45
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, diketahui bahwa Diabetes Mellitus bukan hanya dianggap sebagai gangguan metabolisme karbohidrat namun juga menyangkut tentang metabolisme protein dan lemak yang diikuti dengan komplikasi-komplikasi yang bersifat kronis (menahun), terutama yang menimpa struktur dan fungsi pembuluh darah (Pranadji, 2000). Oleh karena itu, Diabetes Melitus bukanlah suatu penyakit yang ringan. Menurut beberapa review, Retinopati diabetika, sebagai penyebab kebutaan pada usia dewasa muda, kematian akibat penyakit kardiovaskuler dan stroke sebesar 2-4 kali lebih besar , Nefropati diabetik, sebagai penyebab utama gagal ginjal terminal, delapan dari 10 penderita diabetes meninggal akibat kejadian kardiovaskuler dan neuropati diabetik, penyebab utama amputasi non traumatic pada usia dewasa muda. Di Negara berkembang, Diabetes mellitus sampai sat ini masih merupakan faktor yang terkait sebagai penyebab kematian sebanyak 4- 5 kali lebih besar. Menurut estimasi data WHO maupun IDF, prevalensi Diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar 5,6 juta penduduk, tetapi pada kenyataannya ternyata didapatkan sebesar 8,2 juta. Tentu saja hal ini sangat mencengangkan para praktisi, sehingga 1

Askep DM Kronis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Askep DM Kronis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, diketahui bahwa Diabetes Mellitus bukan hanya dianggap

sebagai gangguan metabolisme karbohidrat namun juga menyangkut tentang

metabolisme protein dan lemak yang diikuti dengan komplikasi-komplikasi yang

bersifat kronis (menahun), terutama yang menimpa struktur dan fungsi pembuluh darah

(Pranadji, 2000). Oleh karena itu, Diabetes Melitus bukanlah suatu penyakit yang

ringan. Menurut beberapa review, Retinopati diabetika, sebagai penyebab kebutaan

pada usia dewasa muda, kematian akibat penyakit kardiovaskuler dan stroke sebesar 2-

4 kali lebih besar , Nefropati diabetik, sebagai penyebab utama gagal ginjal terminal,

delapan dari 10 penderita diabetes meninggal akibat kejadian kardiovaskuler dan

neuropati diabetik, penyebab utama amputasi non traumatic pada usia dewasa muda.

Di Negara berkembang, Diabetes mellitus sampai sat ini masih merupakan

faktor yang terkait sebagai penyebab kematian sebanyak 4- 5 kali lebih besar. Menurut

estimasi data WHO maupun IDF, prevalensi Diabetes di Indonesia pada tahun 2000

adalah sebesar 5,6 juta penduduk, tetapi pada kenyataannya ternyata didapatkan

sebesar 8,2 juta. Tentu saja hal ini sangat mencengangkan para praktisi, sehingga perlu

dilakukan upaya pencegahan secara komprehensif di setiap sektor terkait.

Menurut laporan UKPDS, komplikasi kronis paling utama adalah penyakit

kardiovaskuler dan stroke, diabetik foot, retinopati, serta nefropati diabetika, Dengan

demikian sebetulnya kematian pada Diabetes terjadi tidak secara langsung akibat

hiperglikemianya, tetapi berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Apabila

dibandingkan dengan orang normal, maka penderita Diabetes Melitus 5x Iebih besar

untuk timbul gangren, 17x Iebih besar untuk menderita kelainan ginjal dan 25x Iebih

besar untuk terjadinya kebutaan.

Seperti telah diketahui, bahwa faktor risiko tradisional, yang berkaitan

dengan penyakit kardiovaskuler dibagi dalam 2 kategori, yaitu dapat dimodifikasi dan

tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang dapat dimodifikasi adalah merokok, dislipidemia,

hipertensi, diabetes melitus, obesitas, faktor diet, rendahnya aktifitas fisik, dan

konsumsi alkohol berlebihan. Sedang yang tidak dapat dikoreksi adalah adanya riwayat

1

Page 2: Askep DM Kronis

penyakit jantung, usia dan gender. Diabetes sendiri dimasukkan kedalam faktor yang

dapat dikoreksi, tetapi akhir-akhir ini diabetes disepakati sebagai kondisi yang sama

dengan penyakit kardiovaskuler (risk equivalent). Dengan demikian semua target terapi

disamakan dengan penderita penyakit kardiovaskuler, walaupun belum terjadi pada

penderita itu sendiri.

Kalau ditinjau lebih dalam lagi, ternyata hiperglikemia ini merupakan awal

bencana bagi penderita diabetes, hal ini terbukti dan terjadi juga pada penderita dengan

gangguan toleransi glukosa yang sudah terjadi kelainan komplikasi vaskuler, walaupun

belum diabetes. Hiperglikemia ini dihubungkan dengan kelainan pada disfungsi

endothel, sebagai cikal bakalnya terjadi mikro maupun makroangiopati. Oleh sebab itu

penderita diabetes perlu diobati agar dapat terhindar dan berbagai komplikasi yang

menyebabkan angka harapan hidup menurun.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi komplikasi kronis Diabetes Melitus?

1.2.2 Bagaimana etiologi dari masing-masing komplikasi kronis Diabetes Melitus?

1.2.3 Apa saja manifestasi klinis dari masing-masing komplikasi kronis Diabetes

Melitus?

1.2.4 Bagaimana WOC (Web of Caution) dari komplikasi kronis Diabetes Melitus?

1.2.5 Apa saja pemeriksaan diagnostik yang digunakan untuk masing-masing

komplikasi kronis Diabetes Melitus?

