View
697
Download
66
Embed Size (px)
Oleh Iim Imandala, S.Pd.
(dipublikasikan juga di http://iimimandala.blogspot.com)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Setiap warga negara memiliki
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Begitu pula
dengan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus (UU No.
20 Tahun 2003 dalam Sub Dinas PLB Jabar, 2007). Warga negara yang
berkelainan tersebut dan masih berusia anak–anak disebut Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK). Anak disleksia sebagai bagian dari anak
berkebutuhan khusus, tentunya mereka juga berhak memperoleh pendidikan
khusus agar dapat berkembang sesuai dengan potensinya.
Dalam proses pendidikan formal, anak disleksia (sebutan umum bagi anak
berkesulitan belajar membaca secara khusus) ini banyak ditemui di sekolah
reguler (SD), terutama di kelas I, 2 dan 3. Meskipun demikian jumlah pasti
anak disleksia di Indonesia khususnya di Jawa Barat belum dapat dipastikan
(Sunardi dan Sugiarmin, M., 2001). Prevalensi tentang jumlah siswa yang
mengalami kesulitan belajar pada setiap kelas belum bisa diketahui secara
pasti, tetapi diperkirakan 2-10% (Somad, P., 2002:40). Anak berkesulitan
belajar keberadaanya sering dianggap sebagai siswa yang berprestasi rendah
(underachivers) umumnya kita temui di sekolah reguler (Delphie, B, 2006 :24).
Anak disleksia banyak ditemui di sekolah reguler karena kelainan yang
mereka miliki tidak kasat mata sehingga mereka bisa diterima di sekolah
reguler. Akibatnya keberadaan mereka sering tidak disadari oleh
lingkungannya, terutama oleh guru.
Sebagian guru beranggapan, bahwa anak disleksia ini sebagai anak yang
bodoh, berprestasi rendah, pemalas, kurang konsentrasi, atau anak nakal.
Anggapan itu muncul karena guru tidak paham tentang anak ini, sehingga
upaya yang dilakukan oleh guru pun kurang optimal atau tidak sesuai dengan
kebutuhan serta kemampuan anak. Seharusnya sebagai guru yang
“mumpuni” adalah guru yang mampu mengorganisir kegiatan belajar
mengajar di kelas melalui program pembelajaran individual dengan
memperhatikan kemampuan dan kelemahan setiap individu siswa ( Delphie,
B., 2006 :1). Anggapan guru atau tindakan guru yang kurang tepat dapat
menambah parah kesulitan belajar membaca yang dialami oleh anak
disleksia.
Seharusnya guru memahami dengan benar bahwa mereka memiliki prestasi
yang rendah karena kesulitan membaca yang mereka alami sehingga
membawa dampak pada penguasaan bidang studi lainnya. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Lerner (1984 dalam Abdurrahman, M., 2003) bahwa
kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang
studi yang dipelajari di sekolah. Jika siswa mengalami kesulitan membaca
maka ia akan berkesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada
kelas-kelas berikutnya. Adanya kesulitan membaca akan mengakibatkan
ketidakmampuan menangkap pesan-pesan tulisan, padahal hampir semua
mata pelajaran pesannya disampaikan melalui (huruf, angka-angka, dan
simbol-simbol lain) (Somad, P., 2002). Jadi yang paling awal harus dilakukan
adalah mengatasi kesulitan membacanya dahulu.
Selain masalah pemahaman guru yang masih kurang tentang anak disleksia
ini, masalah lain adalah masih dirasakan beban tugas guru yang cukup berat.
Guru harus mengajar dengan rasio 1:40 (Somad, P., 2002) dan guru juga
dituntut peran ganda, disamping mengajar juga sebagai pembimbing
(Dikdasmen, 1990/1991 dalam Somad, P., 2002), sehingga dengan kondisi-
kondisi tersebut anak berkesulitan membaca belum tertangani secara optimal.
Kesulitan belajar membaca memerlukan perhatian yang serius, sehingga
anak yang mengalami kesulitan belajar membaca dapat memahami mata
pelajaran lainnya secara lancar. Penanganan kesulitan belajar membaca ini,
terutama, harus dilakukan sejak tahap membaca permulaan. Pada tahap
tersebut, belajar membaca menjadi sangat penting karena merupakan fondasi
untuk belajar membaca pada tahap lebih lanjut. Apabila pada tahap ini anak
mengalami kesulitan maka akan berpengaruh pada pelajaran membaca
selanjutnya. Seperti yang terjadi pada anak disleksia, mereka sangat banyak
memiliki hambatan pada tahap membaca permulaan sehingga tidaklah
mengherankan jika ia mendapatkan kesulitan memahami isi bacaan dan
menemui kesulitan mengikuti tahap membaca lanjut, hal ini, berdampak pada
prestasi belajar.
