi hal tersebut, salah satunya melalui keterlibatan dalam Peer Review
kebijakan tersebut, sebagaimana tercantum dalam Surat Direktur Jenderal
Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan No
84/KPI/ND/01/2015 yang meminta masukan rekomendasi usulan posisi nasional
atas kebijakan dimaksud. Namun, menyadari tidak konsistennya pelaksanaan
kebijakan tersebut dan masih tingginya volume impor minyak sawit di Amerika
Serikat, perlu dilakukan analisis mengenai pemanfaatan minyak nabati,
khususnya minyak sawit di Amerika Serikat, pola perdagangan dan kebijakan
negara tersebut terkait produk minyak sawit. Pelaksanaan analisis ini diharapkan
dapat merumuskan rekomendasi kebijakan yang tepat untuk meningkatkan
akses pasar dan ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan pembahasan dalam latar belakang, permasalahan dari analisis
ini adalah :
a. Bagaimanakah pemanfaatan, pola perdagangan dan kebijakan terkait minyak
nabati khususnya minyak sawit di Amerika Serikat ?
b. Bagaimanakah usulan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akses
pasar dan ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan analisis ini adalah :
a. Mengetahui pemanfaatan, pola perdagangan dan kebijakan terkait minyak
nabati khususnya minyak sawit di Amerika Serikat.
b. Merumuskan usulan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akses pasar
dan ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3
1.4 Hasil Analisis Adapun hasil dari analisis ini adalah tersedianya satu laporan mengenai
Analisis Strategi Indonesia untuk Meningkatkan Akses Pasar Produk Crude
Petroleum Oil (CPO) Indonesia ke Amerika Serikat.
1.5 Dampak/Manfaat Tersedianya informasi mengenai a) pemanfaatan, pola perdagangan dan
kebijakan terkait minyak nabati khususnya minyak sawit di Amerika Serikat dan
b) usulan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akses pasar dan ekspor
minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat.
1.6 Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup dalam analisis ini adalah :
a. Produk minyak nabati yang dikaji dalam analisis ini adalah yang termasuk
dalam golongan Harmonized System (HS)15, sedangkan untuk minyak sawit
yang digolongkan dalam HS 1511).
b. Pola perdagangan yang dimaksud dalam analisis ini adalah jalur ekspor
produk minyak nabati dan minyak sawit dari negara produsen ke pasar
Amerika Serikat.
c. Pemanfaatan yang dimaksud dalam analisis ini adalah penggunaan minyak
nabati dan minyak sawit di pasar Amerika Serikat.
d. Hambatan yang dimaksud dalam analisis ini adalah segala bentuk prosedur,
peraturan atau ketentuan yang mempersulit atau meningkat biaya dalam
melakukan kegiatan ekspor dari negara produsen ke Amerika Serikat.
e. Peningkatan Akses pasar yang dimaksud dalam analisis ini adalah yang
segala upaya untuk menyederhanakan prosedur, peraturan atau mengurangi
biaya dalam melakukan kegiatan ekspor dari negara produsen ke Amerika
Serikat. f. Kebijakan yang dianalisis akan ditentukan berdasarkan Focus Group
Discussion dengan Asosiasi dan pengusaha terkait.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil Studi Terdahulu Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai perdagangan
internasional minyak kelapa sawit dan minyak nabati lainnya serta keterkaitannya
dengan kebijakan domestik. Berikut ini beberapa hasil penelitian yang dilakukan
pada tahun 2000-an.
Menurut Zulkifli (2000) dalam penelitiannya mengenai Dampak Liberalisasi
Perdagangan terhadap Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan
Perdagangan Minyak Sawit Dunia menggunakan tiga jenis minyak nabati
(minyak kelapa sawit kasar (CPO), minyak inti kelapa sawit dan minyak kedelai).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ekspor CPO Indonesia dan Malaysia
inelastic dan lamban merespon perubahan harga yang terjadi (time lag) dan
hanya dipengaruhi oleh tingkat produksi CPO. Ekspor CPO Papua New Guinea
dipengaruhi oleh tingkat produksi dan nilai tukar, meskipun tidak respon terhadap
perubahan semua peubah penjelas, sedangkan ekspor CPO Ivory Coast memiliki
respon terhadap perubahan produksi dan harga eskpor CPO. Dari keempat
negara tersebut, ekspor Indonesia relatif lebih responsif terhadap perubahan
harga ekspor yang mencerminkan bahwa dari aspek harga, Indonesia
menpunyai daya saing yang lebih baik, dalam jangka pendek respon impor CPO
terhadap perubahan harga impor inelastis di semua negara importir. Amerika
Serikat dan Belanda relatif lebih responsif terhadap perubahan harga impor
dibandingkan negara importir lainnya, dalam jangka panjang respon impor
Jepang dan Amerika Serikat elastis terhadap perubahan harga impor.
Dalam penelitian Purwanto (2002) mengenai Dampak kebijakan Domestik
dan Faktor Eksternal terhadap perdagangan Dunia Minyak Nabati memasukkan
empat jenis minyak nabati (minyak kelapa sawit, minyak kedelai, minyak biji
bunga matahari dan minyak kelapa) menyatakan bahwa perilaku ekspor minyak
sawit Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan produksi dan pajak
ekspor sedangkan perilaku ekspor minyak kelapa sawit Malaysia sangat
dipengaruhi oleh produksi dan stok minyak kelapa sawit. Perilaku impor minyak
kelapa sawit di Cina, Pakistan dan Jepang menunjukkan respon yang elastis
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5
terhadap konsumsi dan inelastis terhadap harga dunia minyak kelapa sawit,
respon negatif terhadap kenaikan harga inpor dan positif terhadap kenaikan
pendapatan. Perilaku harga dunia minyak kelapa sawit menunjukkan respon
negatif terhadap kenaikan ekspor dan positif terhadap impor. Hubungan minyak
kelapa sawit dengan minyak kedelai dan minyak minyak biji matahari bersifat
substitusi dan minyak kelapa bersifat komplemen. Pengaruh harga dunia minyak
kelapa sawit terhadap harga ekspor, impor dan harga domestik masing-masing
eksportir utama dan importer utama pada umumnya juga positif dan inelastis.
Dampak kebijakan domestic Indonesia menunjukkan bahwa ekspor, luas areal
dan produktifitas minyak kelapa sawit lebih respon terhadap kebijakan pajak
ekspor dan harga domestik. Dampak faktor eksternal menunjukkan bahwa
kenaikan produksi minyak kelapa sawit Malaysia dan kebijakan domestik
Indonesia menyebabkan peningkatan tajam ekspor minyak kelapa sawit dan
menurunkan harga dunia minyak kelapa dan minyak biji matahari menyebabkan
penurunan harga dunia, ekspor dan impor yang tidak terlalu besar.
Khamis et al. (2003) mengenai Permodelan Harga Minyak Sayuran
menggunakan Analisis Regresi Linier Berganda menyatakan bahwa harga
minyak kelapa sawit dipengaruhi secara positif oleh minyak kedelai dan minyak
minyak inti kelapa sawit namun secara negatif oleh minyak kelapa, dalam
permodelan masih dijumpai masalah multikolinearitas yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan imbal balik dalam pembentukan harga keempat minyak.
Drajat, Suprihatini, Herman dan Anwar (2005) dalam penelitiannya
mengenai Dampak Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada Kinerja Komoditas
Perkebunan, memberikan informasi penting tentang posisi dan daya saing
minyak sawit Indonesia di pasar internasional dikaitkan dengan situasi pasar
domestik. Analisis yang digunakan adalah pendekatan pangsa pasar (market
share approach), yakni dengan menerapkan Partial Adjusment Model atau
Adaptive Model. Kedua model tersebut digunakan untuk menganalisis (1) respon
harga dan (2) tingkat akselerasi. Dari respon harga diperoleh parameter
elastisitas harga minyak sawit Indonesia sebagai akibat dari adanya perubahan
rasio harga minyak sawit dari negara lain atau terhadap perubahan harga minyak
kedele di negara importir. Sedangkan analisis akselerasi dapat diketahui
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6
seberapa cepat penyesuaian yang dapat dilakukan Indonesia dalam
mengantisipasi perubahan harga minyak sawit di negara importer.