1.2.6 Bagaimana asuhan keperawatan untuk komplikasi kronis Diabetes Melitus?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

a. Menguraikan konsep dari komplikasi kronis Diabetes Melitus

b. Menguraikan asuhan keperawatan pada komplikasi kronis Diabetes Melitus

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Menguraikan definisi dari komplikasi kronis Diabetes Melitus

b. Menguraikan etiologi dari masing-masing komplikasi kronis Diabetes Melitus

c. Menguraikan manifestasi klinis dari masing-masing komplikasi kronis

Diabetes Melitus

2

Page 3: Askep DM Kronis

d. Menguraikan WOC (Web of Caution) dari komplikasi kronis Diabetes Melitus

e. Menguraikan pemeriksaan diagnostik dari masing-masing komplikasi kronis

Diabetes Melitus

f. Menguraikan asuhan keperawatan pada komplikasi kronis Diabetes Melitus

1.4 Manfaat

1.4.1 Menguraikan asuhan keperawatan pada komplikasi kronis Diabetes Melitus

3

Page 4: Askep DM Kronis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Komplikasi dari penyakit Diabetes Melitus dapat dibedakan menjadi komplikasi

yang bersifat akut dan menahun atau kronis. Komplikasi akut yaitu komplikasi yang

memerlukan tindakan dan pertolongan yang cepat. Komplikasi yang bersifat menahun atau

kronis timbul setelah penderita mengidap Diabetes Melitus selama 5-10 tahun atau lebih

(Pranadji, 2000).

Komplikasi kronis dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu komplikasi

makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler lebih

disebabkan karena kelainan kadar lipid darah. Komplikasi makrovaskuler adalah

komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga menyebabkan

atherosklerosis. Akibat atherosklerosis antara lain penyakit jantung koroner, hipertensi,

stroke, dan gangrene pada kaki. Komplikasi mikrovaskuler merupakan komplikasi khas

dari Diabetes Melitus lebih disebabkan hiperglikemia yang tidak terkontrol. Komplikasi

mikrovaskuler meliputi retinopati diabetika, nefropati diabetika dan neuropati diabetika.

(Pranadji, 2000).

Kerusakan vaskuler merupakan gejala yang khas  sebagai akibat DM, dan dikenal

dengan nama angiopati diabetika. Makro- angiopati (kerusakan makrovaskuler) biasanya

muncul sebagai gejala klinik berupa penyakit jantung iskemik dan pembuluh darah perifer.

Adapun mikro- angiopati (kerusakan mikrovaskuler) memberikan manifestasi retinopati,

nefropati dan neuropati. (Sony Arsono, Progam studi Magister Epidemiologi Universitas

Diponegoro Semarang).

2.1 KOMPLIKASI MAKROVASKULER

2.1.1 Definisi

Komplikasi makrovaskuler adalah komplikasi yang mengenai pembuluh

darah arteri yang lebih besar, sehingga menyebabkan atherosklerosis. Akibat

atherosklerosis antara lain timbul penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, dan

gangren pada kaki. (Pranadji, 2000).

4

Page 5: Askep DM Kronis

2.1.2 Etiologi

Hiperglikemia merupakan peran sentral terjadi komplikasi pada DM. Pada

keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan pembentukan protein glikasi non

enzimatik serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan

peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi

vaskulopati.

2.1.3 Faktor resiko

a. Hiperinsulinemia

Telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu

faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin

menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa >15

mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.

Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting

dalam timbulnya komplikasi makrovaskular.

b. Dislipidemia, obesitas, hipertensi dan merokok

2.1.4 Patofisiologi

Penderita DM lebih mudah menderita penyakit jantung koroner (penyakit

jantung yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah koroner yaitu pembuluh

darah yang mensuplai makanan bagi otot jantung). Jika pembuluh darah ini

menyempit, otot jantung akan kekurangan oksigen dari makanan, sehingga otot

jantung menjadi lemah atau sebagian otot jantung mati. Keadaan ini disebut infark

jantung atau infark miokard akut (Misnadiarly, 2006).

Penderita DM dapat mengalami atherosklerosis lebih cepat daripada orang

normal. Faktor risiko seperti hiperlipidemia, hipertensi, kelainan koagulasi, adhesi

dan aggregasi platelet, dan kelainan anatomis maupun fungsional endotelium

merupakan komponen proses terjadinya atherosklerosis pada penderita DM. Selain

itu, termasuk pula diantaranya adalah stress oksidatif yang disumbangkan oleh

AGEs.

5

Page 6: Askep DM Kronis

Pada anyaman kapiler pembuluh darah, hiperglikemia dapat menyebabkan

glikosilasi (AGEs) yang mengganggu protein dan fungsi enzim, termasuk

diantaranya adalah fungsi enzim untuk mengatur pengeluaran zat yang menyebabkan

vasodilatasi dan adhesi sel-sel di dalam pembuluh darah. Hiperglikemia juga

menghasilkan AGEs yang bersifat toksik terhadap sel endotel sehingga terjadi

kerusakan pembuluh darah.

Mekanisme atherosklerosis menjelaskan adanya ruptur plak dan menekankan

adanya faktor inflamasi pada proses komplikasi plak atheroma fibrous. Ruptur plak

ini membentuk trombus dan dapat menyumbat pembuluh darah sehingga

menurunkan perfusi jaringan yang diperdarahinya. Manifestasi klinis yang terjadi

tergantung pada jaringan mana gangguan perfusi terjadi. Jika pembuluh darah

koroner yang tersumbat, maka terjadilah iskemia hingga infark pada jaringan otot

jantung yang merupakan patofisiologi terjadinya penyakit jantung koroner. Jika arteri

karotis interna arteri vertebrobasiler yang tersumbat, maka dapat terjadi iskemia

hingga infark pada jaringan otak yang merupakan patofisiologi terjadinya stroke. Jika

pembuluh-pembuluh darah di iliofemoris maupun arter-arteri kecil di tungkai bawah

yang tersumbat, maka dapat terjadi iskemia jaringan yang merupakan predisposisi

terjadinya gangren atau diabetic foot.

2.1.5 Manifestasi klinis

a. Penyakit Jantung Koroner

Aterosklerosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes.

Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris

(nyeri dada paroksimal seperti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang

bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifiras

atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.

Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan

lebih hebat dan tidak mereda dengan pemberian nitrat.

b. Stroke

Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering

pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita

diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius

6

Page 7: Askep DM Kronis

untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran arteri karotis interna dan

arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa:

- Pusing, sinkop

- Hemiplegia: parsial atau total

- Afasia sensorik dan motorik

- Keadaan pseudo-dementia

c. Penyakit pembuluh darah

Penyakit pembuluh darah pada diabetes biasanya mengenai arteri distal

(di bawah lutut). Faktor-faktor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati

yang disertai infeksi merupakan faktor utama terjadinya proses gangrene diabetik.