Anak disleksia sebagai bahan makalah yang dimaksudkan adalah siswa-
siswa Sekolah Dasar (SD) yang dalam membacanya sulit membedakan huruf
vocal (a, i, u, e, o), terbalik huruf “tedi“ dibacanya “tebi“, menghilangkan kata
atau huruf “ibu membeli roti“ dibacanya “ibu beli roti“, sulit membedakan
konsonan yang bentuknya mirip “nenas“ dibacanya “memas“, “roti“ dibacanya
“rori“ atau “toti“, kondisi itu disebabkan bukan oleh keterbelakangan mental,
gangguan emosional, tunarungu, tunanetra, bukan karena hambatan
lingkungan, budaya, atau ekonomi.
Oleh karena itu perlu adanya pemikiran tentang penanganan kesulitan
membaca permulaan pada anak disleksia ini. Melalui makalah ini munculah
pemikiran untuk menangani kesulitan membaca tersebut dengan pengajaran
remedial membaca permulaan bagi anak disleksia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut :
“Bagaimana Pengajaran Remedial Membaca Permulaan Anak Disleksia ?“
Untuk menjawab masalah tersebut, maka diajukan pertanyaan berikut:
a. Bagaimana konsep dasar anak disleksia ?
b. Bagaimana konsep dasar membaca permulaan?
c. Bagaimana bentuk-bentuk kesulitan membaca permulaan anak disleksia ?
d. Bagaimana remedial membaca permulaan anak disleksia ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh pemahaman
mengenai pengajaran membaca permulaan bagi anak disleksia.
2. Manfaat
a. Diharapkan dapat menjawab persoalan pengajaran membaca permulaan
bagi anak disleksia
b. Diharapkan hasil pemikiran ini dapat menjadi bahan informasi berkaitan
dengan pengajaran remedial membaca permulaan di sekolah, baik di sekolah
regular (SD) maupun sekolah luar biasa (SLB).
D. Sistimatika Penulisan Makalah
Untuk mendapatkan gambaran bahasan yang terarah maka sistimatika isi
keseluruhan makalah ini terdiri dari :
a. Bab I. Membahas (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3)
tujuan dan manfaat.
1. Bab II. Kajian teori, mencakup (1) konsep dasar anak disleksia dan
membaca permulaan, (2) penerapan remedial terhadap kesulitan
membaca anak disleksia.
2. Bab III. Kesimpulan dan Saran.
E. Ruang Lingkup dan Prosedur Pemecahan Masalah
1. Ruang Lingkup
a. Konsep dasar anak disleksia
b. Kemampuan membaca anak disleksia
c. Konsep dasar membaca permulaan
d. Penerapan remedial membaca
2. Prosedur Pemecahan Masalah
Dalam membahas dan pemecahan masalah dalam makalah ini dengan cara
sebagai berikut :
1. Melakukan kajian pustaka yang berkaitan dengan:
a. Konsep dasar anak disleksia.
b. Kemampuan membaca anak disleksia.
c. Gambaran pelaksanaan remedial membaca permulaan bagi anak disleksia.
2. Menyimpulkan masalah pengajaran remedial membaca permulaan bagi
anak disleksia.
BAB II
PENGAJARAN REMEDIAL MEMBACA PERMULAAN
BAGI ANAK DISLEKSIA
A. Konsep dasar Anak Disleksia dan Membaca Permulaan
1. Pengertian Anak Disleksia
Anak disleksia merupakan bagian dari anak berkesulitan belajar. Untuk
menunjukkan bahwa anak disleksia adalah bagian dari anak berkesulitan
belajar, dapat dilihat dari definisi anak berkesulitan belajar (learning
diabilities), yaitu anak yang memiliki kesulitan belajar dalam proses psikologis
dasar, sehingga menunjukkan hambatan dalam belajar berbicara,
mendengarkan, menulis, membaca, dan berhitung, sedangkan mereka ini
memiliki potensi kecerdasan yang baik tapi berprestasi rendah, yang bukan
disebabkan oleh tunanetra, tunarungu, terbelakang mental, gangguan
emosional, gangguan ekonomi, sosial atau budaya (Public Law 94-142, 1997;
Delphie, B., 2006:27)
Jadi jelaslah dari definisi di atas disleksia merupakan bagian dari learning
disabilities(berkesulitan belajar), karena disleksia menunjukkan adanya
kesulitan dalam membaca yang bukan diakibatkan oleh kasus-kasus utama
(seperti terbelakang mental, hendaya visual dan pendengaran, kelainan gerak
serta gangguan emosional (Delphie, 2006:28)) dan bukan disebabkan oleh
gangguan yang merugikan dari lingkungan dan budayanya.