Yu et al. (2006) dalam analisisnya mengenai keterkaitan antara harga
minyak nabati dengan minyak bumi dengan menggunakan data mingguan dari
Januari 1999 sampai Maret 2006 menggunakan teknik kointegrasi multivariate
menyimpulkan bahwa kejutan harga minyak bumi tidak berpengaruh signifikan
pada variasi dari harga minyak nabati. Sementara itu Hameed dan Arshad (2008)
menggunakan metode Johansen Cointegration dan Granger Causality,
menyimpulkan bahwa harga minyak bumi memberikan pengaruh terhadap harga
minyak nabati.
Helbling et al. (2008) menyatakan bahwa selain diakibatkan oleh faktor
spesifik dari setiap komoditas, yaitu resiko geopolitik, kondisi iklim dan cuaca
serta kegagalan panen, peningkatan harga juga diakibatkan oleh faktor
penawaran dan permintaan yang saling mempengaruhi. Faktor-faktor yang
memberikan pengaruh pada peningkatan harga komoditas adalah pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi telah mendorong permintaan akan berbagai
komoditas. Biofuel telah mendorong permintaan akan berbagai tanaman pangan
yang dapat dikonversi menjadi biofuel, respon penawaran yang lambat,
keterkaitan diantara berbagai komoditas dan tingkat suku bunga yang rendah
dan apresiasi nilai US Dollar.
Dewi dan Fatimah (2009) melakukan penelitian mengenai dampak
permintaan biodiesel dari kelapa sawit Malaysia dengan menggunakan
pendekatan ekonometrik. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa beberapa
tahun terakhir dengan mempertimbangkan keamanan pasokan energi dan
kepedulian lingkungan telah meningkatkan minat untuk pemakaian sumber
energi terbarukan. elemen sistem yang dimasukkan ke dalam model adalah
pasokan, permintaan domestik, permintaan ekspor, harga dunia, harga domestik
dan saham. Hasil penelitiaan menunjukkan model secara umum mampu
memperlihatkan keterkaitan antar variabel yang ada dalam sistem dan dapat
digunakan untuk mempelajari efek perubahan dalam satu lebih peubah pada
sistem model.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7
Efendi, et al. (2010) dalam penelitiannya mengenai Analisis Harga Minyak
Sawit, Tinjauan Kointegrasi Harga Minyak Nabati dan Minyak Bumi
menggunakan prosedur Vektor Error Correction Model (VECM) dengan data
yang digunakan merupakan data bulanan pada periode Januari 1980 sampai
Desember 2008, yaitu data harga dari tiga jenis minyak nabati yang paling
banyak diproduksi di dunia meliputi minyak kelapa sawit, minyak kedelai dan
minyak rapeseed. Selain itu dimasukkan ke dalam sistem yang diamati adalah
harga minyak bumi. Hal ini untuk mengkaji pengaruh harga minyak bumi pada
minyak nabati dalam pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel.
Untuk mengetahui dinamika yang terjadi pada periode peningkatan harga
komoditas, maka analisis dilakukan terhadap periode sebelum peningkatan
harga komoditas (1980 2003) dan pada periode peningkatan harga komoditas
(2004 2008). Hasil penelitian menunjukkan adanya kointegrasi jangka
panjang di antara minyak nabati dan minyak bumi, dan minyak bumi memberikan
pengaruh kuat pada minyak nabati terutama pada periode peningkatan harga
komoditas.
Purba dan Hartoyo (2010) dalam penelitiannya mengenai Dampak Kenaikan
Harga Minyak Bumi terhadap Permintaan CPO untuk Biodiesel dan Beberapa
Aspek Industri Kelapa Sawit Indonesia, memberikan informasi bahwa terdapat
korelasi yang kuat antara kenaikan harga minyak bumi dengan harga CPO dunia.
Kenaikan harga minyak bumi mempengaruhi kenaikan harga CPO dunia. CPO
merupakan salah satu bahan baku biodiesel, sehingga untuk meningkatkan
produksi biodiesel, permintaan CPO meningkat. Akibatnya harga ekspor CPO
dan harga domestik CPO Indonesia juga meningkat. Kenaikan ekspor CPO
mendorong kenaikan produksi CPO domestik. Tetapi, presentase kenaikan
produksi CPO lebih kecil dibandingkan dengan persentase kenaikan ekspor,
sehingga ketersediaan CPO domestik menurun. Penurunan penawaran CPO
yang disertai dengan peningkatan harga CPO menyebabkan permintaan CPO
sebagai bahan baku minyak goreng menurun. Akibatnya produksi minyak goring
menurun secara nyata.
Sulistyanto (2011) melakukan penelitian dengan judul Faktor-faktor yang
mempengaruhi Kinerja Ekspor Minyak Sawit Mentah Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis yang mempengaruhi kinerja ekspor minyak sawit
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8
mentah. Alat analisis utama adalah regresi berganda dengan data 38 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak optimal dalam
mendukung ekspor minyak sawit mentah, sementara pembiayaan ekspor
merupakan faktor yang penting dimana faktor lain adalah harga minyak sawit di
pasar dunia. Harga minyak bunga matahari dan kedelai memiliki pengaruh positif
terhadap ekspor minyak sawit mentah. Peubah yang tidak memiliki pengaruh
adalah harga minyak mentah dalam negeri, konsumsi, volume produksi minyak
mentah, nilai tukar, PDB perkapita dan kebijakan pemerintah.
Purba (2012), menyatakan bahwa ekspor CPO Indonesia tidak elastis
terhadap perubahan produksi CPO Indonesia dalam jangka pendek namun
elastis dalam jangka panjang. Jika produksi CPO naik 10 persen, maka ekspor
CPO naik 7.01 persen pada jangka pendek dan naik 12.44 persen pada jangka
panjang. Pajak ekspor menurunkan ekspor CPO Indonesia. Nilai tukar Rupiah
terhadap USD berpengaruh positif terhadap ekspor CPO Indonesia.
Drajat dan Andrianto (2013) melakukan penelitian dengan judul Menuju
Kebijakan Bea Keluar CPO yang Lebih Proposional. Menurut penelitian ini
penerapan bea keluar (BK) memunculkan pro dan kontra bagi pelaku industri
hulu kelapa sawit. BK dipercaya menguntungkan industri hilir tetapi merugikan
industri hulu yang memproduksi tandan buah segar (TBS) dan minyak sawit
mentah (CPO). Daya saing CPO Indonesia melemah dan marjin yang diterima
produsen juga turun. Dengan menggunakan metode analisis Revealed
Comparative Advantage (RCA), BK progresif dianggap mempengaruhi daya
saing CPO. Sedangkan dengan menggunakan analisis marjin perusahaan kelapa
sawit, BK progresif dapat dianggap menimbulkan distribusi marjin (pendapatan
negara, biaya dan profit perusahaan) tidak proporsional. Untuk mencegah
penurunan daya saing dan ketimpangan marjin, BK diusulkan flat 5 persen. BK
flat juga tidak mempengaruhi pasokan bahan baku industri hilir sawit dalam
negeri mengingat produksi CPO berlebih dengan kelebihan lebih dari dua kali
kebutuhan sawit domestik serta memudahkan perencanaan.
Munandar, et al., (2013) melakukan penelitian dengan judul Analisis Daya
Comparative Advantage (RCA), Revealed Symetric Comparative Advantage
(RSCA) dan Trade Specialization Ratio (TSR). Berdasarkan hasil analisis RCA
minyak sawit mentah Indonesia lebih berdaya saing dibandingkan minyak sawit
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9
Malaysia di negara Tiongkok, Pakistan dan India. Berdasarakan nilai RSCA
produk minyak sawit Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia di negara Cina,
Pakistan dan India. Berdasarkan analisis TSR Indonesia menuju kekhususan
dalam ekspor minyak sawit mentah dan produk olahannya. Gambaran ini
mengindikasikan bahwa produksi produk olahan sawit di Indonesia ada
kemungkinan berkembang dan mendorong kinerja ekspor menuju negara
eksportir produk olahan disamping minyak sawit mentah.
