Transcript
Page 1: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN

MASYARAKAT INDONESIA

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI

BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN

2013

Page 2: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

i

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya

merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar

Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya

peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, sehingga nantinya akan diperoleh kualitas

sumber daya Indonesia manusia (SDM) yang mempunyai daya saing tangguh dan unggul

sebagai bangsa. Sumber daya manusia berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat

yang cerdas, produktif dan mandiri (Menteri Kesehatan, 2005). Pemenuhan kecukupan

pangan bagi setiap warga negara Indonesia merupakan kewajiban bersama pemerintah dan

masyarakat, baik secara moral, sosial, maupun hukum, karena pangan merupakan salah

satu hak asasi manusia yang sangat esensial. Pemenuhan kecukupan pangan

perseorangan merupakan esensi dari ketahanan pangan, dan dicerminkan oleh tersedianya

pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan

terjangkau harganya serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya

masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Pada saat ini secara global, beberapa negara sedang mengalami berbagai macam

kemungkinan terjadinya krisis. Salah satu potensi krisis yang memiliki dampak serius adalah

ancaman terjadinya krisis pangan global. Isu kelangkaan pangan dunia (world food crisis)

saling berkaitan erat dengan isu perubahan iklim global (global climate changes) dan

dinamika ekonomi global, yang dicirikan oleh krisis ekonomi di negara-negara maju dan

volatilitas harga pangan serta energi (Menteri Pertanian, 2012). Permasalahan global ini

pasti mempunyai pengaruh pada kondisi ketahanan pangan domestik, karena saat ini tidak

ada satu negarapun yang dapat mengisolasi diri dari komunitas dunia. Pada skala dunia,

diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk dunia masih terancam kelaparan dan rawan

pangan (FAO, 2010). Di Indonesia, proporsi rumahtangga yang mengalami rawan pangan

pada tahun 1999 sebesar 14,2% dan pada tahun 2008 turun menjadi sebesar 8,7%. Bila

dikaitkan dengan dinamika perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya

proporsi rumahtangga rawan pangan tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi tahun

1997/1998 dan kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi

menyebabkan penurunan konsumsi pangan secara kuantitas dan kualitas (Ariani, dkk;

2000).

Selain pengaruh faktor ekonomi, pangan juga sangat tergantung pada perubahan

iklim. Perubahan iklim yang terjadi saat ini mengakibatkan perubahan pola tanam,

perubahan pola hujan sehingga waktu kapan akan terjadi musim kering atau musim hujan

sulit diprediksi, munculnya hama/penyakit tanaman yang tidak terprediksi dan lainnya.

Perubahan beberapa faktor ini, berdampak pada sulitnya pencapaian produksi pangan

sesuai yang telah dicanangkan. Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka mengharuskan

melakukan pemanfaatkan sumberdaya pertanian dan pangan secara efisien dan optimal

dengan memperhatikan potensi lahan, tingkat kesuburan lahan dan pola permintaan

pangan. Pertimbangan ini dilakukan dengan harapan pangan yang dibutuhkan semaksimal

mungkin diperoleh dari produksi sendiri atau produksi dalam negeri. Di satu sisi, pola

konsumsi pangan masyarakat berbeda dan berubah dari waktu ke waktu, dari tempat yang

satu ke tempat yang lain. Pola konsumsi pangan antara daerah satu dengan daerah lainnya

dapat berbeda tergantung dari lingkungannya termasuk sumberdaya dan budaya setempat,

Page 3: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

ii

selera dan pendapatan masyarakat. Demikian pula pola konsumsi pangan juga akan

berubah dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan

kesadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta perubahan gaya hidup. Dengan

demikian, perubahan-perubahan tersebut, baik antar daerah maupun antar waktu akan

menentukan perubahan berapa pangan yang harus disediakan dan bagaimana distribusinya

agar harga pangan tersebut dapat dijangkau masyarakat dengan harga yang wajar.

Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan merupakan salah satu entry

point dan sub system untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola

konsumsi pangan masyarakat akan dapat disusun kebijakan terkait dengan penyediaan

pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor . Kebijakan produksi

pangan mencakup berapa volume dan jenis pangan yang mampu diproduksi dengan

memperhatikan sumberdaya lahan, air, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan

memperhatikan potensi produksi dan permintaan pangan akan dapat ditetapkan berapa

banyak dan jenis pangan yang harus diproduksi di dalam negeri atau diimpor. Selain itu

dengan mengetahui perubahan konsumsi pangan masyarakat, juga dapat disusun kebijakan

harga dan distribusi pangan agar masyarakat dapat menjangkau pangan yang tersedia.

Analisis ini bertujuan (a) menganalisis dinamika struktur pengeluaran pangan

masyarakat untuk mengetahui bagaimana perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat, (b)

menganalisis dinamika konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan untuk

mengetahui bagimana perubahan pola konsumsi pangan masyarakat, serta (c) melakukan

proyeksi permintaan beberapa jenis pangan untuk mengetahui perkiraan jumlah pangan

yang dibutuhkan masyarakat

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang

diukur dengan pangsa pengeluaran pangan, baik di perkotaan maupun di perdesaan

semakin membaik. Terdapat perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada

kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Sementara pola pengeluaran

untuk kelompok pangan yang lain relatif sama dari tahun ke tahun. Perubahan ini menuntut

pengembangan usaha di sektor makanan/minuman jadi sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan masyarakat. Usaha makanan/minuman jadi juga harus memperhatikan faktor

keamanan pangan, sehingga perlunya pembinaan terutama bagi usaha rumah tangga dan

kecil.

Hasil analisis lainnya juga menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat sudah

mengarah kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun

untuk keragaman konsumsi masih perlu ditingkatkan. Pangan dominan masih dari beras

sebagai sumber energi dan protein, sementara pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu

menurun tingkat konsumsinya. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya meningkat.

Diantara pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan

selama 15 tahun terakhir. Demikian pula konsumsi gula pasir juga menurun, sebaliknya

konsumsi minyak goreng terus meningkat. Peningkatan pendapatan berdampak pada

perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber karbohidrat dan

meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Namun perubahan pola

konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan

masyarakat akan pangan dan gizi.

Hasil proyeksi menunjukkan bahwa permintaan pangan pada tahun 2020 pada

umumnya masih tinggi terutama pada kelompok menengah, yang jumlahnya masih relatif

Page 4: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

iii

besar dalam struktur penduduk. Secara agregat, permintaan beras pada tahun 2020

diperkirakan sekitar 16,1 juta ton, sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masing-

masing sekitar 2,1 juta ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng sekitar 3,0

juta ton dan daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton. Perlu diingatkan lagi bahwa

permintaan pangan ini adalah permintaan pangan untuk rumah tangga biasa, dengan kata

lain tidak termasuk permintaan hotel, restaurant, catering dan industri.

Implikasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah mengingat pola konsumsi

masyarakat akan berubah seiring dengan perubahan pendapatan, maka pengetahuan

masyarakat akan pangan dan gizi harus terus ditingkatkan, sehingga masyarakat hanya

akan mengkonsumsi makanan yang berkualitas, yang menyehatkan dan mencerdaskan.

Upaya penyadaran ini tidak dapat hanya bersandarkan pada kebijakan pemerintah, namun

juga semua elemen, seperti swasta dan masyarakat. Selain itu, perlu adanya edukasi

konsumen, khususnya dalam hal mempromosikan produk makanan secara benar dan tidak

menyesatkan konsumen.

Dalam upaya diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis sumber daya lokal, peran

pemerintah harus secara signifikan dapat mewujudkan hal tersebut, seperti peran

pemerintah dalam mengalihkan pola makan masyarakat dari beras dan produk terigu ke

makanan lokal (umbi-umbian, jagung, sagu). Pemerintah juga harus berperan dalam

pengembangan industri pengolahan pangan berbasis sumberdaya lokal dan penyadaran

masyarakat. Langkah awal yang dapat dilakukan, salah satu diantaranya adalah pemberian

produk olahan berbasis pangan lokal secara gratis oleh pemerintah melalui raskin, pangan

darurat dan lainnya. Di samping itu, perlu penyadaran baik kepada media (elektronik/surat

kabar) ataupun semua elemen bahwa mengkonsumsi pangan produk lokal bukan karena

kelaparan atau miskin.

Page 5: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga Tim Peneliti dapat menyelesaikan laporan Analisis Dinamika

Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia tepat pada waktunya. Untuk itu, Tim

Peneliti menyampaikan terima kasih kepada semua pihak khususnya para nara

sumber dan Pimpinan BP2KP yang telah membantu memberikan arahan, pemikiran,

dan berbagai informasi, termasuk memfasilitasi kelancaranan kegiatan kajian ini.

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan

pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam

Undang-Undang Dasar 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan

upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga diperoleh kualitas

sumberdaya Indonesia yang mempunyai daya saing yang tangguh dan unggul

sebagai bangsa. Oleh karena itu, pangan dan gizi berperan sebagai penentu daya

saing bangsa, mempunyai peran penting dalam pencapaian Indek Pembangunan

Manusia (IPM). Laporan United Nation Development Program tahun 2010

menempatkan Indonesia dalam kelompok medium human development dan

menduduki peringkat 108 dari 182 negara.

Dengan memahami dan mengetahui bahwa dinamika atau perkembangan

konsumsi pangan rumah tangga merupakan salah satu informasi dasar dalam

kebijakan pangan, baik dari sisi ekonomi seperti pangsa pengeluaran untuk pangan

maupun dinamika komposisi/diversifikasi asupan pangan , maka pemerintah

diharapkan akan mampu merumuskan kebijakan pangan yang efektif, baik dari sisi

penawaran, permintaan, termasuk kebijakan distribusinya.

Sejalan dengan hal ini, Tim Peneliti melakukan suatu kajian untuk menganilisis

dinamika konsumsi pangan RT dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1989-

2011. Dinamika yang dianalisis antara lain mencakup dinamika pangsa pengeluaran

untuk kelompok dan jenis pangan secara spesifik yang dinilai strategis, dinamika

komposi dari sisi kontribusi terhadap energi, protein, dan vitamin, dan mineral

berdasarkan kolompok masyarakat yang digariskan dalam data SUSENAS. Di

samping itu, kajian ini mencoba memberikan proyeksi dinamika konsumsi pangan,

baik dari sisi pangsa pengeluaran maupun kandungan nutrisinya.

Hasil studi menunjukan bahwa sebagai akibat peningkatan kesejahteraan, ada

indikasi perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber

karbohidrat dan meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Hal ini

terutama terjadi untuk kelompok masyarakat yang tingkat kesejahteraannya lebih

tinggi. Namun perubahan pola konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor

pendapatan tetapi juga pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi. Di samping

itu, telah terjadi perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada

kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi.

Catatan penting lainnya adalah pola konsumsi masyarakat sudah mengarah

kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun

diversifikasi konsumsi masih perlu ditingkatkan. Ada indikasi konsumsi beras per

Page 6: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

v

kapita menurun, namun konsumsi terigu dan turunannya meningkat. Diantara

pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan selama

15 tahun terakhir.

Tim peneliti berharap hasil kajian ini dapat menjadi salah satu acuan atau

masukan dalam perumusan kebijakan pangan baik untuk aspek penawaran,

permintaan, dan distribusi Kami juga berharap, hasil kajian ini dapat menjadi

referensi untuk kajian-kajian selanjutnya yang berkaitan dengan kebiajkan pangan.

Kami menyadari bahwa kajian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, seperti

dalam hal ruang lingkup, metode analisis, maupun kualitas data. Oleh sebab itu,

masukan-masukan dan kritik konstruktif untuk penyempurnaan kajian ini, sangat

kami harapkan.

Jakarta, Juni 2013

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Page 7: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

vi

DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF.............................................................................. i

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

DAFTAR ISI ................................................................................................. vi

DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4

1.3. Keluaran Penelitian .................................................................................. 4

1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4

1.5. Ruang Lingkup .......................................................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pangan ......................................................................................... 6

2.2. Konsep Ketahanan Pangan ...................................................................... 6

2.3. Struktur Pengeluaran Masyarakat ............................................................. 9

2.4. Pola Konsumsi Pangan Masyarakat ......................................................... 11

2.5. Pola Pangan Harapan (PPH) .................................................................... 12

2.6. Konsumsi Pangan dari Data Survei Sosial Ekonomi Nasional

(SUSENAS): Kekuatan dan Kelemahan .................................................... 16

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Sumber dan Jenis Data ............................................................................. 18

3.2. Analisis Data ............................................................................................. 21

BAB IV. KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: MEMBAIK ATAU MENURUN

4.1. Pengeluaran Pangan Agregat ................................................................... 23

4.2. Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pangan ................................... 26

Page 8: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

vii

BAB V. KUANTITAS KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT : ENERGI DAN PROTEIN

5.1. Konsumsi Masyarakat dari Sisi Kecukupan Konsumsi Energi dan

Protein ........................................................................................................ 31

5.2. Konsumsi Energi dan Protein Menurut kelompok Pangan dan

Pengeluaran .............................................................................................. 35

BAB VI. KUALITAS POLA KONSUMSI PANGAN: HARAPAN DAN KENYATAAN

6.1. Program Diversifikasi Konsumsi Pangan .................................................. 37

6.2. Pencapaian Kualitas Konsumsi Pangan menurut PPH ............................ 39

6.3. Kendala Pencapaian Diversifikasi Pangan Secara Signifikan.................. 41

BAB VII. TINGKAT KONSUMSI DAN PERMINTAAN PANGAN

7.1. Tingkat Konsumsi Pangan ........................................................................ 44

7.2. Proyeksi Kebutuhan Pangan untuk Konsumsi tahun 2020 ...................... 50

7.3. Perspektif Pola Konsumsi Pangan ke Depan ........................................... 55

BAB VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

8.1. Kesimpulan ................................................................................................ 58

8.2. Implikasi Kebijakan .................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 60

LAMPIRAN .................................................................................................... 64

Page 9: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan ............. 8

Tabel 2.2. Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg.Pangan 1994, dan Deptan

2001 ............................................................................................................ 13

Tabel 2.3. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional*) ............................................ 14

Tabel 3.1. Jenis Pangan Menurut Kelompok Pangan .............................................. 19

Tabel 3.2. Jumlah dan Besaran Kelompok Pengeluaran SUSENAS

tahun 1996,1999, 2002, 2005,2008 dan 2011 ......................................... 20

Tabel 3.3. Pengelompokkan Beberapa Jenis Pangan ............................................. 21

Tabel 4.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%) ..... 26

Tabel 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Jenis Pangan Menurut Wilayah (%) .... 29

Tabel 4.3. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan Menurut Kelompok

Pengeluaran (%), 2011 .............................................................................. 30

Tabel 5.1. Ketersediaan Energi dan Protein, 2006-2011 ......................................... 34

Tabel 5.2. Pangsa Energi dan Protein Beberapa Kelompok Pangan

Menurut Wilayah (%).................................................................................. 35

Tabel 5.3. Pangsa Energi Kelompok Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran,

2011 (%) ..................................................................................................... 36

Tabel 6.1. Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi Konsumsi

Pangan ....................................................................................................... 37

Tabel 6.2. Pola Konsumsi Pangan : Harapan dan Kenyataan ................................. 40

Tabel 7.1. Tingkat Konsumsi Pangan : Beras, Umbi-umbian dan Terigu

Menurut Wilayah, (kg/kap/th) ..................................................................... 45

Tabel 7.2. Tingkat Konsumsi Pangan : Daging, Telur, Susu, dan Kedelai

Menurut Wilayah, (kg/kap/th) ..................................................................... 47

Tabel 7.3. Tingkat Konsumsi Pangan : Sayuran, Buah-buahan, Gula Pasir dan

Minyak Goreng Menurut Wilayah, (kg/kap/th) .......................................... 48

Tabel 7.4. Tingkat Konsumsi Pangan : Beras, Ubi kayu, Ubi jalar, Sagu, Umbi

Lainnya dan Terigu Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (kg/kap/th) .. 49

Tabel 7.5. Tingkat Konsumsi Pangan : Daging, Telur, Susu, dan Kedelai

Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (kg/kap/th) ................................... 49

Tabel 7.6. Tingkat Beberapa Komoditas Pangan dan Laju Perubahannya

Page 10: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

ix

Menurut Kelompok Pengeluaran ............................................................... 51

Tabel 7.7. Proyeksi Jumlah Penduduk (Orang) ......................................................... 51

Tabel 7.8. Proporsi Penduduk Menurut Kelompok Pengeluaran (Orang) ................ 52

Tabel 7.9. Proyeksi Permintaan Beberapa Jenis Pangan untuk

Konsumsi Masyarakat (kg/kap/th) .............................................................. 53

Tabel 7.10. Proyeksi Permintaan Beberapa Pangan untuk Konsumsi Masyarakat

(ribu ton) ..................................................................................................... 53

Tabel 7.11. Proyeksi Permintaan Pangan Menurut Kelompok Pangan, 2020

(kg/kap/th) .................................................................................................. 53

Tabel 7.12. Proyeksi Permintaan: Beras, Terigu, Kedelai dan Gula Pasir

Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton) ............................................ 54

Tabel 7.13. Proyeksi Permintaan: Minyak Goreng, Daging Sapi, Daging Ayam

dan Telur Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton) ............................ 54

Tabel 7.14. Capaian Indeks Swasembada Komoditas Pangan Utama 2011-2012 ... 55

Page 11: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pembobotan pada Kelompok Pangan .................................................... 15

Gambar 4.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%) .............................. 24

Gambar 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Perkotaan dan

Pedesaan (%)............................................................................................ 27

Gambar 4.3. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Perkotaan (%) .. 28

Gambar 4.4. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Pedesaan (%) .. 28

Gambar 5.1. Konsumsi Energi Menurut Wilayah ........................................................ 31

Gambar 5.2. Konsumsi Protein Menurut Wilayah ....................................................... 32

Gambar 5.3. Pangsa Konsumsi Protein Hewani Menurut Wilayah ............................. 34

Gambar 6.1. Kualitas Konsumsi Pangan Menurut PPH .............................................. 40

Page 12: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%) .............................. 65

Lampiran 2. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Wilayah (%) ................. 65

Lampiran 3. Pola Konsumsi Pangan Menurut PPH ................................................... 65

Lampiran 4. Perkembangan Tingkat Konsumsi Beras, Terigu, Kedelai,

Gula pasir dan Minyak Goreng Menurut Kelompok Pengeluaran

Tahun 2006-2011 ...................................................................................... 66

Lampiran 5. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam

dan Telur ................................................................................................... 67

Lampiran 6. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam

dan Telur ................................................................................................... 68

Page 13: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya

merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar

Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya

peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga diperoleh kualitas sumberdaya

Indonesia yang mempunyai daya saing tangguh dan unggul sebagai bangsa. Sumber daya

manusia (SDM) berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan

mandiri (Menkes, 2005).

Untuk menjadi sehat, syarat utama yang diperlukan adalah SDM dapat mengkonsumsi

pangan sesuai kebutuhan proses basal metabolisme tubuh. Dalam hal ini pangan berfungsi

sebagai sumber energi dan zat gizi lain yang dibutuhkan tubuh untuk pekerjaan dan proses-

proses dalam tubuh (Suhardjo, dkk; 2006). Pangan dan gizi berperan sebagai penentu daya

saing bangsa, mempunyai peran penting dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia

(IPM). Laporan United Nation Development Program (UNDP, 2010) dalam Rencana Aksi

Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2011-2015 menunjukkan bahwa IPM Indonesia

dikategorikan dalam medium human development dan menduduki peringkat 108 dari 182

negara, lebih rendah dibandingkan beberapa negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand

atau Filipina (BAPPENAS, 2011).

Pada saat ini secara global di berbagai negara sedang mengalami krisis. Salah satu

potensi krisis yang memiliki dampak serius adalah ancaman terjadinya krisis pangan global.

Isu kelangkaan pangan dunia (world food crisis) saling berkaitan erat dengan isu perubahan

iklim global (global climate changes) dan dinamika ekonomi global, yang dicirikan oleh krisis

ekonomi di negara-negara maju dan volatilitas harga pangan serta energi (Menteri

Pertanian, 2012). Permasalahan global ini pasti mempunyai pengaruh pada kondisi

ketahanan pangan domestik, karena saat ini tidak ada satu negarapun yang dapat

mengisolasi diri dari komunitas dunia.

Menurut Firmansyah (2012), perekonomian Indonesia pada tahun 2012 telah

menerima dampak atas pelemahan ekonomi global. Secara akumulatif Januari-November

2012, defisit Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) mencapai 1,33 miliar dollar AS dengan

nilai impor mencapai 176,09 miliar dollar AS dan ekspor sebesar 174,76 miliar dollar AS.

Potensi ancaman krisis dunia tahun 2013 masih tetap tinggi yang bersumber pada

pemulihan krisis di zona Eropa dan pelemahan ekonomi Amerika Serikat akibat program

pengetatan belanja publik dan kenaikan pajak. Selain itu, akibat adanya perubahan iklim dan

cuaca ikut meningkatkan volatilitas harga pangan dunia. Pada beberapa waktu yang lalu,

ekonomi Indonesia mendapatkan ujian dari meningkatnya harga sejumlah komoditas

pangan dunia seperti kedelai akibat tidak tercapainya target produksi negara penghasil

utama. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini yaitu kekeringan yang terjadi di Amerika

Serikat ditambah dengan aksi borong negara importir untuk mengamankan pasokan dalam

negerinya. Resiko akan hal ini masih akan tetap tinggi mengingat unpredictability perubahan

iklim dan cuaca pada 2013.

Page 14: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

2

Padahal sampai saat ini masalah kerawanan pangan masih merupakan isu penting

yang harus segera ditangani. Pada skala dunia, diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk

dunia masih terancam kelaparan dan rawan pangan (FAO, 2010). Di Indonesia, selama

tahun 1996-2008 proporsi rumah tangga yang mengalami rawan pangan pada tahun 1999

sebesar 14,2% dan pada tahun 2008 masih sebesar 8,7%. Bila dikaitkan dengan dinamika

perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya proporsi rumah tangga rawan

pangan tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan kenaikan harga

bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi menyebabkan penurunan konsumsi

pangan secara kuantitas dan kualitas (Ariani, dkk; 2000). Hasil penelitian yang dilakukan

Hardono (2012) menggunakan data mikro pada rumah tangga petani di beberapa provinsi

menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani yang rawan pangan mengalami

peningkatan dari 28,1%(2007) menjadi 60,3% (2010).

Pemenuhan kecukupan pangan bagi setiap warga negara Indonesia merupakan

kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat, baik secara moral, sosial, maupun hukum,

karena pangan merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat esensial. Pemenuhan

kecukupan pangan perseorangan merupakan esensi dari ketahanan pangan, dan

dicerminkan oleh tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,

beragam, bergizi, merata, dan terjangkau dengan harga yang wajar, serta tidak

bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,

aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Pembangunan ketahanan pangan sangat penting bagi Indonesia yang mempunyai

penduduk dalam jumlah besar, Kebutuhan pangan nasional akan terus bertambah dari

tahun ke tahun sebagai akibat jumlah penduduk yang terus meningkat. Jumlah penduduk

tahun 2010 sebesar 237,5 juta jiwa, dimana 53,45% berada di Pulau Jawa dengan laju

pertumbuhan sebesar 1,49% (BPS, 2011). Diperkirakan pada tahun 2020, penduduk

Indonesia berjumlah 250 juta.

Di Indonesia, sektor pertanian memiliki peran strategis sebagai lokomotif

pembangunan nasional karena berkontribusi secara nyata dalam penyediaan pangan bagi

lebih dari 245 juta penduduk Indonesia dan secara empiris telah terbukti mampu meredam

dari krisis pangan. Pada triwulan II tahun ini (2012), sektor pertanian menyediakan 87%

bahan baku industri kecil dan menegah, penyumbang produk domestik bruto (PDB) sebesar

14,72%, menghasilkan devisa negara (US$ 43,37 M), menyerap 33,32% total tenaga kerja,

dan 70% penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian (Pidato Pengarahan

Kementerian Pertanian, 2012).