Selanjutnya akan dijelaskan pengertian disleksia secara harfiyah, peristilahan
dan dari beberapa ahli. Secara harfiyah disleksia (dyslexia) berarti tidak
mampu membaca. Menurut Reid & Hresko (M.Sodiq A. 1996:3). Disleksia
berarti suatu kesulitan pada membaca. Sedangkan Hornsby (M.Sodiq A,
1996:3) menyatakan bahwa kata disleksia berarti kesulitan pada kata-kata
atau bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa disleksia merupakan
suatu kondisi atau bentuk kesulitan belajar membaca, kesulitan belajar
membaca kata atau bahasa yang disebabkan oleh gangguan saraf pusat.
Secara terminologi, istilah disleksia dirujukan pada kesulitan belajar membaca
tingkat berat sampai amat berat pada diri seseorang. Mengingat konsep
disleksia seperti itu, maka terdapat berbagai pengertian disleksia yang satu
sama lain kadang-kadang terkesan kontroversi. Hal ini dimungkinkan oleh
berbagai alasan, diantaranya: (a) didasarkan pada orientasi dan titik pandang
yang berbeda-beda, dan (b) bermuara pada luas sempitnya wawasan
pengetahuan dan pengalaman pengusulnya.
Terdapat beberapa pengertian disleksia yang dikemukakan para ahli seperti
berikut.
a. Disleksia merujuk pada anak yang tidak dapat membaca sekalipun
penglihatan, pendengaran. Inteligensinya normal, dan ketrampilan usia
bahasanya sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor neurologis dan
tidak dapat diatributkan pada faktor kedua, misalnya Iingkungan atau sebab
sebab sosial (Corsini,1987).
b. Disleksia sebagai kesulitan membaca berat pada anak yang berinteligensi
normal dan bermotivasi cukup, berlatar belakang budaya yang memadai dan
berkesempatan memperoleh pendidikan serta tidak bermasalah emosional
(Guszak,1985).
c. Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen-
komponen kata dan kalimat, yang secara historis menunjukan perkembangan
bahasa lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja
serta berkesulitan dalam mempelajari sistem representasional misalnya
berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. ( Bryan & Bryan dikutif
Mercer,1987).
d. Disleksia adalah bentuk kesulitan belaiar membaca dan menulis terutama
belajar mengeja secara betul dan mengungkapkan pikiran secara tertulis dan
ia telah pernah memanfaatkan sekolah normal serta tidak memperlihatkan
keterbelakangan dalam mata pelajaran-mata pelajaran lainnya ( Hornsby
dalam Sodiq, 1996:4)
Jadi pengertian disleksia adalah suatu tipe atau bentuk kelainan membaca
yang disebabkan oleh faktor-faktor neurologis, genetika, dan psikologis dasar,
tapi umumnya mereka ini cukup cerdas yang ditandai oleh skor IQ rata-rata/
normal atau di atas rata-rata. Untuk penanganannya membutuhkan
keterlibatan para ahli selain guru yang bersangkutan, seperti ahli pendidikan
khusus dan psikolog, Wikipedia (2007) menambahkan, anak disleksia
memiliki kesulitan dalam mengasosiakan antara bentuk huruf dengan
bunyinya dan mereka juga sering terbalik atau kebingungan terhadap huruf-
huruf tertentu.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa anak
disleksia adalah anak yang mengalami kesulitan belajar membaca yang
disebabkan oleh faktor neurologis, genetika, dan psikologis dasar, serta
sering menunjukkan kesulitan dalam mengasosiasikan antara bentuk huruf
dan bunyinya dan mereka juga sering terbalik atau kebingungan terhadap
huruf-huruf tertentu, tetapi mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata
bahkan ada di atas rata-rata.
2. Karakteristik Anak Disleksia
Karakteristik anak disleksia amat bervariasi tergantung masalahnya. Sodiq
(1996: 5) memberikan karakteristik anak disleksia sebagai berikut: (1)
membaca lamban, turun naik intonasinya, dan kata demi kata; (2) sering
membalikan huruf-huruf dan kata-kata; (3) mengubah huruf pada kata; (4)
kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit berbeda susunannya misalnya:
bau, buah, batu, buta; dan (5) sering menebak dan mengulangi kata-kata dan
frasa .