Yoyo, et al. (2013) melakukan penelitian dengan judul Analisis Kesenjangan
Industri Asam Lemak dan Alkohol Lemak Berbasis Minyak Kelapa Sawit di
Indonesia dan Proyeksi Produksi dan Konsumsinya. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis kesenjangan antara kondisi aktual dengan kondisi
seharusnya (ideal) di masa depan industri asam lemak dan alkohol lemak
berbasis minyak sawit di Indonesia, menggunakan kerangka penilaian daya
saing International Institute for Management Development (IMD) dan World
Economic Forum (WEF). Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan model
yang lebih baik dalam memproyeksikan jumlah produksi dan konsumsi asam
lemak dan alkohol lemak berbasis minyak sawit di Indonesia (2013 2022).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan paling besar
berdasarkan kerangka penilaian daya saing IMD adalah kelompok efisiensi
pemerintahan dan berdasarkan kerangka penilaian daya saing WEF adalah
kelompok persyaratan dasar. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bahwa
proyeksi produksi asam lemak di Indonesia lebih baik menggunakan model
eksponensial, sedangkan proyeksi produksi alkohol lemak di Indonesia
sebaiknya menggunakan metode dekomposisi. Adapun proyeksi konsumsi asam
lemak oleh industri-industri penggunanya di Indonesia lebih baik di Indonesia
menggunakan model eksponensial atau dekomposisi, sedangkan proyeksi
konsumsi alkohol lemak di Indonesia lebih baik menggunakan model
eksponensial.
Nila Rifai (2014) melakukan penelitian dengan judul Evaluasi Kebijakan
Ekonomi Ekspor Minyak Sawit Dan Produk Turunannya Ke Pasar Amerika
Serikat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa nilai tukar tidak terlalu
berpengaruh terhadap peningkatan ekspor produk sawit Indonesia ke Amerika
Serikat sehingga permerintah tidak perlu khawatir terhadap fluktuasi nilai tukar
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10
mata uang Rupiah terhadap Dolar. Pemerintah hanya perlu menjaga stabilitas
nilai tukar mata uang Rupiah. Simulasi juga menunjukkan bahwa dengan
pengembangan industri produk turunan minyak sawit akan mampu meningkatkan
ekspor produk turunan minyak sawit ke Amerika Serikat dan akan mampu
menurunkan ekspor minyak sawit mentah yang memiliki nilai tambah yang
rendah. Sedangkan kombinasi kebijakan yang lebih baik adalah dengan program
peningkatan pajak ekspor CPO yang didukung oleh pengembangan industri
produk turunan minyak sawit dan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap US
Dolar. Kebijakan ini akan mampu mendongkrak peningkatan lebih besar atas
ekspor produk turunan minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat dan akan
menurunkan secara signifikan atas ekspor minyak sawit dalam bentuk CPO.
Selain kebijakan fiskal dan moneter, pemerintah juga perlu menerapkan
kebijakan peningkatan promosi atas produk turunan minyak sawit Indonesia di
luar negeri terutama Amerika Serikat yang merupakan salah satu kekuatan
ekonomi dunia.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 11
BAB III DATA DAN METODOLOGI
3.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui survey, wawancara pakar serta FGD
(Focus Group Discussion) yang melibatkan praktisi industri minyak sawit. Data
sekunder diperoleh dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Perta nian,
Kementerian Perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit), Asosiasi
Produsen Minyak Sawit Indonesia seperti GAPKI (Gabungan Pengusahan
Kelapa Sawit Indonesia), GIMNI (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia),
dan dari lembaga penerbit data perdagangan internasional (ITC) serta dari
berbagai instansi atau asosiasi terkait lainnya.
3.2 Analisa Data Untuk menjawab tujuan penelitian 1 yaitu mengetahui pemanfaatan, pola
perdagangan dan kebijakan terkait minyak nabati khususnya minyak sawit di
Amerika Serikat digunakan metode deskriptif Structure, Conduct and
Performance (SCP). SCP adalah pendekatan organisasi industri yang digunakan
untuk menganalisis hubungan antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja
pasar secara deskriptif. SCP menunjukkan bahwa struktur pasar menentukan
perilaku pasar dan kemudian menentukan tingkat kinerja pasar begitupun
sebaliknya.
Struktur Pasar Struktur pasar didefinisikan sebagai jumlah penjual dan pembeli serta
besarnya pangsa pasar (market share) yang ditentukan oleh adanya diferensiasi
produk, serta dipengaruhi oleh keluar masuknya pendatang atau pesaing (Greer,
1992). Struktur pasar dapat menunjukkan lingkungan persaingan antara penjual
dan pembeli melalui proses terbentuknya harga dan jumlah produk yang
ditawarkan. Struktur industri biasanya dijelaskan oleh ukuran distribusi
perusahaan dalam pasar. Terdapat tiga ukuran utama yang biasa diperhatikan
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12
dalam struktur pasar yaitu pangsa pasar (market share), konsentrasi dan
hambatan masuk pasar (barrier to entry).
Perilaku (Conduct) Perilaku pasar dimaksudkan sebagai pola tanggapan dan penyesuaian yang
dilakukan suatu produsen di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Perilaku
pasar terkait dengan tindakan apa yang harus dilakukan suatu produsen dalam
menghadapi pesaingnya terhadap harga, tingkat produksi, kualitas produk,
tindakan promosi, dan hal penting lainnya yang berkaitan dengan kegiatan
operasional industri (Greer, 1992). Menurut Martin (1993) perilaku strategis
industri hanya ada pada pasar oligopoli. Pada pasar persaingan sempurna
produsen akan menjual pada harga pasar yang berlaku (price taker) dan tidak
perlu melakukan promosi atau bereaksi terhadap pesaing. Pada pasar oligopoly
diperlukan strategi perilaku karena adanya interdependensi antar pelaku dalam
industri tersebut. Perilaku industri dapat terlihat pada strategi industri dalam
menentukan jumlah dominasi output, promosi, pemilihan teknologi, research and
development, koordinasi dalam pasar dan kebijakan produk.
Kinerja (Performance)
Kinerja pasar dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang disesuaikan
dengan struktur dan perilaku pasar dengan tujuan akhir memperoleh
keuntungan. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan/negara dalam
hal kinerja adalah efisiensi, inovasi atau kualitas produk yang lebih baik karena
berkembangnya teknologi, serta distribusi yang merata (Stepherd, 1990). Kinerja
biasanya didekati dengan indikator-indikator seperti profitability,
progresiveness,efficiency dan social welfare.
Dalam analisis ini untuk mengukur kinerja dilakukan analisa terhadap daya
saing dengan menghitung nilai RCA.
Rumus untuk menghitung RCA adalah sebagai berikut:
= Xij/Xit
Xiw/Xw
Keterangan: Xij : nilai ekspor komoditas i dari negara j ke pasar terkait
Xit : total nilai ekspor dari negara j ke pasar terkait
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13
Xiw : nilai ekspor dunia komoditas i ke pasar terkait
Xwt : total nilai ekspor dunia ke pasar terkait
Nilai RCA yang didapatkan berkisar mulai dari negatif tak hingga sampai
positif tak hingga. Apabila nilai RCA yang didapatkan lebih besar dari satu maka
negara tersebut memiliki daya saing dalam produk tersebut, begitu juga
sebaliknya. Untuk memudahkan dalam interpretasi data, maka dilakukan
normalisasi terhadap hasil RCA yang didapatkan. Metode normalisasi tersebut
disebut Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) dengan rumus:
RSCA = 1
+1
Hasil yang didapat dari perhitungan RSCA adalah dari -1 sampai dengan 1.
Suatu komoditas memiliki daya saing apabila nilai RSCA yang didapat lebih
besar dari 0
Focus Group Discussion (FGD) Untuk merumuskan usulan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan
akses pasar dan ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat akan
dilakukan Diskusi Kelompok Terarah yang melibatkan berbagai pihak pemangku
kepentingan industri kelapa sawit Indonesia.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14
BAB IV KELAPA SAWIT DI INDONESIA
4.1 Produksi Kelapa Sawit Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Pada
tahun 2013 produksi CPO dunia mencapai 55.82 juta ton sedangkan produksi
kelapa sawit Indonesia sebesar 31 juta ton. Kondisi ini mengukuhkan Indonesia
sebagai penghasil kelapa sawit terbesar yaitu dengan pangsa 55.5 persen
terhadap total produksi kelapa sawit dunia. Produsen kelapa sawit yang
menempati urutan kedua adalah Malaysia dengan jumlah produksi sebesar 19.2
juta ton atau 18.9 persen. Selanjutnya negara produsen kelapa sawit yang lain
adalah Thailand, Colombia, Nigeria dan Papua NG.