Kebijakan pembangunan pertanian nasional yang dituangkan dalam Rencana

Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010–2014, diarahkan untuk mencapai empat

target sukses, yaitu: (1) Pencapaian swasembada untuk komoditas kedelai, daging, gula

dan swasembada berkelanjutan untuk komoditas beras dan jagung; (2) Peningkatan

diversifikasi pangan; (3) Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, (4) Peningkatan

kesejahteraan petani. Telah disadari bahwa untuk mencapai program tersebut, tidaklah

mudah karena masih terdapat beberapa permasalahan mendasar untuk pembangunan

pertanian dan peningkatan ketahanan pangan.

Permasalahan mendasar seperti telah disebutkan terdahulu, adalah: (1) Meningkatnya

kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, (2) terbatasnya ketersediaan

infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air, (3) status dan luas kepemilikan lahan (9,55

Page 15: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

3

juta KK < 0.5 Ha), (4) lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional, (5) keterbatasan

aksesibilitas petani terhadap permodalan, (6) lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani

dan penyuluh, (7) belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, dan (8) belum

terpadunya kebijakan antarsektor dalam pembangunan pertanian (Rencana Strategis

Kementerian Pertanian, 2009). Hasil analisis yang dilakukan oleh Sumaryanto (2009),

kendala utama yang dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita

adalah: (1) pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena (a) laju perluasan lahan

pertanian baru sangat rendah dan (bi) konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit

dikendalikan, (c) degradasi sumberdaya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat

kesuburan fisik dan kimia lahan pertanian; dan (2) adanya gejala kemandegan dalam

pertumbuhan produktivitas.

Perubahan iklim yang terjadi saat ini yang mengakibatkan perubahan pola tanam,

perubahan pola hujan sehingga waktu kapan akan terjadi musim kering atau musim hujan

sulit diprediksi, munculnya hama/penyakit tanaman yang tidak terprediksi dan lainnya.

Perubahan beberapa faktor ini, berdampak pada sulitnya pencapaian produksi pangan

sesuai yang telah dicanangkan. Sehingga Kementerian Pertanian terpaksa melakukan

revisi target produksi tahun 2012 seperti target produksi padi diturunkan dari 71 juta ton

menjadi 67,8 juta ton dan pada tahun 2013, yang target awalnya 73,3 juta ton diturunkan

menjadi 72,0 juta ton. Penurunan target juga terjadi pada komoditas jagung, kedelai dan

gula. Penurunan target produksi tersebut juga disebabkan belum adanya tambahan lahan

seperti dijanjikan Badan Pertanahan Nasional yang menjanjikan akan menyediakan lahan

sekitar dua juta hektar untuk dapat ditanami produk pertanian.

Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka mengharuskan melakukan pemanfaatkan

sumberdaya pertanian dan pangan secara efisien dan optimal dengan memperhatikan

potensi lahan, tingkat kesuburan lahan dan pola permintaan pangan. Pertimbangan ini

dilakukan dengan harapan pangan yang dibutuhkan semaksimal mungkin diperoleh dari

produksi sendiri atau produksi dalam negeri.

Pola konsumsi pangan masyarakat akan berbeda dan berubah dari waktu ke waktu.

Pola konsumsi pangan antara daerah satu dengan daerah lainnya dapat berbeda tergantung

dari lingkungannya termasuk sumber daya dan budaya setempat, selera dan pendapatan

masyarakat. Demikian pula pola konsumsi pangan juga akan berubah dari waktu ke waktu

yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan kesadaran masyarakat akan

pangan dan gizi, serta perubahan gaya hidup. Dengan demikian, perubahan-perubahan

tersebut, baik antar daerah maupun antar waktu akan menentukan perubahan jumlah

pangan yang harus disediakan dan upaya pendistribusiannya agar harga pangan tersebut

dapat dijangkau masyarakat dengan harga yang wajar.

Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan merupakan salah satu entry

point dan sub sistem untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola

konsumsi pangan masyarakat, maka akan dapat disusun kebijakan penyediaan pangan,

baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor). Kebijakan produksi

pangan mencakup besaran volume dan jenis pangan yang mampu diproduksi dengan

memperhatikan sumberdaya lahan, air, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan

memperhatikan potensi produksi dan permintaan pangan akan dapat ditetapkan jumlah dan

jenis pangan yang harus disediakan . Selain itu dengan mengetahui perubahan konsumsi

pangan masyarakat juga dapat disusun kebijakan harga dan distribusi pangan agar

Page 16: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

4

masyarakat dapat menjangkau pangan yang tersedia dengan harga yang wajar. Dengan

demikian, kebijakan-kebijakan yang disusun dengan mempertimbangkan aspek sumberdaya

dan pola permintaan pangan masyarakat tersebut merupakan upaya untuk mencapai

kemandirian pangan, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) No. 18 tahun

2012 tentang Pangan. Dalam UU ini disebutkan kemampuan negara dan bangsa dalam

memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri dapat menjamin pemenuhan

kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan

potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara

bermartabat.

1.2. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis dinamika atau perkembangan

pola konsumsi pangan masyarakat. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah :

a. Menganalisis dinamika struktur pengeluaran pangan masyarakat untuk mengetahui

bagaimana perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat.

b. Menganalisis dinamika konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan untuk

mengetahui bagaimana perubahan pola konsumsi pangan masyarakat.

c. Melakukan proyeksi permintaan beberapa pangan untuk konsumsi untuk mengetahui

perkiraan jumlah pangan yang dibutuhkan masyarakat.

1.3. Keluaran Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghasilkan keluaran sebagai berikut:

a. Struktur pengeluaran masyarakat dengan pola konsumsi masyarakat.

b. Informasi mengenai perubahan pola konsumsi masyarakat.

c. Rumusan usulan kebijakan dalam rangka mendukung upaya perubahan pola konsumsi

pangan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Memberikan gambaran terhadap perubahan pola konsumsi masyarakat berdasarkan

struktur pengeluaran.

b. Sebagai bahan masukan bagi para perumus kebijakan dalam upaya mendukung

perubahan pola konsumsi masyarakat.

1.5. Ruang Lingkup

Bahasan dinamika atau perkembangan analisis konsumsi pangan masyarakat

mencakup kurun waktu tahun 1996 sampai tahun 2011 atau perkembangan 15 tahun

terakhir. Ruang lingkup konsumsi pangan masyarakat yang dianalisis adalah:

a. Pengeluaran pangan yang dibedakan antara pengeluaran pangan secara total,

pengeluaran menurut kelompok pangan dan beberapa komoditas tertentu;

Page 17: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

5

b. Tingkat konsumsi energi dan protein serta pangsa protein hewani;

c. Kualitas konsumsi pangan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH); dan

d. Tingkat konsumsi beberapa jenis pangan.

Analisis konsumsi rumah tangga dibedakan menurut agregat nasional (kota+Desa),

wilayah (kota/desa) dan kelompok pengeluaran sebagai proksi pendapatan masyarakat.

Selain itu, juga dilakukan proyeksi permintaan untuk beberapa pangan sampai tahun 2020

menurut agregat nasional dan kelompok pendapatan.

Page 18: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pangan

Dalam Undang Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan bahwa pangan

didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang

diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi

konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain

yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau

minuman”. Namun dalam UU Pangan yang baru yaitu UU No. 18 tahun 2012 tentang

Pangan, pengertian pangan lebih diperluas terutama dalam hal ruang lingkup jenis

pangannya. Dalam UU Pangan tersebut, pangan didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang

berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan

sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan

pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses

penyimpanan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman”.

Perubahan konsep pangan yang secara eksplisit menyebutkan cakupan pangan

dalam arti luas dapat diartikan dalam perumusan kebijakan pangan harus proposional

antara komoditas pangan yang satu dengan komoditas pangan yang lainnya. Kebijakan

pangan yang disusun tidak mengakibatkan matinya kinerja pangan lainnya. Sebagai contoh,

kebijakan pemerintah yang bias pada komoditas padi, sehingga sebagian besar dana

pemerintah hanya untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sementara, kebijakan pangan

lainnya seperti umbi-umbian (sagu) seolah-olah dibiarkan dan terlupakan.

2.2. Konsep Ketahanan Pangan

Konsep ketahanan pangan (food security) dikenal luas sekitar tahun 1980-an untuk

menggantikan konsep food policy yang diperkenalkan pada awal tahun 1970-an ketika

terjadi krisis pangan melanda dunia. Dalam perkembangannya, konsep ketahanan pangan

mengalami perubahan dan bervariasi. Hasil studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999)

dalam Hanani (2009) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan

pangan. Beberapa definisi ketahanan pangan yang sering digunakan sebagai berikut:

a. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara

fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan

produktif.

b. FAO (1997): situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun

ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah

tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.

c. FIVIMS (2005): kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, sosial dan

ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan

kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan

yang aktif dan sehat.

Page 19: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

7

d. Mercy Corps (2007): keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses

fisik, sosial, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk

kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.

Di Indonesia sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan

adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya

pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.

Dengan pengertian tersebut, dalam mewujudkan ketahanan pangan diharapkan dapat

terpenuhinya pangan sebagai berikut: (a) kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan

ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman,ternak,

dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral

serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia; (b) kondisi yang

aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat

mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah

agama; (c) kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan

merata di seluruh tanah air dan (d) kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh

rumah tangga dengan harga yang terjangkau (Hanani, tanpa tahun)

Dalam UU Pangan yang baru yaitu No. 18 tahun 2012, definisi ketahanan pangan

adalah sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan,

yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,

beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,

keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara

berkelanjutan. Dengan definisi ketahanan pangan yang baru ini, maka cakupan ketahanan

pangan lebih luas, selain unsur-unsur yang telah diuraikan dalam UU No. 7 tahun 1996,

juga secara eksplisit dapat terpenuhinya: (a) pangan tidak hanya secara agregat wilayah

tetapi terpenuhinya pangan juga sampai tingkat individu, (b) pangan yang beragam dan

bergizi, tidak hanya mencakup ragam pangan pokok tetapi juga pangan secara keseluruhan.

Diversifikasi atau penganekaragaman pangan juga menjadi hal yang harus dipenuhi dalam

konsep ini dalam upaya untuk mencapai status gizi masyarakat yang baik, (c) pangan yang

disajikan tidak hanya pangan yang tidak diperbolehkan atau yang bertentangan dengan

agama tetapi juga yang berentangan dengan keyakinan dan budaya setempat, serta (d)

pangan harus tersedia secara berkelanjutan atau terus menerus sepanjang waktu.

Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada

produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa

menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan

barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Namun

demikian, dalam UU Pangan yang baru sangat ditekankan dalam mencapai ketahanan

pangan harus berbasis kemandirian pangan dan kedaulatan pangan.

Seperti tertuang dalam Pasal 3, disebutkan bahwa penyelenggaraan pangan

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara

adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan

Ketahanan Pangan. Definisi kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara

mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan

yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai

dengan potensi sumber daya lokal. Sementara itu, kemandirian pangan adalah kemampuan

negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri

Page 20: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

8

yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat

perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi,

dan kearifan lokal secara bermartabat.

Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang memahami

pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut

konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun

penyediaan pangan yang cukup. Swasembada pangan umumnya merupakan capaian

peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan

lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk

sehat dan produktif. Hanani (2009) membuat perbedaan antara swasembada pangan

dengan ketahanan pangan mulai dari ruang lingkup, sasaran, strategi, output dan outcome.

Perbedaan kedua hal tersebut disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan

Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan

Lingkup Nasional Rumah tangga dan individu

Sasaran Komoditas pangan Manusia

Strategi Subsitusi impor Peningkatan ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan

Output Peningkatan produksi pangan

Status gizi (penurunan : kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk)

Outcome Kecukupan pangan oleh produk domestik

Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi)

Sumber : Hanani (2009)

Ketahanan pangan mencakup tiga dimensi yaitu: (a) ketersediaan pangan (food

availability), (b) akses/distribusi pangan (access to sufficient food), dan (c)

pemanfaatan/konsumsi pangan (utilization of food, which is related to cultural practices).

Namun ketiga dimensi tersebut dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas pangan (stability

of food stock). Oleh karena itu, ketiga dimensi tersebut sering digunakan untuk mengukur

pencapaian ketahanan pangan. Ketersediaan pangan diartikan bahwa pangan tersedia

cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta

aman, sedangkan distribusi pangan diartikan pasokan pangan dapat menjangkau seluruh

wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga. Konsumsi, yaitu setiap

rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi

kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan

sinergi dan interaksi dari ketiga dimensi tersebut..

Ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan

antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa,

sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah,

volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil

penyediaannya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan di suatu daerah atau negara

ditentukan oleh beberapa faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan, dan

kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, serta tingkat ekspor dan impor

Page 21: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

9

pangan. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada

kebutuhan penduduk terhadap pangan. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah

(pasar) tidak dapat menjamin tersedianya pangan di tingkat rumah tangga, karena

tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik

(daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Oleh karena itu, dalam konsep ketahanan

pangan mengamanakan tersedianya pangan yang dapat dijangkau sampai tingkat

perseorangan. Penyediaan pangan yang cukup, beragam, bergizi dan berimbang, baik

secara kuantitas maupun kualitas, merupakan fondasi yang sangat penting dalam

pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa. Kekurangan pangan berpotensi

memicu keresahan dan berdampak pada masalah sosial, keamanan, dan ekonomi.

Distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas atas pangan secara merata, baik

secara fisik maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa sistem distribusi bukan semata-mata

mencakup aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi

juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang dicerminkan oleh harga dan daya beli

masyarakat. Meskipun ketersediaan pangan secara mikro/nasional maupun per kapita

mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki akses yang nyata secara

sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan

pangan bagi individu. Selain aspek ekonomi, fisik dan sosial, kelancaran distribusi pangan

juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana seperti keadaan jalan, transportasi, kondisi

pasar dan kelembagaan pasar dan lainnya.

Konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan

masyarakat agar mempunyai kemampuan atas pangan, gizi, dan kesehatan yang baik,

sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya

memperhatikan konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang sesuai dengan

kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas, dan produktif. Konsumsi

pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang

menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Volume dan kualitas konsumsi

pangan dan gizi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan, dan

budaya masyarakat. Keragaman sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang

dimiliki Indonesia merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung

peningkatan konsumsi masyarakat menuju pangan yang beragam dan bergizi seimbang.

Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki oleh seluruh wilayah,

masih dapat dikembangkan untuk memenuhi keanekaragaman pangan masyarakat pada

wilayah yang bersangkutan.

2.3. Struktur Pengeluaran Masyarakat

Aspek yang terkait dengan tingkat pendapatan adalah tingat pengeluaran masyarakat,

secara umum diketahui bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi pola dan tingkat

pengeluaran (Nurmanaf, dkk; 2000). Penelitian Sudaryanto, dkk (1999) membuktikan bahwa

tingkat pendapatan mempunyai hubungan negatif dengan porsi pengeluaran pangan.

Semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin rendah porsi pengeluaran

pangan. Menurut Pakpahan, dkk (1993) disebutkan bahwa ada hubungan antara porsi atau

pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga. Pangsa

pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar

Page 22: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

10

pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah ketahanan rumah tangga yang

bersangkutan.

Secara garis besar, kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua

kategori besar, yaitu kebutuhan pangan dan bukan pangan. Dengan demikian pada tingkat

pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi

kebutuhan tersebut. Secara alamiah, kebutuhan pangan akan mencapai titik jenuh

sementara kebutuhan non-pangan termasuk kualitas pangan tidak demikian halnya.

Menurut Badan Pusat Statistik-BPS (2008) data konsumsi dan pengeluaran dapat

digunakan untuk penelitian penerapan hukum ekonomi.

Seperti yang diungkapkan oleh Ernest Engel, dalam Salvatore (2006), yang dikenal

sebagai Hukum Engel bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk

pangan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Oleh karena itu, komposisi

pengeluaran rumahtangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan

ekonomi penduduk, makin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total

pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar

pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan.

Dalam kondisi pendapatan terbatas maka pemenuhan kebutuhan makanan akan

didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah akan

terlihat sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk membeli pangan.

Proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai

indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga

atau masyarakat. Semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, rumah

tangga tersebut semakin rawan pangan (Melgar-Quinonez et al, 2006). Secara lebih detail,

menurut Soekirman (2000), rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan ≥60%

dapat dikategorikan rawan pangan dan sebaliknya, rumah tangga dengan proporsi

pengeluaran pangan <60% dikategorikan tahan pangan.

Menurut hukum Working (dalam Pakpahan, 2012) menyatakan bahwa proporsi

pengeluaran rumah tangga untuk bermacam jenis pengeluaran tidak bervariasi sesuai

dengan tingkat pendapatan, ukuran keluarga dan tabungan. Selanjutnya dikatakan oleh

Pakpahan (2012) bahwa proporsi total pengeluaran rumahtangga untuk pangan cenderung

menurun secara aritmetik sejalan dengan peningkatan pendapatan yang bergerak secara

geometrik. Dalam arti semakin kaya suatu rumah tangga makin kecil proporsi pengeluaran

rumah tangga untuk pangan. Sebagai ilustrasi, proporsi pengeluaran rumah tangga di

Amerika Serikat pada tahun 1996 adalah 9,73%, sedangkan proporsi pengeluaran rumah

tangga di Indonesia pada tahun 1993 sebesar 63,4% menjadi 70,2% pada tahun 1999.

Hardono (2012), pengeluaran pangan menjadi titik masuk (entry point) untuk melihat

aspek pemanfaatan pangan dalam rumah tangga. Melalui proses transformasi, informasi

mengenai pengeluaran pangan akan diubah menjadi informasi konsumsi energi. Oleh

karena itu kecukupan energi akan berkorelasi dengan tingkat pengeluaran pangan. Badan

Pusat Statistik mengelompokkan pengeluaran menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran

untuk pangan dan pengeluaran untuk barang-barang bukan pangan. Pada umumnya

pengetahuan tentang pengeluaran ini digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan

tingkat pendapatan rumah tangga, dikarenakan pengukuran dan pengumpulan data

pendapatan lebih sulit.

Page 23: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

11

Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui

berbagai program yang dilaksanakan setiap tahunnya. Usaha ini membawa hasil yang

ditunjukkan dengan semakin rendahnya pangsa pengeluaran pangan. Secara agregat,

pangsa pengeluaran, sudah dibawah 60%. Namun pembangunan perekonomian,

tampaknya masih belum merata, bias pada masyarakat perkotaan, sehingga kesejahteraan

mereka lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, pembangunan

perekonomian ke depan lebih memprioritaskan pada masyarakat pedesaan, yang

sebenarnya adalah masyarakat petani.

2.4. Pola Konsumsi Pangan Masyarakat

Suatu makanan memenuhi selera atau tidak bukan hanya ditentukan oleh fisik

pangan, akan tetapi karena pengaruh sosial budaya. Faktor penting dalam pemilihan

pangan adalah flavor yang meliputi bau, tekstur, dan suhu. Penampilan yang meliputi warna

dan bentuk juga akan mempengaruhi sikap terhadap pangan. Selain pengaruh reaksi indera

terhadap pemilihan pangan (warna atau bentuk), kesukaan pribadi semakin terpengaruh

oleh pendekatan melalui media radio, televisi, pamflet, iklan dan bentuk media masa lain

(Suhardjo 1989).

Menurut Elizabeth dan Sanjur (1981) yang diacu dalam Suhardjo (1989), ada tiga

faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu karakteristik individu, karakteristik

pangan, dan karakteristik lingkungan. Karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin,

pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi, keterampilan memasak dan kesehatan.

Sementara itu karakteristik pangan seperti rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, bentuk,

bumbu dan kombinasi makanan. Karakteristik lingkungan yang mempengaruhi preferensi

konsumsi panga adalah musim, pekerjaan, mobilitas, perpindahan penduduk dan tingkat

sosial pada masyarakat. Menurut Suryana (tanpa tahun), penganekaragaman konsumsi

pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: (a) faktor yang bersifat internal

(individual), seperti pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya dan religi), serta

pengetahuan gizi, maupun (b) faktor eksternal seperti faktor agro-ekologi, produksi,

ketersediaan dan distribusi, anekaragam pangan, serta promosi/iklan.

Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang

dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu

tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa telaahan terhadap konsumsi pangan dapat ditinjau dari

aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Susunan jenis

pangan yang dapat dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu disebut pola konsumsi pangan

(Martianto 1992). Pola konsumsi pangan adalah jenis dan frekuensi beragam pangan yang

biasa dikonsumsi, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah

ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1996). Sanjur (1982)

menyatakan jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola

konsumsi pangan. Pola konsumsi masyarakat dapat menggambarkan alokasi dan komposisi

atau bentuk konsumsi yang berlaku secara umum pada anggota masyarakat. Konsumsi

dapat diartikan sebagai kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan atau keinginan saat ini guna

meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian, alokasi konsumsi sangat tergantung

pada definisi dan persepsi masyarakat mengenai kebutuhan dan kendala yang mereka

hadapi.

Page 24: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

12

Menurut Hattas (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi, diantaranya:

(a) tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pendapatan dapat digunakan untuk dua tujuan

yaitu konsumsi dan tabungan. Besar kecilnya pendapatan yang diterima seseorang akan

mempengaruhi pola konsumsi. Semakin besar tingkat pendapatan seseorang, biasanya

akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang tinggi, sebaliknya tingkat pendapatan yang

rendah akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang rendah pula; (b) selera konsumen, Setiap

orang memiliki keinginan yang berbeda dan ini akan mempengaruhi pola konsumsi.

Konsumen akan memilih satu jenis barang untuk dikonsumsi dibandingkan jenis barang

lainnya; (c) harga barang, Jika harga suatu barang mengalami kenaikan, maka konsumsi

barang tersebut akan mengalami penurunan. Sebaliknya jika harga suatu barang mengalami

penurunan, maka konsumsi barang tersebut akan mengalami kenaikan; (d) tingkat

pendidikan masyarakat, Tinggi rendahnya pendidikan masyarakat akan mempengaruhi

terhadap perilaku, sikap dan kebutuhan konsumsinya; (e) jumlah keluarga, Besar kecilnya

jumlah keluarga akan mempengaruhi pola konsumsinya dan (f) lingkungan, keadaan

sekeliling dan kebiasaan lingkungan akan mempengaruhi perilaku konsumsi pangan

masyarakat setempat.

2.5. Pola Pangan Harapan (PPH)

FAO-RAPA (1989) mendefinisikan Pola Pangan Harapan (PPH) sebagai “komposisi

kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat

gizi lainnya”. PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi

keseimbangan energi dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi, baik

dalam jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan

pangan, ekonomi, budaya dan agama. Mutu konsumsi pangan penduduk dapat dinilai dari

skor pangan (dietary score)/skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin

beragam dan bergizi seimbang (maksimal 100).

PPH merupakan instrumen sederhana untuk menilai situasi konsumsi pangan

penduduk, baik jumlah maupun komposisi pangan menurut jenis pangan yang dinyatakan

dalam skor PPH. Skor PPH merupakan indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi

pangan sehingga dapat digunakan untuk merencanakan kebutuhan konsumsi pangan pada

tahun-tahun mendatang. PPH dapat digunakan sebagai pedoman dalam evaluasi dan

perencanaan penyediaan, produksi dan konsumsi pangan penduduk, baik secara kuantitas,

kualitas, maupun keragamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi,

budaya, agama dan cita rasa. Dengan demikian, dapat diklasifikasikan kegunaan analisis

PPH sebagai berikut: (a) menilai jumlah dan komposisi konsumsi atau ketersediaan

pangan; (b) indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi atau ketersediaan pangan; (c)

baseline data untuk mengestimasi kebutuhan pangan ideal di suatu wilayah; (d) baseline

data untuk menghitung proyeksi penyediaan pangan ideal untuk suatu wilayah dan (e)

perencanaan konsumsi, kebutuhan dan peyediaan pangan wilayah.