Pada anak disleksia kesalahan-kesalahan membaca oral tersebut sering
disertai oleh kelainan bicara, yaitu: (1) gangguan artikulasi, (2) gagap, dan (3)
pembalikan konsep waktu dan ruang misalnya kacau terhadap konsep
belakang dan muka,atas bawah, kemarin dan besok. Selain itu pada anak
disleksia sering juga ditandai adanya bentuk kesalahan mengeja dan
kesalahan tulis, misalnya jika didiktekan kata pagar maka ditulis papar.
Berkaitan dengan berbagai bentuk kesalahan dan problem yang dimiliki oleh
anak disleksia tersebut, Gearheart (1984) menyatakan disleksia merupakan
kesulitan membaca berat yang disertai oleh gangguan persepsi visual dan
problem-problem dalam menulis misalnya perbalikan dan tulisan cermin
(mirror writing).
Menurut Ekwall & Shanker 1988 (dalam M.Sodia, A, 1996:6) ada beberapa
simtom berkaitan dengan kasus kesulitan belajar membaca berat (disleksia):
a. Pembalikan huruf dan kata,misalnya membalikan huruf b dengan d; p
dengan a, u dengan n; kata kuda dengan daku palu dengan lupa; tali dengan
ilat; satu dengan utas.
b. Pengingatan pada kata mengalami kesulitan atau tidak menentu (eratik)
c. Membaca ulang oral (secara lisan) tak bertambah baik setelah menyusul
d. Membaca tanpa suara (dalam hati) atau membaca oral (secara lisan) yang
pertama
e. Ketidak sanggupan menyimpan informasi dalam memori sampai waktu
diperlukan
e. Kesulitan dalam konsentrasi
i. Koordinasi motorik tangan-mata lemah
j. Kesulitan pada pengurutan
k. Ketaksanggupan bekerja secara tepat
l. Penghilangan tentang kata-kata dan prasa
m. Kekacauan berkaitan dengan membaca secara lisan (oral) misalnya tak
mampu membedakan antara d dan p
n. Diskriminasi auditori lemah
o. Miskin dalam sintaksis (ilmu tata bahasa), gagap, dan bicara terputus-putus
p. Prestasi belajar dalam berhitung tinggi dari pada dalam membaca dan
mengeja
q. Hyperaktivitas.
Sementara itu Guszak ( dalam M.Sodik A, 1996: 6) mengemukakan ciri-ciri
anak disleksia sebagai berikut:
a. Membalikan huruf atau kata
b. Kesulitan/tak mampu mengingat kata
c. Kesulitan/tak mampu menyimpan informasi dalam memori d. Sulit
berkonsentrasi.
e. Sulit dalam melihat keterhubungan (relationship),
f. Impulsif.
g. Sulit melakukan koordinasi tangan-mata,
h. Sulit dalam segi mengurutkan,
i. Membaca lambat,
j. Penanggalan kata, frasa dan sebagainya,
k. Kekacauan membaca secara oral,
l. Hyperaktif, dan
m. Kinerja matematika secara signifikan lebih tinggi dari pada kinerja
membaca
3. Faktor Penyebab
Penyebab utama disleksia adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya
disfungsi neurologis. Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan
kesulitan belajar tetapi juga menyebabkan tunagrahita dan gangguan
emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis
yang pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain:
a. Faktor genetik
b. Luka pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen
c. Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk
memfungsikan syaraf pusat)
d. Biokimia yang merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan),
pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam), gizi yang tidak
memadai
e. Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan
anak (deprivasi lingkungan)
Dari berbagai penyebab tersebut dapat menimbulkan gangguan dari tarap
yang ringan hingga tarap berat.
4. Kemampuan Membaca Anak Disleksia
Kemampuan membaca erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa,
sementara itu kemampuan berbahasa berhubungan dengan
intelegensi/kecerdasan. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa anak
disleksia ini memiliki kecerdasan rata-rata bahkan ada yang di atas rata-rata.
Disisi lain Wiki (2007) berpendapat bahwa mereka itu cukup cerdas dan
cukup lancar dalam bicara. Artinya mereka ini seharusnya tidak memiliki
kesulitan ketika belajar membaca, tapi kenyataannya meskipun cerdas dan
bicaranya cukup lancar mereka mengalami kesulitan belajar membaca.
Tingkat kemampuan membaca, menulis ekspresif dan mengejanya berada di
bawah rata-rata teman seusianya.