Pada sekitar tahun 60an Nigeria merupakan negara penghasil kelapa sawit
yang utama. Namun sejak tahun 1970 Malaysia berhasil menggeser dominasi
Nigeria dengan pangsa sebesar 30.71 persen. Malaysia terus mendominasi
produksi CPO dunia hingga tahun 2005. Sejak tahun 2006 Indonesia berhasil
mengungguli Malaysia dengan produksi CPO sebesar 16.6 juta ton sedangkan
Malaysia sebesar 15.29 juta ton. Kondisi ini terus berlanjut hingga saat ini. Hal
ini menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia lebih
besar dibanding Malaysia. Keberhasilan Indonesia menjadi negara produsen
kelapa sawit terbesar di dunia merupakan hasil dari perluasan areal kelapa sawit
yang secara besar-besaran dilakukan oleh perkebunan rakyat dan perkebunan
swasta. Gambar dibawah ini menjelaskan pangsa produksi negara-negara
penghasil kelapa sawit pada tahun 2013.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 15
Gambar 4.1 Pangsa Produksi Kelapa Sawit Dunia Tahun 2013
(Sumber: Diolah, 2015)
Tanaman kelapa sawit yang berkembang dengan pesat di tanah air
sesungguhnya bukanlah tanaman asli Indonesia. Bermula dari dibawanya 4 biji
kelapa sawit dari Afrika yang dibawa orang Belanda dan ditanam di Kebun Raya
Bogor pada tahun 1848. Kemudian kelapa sawit tersebut diuji coba di berbagai
daerah dan hasilnya dapat tumbuh dengan subur sehingga pada tahun 1901
kelapa sawit dibudidayakan secara komersial di Sumatera.
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis dan sepanjang
garis khatulistiwa. Oleh karena itu kelapa sawit dapat menyebar dari provinsi
paling barat Indonesia hingga propinsi paling timur. Saat ini lebih dari 60%
perkebunan kelapa sawit terletak di Sumatra, tempat industri ini dimulai sejak
masa kolonial Belanda. Sebagian besar dari sisanya - sekitar 30% - berada di
pulau Kalimantan. Sedangkan dari sisi produksi, pangsa Sumatera hamper
mencapai 70 persen terhadap total produksi Indonesia. Propinsi penghasil sawit
terbesar adalah Riau dengan pangsa produksi sebesar 23,93 persen disusul oleh
Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan.
Hingga tahun 2015 berdasarkan data sementara Statistik Perkebunan
Indonesia total luas areal kelapa sawit di Indonesia mencapai lebih dari 11 juta
hektar. Dari luasan areal kelapa sawit tersebut lebih dari separuhnya dikelola
55,534,4
3,8
1,9 1,71,1 1,6
Negara Produsen CPO Dunia
Indonesia
Malaysia
Thailand
Colombia
Nigeria
Papua NG
Lainnya
http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/politik/sejarah-penjajahan/item178
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16
oleh perkebunan besar swasta. Perkebunan negara yang semula mendominasi
pengusahaan kelapa sawit dalam perkembangannya terus mengalami
penurunan peran. Pada tahun 1970 perkebunan milik negara memiliki pangsa 65
persen secara keseluruhan namun berdasarkan data terakhir (2015) pangsa
tersebut terus mengalami penyusutan hingga hanya 6,72 persen. Hal tersebut
berlawanan dengan perkebunan sawit yang diusahakan oleh rakyat. Bila pada
tahun 1980 luas kelapa sawit yang diusahakan oleh rakyat hanya sebesar 6.175
hektar atau 2,1 persen terhadap total luas kelapa sawit Indonesia maka pada
tahun-tahun selanjutnya areal kelapa sawit yang diusahakan oleh rakyat terus
mengalami peningkatan hingga mencapai lebih dari 4,7 juta hektar atau 41.42
persen terhadap keseluruhan pada tahun 2015.
Gambar 4.2 Perkembangan Luas Areal Kelapa Sawit Berdasarkan Status
Pengusahaan Tahun 1968-2015 (Ha)
(Sumber: Diolah,2015)
Dari total luas perkebunan sawit Indonesia tersebut, sekitar 1.5 2.0 juta ha
dimiliki oleh perusahaan Malaysia (GAPKI, 2013). Beberapa perusahaan
Malaysia yang memiliki perkebunan sawit di Indonesia antara lain Sime Darby,
KL Kepong, IOI, TH Plantations dan Kulim. Perusahaan Malaysia ini memperoleh
0
2000000
4000000
6000000
8000000
10000000
12000000
14000000
1968
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara Perkebunan Besar Swasta Total
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17
lahan sawit di Indonesia dengan cara akuisisi perkebunan sawit perusahaan lokal
berskala kecil (dibawah 3000 ha) dan menengah (3000 10000 ha) dan dengan
cara non akuisisi dengan melakukan kerjasama operasi (KSO) dengan BUMN
perkebunan sawit.
Seiring dengan meningkatnya luas areal kelapa sawit di Indonesia, produksi
kelapa sawit juga mengalami peningkatan yang sangat pesat. Bila pada tahun
1968 jumlah produksi kelapa sawit Indonesia yang berupa CPO hanya 181.444
ton maka tahun 2015 menurut data sementara BPS produksi CPO sudah
mencapai 30.948 931 ton atau meningkat lebih dari 170 kali lipat dibandingkan
tahun 1968. Perkembangan yang sangat fantastis dalam tempo kurang dari 50
tahun. Demikian pula produksi kelapa sawit yang berupa minyak inti sawit; jika di
tahun 1968 produk minyak inti sawit hanya mencapai 37.486 ton maka tahun
2015 sudah mencapai lebih dari 6 juta ton. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) menyatakan bahwa Indonesia memiliki target jangka panjang
untuk memproduksi 40 juta ton CPO per tahun mulai dari tahun 2020 karena
pemerintah ingin meningkatkan peran CPO dalam ekonomi domestik di tengah
terus meningkatnya permintaan dunia akan CPO yang meningkat sekitar 5 juta
ton setiap tahunnya.
Gambar 4.3 Perkembangan Produksi Kelapa Sawit (CPO) Menurut Status
Pengusahaan Tahun 1968-2014 (ton)
(Sumber: Diolah,2015)
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
35000000
1968
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara
Perkebunan Besar Swasta Jumlah
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 18
Gambar 4.4 Pangsa Produksi CPO Menurut Status Pengusahaan
Tahun 2015
(Sumber: Diolah,2015)
Gambar 4.5 Perkembangan Produksi Inti Sawit Menurut Status
Pengusahaan Tahun 1968-2015 (ton)
(Sumber: Diolah,2015)
36,55
7,11
56,33
0
Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara Perkebunan Besar Swasta
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
7000000
1968
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara Perkebunan Besar Swasta Jumlah
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 19
Gambar 4.6 Pangsa Produksi Inti Sawit Menurut Status Pengusahaan
Tahun 2015
(Sumber: Diolah,2015) 4.2. Ekspor Kelapa Sawit Indonesia
Minyak sawit dan produk turunannya merupakan produk yang mempunyai
peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan
penduduk dunia, perkembangan ekonomi dan perubahan selera masyarakat,
permintaan terhadap produk minyak sawit dan turunannya juga semakin
meningkat. Konsumsi minyak sawit dunia cenderung mengalami peningkatan
sebesar 9.66 persen per tahun sementara pertumbuhan produksi minyak sawit
dunia hanya 7.94 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit
Indonesia dan produk turunannya memiliki peluang besar dan memegang
peranan penting sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia dunia untuk
memenuhi konsumsi dunia tersebut.
Dengan meningkatnya areal perkebunan sawit dan produksi tandan buah
segar menyebabkan terjadinya peningkatan produksi minyak sawit Indonesia.
Kelapa sawit Indonesia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik sebagai
bahan baku berbagai industri pengolah kelapa sawit dan sebagai komoditi
ekspor. Kebutuhan minyak sawit atau CPO domestik diolah menjadi produk
pangan, oleokimia dan bioenergi, sedangkan sisa produksi CPO Indonesia
36,55
7,11
56,33
0
Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara Perkebunan Besar Swasta
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 20
tersebut diekspor. Pada tahun 2014 minyak sawit dan produk turunannya yang
diekspor Indonesia ke seluruh negara sejumlah 22,89 juta ton. Data yang ada
menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah ekspor selama tahun 2010-2-014.
Pada tahun 2010 1511 jumlah yang diekspor adalah 16,29 juta ton sehingga
selama periode tersebut terjadi pertumbuhan volume ekspor minyak sawit dan
produk turunannya sebesar 9 persen pertahun.
