Author
doantuyen
View
234
Download
0
Embed Size (px)
LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN
MASYARAKAT INDONESIA
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2013
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya
merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya
peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, sehingga nantinya akan diperoleh kualitas
sumber daya Indonesia manusia (SDM) yang mempunyai daya saing tangguh dan unggul
sebagai bangsa. Sumber daya manusia berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat
yang cerdas, produktif dan mandiri (Menteri Kesehatan, 2005). Pemenuhan kecukupan
pangan bagi setiap warga negara Indonesia merupakan kewajiban bersama pemerintah dan
masyarakat, baik secara moral, sosial, maupun hukum, karena pangan merupakan salah
satu hak asasi manusia yang sangat esensial. Pemenuhan kecukupan pangan
perseorangan merupakan esensi dari ketahanan pangan, dan dicerminkan oleh tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau harganya serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Pada saat ini secara global, beberapa negara sedang mengalami berbagai macam
kemungkinan terjadinya krisis. Salah satu potensi krisis yang memiliki dampak serius adalah
ancaman terjadinya krisis pangan global. Isu kelangkaan pangan dunia (world food crisis)
saling berkaitan erat dengan isu perubahan iklim global (global climate changes) dan
dinamika ekonomi global, yang dicirikan oleh krisis ekonomi di negara-negara maju dan
volatilitas harga pangan serta energi (Menteri Pertanian, 2012). Permasalahan global ini
pasti mempunyai pengaruh pada kondisi ketahanan pangan domestik, karena saat ini tidak
ada satu negarapun yang dapat mengisolasi diri dari komunitas dunia. Pada skala dunia,
diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk dunia masih terancam kelaparan dan rawan
pangan (FAO, 2010). Di Indonesia, proporsi rumahtangga yang mengalami rawan pangan
pada tahun 1999 sebesar 14,2% dan pada tahun 2008 turun menjadi sebesar 8,7%. Bila
dikaitkan dengan dinamika perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya
proporsi rumahtangga rawan pangan tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi tahun
1997/1998 dan kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi
menyebabkan penurunan konsumsi pangan secara kuantitas dan kualitas (Ariani, dkk;
2000).
Selain pengaruh faktor ekonomi, pangan juga sangat tergantung pada perubahan
iklim. Perubahan iklim yang terjadi saat ini mengakibatkan perubahan pola tanam,
perubahan pola hujan sehingga waktu kapan akan terjadi musim kering atau musim hujan
sulit diprediksi, munculnya hama/penyakit tanaman yang tidak terprediksi dan lainnya.
Perubahan beberapa faktor ini, berdampak pada sulitnya pencapaian produksi pangan
sesuai yang telah dicanangkan. Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka mengharuskan
melakukan pemanfaatkan sumberdaya pertanian dan pangan secara efisien dan optimal
dengan memperhatikan potensi lahan, tingkat kesuburan lahan dan pola permintaan
pangan. Pertimbangan ini dilakukan dengan harapan pangan yang dibutuhkan semaksimal
mungkin diperoleh dari produksi sendiri atau produksi dalam negeri. Di satu sisi, pola
konsumsi pangan masyarakat berbeda dan berubah dari waktu ke waktu, dari tempat yang
satu ke tempat yang lain. Pola konsumsi pangan antara daerah satu dengan daerah lainnya
dapat berbeda tergantung dari lingkungannya termasuk sumberdaya dan budaya setempat,
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
ii
selera dan pendapatan masyarakat. Demikian pula pola konsumsi pangan juga akan
berubah dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan
kesadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta perubahan gaya hidup. Dengan
demikian, perubahan-perubahan tersebut, baik antar daerah maupun antar waktu akan
menentukan perubahan berapa pangan yang harus disediakan dan bagaimana distribusinya
agar harga pangan tersebut dapat dijangkau masyarakat dengan harga yang wajar.
Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan merupakan salah satu entry
point dan sub system untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola
konsumsi pangan masyarakat akan dapat disusun kebijakan terkait dengan penyediaan
pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor . Kebijakan produksi
pangan mencakup berapa volume dan jenis pangan yang mampu diproduksi dengan
memperhatikan sumberdaya lahan, air, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan
memperhatikan potensi produksi dan permintaan pangan akan dapat ditetapkan berapa
banyak dan jenis pangan yang harus diproduksi di dalam negeri atau diimpor. Selain itu
dengan mengetahui perubahan konsumsi pangan masyarakat, juga dapat disusun kebijakan
harga dan distribusi pangan agar masyarakat dapat menjangkau pangan yang tersedia.
Analisis ini bertujuan (a) menganalisis dinamika struktur pengeluaran pangan
masyarakat untuk mengetahui bagaimana perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat, (b)
menganalisis dinamika konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan untuk
mengetahui bagimana perubahan pola konsumsi pangan masyarakat, serta (c) melakukan
proyeksi permintaan beberapa jenis pangan untuk mengetahui perkiraan jumlah pangan
yang dibutuhkan masyarakat
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang
diukur dengan pangsa pengeluaran pangan, baik di perkotaan maupun di perdesaan
semakin membaik. Terdapat perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada
kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Sementara pola pengeluaran
untuk kelompok pangan yang lain relatif sama dari tahun ke tahun. Perubahan ini menuntut
pengembangan usaha di sektor makanan/minuman jadi sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan masyarakat. Usaha makanan/minuman jadi juga harus memperhatikan faktor
keamanan pangan, sehingga perlunya pembinaan terutama bagi usaha rumah tangga dan
kecil.
Hasil analisis lainnya juga menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat sudah
mengarah kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun
untuk keragaman konsumsi masih perlu ditingkatkan. Pangan dominan masih dari beras
sebagai sumber energi dan protein, sementara pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu
menurun tingkat konsumsinya. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya meningkat.
Diantara pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan
selama 15 tahun terakhir. Demikian pula konsumsi gula pasir juga menurun, sebaliknya
konsumsi minyak goreng terus meningkat. Peningkatan pendapatan berdampak pada
perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber karbohidrat dan
meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Namun perubahan pola
konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan
masyarakat akan pangan dan gizi.
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa permintaan pangan pada tahun 2020 pada
umumnya masih tinggi terutama pada kelompok menengah, yang jumlahnya masih relatif
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
iii
besar dalam struktur penduduk. Secara agregat, permintaan beras pada tahun 2020
diperkirakan sekitar 16,1 juta ton, sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masing-
masing sekitar 2,1 juta ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng sekitar 3,0
juta ton dan daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton. Perlu diingatkan lagi bahwa
permintaan pangan ini adalah permintaan pangan untuk rumah tangga biasa, dengan kata
lain tidak termasuk permintaan hotel, restaurant, catering dan industri.
Implikasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah mengingat pola konsumsi
masyarakat akan berubah seiring dengan perubahan pendapatan, maka pengetahuan
masyarakat akan pangan dan gizi harus terus ditingkatkan, sehingga masyarakat hanya
akan mengkonsumsi makanan yang berkualitas, yang menyehatkan dan mencerdaskan.
Upaya penyadaran ini tidak dapat hanya bersandarkan pada kebijakan pemerintah, namun
juga semua elemen, seperti swasta dan masyarakat. Selain itu, perlu adanya edukasi
konsumen, khususnya dalam hal mempromosikan produk makanan secara benar dan tidak
menyesatkan konsumen.
Dalam upaya diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis sumber daya lokal, peran
pemerintah harus secara signifikan dapat mewujudkan hal tersebut, seperti peran
pemerintah dalam mengalihkan pola makan masyarakat dari beras dan produk terigu ke
makanan lokal (umbi-umbian, jagung, sagu). Pemerintah juga harus berperan dalam
pengembangan industri pengolahan pangan berbasis sumberdaya lokal dan penyadaran
masyarakat. Langkah awal yang dapat dilakukan, salah satu diantaranya adalah pemberian
produk olahan berbasis pangan lokal secara gratis oleh pemerintah melalui raskin, pangan
darurat dan lainnya. Di samping itu, perlu penyadaran baik kepada media (elektronik/surat
kabar) ataupun semua elemen bahwa mengkonsumsi pangan produk lokal bukan karena
kelaparan atau miskin.
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga Tim Peneliti dapat menyelesaikan laporan Analisis Dinamika
Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia tepat pada waktunya. Untuk itu, Tim
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada semua pihak khususnya para nara
sumber dan Pimpinan BP2KP yang telah membantu memberikan arahan, pemikiran,
dan berbagai informasi, termasuk memfasilitasi kelancaranan kegiatan kajian ini.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan
upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga diperoleh kualitas
sumberdaya Indonesia yang mempunyai daya saing yang tangguh dan unggul
sebagai bangsa. Oleh karena itu, pangan dan gizi berperan sebagai penentu daya
saing bangsa, mempunyai peran penting dalam pencapaian Indek Pembangunan
Manusia (IPM). Laporan United Nation Development Program tahun 2010
menempatkan Indonesia dalam kelompok medium human development dan
menduduki peringkat 108 dari 182 negara.