Dalam upaya mengoperasionalkan konsep diversifikasi konsumsi pangan, FAO RAPA

pada tahun 1998 mengadakan pertemuan para ahli pangan dan gizi di Bangkok dengan

merumuskan komposisi pangan yang ideal yang terdiri dari 56 - 68% dari karbohidrat, 10 –

13% dari protein dan 20 – 30% dari lemak. Rumusan ini kemudian diimplementasikan

dalam bentuk energi dalam sembilan kelompok pangan yang dikenal dengan istilah Pola

Pangan Harapan (PPH). Sejak diperkenalkan di Indonesia, konsep PPH ini mendapat

Page 25: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

13

perhatian dari kalangan ilmuwan dan peneliti di bidang pangan dan gizi untuk dapat

diterapkan dengan kondisi Indonesia. Pada tahun 1994, konsep PPH pertama kali yang

diterapkan di Indonesia berdasarkan hasil kesepakatan para ahli di bidang pangan dan gizi

diakomodasi oleh Menteri Negara Pangan pada tahun 1994. Secara detail, persentase

energi dari masing-masing kelompok pangan, pembobotan (bobot) yang digunakan dan skor

dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 2.2. Pada saat itu, total skor hanya

93, dengan alasan, pola konsumsi pangan Indonesia untuk mencapai skor 100 masih

membutuhkan waktu lama baik terkait ketersediaan pangan maupun pola konsumsi

pangannya.

Kritik terhadap PPH muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola

energi (terutama dari pangan hewani dan lemak) antara PPH dengan Pedoman Gizi

Seimbang (PUGS). Pada tahun 2000, Badan Urusan Ketahanan Pangan telah melakukan

diskusi pakar dan lintas sub sektor dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi

PPH dengan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut

Pola Pangan Harapan 2020 (PPH 2020), kemudian diadopsi oleh Kementerian Pertanian

dan menjadi acuan nasional. Hasil keputusan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2 pada

kolom Deptan 2001. Sampai saat ini, acuan tersebut masih digunakan dalam menganalisis

terkait PPH.

Dalam dasar penghitungan skor PPH menggunakan angka kecukupan energi 2000

Kalori per kapita per hari pada tingkat konsumsi, dan 2200 Kalor per kapita per hari pada

tingkat ketersediaan sebagai Angka Kecukupan Energi (AKE) tingkat Nasional berdasarkan

hasil Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 dan IX tahun 2008. Untuk

keperluan perencanaan, AKE tersebut perlu diterjemahkan dalam satuan yang dikenal oleh

perencana kebijakan pengadaan pangan menjadi bahan pangan atau kelompok pangan.

PPH merupakan manifestasi konsep gizi seimbang yang didasarkan pada konsep Triguna

Makanan. Keseimbangan jumlah antar kelompok pangan merupakan syarat terwujudnya

keseimbangan gizi (Triguna Makanan yang Beragam, dan Bergizi Seimbang).

Tabel 2.2. Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg. Pangan 1994, dan Deptan 2001

No Kelompok Pangan

FAO-RAPA Meneg Pangan (1994) Deptan (2001)

Energi (%)

Min-Max Energi

(%) Bobot Skor

Energi (%)

Bobot Skor

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Padi-padian

40 40-60 50 0,5 25 50 0,5 25

2 Umbi-umbian

5 0-8 5 0,5 2.5 6 0,5 2,5

3 Pangan Hewani

20 5-20 15,3 2 30,6 12 2,0 24

4 Minyak dan Lemak

10 5-15 10 1 10 10 0,5 5

Page 26: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

14

5 Buah/Biji Berminyak

3 0-3 3 0,5 1, 3 0,5 1

6 Kacang-kacangan

6 2-10 5 2 10 5 2,0 10

7 Gula 8 2-15 6,7 0,5 3,4 5 0,5 2,5

8 Sayur dan Buah

5 3-8 5 2 10 6 5,0 30

9 Lain-lain 3 0-5 0 0 0 3 0 0

Total 100 100 93 100 100

Sumber : Hardinsyah, N.Sinulingga, D. Martianto (2000)

PPH merupakan susunan pangan yang benar-benar menjadi harapan baik di tingkat

konsumsi maupun ketersediaan, serta dapat digunakan sebagai pedoman perencanaan dan

evaluasi ketersediaan dan konsumsi pangan penduduk. Dalam PPH, pangan

dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan, yaitu kelompok: (a) padi-padian, (b)

umbi-umbian, (c) pangan hewani, (d) minyak dan lemak, (e) buah dan biji berminyak, (f)

kacang-kacangan, (g) gula, (h) sayuran dan buah-buahan, (i) lain-lain. Setiap kelompok

pangan diberi bobot, kriteria dan besarnya bobot dapat dilihat seperti Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional*)

No Kelompok Pangan

% AKG (FAO RAPA)

Pola Pangan Harapan Nasional

Gram Energi (kkal)

% AKG

Bobot Skor PPH

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Padi - padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain – lain

40.0 – 60.0 0.0 – 8.0 5.0 – 20.0 5.0 – 15.0 0.0 – 3.0 2.0 – 10.0 2.0 – 15.0 3.0 – 8.0 0.0 – 5.0

275 100 150 20 10 35 30

250 -

1.000

120 240 200 60

100 100 120

60

50.0

6.0 12.0 10.0 3.0 5.0 5.0 6.0 3.0

0.5 0.5 2.0 0.5 0.5 2.0 0.5 5.0 0.0

25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0

Jumlah 2.000 100.0 - 100.0

Sumber : Harmonisasi PPH Nasional PPKP – BKP dan GMSK – IPB (2002)

Penetapan besaran pembobot/rating seperti pada kolom 7 pada Tabel 2.3. sebagai

berikut: (a) setiap kelompok pangan utama dari tiga kelompok pangan utama berdasarkan

triguna makanan, diberikan skor maksimum yang relatif sama, yaitu 33,3 bagi setiap

kelompok pangan utama (berasal dari 100 dibagi 3); (b) untuk kelompok pangan sumber

Page 27: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

15

karbohidrat dan energi (padi-padian, umbi-umbian, minyak dan lemak, buah/biji berminyak,

dan gula), total kontribusi energi (% AKE) adalah 74%. Bobot untuk kelompok pangan ini

adalah 0,5 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 74); (c) untuk kelompok pangan sumber

protein/lauk-pauk (kacang-kacangan dan pangan hewani) dengan kontribusi energi 17%,

diperoleh rating 2,0 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 17) dan (d) untuk kelompok pangan

sumber vitamin dan mineral (sayur dan buah) dengan kontribusi energi 6%, diperoleh rating

5,0 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 6). Secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Dalam konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai

pembobot yang berbeda tergantung dari peranan pangan dari masing-masing kelompok

terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai contoh pembobot pada

kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya sebesar 0,5 karena pangan tersebut

hanya sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia. Sebaliknya pembobot 2 (dua)

untuk pangan hewani dan kacang-kacangan, yang merupakan sumber protein, berfungsi

sebagai pertumbuhan dan perkembangan manusia. Untuk sayur dan buah-buahan sebagai

sumber mineral dan vitamin, serat dan lain-lain yang diperlukan untuk pertumbuhan,

perkembangan dan kesehatan manusia diberi pembobot 5 (lima). Dengan mengkalikan

proporsi energi dengan masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan

diperoleh skor sebesar 100. Dalam arti diversifikasi konsumsi pangan sesuai dengan PPH

yang sempurna harus mempunyai skor PPH sebesar 100.

Gambar 2.1. Pembobotan pada Kelompok Pangan

Sumber : Badan Ketahanan Pangan (2012)

Tiga Guna Makanan

Sumber Zat Tenaga (KH, lemak)

Sumber Zat Pembangun

(Protein)

1. Pangan hewani 12 %

2. Kacang-kacangan 5 %

33,3 : 17 = 2

Sumber Zat Pengatur

(Vit & Mineral)

Sayur dan Buah 6 %

33,3 : 6 = 5

1. Serealia 50 % 2. Umbi-umbian/ 6 % makanan berpati 3. Minyak & lemak 10 % 4. Biji dan buah 3 % Berminyak 5. Gula 5 % 33,3 : 74 = 0,5

33,3

33,3

33,3

Lain-lain 3 %

Page 28: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

16

2.6. Konsumsi Pangan dari Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS):

Kekuatan dan Kelemahan

Salah satu survei yang dilaksanakan oleh BPS dan sangat dibutuhkan pemerintah

sebagai alat monitoring program pembangunan khususnya di bidang sosial adalah Survei

Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Hampir setiap analisis situasi konsumsi pangan,

pada umumnya menggunakan data hasil SUSENAS tersebut. Data ini tersedia setiap tahun

yang berasal dari SUSENAS Panel. Modul Konsumsi mencakup sebanyak 68.000 rumah

tangga sampel yang tersebar di seluruh wilayah geografis Indonesia. Kekuatan estimasi dari

hasil SUSENAS Panel dapat disajikan baik tingkat nasional maupun pada tingkat provinsi

dibedakan menurut daerah tempat tinggal (perkotaan dan perdesaan). Namun sebelum

tahun 2011, data konsumsi provinsi dalam data SUSENAS modul hanya dapat disajikan

setiap tiga tahun sekali dengan total sampel sekitar 68.000 rumah tangga. Namun sejak

tahun 2011, data SUSENAS disajikan dalam data triwulanan dengan total sampel survei

mencakup 300.000 rumah tangga. Pada data triwulanan SUSENAS BPS dapat diestimasi

hingga level kabupaten/kota (BPS, 2012).

Pengumpulan data dari rumahtangga terpilih dilakukan melalui wawancara tatap muka

antara pencacah dengan responden. Responden adalah kepala rumahtangga, suami/isteri

kepala rumahtangga atau anggota rumah tangga lain yang mengetahui tentang karakteristik

yang ditanyakan. Referensi waktu survei yang digunakan adalah seminggu yang lalu untuk

konsumsi makanan dan sebulan atau tiga bulan yang lalu untuk konsumsi bukan makanan.

Sejak tahun 2007, proses pengolahan data SUSENAS sampai menghasilkan data

mentah sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPS daerah. Hal ini untuk lebih

memaksimalkan kualitas data melalui proses pengecekan data yang lebih dekat ke sumber

utamanya. Proses pengolahan dimulai dengan editing (cek kelengkapan isian, kewajaran,

konsistensi), dilanjutkan dengan proses data entri untuk menghasilkan data mentah. Setelah

terbentuk data mentah, proses pengolahan selanjutnya dilakukan di BPS Pusat. Setelah

data mentah terbentuk, dilakukan pengecekan terhadap data-data pencilan (outlier) antara

lain konsumsi energi dengan membuang rumahtangga yang mempunyai konsumsi energi

per kapita per hari dibawah 1.000 kalori dan di atas 4.500 kalori.

Definisi rumah tangga yang digunakan dalam SUSENAS adalah seorang atau

sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik (pada waktu

sensus) dan umumnya makan bersama dari satu dapur. Makan dari satu dapur adalah

mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Anggota rumah tangga adalah

semua orang yang umumnya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di

rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang

telah bepergian enam bulan atau lebih dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang

dari enam bulan tetapi bertujuan akan pindah/meninggalkan rumah, tidak dianggap sebagai

anggota rumah tangga.

Data konsumsi hasil SUSENAS yang dilaksanakan oleh BPS memiliki kekuatan dan

kelemahan. Beberapa kekuatan SUSENAS adalah sebagai salah satu data konsumsi yang

dapat digunakan untuk penghitungan perencanaan pangan nasional. Hasil SUSENAS

tersedia setiap tahun dapat diakses dan diestimasi untuk wilayah provinsi hingga kabupaten

dan kota. Pencatatan konsumsi pangan dalam SUSENAS mencakup 215 jenis pangan yang

umum dikonsumsi oleh rumahtangga meliputi pangan segar, olahan dan makanan jadi yang

Page 29: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

17

merupakan hasil dari industri pangan, yang tersedia menurut spasial wilayah perdesaan,

perkotaan dan nasional.

Di sisi lain, data konsumsi hasil SUSENAS memiliki beberapa kelemahan. Hasil

SUSENAS merupakan data konsumsi menurut pengeluaran yang diambil dengan cara

wawancara (recall) atau metode mengingat kembali untuk setiap jenis pangan dalam bentuk

kuantitas dan harga pangan baik yang berasal dari pembelian maupun berasal dari produksi

sendiri, dan pemberian kepada rumah tangga sampel. Dengan menggabungkan kuantitas

dan harga pangan dianggap sebagai pengeluaran belanja untuk konsumsi pangan.

Kelemahan metode ini adalah: (a) mengandalkan pada ingatan responden. Jumlah

jenis pangan dan bukan pangan sangat banyak dan referensi yang ditanyakan juga relatif

panjang yaitu satu minggu yang lalu; (b) data konsumsi hasil wawancara tersebut tidak

dikoreksi dengan kuantifikasi berat pangan yang dikonsumsi namun dengan pendekatan

pengeluaran untuk konsumsi pangan, sehingga secara tidak langsung recall data konsumsi

pangan hasil SUSENAS dapat dikatakan bukan merupakan ”intake konsumsi”; (c) data

konsumsi dalam SUSENAS sering dikatakan ”underestimate” yaitu bahwa beberapa jenis

pangan yang sudah banyak dikonsumsi masyarakat namun tidak tercatat dalam SUSENAS

dan adanya konsumsi makanan jadi serta makanan di luar rumah tangga yang belum

tergambar dalam data SUSENAS. Sehingga dibutuhkan suatu koreksi terhadap data

konsumsi pangan untuk mengetahui kebutuhan konsumsi nasional. Sesuai dengan tujuan

SUSENAS yaitu untuk mengetahui gambaran sosial ekonomi dan tingkat kesejahteraan

penduduk, maka dalam pengambilan sampel SUSENAS belum sepenuhnya sesuai dengan

tujuan survei konsumsi pangan dengan tujuan pemenuhan gizi karena sampel rumah tangga

yang disurvei berdasarkan blok sensus belum tentu dapat menggambarkan konsumsi

menurut kelompok umur sesuai dengan pengelompokkan kecukupan gizi.

Page 30: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

18

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Sumber dan Jenis Data

Data utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah SUSENAS berbagai tahun,

mulai dari tahun 1996,1999, 2002, 2005, 2008 dan 2011 yang dipublikasikan oleh BPS,

bukan diolah dari data mentah. Data ini digunakan untuk mengetahui perkembangan

pengeluaran pangan, konsumsi energi dan protein, kualitas konsumsi pangan menurut PPH

dan tingkat konsumsi beberapa pangan (beras, terigu, ubi kayu, ubi jalar, sagu, umbi

lainnya, sayuran, buah-buahan, daging sapi, daging ayam, telur, susu, kedelai, gula pasir

dan minyak goreng). Untuk tujuan proyeksi konsumsi pangan berdasarkan kelompok

pengeluaran, data dasar yang digunakan adalah SUSENAS tahun 2006, 2007, 2008, 2009,

2010 dan 2011. Data tahun tersebut digunakan karena jumlah kelompok pangan pada

beberapa tahun SUSENAS tersebut sama yaitu ada delapan kelompok pengeluaran.

Kategori dan pengelompokan pengeluaran pangan dan bukan pangan mengikuti

kategori/pengelompokan yang dilakukan oleh BPS. Terdapat 215 komoditas pangan yang

termasuk dalam pengeluaran yang selanjutnya dikelompokkan menjadi 14 kelompok,

sedangkan pada bukan pangan terdapat 109 item yang dikelompokkan menjadi 6 kelompok.

Pada kelompok pangan terdiri dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur

dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman,

bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, minuman yang

mengandung alkohol, serta tembakau dan sirih. Secara lengkap, jenis pangan dari setiap

kelompok pangan disajikan pada Tabel 3.1. Sementara itu, kelompok bukan pangan

mencakup perumahan dan fasilitas rumah tangga; barang dan jasa; pakaian, alas kaki dan

tutup kepala; barang-barang tahan lama; pajak dan asuransi; serta keperluan pesta dan

upacara.

Jumlah pengelompokan untuk tahun SUSENAS yang dianalisis tidak sama yaitu untuk

SUSENAS tahun 1999 terdapat 10 kelompok pengeluaran, sedangkan SUSENAS tahun

1999 dan 2002 terdapat sembilan kelompok pengeluaran. Sejak tahun 2005, data

SUSENAS dikelompokkan menjadi delapan kelompok pengeluaran. Gambaran

perkembangan perubahan jumlah dan besaran dari masing-masing kelompok pangan

disajikan pada Tabel 3.2.

Page 31: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

19

Tabel 3.1. Jenis Pangan Menurut Kelompok Pangan

No. Kelompok Pangan Jenis Pangan

1 Padi padian Beras, beras ketan, jagung basah dengan kulit, jagung

pipilan, tepung jagung, tepung terigu, lainnya.

2 Umbi – umbian Ketela pohon, ketela rambat, sagu, talas, kentang

gaplek, tepung gaplek, tepung ketela pohon, laiinya

3 Ikan

Ikan segar Ekor kuning, tongkol tuna, tenggiri, selar, kembung,

bandeng, gabus, mujair, mas, lele, kakap, baronang,

lainnya.

Udang dan hewan

air lainnya yg segar

Udang, cumi, ketam, kerang, lainnya

Ikan di awetkan Kembung, Tenggiri, tongkol, teri, selar, sepat,

bandeng, gabus, ikan dalam kaleng, lainnya

Udang dan hewan

air lainnya yg

diawetkan

Udang, cumi, lainnya

4 Daging

Daging segar Daging sapi, daging kerbau, daging kambing, daging

babi, daging ayam ras, daging ayam kampong, daging

unggas lainnya, daging lainnya

Daging diawetkan Dendeng, abon, daging dalam kaleng, lainnya.

Lainnya Hati, jeroan, tetelan, tulang, lainnya

5 Telur dan susu Telur ayam ras, telur ayam kampong, telur itik, telur

puyuh, telur lainnya, telur asin, susu murni, susu cair

pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk

bayi, hasil lain dari susu.

6 Sayuran Bayam, kangkung, kol, sawi putih, sawi hijau, buncis,

kacang panjang, tomat sayur, wortel, mentimun, daun

ketela pohon, terong, touge, labu, jagung muda kecil ,

sayur sup, sayur asam, nangka muda, papaya muda,

jamur, petai, jengkol, bawang merah, bawang putih,

cabe merah, cabe hijau, cabe rawit, sayur dalam

kaleng, lainnya.

7 Kacang - kacangan Kacang tanah tanpa kulit, kacang tanah dengan kulit,

kacang kedele, kacang hijau, kacang mede, kacang

lainnya, tahu, tempe, tauco, oncom, lainnya.

8 Buah buahan Jeruk, mangga, apel, alpokat, rambutan, duku, durian,

salak, nanas, pisang ambon, pisang lainnya, papaya,

jambu, sawo, belimbing, kedondong, semangka,

melon, nangka, tomat buah, buah dalam kaleng,

lainnya.

9 Minyak dan lemak Minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng lainnya,

kelapa, margarine, lainnya.

10 Bahan minuman Gula pasir, gula merah, the, kopi bubuk biji, coklat

instan, coklat buuk, sirup, lainnya.

Page 32: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

20

11 Bumbu-bumbuan Garam, kemiri, ketumbar, merica, asam, biji pala,

cengkeh, terasi, kecap, penyedap rasa, sambal jadi,

bumbum masak jadi, bumbu dapur lainnya

12 Konsumsi lainnya Mie instan, mie basah, bihun, macaroni, kerupuk

emping bahan agar- agar, bubur bayi kemasan,

lainnya

13 Makanan dan

minuman jadi

Roti tawar, roti manis, kue kering, kue basah,

makanan gorengan, bubur kacang hijau, gado – gado,

nasi campur, nasi goreng, nasi putih, lontong,

soto/gule/sop/rawon/cincang,

mie(bakso/rebus/goreng), mie instan, makanan ringan

anak – anak, ikan (goreng, bakar, dan sebagainya)

ayam/dagig (goreng, bakar, dan sebgainya), makanan

jadi lainnya

Minuman non alkohol , air kemasan, air kemasan gallon, air teh kemasan,

sari buah kemasan, minuman ringan mengandung

CO2(soda), minuman kesehatan/ minuman berenergi,

minuman lainnya, es krim, es lainnya.

Minuman yang

mengandung

alkohol

Bir, anggur, minuman keras lainnya

14 Tembakau dan sirih Rokok kretek filter, rokok kretek tanpa filter, rokok

putih, tembakau, sirih, lainnya

Pengeluaran rata-rata per kapita didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk

konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya anggota

rumah tangga. Sementara itu, konsumsi pangan rumah tangga hanya benar-benar berupa

pengeluaran untuk memenuhi konsumsi rumah tangga saja, tidak termasuk

konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan kepada pihak lain. Angka

konsumsi/pengeluaran rata-rata per kapita diperoleh dari hasil bagi jumlah konsumsi seluruh

rumah tangga baik yang mengkonsumsi makanan maupun yang tidak terhadap jumlah

penduduk.

Tabel 3.2. Jumlah dan Besaran Kelompok Pengeluaran SUSENAS

Tahun 1996,1999, 2002, 2005, 2008 dan 2011

No. Kelompok Pengeluaran pada SUSENAS 1996

(Rp/kap/bulan)

Kelompok Pengeluaran pada SUSENAS 1999,

2002 (Rp/kap/bulan)

Kelompok Pengeluaran pada SUSENAS 2005,

2008, 2011 (Rp/kap/bulan)

1 <15,000 < 40,000 <100,000

2 15,000 – 19,999 40,000 – 59,999 100,000 – 1499,999

3 20,000 – 29,999 60,000 – 79,999 150,000 – 199,999

4 30,000 – 39,999 80,000 – 99,999 200,000 – 299,999

5 40,000 – 59,999 100,000 – 149,999 300,000 – 499,999

6 60,000 – 79,999 150,000 – 199,999 500,000 – 749,999

7 80,000 – 99,999 200,000 – 299,999 750,000 – 999,999

8 100,000 – 149,999 300,000 – 499,999 >/ 1000,000

Page 33: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

21

9 150,000 – 199,999 >/ 500,000

10 200,000 – 299,999

11 >/ 300,000 Sumber : BPS (berbagai tahun)

Dalam perhitungan tingkat konsumsi beberapa pangan, telah dilakukan

pengelompokkan dari jenis pangan yang bahan bakunya sama seperti pada Tabel 3.3. Hal

ini dilakukan agar data tingkat konsumsi pangan yang dianalisis secara komprehensif

mencerminkan data konsumsi pangan, terutama bila dikaitkan dengan perencanaan

kebutuhan pangan. Sebagai gambaran, untuk menghitung tingkat konsumsi beras, beras

yang dianalisis mencakup beras, beras ketan, tepung beras dan bihun yang bahan bakunya

dari beras. Perhitungan bihun ke dalam bentuk beras sudah memasukkan konversi bihun ke

beras. Demikian pula untuk komoditas lainnya, juga memperhitungkan faktor konversi dari

bahan setengah jadi/jadi ke bahan bakunya.

Namun demikian, dari data SUSENAS ini masih banyak item yang tidak dapat

dilakukan penghitungan terutama makanan yang termasuk dalam kelompok

makanan/minuman jadi. Hal ini dikarenakan adanya kesulitan dalam menghitung konversi

dari bentuk makanan jadi ke dalam bentuk jenis pangan tertentu. Sebagai contoh, dalam

makanan/minuman jadi terdapat pengeluaran pangan berupa nasi rames. Untuk

mendapatkan beras yang dikonsumsi dari nasi rames tersebut harus diketahui berapa

jumlah nasi yang dikonsumsi dan berapa konversi dari nasi rames ke beras.