Pada saat membaca mereka menunjukkan adanya tanda-tanda kesulitan
membaca sebagai berikut: (1) membaca lamban, turun naik intonasinya, dan
kata-demi kata, (2) sering membalik huruf-huruf dan kata-kata, Contohnya b
dengan d, p dengan q, u dengan n, kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali
dengan ilat, papa dibaca dada (3) pengubahan huruf pada kata, misalnya baju
menjadi baja, batu menjadi bata, (4) kacau terhadap kata-kata yang hanya
sedikit berbeda susunannya, misalnya: bau, buah, batu, buta, (5) sering
menebak dan mengulangi kata-kata dan frasa, (6) menghilangkan sebagian
huruf (omission), (7) menambah huruf (addition), (8) terbalik huruf (reversal),
(9) tidak menguasai penggunaan tanda baca, misalnya tanda titik (.), tanda
koma (,), tanda tanya (?), tanda seru (!) dan (10) kesulitan dalam memahami
isi bacaan (Reid dan Hresko 1981:232-233; Shodiq, 1996:5; Somad, P.,
2002:40; Abdurrahman, 2003:205; Suherman, 2005:84).
5. Konsep Dasar Membaca Permulaan
Pengajaran membaca secara umum dapat dibagi kedalam dua tahapan, yaitu
pengajaran membaca permulaan dan pengajaran membaca lanjut. Adapun
pengertian membaca permulaan menurut Dalwadi (2002) adalah tahap awal
dalam belajar membaca yang difokuskan kepada mengenal simbol-simbol
atau tanda-tanda yang berkaitan dengan huruf-huruf , sehingga menjadi
pondasi agar anak dapat melanjutkan ke tahap membaca lanjut. Sedangkan
tahap membaca lanjut adalah anak tidak sekedar mengenal simbol atau
tanda-tanda tapi sudah mulai mempergunakannya untuk membaca kata atau
kalimat sehingga anak memahami apa yang dibacanya (Amin, 1995 : 211).
Pada tahap membaca permulaan, anak membaca huruf atau kata tidak lagi
terlalu tergantung pada lingkungan. Pada tahap ini anak masih perlu bantuan
seperlunya selama membaca. Bantuan yang diberikan umumnya berupa
konkretisasi kata yang dibaca, misalnya ketika anak membaca kata “buku”
ditunjukkan wujud bukunya atau gambar buku ada di samping atau di bawah
tulisan buku.
Tahap membaca permulaan ini umumnya ada pada saat tibanya masa peka,
yaitu anak usia enam tahun atau tujuh tahun bagi anak normal atau usia
sembilan tahun atau sepuluh tahun pada anak tunagrahita. Pada tahap
membaca permulaan ini penguasaan jumlah kata anak masih terbatas dan
penguasaan pada abjad belum sepenuhnya dikuasai. Jadi masih ada huruf
yang sulit diucapkan dan sering dibaca salah, serta kemampuan membuat
wacana tidak lebih dari tujuh baris, itupun ide pokoknya belum tampak dan
belum bisa dianggap sebagai wacana yang baik. Tahap membaca permulaan
merupakan saat kritis dan strategis dikembangkannya kemampuan membaca
tanpa teks yaitu membaca dengan cara menceritakan gambar situasional
yang tersedia. Pengembangan yang tepat pada tahap membaca permulaan
ini perlu sekali, biasanya yang paling cocok dan sesuai alam anak yaitu
membaca sambil bermain misalnya membaca menggunakan permainan kartu
kata bergambar.
Pada tahap membaca ini kemandirian anak saat membaca mulai ada, tatapi
anak beum bisa dilepas sepenuhnya saat membaca kata atau kalimat Untuk
itu pada tahap ini masih perlu ada bantuan yang diberikan oleh guru atau
orang tua kepada anak melalui berbagai” !atihan membaca terbimbing. Pada
tahap ini biasanya anak sudah tidak lagi mengucapkan semua huruf abjad
salah, sekalipun kadang-kadang sesekali membuat kesalahan membaca yang
strukturnya agak kompleks, misalnya “strategis” (KKKVKVKV ), “status”
(KKVKVK). Pada tahap ini anak, juga mulai ada kemauan membaca tanpa
diperintah oleh orang lain. Namun kadang-kadang masih perlu diingatkan oleh
orang lain baik guru atau orang tua untuk membaca buku. Pada tahap ini
anak belun mampu memanfaatkan tanda konteks berupa tanda baca; anak
belum bisa membedakan tanda koma dan titik saat membaca. Di samping itu
anak mulai bisa mengambil inti dari wacana yang tersedia.