Pada penderita dengan gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai

faktor pencetus koma, ataupun kematian.

2.1.6 Pemeriksaan diagnostik

a. Stroke

1. CT Scan : memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya

infark.

2. Angiografi serebral : membantu menentukan penyebab stroke secara

spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.

3. MRI : menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik.

b. Penyakit jantung koroner

1. ECG menunjukkan adanya S-T elevasi yang merupakan tanda dari iskemik

2. Enzim dan isoenzim jantung : CPK-MB meningkat dalam 4-12 jam, dam

mencapai puncak pada 24 jam

3. Chest X-ray : mungkin normal atau adanya cardiomegali atau CHF

2.1.7 Komplikasi

Penyakit jantung koroner, infark miokard, yang tidak segera mendapat

perawatan dan pengobatan, maka gagal jantung dapat terjadi. Sedangkan stroke, bisa

menyebabkan ke arah peningkatan TIK dan gagal nafas.

7

Page 8: Askep DM Kronis

2.1.8 Prognosis

Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan meningkatkan

risiko terjadi infark miokard, dan pada akhirnya terjadi payah jantung. Kematian

dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes dibanding pada orang normal.

2.2 KOMPLIKASI MIKROVASKULER

2.2.1 RETINOPATI DIABETIK

A. Definisi

Retinopati diabetik merupakan penyebab utama kebutaan pada penderita diabetes

di seluruh dunia, disusul katarak. Bila kerusakan retina sangat berat, seorang penderita

dapat menjadi buta permanen sekalipun dilakukan usaha pengobatan. Pada retinopati

diabetik secara perlahan terjadi kerusakan pembuluh darah retina atau lapisan saraf

mata sehingga mengalami kebocoran. Akibatnya, terjadi penumpukan eksudat yang

mengandung lemak serta pendarahan pada retina. Kondisi tersebut lambat laun dapat

menyebabkan penglihatan buram, bahkan kebutaan. Bila kerusakan retina sangat berat,

seorang penderita diabetes dapat menjadi buta permanen sekalipun dilakukan usaha

pengobatan.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2004 melaporkan bahwa 4,8 persen

penduduk di seluruh dunia menjadi buta akibat retinopati diabetic. Dalam urutan

penyebab kebutaan secara global. Retinopati diabetik menempati urutan ke-4 setelah

katarak, glaucoma, dan degenerasi macula (AMD=Age-related Makular

Degeneration).

B. Klasifikasi

Klasifikasi retinopati diabetes (Bagian Mata fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo):

1. Derajat I, terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus

okuli.

2. Derajat II, terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau

tanpa eksudat lemak pada fundus okuli.8

Page 9: Askep DM Kronis

3. Derajat III, terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak terdapat

neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus okuli.

C. Etiologi

Retinopati diabetikum umumnya disebabkan karena penyakit diabetes melitus

yang sampai pada tahap kerusakan pembuluh darah retina atau lapisan saraf mata.

Adapun beberapa keadaan yang dapat memperberat retinopati diabetes antara lain:

1. Arteriosklerosis dan hipertensi arteri

2. Hiperlipoproteinemi

3. Kehamilan pada penderita diabetes juvenilis.

D. Patofisiologi

Pada penderita diabetes, terjadi peningkatan kadar gula darah di atas nilai

normal. Penderita diabetes kurang dapat mengontrol masukan glukosa dalam tubuh

disertai terganggunya fungsi pankreas dalam sekresi hormon insulin, sehingga proses

mengubah gula darah (glukosa) yang harusnya dapat diubah menjadi gula otot

(glukagon) tidak dapat berlangsung secara maksimal. Akibatnya gula darah tidak

terkontrol. Jika keadaan ini berlangsung lama, maka akan timbul berbagai komplikasi

salah satunya adalah gangguan pembuluh darah kapiler pada retina mata. Komplikasi ini

dapat menimbulkan kebutaan, yang sebenarnya dapat dihindari (avoidable blindness)

dengan manajemen diabetes yang baik.

Gangguan pada retina mata tersebut berupa melemahnya dinding pembuluh

kapiler. Selanjutnya, dinding pembuluh akan menggembung membentuk suatu struktur

yang disebut mikroaneurisma. Lama kelamaan, pembentukan mikroaneurisma akan

diiringi dengan penyumbatan pada pembuluh kapiler. Penyumbatan kapiler akan

merangsang tubuh untuk membuat pembuluh darah baru, tujuannya agar kebutuhan

nutrisi retina tetap dapat terpenuhi. Sayangnya, pembuluh baru ini sangat rapuh. Saat

pembuluh pecah, maka akan terjadi perdarahan. Selain itu, secara perlahan juga akan

terjadi kerusakan lapisan saraf mata sehingga mengalami kebocoran. Akibatnya, terjadi

penumpukan eksudat yang mengandung lemak. Semua kondisi tersebut lambat laun

dapat menyebabkan penglihatan buram, bahkan kebutaan.

9

Page 10: Askep DM Kronis

E. Manifestasi klinis

Manifestasi yang umumnya timbul pada penderita retinopati diabetikum antara lain

meliputi adanya bintik mengambang (floater) pada lapangan pandang, Titik gelap pada

bagian tengah lapangan pandang, Kesulitan melihat di malam hari, penglihatan kabur,

atau bahkan terjadi kebutaan.

Retinopati diabetik terdiri dari 2 stadium, yaitu :

a. Retinopati nonproliferatif

Merupakan stadium awal dari proses penyakit ini. Selama menderita

diabetes, keadaan ini menyebabkan dinding pembuluh darah kecil pada mata

melemah. Timbul tonjolan kecil pada pembuluh darah tersebut (mikroaneurisma)

yang dapat pecah sehingga membocorkan cairan dan protein ke dalam retina.