Tabel 3.3. Pengelompokan Beberapa Jenis Pangan

Jenis Pangan Jenis Pangan dalam SUSENAS

Beras Beras, beras ketan, tepung beras, bihun

Terigu Tepung terigu, mi instan, macaroni, mi basah

Ubi kayu Ubikayu, gaplek, tepung gaplek, tapioka

Ubi jalar ubijalar

Sagu Sagu

Umbi lainnya Talas, kentang, lainnya

Daging sapi Daging sapi

Daging ayam Daging ayam ras, daging ayam kampung

Telur Telur ayam ras, telur ayam kampong, telur itik, telur asin

Susu Susu murni, susu cair pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk bayi

Sayuran Semua jenis sayur (27 jenis) kecuali sayur sop, sayur asam/lodeh

Buah-buahan Semua jenis buah-buahan (23 jenis)

Kedelai Kedelai, tahu, tempe

Gula pasir Gula pasir

Minyak goreng Minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng lainnya Sumber : SUSENAS (berbagai tahun)

3.2. Analisis Data

Data dianalisis dalam bentuk agregat nasional (kota+desa), wilayah (kota/desa) dan

kelompok pengeluaran pangan. Untuk menghitung besaran konsumsi zat gizi (energi dan

Page 34: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

22

protein), data konsumsi pangan dikonversi ke dalam zat gizi. Angka konversi zat gizi yang

digunakan oleh BPS mengacu pada daftar komposisi bahan makanan, daftar komposisi zat

gizi pangan Indonesia dan daftar kandungan gizi bahan makanan.

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabel-tabel

dan grafik. Untuk menghitung kualitas konsumsi pangan dilakukan berdasarkan konsep

PPH . Proyeksi permintaan konsumsi pangan tahun 2020 dilakukan untuk beberapa jenis

pangan terutama dikaitkan dengan komoditas strategis pemerintah, yaitu beras, terigu dan

turunannya, kedelai, gula pasir, minyak goreng, daging sapi, daging ayam dan telur.

Proyeksi permintaan pangan disajikan secara agregat nasional dan menurut kelompok

pengeluaran pangan. Dalam menentukan proporsi penduduk tahun 2020 selain

memperhatikan laju pertumbuhan penduduk juga laju pertumbuhan ekonomi. Analisis

proyeksi permintaan pangan dilakukan secara sederhana yaitu mengikuti analisis tren.

Page 35: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

23

BAB IV

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: MEMBAIK ATAU MENURUN

4.1. Pengeluaran Pangan Agregat

Pemerintah melalui program-programnya terus berupaya untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat Indonesia. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk

mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat dengan melihat nilai pangsa pengeluaran

pangan terhadap total pengeluaran. Semakin rendah pangsa pengeluaran pangan,

masyarakat akan semakin sejahtera. Krisis ekonomi tahun 1998 mengakibatkan terjadinya

penurunan kesejahteraan masyarakat (Gambar 1). Namun, perkembangan kesejahteraan

masyarakat terus membaik selama periode 1999-2011, walaupun dalam periode tersebut

terjadi krisis keuangan dan moneter di Amerika dan Eropa dan kenaikan Bahan Bakar

Minyak (BBM). Proporsi pengeluaran pangan pada tahun 2011 sebesar 48,5% lebih rendah

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Hal ini menunjukkan bahwa pondasi ekonomi Indonesia relatif kuat dan stabil, tidak

terkena dampak signifikan adanya krisis tersebut. Hasil analisis Bank Indonesia (2012),

perekonomian Indonesia tahun 2011 menunjukkan daya tahan yang kuat di tengah

meningkatnya ketidakpastian ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5%, angka

tertinggi dalam 10 tahun terakhir disertai dengan inflasi yang rendah (3,79%).

Kecenderungan adalah beda saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998. Pada waktu

tersebut terutama pada tahun 1997, terjadi kemarau panjang, serangan wereng dan

belalang, harga pupuk dan pestisida naik, krisis moneter dan ekonomi, stabilitas politk

terganggu (instabilitas politik). Kemudian pada tahun berikutnya (1998) terjadi krisis pangan

yang mengakibatkan harga pangan meningkat tajam, pemutusan hubungan kerja sehingga

jumlah pengangguran juga meningkat. Pada kondisi ini, pemerintah melaksanakan program

jangka pendek untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga, salah satunya melalui

program beras untuk rakyat miskin (raskin).

Filosofi kebijakan raskin seperti disampaikan oleh Setiana (2012), Deputi Menko Kesra

Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat sebagai berikut : (a) Raskin

sebagai food security program, (b) Sebagai bagian dari social security, (c) Terpenuhi

kebutuhan beras (pangan), dapat mencegah terjadinya krisis dalam pemenuhan kebutuhan

pangan pokok, dan (d) Sebagai bentuk in kind transfer yg efektif, langsung dapat

memecahkan masalah pangan pada rumahtangga miskin (RTM). Tujuan program raskin

adalah untuk meningkatkan akses RTM dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok (salah

satu hak dasar) dan mengurangi sebagian beban pengeluaran RTM serta membantu

pemenuhan kebutuhan pangan RTM (39,7%). Peranan dan efek dari program raskin

diharapkan sebagai berikut : (a) Memperkuat ketahanan pangan, (b) Pasar bagi petani padi,

(c) Mendukung berjalannya usaha tani dan sektor lainnya, (d) Menggerakkan perekonomian

daerah, (e) Stabilisasi harga yang cukup efektif, (f) Meningkatkan daya beli RTM dalam

rangka meningkatkan Ketahanan Pangan dan kesejahteraan keluarga, serta (g) RTM yang

memperoleh program raskin dapat menghemat pendapatan yang terbatas.

Proses pemulihan kesejahteraan masyarakat, berdasarkan data Gambar 4.1 terjadi

pada tahun 2002. Namun untuk mencapai kesejahteraan seperti kondisi sebelum terjadinya

krisis ekonomi memerlukan waktu yang lama. dengan memperhatikan kondisi sebelum krisis

Page 36: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

24

(1996). Tingkat kesejahteraan masyarakat mulai membaik terjadi pada tahun 2005.

Pemulihan kondisi krisis ekonomi memerlukan waktu sekitar lima tahunnya, seperti

ditunjukkan dengan perubahan pangsa pengeluaran pangan dari 55,3% tahun 1996 dan

53,9% pada tahun 2005.

Sumber : SUSENAS (berbagai tahun)

Tingkat kesejahteraan masyarakat kota adalah berbeda dengan masyarakat

pedesaan. Kesejahteraan masyarakat kota lebih baik daripada masyarakat desa. Ini

menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi secara luas yang bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih bias pada masyarakat perkotaan. Kondisi

ini dapat dilihat sebagai kasus di provinsi DKI.Jakarta. Provinsi ini sebagai pusat

pemerintahan bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai pusat bisnis. Dampaknya adalah

bangunan berbagai infrastruktur sangat memadai, lapangan kerja sangat terbuka dan

mendorong terjadinya urbanisasi.

Pada tahun 2011, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta mencapai

6,6%, lebih tinggi dibandingkan PDB nasional, yang hanya mencapai 6,5%. Dengan

demikian, DKI Jakarta sebagai penyumbang PDRB yaitu 16,5%, kemudian diikuti oleh

provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, masing-masing 14,7% dan 14,3%. Pangsa

pengeluaran pangan untuk DKI Jakarta juga paling kecil yaitu 36,69% pada tahun 2011.

Tidak dipungkiri, dengan semakin baiknya sarana dan prasarana antar wilayah, semakin

sulit membedakan wilayah kota dan desa.

Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan reorientasi program dengan

memprioritaskan pada masyarakat pedesaan, yang pada umumnya adalah masyarakat

petani. Reorientasi program mencakup peningkatan sarana dan prasarana dan

pengembangan pusat bisnis di pedesaan. Dengan demikian diharapkan akan mampu

mengerem laju urbanisasi dan mengurangi penduduk miskin, sekaligus upaya untuk

meningkatkan pemeratan pendapatan. Data pada Statistik Indonesia (2012) menunjukkan

Indeks Kedalaman Kemiskinan (IKdK) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (IKpK) di desa

masih lebih tinggi daripada di perkotaan, walaupun dari tahun ke tahun menunjukkan

penurunan. IKdK merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing

penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-

Page 37: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

25

rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. IKdK memberikan gambaran mengenai

penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin

tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

Dalam statistik tersebut, IKdK pada bulan Maret tahun 2012 sebesar 2,36 lebih kecil

dibandingkan bulan September 2011 (2,61) dan bulan Maret 2011 (2,80). Pada waktu yang

sama indeks kedalaman kemiskinan untuk perkotaan sebagai berikut: 1,40 pada bulan

Maret 2012; 1,48 pada bulan September dan 1,52 pada bulan Maret 2011. Sementara itu,

IKpK di desa pada bulan Maret 2012 sebesar 0,59 sedangkan untuk di perkotaan sebesar

0,36. Karakteristik rumah tangga miskin dicirikan oleh jumlah anggota rumah tangga lebih

banyak, tingkat pendidikan kepala rumahtangga relatif rendah, tidak tamat SD atau sampai

SD serta sebagian besar bekerja di sektor pertanian (Statistik Indonesia, 2012).

Menurut Sharp et al. (2000), penyebab kemiskinan bersumber dari rendahnya

kualitas angkatan kerja. Salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah karena

rendahnya kualitas angkatan kerja. Kualitas angkatan kerja ini bisa dilihat dari angka buta

huruf. Sebagai contoh Amerika Serikat hanya mempunyai angka buta huruf sebesar 1%,

dibandingkan dengan Ethiopia yang mempunyai angka diatas 50%; Akses yang sulit

terhadap kepemilikan modal. Kepemilikan modal yang sedikit serta rasio antara modal dan

tenaga kerja (capital-to-labor ratio) menghasilkan produktivitas yang rendah yang pada

akhirnya menjadi faktor penyebab kemiskinan; Rendahnya tingkat penguasaan teknologi.

Negara-negara dengan penguasaan teknologi yang rendah mempunyai tingkat produktivitas

yang rendah pula. Tingkat produktivitas yang rendah menyebabkan terjadinya

pengangguran. Hal ini disebabkan oleh kegagalan dalam mengadaptasi teknik produksi

yang lebih modern. Ukuran tingkat penguasaan teknologi yang rendah salah satunya bisa

dilihat dari penggunaaan alat-alat produksi yang masih bersifat tradisional; penggunaan

sumber daya yang tidak efisien. Negara miskin sumber daya yang tersedia tidak

dipergunakan secara penuh dan efisien. Pada tingkat rumah tangga penggunaan sumber

daya biasanya masih bersifat tradisional yang menyebabkan terjadinya inefisiensi;

pertumbuhan penduduk yang tinggi. Menurut teori Malthus jumlah penduduk berkembang

sesuai deret ukur sedangkan produksi bahan pangan berkembang sesuai deret hitung. Hal

ini mengakibatkan kelebihan penduduk dan kekurangan bahan pangan. Kekurangan bahan

pangan merupakan salah satu indikasi terjadinya kemiskinan.

Sementara itu, berdasarkan kelompok pengeluaran terdapat pola semakin tinggi

kelompok pengeluaran (sebagai proksi tingkat pendapatan masyarakat), proporsi

pengeluaran pangan semakin rendah (Tabel 4.1.). Hal ini juga berarti semakin tinggi

pendapatan, seseorang akan merubah pola konsumsi pangan, yang semula berusaha untuk

memenuhi kebutuhan pangan (kebutuhan dasar). Kemudian setelah kebutuhan pangan

terpenuhi, seseorang akan berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan bukan pangan

seperti pakaian, kesehatan, pendidikan dan lainnya. Seperti dalam teori Maslow yang sudah

dikenal oleh banyak orang bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai

dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).

Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki

lima macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis) seperti makan,

safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs

Page 38: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

26

(kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan

harga diri), dan self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri).

Tabel 4.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%)

Kelompok

Pengeluaran 1996 1999 2002 2005 2008 2011

Laju perub.

2005-2011 (%)

I 75,0 76,9 78,8 73,8 69,9 76,3 1,7

II 73,6 76,3 72,0 70,9 68,1 67,2 (2,7)

III 71,0 74,5 73,1 69,4 68,5 64,3 (3,8)

IV 69,1 72,7 71,8 67,1 63,7 65,4 (1,3)

V 66,1 69,4 69,5 64,0 55,2 59,1 (4,1)

VI 61,4 64,4 66,3 59,6 46,6 53,6 (5,6)

VII 57,1 57,2 61,2 51,8 40,3 48,8 (3,2)

VIII 51,3 48,3 53,3 35,6 27,0 33,8 (2,8)

IX 45,0 33,1 36,4 - - - -

X 37,6 - - - - - -

Keterangan : I = Kel. Pengeluaran terendah, X = Kel. Pengeluaran tertinggi

( ) = penurunan/negatif

Kaitan pendapatan dengan pangsa konsumsi pangan juga dapat dijelaskan dengan

hukum Engel. Menurut hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan,

konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin

mengecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan

semakin meningkat (Soekirman, 2000).

4.2. Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pangan

Selain dalam bentuk agregat, pengeluaran pangan juga disajikan menurut kelompok

pengeluaran seperti yang ada dalam SUSENAS. Pangsa pengeluaran untuk makanan

dan minuman jadi baik di kota maupun di desa adalah yang terbesar pada tahun-tahun

terakhir (Gambar 4.2, 4.3 dan 4.4). Pada tahun 1999, pengeluaran untuk kelompok padi-

padian (beras, jagung terigu) paling besar, namun sejak tahun 2002, menunjukkan

kebalikannya. Pangsa pengeluaran untuk makanan/minuman jadi justru lebih tinggi

dibandingkan dengan kelompok padi-padian. Sementara itu, pengeluaran untuk pangan

sumber protein dan vitamin/mineral masih sangat rendah dibandingkan dengan pengeluaran

untuk makanan/minuman jadi. Sebagai gambaran, pada tahun 2011, pengeluaran untuk

buah-buahan hanya 4,3% dan untuk sayuran sebesar 7,7%. Sementara itu, untuk

makanan/minuman jadi dan kelompok padi-padian masing-masing mencapai 24,4% dan

17,3%. Perubahan ini terutama signifikan terjadi pada masyarakat perkotaan, tidak pada

masyarakat pedesaan. Kecenderungan ini dimungkinkan dengan adanya perubahan gaya

hidup yang berdampak pada perubahan gaya makan. Hal ini tentu terkait dengan partisipasi

perempuan dalam lapangan kerja dan maraknya usaha UKM yang menyediakan berbagai

jenis makanan/minuman dengan harga yang bervariasi.

BPS (2007) menyebutkan bahwa peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan

selama Februari 2006-Februari 2007 mencapai 2,12 juta orang, yang dominan bekerja di

Page 39: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

27

sektor pertanian dan perdagangan. Pada waktu yang sama, peningkatan partisipasi untuk

laki-laki hanya 287.000. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga mendorong ibu

rumah tangga untuk ikut bekerja membantu suami. Dampaknya, akan mengakibatkan

berkurangnya waktu yang tersedia untuk menyiapkan kebutuhan keluarga. Banyaknya

wanita yang bekerja, mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga sehari-

hari diperoleh melalui pembelian dari restoran atau warung makan. Wanita sebagai ibu

rumah tangga dan juga berprofesi sebagai pekerja di luar rumah akan mencari pramuwisma

untuk membantu menyiapkan makanan bagi keluarganya. Namun dengan sulitnya mencari

pramuwisma menyebabkan makanan siap saji menjadi menu utama sehari-hari di rumah.

Selain itu, juga tingginya aktivitas masyarakat (laki-laki dan perempuan) yang didorong

oleh semakin tingginya kebutuhan masyarakat ini menyebabkan pola konsumsi pangan

masyarakat berubah. Perubahan pola atau gaya hidup, juga menjadi faktor pemicu

terjadinya perubahan pola konsumsi. Misalnya, orang zaman sekarang semakin sibuk

dengan jam kerja lebih panjang, mendorong mereka untuk memilih makanan yang

penyajiannya lebih praktis tapi tetap beragam. Banyak masyarakat mengkonsumsi makanan

siap saji terutama pada saat mereka bekerja di luar rumah. Sehingga semakin banyak pula

restoran, warteg yang menjual aneka makanan cepat saji dalam berbagai bentuk, ukuran

dan tingkatan harga. Menurut Kementerian Koperasi dan UKM (2012), jumlah Usaha Kecil

Menengah (UKM) di bidang pangan di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada

tahun 2012, jumlah UKM bidang pangan berjumlah sekitar 12 juta unit.

Pertanyaan menarik adalah siapa saja yang mengkonsumsi makanan/minuman jadi?

dan jenis makanan/minuman jadi apa saja yang banyak dikonsumsi? Pertanyaan ini sangat

relevan dikaitkan dengan antisipasi perubahan pola makan ke depan dengan karakteristik

penduduk seperti pendapatan, gaya hidup, pendidikan dan juga dikaitkan dengan aspek

kesehatan. Namun dalam kajian ini data yang dianalisis berupa data yang sudah dipublikasi

oleh BPS, sehingga analisis disesuaikan dengan data yang tersaji dalam publikasi tersebut.

Kalaupun analisis berdasarkan data mentah SUSENAS, karakteristik demografi yang dapat

dikaitkan dengan siapa yang mengkonsumsi makanan/minuman jadi terbatas pada

pendidikan kepala keluarga dan istri; pekerjaan utama kepala keluarga, apakah di sektor

pertanian, perdagangan, industri, jasa atau jenis pekerjaan lainnya; dan jumlah anggota

rumah tangga.

Page 40: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

28

Sumber : SUSENAS (berbagai tahun)

Fenomena tingginya pangsa pengeluaran makanan/minuman jadi tentu dapat

berdampak positif atau negatif pada pola konsumsi makanan dan kesehatan rumahtangga

tergantung pada pengetahuan pangan dan gizi terutama para istri sebagai ibu rumah

tangga. Dengan mengkonsumsi makanan siap saji akan berdampak positif bagi kesehatan

anggota rumahtangga, asal dalam pemilihan jenis makanan tetap memperhatikan pola

makanan sehat dan tidak secara keseluruhan dan terus menerus menyajikan makanan yang

berasal dari makanan siap saji. Penyediaan makanan rumah tangga melalui makanan siap

saji jelas akan menghemat waktu, praktis, mudah dalam persiapan dan mudah

diperolehnya. Namun dari sisi negatif, terutama dikaitkan dengan adanya bahan makanan

tambahan yang berbahaya, faktor kebersihan makanan dan penggunaan bahan lainnya

yang kurang higienis, seperti menggoreng makanan dengan menggunakan minyak goreng

yang sudah kotor (coklat tua). Kesemuanya ini berdampak pada kemungkinan terjadinya

keracunan makanan.

WHO dan FAO menyatakan ancaman potensial dari residu bahan makanan terhadap

kesehatan manusia dibagi dalam tiga kategori yaitu: (a) aspek toksikologis, residu bahan

makanan yang dapat bersifat racun terhadap organ-organ tubuh, (b) aspek mikrobiologis,

mikroba dalam bahan makanan yang dapat mengganggu keseimbangan mikroba dalam

saluran pencernaan, (c) aspek imunopatologis, keberadaan residu yang dapat menurunkan

kekebalan tubuh. Dampak negatif zat aditif terhadap kesehatan dapat secara langsung

maupun tidak langsung, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dari kelompok padi-padian, pengeluaran yang utama adalah untuk pembelian beras

(Tabel 4.2), walaupun dari tahun ke tahun, pengeluaran untuk beras semakin turun dan

berubah ke pangan lain seperti makanan/minuman jadi. Hal ini juga menunjukkan beras

mempumuai peran yang kuat sebagai makanan pokok masyarakat. Telah terjadi perubahan

pola pangan pokok, dari pangan lokal ke pangan nasional seperti beras dan ke pangan

internasional seperti terigu. Sehingga masyarakat yang semula mengkonsumsi

beranekaragam pangan lokal seperti di provinsi Papua yang mempunyai pola pangan pokok

Page 41: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

29

berupa ubi jalar, sagu, pisang dan lainnya, sudah mengarah ke beras. Inilah yang

mengakibatkan pengeluaran beras masih dominan dibandingkan pangan pokok lainnya

termasuk dalam kelompok umbi-umbian.

Pada kelompok pangan sumber protein hewani, yang dominan adalah pengeluaran

daging ayam dan telur. Pengeluaran daging sapi paling kecil dibandingkan jenis pangan

hewani lainnya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat melakukan subsitusi dalam pola

konsumsi pangan hewani, bahkan juga dengan protein nabati. Dengan demikian, kasus

peningkatan harga daging sapi beberapa bulan ini, sebetulnya diduga tidak akan berdampak

signifikan pada penurunan konsumsi pangan sumber protein hewani.

Tabel 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Jenis Pangan Menurut Wilayah (%)

Tahun/Wilayah

Padi-

padian Pangan Hewani

Beras Daging sapi Daging

ayam Telur Susu

Kota

1996 17,4 2,3 4,0 3,3 3,5

1999 20,9 1,4 2,6 3,3 2,7

2002 16,0 1,6 3,6 3,4 3,5

2005 12,1 1,3 3,4 3,0 4,3

2008 12,3 0,8 2,7 4,1 3,5

2011 13,8 1,2 3,2 2,6 4,4

Laju perub. (%) (10,0) 3,9 (3,4) (1,3) 6,0

Desa

1996 26,6 0,7 2,7 3,0 1,3

1999 30,7 0,6 1,5 2,7 0,9

2002 26,0 0,6 2,2 3,1 1,3

2005 20,5 0,5 2,5 3,1 1,8

2008 19,8 0,3 2,1 3,0 1,7

2011 20,9 0,6 2,6 2,61 2,1

Laju perub. (%) 7,9 (7,8) 2,0 1,1 13,0

Kota+desa

1996 22,5 1,4 3,3 3,1 2,3

1999 26,2 0,9 2,0 2,9 1,8

2002 20,7 1,1 2,9 3,2 2,5

2005 16,0 0,9 3,0 3,0 3,1

2008 15,6 0,6 2,4 3,6 3,9

2011 16,9 0,9 2,9 2,6 3,4

Laju perub.(%) (9,4) (10,6) (0,7) (0,6) 12,5

Sumber : SUSENAS Berbagai Tahun (diolah)

Keterangan : ( ) = penurunan/negatif

Sementara itu, bila dilihat menurut kelompok pendapatan menunjukkan bahwa

semakin tinggi kelompok pengeluaran, maka pengeluaran untuk kelompok padi-padian dan

Page 42: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

30

umbi-umbian semakin turun (Tabel 4.3). Sebaliknya konsumsi pangan asal ternak

(daging/telur/susu), ikan dan makanan/minuman jadi semakin tinggi. Hal ini menunjukkan

bahwa dengan peningkatan pendapatan masyarakat, akan terjadi perubahan pola konsumsi

pangan dari makanan sumber karbohidrat ke pangan yang mempunyai kualitas lebih tinggi

seperti protein hewani, vitamin dan mineral. Perubahan pola pengeluaran tersebut dapat

dijelaskan oleh Bennet, yang dikenal dengan hukum Bennet yang menganalisis hubungan

pendapatan dengan kualitas konsumsi pangan. Bennet menemukan bahwa peningkatan

pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi

pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit gizinya. Pada tingkat

pendapatan rendah, permintaan terhadap pangan diutamakan pada pangan yang padat

energi yang berasal dari karbohidrat. Apabila pendapatan meningkat, pola konsumsi pangan

akan makin beragam dan umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih

bernilai gizi tinggi (Soekirman, 2000).