Menurut Shodiq (1996:126) pada tahap membaca permulaan anak lebih
diarahkan kepada membaca huruf atau kata. Pada tahapan ini anak normal
pada umumnya tidak lagi terlalu bergantung pada lingkungan, tetapi tidak
demikian pada anak disleksia. Mereka masih sangat membutuhkan bantuan
selama membaca
Jadi membaca permulaan adalah tahap awal anak belajar membaca dengan
fokus pada pengenalan simbol-simbol huruf dan aspek-aspek yang
mendukung pada kegiatan membaca lanjut. Oleh karena itu Pengajaran
remedial pada tahap membaca permulaan memiliki peranan penting untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan membaca yang dihadapi oleh anak disleksia.
Jika kesulitannya dapat ditangani pada tahap ini maka akan membantu anak
untuk memasuki tahapan membaca lanjut.
B. Pengajaran Remedial Membaca Permulaan Bagi anak Disleksia
1. Pengertian Pengajaran Remedial
Istilah pengajaran remedial membaca menunjuk pada kegiatan remediasi
membaca yang terjadi atau dilakukan di luar kelas reguler (Dechant & Smith,
dalam M.Sodiq,1999). Pengajaran remedial membaca berisikan berbagai
kegiatan remedial yang diperuntukkan bagi anak disleksia yang secara umum
pelaksanaannya di luar pembelajaran kelas reguler dan biasanya
dilaksanakan oleh guru remedial membaca atau guru khusus mengenai
membaca.
Fokus pengajaran remedial membaca pada setiap anak secara individual,
bukan pada kelompok anak atau pada kinerja level kelas. Ini berarti penilaian
norma kelompok tak berlaku, karena kemajuan anak didasarkan semata-mata
atas pengukuran individual bukan level kelas. Pengajaran remedial membaca
harus empati, betul-betul berfokus pada anak, kecepatan berjalan secara
realistis, pengajaran berbasis atas basisl asesmen untuk memudahkan belajar
dan pembelajaran anak. Metode, materi, teknik, dan bentuk pengelolaan kelas
secara khusus amat diperlukan, yang didasarkan pada informasi khusus
tentang anak atas hasill asesmen yang dilaksanakan secara seksama dan
akurat.
Berbagai strategi pembelajaran dapat dilakukan untuk membantu
mengembangkan kemampuan membaca anak disleksia, sebab disleksia
merupakan kondisi hambatan belajar yang terus melekat, sehingga salah
satunya membutuhkan pengajaran remedial yang tepat (Shodiq, 1996; Wiki,
2007)
Remedial membaca bagi anak disleksia adalah kegiatan perbaikan membaca
(Dechant, 1982:249 dalam Shodiq, 1996:161), pelaksanaanya di luar
pengajaran kelas reguler, sebaiknya dilaksanakan oleh guru remedial
membaca atau guru khusus mengenai membaca (Shodiq, 1996:169).
Lebih lanjut, tujuan pengajaran secara remedial dalam membaca permulaan
pada anak disleksia adalah memberikan kecakapan untuk memperkenalkan
bentuk dan bunyi huruf serta mengubah rangkaian-rangkaian huruf menjadi
rangkaian-rangkaian bunyi bermakna dan melancarkan teknik membaca pada
anak. Jika dalam membaca permulaan dilakukan secara sistematis (dimulai
dari asesmen, berdasarkan kemampuan dan kebutuhan anak, dimulai dari
yang paling mudah) dan menggunakan metode secara tepat (efektif) akan
memudahkan anak untuk mengikuti pengajaran membaca lanjut.
2. Pendekatan Pengajaran Remedial Membaca Permulaan
Pendekatan pengajaran membaca bagi anak disleksia telah banyak
dikembangkan oleh para ahli, terutama di negara-negara yang telah menaruh
perhatiannya terhadap pendidikan anak disleksia. Pendekatan yang dimaksud
yaitu pendekatan multisensori, diantaranya (1) Pendekatan taktil-kinestetik,
(2) pendekatan visual-auditifkinestetik taktil, dan sebagainya.
a. Pendekatan Taktil-Kinestetik
Metode taktil-kinestetik dianggap cocok untuk diterapkan dalam pengajaran
membaca anak disleksia. Metode kinestetik dikembangkan oleh Grace
Fernald dan Hellen B.Keller. Metode ini lebih dikenal dengan metode telusur
dan kinestetik. Tujuan pokok metode ini adalah untuk melatih pengamatan
anak agar terarah, akurat, clan sistematis selama melaksanakan kegiatan
membaca. Dalam pelaksanaan pembelajaran membaca anak disleksia
dengan menggunakan metode ini, bila anak disleksia mengalami kesulitan
dalam membaca suatu kata atau suku kata bahkan huruf, makna huruf, suku
kata, atau kata yang sulit dibaca oleh anak tersebut harus ditelusuri bentuk,
konfigurasi dan urutannya dengan menggunakan jari tangan atau alat tulis
tertentu. Dengan cara demikian, ingatan anak disleksia atas kata; suku kata,
atau huruf tersebut dapat terbantu oleh respon visual dan kinestetik.