Menurunnya aliran darah ke retina menyebabkan pembentukan bercak berbentuk

“cotton wool” berwarna abu-abu atau putih. Endapan lemak protein yang berwarna

putih kuning (eksudat yang keras) juga terbentuk pada retina. Perubahan ini

mungkin tidak mempengaruhi penglihatan kecuali cairan dan protein dari

pembuluh darah yang rusak menyebabkan pembengkakan pada pusat retina

(makula). Keadaan ini yang disebut makula edema, yang dapat memperparah pusat

penglihatan seseorang.

b. Retinopati proliferatif

Retinopati nonproliferatif dapat berkembang menjadi retinopati proliferatif

yaitu stadium yang lebih berat pada penyakit retinopati diabetik. Bentuk utama dari

retinopati proliferatif adalah pertumbuhan (proliferasi) dari pembuluh darah yang

rapuh pada permukaan retina. Pembuluh darah yang abnormal ini mudah pecah,

sehingga sewaktu-waktu dapat berdarah ke dalam badan kaca yang mengisi rongga

mata (perdarahan badan kaca atau perdarahan vitreus), menyebabkan pasien

mengeluh melihat floaters (bayangan benda-benda hitam melayang mengikuti

pergerakan mata) atau mengeluh mendadak penglihatannya terhalang.

Penyebab lainnya adalah bengkak atau menumpuknya cairan di daerah

pusat retina, yaitu makula, suatu kondisi yang disebut edema makula sehingga

10

Page 11: Askep DM Kronis

pasien mulai kesulitan membaca/menulis. Jaringan neovaskuler yang terus tumbuh

(proliferatif) dapat berpotensi terbentuk jaringan parut yang dapat menarik retina

hingga terlepas dan/robek (ablasi retina). Jika tidak diobati, retinopati proliferatif

dapat merusak retina secara permanen serta bahagian-bahagian lain dari mata

sehingga mengakibatkan kehilangan penglihatan yang berat atau kebutaan.

F. Pemeriksaan diagnostik

Angiography fluorescein dapat dilakukan untuk menentukan derajat perfusi macula

dan mengidentifikai lokasi dan perluasan dari lesi yang dapat disembuhkan pada pasien

dengan CSME (Clinically Significant Macula Edema).

G. Komplikasi

1. Shunt arteri vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi kapiler.

2. Pelebaran vena, lumennya tidak teratur, berkelok kelok, terjadi akibat kelainan

sirkulasi. Dapat disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.

3. Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas

mikroaneurisma atau karena pecahnya kapiler.

4. Akibat proliferasi sel-sel endotel, timbul neovaskularisasi, tampak sebagai

pembuluh darah yang berkelok kelok, yang merupakan tanda awal dari penyakit

yang berat. Mula-mula terdapat pada retina, kemudian menjalar ke preretina untuk

kemudian masuk kedalam badan kaca. Bila neovaskularisasi ini pecah dapat

menimbulkan perdarahan di retina, preretina, dan juga didalam badan kaca.

5. Neovaskularisasi preretina diikuti pula dengan proliferasi sel glia.

6. Edema makula, kondisi ini merupakan penyebab utama dari gangguan penglihatan

pada pasien pasien diabetes . Dalam setahunnya di Amerika , didapatkan 75.000

kasus baru.

H. Prognosis

Angka kejadian retinopati diabetik dipengaruhi tipe DM dan durasi penyakit.

Pada DM tipe I, yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pada pankreas, umumnya

pasien berusia muda (kurang dari 30 tahun), retinopati diabetik ditemukan pada 13

persen kasus yang sudah menderita DM selama kurang dari 5 tahun, yang meningkat

hingga 90 persen setelah DM diderita lebih dari 10 tahun.

11

Page 12: Askep DM Kronis

Sedangkan pada DM tipe 2, yang disebabkan oleh resistennya berbagai organ

tubuh terhadap insulin (biasanya menimpa usia 30 tahun atau lebih), retinopati

diabetik ditemukan pada 24-40 persen pasien penderita DM kurang dari 5 tahun, yang

meningkat hingga 53-84 persen setelah menderita DM selama 15-20 tahun.

2.2.2 NEFROPATI DIABETIK

A. Definisi

Dibandingkan dengan ginjal orang normal, penderita DM mempunyai

kecenderungan 17 kali lebih mudah mengalami gangguan fungsi ginjal. Hal ini

disebabkan faktor infeksi yang berulang yang sering timbul pada penderita DM dan

adanya faktor penyempitan pembuluh darah kapiler yang disebut mikroangiopati

diabetik di dalam ginjal. Manifestasi komplikasi mikroangiopati diabetik pada ginjal

disebut nefropati diabetic (Misnadiarly, 2006).

Ada 5 fase Nefropati Diabetika, yaitu Fase I adalah hiperfiltrasi dengan

peningkatan GFR, AER (albumin ekretion rate) dan hipertropi ginjal. Fase II ekresi

albumin relative normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin masih terdapat

hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam berkembang menjadi Nefropati

Diabetik. Fase III, terdapat mikro albuminuria (30-300mg/24j). Fase IV, Difstick

positif proteinuria, ekresi albumin >300mg/24j, pada fase ini terjadi penurunan GFR

dan biasanya terdapat hipertensi. Fase V merupakan End Stage Renal Disease (ESRD),

dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.

B. Etiologi

Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit

DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati

Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk

mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).

C. Faktor resiko

Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati Diabetika. Dari

studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko antara lain:

12

Page 13: Askep DM Kronis

1. Hipertensi dan prediposisi genetika

2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika

a. Antigen HLA (human leukosit antigen)

Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor genetika tipe antigen HLA

dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok penderita diabetes dengan

nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9

b. Glukose trasporter (GLUT)

Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi untuk

mendapat Nefropati Diabetik.