Tabel 4.3. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan Menurut

Kelompok Pengeluaran (%), 2011

Kelompok pangan I II III IV V VI VII VIII

Padi-padian 42,7 39,8 35,4 27,4 21,4 16,6 12,9 9,0

Umbi-umbian 4,6 4,4 2,5 1,5 1,1 0,9 0,8 0,6

Pangan asal ternak 2,5 2,8 4,6 6,0 8,2 10,5 12,4 14,5

Kelompok ikan 6,3 6,8 7,0 8,2 8,9 9,1 9,0 7,8

Sayuran 8,7 10,4 9,8 9,5 8,8 7,9 7,1 5,5

Buah-buahan 2,2 1,9 2,2 2,8 3,4 4,2 4,9 5,9

Makanan/

minuman jadi 10,9 8,1 11,3 15,5 19,3 22,8 26,9 35,7

Sumber : SUSENAS Tahun 2011 (diolah) Keterangan : I = Kel. Pengeluaran terendah, X = Kel.Pengeluaran tertinggi

Page 43: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

31

BAB V

KUANTITAS KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT:ENERGI DAN PROTEIN

5.1. Konsumsi Masyarakat dari Sisi Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein

Pada dasarnya konsumsi makanan masyarakat sehari-hari memadai jika memenuhi

dua kecukupan yaitu kecukupan energi dan protein. Kebutuhan energi umumnya diperoleh

dari konsumsi makanan pokok sebagai sumber karbohidrat, sedangkan sebagian besar

kebutuhan protein diperoleh dari konsumsi makanan yang berasal dari hewani seperti

daging, ikan, telur dan susu. Oleh karena itu, data tentang kuantitas konsumsi penduduk

dapat digunakan untuk memantau apakah kesejahteraan penduduk diukur dengan konsumsi

pangan meningkat atau tidak (BPS, 2010).

Di Indonesia setiap lima tahun diadakan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi

(WKNPG) yang salah satu rekomendasinya adalah menetapkan Angka Kecukupan Energi

(AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) untuk rata-rata Indonesia dan kelompok umur.

Rekomendasi WNPG ke VIII yang dilaksanakan tahun 2004 adalah AKE dan AKP untuk

rata-rata penduduk Indonesia, masing-masing 2000 Kalori/kapita/hari dan 52

gram/kapita/hari. Sementara itu, pada bulan November 2012, dilaksanakan WNPG ke X

yang menetapkan AKE sebesar 2200 Kalori/kapita/hari dan protein sebesar 57

Gram/kapita/hari. Mengacu pada patokan hasil WNPG tahun 2004, tingkat konsumsi rata-

rata masyarakat untuk energi tahun 2010 sebesar 96,3% dari kecukupannya, sebaliknya

untuk konsumsi protein melebihi dari yang dianjurkan. Namun apabila mengacu pada hasil

WNPG ke X, maka tingkat konsumsi energi masyarakat Indonesia masih kurang, sebaliknya

untuk konsumsi protein sudah melebihi dari angka yang dianjurkan (Gambar 5.1 dan 5.2).

Tingkat konsumsi energi dan protein berasal dari makanan yang disiapkan di rumah dan

makanan/minuman jadi. Sebagai contoh, konsumsi energi pada tahun 2011 sebesar 1.852,8

Kalori/kapita/hari, yang berasal dari makanan yang dimasak di rumah (1.586,8 Kalori) dan

makanan/minuman jadi (266 Kalori).

Sumber: SUSENAS (diolah)

Tingkat konsumsi energi yang lebih dari 95% ini masih dapat dianggap cukup dan

memenuhi kebutuhan tubuh manusia sesuai dengan klasifikasi tingkat kecukupan yang

dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (1996) dalam Badan Ketahanan Pangan (2006).

AKE

AKP

Page 44: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

32

Dalam klasifikasi tersebut, jika tingkat kecukupan energi antara 90-119% termasuk kategori

normal. Mengacu pada Ilmu Gizi, walaupun konsumsi protein sudah tinggi namun karena

konsumsi energinya masih rendah, protein tersebut akan dibakar dalam tubuh menjadi

energi untuk menutupi kekurangan konsumsi energi sampai mencukupi. Dengan demikian

dapat dimungkinkan secara riil protein yang dikonsumsi masih lebih rendah dari angka

kecukupan yang dianjurkan.

Sumber: SUSENAS (diolah)

Hasil analisis konsumsi energi dan protein tersebut, timbul pertanyaan apakah

memang benar situasi riil masyarakat Indonesia seperti demikian. Pada umumnya,

pemenuhan kebutuhan konsumsi yang paling mudah adalah pemenuhan kebutuhan akan

energi karena harga per unit energi ini relatif murah dan mudah, sehingga hampir semua

orang akan mampu memenuhinya. Selain itu, seperti dalam hukum Maslow, kebutuhan

paling mendasar seseorang adalah kebutuhan makan, dan pada tahap awal makan asal

kenyang. Pangan yang cepat membuat kenyang adalah pangan sumber karbohidrat dan

sekaligus sebagai penghasil energi. Jika energi sudah dipenuhi, baru memikirkan kepada

kualitas konsumsi pangan yang salah satunya ditentukan oleh tingkat pendapatan seperti

dalam hukum Bennet. Namun, kenyataannya dengan menggunakan data SUSENAS

tidaklah demikian.

Seperti telah diungkap terdahulu, telah terjadi perubahan pangsa pengeluaran pangan,

dari dominan pada kelompok pengeluaran padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi.

Jumlah jenis makanan jadi yang didata dalam SUSENAS sebanyak sekitar 30 jenis

makanan/minuman jadi. Sekitar 14 jenis makanan berupa makanan seperti roti tawar, roti

manis, kue basah, gado-gado, nasi putih, nasi rames, bubur kacang hijau, yang kesemua

jenis makanan tersebut sebagai sumber karbohidrat. Sementara itu, untuk makanan sumber

protein hanya ada tiga jenis yaitu soto/gule, sate/tongseng dan ikan

(bakar/goreng/pindang/lainnya).

Page 45: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

33

Walaupun BPS telah menghitung energi dan protein dari makanan/minuman jadi yang

ditambahkan dalam total energi, namun diduga adanya tambahan energi dari

makanan/minuman jadi masih under estimate. Kesulitannya adalah satuan yang digunakan

dalam daftar pertanyaan bukan dalam bentuk kuantitatif seperti gram atau kilogram, akan

tetapi bungkus kecil, potong dan porsi. Setiap responden akan dengan mudah menyebut

satuan dalam bentuk porsi atau potong, namun volume satu porsi atau satu potong tentu

berbeda antar seseorang dan atar wilayah. Kesulitan lainnya adalah melakukan konversi

dari jenis makanan ke dalam bentuk energi secara valid. Walaupun dalam daftar komposisi

bahan makanan terdapat konversi misalnya nasi campur, namun ramuan dan volume nasi

rames antar daerah juga berbeda, padahal faktor konversinya hanya ada satu yang

tercantum dalam daftar tersebut. Faktor inilah diduga yang mengakibatkan konsumsi energi

masih rendah, sebaliknya untuk protein sudah melebihi dari yang dianjurkan.

Protein yang dikonsumsi masyarakat berasal berupa protein nabati dan protein

hewani. Protein nabati diperoleh dari bahan pangan asal tumbuhan yaitu dari padi-padian,

biji-bijian dan kacang-kacangan seperti tahu dan tempe. Protein hewani diperoleh dari

bahan pangan hewani seperti daging, telur, susu dan ikan. Protein hewani memiliki semua

asam amino esensial sehingga disebut protein lengkap. Pemanfaatan protein oleh tubuh

ditentukan oleh kelengkapan asam amino esensial yang terkandung dalam protein yang

dikonsumsi. Semakin lengkap asam amino esensial, semakin tinggi nilai pemanfaatan

protein tersebut bagi tubuh. Selain itu, nilai cerna protein hewani lebih tinggi dari protein

nabati. Sementara dari segi pemanfaatannya protein hewani juga jauh lebih baik dari protein

nabati. Oleh karena itu, salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia

terutama kecerdasan seseorang ditentukan oleh tingkat konsumsi protein hewani.

Dalam Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan yang diterbitkan oleh Badan

Ketahanan Pangan (2012) disebutkan bahwa kecukupan protein sebesar 52

gram/kapita/hari dan dicukupi minimal 20% dari protein hewani dan 80% protein nabati.

Mengacu pada anjuran tersebut, komposisi konsumsi protein di Indonesia sudah baik yang

ditunjukkan dengan pangsa protein hewani yang berasal dari daging, telur, susu dan ikan

mencapai lebih dari 20% (Gambar 5.3). Bahkan untuk di perkotaan, pangsa konsumsi

protein hewani hampir mencapai 30%. Protein nabati berasal dari beranekaragaman

makanan yang tergolong nabati seperti dari padi-padian, umbi-umbian, sayur dan buah,

kacang-kacangan dan lainnya. Namun karena pola konsumsi masyarakat dominan pada

beras dan menjadi pola pangan pokok utama menyebabkan sumber utama protein nabati

juga berasal dari beras. Pangsa protein dari beras lebih dari 50%, yang berarti dalam hal ini

beras tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga sumber protein dalam pola konsumsi

masyarakat.

Page 46: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

34

Sumber: SUSENAS (diolah)

Data Neraca Bahan Makanan (NBM) menyajikan data ketersediaan energi dan

protein, yang datanya disajikan pada Tabel 5.1. Dari aspek ketersediaan, Indonesia sudah

mampu menyediakan energi dan protein melebihi dari yang dianjurkan, bahkan hampir dua

kali lipat kelebihannya. Berdasarkan WNPG XIII, ketersediaan energi dan protein yang

dianjurkan masing-masing sebesar 2200 kalori/kapita/tahun dan 57 gram/kapita/tahun. Ini

berarti jika ada masalah kekurangan pangan (dalam bentuk energi dan protein) pada

masyarakat, bukan disebabkan kurang tersedianya pangan namun lebih disebabkan karena

keterbatasan akses rumah tangga terhadap pangan termasuk distribusi pangan.

Akses rumah tangga terhadap pangan dipengaruhi oleh daya belinya, dalam hal ini

resultan dari tingkat pendapatan dan harga pangan. Meskipun ketersediaan pangan secara

nasional maupun per kapita mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki

akses yang nyata secara sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum

menjamin kecukupan pangan bagi individu. Selain aspek ekonomi, fisik dan sosial,

kelancaran distribusi pangan juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana seperti keadaan

jalan, transportasi, kondisi pasar dan kelembagaan pasar dan lainnya. Oleh karena itu,

pengembangan infrastruktur sarana distribusi adalah penting untuk memperlancar mobilitas

pangan agar pangan tersedia secara merata dengan harga yang dapat dijangkau oleh

masyarakat luas terutama masyarakat berpendapatan rendah.

Tabel 5.1. Ketersediaan Energi dan Protein, 2006 – 2011

Tahun Ketersediaan

Energi (Kkal/kap/hari) Protein (Gram/kap/hari)

2006 3.166 76,5

2007 3.358 80,1

2008 3.453 84,1

2009 3.214 88,9

2010 3.310 94,6

2011 3.944 89,7

Sumber: Badan Ketahanan Pangan, Kementan (2012)

Page 47: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

35

5.2. Konsumsi Energi dan Protein Menurut Kelompok Pangan dan Pengeluaran

Pola konsumsi pangan masyarakat memang dominan pada pangan pokok yaitu beras.

Beras telah menjadi pangan pokok utama dan pertama, bahkan masyarakat yang semula

mempunyai pola pangan pokok bukan beras beralih ke beras. Seperti hasil analisis yang

dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan (2009) yang menggunakan data SUSENAS 2006,

pola konsumsi pangan pokok di perkotaan pada semua kelompok pengeluaran adalah beras

dan terigu (termasuk turunannya). Sementara itu, untuk di pedesaan, pola pangan pokok

pertama pada semua kelompok pengeluaran adalah beras, kemudian diikuti dengan jagung,

ubikayu, terigu pada kelompok berpendapatan rendah. Sementara itu, untuk hal yang sama,

setelah beras diikuti hanya terigu pada kelompok menengah dan kaya.

Kecenderungan yang demikian, juga terlihat dari pangsa energi yang berasal dari

padi-padian mencapai hampir 50% (Tabel 5.2). Sebaliknya pangsa energi dari umbi-umbian

cenderung turun, yang berarti pangan pokok jagung, umbi-umbian dan sagu semakin

ditinggalkan oleh masyarakat. Tingkat konsumsi pangan termasuk konsumsi energi dan

protein dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya, agama dan ekonomi, namun unsur-

unsur prestise kadang-kadang menjadi sangat menonjol terutama untuk masyarakat di

perkotaan, Masyarakat kadang-kadang bertindak tidak hanya atas dasar pertimbangan

ekonomi, tetapi juga didorong oleh berbagai penalaran dan perasaan seperti kebutuhan,

kepentingan, dan kepuasan baik bersifat pribadi maupun sosial. Oleh karena itu perbaikan

pola konsumsi pangan dilakukan tidak hanya dengan meningkatkan daya beli masyarakat,

akan tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat akan pangan yang bergizi dan

kesehatan.

Tabel 5.2. Pangsa Energi dan Protein Beberapa Kelompok Pangan Menurut

Wilayah (%)

Kelompok Pangan Energi Protein

Padi-padian Umbi-umbian Asal ternak Ikan

Kota

1996 51,8 1,5 12,6 12,8

1999 52,3 1,9 8,4 12,0

2002 46,6 1,7 11,9 13,0

2005 44,6 1,5 12,0 13,9

2008 42,9 1,6 12,3 12,9

2011 44,0 1,0 13,3 14,4

Laju perubahan (%) (15,1) (6,7) 3,7 2,6

Desa

1996 60,0 3,6 6,0 13,3

1999 61,0 9,5 3,9 12,8

2002 56,8 3,6 5,5 13,4

2005 54,5 3,8 6,6 14,4

2008 51,6 3,5 6,8 14,4

2011 52,3 2,8 8,5 14,3

Laju perubahan (%) (3,5) (13,9) 10,2 2,2

Page 48: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

36

Kota+Desa

1996 57,1 2,9 8,4 13,1

1999 57,7 3,3 5,7 12,5

2002 52,3 2,8 8,4 13,2

2005 50,3 2,8 9,4 14,2

2008 47,5 2,6 9,5 13,8

2011 48,2 1,9 11,0 14,4

Laju perubahan (%) (4,2) (7,5) 8,3 2,4

Sumber : SUSENAS (diolah)

Keterangan : ( ) = Penurunan/negative

Pada Tabel 5.2, pada umumnya dengan kenaikan pendapatan (yang didekati dengan

pengeluaran pangan), konsumsi pangan sumber karbohidrat/energi akan menurun.

Sebaliknya kenaikan pendapatan rumahtangga akan meningkatkan konsumsi pangan

sumber protein dan vitamin/mineral. Perubahan dalam jumlah besar dan konsisten pada

makanan/minuman jadi, sementara untuk jenis pangan lain tidak demikian. Lagi-lagi ini

membuktikan bahwa dengan perubahan pendapatan akan merubah gaya hidup dan gaya

makan seperti hukum Bennet yang telah disampaikan sebelumnya. Dengan pendapatan

yang cukup, keluarga akan sering makan di luar rumah dan atau membeli

makanan/minuman jadi untuk dimakan di rumah. Makanan siap dimasak di rumah (home

made) lama-kelamaan akan berkurang dan ditinggalkan oleh anggota rumahtangga

terutama yang bekerja di luar rumah.

Tabel 5.3. Pangsa Energi Kelompok Pangan Menurut

Kelompok Pengeluaran, 2011 (%)

Kelompok

Pengeluaran

Padi-

padian

Umbi-

umbian

Asal

ternak

Ikan Sayuran Buah-

buahan

Makanan

Jadi

I 58,0 14,0 0,8 1,5 2,1 1,8 7,5

II 62,8 8,5 1,0 1,8 2,4 1,3 5,3

III 60,9 4,6 1,7 0,4 2,2 1,4 7,8

IV 56,7 3,0 2,6 2,1 2,2 1,4 10,2

V 51,4 1,8 4,0 2,4 2,1 12,5 12,7

VI 45,7 1,5 5,9 2,7 2,0 1,9 15,2

VII 41,0 1,2 7,5 2,8 1,9 2,2 17,6

VIII 34,9 0,9 9,8 2,7 1,8 2,6 22,1

Sumber : SUSENAS (diolah) Keterangan : I = Kel. pengeluaran terendah, X = Kel. pengeluaran tertinggi

Page 49: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

37

BAB VI

KUALITAS POLA KONSUMSI PANGAN: HARAPAN DAN KENYATAAN

6.1. Program Diversifikasi Konsumsi Pangan

Program diversifikasi pangan sebetulnya sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-an,

dimana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut, Ariani

(2012) melakukan kompilasi program-program terkait langsung dan tidak langsung dengan

usaha penganekaragaman/diversifikasi pangan terutama untuk diversifikasi konsumsi

pangan (Tabel 6.1). Pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok

selain beras seperti anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga

pernah populer istilah”beras-jagung”. Ada dua arti dari istilah itu, yaitu: (a) campuran beras

dengan jagung, dan (b) penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan

jagung. Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan yang terjadi saat itu

(Rahardjo, 1993). Pada tahun 1974, secara eksplisit pemerintah mencanangkan

kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Instruksi Presiden (INPRES) No, 14 tahun 1974

tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR). Maksud dari instruksi tersebut adalah

untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat

baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas

sumberdaya manusia.

Kemudian program tersebut mengalami kevakuman, baru tahun 1991 muncul program

diversifikai konsumsi pangan. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian dengan

nama Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), yang dalam pelaksanaannya dalam

bentuk program pemanfaatan lahan pekarangan. Program DPG bertujuan untuk: (a)

mendorong meningkatnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, dan (b) mendorong

meningkatnya kesadaran masyarakat terutama di pedesaan untuk mengkonsumsi pangan

yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang. Pada tahun 2009, keluar Peraturan

Presiden (Perpres) No. 22 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi

Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Tujuan kebijakan ini adalah menfasilitasi dan

mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman

yang diindikasikan oleh skor PPH 95 pada tahun 2015.

Tabel 6.1. Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi

Konsumsi Pangan

No. Tahun Kebijakan Tujuan/Kegiatan

1 1950-an 4 Sehat 5 Sempurna Pola makan yang sehat

2 1960-an Anjuran konsumsi

selain beras

Populer ”beras-jagung” (pengertian campuran

beras dengan jagung, dan penggantian

konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu

dengan jagung).

3 1974 Inpres No, 14, 1974;

1979 : UPMMR,

Tujuan: lebih menganekaragamkan jenis

pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan

rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas

sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas

sumberdaya manusia.

4 1991/ Program diversifikasi Tujuan:(a ) ketahanan pangan rumah tangga,

Page 50: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

38

1992 pangan dan gizi

(DPG)

dan (b) kesadaran masyarakat terutama di

pedesaan untuk mengkonsumsi pangan yang

beranekaragam dan bermutu gizi seimbang.

Fokus program DPG diarahkan pada upaya

pemberdayaan kelompok rawan pangan di

wilayah miskin dengan memanfaatkan

pekarangan

5 1998/

1999

Revitalisasi program

DPG

Perubahan orientasi dari hanya pemanfaatan

pekarangan ke pekarangan/kebun sekitar

rumah guna pengembangan pangan lokal

alternatif. Pembinaan: aspek budi daya,

pengolahan dan penanganan pasca panen agar

pangan lokal alternatif ini dapat memenuhi

selera masyarakat.

6 1995/

1996

Pedoman Umum Gizi

Seimbang (PUGS)

Terdapat 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang

(menggantikan 4 sehat 5 sempurna). Pesan

No,1 : makanlah aneka ragam makanan

7 2010 Percepatan

Penganekaragaman

konsumsi Pangan

(P2KP)

Ada 4 kegiatan, antara lain : Sosialisasi dan

promosi penganekaragaman konsumsi pangan

8 2010 One day no rice Himbauan untuk tidak mengkonsumsi beras

satu hari per bulan/minggu

9 2010 M-KRPL (Model

Kawasan Rumah

Pangan Lestari)

Peningkatan kualitas konsumsi pangan

rumahtangga melalui optimalisasi pemanfaatan

pekarangan secara lestari

10 2011 Gerakan Nasional

Sadar Gizi

Gerakan perilaku pola konsumsi makanan

Strategi yang ditempuh dalam Perpres tersebut ada dua yaitu: (a) Internalisasi

penganekaragaman konsumsi pangan melalui: advokasi, kampanye, promosi dan

sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman pada

berbagai tingkatan aparat, masyarakat, pendidikan formal dan non formal dan (b)

Pengembangan bisnis dan industri pangan lokal melalui fasilitasi kepada UMKM untuk

pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri pangan olahan dan

pangan siap saji yang aman berbasis sumber daya lokal serta advokasi, sosialisasi dan

penerapan standar mutu dan keamanan pangan baki pelaku usaha pangan terutama usaha

rumah tangga dan UMKM.

Untuk operasionalisasi PERPRES tersebut, Menteri Pertanian mengeluarkan

peraturan No.43/Permentan/OT.140/2009) tentang Gerakan Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Untuk menindaklanjuti

Perpres. Kementerian Pertanian melaksanakan kegiatan terkait diversifikasi konsumsi

pangan yang dikenal gerakan Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan (P2KP) yang

dimulai sejak tahun 2010. Tujuan umum program P2KP adalah menfasilitasi dan mendorong

terwujudnya pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman yang

diindikasikan dengan skor PPH dengan indikator outcome adalah meningkatnya skor PPH

dari tahun ke tahun dan menurunnya konsumsi beras 1,55% per tahun (BKP, 2012).

Page 51: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

39

Pelaksanaan gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis

sumberdaya lokal diselenggarakan melalui kegiatan sebagai berikut:

a. Internalisasi Penganekaragaman Konsumsi Pangan

Kegiatan internalisasi untuk mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan

berbasis pangan lokal difokuskan pada kegiatan antara lain: (1) Advokasi memberikan

solusi, (2) Kampanye kepada penyadaran aparat dan masyarakat, (3) Promosi dan

sosialisasi dalam rangka membujuk, menghimbau dan mengajak aparat dan masyarakat, (4)

Pendidikan melalui jalur pendidikan non formal untuk seluruh lapisan masyarakat khususnya

kelompok wanita dan Tim Penggeral PKK, (5) Penyuluh kepada ibu rumah tangga dan

remaja, (6) Pemanfaatan pekarangan dan potensi pangan di sekitar lingkungan, (7)

Pembinaan kepada industry rumahtangga. Selain itu juga dilakukan pengembangan dan

diseminasi seta aplikasi paket teknologi terapan tehaap pengolahan aneka pangan.

b. Pengembangan bisnis dan Industri Pangan Lokal

Kegiatan pengembangan bisnis dan industri pangan difokuskan pada: (1) Fasilitasi

kepada kelompoktan/gapoktan untuk pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan

baku, industri pangan lahan dan pangan siap saji, (2) Penerapan standar mutu dan

keamanan pangan. Pengembangan bisnis juga dilakukan dengan menggerakkan peran

serta aktif swasta dan dunia usaha dalam pengembangan industri dan bisnis pangan lokal.

6.2. Pencapaian Kualitas Konsumsi Pangan menurut PPH

Keanekaragaman/diversifikasi konsumsi pangan dapat diukur dengan menggunakan

konsep PPH. FAO RAPA pada tahun 1989 dalam Ariani dan Asari (2003) mengadakan

pertemuan para pangan dan gizi di Bangkok dengan merumuskan komposisi pangan yang

ideal yang terdiri dari 57-68% dari karbohidrat, 10-13% dari protein dan 20-30 persen dari

lemak. Dengan rumusan ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk energi dari sembilan

kelompok pangan yang dikenal dengan istilah PPH. Sejak diperkenalkan di Indonesia,

konsep PPH ini mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan di bidang pangan dan gizi untuk

dapat diterapkan di Indonesia disesuaikan dengan kondisi Indonesia.

Dalam konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai

pembobot yang berbeda tergantung dari peranan pangan dari masing-masing kelompok

terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai contoh, pembobot pada

kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya 0,5 karena pangan tersebut hanya

sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia, sebaliknya pangan hewani dan

kacang-kacangan sebagai sumber protein yang berfungsi sebagai pertumbuhan dan

perkembangan manusia mempunyai pembobot 2 dan sayur+buah sebagai sumber vitamin

dan mineral, serat, dan lain-lain mempunyai pembobot 5. Dengan mengkalikan proporsi

energi dengan masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan diperoleh skor

sebesar 100. Dalam arti diversifikasi konsumsi pangan sesuai konsep PPH harus

mempunyai skor 100. Pada Gambar 6.1 disajikan perkembangan pencapaian diversifikasi

konsumsi pangan yang diukur dengan PPH.