Dengan memahami dan mengetahui bahwa dinamika atau perkembangan
konsumsi pangan rumah tangga merupakan salah satu informasi dasar dalam
kebijakan pangan, baik dari sisi ekonomi seperti pangsa pengeluaran untuk pangan
maupun dinamika komposisi/diversifikasi asupan pangan , maka pemerintah
diharapkan akan mampu merumuskan kebijakan pangan yang efektif, baik dari sisi
penawaran, permintaan, termasuk kebijakan distribusinya.
Sejalan dengan hal ini, Tim Peneliti melakukan suatu kajian untuk menganilisis
dinamika konsumsi pangan RT dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1989-
2011. Dinamika yang dianalisis antara lain mencakup dinamika pangsa pengeluaran
untuk kelompok dan jenis pangan secara spesifik yang dinilai strategis, dinamika
komposi dari sisi kontribusi terhadap energi, protein, dan vitamin, dan mineral
berdasarkan kolompok masyarakat yang digariskan dalam data SUSENAS. Di
samping itu, kajian ini mencoba memberikan proyeksi dinamika konsumsi pangan,
baik dari sisi pangsa pengeluaran maupun kandungan nutrisinya.
Hasil studi menunjukan bahwa sebagai akibat peningkatan kesejahteraan, ada
indikasi perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber
karbohidrat dan meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Hal ini
terutama terjadi untuk kelompok masyarakat yang tingkat kesejahteraannya lebih
tinggi. Namun perubahan pola konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor
pendapatan tetapi juga pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi. Di samping
itu, telah terjadi perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada
kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi.
Catatan penting lainnya adalah pola konsumsi masyarakat sudah mengarah
kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun
diversifikasi konsumsi masih perlu ditingkatkan. Ada indikasi konsumsi beras per
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
v
kapita menurun, namun konsumsi terigu dan turunannya meningkat. Diantara
pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan selama
15 tahun terakhir.
Tim peneliti berharap hasil kajian ini dapat menjadi salah satu acuan atau
masukan dalam perumusan kebijakan pangan baik untuk aspek penawaran,
permintaan, dan distribusi Kami juga berharap, hasil kajian ini dapat menjadi
referensi untuk kajian-kajian selanjutnya yang berkaitan dengan kebiajkan pangan.
Kami menyadari bahwa kajian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, seperti
dalam hal ruang lingkup, metode analisis, maupun kualitas data. Oleh sebab itu,
masukan-masukan dan kritik konstruktif untuk penyempurnaan kajian ini, sangat
kami harapkan.
Jakarta, Juni 2013
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
vi
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF.............................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.3. Keluaran Penelitian .................................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
1.5. Ruang Lingkup .......................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pangan ......................................................................................... 6
2.2. Konsep Ketahanan Pangan ...................................................................... 6
2.3. Struktur Pengeluaran Masyarakat ............................................................. 9
2.4. Pola Konsumsi Pangan Masyarakat ......................................................... 11
2.5. Pola Pangan Harapan (PPH) .................................................................... 12
2.6. Konsumsi Pangan dari Data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS): Kekuatan dan Kelemahan .................................................... 16
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Sumber dan Jenis Data ............................................................................. 18
3.2. Analisis Data ............................................................................................. 21
BAB IV. KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: MEMBAIK ATAU MENURUN
4.1. Pengeluaran Pangan Agregat ................................................................... 23
4.2. Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pangan ................................... 26
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
vii
BAB V. KUANTITAS KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT : ENERGI DAN PROTEIN
5.1. Konsumsi Masyarakat dari Sisi Kecukupan Konsumsi Energi dan
Protein ........................................................................................................ 31
5.2. Konsumsi Energi dan Protein Menurut kelompok Pangan dan
Pengeluaran .............................................................................................. 35
BAB VI. KUALITAS POLA KONSUMSI PANGAN: HARAPAN DAN KENYATAAN
6.1. Program Diversifikasi Konsumsi Pangan .................................................. 37
6.2. Pencapaian Kualitas Konsumsi Pangan menurut PPH ............................ 39
6.3. Kendala Pencapaian Diversifikasi Pangan Secara Signifikan.................. 41
BAB VII. TINGKAT KONSUMSI DAN PERMINTAAN PANGAN
7.1. Tingkat Konsumsi Pangan ........................................................................ 44
7.2. Proyeksi Kebutuhan Pangan untuk Konsumsi tahun 2020 ...................... 50
7.3. Perspektif Pola Konsumsi Pangan ke Depan ........................................... 55
BAB VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan ................................................................................................ 58
8.2. Implikasi Kebijakan .................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 60
LAMPIRAN .................................................................................................... 64
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan ............. 8
Tabel 2.2. Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg.Pangan 1994, dan Deptan
2001 ............................................................................................................ 13
Tabel 2.3. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional*) ............................................ 14
Tabel 3.1. Jenis Pangan Menurut Kelompok Pangan .............................................. 19
Tabel 3.2. Jumlah dan Besaran Kelompok Pengeluaran SUSENAS
tahun 1996,1999, 2002, 2005,2008 dan 2011 ......................................... 20
Tabel 3.3. Pengelompokkan Beberapa Jenis Pangan ............................................. 21
Tabel 4.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%) ..... 26
Tabel 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Jenis Pangan Menurut Wilayah (%) .... 29
Tabel 4.3. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan Menurut Kelompok
Pengeluaran (%), 2011 .............................................................................. 30
Tabel 5.1. Ketersediaan Energi dan Protein, 2006-2011 ......................................... 34
Tabel 5.2. Pangsa Energi dan Protein Beberapa Kelompok Pangan
Menurut Wilayah (%).................................................................................. 35
Tabel 5.3. Pangsa Energi Kelompok Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran,
2011 (%) ..................................................................................................... 36
Tabel 6.1. Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi Konsumsi
Pangan ....................................................................................................... 37
Tabel 6.2. Pola Konsumsi Pangan : Harapan dan Kenyataan ................................. 40
Tabel 7.1. Tingkat Konsumsi Pangan : Beras, Umbi-umbian dan Terigu
Menurut Wilayah, (kg/kap/th) ..................................................................... 45
Tabel 7.2. Tingkat Konsumsi Pangan : Daging, Telur, Susu, dan Kedelai
Menurut Wilayah, (kg/kap/th) ..................................................................... 47
Tabel 7.3. Tingkat Konsumsi Pangan : Sayuran, Buah-buahan, Gula Pasir dan
Minyak Goreng Menurut Wilayah, (kg/kap/th) .......................................... 48
Tabel 7.4. Tingkat Konsumsi Pangan : Beras, Ubi kayu, Ubi jalar, Sagu, Umbi
Lainnya dan Terigu Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (kg/kap/th) .. 49
Tabel 7.5. Tingkat Konsumsi Pangan : Daging, Telur, Susu, dan Kedelai
Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (kg/kap/th) ................................... 49
Tabel 7.6. Tingkat Beberapa Komoditas Pangan dan Laju Perubahannya
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
ix
Menurut Kelompok Pengeluaran ............................................................... 51
Tabel 7.7. Proyeksi Jumlah Penduduk (Orang) ......................................................... 51
Tabel 7.8. Proporsi Penduduk Menurut Kelompok Pengeluaran (Orang) ................ 52
Tabel 7.9. Proyeksi Permintaan Beberapa Jenis Pangan untuk
Konsumsi Masyarakat (kg/kap/th) .............................................................. 53
Tabel 7.10. Proyeksi Permintaan Beberapa Pangan untuk Konsumsi Masyarakat
(ribu ton) ..................................................................................................... 53
Tabel 7.11. Proyeksi Permintaan Pangan Menurut Kelompok Pangan, 2020
(kg/kap/th) .................................................................................................. 53
Tabel 7.12. Proyeksi Permintaan: Beras, Terigu, Kedelai dan Gula Pasir
Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton) ............................................ 54
Tabel 7.13. Proyeksi Permintaan: Minyak Goreng, Daging Sapi, Daging Ayam
dan Telur Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton) ............................ 54
Tabel 7.14. Capaian Indeks Swasembada Komoditas Pangan Utama 2011-2012 ... 55
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pembobotan pada Kelompok Pangan .................................................... 15
Gambar 4.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%) .............................. 24
Gambar 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Perkotaan dan
Pedesaan (%)............................................................................................ 27
Gambar 4.3. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Perkotaan (%) .. 28
Gambar 4.4. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Pedesaan (%) .. 28
Gambar 5.1. Konsumsi Energi Menurut Wilayah ........................................................ 31
Gambar 5.2. Konsumsi Protein Menurut Wilayah ....................................................... 32
Gambar 5.3. Pangsa Konsumsi Protein Hewani Menurut Wilayah ............................. 34
Gambar 6.1. Kualitas Konsumsi Pangan Menurut PPH .............................................. 40
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%) .............................. 65
Lampiran 2. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Wilayah (%) ................. 65
Lampiran 3. Pola Konsumsi Pangan Menurut PPH ................................................... 65
Lampiran 4. Perkembangan Tingkat Konsumsi Beras, Terigu, Kedelai,
Gula pasir dan Minyak Goreng Menurut Kelompok Pengeluaran
Tahun 2006-2011 ...................................................................................... 66
Lampiran 5. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam
dan Telur ................................................................................................... 67
Lampiran 6. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam
dan Telur ................................................................................................... 68
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya
merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya
peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga diperoleh kualitas sumberdaya
Indonesia yang mempunyai daya saing tangguh dan unggul sebagai bangsa. Sumber daya
manusia (SDM) berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan
mandiri (Menkes, 2005).