3. Hiperglikemia, resistensi insulin

4. Konsumsi protein hewani

5. Kolesterol, merokok, peningkatan usia

D. Patofisiologi

Terdapat tiga perubahan histologik utama terjadi di glomerulus pada pasien

nefropati diabetikum. Perubahan pertama adalah ekspansi mesangium sebagai akibat

langsung dari hiperglikemia. Hal ini terjadi karena peningkatan produksi matriks atau

karena adanya glikosilasi protein matriks menjadi AGEs. Perubahan kedua adalah

penebalan membran basalis glomerulus. Perubahan ketiga adalah sklerosis glomerulus

akibat terjadinya hipertensi intraglomerulus. Hal ini terjadi karena terjadi vasodilatasi

renalis atau terjadi iskemia akibat penyempitan materi hyalin pada dinding pembuluh

darah yang memperdarahi glomerulus. Hiperglikemia meningkatkan pengeluaran

Transforming Growth Factor (TGF) pada glomerulus dan protein matriks. TGF ini

berperan dalam hipertrofi sel dan meningkatkan sintesis kolagen pada pasien nefropati

diabetikum. Peningkatan sitokin ini berhubungan dengan AGEs dengan perantara

reseptornya (RAGE).

Sebagai tambahan atas nefrotoksisitas langsung baik melalui mekanisme

pro-inflamasi maupun pro-oksidatif di atas, AGEs juga mengganggu hemodinamika

dan struktur ginjal. Pemberian akut sebuah AGEs oral terbukti mengganggu

vasodilatasi arteri sistemik pada pasien Diabetes Melitus maupun pada orang sehat.

Jika efek vasokonstriktor pada AGEs juga terdapat pada level glomerulus, maka

13

Page 14: Askep DM Kronis

harusnya tidak berpengaruh sama antara arteriola afferen dan efferen. Vasokonstriksi

yang lebih dominan pada efferen berpotensi meningkatkan hipertensi glomerulus.

Tingginya kadar glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus

menyebabkan denaturasi protein. Hal ini akan membuat struktur ginjal berubah

sehingga fungsinyapun ikut berubah (rusak), termasuk fungsi ginjal dalam menyaring.

Kelainan glomerulus, terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari

sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan

berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas

membran basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria.

Dalam keadaan normal protein tidak tersaring dan tidak melewati

glomerulus karena ukuran protein yang besar tidak dapat melewati lubang-lubang

glomerulus yang kecil. Dengan demikian adanya protein dalam urin dapat

menunjukkan pasien DM mengalami komplikasi (gangguan) pada ginjalnya, dan pada

awalnya ditunjukkan dengan mikroalbuminuria, yaitu molekul-molekul besar seperti

protein dapat lolos ke dalam kemih. Sehingga sindroma klinis dari nefropati diabetik

ditandai oleh albuminuria persisten (>300mg/hari atau >22ug/menit) yang telah

diperiksa minimal 2 kali engan interval 3-6 bulan, penurunan Laju Filtrasi Glomerulus

(LFG), dan peningkatan tekanan darah arteri.

E. Manifestasi klinis

Progresifitas kelainan ginjal pada DM tipe I dapat dibedakan dalam 5 tahap:

1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)

Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20- 50% diatas nilai

normal menurut usia.

Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melalui foto sinar x.

Glukosuria disertai poliuria.

Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.

2. Stadium II (Silent Stage)

Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min).

Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus ke normal.

Awal kerusakan struktur ginjal

3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)

14

Page 15: Askep DM Kronis

Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai menurun

Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein 30-

300mg/24j.

Awal Hipertensi.

4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)

Proteinuria menetap(>0,5gr/24j).

Hipertensi

Penurunan laju filtrasi glomerulus.

5. Stadium V (End Stage Renal Failure)

Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai

fibrosis ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada stadium

IV dan 5-7 tahun kemudian akan sampai stadiumV. Ada perbedaan gambaran

klinik dan patofisiologi Nefropati Diabetika antara diabetes mellitus tipe I dan tipe

II. Mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada tipe II saat diagnosis ditegakkan dan

keadaan ini serigkali reversibel dengan perbaikan status metaboliknya. Adanya

mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan prognosis yang buruk.

Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti:

1. DM

2. Retinopati Diabetika

3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab

proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar kreatinin serum

>2,5mg/dl.

F. Pemeriksaan diagnostik

Tes laboratorium antara lain :

1. BUN (blood urea nitrogen)

2. Serum creatinine (untuk mengukur kadar kreatinin dalam darah)

3. Urin protein 24 jam (untuk mengukur jumlah protein dalam urin)

4. Kadar fosfor, kalsium, bicarbonat, dan kalium dalam darah.

5. Hemoglobin

6. Hematocrit

7. Protein electrophoresis (mengukur beberapa tipe protein dalam urin)

8. Jumlah sel darah merah

15

Page 16: Askep DM Kronis

Pemeriksaan untuk mengetahui nefropati diabetik harus dimulai pada saat

pasien DM tipe 2 didiagnosis menderita DM, sedangkan untuk pasien DM tipe 1

disarankan pemeriksaan dimulai 5 tahun setelah didiagnosis DM. Dalam pemeriksaan

tersebut dilakukan pemeriksaan urin untuk mengetahui adanya mikroalbuminuria

(disebut mikroalbuminuria jika terdapat lebih dari 30-300 mg albumin dalam

pemeriksaan pengumpulan urin 24 jam atau terdapat lebih dari 30-300 mg albumin per

gram kreatinin pada pengumpulan urin semalam atau pengukuran rasio albumin-

kreatinin pada pengumpulan urin acak). Jika mikroalbuminuria tidak tampak

pemeriksaan diulang setiap satu tahun satu kali baik untuk pasien DM tipe 1 maupun

tipe 2.

Menurut US National Library of Medicine, kelompok yang harus melakukan

tes nefropati diabetik adalah :

Penderita diabetes tipe 1 setidaknya melakukan tes nefropati diabetik sekali setahun

setelah menderita diabetes selama 5 tahun.

Anak - anak dengan diabetes dianjurkan juga menjalani tes nefropati diabetik saat

mereka memulai masa puber.

Penderita diabetes tipe 2 dianjurkan untuk menjalani tes pemeriksaan nefropati

diabetik ketika dididagnosa pertama kali dan setahun setelah itu.

G. Komplikasi

Akibat nefropati diabetika yang tidak bisa ditangani dengan baik, mak dapat timbul

kegagalan ginjal yang progresif.

2.2.3 NEUROPATI DIABETIK

A. Definisi

Dalam konferensi neuropati perifer pada bulan Februari 1988 di San Antonio,

disebutkan bahwa neuropati diabetik adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya

gangguan, baik klinis maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab

neuropati perifer yang lain.