Page 52: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

40

Sumber : BKP (2012)

Skor PPH sebetulnya meningkat dari tahun ke tahun, bahkan pada tahun 2007 dan

2008 mencapai 80-an, namun untuk tahun-tahun berikutnya, skor PPH mengalami

penurunan. Bila mengacu pada tabel-tabel sebelumnya, pertanyaannya mengapa skor PPH

justru menurun dengan peningkatan kesejahteraan. Seperti telah diungkap terdahulu, bahwa

terkait dengan konsumsi pangan tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan namun juga

pengetahuan seseorang terkait pangan dan gizi serta kesadaran akan makanan yang

berkualitas untuk kesehatan dan kualitas sumberdaya manusia. Dari Tabel 6.2, pola

konsumsi pangan masyarakat masih belum mengacu pada pedoman PPH. Konsumsi dari

padi-padian sangat tinggi, melebihi dari ketentuan, sebaliknya untuk pangan hewani, sayur

dan buah yang termasuk pangan berkualitas tinggi yang mampu meningkatkan skor PPH

secara signifikan masih belum banyak dikonsumsi sesuai dengan ketentuan. Pada kondisi

terakhir (tahun 2011), skor PPH menurun sedkit dibandingkan tahun sebelumnya yaitu skor

PPH pada tahun 2011 sebesar 77,3, sedangkan pada tahun 2010 sebesar 77,5. Penurunan

ini lebih diakibatkan oleh penurunan konsumsi sayuran dan buah-buahan.

Tabel 6.2. Pola Konsumsi Pangan: Harapan dan Kenyataan

Sumber : BKP (2012)

Kelompok

Pangan

Bobot Realitas

(Kal/kap/hari)

Harapan Selisih

Padi-padian 0,5 310,0 275 39,4

Umbi-umbian 0,5 38,8 100 - (61,2)

Pangan hewani 2,0 92,2 150 -(57,8)

Minyak +lemak 0,5 22,6 20 2,6

Kacang-

kacangan

2,0 22,1 35 -(12,9)

Gula 0,5 23,1 30 -(6,9)

Sayur+Buah 5,0 211,4 250 -(38,6)

Page 53: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

41

6.3. Kendala Pencapaian Diversifikasi Pangan Secara Signifikan

Program diversifikasi konsumsi pangan dirintis sejak lama yaitu tahun 60-an. Namun

sampai sekarang pencapaian diversifikasi belum berjalan secara signifikan. Masyarakat

masih tertumpu pada konsumsi pangan pokok beras dan makanan lokal lainnya terutama

sumber karbohidrat cenderung ditinggalkan. Permasalahannya mengapa mereka sulit

kembali ke pangan pokok bukan beras?. Mengapa pula diversifikasi konsumsi pangan

Indonesia masih belum seimbang sesuai harapan?. Hasil analisis menunjukkan banyak

faktor yang menyebabkan hal tersebut. Banyak program pemerintah dalam upaya

menurunkan konsumsi beras dan program ke arah diversifikasi konsumsi pangan, namun

pelaksanaan program sering tidak konsisten, tidak jelas tugas siapa, dan sporadis. Secara

terinci, hambatan pencapaian diversifikasi konsumsi pangan sebagai berikut:

a. Tidak ada institusi tingkat pusat yang menangani diversifikasi konsumsi pangan.

Kalaupun ada, bersifat partial, tidak kontinyu dan dapat tumpang tindih. Kasus sejak

tahun 2010, Kementerian Pertanian mempunyai program P2KP yang dalam

operasionalnya memanfaatkan kelembagaan Badan Ketahanan Pangan Daerah baik

provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara itu, Kementerian Kesehatan membangun

Gerakan sadar Pangan dan Gizi, yang operasionalnya memanfaatkan kelembagaan

Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota.

b. Konsep makan, pola pangan pokok dan lambang kemakmuran adalah beras.

Seseorang merasa belum makan walaupun sudah makan roti, mi instan tetapi belum

makan nasi. Nasi adalah primadona bagi sebagian masyarakat Indonesia, dampaknya

tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai hampir 100% dan beras dijadikan pangan

pokok utama dan tunggal. Beras sebagai konstruksi sosial dengan penyamaan

swasembada beras dengan ketahanan pangan. Dominasi beras atas sumber daya

pangan lainnya di Indonesia dapat ditemukan dalam istilah-istilah lokal seperti “palawija”

(Sansekerta, phaladwija) yang harfiahnya berarti sesuatu yang bukan beras (sekunder)

atau pangan kelas dua, sesuatu yang terkonstruksikan secara budaya (culturally

constructed). Lambang padi digunakan sebagai simbol kemakmuran Negara termasuk di

daerah-daerah produsen jagung dan umbi jalar seperti Timor dan Papua, padi tetap

disimbolkan sebagai lambang pemerintahan daerah.

c. Kebijakan diversifikasi konsumsi pangan yang tidak konsisten pelaksanaannya,

sehingga kebijakan pemerintahpun juga tumpang tindih. Di satu sisi pro dan di sisi lain

kontra dengan kebijakan diversifikasi konsumsi pangan seperti adanya kebijakan beras

miskin (raskin) untuk seluruh Indonesia dalam waktu yang lama. Selain itu juga apabila

terjadi kelangkaan beras, pemerintah selalu melakukan kebijakan OPK beras,

d. Kebijakan konsumsi pangan vs kebijakan produksi pangan. Pemerintah telah

menetapkan berbagai kebijakan yang bertujuan agar pangan yang dikonsumsi

masyarakat beragam dan penurunan tingkat konsumsi beras. Di sisi lain, program

peningkatan pangan sejak tahun 2008 diutamakan untuk peningkatan produksi beras

melalui Program Peningkatan Produksi Beras (P2BN). Bahkan sejak tahun 2010,

pemerintah menetapkan target surplus beras 10 juta ton tahun 2014, sehingga anggaran

untuk program ini bertambah dan relatif tinggi karena kegiatannya yang juga bertambah.

Sebaliknya anggaran untuk pengembangan komoditas lain seperti umbi-umbian,

sayuran, buah-buahan dan jenis komoditas lain relatif kecil yang tidak merupakan target

sukses Kementerian Pertanian. Pemerintah memberikan bantuan alat penepung dan

Page 54: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

42

bantuan peralatan lain untuk pengembangan olahan pangan lokal seperti ubikayu,

ganyong, talas ke masyarakat melalui kelompok wanita tani namun tidak diimbangi

kebijakan pengembangan produksi pangan lokal. Akhirnya usaha rumah tangga atau

UKM kesulitan untuk memperoleh bahan baku pangan lokal, ketidakseimbangan

perbandingan antara biaya pengembangan dan harga produk alternatif dengan beras.

e. Variasi kelembagaan ketahanan pangan di daerah. Dampak dari otonomi daerah,

pandangan pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota terhadap

pentingnya ketahanan pangan termasuk diversifikasi pangan sangat berbeda. Hal ini

ditunjukkan dengan penempatan kelembagaan yang menangani ketahanan pangan

(variasi setingkat eselon 2, 3, 4 atau tidak berupa eselon). Belum lagi dilihat dari aspek

kuantitas dan kualitas sumberdaya yang menangani ketahanan pangan, penempatan

orang sering tidak sesuai dengan kompetensinya.

f. Institusi yang menangani kebijakan diversifikasi konsumsi pangan terbatas. Seolah-olah

kegiatan ini hanya tugas Kementerian Pertanian dan kementerian Kesehatan karena

tampaknya belum ada kebijakan langsung atau tidak langsung yang dikeluarkan oleh

instansi lainnya. Kebijakan diversifikasi konsumsi pada tahun 1960-1970an dilakukan

oleh berbagai instansi/kelembagaan yang dikoordinir oleh Menko Kesra, namun

tampaknya setelah tahun tersebut, kebijakan ini hanya melibatkan sedikit lembaga,

bersifat sporadis dan tidak massif.

g. Promosi mi instan yang gencar dan jenis produknya yang cukup banyak dan bervariasi.

Adanya kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri yang

berlangsung lama dan subsidi harga terigu oleh pemerintah, maka harga terigu menjadi

murah. Selain itu, kampanye yang intensif melalui berbagai jenis media seperti media

elektronik, product development yang diperluas dengan harga yang bervariasi dan

mudah diperoleh, turut mendorong peningkatan partisipasi konsumsi produk gandum

terutama berupa mi dan roti. Sehingga nilai impor gandum terus meningkat dan pada

tahun 2010, nilai impor gandum mencapai 7,2 juta ton, dengan nilai Rp 15 trilyun.

h. Pengembangan teknologi pengolahan non beras dan non terigu terbatas. Beras dan

terigu termasuk tepungnya dapat dijumpai di pasaran dengan mudah, sebaliknya untuk

tepung dari jagung, ganyong, talas, ubikayu dan ubijalar tersedia dalam jumlah terbatas

dan tidak kontinyu. Selain itu, teknologi pengolahan termasuk peralatannya untuk

pangan lokal belum berkembang optimal dibandingkan dengan beras dan terigu,

sebagai contoh dikenal rice cooker tetapi tidak ada corn cooker atau cassava cooker.

Kalaupun ada, perkembangan, penyebaran, penyerapan teknologi pengolahan pangan

lokal untuk meningkatkan kepraktisan dalam pengolahan, nilai gizi, nilai ekonomi, nilai

sosial, citra dan daya terima relatif lambat.

i. Kebijakan yang sentralistik dan penyeragaman, mengabaikan aspek budaya dan potensi

pangan lokal. Ketiadaan alat ukur keberhasilan program, program bersifat partial tidak

berkelanjutan dan tidak memiliki target kuantitatif yang disepakati bersama.

j. Riset diversifikasi konsumsi pangan masih lemah, bias pada beras, terpusat di Jawa-

Bali. Fokus pada on-farm, dana hanya dari pemerintah pusat, Selain itu juga kurangnya

kemitraan dengan swasta/industri dan LSM.

k. Menyempitkan arti diversifikasi konsumsi pangan, seolah-olah diversifikasi hanya untuk

makanan pokok. Padahal, diversifikasi konsumsi pangan seperti juga pada konsep

Page 55: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

43

PPH, mencakup semua komoditas pangan, dalam arti makanan pokok dan makanan

pendamping.

l. Masih kurangnya sinergi untuk mendorong dan memberikan insentif bagi dunia usaha

dan masyarakat dalam mengembangkan aneka produk olahan pangan lokal. Demikian

pula masih kurangnya fasilitasi pemberdayaan ekonomi dan pengetahuan untuk

meningkatkan aksesibilitas pada pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman.

m. Jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih relatif besar walaupun dari tahun

ke tahun menurun. Mereka mempunyai kemampuan akses pangan yang rendah,

padahal pendapatan mempunyai korelasi positip dengan pola dan tingkat konsumsi

pangan termasuk kualitasnya.

n. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi masih

rendah. Dalam pola makan, kadang-kadang bertindak irasional, faktor gengsi kadang

lebih dominan daripada aspek kesehatan. Dalam hal ini termasuk kesadaran

masayarakat terhadap keamanan pangan.

Page 56: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

44

BAB VII

TINGKAT KONSUMSI DAN PERMINTAAN PANGAN

7.1. Tingkat Konsumsi Pangan

Data tingkat konsumsi pangan penting untuk diketahui terutama dikaitkan dengan

perkiraan kebutuhan pangan masyarakat, yang berimplikasi pada perkiraan kebutuhan

pangan yang dapat dipenuhi dari produksi sendiri maupun dari impor. Data yang digunakan

adalah data yang dibeli untuk konsumsi rumah tangga, tidak termasuk data konsumsi yang

berasal dari makanan/minuman jadi. Selama lima belas tahun terakhir, semua komoditas

sumber karbohidrat yang dianalisis mengalami penurunan seperti pada Tabel 7.1.

Penurunan konsumsi beras secara agregat sebesar 4,4% dan penurunan di kota lebih

besar dibandingkan dengan di desa.

Namun demikian, tingkat konsumsi beras masih 87,6 kg/kapita/tahun dan lebih besar

dibandingkan rata-rata dunia (60 kg/kap/tahun). Hal ini yang mengakibatkan tingkat

konsumsi beras masyarakat Indonesia relatif masih tinggi. Makmur (2010) mengatakan

bahwa konsumsi beras total untuk Indonesia tahun 2009 sebesar 139 kg/kapita/tahun lebih

besar dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Jepang,

misalnya sudah dibawah angka 100 kg, yaitu masing-masing sebesar 90 kg, 80 kg dan 60

kg.

Dengan semakin besar pengeluaran rumahtangga untuk pembelian

makanan/minuman jadi mengindikasikan adanya beras yang dibeli oleh rumahtangga dalam

bentuk nasi campur/nasi rames, nasi goreng, dan lontong/ketupat sayur. Tingkat konsumsi

pangan ini akan menambah tingkat konsumsi beras. Penurunan sangat tajam pada pangan

lokal seperti umbi-umbian akan mencabut kedaulatan pangan mengingat indonesia memiliki

keragaman pola konsumsi pangan pokok. Seperti di provinsi NTT yang terkenal dengan pola

pangan pokok sagu dan masyarakat pulau Papua dan Maluku terkenal dengan sagunya.

Adanya raskin yang didistribusikan kepada seluruh wilayah tanpa memperhatikan pola

pangan pokok setempat turut memicu beralihnya masyarakat dari pangan lokal ke beras.

Hasil penelitian Setiawan (2011) kasus di Desa Enoneontes dan Naukae, Kabupaten Timor

Tengah Selatan (TTS), NTT juga mengindikasikan bahwa di kalangan orang-orang muda

cenderung beralih ke beras. Mengkonsumsi pangan non beras dianggap tidak bergengsi

dibandingkan dengan beras. Hal ini juga menunjukkan bahwa pangan non beras yang

semula menjadi pangan pokok masyarakat di KTI seperti jagung di NTT, sagu di

Papua/Maluku, namun telah mengalami pergeseran ke arah beras. Kalaupun mereka

mengkonsumsi pangan non beras, namun status pangan tersebut sebagai pangan

komplementer atau pangan alternatif yang dikonsumsi dengan jumlah yang relatif kecil,

pada waktu-waktu tertentu dan pada kondisi tertentu.

Page 57: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

45

Tabel 7.1. Tingkat Konsumsi Pangan: Beras, Umbi-umbian dan Terigu

Menurut Wilayah, (kg/kap/th)

Kelompok

Pangan

Beras Ubi

kayu

Ubi

jalar

Sagu Umbi

lainnya

Terigu dan

turunannya

Kota

1996 102,3 4,7 2,0 0,2 2,9 2,4

1999 93,5 6,2 2,1 0,1 1,6 2,1

2002 89,8 5,6 2,2 0,1 2,6 2,9

2005 86,3 4,8 2,2 0,1 2,6 3,4

2008 83,3 5,6 1,6 0,1 2,5 4,0

2011 79,1 3,0 1,1 0,1 2,0 3,4

Laju Perub. (%) (4,8) (6,4) (7,5) (12,2) (2,2) 10,5

Desa

1996 116,8 16,2 3,5 0,8 2,3 1,4

1999 111,2 17,7 3,3 0,2 6,1 1,2

2002 109,7 16,3 3,1 0,4 8,1 1,9

2005 106,8 13,5 3,1 0,9 1,1 2,8

2008 103,7 13,7 3,6 0,9 1,8 3,4

2011 96,0 8,8 3,9 0,7 1,2 3,0

Laju Perub. (%) (3,4) (10,3) 2,4 9,2 (21,1) 19,4

Kota+Desa

1996 111,6 13,3 3,0 0,6 2,5 2,0

1999 103,8 12,7 2,8 0,1 1,3 1,6

2002 100,8 11,7 2,7 0,3 1,9 2,3

2005 97,9 9,9 3,1 0,6 2,2 3,1

2008 93,9 9,9 2,7 0,5 1,7 2,3

2011 87,6 6,1 2,5 0,4 1,6 3,2

Laju Perub. (%) (4,4) (12,5) (2,4) (8,6) (4,6) 10,5

Sumber : SUSENAS (diolah)

Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Sagu dan umbi-umbian lainnya dikonsumsi dalam berbagai bentuk dan olahan. Di

Papua dan Maluku, sagu dikonsumsi sebagai papeda (baik papeda basah maupun kering),

sagu lempeng, kapurung, dan buburnee. Sebagai camilan yang lebih bersifat suplementer,

sagu dikonsumsi dalam bentuk bagea dan aneka kue sagu. Jagung di NTT dikonsumsi

dalam bentuk jagung bose, yaitu jagung putih kering dikelupas kulitnya, direbus dengan

campuran kacang-kacangan kering (seperti kacang jogo, kacang merah, atau kacang hijau).

Ariani dan Pasandaran (2005) mengatakan jagung di NTT dimasak menjadi jagung

pipil “ketemek”, jagung olahan tumbuk atau jagung bose dan jagung giling atau jagung mol.

Bahan tersebut kemudian dicampur dengan beras dan kacang-kacangan dan dimasak

bersama-sama. Proses pemasakan untuk jagung ketemek memerlukan waktu 2,5 jam,

sedangkan untuk jagung bose dan jagung mol masing-masing 2 jam dan 1 jam. Di Papua,

umumnya ubi jalar dikonsumsi dengan cara direbus, kukus, dibakar dengan istilah adat

bakar batu untuk acara/pesta adat. Dalam upacara adat suku Dani, seperti perkawinan,

Page 58: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

46

kematian, pelantikan kepala suku, penyambutan tamu, pesta panen, dan festival budaya, ubi

jalar merupakan bahan pangan utama yang dimasak bersama beberapa ekor babi dengan

cara ”bakar batu” (Peter,2001) dalam Limbongan dan Soplanit (2007). Oleh karenanya

dalam Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 2012 mengamanatkan akan pentingnya

kedaulatan pangan dan kemandirian pangan untuk mencapai ketahanan pangan. Disisi lain,

diantara pangan sumber karbohidrat hanya terigu yang selalu meningkat tingkat

konsumsinya baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Menelisik pola konsumsi pangan sumber karbohidrat maka pemerintah harus

melakukan reorientasi program yang berbasis kemandirian pangan untuk meningkatkan

ketahanan pangan terutama pangan yang menjadi pangan pokok masyarakat. Argumen ini

beralasan karena pada awalnya masyarakat banyak mengkonsumsi pangan pokok yang

beranekaragam (makanan lokal), kemudian beralih ke beras sebagai penciri makanan

nasional, kemudian ke arah pangan berbasis terigu (pangan internasional). Disisi lain,

Indonesia merupakan negara yang berpenduduk besar dan salah satu dari 17 negara

megadiversity. Indonesia memiliki sumber-sumber bahan pangan yang sangat banyak,

antara lain: sekitar 100 jenis tanaman sumber karbohidrat, 75 jenis tanaman sumber

minyak/lemak, 26 jenis tanaman kacang-kacangan, 389 jenis tanaman buah-buahan, 228

jenis tanaman sayur-sayuran (Sukarya; 2012; Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,

2012).

Perubahan konsumsi pangan lokal ke pangan internasional seperti roti, kue dan mi

instan membutuhkan perjuangan yang panjang dan peran pemerintah Orde Baru pada

waktu itu sangat dominan. Sawit (2003), terigu diperkenalkan secara intensif sejak awal

pemerintahan Orde Baru dalam rangka kebijakan stabilsasi harga pangan dan stabilisasi

ekonomi. Indonesia telah mengimpor terigu untuk mencapai tujuan tersebut karena harga

gandum relatif stabil dan volume yang diperdagangkan cukup banyak serta beras dan terigu

erat subsitusinya. Amerika Serikat mendorong kebijakan ini dengan memberikan cuma-

cuma dan hutang lunak untuk impor terigu. Kegiatan ini dilakukan setiap tahun dan pada

awal tahun 1970-an dibangun tiga pabrik pengolah biji gandum. Sejak ini impor gandum

berkembang dengan pesat. Dalam waktu yang sama, Amerika Serikat mengirim bebeapa

pakar pangannya ke Indonesia untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan di lembaga

pemerintah dan mereka berhasil mempengaruhinya.

Walau awalnya masyarakat sulit sekali menerima makanan yang berasal dari terigu,

kampanye yang diperluas dan diintensifkan dengan salah satunya menjual terigu dengan

haga murah (50% lebih rendah dari harga internasional, sisanya disubsidi oleh pemerintah).

Bulog diberi hak monopoli impor gandum oleh pemerintah dan menggilingnya ke Bogasari

secara bagi hasil. Hasil giling berupa terigu dijual oleh Bulog melalui agen-agennya.

Inilah cikal bakal mengapa terigu masuk ke Indonesia dan dengan semakin gencarnya

promosi berbagai jenis dan kemasan mi instan dengan harga yang terjangkau, serta

banyaknya industri yang menghasilkan berbagai jenis roti, kue basah berbahan baku terigu

dan sejenisnya berdampak positif pada peningkatan konsumsi terigu dan turunannya. Pada

Tabel 4.9, konsumsi terigu dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan konsumsi mi instan

di Indonesia No. 2 terbesar setelah Korea Selatan yaitu rata-rata 63 kemasan mi instan per

tahun per orang. Korea selatan Selatan mengonsumsi 69 mi instan per orang, Jepang 39,9

kemasan mi instan per orang per tahunnya dan Cina walaupun jumlah konsumsi mi instan

terbanyak (42,5 miliar paket mi instan tahun lalu), namun konsumsi per kapitanya 32

Page 59: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

47

kemasan mi instan (http://id.berita.yahoo.com/cina-pengonsumsi-mi-instan-terbanyak-di-

dunia.html, diunduh tanggal 26 Mei 2012).

Volume dan nilai impor gandum terus meningkat baik dari segi nilai maupun volume.

Pada tahun 2011, nilai impor gandum mencapai USD 2.470 dengan volume 6,236 ton juta.

Impor ini cukup besar dan Indonesia semakin tergantung kepada produsen negara lain yang

dapat memberatkan neraca perdagangan Indonesia. Peningkatan impor gandum tentu tidak

terlepas dari perubahan selera konsumen akibat peningkatan pendapatan sebagian besar

penduduk Indonesia. Sementara gandum bukan tanaman asli Indonesia, meskipun sejarah

penanaman gandum telah dimulai awal abad 20 di Pengalengan, Dieng dan Tengger. Bagi

pemerintah, impor gandum yang semakin meningkat dari segi volume dan nilai menjadi

masalah tersendiri. Oleh sebab itu pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk

mengatasi peningkatan impor gandum ini yang menjadi bagian program ketahanan pangan.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah mengembangkan tanaman gandum di

beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu pemerintah juga mengupayakan perubahan pola

makanan dengan lebih banyak memproduksi produk lokal selain beras.