Untuk menjadi sehat, syarat utama yang diperlukan adalah SDM dapat mengkonsumsi
pangan sesuai kebutuhan proses basal metabolisme tubuh. Dalam hal ini pangan berfungsi
sebagai sumber energi dan zat gizi lain yang dibutuhkan tubuh untuk pekerjaan dan proses-
proses dalam tubuh (Suhardjo, dkk; 2006). Pangan dan gizi berperan sebagai penentu daya
saing bangsa, mempunyai peran penting dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Laporan United Nation Development Program (UNDP, 2010) dalam Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2011-2015 menunjukkan bahwa IPM Indonesia
dikategorikan dalam medium human development dan menduduki peringkat 108 dari 182
negara, lebih rendah dibandingkan beberapa negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand
atau Filipina (BAPPENAS, 2011).
Pada saat ini secara global di berbagai negara sedang mengalami krisis. Salah satu
potensi krisis yang memiliki dampak serius adalah ancaman terjadinya krisis pangan global.
Isu kelangkaan pangan dunia (world food crisis) saling berkaitan erat dengan isu perubahan
iklim global (global climate changes) dan dinamika ekonomi global, yang dicirikan oleh krisis
ekonomi di negara-negara maju dan volatilitas harga pangan serta energi (Menteri
Pertanian, 2012). Permasalahan global ini pasti mempunyai pengaruh pada kondisi
ketahanan pangan domestik, karena saat ini tidak ada satu negarapun yang dapat
mengisolasi diri dari komunitas dunia.
Menurut Firmansyah (2012), perekonomian Indonesia pada tahun 2012 telah
menerima dampak atas pelemahan ekonomi global. Secara akumulatif Januari-November
2012, defisit Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) mencapai 1,33 miliar dollar AS dengan
nilai impor mencapai 176,09 miliar dollar AS dan ekspor sebesar 174,76 miliar dollar AS.
Potensi ancaman krisis dunia tahun 2013 masih tetap tinggi yang bersumber pada
pemulihan krisis di zona Eropa dan pelemahan ekonomi Amerika Serikat akibat program
pengetatan belanja publik dan kenaikan pajak. Selain itu, akibat adanya perubahan iklim dan
cuaca ikut meningkatkan volatilitas harga pangan dunia. Pada beberapa waktu yang lalu,
ekonomi Indonesia mendapatkan ujian dari meningkatnya harga sejumlah komoditas
pangan dunia seperti kedelai akibat tidak tercapainya target produksi negara penghasil
utama. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini yaitu kekeringan yang terjadi di Amerika
Serikat ditambah dengan aksi borong negara importir untuk mengamankan pasokan dalam
negerinya. Resiko akan hal ini masih akan tetap tinggi mengingat unpredictability perubahan
iklim dan cuaca pada 2013.
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
2
Padahal sampai saat ini masalah kerawanan pangan masih merupakan isu penting
yang harus segera ditangani. Pada skala dunia, diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk
dunia masih terancam kelaparan dan rawan pangan (FAO, 2010). Di Indonesia, selama
tahun 1996-2008 proporsi rumah tangga yang mengalami rawan pangan pada tahun 1999
sebesar 14,2% dan pada tahun 2008 masih sebesar 8,7%. Bila dikaitkan dengan dinamika
perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya proporsi rumah tangga rawan
pangan tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan kenaikan harga
bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi menyebabkan penurunan konsumsi
pangan secara kuantitas dan kualitas (Ariani, dkk; 2000). Hasil penelitian yang dilakukan
Hardono (2012) menggunakan data mikro pada rumah tangga petani di beberapa provinsi
menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani yang rawan pangan mengalami
peningkatan dari 28,1%(2007) menjadi 60,3% (2010).
Pemenuhan kecukupan pangan bagi setiap warga negara Indonesia merupakan
kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat, baik secara moral, sosial, maupun hukum,
karena pangan merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat esensial. Pemenuhan
kecukupan pangan perseorangan merupakan esensi dari ketahanan pangan, dan
dicerminkan oleh tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau dengan harga yang wajar, serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Pembangunan ketahanan pangan sangat penting bagi Indonesia yang mempunyai
penduduk dalam jumlah besar, Kebutuhan pangan nasional akan terus bertambah dari
tahun ke tahun sebagai akibat jumlah penduduk yang terus meningkat. Jumlah penduduk
tahun 2010 sebesar 237,5 juta jiwa, dimana 53,45% berada di Pulau Jawa dengan laju
pertumbuhan sebesar 1,49% (BPS, 2011). Diperkirakan pada tahun 2020, penduduk
Indonesia berjumlah 250 juta.
Di Indonesia, sektor pertanian memiliki peran strategis sebagai lokomotif
pembangunan nasional karena berkontribusi secara nyata dalam penyediaan pangan bagi
lebih dari 245 juta penduduk Indonesia dan secara empiris telah terbukti mampu meredam
dari krisis pangan. Pada triwulan II tahun ini (2012), sektor pertanian menyediakan 87%
bahan baku industri kecil dan menegah, penyumbang produk domestik bruto (PDB) sebesar
14,72%, menghasilkan devisa negara (US$ 43,37 M), menyerap 33,32% total tenaga kerja,
dan 70% penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian (Pidato Pengarahan
Kementerian Pertanian, 2012).
Kebijakan pembangunan pertanian nasional yang dituangkan dalam Rencana
Strategis Kementerian Pertanian Tahun 20102014, diarahkan untuk mencapai empat
target sukses, yaitu: (1) Pencapaian swasembada untuk komoditas kedelai, daging, gula
dan swasembada berkelanjutan untuk komoditas beras dan jagung; (2) Peningkatan
diversifikasi pangan; (3) Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, (4) Peningkatan
kesejahteraan petani. Telah disadari bahwa untuk mencapai program tersebut, tidaklah
mudah karena masih terdapat beberapa permasalahan mendasar untuk pembangunan
pertanian dan peningkatan ketahanan pangan.
Permasalahan mendasar seperti telah disebutkan terdahulu, adalah: (1) Meningkatnya
kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, (2) terbatasnya ketersediaan
infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air, (3) status dan luas kepemilikan lahan (9,55
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
3
juta KK < 0.5 Ha), (4) lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional, (5) keterbatasan
aksesibilitas petani terhadap permodalan, (6) lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani
dan penyuluh, (7) belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, dan (8) belum
terpadunya kebijakan antarsektor dalam pembangunan pertanian (Rencana Strategis
Kementerian Pertanian, 2009). Hasil analisis yang dilakukan oleh Sumaryanto (2009),
kendala utama yang dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita
adalah: (1) pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena (a) laju perluasan lahan
pertanian baru sangat rendah dan (bi) konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit
dikendalikan, (c) degradasi sumberdaya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat
kesuburan fisik dan kimia lahan pertanian; dan (2) adanya gejala kemandegan dalam
pertumbuhan produktivitas.
Perubahan iklim yang terjadi saat ini yang mengakibatkan perubahan pola tanam,
perubahan pola hujan sehingga waktu kapan akan terjadi musim kering atau musim hujan
sulit diprediksi, munculnya hama/penyakit tanaman yang tidak terprediksi dan lainnya.
Perubahan beberapa faktor ini, berdampak pada sulitnya pencapaian produksi pangan
sesuai yang telah dicanangkan. Sehingga Kementerian Pertanian terpaksa melakukan
revisi target produksi tahun 2012 seperti target produksi padi diturunkan dari 71 juta ton
menjadi 67,8 juta ton dan pada tahun 2013, yang target awalnya 73,3 juta ton diturunkan
menjadi 72,0 juta ton. Penurunan target juga terjadi pada komoditas jagung, kedelai dan
gula. Penurunan target produksi tersebut juga disebabkan belum adanya tambahan lahan
seperti dijanjikan Badan Pertanahan Nasional yang menjanjikan akan menyediakan lahan
sekitar dua juta hektar untuk dapat ditanami produk pertanian.
Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka mengharuskan melakukan pemanfaatkan
sumberdaya pertanian dan pangan secara efisien dan optimal dengan memperhatikan
potensi lahan, tingkat kesuburan lahan dan pola permintaan pangan. Pertimbangan ini
dilakukan dengan harapan pangan yang dibutuhkan semaksimal mungkin diperoleh dari
produksi sendiri atau produksi dalam negeri.