16

Page 17: Askep DM Kronis

Kadar glukosa darah yang tinggi pada penderita DM akan merusak saraf penderita

terlebih lagi apabila prosesnya berlangsung lama. Kelainan saraf akibat DM ini disebut

neuropati diabetik (Misnadiarly, 2006).

B. Klasifikasi

Menurut perjalanan penyakitnya, neuropati diabetik dibagi menjadi:

1. Neuropati fungsional/subklinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat perubahan

biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga masih reversibel.

2. Neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat kerusakan struktural

serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponen yang reversibel.

3. Kematian neuron atau tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan kepadatan serabut

saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini ireversibel. Kerusakan serabut saraf

pada umumnya dimulai dari distal menuju ke proksimal, sedangkan proses

perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi distal paling banyak

ditemukan, seperti polineuropati simetris distal.

C. Etiologi

Kejadian neuropati diabetic berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan.

Keadaan ini akan mengaktifkan jalur metabolisme abnormal yang menghasilkan

timbunan produk- produk akhir glukosa (sorbitol dan Advance Glycosilation End

Product/AGEs). Bahan- bahan tersebut menggangu transmisi sinyal sel- sel saraf,

menurunkan kemampuan saraf membuang radikal bebas, dan juga merusak sel saraf

secara langsung. Selain itu keadaan hiperglikemi juga mengganggu peredaran darah ke

sistem saraf.

D. Patofisiologi

1. Faktor Metabolik

Proses terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia yang

berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivasi jalur polionorl

meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa

menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisme oleh sorbitol dehidrogenase

menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf

17

Page 18: Askep DM Kronis

akibatnya menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan

edema saraf.

2. Kelainan Vaskuler

Hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan

mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskuler tersebut dapat melalui

penebalan membrana basalis; trombosis pada arteriol intraneura; peningkatan

agregasi trombosit dan berkurangnya deformitas eritrosit; berkurangnya aliran

darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis aksonal, pembengkakan dan

demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut.

3. Mekanisme Imun

Mekanisme patogeniknya ditemukan adanya antineural antibodies pada

serum sebagian penyandang Diabetes Melitus. Autoantibodi yang beredar ini

secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa

dideteksi dengan imunoflorensens indirek dan juga adanya penumpukan antibodi

dan komplemen pada berbagai komponen saraf suralis.

4. Peran Nerve Growth Factor (NGF)

NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan

saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan

berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen

Substance P dan Calcitonin-Gen-Regulated peptide (CGRP). Peptide ini

mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilisasi intestinal dan nosiseptif, yang

kesemuanya itu mengalami gangguan pada neuropati diabetik.

E. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis Neuropati Diabetik bergantung dari jenis serabut saraf yang

mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau

besar, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau

autonom, maka manifestasi klinisnya menjadi bervariasi, diantaranya :

- Kesemutan

- Kebas

- Tebal

- Mati rasa

18

Page 19: Askep DM Kronis

- Rasa terbakar

- Seperti ditusuk, disobek, ataupun ditikam

Dua tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai adalah :

(1) Polineuropati Sensorik

Polineuropati sensorik disebut juga neuropati perifer. Neuropati perifer sering

mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf extremitas bagian bawah.

Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan distribusi yang simetris dan secara

progresif dapat meluas ke arah proksimal. Gejala permulaanya adalah parastesia

(rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar

(khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati ini kaki akan

terasa baal. Penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dan penurunan

sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami

cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui.

(2) Neuropati Otonom (Mononeuropati)

Neuropati pada system saraf otonom mengakibatkan berbagai fungsi yang

mengenai hampir seluruh system organ tubuh. Ada lima akibat utama dari

neuropati otonom (Smeltzer, B, alih bahasa Kuncara, H.Y, dkk., 2001 : 1256-1275)

antara lain :

(a) Kardiovaskuler

Tiga manifestasi neuropati pada sistem kardiovaskuler adalah frekuensi denyut

jantung yang meningkat tetapi menetap, hipotensi ortostatik, dan infark

miokard tanpa nyeri atau “silent infark”.

(b) Pencernaan

Kelambatan pengosongan lambung dapat terjadi dengan gejala khas, seperti

perasaan cepat kenyang, kembung, mual dan muntah. Konstipasi atau diare

diabetik (khususnya diare nokturia) juga menyertai neuropati otonom

gastrointestinal.

(c) Perkemihan

Retensi urine penurunan kemampuan untuk merasakan kandung kemih yamg

penuh dan gejala neurologik bladder memiliki predisposisi untuk mengalami

19

Page 20: Askep DM Kronis

infeksi saluran kemih. Hal ini terjadi pada pasien dengan diabetes yang tidak

terkontrol, mengingat keadaan hiperglikemia akan mengganggu resistensi

terhadap infeksi.

(d) Kelenjar Adrenal (“Hypoglikemik Unawarenass”)

Neuropati otonom pada medulla adrenal menyebabkan tidak adanya atau

kurangnya gejala hipoglikemia. Ketidakmampuan klien untuk mendeteksi

tanda-tanda peringatan hipoglikemia akan membawa mereka kepada resiko

untuk mengalami hipogllikemi yang berbahaya.

(e) Disfungsi Seksual

Disfungsi Seksual khususnya impotensi pada laki-laki merupakan salah satu

komplikasi diabetes yang paling ditakuti. Efek neuropati otonom pada fungsi

seksual wanita tidak pernah tercatat dengan jelas

F. Pemeriksaan diagnostik

Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat

bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya

dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak cukup untuk mengeluarkan

kemungkinan adanya neuropati. Evaluasi yang perlu dilakukan, diantaranya:

1. Refleks motorik

2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa

getar (biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filamen mono Semmes-

Weinstein)

3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu

4. Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat

dikerjakan elektromiografi.

Uji untuk diabetic autonomic neuropathy (DAN), diantaranya :

a. Uji komponen parasimpatis dilakukan dengan:

Tes respon denyut jantung terhadap maneuver Valsava

Variasi denyut jantung (interval RR) selama nafas dalam (denyut jantung

maksimum-minimum)

b. Uji komponen simpatis dilakukan dengan:

Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik)

20

Page 21: Askep DM Kronis

Respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik)

G. Pencegahan

Pencegahan kaki diabetes tidak terlepas dari pengendalian (pengontrolan)

penyakit secara umum mencakup pengendalian kadar gula darah, status gizi, tekanan

darah, kadar kolesterol, dan pola hidup sehat.