Menurut Kirk, Kliebhan, & Lerner (dalam M.Sodiq,1999: 165) ada empat
langkah penerapan metode ini yaitu
(1) Guru menuliskan kata yang dipilih dengan kapur berwarna pada papan
tulis. Tulisan tersebut dibuat cukup besar agar mudah dikenali oleh anak dan
ditelusuri dengan menggunakan jari atau pensil. Selama anak menelusuri dan
menunjuk kata yang tertulis, anak mengucapkan setiap bagiannya (suku
katanya). Hal ini dilakukan berulang kali sehingga anak dapat menuliskan kata
tersebut tanpa melihat rupa kata dan dapat mengucapkannya.
(2) Anak mempelajari kata atau huruf dengan cara mengucapkannya sendiri,
serta bebas menulis dan membaca kata yang telah ditulis. Tahap ini ditempuh
bila anak disleksia tidak perlu lagi menunjuk atau menelusuri kata-kata baru
yang dipelajarinya.
(3) Anak mempelajari kata dengan cara mengucapkannya, sebelum
menuliskannya. Dalam hal ini anak dapat belajar tanpa meminta guru untuk
menuliskan kata, dan anak disleksia diperbolehkan memandang sekilas kata
yang terdiri atas empat sampai lima suku kata sambil mengucapkan dan
menuliskannya secara hapalan.
(4) Anak dapat mengenal kata-kata baru dengan memperhatikan
kesamaannya dengan kata-kata yang telah dipelajarinya. Setelah anak
mempelajari kata yang tertulis, anak mulai menggeneralisasikan dan
mengenalnya kata baru berdasar kemiripan kata-kata yang telah dipelajari.
Sedangkan Ekwall & Shanker (M.Sodiq,1999:165) mengemukakan empat
tahapan penerapan pendekatan taktil-kinestetik dalam pengajaran membaca
anak disleksia sebagai berikut
(1) Penelusuran (tracing).
Pada tahap ini pertama-tarna kata yang dipelajari ditulis oleh anak di papan
tulis atau pada selembar kertas berukuran 3 x 9 atau 4 x 10 inci. Kata-kata
tersebut dapat ditulis dalam huruf kursif (huruf cetak miring ke kanan) atau
cetak biasa sesuai dengan kebiasaan yang ada di kelas. Kata yang tertulis di
papan tulis tersebut kemudian dibaca anak dengan menggunakan jari telunjuk
atau jari tengahnya sambil mengucapkan tiap bagian katanya, namun bukan
bunyi kata setiap huruf. Tahap ini dilakukan sampai anak mampu merekam
kata dalam ingatannya, kemudian menuliskan kata tersebut tanpa melihat
teks aslinya sesuai bentuk tulisan yang ada. Selanjutnya anak
mengucapkannya dan menyalinnya untuk dipelajari di rumah, yang disusun
berdasarkan urutan abjad. Pendeknya tahap ini penekanannya yaitu (1) satu
jari atau beberapa jari mengadakan kontak dengan kertas, menulis di udara
dianggap kurang bermanfaat; (2) murid tidak menyalin suatu kata, namun
menulis kata berdasar ingatannya, (3) kata dipelajari sebagai satu kesatuan,
(4) tiap bagian kata diucapkannya keras-keras sebagaimana yang tertulis, (5)
anak menulis apa yang ditulis guru dan membacanya dalam selang waktu
yang pendek setelah selesai ditulis, (6) jika anak tak dapat mengenal suatu
kata, pertemuan dihentikan dan praktek penelusuran diulangi seperti semula.
(2) Menulis tanpa penelusuran (writing without tracing)
Pada tahap ini anak tidak lagi menelusuri kata yang dipelajari hanya merekam
dalam memorinya dan mengucapkannya beberapa kali, kerriudian atas dasar
memorinya menuliskannya. Pada tahap ini lebih baik jika guru menggunakan
kartu-kartu kata seperti kartu katalog perpustakaan. Kata yang dipelajari
tersebut diketik pada satu sisi kartu dan ditulis tangan pada sisi yang lain,
yang diisi menurut urutan abjad.