Pola konsumsi pangan masyarakat akan berbeda dan berubah dari waktu ke waktu.
Pola konsumsi pangan antara daerah satu dengan daerah lainnya dapat berbeda tergantung
dari lingkungannya termasuk sumber daya dan budaya setempat, selera dan pendapatan
masyarakat. Demikian pula pola konsumsi pangan juga akan berubah dari waktu ke waktu
yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan kesadaran masyarakat akan
pangan dan gizi, serta perubahan gaya hidup. Dengan demikian, perubahan-perubahan
tersebut, baik antar daerah maupun antar waktu akan menentukan perubahan jumlah
pangan yang harus disediakan dan upaya pendistribusiannya agar harga pangan tersebut
dapat dijangkau masyarakat dengan harga yang wajar.
Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan merupakan salah satu entry
point dan sub sistem untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola
konsumsi pangan masyarakat, maka akan dapat disusun kebijakan penyediaan pangan,
baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor). Kebijakan produksi
pangan mencakup besaran volume dan jenis pangan yang mampu diproduksi dengan
memperhatikan sumberdaya lahan, air, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan
memperhatikan potensi produksi dan permintaan pangan akan dapat ditetapkan jumlah dan
jenis pangan yang harus disediakan . Selain itu dengan mengetahui perubahan konsumsi
pangan masyarakat juga dapat disusun kebijakan harga dan distribusi pangan agar
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
4
masyarakat dapat menjangkau pangan yang tersedia dengan harga yang wajar. Dengan
demikian, kebijakan-kebijakan yang disusun dengan mempertimbangkan aspek sumberdaya
dan pola permintaan pangan masyarakat tersebut merupakan upaya untuk mencapai
kemandirian pangan, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) No. 18 tahun
2012 tentang Pangan. Dalam UU ini disebutkan kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan
potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat.
1.2. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis dinamika atau perkembangan
pola konsumsi pangan masyarakat. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah :
a. Menganalisis dinamika struktur pengeluaran pangan masyarakat untuk mengetahui
bagaimana perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat.
b. Menganalisis dinamika konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan untuk
mengetahui bagaimana perubahan pola konsumsi pangan masyarakat.
c. Melakukan proyeksi permintaan beberapa pangan untuk konsumsi untuk mengetahui
perkiraan jumlah pangan yang dibutuhkan masyarakat.
1.3. Keluaran Penelitian
Penelitian ini diharapkan menghasilkan keluaran sebagai berikut:
a. Struktur pengeluaran masyarakat dengan pola konsumsi masyarakat.
b. Informasi mengenai perubahan pola konsumsi masyarakat.
c. Rumusan usulan kebijakan dalam rangka mendukung upaya perubahan pola konsumsi
pangan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Memberikan gambaran terhadap perubahan pola konsumsi masyarakat berdasarkan
struktur pengeluaran.
b. Sebagai bahan masukan bagi para perumus kebijakan dalam upaya mendukung
perubahan pola konsumsi masyarakat.
1.5. Ruang Lingkup
Bahasan dinamika atau perkembangan analisis konsumsi pangan masyarakat
mencakup kurun waktu tahun 1996 sampai tahun 2011 atau perkembangan 15 tahun
terakhir. Ruang lingkup konsumsi pangan masyarakat yang dianalisis adalah:
a. Pengeluaran pangan yang dibedakan antara pengeluaran pangan secara total,
pengeluaran menurut kelompok pangan dan beberapa komoditas tertentu;
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
5
b. Tingkat konsumsi energi dan protein serta pangsa protein hewani;
c. Kualitas konsumsi pangan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH); dan
d. Tingkat konsumsi beberapa jenis pangan.
Analisis konsumsi rumah tangga dibedakan menurut agregat nasional (kota+Desa),
wilayah (kota/desa) dan kelompok pengeluaran sebagai proksi pendapatan masyarakat.
Selain itu, juga dilakukan proyeksi permintaan untuk beberapa pangan sampai tahun 2020
menurut agregat nasional dan kelompok pendapatan.
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pangan
Dalam Undang Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan bahwa pangan
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman. Namun dalam UU Pangan yang baru yaitu UU No. 18 tahun 2012 tentang
Pangan, pengertian pangan lebih diperluas terutama dalam hal ruang lingkup jenis
pangannya. Dalam UU Pangan tersebut, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses
penyimpanan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman.
Perubahan konsep pangan yang secara eksplisit menyebutkan cakupan pangan
dalam arti luas dapat diartikan dalam perumusan kebijakan pangan harus proposional
antara komoditas pangan yang satu dengan komoditas pangan yang lainnya. Kebijakan
pangan yang disusun tidak mengakibatkan matinya kinerja pangan lainnya. Sebagai contoh,
kebijakan pemerintah yang bias pada komoditas padi, sehingga sebagian besar dana
pemerintah hanya untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sementara, kebijakan pangan
lainnya seperti umbi-umbian (sagu) seolah-olah dibiarkan dan terlupakan.
2.2. Konsep Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan (food security) dikenal luas sekitar tahun 1980-an untuk
menggantikan konsep food policy yang diperkenalkan pada awal tahun 1970-an ketika
terjadi krisis pangan melanda dunia. Dalam perkembangannya, konsep ketahanan pangan
mengalami perubahan dan bervariasi. Hasil studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999)
dalam Hanani (2009) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan
pangan. Beberapa definisi ketahanan pangan yang sering digunakan sebagai berikut:
a. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara
fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan
produktif.
b. FAO (1997): situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun
ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah
tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
c. FIVIMS (2005): kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, sosial dan
ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan
kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan
yang aktif dan sehat.
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
7
d. Mercy Corps (2007): keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses
fisik, sosial, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk
kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.
Di Indonesia sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Dengan pengertian tersebut, dalam mewujudkan ketahanan pangan diharapkan dapat
terpenuhinya pangan sebagai berikut: (a) kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan
ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman,ternak,
dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral
serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia; (b) kondisi yang
aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah
agama; (c) kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan
merata di seluruh tanah air dan (d) kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh
rumah tangga dengan harga yang terjangkau (Hanani, tanpa tahun)
Dalam UU Pangan yang baru yaitu No. 18 tahun 2012, definisi ketahanan pangan
adalah sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan,
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Dengan definisi ketahanan pangan yang baru ini, maka cakupan ketahanan
pangan lebih luas, selain unsur-unsur yang telah diuraikan dalam UU No. 7 tahun 1996,
juga secara eksplisit dapat terpenuhinya: (a) pangan tidak hanya secara agregat wilayah
tetapi terpenuhinya pangan juga sampai tingkat individu, (b) pangan yang beragam dan
bergizi, tidak hanya mencakup ragam pangan pokok tetapi juga pangan secara keseluruhan.
Diversifikasi atau penganekaragaman pangan juga menjadi hal yang harus dipenuhi dalam
konsep ini dalam upaya untuk mencapai status gizi masyarakat yang baik, (c) pangan yang
disajikan tidak hanya pangan yang tidak diperbolehkan atau yang bertentangan dengan
agama tetapi juga yang berentangan dengan keyakinan dan budaya setempat, serta (d)
pangan harus tersedia secara berkelanjutan atau terus menerus sepanjang waktu.
Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada
produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa
menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan
barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Namun
demikian, dalam UU Pangan yang baru sangat ditekankan dalam mencapai ketahanan
pangan harus berbasis kemandirian pangan dan kedaulatan pangan.
Seperti tertuang dalam Pasal 3, disebutkan bahwa penyelenggaraan pangan
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara
adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan
Ketahanan Pangan. Definisi kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara
mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan
yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai
dengan potensi sumber daya lokal. Sementara itu, kemandirian pangan adalah kemampuan
negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
8
yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi,
dan kearifan lokal secara bermartabat.
Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang memahami
pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut
konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun
penyediaan pangan yang cukup. Swasembada pangan umumnya merupakan capaian
peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan
lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk
sehat dan produktif. Hanani (2009) membuat perbedaan antara swasembada pangan
dengan ketahanan pangan mulai dari ruang lingkup, sasaran, strategi, output dan outcome.
Perbedaan kedua hal tersebut disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan
Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan
Lingkup Nasional Rumah tangga dan individu
Sasaran Komoditas pangan Manusia
Strategi Subsitusi impor Peningkatan ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan
Output Peningkatan produksi pangan
Status gizi (penurunan : kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk)
Outcome Kecukupan pangan oleh produk domestik
Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi)
Sumber : Hanani (2009)
Ketahanan pangan mencakup tiga dimensi yaitu: (a) ketersediaan pangan (food
availability), (b) akses/distribusi pangan (access to sufficient food), dan (c)
pemanfaatan/konsumsi pangan (utilization of food, which is related to cultural practices).