H. Komplikasi

1. Kaki diabetic “diabetic foot”

Akibat dari hilang/berkurangnya kemampuan kaki merasakan nyeri bila terjadi

trauma, disertai perubahan tertentu pada kulit dan otot kaki yang juga

mempermudah terjadinya ulkus (luka yang dalam).

2. Silent Miocardial Infark

Pada penderita neuropati diabetik, serangan jantung sering tidak disertai nyeri

dada seperti yang lazimnya dialami pasien serangan jantung. Gejala sering kali

tidak khas, dapat hanya berupa sesak, lelah, atau nyeri ulu hati. Absennya nyeri

dada ini sering membuat serangan jantung terlambat diketahui, sehingga tidak dapat

segera ditangani dan berakibat fatal.

3. Batu empedu

Akibat menurunnya gerak kontraksi kandung empedu, sehingga terjadi

perlambatan aliran cairan empedu yang memudahkan terbentuknya batu empedu.

4. Gastritis

Akibat menurunnya gerak kontraksi lambung karena gangguan saraf otonom

saluran cerna, asam lambung “menggenang” lebih lama dalam lambung dan

mengiritasi lambung.

21

Page 22: Askep DM Kronis

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

1.1 PENGKAJIAN

3.1.1 Data Demografi

Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,

pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan

penanggung biaya.

3.1.2 Riwayat Sakit dan Kesehatan

1. Keluhan utama

a. Komplikasi makrovaskuler: nyeri dada, nyeri kepala

b. Komplikasi mikrovaskuler

- Retinopati: pandangan kabur, ketajaman mata menurun

- Nefropati: albuminuria

- Neuropati: adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba

yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau,

adanya nyeri pada luka.

2. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat DM atau penyakit-penyakit lain yang ada kaitannya dengan

defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit

jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat

maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.

3. Riwayat penyakit keluarga

Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang

juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan

terjadinya defisiensi insulin.

4. Pengkajian psiko-sosio-spiritual

Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami

penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap

penyakit penderita.

22

Page 23: Askep DM Kronis

5. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )

a. B1 (Breath) : -

b. B2 (Blood) : perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau

berkurang, hipertensi

c. B3 (Brain) : terjadi penurunan sensoris, parasthesia, letargi

d. B4 (Bladder) : oliguri, albuminuria

e. B5 (Bowel) : -

f. B6 (Bone) : nyeri kepala, nyeri dada, nyeri pada luka

1.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah sekunder

akibat diabetes melitus

2. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okuler

3. Gangguan persepsi sensori: penglihatan berhubungan dengan ketajaman

penglihatan yang terganggu.

4. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan oliguri dan albuminuria

5. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan

6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder

akibat adanya luka gangren.

7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan terbatasnya informasi mengenai kondisi,

prognosis, dan pengobatan

8. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat

kehilangan fungsi ketajaman mata.

1.3 INTERVENSI DAN RASIONAL

1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah

sekunder akibat diabetes melitus

Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam perfusi jaringan kembali normal

Kriteria Hasil:

Menunjukkan penurunan nyeri dada dan nyeri kepala.

Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan beban kerja jantung.

CO= 5L/menit, TD = 120/80 mmHg, nadi=60-100/menit

23

Page 24: Askep DM Kronis

Intervensi:

Intervensi Rasional

1. Kolaborasi pemberian insulin atau

Obat antidiabetik oral (OADO).

2. Observasi TD, nadi apical, nadi

perifer.

3. Tingkatkan tirah baring dengan

kepala tempat tidur ditinggikan 45

derajat.

1. Mengurangi hiperglikemi dan

meningkatkan pengangkutan glukosa

dalam sel.

2. Indikator klinis dari keadekuatan

curah jantung. Pemantauan

memungkinkan deteksi dini/tindakan

terhadap dekompensasi.

3. Menurunkan volume darah yang

kembali ke jantung (preload) yang

memungkinkan oksigenasi,

menurunkan dispnea dan regangan

jantung.

2. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okuler

Tujuan : Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien

Kriteria hasil :

- Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi

- Klien tidak merasa kesakitan.

- Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien

tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi

- TIO normal = 12-21

INTERVENSI RASIONAL

1. Kolaborasi tindakan Laser

Photocoagulation dan vitrectomy

1. Menambal pembuluh darah yang

bocor dan membentuk gores luka

kecil pada retina yang berfungsi

mengurangi pertumbuhan pembuluh

darah baru sehingga TIO menurun

24

Page 25: Askep DM Kronis

2. Mengajarkan tehnik relaksasi

(bernapas perlahan, teratur atau

napas dalam, mandi air hangat,

masase) dan metode distraksi

(mendengarkan musik, membaca

buku)

3. Kolaborasi analgesik

2. Akan melancarkan peredaran darah,

dan dapat mengalihkan perhatian

nyerinya ke hal-hal yang

menyenangkan

3. Analgesik memblok lintasan nyeri,

sehingga nyeri berkurang

3. Gangguan persepsi sensori: penglihatan berhubungan dengan ketajaman

penglihatan yang terganggu.

Tujuan : Klien mampu mempertahankan kemampuan untuk menerima rangsangan

visual dan tidak mengalami gangguan penglihatan lebih lanjut.

Kriteria Hasil :

Berpartisipasi dalam program pengobatan

Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap pengobatan

Mengidentifikasi/memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan

Intervensi Rasional

1. Kolaborasi tindakan Laser

Photocoagulation dan vitrectomy

2. Kolaborasi pemberian insulin atau

Obat antidiabetik oral (OADO)

1. Menambal pembuluh darah yang bocor

dan membentuk gores luka kecil pada

retina yang berfungsi mengurangi

pertumbuhan pembuluh darah baru

sehingga mengurangi perdarahan.

2. Mengurangi hiperglikemi dan

meningkatkan pengangkutan glukosa

dalam sel.