Perkembangan konsumsi pangan sumber protein hewani, vitamin/mineral, minyak

goreng dan gula pasir dapat dilihat pada Tabel 7.2 dan Tabel 7.3. Perkembangan konsumsi

pangan ini sebagai pijakan untuk menghitung permintaannya ke depan. Hal ini sekaligus

sebagai pijakan pemerintah untuk menentukan besaran kebutuhan pangan untuk tahun-

tahun berikutnya. Pola konsumsi ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan pola

konsumsi pangan masyarakat ke arah pangan yang berkualitas yang ditunjukkan dengan

penurunan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan peningkatan konsumsi protein, vitamin

dan mineral. Apalagi konsumsi gula pasir juga menunjukkan penurunan. Kesemuanya hal

tersebut, harapannya akan terjadi peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

Tabel 7.2. Tingkat Konsumsi Pangan: Daging, Telur, Susu, dan Kedelai

Menurut Wilayah, (kg/kap/th)

Kelompok

Pangan

Daging

sapi

Daging

ayam

Telur Susu Kedelai

Kota

1996 1,2 5,3 6,6 1,3 5,8

1999 0,7 2,6 4,5 0,8 6,8

2002 0,9 4,9 6,9 0,6 8,0

2005 0,8 5,6 7,2 1,4 4,8

2008 0,6 5,0 7,4 1,4 7,1

2011 0,8 5,5 7,5 1,3 6,7

Laju Perub.(%) (8,2) 5,3 5,8 6,6 1,0

Desa

1996 0,3 2,6 4,1 0,4 4,9

1999 0,3 1,1 2,7 0,2 4,7

2002 0,3 2,0 4,2 0,4 6,1

2005 0,2 2,7 4,9 0,6 6,2

2008 0,2 2,7 5,2 0,7 3,5

2011 0,3 3,1 6,1 0,6 5,2

Page 60: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

48

Laju Perub. (%) (4,3) 9,7 11,5 16,0 (1,1)

Kota+Desa

1996 0,6 3,5 5,0 0,7 5,5

1999 0,5 1,7 3,4 0,5 5,6

2002 0,5 3,3 5,4 0,7 6,9

2005 0,5 4,0 5,9 0,9 7,0

2008 0,36 3,8 6,2 1,1 6,2

2011 0,5 4,3 6,8 1,0 5,9

Laju Perub. (%) (4,6) 9,2 9,4 12,2 1,8

Sumber : SUSENAS (diolah)

Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Tabel 7.3. Tingkat Konsumsi Pangan: Sayuran, Buah-buahan, Gula Pasir dan

Minyak Goreng Menurut Wilayah, (kg/kap/th)

Kelompok Pangan Sayuran Buah-

buahan

Gula Pasir Minyak

Goreng

Kota

1996 33,8 26,4 9,4 8,1

1999 32,0 19,8 8,6 7,7

2002 38,5 30,8 9,5 8,7

2005 39,5 27,4 8,5 8,5

2008 39,4 32,8 8,0 7,5

2011 34,3 24,9 6,5 8,4

Laju Perub. (%) 2,0 3,0 (5,9) 0,2

Desa

1996 39,2 23,5 8,5 6,6

1999 36,7 17,8 8,0 6,5

2002 41,3 25,9 9,0 7,7

2005 46,6 23,4 8,4 9,8

2008 52,7 30,9 8,8 10,0

2011 42,8 21,7 7,5 8,1

Laju Perub.(%) 4,7 3,3 (1,1) 7,1

Kota+Desa

1996 37,4 24,5 8,8 7,2

1999 33,9 18,6 8,2 7,0

2002 39,9 28,0 9,2 8,2

2005 42,5 25,2 8,4 8,1

2008 43,8 31,9 8,4 8,2

2011 39,0 23,1 7,0 8,2

Laju Perub.(%) 2,9 3,4 (3,2) 3,1

Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Pola konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh pendapatan seseorang. Dengan

peningkatan pendapatan, masyarakat akan leluasa untuk menentukan jenis pangan yang

diinginkan, kapan saja mampu mengkonsumsi. Selain itu dengan pendapatan yang leluasa,

Page 61: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

49

seseorang juga akan dengan mendapatkan makanan, dapat membeli di restoran, warteg

dan lainnya. Penurunan konsumsi pangan sumber karbohidrat juga sebagai akibat

peningkatan pendapatannya. Seperti pada Tabel 7.4, semua komoditas pangan pokok

menurun seiring peningkatan pendapatan kecuali untuk terigu dan turunannya yang

meningkat secara signifikan.

Tabel 7.4. Tingkat Konsumsi Pangan: Beras, Ubi kayu, Ubi jalar, Sagu,

Umbi Lainnya dan Terigu Menurut Kelompok Pengeluaran,

2011 (kg/kap/th)

Kelompok

Pengeluaran

Beras Ubi

kayu

Ubi

jalar

Sagu Umbi

lainnya

Terigu dan

turunanya

I 66,7 16,6 5,5 9,7 1,0 0,4

II 77,1 19,0 10,1 1,7 1,8 0,9

III 83,2 9,4 6,6 0,9 1,1 1,4

IV 89,5 8,2 3,5 0,5 1,2 2,1

V 91,5 5,8 1,9 0,4 1,7 4,2

VI 90,3 4,7 1,9 0,3 2,3 5,1

VII 85,1 3,6 1,6 0,4 2,8 5,6

VIII 75,1 2,7 1,3 0,2 3,6 7,3

Pada kelompok pengeluaran terendah, konsumsi terigu hanya 0,4 kg/kapita/tahun

menjadi 7,3 kg/kapita/tahun pada kelompok pengeluaran tertinggi. Demikian pula, untuk

pangan sumber protein hewani, sayuran/buah, gula pasir dan minyak goreng (Tabel 7.5).

Peningkatan konsumsi pangan tersebut sebagai akibat peningkatan pendapatan

masyarakat. Dengan peningkatan perekonomian Indonesia yang diprogramkan oleh

pemerintah dengan penetapan laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat maka

diharapkan pendapatan masyarakat juga meningkat. Peningkatan pendapatan akan

berdampak pada perubahan pola konsumsi pangannya. Mengacu kasus pada pola pangan

selama ini, peningkatan pendapatan akan menurunkan pangan sumber karbohidrat,

sebaliknya meningkatkan pangan sumber protein dan vitamin/mineral.

Tabel 7.5. Tingkat Konsumsi Pangan: Daging, Telur, Susu, dan Kedelai Menurut

Kelompok Pengeluaran, 2011(kg/kap/th)

Kelompok

Pengeluaran

Daging

sapi

Daging

ayam

Telur Susu Kedelai Sayuran Buah

buahan

Gula

Pasir

Minyak

Goreng

I 0,0 0,0 1,7 0,1 0,8 23,7 8,7 3,0 4,2

II 0,0 0,2 2,1 0,1 2,8 30,7 7,5 3,7 5,0

III 0,0 0,9 3,0 0,2 3,9 31,9 9,7 4,5 6,4

IV 0,1 1,5 4,6 0,3 5,3 35,3 13,2 5,8 8,2

V 0,2 3,1 6,4 0,8 6,1 38,3 18,7 7,0 10,0

VI 0,6 5,6 8,1 1,3 6,5 42,4 27,1 8,0 10,2

VII 0,9 7,3 9,3 1,9 6,6 43,0 34,0 8,3 12,6

VIII 2,0 9,8 9,9 2,9 6,7 45,7 45,3 8,2 12,7

Page 62: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

50

7.2. Proyeksi Kebutuhan Pangan untuk Konsumsi tahun 2020

Proyeksi permintaan konsumsi pangan hanya dilakukan untuk beberapa jenis pangan

terutama dikaitkan dengan komoditas strategis pemerintah yaitu beras, terigu dan

turunannya, kedelai, gula pasir, minyak goreng, daging sapi, daging ayam dan telur. Data

yang digunakan adalah data SUSENAS tahun 1996-2011 untuk menghitung proyeksi

konsumsi secara agregat nasional, sedangkan SUSENAS tahun 2006-2011 untuk proyeksi

konsumsi menurut kelompok pengeluaran (disesuaikan dengan kesamaan dalam hal jumlah

dan nilai rupiah dari masing-masing kelompok). Proyeksi konsumsi pangan secara agregat

dilakukan untuk mengetahui berapa perkiraan pangan yang dibutuhkan untuk konsumsi

masyarakat. Selanjutnya hasil ini digunakan sebagai pijakan dalam menentukan

ketersediaan pangan, berapa kemampuan dari produksi sendiri dan berapa dari impor.

Sementara itu, proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan dilakukan untuk

mengetahui besaran kebutuhan konsumsi pangan per kelompok dengan memperhatikan

perubahan komposisi penduduk menurut kelompok pangan.

Data dasar yang digunakan untuk menghitung proyeksi pangan adalah data konsumsi

pangan tahun 2011 dan laju perubahan permintaan pangan seperti pada Tabel 7.6. Kedua

tabel tersebut digunaan untuk menghitung proyeksi konsumsi pangan secara agregat. Data

penduduk yang digunakan untuk proyeksi adalah penduduk tahun 2010 sebagai tahun dasar

(237.641.326 juta orang) dengan laju pertumbuhan mengikuti laju pertumbuhan penduduk

tahun 2000-2010 yaitu 1,49 persen per tahun (BPS, 2012). Proyeksi penduduk secara

agregat untuk setiap tahun pada kurun waktu 2013 sampai 2020 seperti pada Tabel 7.7.

Page 63: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

51

Tabel 7.6. Tingkat Beberapa Komoditas Pangan dan Laju Perubahannya

Menurut Kelompok Pengeluaran

Komoditas I II III IV V VI VII VIII

Beras

2011 66,7 77,1 83,2 89,5 91,5 90,3 85,1 75,1

Laju Perub. (%) 0,17 0,71 1,15 (1,18) (1,6) (1,5) (1,5) (1,7)

Terigu

2011 0,4 0,9 1,4 2,1 2,9 3,8 4,3 4,7

Laju Perub. (%) 1,47 (20,0) (2,78) (0,97) (1,24) (0,42) (1,64) (3,10)

Kedelai

2011 0,8 2,8 3,9 5,3 6,1 6,5 6,6 6,7

Laju Perub. (%) (12,70) (2,57) (1,86) (1,72) (3,14) (3,85) (5,18) (5,64)

Gula Pasir

2011 3,0 3,7 4,5 5,8 7,0 8,0 8,3 8,2

Laju Perub. (%) (2,52) (3,38) (2,65) (2,85) (2,61) (2,39) (3,79) (4,78)

Minyak goreng

2011 3,3 4,0 5,2 6,7 8,0 9,3 10,1 10,2

Laju Perub. (%) 6,53 1,27 2,71 3,41 2,83 2,58 2,29 1,68

Daging sapi

2011 0,001 0,001 0,001 0,10 0,2 0,6 0,9 2,0

Laju Perub. (%) 0 0 (33,27) (2,98) (2,45) (14,09) (0,52) (1,58)

Daging ayam

2011 0,01 0,2 0,9 1,5 3,1 5,6 7,3 9,8

Laju Perub. (%) (20,11) (7,35) 6,17 0,80 2,15 3,15 1,29 3,57

Telur

2011 1,69 2,1 3,0 4,6 6,4 8,1 9,3 9,9

Laju Perub. (%) 31,40 7,85 5,96 3,97 2,63 (1,65) (1,65) 0,82

Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Sementara itu, proporsi penduduk menurut kelompok pengeluaran pada tahun 2020

dihitung dengan mempertimbangkan laju proporsi penduduk selama kurun waktu tahun

2007 sampai 2011, pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada kurun waktu tersebut.

Pertumbuhan ekonomi selama ahun 2007 sampai 2011 bila dijumlahkan menjadi 31,18%,

sedangkan untuk inflasi menjadi 29,65, sehingga pertumbuhan ekonomi riil sebesar 1,53%.

Selain itu, asumsi pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu 2013-2010 adalah 6,5% per

tahun dan Inflasi sebesar 5% per tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, proporsi

dan jumlah penduduk menurut kelompok pengeluaran pada tahun 2020 sepeti pada Tabel

7.8.

Tabel 7.7. Proyeksi Jumlah Penduduk (Orang)

Tahun Jumlah Penduduk (orang)

2013 248.422.956

2014 252.124.458

2015 255.881.112

2016 259.693.741

2017 263.563.177

2018 267.490.269

2019 271.475.874

2020 275.520.864

Page 64: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

52

Hasil proyeksi permintaan beberapa jenis pangan untuk konsumsi masyarakat

berdasarkan data SUSENAS disajikan pada Tabel 7.9 sampai Tabel 7.13. Kebutuhan beras

untuk konsumsi masyarakat pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 16,1 juta ton. Walaupun

mengalami penurunan dibandingkan keadaan sekarang (diperlukan sekitar 20-an juta ton),

namun pemerintah tetap harus waspada dikarenakan lahan untuk menanam padi semakin

terbatas. Konversi lahan petanian ke non pertanian terus berlangsung, walaupun pemerintah

telah menetapkan Undang-Undang LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), yang

mengamanatkan untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian dan menetapkan lahan

pertanian abadi. Operasionalisasi hal tersebut masih belum berjalan di lapangan.

Tabel 7.8. Proporsi Penduduk Menurut Kelompok Pengeluaran (Orang)

Kelompok

Pengeluaran

Proporsi Penduduk

2011

Proporsi Penduduk

2020

Jumlah Penduduk

2020

I 0,05 0,005 13.776

II 1,4 0,235 647.474

III 5,8 1,644 4.529.563

IV 20,8 11,191 30.833.540

V 30,9 25,316 69.750.862

VI 19,6 22,973 63.295.408

VII 9,2 13,734 37.840.035

VIII 12,2 24,905 68.610.206

Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu ke II, menetapkan lima komoditas strategis

utama yaitu beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula pasir, yang diupayakan untuk

mencapai swasembada (dihitung dari produksi pangan dibagi dengan kebutuhannya).

Pencapaian pada tahun 2012 menunjukkan bahwa untuk beras dan jagung telah tercapai

swasembada (Suryana, 2012), namun untuk komoditas lainnya masih perlu diupayakan

peningkatan produksinya seperti pada Tabel 7.14.

Ke depan persaingan sumberdaya lahan juga semakin ketat dikarenakan jumlah

penduduk juga terus meningkat, sehingga akan terjadi persaingan lahan untuk pemukiman,

produksi pangan dan industri. Selain itu, penanaman padi juga memerlukan air yang cukup

untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi. Padahal dengan adanya perubahan iklim

berdampak pada perubahan pola hujan yang tidak menentu, yang tentu saja akan

menyulitkan petani. Konsumsi pangan masih tetap didominasi oleh beras sebagai sumber

karbohidrat atau pangan pokok, akan memberatkan bagi upaya pemantapan ketahanan

pangan yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, upaya pengembangan pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu harus

mendapat porsi yang layak. Penanaman pangan ini relatif mudah dibandingkan dengan

beras seperti tidak memerlukan air dalam jumlah yang banyak dan kebutuhan input produksi

juga rendah. Pengembangan pangan ini tidak hanya terkait budidaya tanaman (yang

memang selama ini cenderung dibiarkan oleh pemerintah) tetapi juga dalam hal

pengolahannya, sehingga produk olahan pangan yang dihasilkan akan menarik bagi

Page 65: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

53

konsumen/masyarakat. Disisi lain, penyadaran masyarakat akan konsumsi makanan yang

beranekaragam terus harus dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat.

Tabel 7.9. Proyeksi Permintaan Beberapa Jenis Pangan untuk

Konsumsi Masyarakat (kg/kap/th)

Komoditas 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Beras 80,1 76,5 73,2 70,0 66,9 63,9 61,1 58,4

Terigu 3,9 4,3 4,8 5,3 5,8 6,4 7,1 7,9

Daging sapi 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3

Daging ayam 5,1 5,6 6,1 6,7 7,3 8,0 8,7 9,5

Telur 8,1 8,9 9,7 10,7 11,7 12,8 14,0 15,3

Kedelai 6,1 6,2 6,3 6,5 6,6 6,7 6,8 6,9

Gula pasir 7,5 7,7 7,9 8,2 8,5 8,7 9,0 9,3

Minyak goreng 8,7 9,0 9,3 9,6 9,8 10,2 10,5 10,8

Tabel 7.10. Proyeksi Permintaan Beberapa Pangan untuk

Konsumsi Masyarakat (ribu ton)

Jenis

Pangan

2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Beras 19.888,9 19.297,1 18.722,9 18.165,8 17.625,3 17.100,8 16.592,0 16.098,3

Terigu 970,7 1.088,6 1.220,8 1.369,1 1.535,4 1.721,8 1.931,0 2.165,5

Daging sapi 113,0 109,5 106,0 102,6 99,3 96,2 93,1 90,2

Daging ayam 1.273,8 1.411,7 1.564,6 1.734,0 1.921,7 2.129,8 2.360,4 2.615,9

Telur 2.021,8 2.244,8 2.492,4 2.767,3 3.072,5 3.411,4 3.787,7 4.205,5

Kedelai 1.518,9 1.569,3 1.621,4 1.675,1 1.730,7 1.788,1 1.847,4 1.908,7

Gula pasir 1.852,0 1.939,8 2.031,7 2.127,9 2.228,7 2.334,3 2.444,9 2.560,8

Minyak

goreng 2.165,3 2.265,7 2.370,8 2.480,7 2.595,7 2.716,0 2.841,9 2.973,7

Tabel 7.11. Proyeksi Permintaan Pangan Menurut Kelompok Pangan, 2020

(kg/kap/tahun)

Komoditas I II III IV V VI VII VIII

Beras 67,7 82,2 92,2 80,4 79,1 78,8 74,3 64,4

Terigu 0,5 0,1 1,1 1,9 3,8 4,9 4,8 5,5

Daging sapi 0,0 0,0 0,0 0,1 0,2 0,2 0,9 1,7

Daging ayam 0,0 0,1 0,5 1,6 3,8 7,4 8,2 13,4

Telur 19,7 4,1 5,1 6,5 8,1 7,0 8,0 10,7

Kedelai 0,2 2,2 3,3 4,5 4,6 4,6 4,1 4,0

Gula pasir 2,4 2,7 3,5 4,5 5,5 6,5 5,9 5,3

Minyak goreng 7,4 5,6 8,1 11,1 12,9 12,8 15,4 14,8

Page 66: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

54

Tabel 7.12. Proyeksi Permintaan: Beras, Terigu, Kedelai dan Gula Pasir

Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton)

Kelompok

Pengeluaran

Beras Terigu Kedelai Gula pasir

I 933,0 6,3 3,2 32,8

II 53.202,3 78,2 1434,2 1.758,0

III 417.707,8 4.920,2 14.918,9 16.006,4

IV 2.479.990,8 59.312,2 139.793,0 137.859,5

V 5.519.840,9 261.835,5 319.286,0 384.837,1

VI 4.988.684,4 310.807,5 288.954,3 409.178,4

VII 2.810.652,6 182.602,2 154.737,3 221.825,5

VIII 4.415.809,4 377.246,8 272.618,2 362.039,7

Tabel 7.13. Proyeksi Permintaan: Minyak Goreng, Daging Sapi, Daging Ayam

dan Telur Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton)

Kelompok

Pengeluaran

Minyak goreng Daging sapi Daging ayam Telur

I 102,2 0 0 271,9

II 3.626,8 0 65,1 2.684,3

III 36.876,6 0 2.298,1 22.880,0

IV 341.900,8 2.348,4 49.688,9 201.351,0

V 896.660,6 11.159,0 261.852,4 563.895,4

VI 811.963,7 9.681,0 468.579,5 441.394,1

VII 584.548,7 32.495 310.008,4 302.972,9

VIII 1.012.307,1 118.896,5 921.978,1 731.045,1

Page 67: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

55

Tabel 7.14. Capaian Indeks Swasembada Komoditas Pangan Utama 2011-2012

No Komoditas (ribu ton) 2011*) 2012**)

1 Beras Produksi 36.969 38.767

Kebutuhan 33.045 33.035

Indeks swasembada 111,87 117,35

2 Jagung Produksi 17.643 18.961

Kebutuhan 15.272 16.097

Indeks swasembada 115,52 117,79

3 Kedelai Produksi 851 783

Kebutuhan 2.122 2.246

Indeks swasembada 40,10 34,84

4 Daging sapi Produksi 292.45 399.32

Kebutuhan 449.31 484.07

Indeks swasembada 65,09 82,49

5 Tebu/gula Produksi 2.230 2.660

Kebutuhan 2.790 2.850

Indeks swasembada 79,93 93,33

Keterangan: *) ATAP 2011 **) ARAM II 2012 (BPS) untuk padi, jagung dan

kedelai, dan prognosa untuk daging sapi dan gula; Indeks

Swasembada: produksi/ kebutuhan

7.3. Perspektif Pola Konsumsi Pangan Ke Depan

Banyak faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat namun dua

aspek utama yang mempengaruhi hal tersebut adalah tingkat pendapatan dan pengetahuan

pangan dan gizi masyarakat. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan

masyarakat terus meningkat yang juga dapat diartikan terjadi peningkatan pendapatan

masyarakat. Perubahan pendapatan akan berdampak pada perubahan pola konsumsinya

dan dampak tersebut dapat positif dan dapat pula negatif. Dalam arti, perubahan

pendapatan akan mengubah pola konsumsi pangan yang berdampak positif pada kesehatan

dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan untuk kebalikannya.

Selama 15 tahun terakhir telah terjadi perubahan konsumsi pangan yang dicirikan

dengan: (a) Perubahan dominasi pangsa pengeluaran dari padi-padian menjadi pada

kelompok makanan/minuman jadi, (b) Peningkatan konsumsi energi dan protein, namun

untuk konsumsi energi masih belum sesuai anjuran, (c) Penurunan kualitas konsumsi

pangan(mengacu pada PPH), (d) Penurunan konsumsi pangan sumber karbohidrat seperti

beras, umbi-umbian, jagung, kecuali untuk terigu terus meningkat, (e) Peningkatan

konsumsi pangan sumber protein kecuali daging sapi, (f) Peningkatan konsumsi kedelai dan

minyak goreng, (g) Peningkatan konsumsi sayur dan buah, namun tingkat konsumsinya

tahun 2011 lebih rendah daripada tahun 2010, dan (h) Penurunan konsumsi gula pasir.

Selain itu, semakin tinggi pendapatan, pangan sumber karbohidrat akan turun kecuali untuk

terigu. Sebaliknya terjadi peningkatan konsumsi pangan sumber protein, gula pasir dan

minyak goreng.

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menganggap konsumsi garam, gula dan

lemak di Indonesia berlebihan sehingga rentan menimbulkan berbagai penyakit seperti

Page 68: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

56

hipertensi, diabetes, jantung koroner, kanker dan stroke. Konsumsi garam yang dianjurkan

per orang per hari adalah 5 gram (setara 1 sendok teh), gula sebanyak 50 gram (4 sendok

makan) dan konsumsi lemak sebanak 78 gram (1,5-3 sendok makan). Untuk mencegah hal

ini, pemerintah akan mengatur dan menerbitkan buku saku tentang pembatasan konsumsi

garam, gula dan lemak sebagai pedoman konsumsi.

Situasi kesehatan dari hasil Riset Penelitian Kesehatan (Riskesdas) tahun 2010 antara

lain menunjukkan: (a) Prevalensi (proporsi) anak balita gemuk (overweight dan obese)

mengalami kenaikan, yaitu dari 12,2% pada tahun 2007 menjadi 14,0% pada tahun 2010,

(b) Masalah anak balita pendek merupakan masalah tertinggi yang dihadapi balita di

Indonesia, (c) Prevalensi anak gemuk meningkat, dari 5,2% pada tahun 2007 menjadi 5,9%

pada tahun 2010, (d) Prevalensi orang gemuk meningkat, dari 21,3% tahun 2007 menjadi

22,8% tahun 2010. Selain itu prevalensi orang dewasa yang obesitas dan hipertensi juga

meningkat. Hasil analisis penyebab kematian di Indonesia dari tahun 1995 (Survey

Kesehatan Rumah Tangga) sampai dengan 2007 (Riskesdas) menunjukkan bahwa terjadi

kecenderungan kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM) meningkat

dan penyakit menular (PM) mulai berkurang. Urutan penyebab utama kematian adalah

stroke, hipertensi, diabetes, tumor ganas, dan penyakit jantung iskemik.

Kejadian obesitas diperberat dengan rendahnya aktivitas fisik, perubahan pola hidup,

rendahnya konsumsi sayur dan buah, pola makan tidak sehat, dan banyak faktor lain seperti

merokok dan lain-lain. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah penderita

diabetes melitus (DM) tipe 2 di Indonesia meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun dan pada

2010 mencapai 21,3 juta orang. Penambahan penderita terutama terjadi di kawasan urban

karena gaya hidup yang tidak sehat (Widjoyo, 2011).