Namun ketiga dimensi tersebut dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas pangan (stability
of food stock). Oleh karena itu, ketiga dimensi tersebut sering digunakan untuk mengukur
pencapaian ketahanan pangan. Ketersediaan pangan diartikan bahwa pangan tersedia
cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta
aman, sedangkan distribusi pangan diartikan pasokan pangan dapat menjangkau seluruh
wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga. Konsumsi, yaitu setiap
rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi
kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan
sinergi dan interaksi dari ketiga dimensi tersebut..
Ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan
antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa,
sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah,
volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil
penyediaannya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan di suatu daerah atau negara
ditentukan oleh beberapa faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan, dan
kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, serta tingkat ekspor dan impor
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
9
pangan. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada
kebutuhan penduduk terhadap pangan. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah
(pasar) tidak dapat menjamin tersedianya pangan di tingkat rumah tangga, karena
tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik
(daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Oleh karena itu, dalam konsep ketahanan
pangan mengamanakan tersedianya pangan yang dapat dijangkau sampai tingkat
perseorangan. Penyediaan pangan yang cukup, beragam, bergizi dan berimbang, baik
secara kuantitas maupun kualitas, merupakan fondasi yang sangat penting dalam
pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa. Kekurangan pangan berpotensi
memicu keresahan dan berdampak pada masalah sosial, keamanan, dan ekonomi.
Distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas atas pangan secara merata, baik
secara fisik maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa sistem distribusi bukan semata-mata
mencakup aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi
juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang dicerminkan oleh harga dan daya beli
masyarakat. Meskipun ketersediaan pangan secara mikro/nasional maupun per kapita
mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki akses yang nyata secara
sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan
pangan bagi individu. Selain aspek ekonomi, fisik dan sosial, kelancaran distribusi pangan
juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana seperti keadaan jalan, transportasi, kondisi
pasar dan kelembagaan pasar dan lainnya.
Konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan
masyarakat agar mempunyai kemampuan atas pangan, gizi, dan kesehatan yang baik,
sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya
memperhatikan konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang sesuai dengan
kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas, dan produktif. Konsumsi
pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Volume dan kualitas konsumsi
pangan dan gizi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan, dan
budaya masyarakat. Keragaman sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang
dimiliki Indonesia merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung
peningkatan konsumsi masyarakat menuju pangan yang beragam dan bergizi seimbang.
Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki oleh seluruh wilayah,
masih dapat dikembangkan untuk memenuhi keanekaragaman pangan masyarakat pada
wilayah yang bersangkutan.
2.3. Struktur Pengeluaran Masyarakat
Aspek yang terkait dengan tingkat pendapatan adalah tingat pengeluaran masyarakat,
secara umum diketahui bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi pola dan tingkat
pengeluaran (Nurmanaf, dkk; 2000). Penelitian Sudaryanto, dkk (1999) membuktikan bahwa
tingkat pendapatan mempunyai hubungan negatif dengan porsi pengeluaran pangan.
Semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin rendah porsi pengeluaran
pangan. Menurut Pakpahan, dkk (1993) disebutkan bahwa ada hubungan antara porsi atau
pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga. Pangsa
pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
10
pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah ketahanan rumah tangga yang
bersangkutan.
Secara garis besar, kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori besar, yaitu kebutuhan pangan dan bukan pangan. Dengan demikian pada tingkat
pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Secara alamiah, kebutuhan pangan akan mencapai titik jenuh
sementara kebutuhan non-pangan termasuk kualitas pangan tidak demikian halnya.
Menurut Badan Pusat Statistik-BPS (2008) data konsumsi dan pengeluaran dapat
digunakan untuk penelitian penerapan hukum ekonomi.
Seperti yang diungkapkan oleh Ernest Engel, dalam Salvatore (2006), yang dikenal
sebagai Hukum Engel bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk
pangan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Oleh karena itu, komposisi
pengeluaran rumahtangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan
ekonomi penduduk, makin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total
pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar
pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan.
Dalam kondisi pendapatan terbatas maka pemenuhan kebutuhan makanan akan
didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah akan
terlihat sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk membeli pangan.
Proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai
indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga
atau masyarakat. Semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, rumah
tangga tersebut semakin rawan pangan (Melgar-Quinonez et al, 2006). Secara lebih detail,
menurut Soekirman (2000), rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan 60%
dapat dikategorikan rawan pangan dan sebaliknya, rumah tangga dengan proporsi
pengeluaran pangan
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
11
Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
berbagai program yang dilaksanakan setiap tahunnya. Usaha ini membawa hasil yang
ditunjukkan dengan semakin rendahnya pangsa pengeluaran pangan. Secara agregat,
pangsa pengeluaran, sudah dibawah 60%. Namun pembangunan perekonomian,
tampaknya masih belum merata, bias pada masyarakat perkotaan, sehingga kesejahteraan
mereka lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, pembangunan
perekonomian ke depan lebih memprioritaskan pada masyarakat pedesaan, yang
sebenarnya adalah masyarakat petani.
2.4. Pola Konsumsi Pangan Masyarakat
Suatu makanan memenuhi selera atau tidak bukan hanya ditentukan oleh fisik
pangan, akan tetapi karena pengaruh sosial budaya. Faktor penting dalam pemilihan
pangan adalah flavor yang meliputi bau, tekstur, dan suhu. Penampilan yang meliputi warna
dan bentuk juga akan mempengaruhi sikap terhadap pangan. Selain pengaruh reaksi indera
terhadap pemilihan pangan (warna atau bentuk), kesukaan pribadi semakin terpengaruh
oleh pendekatan melalui media radio, televisi, pamflet, iklan dan bentuk media masa lain
(Suhardjo 1989).
Menurut Elizabeth dan Sanjur (1981) yang diacu dalam Suhardjo (1989), ada tiga
faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu karakteristik individu, karakteristik
pangan, dan karakteristik lingkungan. Karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin,
pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi, keterampilan memasak dan kesehatan.
Sementara itu karakteristik pangan seperti rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, bentuk,
bumbu dan kombinasi makanan. Karakteristik lingkungan yang mempengaruhi preferensi
konsumsi panga adalah musim, pekerjaan, mobilitas, perpindahan penduduk dan tingkat
sosial pada masyarakat. Menurut Suryana (tanpa tahun), penganekaragaman konsumsi
pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: (a) faktor yang bersifat internal
(individual), seperti pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya dan religi), serta
pengetahuan gizi, maupun (b) faktor eksternal seperti faktor agro-ekologi, produksi,
ketersediaan dan distribusi, anekaragam pangan, serta promosi/iklan.
Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang
dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu
tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa telaahan terhadap konsumsi pangan dapat ditinjau dari
aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Susunan jenis
pangan yang dapat dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu disebut pola konsumsi pangan
(Martianto 1992). Pola konsumsi pangan adalah jenis dan frekuensi beragam pangan yang
biasa dikonsumsi, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah
ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1996). Sanjur (1982)
menyatakan jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola
konsumsi pangan. Pola konsumsi masyarakat dapat menggambarkan alokasi dan komposisi
atau bentuk konsumsi yang berlaku secara umum pada anggota masyarakat. Konsumsi
dapat diartikan sebagai kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan atau keinginan saat ini guna
meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian, alokasi konsumsi sangat tergantung
pada definisi dan persepsi masyarakat mengenai kebutuhan dan kendala yang mereka
hadapi.
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
12
Menurut Hattas (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi, diantaranya:
(a) tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pendapatan dapat digunakan untuk dua tujuan
yaitu konsumsi dan tabungan. Besar kecilnya pendapatan yang diterima seseorang akan
mempengaruhi pola konsumsi. Semakin besar tingkat pendapatan seseorang, biasanya
akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang tinggi, sebaliknya tingkat pendapatan yang
rendah akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang rendah pula; (b) selera konsumen, Setiap
orang memiliki keinginan yang berbeda dan ini akan mempengaruhi pola konsumsi.
Konsumen akan memilih satu jenis barang untuk dikonsumsi dibandingkan jenis barang
lainnya; (c) harga barang, Jika harga suatu barang mengalami kenaikan, maka konsumsi
barang tersebut akan mengalami penurunan. Sebaliknya jika harga suatu barang mengalami
penurunan, maka konsumsi barang tersebut akan mengalami kenaikan; (d) tingkat
pendidikan masyarakat, Tinggi rendahnya pendidikan masyarakat akan mempengaruhi
terhadap perilaku, sikap dan kebutuhan konsumsinya; (e) jumlah keluarga, Besar kecilnya
jumlah keluarga akan mempengaruhi pola konsumsinya dan (f) lingkungan, keadaan
sekeliling dan kebiasaan lingkungan akan mempengaruhi perilaku konsumsi pangan
masyarakat setempat.