India, Tiongkok dan negara-negara Uni Eropa merupakan negara tujuan
ekspor utama untuk minyak sawit Indonesia. Pada tahun 2014 pangsa India
sebesar 21,26 persen sedangkan Tiongkok 10,30 persen. Dengan
membandingkan data tahun 2010 dan 2014 terlihat bahwa pangsa India dan
Tiongkok mengalami penurunan yang cukup signifikan. Jika tahun 2010 pangsa
India dan Tiongkok masing-masing sebesar 32,48 persen dan 13,35 persen
maka pada tahun 2014 pangsa India menjadi 21,26 persen demikian pula
Tiongkok menjadi 10,30 persen.
Turunnya volume ekspor Tiongkok juga disebabkan masalah perekonomian
dimana pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melambat, tingkat kepercayaan
bank yang menurun sehingga para trader kesulitan mencari pinjaman, Tiongkok
juga memberlakukan syarat regulasi standar residu pestisida, hal lainnya adalah
stok kedelai yang tinggi di dalam negeri.
Peningkatan pangsa yang cukup signifiikan terjadi pada negara Pakistan,
pada 2010 pangsa Pakistan hanya 0,55 persen namun pada 2014 telah
meningkat menjadi 7,93 persen. Meningkatnya ekspor ke Pakistan merupakan
salah satu hasil dari Preferential Trade Agreeement (PTA) Indonesia dan
Pakistan.
Tabel 4.1 Volume Ekspor dan Pangsa Ekspor Minyak Sawit dan
Turunannya ke 20 Negara Tujuan Tahun 2010 dan 2014
Negara Tujuan Ekspor
2010 2014
juta ton (%) Juta ton (%)
India 5.29 32.48 4.87 21.26 Tiongkok 2.17 13.35 2.36 10.30 Pakistan 0.09 0.55 1.81 7.93 Italy 0.68 4.18 1.35 5.91 Netherlands 1.20 7.35 1.22 5.32 Bangladesh 0.77 4.73 1.04 4.56
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 21
Egypt 0.49 3.00 1.01 4.41 Spain 0.35 2.15 0.90 3.95 Singapore 0.70 4.28 0.79 3.45 Malaysia 1.49 9.14 0.57 2.47 Russian Federation 0.23 1.43 0.53 2.31 Myanmar 0.15 0.89 0.40 1.77 United States of America 0.04 0.23 0.40 1.76 Ukraine 0.37 2.25 0.36 1.57 South Africa 0.18 1.09 0.34 1.47 Saudi Arabia 0.04 0.24 0.30 1.32 Djibouti 0.02 0.11 0.29 1.26 United Arab Emirates 0.07 0.40 0.28 1.24 Nigeria 0.04 0.22 0.26 1.12 Iran, Islamic Republic of 0.31 1.90 0.25 1.10 Lainnya 1.64 10.04 3.56 15.53 Total 16.29 100.00 22.89 100.00
(Sumber:Diolah, 2015)
Dari sisi nilai, ekspor CPO merupakan komoditas yang memberikan
sumbangan devisa sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun
2014 nilai ekspor minyak sawit dan turunannya mencapai 17,46 milyar US $.
Pada tahun 2013 nilai ekspor 1511 tersebut mengalami penurunan yang cukup
signifikan sebagai dampak dari melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.
Namun demikian selama periode 2010-2014 nilai ekspor dari minyak sawit dan
turunannya mengalami pertumbuhan sebesar 7,59 persen pertahun.
Nilai ekspor minyak sawit dan turunannya ke berbagai negara tujuan dapat
dilihat pada tabel dibawah ini. Dengan membandingkan data tahun 2010 dan
2014, terlihat pula nilai ekspor dari India dan Tiongkok mengalami penurunan
pangsa sedangkan Pakistan mengalami peningkatan.
Tabel 4.2 Nilai Ekspor dan Pangsa Ekspor Minyak Sawit dan Turunannya
ke 20 Negara Tujuan Tahun 2010 dan 2014
Negara Tujuan Ekspor
2010 2014 milyar US
$ (%) milyar US
$ (%)
India 4.34
32.22
3.64
20.82 Tiongkok
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 22
1.87 13.86 1.79 10.25
Pakistan
0.08
0.60
1.35
7.75
Italy
0.52
3.85
1.03
5.89
Netherlands
1.01
7.47
0.91
5.20
Bangladesh
0.63
4.65
0.80
4.56
Egypt
0.41
3.04
0.75
4.31
Spain
0.27
2.03
0.67
3.85
Singapore
0.57
4.20
0.60
3.45
Malaysia
1.21
8.99
0.40
2.31
Russian Federation
0.20
1.50
0.39
2.25
Myanmar
0.13
0.96
0.33
1.88
United States of America
0.03
0.24
0.30
1.72
Ukraine
0.30
2.23
0.28
1.58
Djibouti
0.02
0.12
0.26
1.48
South Africa
0.15
1.09
0.26
1.47
Saudi Arabia
0.03
0.21
0.23
1.33
United Arab Emirates
0.06
0.42
0.22
1.24
Iran, Islamic Republic of
0.28
2.06
0.20
1.17
Nigeria
0.03
0.22
0.19
1.10
Lainnya
1.35
10.03
2.86
16.39
Total
13.47
100.00
17.46
100.00 (Sumber: Diolah,2015)
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 23
BAB V
PASAR MINYAK NABATI DI AMERIKA SERIKAT
5.1. Pasar Minyak Nabati Amerika Serikat Pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan yang telah
mendorong pertumbuhan areal dan produksi minyak sawit nasional rata-rata
sebesar 13.48 persen dan 11.45 persen per tahun (Kementerian Pertanian,
2013). Dengan target produksi minyak sawit 40 juta ton pada tahun 2020,
Indonesia perlu mencari pasar ekspor baru atau diversifikasi pasar dan tidak
bergantung kepada pasar ekspor konvensional (Asia dan Eropa). Salah satu
negara yang berpeluang menjadi tujuan ekspor adalah Amerika Serikat yang
mengalami peningkatan konsumsi akan minyak nabati baik digunakan sebagai
produk pangan, oleokimia maupun bioenergi. Amerika Serikat merupakan pasar
yang cukup besar dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia. Tingkat
konsumsi minyak sawit Amerika Serikat akan terus mengalami peningkatan
seiring dengan peningkatan populasi dan pendapatan masyarakat Amerika
Serikat serta program biofuel Amerika Serikat yang membutuhkan minyak sawit
sebesar 400 juta galon pada tahun 2020 sebagai bahan baku bioenerginya.
Minyak sawit merupakan salah satu diantara beberapa jenis minyak nabati dan
hewani yang diimpor Amerika Serikat. Uraian dibawah ini akan menjelaskan
berbagai karakteristik menyangkut impor minyak nabati tersebut.
Tabel 5.1 Perkembangan Volume Impor Minyak Nabati dan Hewani di Amerika
Serikat Tahun 2010-2014 (ton)
Code Product label 2010 2011 2012 2013 2014
1514 Rape,colza or mustard oil & their fractions
1,086,406
1,514,799
1,427,636
1,271,678
1,586,009
1511 Palm oil & its fraction 948,112
1,087,626
991,282
1,373,179
1,187,801
1513 Coconut (copra),palm kernel/babassu oil & their fractions
886,023
819,861
767,902
850,759
822,233
1509 Olive oil and its fractions 262,244
276,036
306,845
281,406
296,475
1515 Fixed vegetable fats&oils & their fractions
108,146
114,345
119,579
133,316
136,539
1517 Margarine 81,975
95,191
101,681
123,464
107,451
1512 Safflower,sunflower/cotton-seed oil&fractions
48,019
83,556
109,410
70,508
73,823
1507 Soya-bean oil&its fractions 53,784
71,715
64,702
84,587
69,602
1520 Glycerol (glycerine)
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 24
63,412 57,449 13,822 42,672 67,615
1502 Bovine,sheep&goat fats 46,207
49,093
62,573
59,461
62,603
1522 Degras and residues 6,406
24,401
35,094
39,335
37,889
1501 Lard and other pig&poultry fat 10,424
10,684
18,518
22,248
21,474
1508 Ground-nut oil&its fractions 26,193
15,180
8,552
19,123
19,583
1504 Fish/marine mammal,fat,oils&their fractions
20,531
22,116
23,618
24,059
18,731
1518
Animal or vegetable fats & oils chemically modified; inedible mixtures
9,292
20,299
16,084
20,576
17,235
1516 Animal or veg fats, oils&fract, hydrogenated
25,763
23,367
18,925
16,746
16,267
1510 Other oils from olives 15,318
16,890
16,212
9,208
14,725
1521 Vegetable waxes, beeswax & other insect waxes
13,449
11,651
12,987
13,562
13,184
1505
Wool grease and fatty substances derived therefrom (including lanolin)
5,547
4,372
3,417
5,125
4,540
1503
Lard stearin&oil,oleostearin&oil&tallow oil
199
624
306
120
417
1506 Animal fats&oils&their fractions 53
34
174
249
304
15 3,717,503
4,319,289
4,119,319
4,461,381
4,574,500
(Sumber:Diolah,2015)
Untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dan hewani Amerika Serikat
melakukan impor dimana pada tahun 2014 volume impor minyak nabati tersebut
adalah 4.574.500 ton dengan nilai 5,97 milyar US $. Selama tahun 2010 hingga
2014 volume impor minyak nabati dan hewani Amerika Serikat terus mengalami
peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan 5,59 persen pertahun sedangkan
untuk pertumbuhan nilai impor adalah 10,39 persen pertahun.