25

Page 26: Askep DM Kronis

3. Evaluasi lapang pandang

penglihatan sesuai dengan indikasi.

3. Dapat mengetahui sejauh mana

terjadinya retinopaty dan kerusakan

pada mata.

4. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan oliguri dan albuminuria

Tujuan : eliminasi urin klien kembali normal

Kriteria hasil : urin klien 1-2cc/kg/jam, tidak terjadi albuminuria

Intervensi Rasional

Oliguri

1. Kolaborasi obat ACE inhibitors

2. Catat frekuensi dan jumlah berkemih

tiap 24 jam.

Albuminuria

1. Kolaborasi obat ACE inhibitors

2. Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian

diet tinggi protein 3-4 gram/kg

BB/hari.

3. Kolaborasi terapi albumin melalui IV

1. Untuk mengontrol tekanan darah

sehingga tidak memperparah

sklerosis glomerulus

2. Memberikan informasi dari fungsi

kandung kemih.

1. Untuk mengontrol tekanan darah

sehingga tidak memperparah

sklerosis glomerulus

2. Mencegah terjadinya hipoalbumin.

3. Mengatasi kekurangan volume

intravaskular.

5. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan

Tujuan : Klien tidak mengalami cedera selama dalam perawatan

Kriteria hasil: Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan nyaman dan tidak ada

cidera.26

Page 27: Askep DM Kronis

Intervensi Rasional

1. Membantu klien dalam memenuhi

kebutuhan dasar.

2. Menjauhkan benda-benda berbahaya

dari jangkauan klien

1. Kebutuhan dasar klien terpenuhi

2. Mencegah terjadinya cedera karena

keterbatasan lapang pandang.

6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme

sekunder akibat adanya luka gangren.

Tujuan : Resiko infeksi dapat dihindari

Kriteria hasil : Tidak terjadi penyebaran infeksi ditandai dengan penggunaan

teknik antiseptik dan desinfeksi secara tepat dan benar.

Intervensi Rasional

1. Melakukan teknik aseptik dan

desinfeksi secara tepat dalam

merawat luka gangren.

2. Menjaga lingkungan sekitar klien

tetap bersih

3. Kolaborasi pemberian profilaksis

(antibiotik)

4. Health education kepada klien untuk

memakai alas kaki.

1. Mencegah kontaminasi pathogen dan

paparan pasien terhadap agen

infektious.

2. Menghindari faktor resiko infeksi

3. Memberi perlindungan pada kondisi

luka

4. Menghindari meluasnya area luka.

7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan terbatasnya informasi mengenai

kondisi, prognosis, dan pengobatan

Tujuan : Klien mengetahui tentang kondisi, prognosis, dan pengobatannya.

Kriteria Hasil :

- Pasien menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, dan pengobatan.

27

Page 28: Askep DM Kronis

- Dapat berperan aktif dalam perawatan dan pengobatan.

Intervensi Rasional

1. Memberi informasi mengenai

diabetes mellitus beserta beberapa

komplikasi

2. Memotivasi klien untuk ikut serta

dalam perencanaan pengobatan

dan perawatan.

1. Membantu agar pasien tidak

berpikir dampak yang berlebihan

terkait komplikasi.

2. Klien dapat mengetahui rencana

perawatan sehingga membantu

perawat dalam proses

penyembuhan.

8. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder

akibat kehilangan fungsi ketajaman mata.

Tujuan : Klien mengungkapkan penerimaan penampilan fisik

Kriteria Hasil :

- Klien mengatasi masalahnya dengan positif

- Klien menerima perubahan dan mengubah konsep dirinya

Intervensi Rasional

1. Menganjurkan klien untuk

mnemakai kacamata.

2. Melibatkan keluarga untuk

memotivasi klien

1. Meningkatkan rasa percaya diri

klien.

2. Sebagai support sistem untuk klien

BAB IV

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Diabetes Melitus merupakan penyakit yang disebabkan akibat gangguan sekresi

insulin, yang umumnya terdapat berbagai macam komplikasi dan penyakit-penyakit

28

Page 29: Askep DM Kronis

penyerta. Komplikasi kronis dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu komplikasi

makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler lebih

disebabkan karena kelainan kadar lipid darah. Komplikasi makrovaskuler adalah

komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga

menyebabkan atherosklerosis.

Komplikasi mikrovaskuler meliputi retinopati diabetika, nefropati diabetika dan

neuropati diabetika. dimana gejala-gejalanya sangat berpengaruh terhadap sistem

fisiologis manusia yang antara lain dapat berupa menurunnya kemampuan

penglihatan, albuminuria, oliguri, neuropati, luka gangren, serta berbagai macam

manifestasi lain, dimana sangat perlu pengetahuan yang lebih kompeten pada diri

perawat agar dapat memberikan perawatan dan meminimalkan bertambahnya

keparahan pada kasus komplikasi kronis diabetes mellitus.

1.2 Saran

1. Kepada masyarakat khususnya penderita diabetes melitus, agar selalu melakukan

pemeriksaan atau kontrol tekanan darah, dan kadar kolesterol total  secara rutin

serta menjaganya pada kondisi yang normal.

2. Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai

dengan rencana keperawatan pada penderita komplikasi kronis diabetes melitus.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Jual. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis Edisi 6.

Jakarta: EGC

29

Page 30: Askep DM Kronis

Doengoes, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geiser. 2000. Rencana

Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk perencanaan dan Pendokumentasian

perwatan Pasien. Jakarta: EGC

Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

W. Sudoyo, Aru. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/05/komplikasi-diabetes-melitus-tipe-ii.html,

diakses 26 september 2010

http://www.mep.undip.ac.id/tesis/59-diabetes-melitus-sebagai-faktor-risiko-kejadian-

gagal-ginjal-terminal, diakses 26 september 2010

http://imsj.globalkrching.com/peranan-advanced-glycation-end-products-ages-dalam-

komplikasi-diabetes-mellitus/, diakses 26 september 2010

http://yosefw.wordpress.com/2007/12/28/penggunaan-antihipertensi-penghambat-enzim-

pengubah-angiotensin-pada-nefropati-diabetik/, diakses 26 september 2010

30