2.5. Pola Pangan Harapan (PPH)
FAO-RAPA (1989) mendefinisikan Pola Pangan Harapan (PPH) sebagai komposisi
kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat
gizi lainnya. PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi
keseimbangan energi dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi, baik
dalam jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan
pangan, ekonomi, budaya dan agama. Mutu konsumsi pangan penduduk dapat dinilai dari
skor pangan (dietary score)/skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin
beragam dan bergizi seimbang (maksimal 100).
PPH merupakan instrumen sederhana untuk menilai situasi konsumsi pangan
penduduk, baik jumlah maupun komposisi pangan menurut jenis pangan yang dinyatakan
dalam skor PPH. Skor PPH merupakan indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi
pangan sehingga dapat digunakan untuk merencanakan kebutuhan konsumsi pangan pada
tahun-tahun mendatang. PPH dapat digunakan sebagai pedoman dalam evaluasi dan
perencanaan penyediaan, produksi dan konsumsi pangan penduduk, baik secara kuantitas,
kualitas, maupun keragamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi,
budaya, agama dan cita rasa. Dengan demikian, dapat diklasifikasikan kegunaan analisis
PPH sebagai berikut: (a) menilai jumlah dan komposisi konsumsi atau ketersediaan
pangan; (b) indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi atau ketersediaan pangan; (c)
baseline data untuk mengestimasi kebutuhan pangan ideal di suatu wilayah; (d) baseline
data untuk menghitung proyeksi penyediaan pangan ideal untuk suatu wilayah dan (e)
perencanaan konsumsi, kebutuhan dan peyediaan pangan wilayah.
Dalam upaya mengoperasionalkan konsep diversifikasi konsumsi pangan, FAO RAPA
pada tahun 1998 mengadakan pertemuan para ahli pangan dan gizi di Bangkok dengan
merumuskan komposisi pangan yang ideal yang terdiri dari 56 - 68% dari karbohidrat, 10
13% dari protein dan 20 30% dari lemak. Rumusan ini kemudian diimplementasikan
dalam bentuk energi dalam sembilan kelompok pangan yang dikenal dengan istilah Pola
Pangan Harapan (PPH). Sejak diperkenalkan di Indonesia, konsep PPH ini mendapat
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
13
perhatian dari kalangan ilmuwan dan peneliti di bidang pangan dan gizi untuk dapat
diterapkan dengan kondisi Indonesia. Pada tahun 1994, konsep PPH pertama kali yang
diterapkan di Indonesia berdasarkan hasil kesepakatan para ahli di bidang pangan dan gizi
diakomodasi oleh Menteri Negara Pangan pada tahun 1994. Secara detail, persentase
energi dari masing-masing kelompok pangan, pembobotan (bobot) yang digunakan dan skor
dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 2.2. Pada saat itu, total skor hanya
93, dengan alasan, pola konsumsi pangan Indonesia untuk mencapai skor 100 masih
membutuhkan waktu lama baik terkait ketersediaan pangan maupun pola konsumsi
pangannya.
Kritik terhadap PPH muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola
energi (terutama dari pangan hewani dan lemak) antara PPH dengan Pedoman Gizi
Seimbang (PUGS). Pada tahun 2000, Badan Urusan Ketahanan Pangan telah melakukan
diskusi pakar dan lintas sub sektor dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi
PPH dengan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut
Pola Pangan Harapan 2020 (PPH 2020), kemudian diadopsi oleh Kementerian Pertanian
dan menjadi acuan nasional. Hasil keputusan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2 pada
kolom Deptan 2001. Sampai saat ini, acuan tersebut masih digunakan dalam menganalisis
terkait PPH.
Dalam dasar penghitungan skor PPH menggunakan angka kecukupan energi 2000
Kalori per kapita per hari pada tingkat konsumsi, dan 2200 Kalor per kapita per hari pada
tingkat ketersediaan sebagai Angka Kecukupan Energi (AKE) tingkat Nasional berdasarkan
hasil Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 dan IX tahun 2008. Untuk
keperluan perencanaan, AKE tersebut perlu diterjemahkan dalam satuan yang dikenal oleh
perencana kebijakan pengadaan pangan menjadi bahan pangan atau kelompok pangan.
PPH merupakan manifestasi konsep gizi seimbang yang didasarkan pada konsep Triguna
Makanan. Keseimbangan jumlah antar kelompok pangan merupakan syarat terwujudnya
keseimbangan gizi (Triguna Makanan yang Beragam, dan Bergizi Seimbang).
Tabel 2.2. Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg. Pangan 1994, dan Deptan 2001
No Kelompok Pangan
FAO-RAPA Meneg Pangan (1994) Deptan (2001)
Energi (%)
Min-Max Energi
(%) Bobot Skor
Energi (%)
Bobot Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Padi-padian
40 40-60 50 0,5 25 50 0,5 25
2 Umbi-umbian
5 0-8 5 0,5 2.5 6 0,5 2,5
3 Pangan Hewani
20 5-20 15,3 2 30,6 12 2,0 24
4 Minyak dan Lemak
10 5-15 10 1 10 10 0,5 5
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
14
5 Buah/Biji Berminyak
3 0-3 3 0,5 1, 3 0,5 1
6 Kacang-kacangan
6 2-10 5 2 10 5 2,0 10
7 Gula 8 2-15 6,7 0,5 3,4 5 0,5 2,5
8 Sayur dan Buah
5 3-8 5 2 10 6 5,0 30
9 Lain-lain 3 0-5 0 0 0 3 0 0
Total 100 100 93 100 100
Sumber : Hardinsyah, N.Sinulingga, D. Martianto (2000)
PPH merupakan susunan pangan yang benar-benar menjadi harapan baik di tingkat
konsumsi maupun ketersediaan, serta dapat digunakan sebagai pedoman perencanaan dan
evaluasi ketersediaan dan konsumsi pangan penduduk. Dalam PPH, pangan
dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan, yaitu kelompok: (a) padi-padian, (b)
umbi-umbian, (c) pangan hewani, (d) minyak dan lemak, (e) buah dan biji berminyak, (f)
kacang-kacangan, (g) gula, (h) sayuran dan buah-buahan, (i) lain-lain. Setiap kelompok
pangan diberi bobot, kriteria dan besarnya bobot dapat dilihat seperti Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional*)
No Kelompok Pangan
% AKG (FAO RAPA)
Pola Pangan Harapan Nasional
Gram Energi (kkal)
% AKG
Bobot Skor PPH
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Padi - padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain lain
40.0 60.0 0.0 8.0 5.0 20.0 5.0 15.0 0.0 3.0 2.0 10.0 2.0 15.0 3.0 8.0 0.0 5.0
275 100 150 20 10 35 30
250 -
1.000
120 240 200 60
100 100 120
60
50.0
6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0
0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0
25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0
Jumlah 2.000 100.0 - 100.0
Sumber : Harmonisasi PPH Nasional PPKP BKP dan GMSK IPB (2002)
Penetapan besaran pembobot/rating seperti pada kolom 7 pada Tabel 2.3. sebagai
berikut: (a) setiap kelompok pangan utama dari tiga kelompok pangan utama berdasarkan
triguna makanan, diberikan skor maksimum yang relatif sama, yaitu 33,3 bagi setiap
kelompok pangan utama (berasal dari 100 dibagi 3); (b) untuk kelompok pangan sumber
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
15
karbohidrat dan energi (padi-padian, umbi-umbian, minyak dan lemak, buah/biji berminyak,
dan gula), total kontribusi energi (% AKE) adalah 74%. Bobot untuk kelompok pangan ini
adalah 0,5 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 74); (c) untuk kelompok pangan sumber
protein/lauk-pauk (kacang-kacangan dan pangan hewani) dengan kontribusi energi 17%,
diperoleh rating 2,0 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 17) dan (d) untuk kelompok pangan
sumber vitamin dan mineral (sayur dan buah) dengan kontribusi energi 6%, diperoleh rating
5,0 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 6). Secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Dalam konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai
pembobot yang berbeda tergantung dari peranan pangan dari masing-masing kelompok
terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai contoh pembobot pada
kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya sebesar 0,5 karena pangan tersebut
hanya sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia. Sebaliknya pembobot 2 (dua)
untuk pangan hewani dan kacang-kacangan, yang merupakan sumber protein, berfungsi
sebagai pertumbuhan dan perkembangan manusia. Untuk sayur dan buah-buahan sebagai
sumber mineral dan vitamin, serat dan lain-lain yang diperlukan untuk pertumbuhan,
perkembangan dan kesehatan manusia diberi pembobot 5 (lima). Dengan mengkalikan
proporsi energi dengan masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan
diperoleh skor sebesar 100. Dalam arti diversifikasi konsumsi pangan sesuai dengan PPH
yang sempurna harus mempunyai skor PPH sebesar 100.