Diantara minyak nabati dan hewani tersebut ada empat jenis minyak nabati
yang memiliki peran besar dalam pemenuhan impor minyak nabati Amerika
Serikat yaitu: minyak rape (1514), minyak kelapa sawit (1511), minyak kelapa
1513 dan minyak zaitun (1509). Perkembangan pangsa impor minyak nabati
tersebut selama tahun 2010-2014 disajikan pada gambar dibawah ini.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 25
Gambar 5.1 Perkembangan Pangsa Volume Impor Empat Jenis Minyak
Nabati di Amerika Serikat Tahun 2010-2014 (%)
(Sumber: Diolah, 2015)
Dari grafik tersebut terlihat bahwa pada tahun 2014 jenis minyak nabati yang
memiliki pangsa volume impor paling besar di Amerika Serikat adalah golongan
1514 yaitu rape, colza, mustard oil and their fractions yaitu 35 persen.
Selanjutnya adalah palm oil and its fractions (1511) sebesar 26 persen, coconut
(kopra), palm kernel, babassu oil and their fraction (1513) sebesar 18 persen dan
olive oil and its fractions (1509) sebesar 6 persen.
Dari gambar.. terlihat pada tahun 2012-2013 terjadi peningkatan pangsa
volume impor minyak sawit yang diikuti dengan penurunan pangsa volume
minyak rape. Hal tersebut diduga karena adanya penurunan minyak sawit yang
terjadi sejak 2011 dan terus menurun hingga berada pada kisaran 800an US $
perton pada tahun 2013 sedangkan harga minyak rape cenderung stabil pada
periode tersebut. Pangsa volume impor minyak rape kembali meningkat pada
tahun 2014 ketika harga minyak rape mengalami penurunan. Hal ini
menunjukkan bahwa volume impor minyak nabati tersebut sensitive terhadap
perubahan harga dan memiliki sifat subtitusi antara satu dengan yang lainnya.
2010 2011 2012 2013 2014
1514 29,22408 35,07056 34,65709 28,50413 34,67065
1511 25,504 25,18067 24,06422 30,77924 25,9657
1513 23,83382 18,98139 18,64148 19,06941 17,97427
1509 7,054305 6,390774 7,448925 6,307598 6,481036
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1514 1511 1513 1509
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 26
Dari ke empat jenis minyak nabati tersebut, kelapa sawit (1511) merupakan
minyak nabati yang harganya paling murah dibanding yang lain. Pada tahun
2014 harga minyak sawit adalah 841 US $ per ton sedang minyak zaitun 3.683
US $ per ton. Grafik dibawah ini menunjukkan perkembangan harga dari empat
jenis minyak nabati di Amerika Serikat tahun 2010-2014.
Gambar 5.2 Perkembangan Harga Empat Jenis Minyak Nabati di Pasar
Amerika Serikat
(Sumber: Diolah,2015)
Harga yang tergolong murah tersebut merupakan suatu keunggulan bagi
minyak sawit untuk dapat menguasai pasar minyak nabati di Amerika Serikat.
Tingkat harga minyak sawit yang tergolong murah bila dibandingkan dengan
jenis minyak yang lain tidak terlepas dari keunggulan yang dimiliki minyak sawit.
Minyak sawit merupakan tanaman minyak nabati yang paling efisien dan efektif
dalam menghasilkan minyak. Untuk setiap hektar lahan, kelapa sawit dapat
menghasilkan minyak sebesar 4.27 ton sedangkan produktivitas jenis tanaman
lain berkisar antara 8-16 persen dari kelapa sawit. Tabel dibawah ini
menunjukkan produktifitas dari berbagai jenis minyak.
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
2010 2011 2012 2013 2014
1514 1513 1509 1511
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 27
Tabel 5.2 Produktivitas Beberapa Jenis Minyak Nabati
Jenis Minyak Nabati Produktivitas Minyak
(ton/Ha)
Kebutuhan Lahan Untuk
Per Ton Minyak Nabati
Kedele 0,45 2,2
Rape 0,69 1,4
Bunga Matahari 0,52 1,9
Kacang tanah 0,45 2,2
Kelapa 0,34 2,9
Kelapa Sawit 4,27 0,2
Sumber : Oil World (2008)
Tabel 5.3 Perkembangan Nilai Impor Minyak Nabati dan Hewani di Amerika
Serikat Tahun 2010-2014 (000 US $)
Code Product label 2010 2011 2012 2013 2014
1514 Rape,colza or mustard oil & their fractions
1,035,133
1,932,907
1,824,125
1,569,775
1,553,350
1513 Coconut (copra),palm kernel/babassu oil & their fractions
852,553
1,444,262
1,040,794
851,797
1,139,546
1509 Olive oil and its fractions
868,651
925,183
938,319
1,084,035
1,095,379
1511 Palm oil & its fraction
784,397
1,209,158
1,053,058
1,160,838
998,615
1515 Fixed vegetable fats&oils & their fractions
230,226
303,946
294,989
322,592
352,099
1517 Margarine
128,770
164,033
184,616
216,185
173,472
1504 Fish/marine mammal,fat,oils&their fractions
93,041
105,871
110,547
128,619
117,662
1512 Safflower,sunflower/cotton-seed oil&fractions
60,892
135,696
169,358
112,724
114,094
1521 Vegetable waxes, beeswax & other insect waxes
45,972
49,342
69,918
60,470
71,847
1507 Soya-bean oil&its fractions
50,031
91,515
79,010
98,125
68,504
1516 Animal or veg fats, oils&fract, hydrogenated
54,520
69,525
70,895
61,876
57,677
1502 Bovine,sheep&goat fats
34,309
53,597
61,394
52,263
52,711
1510 Other oils from olives
28,683
34,686
31,266
23,364
36,168
1505 Wool grease and fatty substances derived therefrom (including lanolin)
27,724
23,992
31,282
36,795
31,392
1520 Glycerol (glycerine)
15,969
20,086
5,013
24,891
22,100
1508 Ground-nut oil&its fractions
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 28
29,650 21,434 15,588 30,378 21,309
1506 Animal fats&oils&their fractions
4,599
10,344
14,972
18,450
19,735
1501 Lard and other pig&poultry fat
10,062
13,459
18,993
21,409
18,819
1518 Animal or vegetable fats & oils chemically modified; inedible mixtures
17,593
23,617
19,992
21,988
15,649
1522 Degras and residues
1,997
6,030
8,416
8,998
7,397
1503 Lard stearin&oil,oleostearin&oil&tallow oil
88
111
63
98
280
15 Animal, vegetable, fat and oils, cleavage products ets
4,374,860
6,638,794
6,042,608
5,905,670
5,967,805
(Sumber: Diolah,2015)
Untuk minyak nabati golongan 1514 terdapat konsistensi antara pangsa
volume impor dengan pangsa nilai impor. Golongan 1514 merupakan jenis
minyak nabati yang dari tahun ke tahun merupakan jenis minyak nabati yang
memiliki pangsa nilai paling besar dibandingkan jenis minyak nabati lainnya.