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka pola konsumsi pangan yang seimbang

dengan konsep diversifikasi pangan merupakan hal yang mutlak untuk mencapai kesehatan

yang prima dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Upaya yang dilakukan untuk

mencapai hal tersebut dengan memperhatikan hasil analisis sebagai berikut :

a. Perubahan cara berpikir atau cara pandang terhadap pola konsumsi makan. Makan

asal kenyang diubah menjadi makan untuk sehat sehingga pangan yang dikonsumsi

harus memperhatikan kaidah-kaidah gizi dan kesehatan. Pangan yang dikonsumsi

setiap hari harus beragam, bergizi, seimbang dan aman. Untuk hal tersebut, pangan

tidak harus mahal, karena telah tersedia aneka jenis pangan dengan harga yang

bervariasi disesuaikan dengan daya belinya. Selain itu juga tersedia jenis pangan yang

dapat disubsitusi dengan pangan lain. Sebagai contoh, beras dapat disubsitusi dengan

jagung, umbi-umbian, sagu; ikan tongkol dapat disubsitusi dengan ikan teri, gurame dan

lainnya.

b. Peningkatan pendapatan harus berdampak positip terhadap kualitas konsumsi

pangan dan kesehatan. Oleh karena itu, upaya penyadaran kepada seluruh lapisan

masyarakat menjadi penting. Hasil evaluasi lambatnya pencapaian diversifikasi pangan

menjadi acuan untuk menyusun kebijakan dan mengimplementasinya ke depan.

c. Proyeksi permintaan beberapa pangan tahun 2020 mengalami peningkatan.

Pemenuhan kebutuhan pangan diupayakan dari dalam negeri dengan memperhatikan

potensi sumber daya lokal sesuai amanat Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang

Pangan terkait dengan kemandirian dan kedaulatan pangan dalam mencapai ketahanan

Page 69: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

57

pangan. Dengan semakin terbatasnya lahan pertanian akibat konversi lahan dan

perubahan iklim serta faktor lainnya, diperkirakan upaya peningkatan penyediaan

pangan semakin berat. Upaya lain yang dapat dilakukan dengan mengurangi atau

menghilangkan pemborosan dan kehilangan pangan. Pemborosan pangan (food waste)

terjadi mulai dari pasar retail dan sampai di rumah seperti masih banyak makanan yang

tersisa sewaktu makan, apalagi di tempat hajatan, disimpan terlalu lama dikulkas, terlalu

lama di pasar karena tidak ada yang membeli sehingga menjadi kadaluwarsa, dan

lainnya. Pemborosan tingkat pengecer dan konsumsi pada beras pada tahun 2011

dengan produksi sebesar 41,07 juta ton mencapai 9,5% atau sekitar 3.901,5 ribu ton.

Sementara itu, kehilangan pangan (food loss), pada padi/beras juga masih sekitar

13,0% (terjadi pada proses produksi dan rantai pangan, mulai tahap produksi, pasca

panen, sampai tahap pengolahan).

d. Penguatan kelembagaan yang menangani masalah pangan terutama terkait

dengan perubahan konsumsi pangan. Selama ini sepertinya tidak ada yang mengatur

atau mempengaruhi masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang sehat. Berbagai

media seperti media massa, elektronik lebih mengedepankan aspek iklan pangan yang

belum tentu benar. Sebagai contoh, apabila terjadi peralihan konsumsi pangan dari

beras ke gaplek, para awak media menyampaikan berita tejadi rawan pangan atau

pemiskinan, bukan sebaliknya sebagai upaya diversifikasi yang menyehatkan.

Page 70: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

58

BAB VIII

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

8.1. Kesimpulan

a. Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang diukur dengan pangsa

pengeluaran pangan baik di perkotaan maupun di pedesaan semakin membaik.

Upaya peningkatan kesejahteraan terutama masyarakat pedesaan harus

mendapat prioritas, sehingga kesenjangan kesejahteraan di kedua wilayah secara

bertahap dapat diperkecil.

b. Terdapat perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada kelompok

padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Sementara pola pengeluaran

untuk kelompok pangan yang lain relatif sama dari tahun ke tahun. Perubahan ini

menuntut pengembangan usaha di sektor makanan/minuman disesuaikan dengan

kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Usaha makanan juga harus

memperhatikan faktor keamanan pangan, sehingga perlunya pembinaan terutama

bagi usaha rumahtangga dan kecil.

c. Pola konsumsi masyarakat sudah mengarah kepada pola konsumsi anjuran baik dari

segi kebutuhan energi, protein, namun untuk keragaman konsumsi masih perlu

ditingkatkan. Pangan dominan masih dari beras sebagai sumber energi dan

protein, sementara pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu menurun tingkat

konsumsinya. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya meningkat. Diantara

pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan

selama 15 tahun terakhir. Demikian pula konsumsi gula pasir juga menurun,

sebaliknya konsumsi minyak goreng terus meningkat.

d. Peningkatan pendapatan berdampak pada perubahan pola konsumsi pangan yaitu

mengurangi pangan sumber karbohidrat dan meningkatkan pangan sumber

protein, vitamin dan mineral. Namun perubahan pola konsumsi tidak hanya

ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan masyarakat akan

pangan dan gizi.

e. Permintaan pangan pada tahun 2020 pada umumnya masih tinggi terutama pada

kelompok menengah, yang jumlahnya masih relatif besar dalam struktur penduduk.

Secara agregat, permintaan beras pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 16,1 juta

ton, sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masing-masing sekitar 2,1 juta

ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng sekitar 3,0 juta ton dan

daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton.

8.2. Rekomendasi Kebijakan

a. Pola konsumsi masyarakat akan berubah seiring dengan perubahan pendapatan.

Namun untuk mendapatkan kualitas sumberdaya yang berkualitas (sehat dan

cerdas) maka pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi harus terus

ditingkatkan, sehingga masyarakat hanya akan mengkonsumsi makanan yang

berkualitas, yang menyehatkan dan mencerdaskan. Upaya penyadaran ini tidak

dapat hanya bersandarkan pada kebijakan dari pemerintah, namun juga semua

Page 71: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

59

elemen seperti swasta dan masyarakat. Promosi produk makanan dilakukan

secara benar dan tidak menyesatkan konsumen.

b. Upaya diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis sumberdaya lokal tidak dapat

lagi dilakukan dengan himbauan-himbauan. Pemerintah harus secara signifikan

berperan untuk mewujudkan hal tersebut, seperti peran pemerintah mengalihkan

pola makan masyarakat dari makanan lokal (umbi-umbian, jagung, sagu) ke beras

dan produk terigu. Pemerintah harus berperan dalam pengembangan industri

pengolahan pangan berbasis sumberdaya lokal dan penyadaran masyarakat. Pada

tahap awal, produk olahan ini diberikan secara gratis oleh pemerintah dapat

melalui raskin, pangan darurat dan lainnya. Penyadaran juga dilakukan kepada

media (elektronik/surat kabar) dan semua elemen bahwa mengkonsumsi pangan

produk lokal bukan karena kelaparan atau miskin seperti sinyalemen pada saat ini.

Page 72: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

60

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M; H.P Saliem; S.H. Suhartini; Wahida dan M,H, Sawit; 2000. Dampak Krisis

Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan Rumahtangga. Laporan Hasil Penelitian.

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Anonimous. 2012. Pidato Pengarahan Menteri Pertanian pada Widyakarya Nasional

Pangan dan Gizi X. Jakarta, 22 November, Jakarta,

Ariani, M. 2012. Rekonstruksi Pola Pangan Masyarakat dalam Upaya Percepatan

Diversifikasi angan Mendukung Program MP3EI. Dalam Buku : Kemandirian Pangan

Indonesia dalam Perspektif Kebijakan MP3EI. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Kementerian Pertanian,

Ariani, M dan Ashari. 2003. Arah, Kendala dan Pentignya Diversifikasi Konsumsi Pangan di

Indonesia. Forum Agro Ekonomi, Vol, 21, No, 2, Desember, Bogor.

Ariani, M dan E. Pasandaran. 2005. Pola Konsumsi dan Permintaan Jagung untuk Pangan.

Buku Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Jakarta.

Anonimous. 2009. Peraturan Presiden Republik Indonesia No, 22 Tahun 2009 Tentang

Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya

Lokal, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Pengeluaran Penduduk Indonesia, BPS, Jakarta

Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia

dan Propinsi. BPS, Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2011. Konsumsi Perkapita Menurut Golongan Pengeluaran Penduduk

Indonesia dan Provinsi. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta

BAPPENAS. 2006. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta,

Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2009. Direktori Pengembangan

Konsumsi Pangan. Jakarta

Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Direktori Pengembangan

Konsumsi Pangan. Jakarta

Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Umum Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Jakarta

Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Roadmap Diversifikasi Pangan

Tahun 2011-2015. Jakarta Bank Indonesia. 2011. Ketahanan Perekonomian

Indonesia di Tengah Ketidakpastian Ekonmi Global. Laporan Perekonomian

Indonesia. Jakarta

Departemen Pertanian RI. 2007. Pedoman Penyusunan Pola Pangan Harapan. BKP,

Kementan : Jakarta.

Page 73: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

61

Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. 2003. Penganekaragaman Konsumsi Pangan

Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah. Jakarta,

FAO. 1996. Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action, Rome, Available at:

www,fao,org/docrep/003/X8346E/x8346e02,htm#P1_10,

Firmansyah. 2013. Ekonomi Global dan Resiko 2013. Sekretariat Kabinet RI, Minggu, 06

Januari 2013.

Sumber : Hanani (tanpa tahun)http://nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/ 2009/03/ 2-pengertian-

ketahanan-pangan-2.pdf

Hattas, Z. 2011. Pola Konsumsi Masyarakat. http://ekonkop,blogspot,com/ 2011/11/pola-

konsumsi-masyarakat,html

Hardono, G,S. 2012. Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Beberapa

Provinsi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kantor Menko Kesra. 1989. Pola Umum Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Jakarta

Krisnamurthi,B. 2003. Penganekaragaman Pangan: Pengalaman 40 tahun dan Tantangan

ke Depan. Jurnal Ekonomi Rakyat, Th, II, No, 7, Oktober.

Kementerian Pertanian. 2009. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2009-2014.

Jakarta.

Kementerian Kesehatan. 2005. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1593/Menkes/SK/XI/2005,

Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Departemen

Kesehatan, Jakarta.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2010. Laporan

Pencapaian Tujuan pembangunan Milenium di Indonesia. Jakarta

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Master Plan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta

Kementerian Pertanian RI. 2012. Road Map Diversifikasi Pangan 2010-2015. BKP-

Kementan : Jakarta.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2010. Laporan

Pencapaian Tujuan pembangunan Milenium di Indonesia. Jakarta

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Master Plan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta

Kemenkes. 2011. Seribu Hari Untuk negeri. Dfat Panduan Gerakan Nasional Sadar Gizi

Menuju Indonesia Prima. (www,depkes,go,id, diunduh tanggal 10 April 2012)

Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM). 2012. “UKM Bidang Pangan”,

(Online),http://www,depkop,go,id/index,php?option=comcontent&view=article&id=466

:kemenkop-7941-persen-ukm-pangan. 28 Oktober 2012.

Limbongan, J dan A. Soplanit. 2007. Ketersediaan Teknologi dan Potensi Pengembangan

Ubijalar (Ipomoea batatas L.) di Papua. Jurnal Jurnal Litbang Pertanian, 26(4).

Page 74: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

62

Makmur, Mulyono. 2010. Kebijakan Umum Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan

Pangan. Bahan disampaikan pada Workshop Dewan Ketahanan Pangan, 20-22

September. Jakarta.

Martianto, D. 2005. Pengembangan Diversifikasi Konsumsi Pangan Seminar

Pengembangan Diversifikasi Pangan Bappenas, 21 Oktober.

Melgar-Quinonez, HR, AC Zubieta, B MkNelly, A Nteziyaremye, MFD Gerardo & C Dunford,

2006, “Household Food Insecurity and Food Expenditure in Bolivia, Burkina Faso, and

the Philippines”, J Nutr 2006;136:1431S-1437S.

Mahatama, E dan Afrianto. 2012. Tinjauan Pasar Tepung Terigu. Majalah Kementerian

Perdagangan. Edisi 02/TRG/TKSPP.

Nurmanaf, A,R, dan SH Susilowati. 2000. Struktur Kesempatan Kerja dan Kaitannya dengan

Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Pedesaan (Editor: IW, Rusastra dkk).

Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi

Daerah, hal 88-93. Pusat Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Pakpahan, A, P; Saliem dan S.H. Suhartini. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan

Masyarakat Berpendapatan Rendah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian.

Bogor.

Pakpahan. 2012. Pembangunan Sebagai Pemerdekaan, Pemikiran untuk Membalik Arus

Sejarah Pembangunan Nasional. Penerbit GAPPERINDO. Jakarta.

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan. 2012. Potensi Sumberdaya Pangan Indonesia.

Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. Jakarta.

Rahardjo, M, D. 1993. Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia. Prisma No, 5, Th

XXII, Hlm, 13-24. LP3ES, Jakarta.

Rachman, HPS dan M. Ariani. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia:

Permasalahan dan Implikasinya untuk Kebijakan dan Program. Analisis Kebijakan

Pertanian, Vol, 6, No, 2. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Soemardjan, S. 1986. Unsur-unsur Budaya dalam Program Pangan. Makalah pada Kongres

Pergizi Pangan dan Simposium Nasional Pangan dan Gizi. Semarang, 26-28

Agustus.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor

Suhardjo, L,P, Harper, B,J Deaton and J,A,Driskel. 2006. Pangan, Gizi dan Pertanian. UI-

Press, Jakarta,

Simatupang, P dan M, Ariani. 1997. Hubungan Antara pendapatan Rumahtangga dan

Pergeseran Preferensi Terhadap Pangan. Majalah Pangan No,33, Vol, IX, Jakarta.

Sudaryanto, T; IW, Rusastra and P. Simatupang. 1999. The Impact of Economic Crisis and

Policy Adjusment on Food Crop Development Toward Economic Globalization.

Paper presented on “Round Table Discussion on Food and Nutrition Task Force I:

Food and Agriculture” Pra-WKNPG VII, 8 November 1999. Center For Agro-Socio

Economic Research, Bogor.

Page 75: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

63

Soekirman. 2000. “Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat”. Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Makalah

disajikan dalam Seminar Memperingati Hari Pangan Sedunia. Jakarta, 1 Oktober.

Suryana, A. tanpa tahun. Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi: Faktor

Pendukung Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia.

http://www,bulog,co,id/old_website/data/doc/WIB-Penganekaragaman

_Konsumsi%20_Pangan_Dan_ Giz,pdf.

Setiawan, Bayu. 2011. Laporan Akhir Penelitian Insentif 2011: Kemandirian Pangan

Berbasis Potensi lokal (Studi di Provinsi NTT). Puslit Kependudukan LIPI. Jakarta

Sukara, E. 2012. Dapatkan Indonesia Menyediakan Kebutuhan Pangan Penduduknya dan

Menyumbang Pangan bagi Penduduk Dunia dengan Menggali dan Melestarikan

Kekayaan Keanekaragaman Hayatinya? Makalah disampaikan pada FGD Sub

Tema: Ketersediaan dan Aksesibilitas Pangan. Hotel Kaisar, Jakarta, 5 Juni.

TIM IPB. 2009. Agenda Riset Bidang Pangan 2009-2012. Bogor.

Widjojo, Budiman. 2011. Indonesia Urutan Keempat Terbanyak Penderita Diabetes.

Makalah disampaikan pada Simposium Diabetes Mellitus. Hotel Mercure, 12-13

November, Jakarta

Mahmud, Mien; Hermana; Zulfianto; Rozanna, Rossi; Ngadiarti; Hartati, Budi; Bernadus;

Tinexcelly. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Gramedia. Jakarta.

Martianto, Drajat. 2003. Jurnal Ketahanan Pangan dan Gizi.

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51642/drajat%20martianto%2

0-%20001.pdf?sequence=2. Bogor.

Suhardjo. 1998. Konsep dan Kebijakan Diversifikasi Konsumsi Pangan dalam Rangka

Ketahanan Pangan. Prosiding WNPG VI. LIPI, Jakarta.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta:

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.

Sharp et al. (Sharp, A.M., Register, C.A., Grimes , P.W. 2000. Economics of Social Issues

14th edition, New York: Irwin/McGraw-Hill.

Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Makalah

disajikan dalam Seminar Memperingati Hari Pangan Sedunia, Jakarta, 1 Oktober

TIM IPB. 2009. Agenda Riset Bidang Pangan 2009-2012. Bogor.

Widjojo, Budiman. 2011. Indonesia Urutan Keempat Terbanyak Penderita Diabetes.

Makalah disampaikan pada Simposium Diabetes Mellitus. Hotel Mercure, 12-13

November. Jakarta

Page 76: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

64

LAMPIRAN

Page 77: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

65

Tabel Lampiran. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%)

Tahun Kota Desa Kota+desa

1996 48,0 63,1 55,3

1999 56,2 70,2 62,9

2002 52,8 66,6 58,5

2005 48,2 62,5 53,9

2008 45,0 58,7 50,2

2011 43,9 55,8 48,5

Tabel Lampiran. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Wilayah

Tahun 1996 1999 2002 2005 2008 2011

Energi (Kal/kap/hari)

Kota 1984 1802 1954 1923 1621 1822

Desa 2040 1880 2013 2060 2096 1884

Kota+Desa 2020 1849 1987 1996 2038 1853

Protein (gram/kap/hari)

Kota 55,9 49,3 56,0 58,3 58,2 54,4

Desa 53,7 48,2 53,2 55,2 56,9 51,9

Kota+Desa 54,5 48,7 54,5 56,6 57,5 53,1

Pangsa Protein Hewani (%)

Kota 25,4 18,0 23,0 28,9 25,2 26,7

Desa 18,6 16,7 18,9 22,1 21,5 23,2

Kota+Desa 21,6 18,1 21,7 25,2 23,3 25,4

Keterangan, Anjuann energi : 2000 Kalori; Protein : 52 gram

Tabel Lampiran. Pola Konsumsi Pangan Menurut PPH

Tahun Skor PPH

2002 72,30

2003 75,00

2004 74,00

2005 77,60

2006 72,60

2007 80,68

2008 80,50

2009 73,30

2010 77,50

2011 77,30

Page 78: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

66

Tabel Lampiran. Perkembangan Tingkat Konsumsi Beras, Terigu, Kedelai,

Gula Pasir dan Minyak Goreng Menurut Kelompok

Pengeluaran Tahun 2006-2011

Komoditas/Tahun I II III IV V VI VII VII Beras

2006 68,1 69,4 74,3 94,8 101,4 102,4 96,1 83,4

2007 66,0 86,3 91,2 97,5 94,5 86,6 80,4 75,9

2008 72,6 89,0 97,8 100,6 96,4 86,4 79,3 71,7

2009 68,8 83,9 92,7 97,8 95,2 86,9 79,4 72,4

2010 71,0 81,9 89,9 94,1 94,0 90,3 83,7 74,8

2011 66,7 77,1 83,2 89,5 91,5 90,3 85,1 75,1

Laju Perub. (%) 0,17 0,71 1,15 (1,18) (1,6) (1,5) (1,5) (1,7) Terigu

2006 0,3 2,3 1,0 1,4 2,0 2,9 3,9 5,2

2007 0,8 1,8 2,7 3,9 5,4 6,4 7,2 6,6

2008 0,7 1,4 2,1 3,2 4,5 5,5 5,9 5,6

2009 0,5 1,0 1,7 2,7 3,8 5,4 5,6 5,7

2010 0,8 1,0 1,6 2,6 3,6 4,7 5,6 5,4

2011 0,4 0,9 1,4 2,1 2,9 3,8 4,3 4,7

Laju Perub. (%) 1,47 (20,0) (2,78) (0,97) (1,24) (0,42) (1,64) (3,10) Kedelai

2006 1,4 2,2 3,5 4,9 6,5 7,4 8,1 8,5

2007 3,2 4,9 6,0 7,3 8,0 7,9 8,1 8,5

2008 2,1 3,7 5,1 6,1 6,9 7,2 7,2 6,9

2009 1,6 3,4 4,6 5,7 6,6 7,0 7,2 6,8

2010 1,7 3,0 4,5 5,6 6,3 6,3 6,7 6,7

2011 0,8 2,8 3,9 5,3 6,1 6,5 6,6 6,7

Laju Perub. (%) (12,70) (2,57) (1,86) (1,72) (3,14) (3,85) (5,18) (5,64) Gula Pasir

2006 2,6 3,7 4,5 5,8 7,1 8,5 9,8 10,5

2007 4,1 5,7 7,0 8,7 10,2 10,7 10,9 10,2

2008 3,9 5,4 6,8 8,4 9,5 9,7 9,8 9,5

2009 3,5 4,8 6,0 7,3 8,6 9,3 9,4 8,9

2010 2,6 4,1 5,5 6,7 8,1 9,1 9,3 9,0

2011 3,0 3,7 4,5 5,8 7,0 8,0 8,3 8,2

Laju Perub. (%) (2,52) (3,38) (2,65) (2,85) (2,61) (2,39) (3,79) (4,78) Minyak goreng

2006 2,3 3,8 4,5 5,6 7,0 8,5 9,5 10,0

2007 3,7 5,5 6,7 8,0 9,6 10,7 11,2 11,5

2008 3,2 4,9 6,4 7,7 9,3 10,1 10,3 10,5

2009 4,1 5,8 7,3 8,9 10,7 11,9 12,2 12,2

2010 4,4 5,6 7,2 8,8 10,5 11,9 12,5 12,8

2011 3,3 4,0 5,2 6,7 8,0 9,3 10,1 10,2

Laju Perub. (%) 6,53 1,27 2,71 3,41 2,83 2,58 2,29 1,68 Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Page 79: LAPORAN AKHIR ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN …bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/LAPORAN_DINAMIKA_POLA... · laporan akhir analisis dinamika konsumsi pangan masyarakat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia

67

Tabel Lampiran. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam

dan Telur

I II III IV V VI VII VII

Daging sapi

2006 0,00 0,00 0,05 0,05 0,1 1,0 0,5 1,5

2007 0,00 0,00 0,05 0,16 0,4 1,0 1,6 3,0

2008 0,00 0,00 0,05 0,05 0,3 0,8 1,5 2,5

2009 0,00 0,00 0,05 0,05 0,2 0,6 1,1 2,1

2010 0,00 0,00 0,00 0,05 0,2 0,5 1,0 1,9

2011 0,00 0,00 0,00 0,10 0,2 0,6 0,9 2,0

Laju Perub. (%)

0 0 (33,27) (2,98) (2,45) (14,09) (0,52) (1,58)

Daging ayam

2006 0,2 0,1 0,10 0,6 1,4 2,7 5,2 7,7

2007 0,2 0,7 1,4 2,9 5,2 8,4 10,6 0,2

2008 0,1 0,5 1,1 2,3 4,6 7,22 9,1 10,7

2009 0,1 0,3 0,7 1,6 3,6 6,6 8,6 12,7

2010 0,2 0,3 0,8 1,8 3,6 6,0 8,5 10,3

2011 0,0 0,2 0,9 1,5 3,1 5,6 7,3 9,8

Laju Perub. (%)

(20,11) (7,35) (6,17) 0,80 2,15 3,15 1,29 3,57

Telur

2006 0,42 0,7 1,4 2,9 4,2 6,0 7,7 9,7

2007 0,28 2,6 4,0 5,9 8,7 13,3 14,4 12,5

2008 0,77 2,2 3,5 5,2 7,5 12,04 12,3 11,0

2009 0,75 2,1 3,2 4,9 7,0 8,9 10,1 10,2

2010 1,43 2,1 3,6 5,4 7,3 9,0 10,4 11,4

2011 1,69 2,1 3,0 4,6 6,4 8,1 9,3 9,9

Laju Perub. (%)

31,88 7,85 5,96 3,97 2,63 (1,65) (1,65) 0,82

Keterangan : ( )= penurunan/negatif


Recommended