Gambar 2.1. Pembobotan pada Kelompok Pangan
Sumber : Badan Ketahanan Pangan (2012)
Tiga Guna Makanan
Sumber Zat Tenaga (KH, lemak)
Sumber Zat Pembangun
(Protein)
1. Pangan hewani 12 %
2. Kacang-kacangan 5 %
33,3 : 17 = 2
Sumber Zat Pengatur
(Vit & Mineral)
Sayur dan Buah 6 %
33,3 : 6 = 5
1. Serealia 50 % 2. Umbi-umbian/ 6 % makanan berpati 3. Minyak & lemak 10 % 4. Biji dan buah 3 % Berminyak 5. Gula 5 % 33,3 : 74 = 0,5
33,3
33,3
33,3
Lain-lain 3 %
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
16
2.6. Konsumsi Pangan dari Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS):
Kekuatan dan Kelemahan
Salah satu survei yang dilaksanakan oleh BPS dan sangat dibutuhkan pemerintah
sebagai alat monitoring program pembangunan khususnya di bidang sosial adalah Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Hampir setiap analisis situasi konsumsi pangan,
pada umumnya menggunakan data hasil SUSENAS tersebut. Data ini tersedia setiap tahun
yang berasal dari SUSENAS Panel. Modul Konsumsi mencakup sebanyak 68.000 rumah
tangga sampel yang tersebar di seluruh wilayah geografis Indonesia. Kekuatan estimasi dari
hasil SUSENAS Panel dapat disajikan baik tingkat nasional maupun pada tingkat provinsi
dibedakan menurut daerah tempat tinggal (perkotaan dan perdesaan). Namun sebelum
tahun 2011, data konsumsi provinsi dalam data SUSENAS modul hanya dapat disajikan
setiap tiga tahun sekali dengan total sampel sekitar 68.000 rumah tangga. Namun sejak
tahun 2011, data SUSENAS disajikan dalam data triwulanan dengan total sampel survei
mencakup 300.000 rumah tangga. Pada data triwulanan SUSENAS BPS dapat diestimasi
hingga level kabupaten/kota (BPS, 2012).
Pengumpulan data dari rumahtangga terpilih dilakukan melalui wawancara tatap muka
antara pencacah dengan responden. Responden adalah kepala rumahtangga, suami/isteri
kepala rumahtangga atau anggota rumah tangga lain yang mengetahui tentang karakteristik
yang ditanyakan. Referensi waktu survei yang digunakan adalah seminggu yang lalu untuk
konsumsi makanan dan sebulan atau tiga bulan yang lalu untuk konsumsi bukan makanan.
Sejak tahun 2007, proses pengolahan data SUSENAS sampai menghasilkan data
mentah sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPS daerah. Hal ini untuk lebih
memaksimalkan kualitas data melalui proses pengecekan data yang lebih dekat ke sumber
utamanya. Proses pengolahan dimulai dengan editing (cek kelengkapan isian, kewajaran,
konsistensi), dilanjutkan dengan proses data entri untuk menghasilkan data mentah. Setelah
terbentuk data mentah, proses pengolahan selanjutnya dilakukan di BPS Pusat. Setelah
data mentah terbentuk, dilakukan pengecekan terhadap data-data pencilan (outlier) antara
lain konsumsi energi dengan membuang rumahtangga yang mempunyai konsumsi energi
per kapita per hari dibawah 1.000 kalori dan di atas 4.500 kalori.
Definisi rumah tangga yang digunakan dalam SUSENAS adalah seorang atau
sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik (pada waktu
sensus) dan umumnya makan bersama dari satu dapur. Makan dari satu dapur adalah
mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Anggota rumah tangga adalah
semua orang yang umumnya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di
rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang
telah bepergian enam bulan atau lebih dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang
dari enam bulan tetapi bertujuan akan pindah/meninggalkan rumah, tidak dianggap sebagai
anggota rumah tangga.
Data konsumsi hasil SUSENAS yang dilaksanakan oleh BPS memiliki kekuatan dan
kelemahan. Beberapa kekuatan SUSENAS adalah sebagai salah satu data konsumsi yang
dapat digunakan untuk penghitungan perencanaan pangan nasional. Hasil SUSENAS
tersedia setiap tahun dapat diakses dan diestimasi untuk wilayah provinsi hingga kabupaten
dan kota. Pencatatan konsumsi pangan dalam SUSENAS mencakup 215 jenis pangan yang
umum dikonsumsi oleh rumahtangga meliputi pangan segar, olahan dan makanan jadi yang
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
17
merupakan hasil dari industri pangan, yang tersedia menurut spasial wilayah perdesaan,
perkotaan dan nasional.
Di sisi lain, data konsumsi hasil SUSENAS memiliki beberapa kelemahan. Hasil
SUSENAS merupakan data konsumsi menurut pengeluaran yang diambil dengan cara
wawancara (recall) atau metode mengingat kembali untuk setiap jenis pangan dalam bentuk
kuantitas dan harga pangan baik yang berasal dari pembelian maupun berasal dari produksi
sendiri, dan pemberian kepada rumah tangga sampel. Dengan menggabungkan kuantitas
dan harga pangan dianggap sebagai pengeluaran belanja untuk konsumsi pangan.
Kelemahan metode ini adalah: (a) mengandalkan pada ingatan responden. Jumlah
jenis pangan dan bukan pangan sangat banyak dan referensi yang ditanyakan juga relatif
panjang yaitu satu minggu yang lalu; (b) data konsumsi hasil wawancara tersebut tidak
dikoreksi dengan kuantifikasi berat pangan yang dikonsumsi namun dengan pendekatan
pengeluaran untuk konsumsi pangan, sehingga secara tidak langsung recall data konsumsi
pangan hasil SUSENAS dapat dikatakan bukan merupakan intake konsumsi; (c) data
konsumsi dalam SUSENAS sering dikatakan underestimate yaitu bahwa beberapa jenis
pangan yang sudah banyak dikonsumsi masyarakat namun tidak tercatat dalam SUSENAS
dan adanya konsumsi makanan jadi serta makanan di luar rumah tangga yang belum
tergambar dalam data SUSENAS. Sehingga dibutuhkan suatu koreksi terhadap data
konsumsi pangan untuk mengetahui kebutuhan konsumsi nasional. Sesuai dengan tujuan
SUSENAS yaitu untuk mengetahui gambaran sosial ekonomi dan tingkat kesejahteraan
penduduk, maka dalam pengambilan sampel SUSENAS belum sepenuhnya sesuai dengan
tujuan survei konsumsi pangan dengan tujuan pemenuhan gizi karena sampel rumah tangga
yang disurvei berdasarkan blok sensus belum tentu dapat menggambarkan konsumsi
menurut kelompok umur sesuai dengan pengelompokkan kecukupan gizi.
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
18
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Sumber dan Jenis Data
Data utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah SUSENAS berbagai tahun,
mulai dari tahun 1996,1999, 2002, 2005, 2008 dan 2011 yang dipublikasikan oleh BPS,
bukan diolah dari data mentah. Data ini digunakan untuk mengetahui perkembangan
pengeluaran pangan, konsumsi energi dan protein, kualitas konsumsi pangan menurut PPH
dan tingkat konsumsi beberapa pangan (beras, terigu, ubi kayu, ubi jalar, sagu, umbi
lainnya, sayuran, buah-buahan, daging sapi, daging ayam, telur, susu, kedelai, gula pasir
dan minyak goreng). Untuk tujuan proyeksi konsumsi pangan berdasarkan kelompok
pengeluaran, data dasar yang digunakan adalah SUSENAS tahun 2006, 2007, 2008, 2009,
2010 dan 2011. Data tahun tersebut digunakan karena jumlah kelompok pangan pada
beberapa tahun SUSENAS tersebut sama yaitu ada delapan kelompok pengeluaran.
Kategori dan pengelompokan pengeluaran pangan dan bukan pangan mengikuti
kategori/pengelompokan yang dilakukan oleh BPS. Terdapat 215 komoditas pangan yang
termasuk dalam pengeluaran yang selanjutnya dikelompokkan menjadi 14 kelompok,
sedangkan pada bukan pangan terdapat 109 item yang dikelompokkan menjadi 6 kelompok.
Pada kelompok pangan terdiri dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur
dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman,
bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, minuman yang
mengandung alkohol, serta tembakau dan sirih. Secara lengkap, jenis pangan dari setiap
kelompok pangan disajikan pada Tabel 3.1. Sementara itu, kelompok bukan pangan
mencakup perumahan dan fasilitas rumah tangga; barang dan jasa; pakaian, alas kaki dan
tutup kepala; barang-barang tahan lama; pajak dan asuransi; serta keperluan pesta dan
upacara.
Jumlah pengelompokan untuk tahun SUSENAS yang dianalisis tidak sama yaitu untuk
SUSENAS tahun 1999 terdapat 10 kelompok pengeluaran, sedangkan SUSENAS tahun
1999 dan 2002 terdapat sembilan kelompok pengeluaran. Sejak tahun 2005, data
SUSENAS dikelompokkan menjadi delapan kelompok pengeluaran. Gambaran
perkembangan perubahan jumlah dan besaran dari masing-masing kelompok pangan
disajikan pada Tabel 3.2.