Gambar 5.3 Perkembangan Pangsa Nilai Impor Empat Jenis Minyak Nabati
di Amerika Serikat Tahun 2010-2014
(Sumber: Diolah,2015)
0
5
10
15
20
25
30
35
2010 2011 2012 2013 2014
'1514 '1513 '1509 '1511
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 29
BAB VI PASAR MINYAK SAWIT INDONESIA DI AMERIKA SERIKAT
6.1. Analisa Deskriptif Struktur Perilaku Dan Kinerja Minyak Sawit Di Pasar
Amerika Serikat Impor Amerika Serikat untuk minyak kelapa sawit dan produk turunannya
(1511) dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada tahun
2010 jumlah impor kelapa sawit dan produk turunannya ke Amerika Serikat
adalah 948 087 ton dengan nilai 784 397 000 US $ dan pada tahun 2014
meningkat menjadi 1 187 801 ton dengan nilai 998 615 000 US $. Selama kurun
waktu 2010-2014 nilai impor 1511 terus mengalami peningkatan dengan tingkat
pertumbuhan sekitar 5 persen pertahun. Sedangkan bila ditinjau dari sisi
kuantitas selama periode yang sama mengalami peningkatan dengan tingkat
pertumbuhan sebesar 7 persen. Untuk mengetahui lebih rinci tentang pasar
minyak sawit di Amerika Serikat dilakukan analisa deskriptif dengan
menggunakan kerangka Struktur, Perilaku dan Kinerja yang akan diuraikan
dibawah ini.
Struktur
Selama ini impor kelapa sawit ke Amerika Serikat didominasi oleh Malaysia.
Pada tahun 2010 pangsa Malaysia lebih dari 90 persen; sedangkan Indonesia
hanya sebesar 5 persen. Namun pada tahun-tahun berikutnya Indonesia makin
meningkatkan perannya dalam menyuplai kebutuhan kelapa sawit Amerika
Serikat. Pada tahun 2014 pangsa Indonesia telah mencapai lebih dari 30
persen sedangkan pangsa Malaysia menjadi sekitar 60 persen. Secara terinci
perkembangan jumlah dan nilai impor kelapa sawit dan produk turunan ke
Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel berikut.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 30
Tabel 6 1. Perkembangan Volume Impor dan Pangsa Negara Eksportir
Minyak Kelapa sawit di Amerika Serikat Tahun 2010-2014
Eksportir 2010 2011 2012 2013 2014
(ton) (%) (ton) (%) (ton) (%) (ton) (%) (ton) (%) Malaysia 885,855 93.43 1,025,511 94.29 933,299 94.15 989,020 72.02 751,234 63.25 Indonesia 48,476 5.11 50,244 4.62 43,263 4.36 372,767 27.15 420,108 35.37 Lainnya 13,781 1.45 11,871 1.09 14,720 1.48 11,392 0.83 16,459 1.39
Total 948,112 100.00 1,087,626 100.00 991,282 100.00 1,373,179 100.00 1,187,801 100.00 (Sumber:Diolah,2015)
Pada tahun 2014 impor kelapa sawit USA secara keseluruhan mengalami
penurunan. Namun untuk impor yang berasal dari Indonesia tetap mengalami
peningkatan. Peningkatan tersebut merupakan hal yang sangat baik mengingat
pada tahun 2014 pasokan kedelai melimpah di Amerika, dan pada pertengahan
tahun pemerintah AS menggalakkan peningkatan penggunaan biodiesel dengan
kedelai sebagai feedstock yang pendanaannya disalurkan melalui USDA.
Tabel 6.2 Perkembangan Nilai Impor dan Pangsa Negara Eksportir Minyak
Kelapa Sawit di Amerika Serikat Tahun 2010-2014
Eksportir
2010 2011 2012 2013 2014 (000 US $) (%)
(000 US $) (%)
(000 US $) (%)
(000 US $) (%)
(000 US $) (%)
Malaysia
732,795
93.42
1,131,939
93.61
984,068
93.45
832,914
71.75
627,037
62.79
Indonesia
34,908
4.45
58,249
4.82
46,480
4.41
309,964
26.70
346,328
34.68
Lainnya
16,694
2.13
18,970
1.57
22,510
2.14
17,960
1.55
25,250
2.53
Total
784,397
100.00
1,209,158
100.00
1,053,058
100.00
1,160,838
100.00
998,615
100.00 (Sumber:Diolah,2015)
Salah satu bagian penting struktur suatu pasar adalah mengetahui
hambatan perdagangan yang ada di pasar tersebut. Hambatan untuk masuk ke
pasar digolongkan menjadii dua yaitu hambatan tariff dan hambatan non tariff.
Perilaku
Tarif dan kewajiban secara lengkap ekspor produk ke Amerika Serikat dapat
dilihat di website U.S. Custom & Border Protection (CBP). CBP merupakan salah
satu lembaga terbesar di Amerika Serikat yang berada di bawah Departemen
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 31
Keamanan Dalam Negeri yang bertanggungjawab untuk mengamankan
perbatasan, memfasilitasi perdagangan Internasional yang sah, melindungi
kepentingan pertanian dan ekonomi serta bisnis Amerika Serikat dari pencurian
kekayaan intelektual serta menegakkan hukum dan peraturan perdagangan
Amerika Serikat.
Pemerintah Federal Amerika Serikat mengenakan tarif impor minyak sawit
dan produk turunannya berdasarkan revisi tarif yang dikeluarkan USITC yang
berlaku efektif 1 Januari 2014 yang dibagi atas 5 kelompok Kode HTS
(Harmonized Tariff Schedule). Produk-produk minyak sawit yang masuk dalam kode HTS 15111000, 15119000, 15132100 dan 15132900 dikenakan tarif
sebesar 0 persen kecuali produk-produk yang masuk dalam kriteria HTS
38231920 akan dikenakan tarif impor 2.3 persen seperti terlihat pada Tabel
dibawah ini. Sedangkan setiap negara bagian menerapkan tambahan bea masuk
yang berbeda-beda berdasarkan kebijakan masing-masing negara bagian.
Tabel 6.3 Ketentuan Tarif Impor Kelapa Sawit di AS
Kode HS Produk Tarif
15111000 Palm oil, crude and its fractions wheteher or not
refined not chemically modified
0 %
15119000 Palm oil, other than crude and their fractions not
chemically modified
0 %
15132100 Palm kernel or babassu oil, crude and its
fractions wheteher or not refined not chemically
modified
0 %
15132900 Palm kernel oil or babassu oil, other than crude
and their fractions wheteher or not refined but not
chemically modified
0 %
38231920 Industrial monocarboxylic fatty acids or acid oils
from refining derived from coconut, palm kernel or
palm oil
2.3 %
Sumber: USITC 2014
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 32
Hambatan non tarif atau NTB merupakan intervensi kebijakan selain tariff
yang mempengaruhi dan mendistorsi perdagangan barang, jasa dan faktor
produksi. Berbagai kebijakan yang diterapkan Pemerintah Amerika Serikat
merupakan kebijakan yang bersifat non tariff. Kebijakan tersebut antara lain
adalah program subsidi (US Soybean Loan Program) yang dapat mendorong
petani untuk menanam kedele secara besar-besaran sehingga supplai kedele
naik, bahkan petani lebih terpacu mendapatkan bantuan pemerintah daripada
harga jual kedele di pasaran, dampak lanjutannya adalah menambah cadangan
minyak dan lemak dunia, sekaligus menurunkan harga minyak nabati dunia.
Program ini dikaji semenjak tahun 1991 namun efektif diterapkan tahun 1999
dengan tujuan untuk menurunkan harga minyak kedelai di pasar internasional
dan menaikkan jumlah ekspor kedele, secara tidak langsung berdampak pada
turunnya harga minyak sawit dunia.
Disamping itu, untuk melindungi industri minyak nabati domestiknya,
Amerika Serikat menerapkan NTB dalam beberapa bentuk. Bentuk hambatan
yang kemungkinan memiliki efek yang sangat besar bagi ekspor minyak sawit
Indonesia ke Amerika Serikat adalah regulasi EPA-NODA. Pada 27 Februari
2012 melalui Federal Registry Volume 77 No.18, EPA mempublikasikan notifikasi
yang dikenal dengan US-EPA (NODA) mengenai permintaan tanggapan dari
para pemangku kepentingan industri kelapa sawit di negara-negara pemasok
minyak kelapa sawit (CPO) global. Notifikasi tersebut berisi hasil analisis EPA
(Environmental Protection Agency) mengenai ramalan penggunaan minyak
kelapa sawit sebagai bahan baku produksi biodiesel dan diesel yang terbarukan
di Amerika Serikat, di bawah program Standar Energi yang Terbarukan / RFS
(Renewable Fuel Standar). Esensi dari notifikasi itu pada dasarnya menyiratkan
peringatan awal kepada negara-negara pemasok CPO dunia untuk mengurangi
emisi karbon dari rantai kegiatan industri kelapa sawit sesuai RFS, yakni minimal
20 persen. Hasil analisis US-EPA menyimpulkan biodiesel dan renewable diesel
yang diproduksi dari minyak kelapa sawit baru menghasilkan pengurangan emisi
karbon masing-masing sebesar 17 persen dan 11 persen. Isu lingkungan dan
kesehatan ini menjadi non technique trade barrier yang mengganggu ekspor
minyak sawit Indonesia.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 33
Hasil wawancara dengan pelaku bisnis kelapa sawit yang melakukan ekspor
minyak sawit ke Amerika Serikat menunjukkan bahwa adanya EPA-NODA
tersebut hingga saat ini belum menjadi kendala. Hal tersebut disebabkan karena
pelaku usaha di Amerika Serikat hingga saat ini masih membutuhkan kelapa
sawit dari Indonesia. Sebagian pelaku usaha kelapa sawit memandang bahwa
EPA-NODA tersebut terkait dengan usaha pihak Amerika Serikat untuk
melindungi petani kedelainya.
Hambatan perdagangan minyak sawit dengan dalih masalah lingkungan ini
sudah terjadi sejak beberapa tahun lampau. Pada awal tahun 2000an muncul
kritikan bahwa pengembangan kelapa sawit menyebakan kerusakan lingkungan
dan mengancam satwa liar. Propaganda seperti ini sangat merugikan industri
kelapa sawit karena sebagian besar produksi kelapa sawit di ekspor ke negara
lain. Menanggapi berbagai propaganda negatif setelah melalui berbagai dialog
dibentuklah the Roundtable on Sustainable Palm Oil pada tahun 2004 berpusat
di Zurich Switzerland sementara secretariat RSPO saat ini berpusat di Kuala
Lumpur dengan kantor satelit di Jakarta. Dinamakan meja bundar karena semua
pihak duduk sejajar sama pentingnya sebagalah mitra. Tujuan dibentuknya
RSPO adalah untuk mempromosikan perkembangan dan penggunaan produk
minyak kelapa sawit berkelanjutan melalui suatu standar yang dapat dipercaya
dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.
RSPO merupakan organisasi nirlaba yang menyatukan pihak pihak
berkepentingan (stakeholder) dari tujuh sector industri minyak kelapa sawit untuk
mengembangkan dan menerapkan standar bagi minyak kelapa sawit yang
berkelanjutan. Ketujuh sector industri tersebut adalah: 1. Produsen kelapa sawit;
2. Pengolah atau pedagang kelapa sawit; 3. Manufaktur barang konsumen; 4.
Retailer (pedagang pengecer); 5. Bank dan investor; 6. LSM konservasi
lingkungan hidup/alam; 7. LSM Sosial.
Bagi industri kelapa sawit yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan
dapat dilakukan sertifikasi untuk menunjukkan bahwa minyak kelapa sawit yang
digunakan untuk suatu produk diproduksi secara bertanggungjawab. Hingga
kuartal I 2015, produksi minyak sawit yang sudah mendapat Certified Sustainable
Palm Oil (CSPO) mencapai 12,65 juta ton.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 34
Selain menjadi anggota RSPO, pada tahun 2009 pemerintah Indonesia
membentuk ISPO. Indonesia Sustainability Palm Oil System dibentuk oleh
pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa
sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan. ISPO bertujuan untuk
meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut
berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia
untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah
lingkungan.
ISPO dikritik karena tidak melibatkan LSM dan auditor independen. Namun
demikian ISPO bersifat mengikat bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang
ada di Indonesia. Pemerintah mewajibkan seluruh pemilik perkebunan untuk
bersertifikat hingga tahun 2015. Pemerintah pun akan melarang ekspor produk
minyak sawit mentah (CPO) jika perusahaan tidak mengantongi sertifikat ISPO
mulai tahun 2014.
Meski telah bersifat wajib dan pemerintah Indonesia menargetkan 100
persen perusahaan bersertifikat sebelum 2014 berakhir, namun perusahaan
perkebunan sawit pemegang sertifikat ISPO hingga saat ini masih jauh dari
jumlah yang ditargetkan pemerintah. Pada bulan April 2014 baru 40 perusahaan
dari total 1500.
Selain adanya regulasi EPA-NODA hambatan lain bagi eksportir minyak
sawit Indonesia adalah keterbatasan akses informasi untuk memasuki pasar
minyak sawit Amerika Serikat. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku
usaha minyak sawit, diperoleh informasi bahwa sebagian dari pelaku bisnis
minyak sawit Indonesia melakukan ekspor dengan bantuan jasa pedagang
perantara di Singapura. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian pelaku bisnis
kelapa sawit masih kurang memiliki akses informasi untuk melakukan ekspor.
Hal lain yang dikeluhkan adalah infrastruktur jalan yang tidak baik sehingga
memungkinkan terjadinya pungli dalam kegiatan transportasi di dalam negeri.
Hal ini mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
pengusaha.
https://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_sawithttps://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pasar_dunia&action=edit&redlink=1https://id.wikipedia.org/wiki/Gas_rumah_kacahttps://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_sawit
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 35
Kinerja
Kinerja pasar dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang disesuaikan
dengan struktur dan perilaku pasar dengan tujuan akhir memperoleh
keuntungan. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan/negara dalam
hal kinerja adalah efisiensi, inovasi atau kualitas produk yang lebih baik karena
berkembangnya teknologi, serta distribusi yang merata (Stepherd, 1990). Dalam
analisis ini untuk mengukur kinerja dilakukan penghitungan terhadap nilai per unit
jumlah minyak sawit yang diterima masing-masing negara eksportir di pasar
Amerika Serikat. Besar kecilnya nilai per unit yang diterima tersebut secara tidak
langsung juga menggambarkan daya saing. Ukuran lain untuk mengetahui
kinerja minyak sawit Indonesia di pasar Amerika Serikat adalah dengan
melakukan penghitungan RCA dan RSCA. Untuk mengetahui harga yang diterima masing-masing negara eksportir
kelapa sawit di Amerika Serikat maka dilakukan penghitungan dengan cara
membagi antara nilai ekpor dengan jumlah minyak kelapa sawit yang diekspor.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa harga yang diterima eksportir yang
tergolong lainnya adalah yang tertinggi, dimana pada tahun 2014 eksportir
lainnya mendapatkan harga 1.534 US $ untuk setiap ton minyak sawit yang
diekspor sedangkan Indonesia hanya 824 US $/ton dan Malaysia 835 US $/ton.
Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit yang diekspor oleh lainnya memiliki nilai tambah paling tinggi dibanding Malaysia dan Indonesia. Nilai tambah
minyak sawit Indonesia lebih rendah dibanding Malaysia namun menunjukkan
kecenderungan semakin membaik. Hal tersebut terlihat dari selisih harga yang
diterima Indonesia dan Malaysia pada tahun 2010 dan 2014. Pada tahun 2010
harga yang diterima Indonesia lebih rendah sekitar 15 persen dibanding Malaysia
sedangkan tahun 2014 selisih harga tersebut hanya sekitar 1 persen.
Puska KPI, BP2KP, Kementerian Perdagangan 36
Tabel 6.4 Perkembangan Harga Impor Minyak Sawit Yang Diterima Negara
Eksportir Tahun 2010-2014 (US $/ton)
Eksportir 2010 2011 2012 2013 2014
Malaysia
827
1,104
1,054
842
835
Indonesia
720
1,159
1,074
832
824
Lainnya
1,211
1,598
1,529
1,577
1,534
Rata-rata
827
1,112
1,062
845
841 (Sumber: Diolah, 2015)
Dalam analisis ini penghitungan nilai RCA untuk Indonesia dan Malaysia
dilakukan dengan menggunakan data nilai ekspor. Hal tersebut dengan pertimbangan bahwa nilai ekspor lebih sesuai dibanding volume impor untuk mengukur perbandingan pada 1511 yang terdiri dari beberapa jenis barang.
Gambar 6.5 Perkembangan RCA Indonesia dan Malaysia di Pasar Minyak
Sawit Amerika Serikat Tahun 2010-2014
(Sumber: Diolah, 2015)
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa selama periode 2010 hingga 2014
nilai RCA Indonesia dan Malaysia bernilai > 1 yang berarti kedua negara memiliki
daya saing di pasar minyak sawit Amerika Serikat. Dengan melihat besaran nilai
RCA kedua negara selama periode 2010-2014 dapat disimpulkan bahwa
0
10
20