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
19
Tabel 3.1. Jenis Pangan Menurut Kelompok Pangan
No. Kelompok Pangan Jenis Pangan
1 Padi padian Beras, beras ketan, jagung basah dengan kulit, jagung
pipilan, tepung jagung, tepung terigu, lainnya.
2 Umbi umbian Ketela pohon, ketela rambat, sagu, talas, kentang
gaplek, tepung gaplek, tepung ketela pohon, laiinya
3 Ikan
Ikan segar Ekor kuning, tongkol tuna, tenggiri, selar, kembung,
bandeng, gabus, mujair, mas, lele, kakap, baronang,
lainnya.
Udang dan hewan
air lainnya yg segar
Udang, cumi, ketam, kerang, lainnya
Ikan di awetkan Kembung, Tenggiri, tongkol, teri, selar, sepat,
bandeng, gabus, ikan dalam kaleng, lainnya
Udang dan hewan
air lainnya yg
diawetkan
Udang, cumi, lainnya
4 Daging
Daging segar Daging sapi, daging kerbau, daging kambing, daging
babi, daging ayam ras, daging ayam kampong, daging
unggas lainnya, daging lainnya
Daging diawetkan Dendeng, abon, daging dalam kaleng, lainnya.
Lainnya Hati, jeroan, tetelan, tulang, lainnya
5 Telur dan susu Telur ayam ras, telur ayam kampong, telur itik, telur
puyuh, telur lainnya, telur asin, susu murni, susu cair
pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk
bayi, hasil lain dari susu.
6 Sayuran Bayam, kangkung, kol, sawi putih, sawi hijau, buncis,
kacang panjang, tomat sayur, wortel, mentimun, daun
ketela pohon, terong, touge, labu, jagung muda kecil ,
sayur sup, sayur asam, nangka muda, papaya muda,
jamur, petai, jengkol, bawang merah, bawang putih,
cabe merah, cabe hijau, cabe rawit, sayur dalam
kaleng, lainnya.
7 Kacang - kacangan Kacang tanah tanpa kulit, kacang tanah dengan kulit,
kacang kedele, kacang hijau, kacang mede, kacang
lainnya, tahu, tempe, tauco, oncom, lainnya.
8 Buah buahan Jeruk, mangga, apel, alpokat, rambutan, duku, durian,
salak, nanas, pisang ambon, pisang lainnya, papaya,
jambu, sawo, belimbing, kedondong, semangka,
melon, nangka, tomat buah, buah dalam kaleng,
lainnya.
9 Minyak dan lemak Minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng lainnya,
kelapa, margarine, lainnya.
10 Bahan minuman Gula pasir, gula merah, the, kopi bubuk biji, coklat
instan, coklat buuk, sirup, lainnya.
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
20
11 Bumbu-bumbuan Garam, kemiri, ketumbar, merica, asam, biji pala,
cengkeh, terasi, kecap, penyedap rasa, sambal jadi,
bumbum masak jadi, bumbu dapur lainnya
12 Konsumsi lainnya Mie instan, mie basah, bihun, macaroni, kerupuk
emping bahan agar- agar, bubur bayi kemasan,
lainnya
13 Makanan dan
minuman jadi
Roti tawar, roti manis, kue kering, kue basah,
makanan gorengan, bubur kacang hijau, gado gado,
nasi campur, nasi goreng, nasi putih, lontong,
soto/gule/sop/rawon/cincang,
mie(bakso/rebus/goreng), mie instan, makanan ringan
anak anak, ikan (goreng, bakar, dan sebagainya)
ayam/dagig (goreng, bakar, dan sebgainya), makanan
jadi lainnya
Minuman non alkohol , air kemasan, air kemasan gallon, air teh kemasan,
sari buah kemasan, minuman ringan mengandung
CO2(soda), minuman kesehatan/ minuman berenergi,
minuman lainnya, es krim, es lainnya.
Minuman yang
mengandung
alkohol
Bir, anggur, minuman keras lainnya
14 Tembakau dan sirih Rokok kretek filter, rokok kretek tanpa filter, rokok
putih, tembakau, sirih, lainnya
Pengeluaran rata-rata per kapita didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk
konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya anggota
rumah tangga. Sementara itu, konsumsi pangan rumah tangga hanya benar-benar berupa
pengeluaran untuk memenuhi konsumsi rumah tangga saja, tidak termasuk
konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan kepada pihak lain. Angka
konsumsi/pengeluaran rata-rata per kapita diperoleh dari hasil bagi jumlah konsumsi seluruh
rumah tangga baik yang mengkonsumsi makanan maupun yang tidak terhadap jumlah
penduduk.
Tabel 3.2. Jumlah dan Besaran Kelompok Pengeluaran SUSENAS
Tahun 1996,1999, 2002, 2005, 2008 dan 2011
No. Kelompok Pengeluaran pada SUSENAS 1996
(Rp/kap/bulan)
Kelompok Pengeluaran pada SUSENAS 1999,
2002 (Rp/kap/bulan)
Kelompok Pengeluaran pada SUSENAS 2005,
2008, 2011 (Rp/kap/bulan)
1
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
21
9 150,000 199,999 >/ 500,000
10 200,000 299,999
11 >/ 300,000 Sumber : BPS (berbagai tahun)
Dalam perhitungan tingkat konsumsi beberapa pangan, telah dilakukan
pengelompokkan dari jenis pangan yang bahan bakunya sama seperti pada Tabel 3.3. Hal
ini dilakukan agar data tingkat konsumsi pangan yang dianalisis secara komprehensif
mencerminkan data konsumsi pangan, terutama bila dikaitkan dengan perencanaan
kebutuhan pangan. Sebagai gambaran, untuk menghitung tingkat konsumsi beras, beras
yang dianalisis mencakup beras, beras ketan, tepung beras dan bihun yang bahan bakunya
dari beras. Perhitungan bihun ke dalam bentuk beras sudah memasukkan konversi bihun ke
beras. Demikian pula untuk komoditas lainnya, juga memperhitungkan faktor konversi dari
bahan setengah jadi/jadi ke bahan bakunya.
Namun demikian, dari data SUSENAS ini masih banyak item yang tidak dapat
dilakukan penghitungan terutama makanan yang termasuk dalam kelompok
makanan/minuman jadi. Hal ini dikarenakan adanya kesulitan dalam menghitung konversi
dari bentuk makanan jadi ke dalam bentuk jenis pangan tertentu. Sebagai contoh, dalam
makanan/minuman jadi terdapat pengeluaran pangan berupa nasi rames. Untuk
mendapatkan beras yang dikonsumsi dari nasi rames tersebut harus diketahui berapa
jumlah nasi yang dikonsumsi dan berapa konversi dari nasi rames ke beras.
Tabel 3.3. Pengelompokan Beberapa Jenis Pangan
Jenis Pangan Jenis Pangan dalam SUSENAS
Beras Beras, beras ketan, tepung beras, bihun
Terigu Tepung terigu, mi instan, macaroni, mi basah
Ubi kayu Ubikayu, gaplek, tepung gaplek, tapioka
Ubi jalar ubijalar
Sagu Sagu
Umbi lainnya Talas, kentang, lainnya
Daging sapi Daging sapi
Daging ayam Daging ayam ras, daging ayam kampung
Telur Telur ayam ras, telur ayam kampong, telur itik, telur asin
Susu Susu murni, susu cair pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk bayi
Sayuran Semua jenis sayur (27 jenis) kecuali sayur sop, sayur asam/lodeh
Buah-buahan Semua jenis buah-buahan (23 jenis)
Kedelai Kedelai, tahu, tempe
Gula pasir Gula pasir
Minyak goreng Minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng lainnya Sumber : SUSENAS (berbagai tahun)
3.2. Analisis Data
Data dianalisis dalam bentuk agregat nasional (kota+desa), wilayah (kota/desa) dan
kelompok pengeluaran pangan. Untuk menghitung besaran konsumsi zat gizi (energi dan
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
22
protein), data konsumsi pangan dikonversi ke dalam zat gizi. Angka konversi zat gizi yang
digunakan oleh BPS mengacu pada daftar komposisi bahan makanan, daftar komposisi zat
gizi pangan Indonesia dan daftar kandungan gizi bahan makanan.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabel-tabel
dan grafik. Untuk menghitung kualitas konsumsi pangan dilakukan berdasarkan konsep
PPH . Proyeksi permintaan konsumsi pangan tahun 2020 dilakukan untuk beberapa jenis
pangan terutama dikaitkan dengan komoditas strategis pemerintah, yaitu beras, terigu dan
turunannya, kedelai, gula pasir, minyak goreng, daging sapi, daging ayam dan telur.
Proyeksi permintaan pangan disajikan secara agregat nasional dan menurut kelompok
pengeluaran pangan. Dalam menentukan proporsi penduduk tahun 2020 selain
memperhatikan laju pertumbuhan penduduk juga laju pertumbuhan ekonomi. Ana