(3) Pengenalan kata tercetak (recognition in print)
Pada tahap ini anak tak perlu menulis setiap kata yang tercetak. Murid melihat
kata pada teks dan menjelaskan maksud dari kata yang dilihatnya tersebut.
Kata diucapkan sekali atau dua kali, kemudian ditulis atas dasar ingatannya.
(4) Analkis kata (word analysis)
Pada tahap ini murid didorong untuk melihat kata-kata baru dan mencoba
mengidentifikasikannya atas kesamaan bagian kata yang ada dan
menerapkannya pada kata-kata baru. Penganalisisan bunyi setiap huruf
sebaiknya dihindari, namun anak didorong untuk mengembangkan kebiasaan
mencari kesamaan bagian dari kata.
b. Pendekatan Visual-Auditif-Kinestetik-Taktil
Metode ini dikenal juga sebagai pendekatan pembelajaran membaca yang
disebut pendekatan sistern fonik-visual-auditori-kinestetik. Metode ini
dikembangkan oleh Gillingham dan Stillman (Gearheart, dalam M.Sodiq,1999:
166). Asumsi yang mendasari metode ini adalah hahwa dalam pengajaran
membaca, menulis, dan mengeja kata dipandang sebagai satu rangkaian
huruf-huruf. Metode ini berangkat dari metode abjad, yaitu bunyi yang
disimbolkan oleh huruf dipandang mudah dipelajari dengan menggunakan
keterpaduan indra visual, auditori, kinestetik, dan taktil Dengan demikian saat
anak mempelajari suatu kata anak melihat huruf tersebut, mendengar bunyi
huruf menunjuk dengan gerakan tangan atau telusuran jari tangan dan
kemudian menuliskannya dengan menggunakan visual, auditori dan kinestetil:
secara terpadu. Pendekatan ini bermanfaat sekafi bagi anak yang tidak
maniru mempelajari kata melalui pendekatan rupa kata atau yang sering
disebut dengan metode kata lembaga.
Secara umum metode VAKT ini ada kesamaannya dengan metode sintesis
pada pengajaran membaca permulaan. Dalarn metode sintesis, pengajaran
membaca permulaan dimulai mengajarkan bunyi setiap huruf, suku kata,
kemudian kata,lalu frase dan dilanjutkan pada kalimat. Pada metode VAKT
siswa mempelajari kata dengan melihat huruf tersebut, mendengar bunyi
huruf, menunjuk dengan tangan, atau menelusuri dengan jari tangan
kemudian menuliskan kata dengan masukan indera visual, auditif, kinestetik,
dan taktil secara padu.
Kirk, Kliebhanf. & Lerner (dafam M. Sodiq, 1999: 167) mengetengahkan tiga
tahap penerapkan metode ini dalam pengajaran membaca anak disleksia
yaitu
( I) Asosiasi pertama terdiri dari dua gabungan yaitu asosiasi simbol visual
dengan nama-nama huruf dan asosiasi simbol visual dengan bunyi huruf; juga
asosiasi rasa organ bicara dalam memproduksi nama atau bunyi huruf apa
yang anak dengar sama dengan yang anak ucapkan. Hal tersebut adalah
asosiasi visual-auditif dan auditif-kinestetik. Dafam pelaksanaan
pengajaran membaca pada anak disleksia haf ini dilakukan dengan cara : (1)
guru membagikan kartu huruf dan mengucapkannya, anak mengulangi atau
menirukan apa yang diucapkan oleh guru, dan (2) setelah nama huruf
dikuasai oleh anak, guru mengucapkan bunyi huruf dan anak mengikutinya.
Selanjutnya guru menanyakan kepada anak, “Apa bunyi huruf ini?” anak lalu
menyebutkan bunyinya.
(2) Guru mengucapkan/melafalkan bunyi huruf, bagian kartu yang bertuliskan
huruf tak diperlihatkan kepada anak (menghadap ke guru). Kemudian guru
memperlihatkannya dan menanyakan kepada anak tentang nama huruf
tersebut, kemudian anak menjawabnya.
(3) Guru menuliskan huruf yang dipelajari, menerangkan dan
menjelaskannya. Anak memahami bunyi, bentuk dan cara membuat huruf
dengan cara menelusuri huruf yang dibuat oleh guru, kemudian
menyalin/menulis huruf berdasarkan memorinya. Akhirnya anak menulis huruf
sekali lagi dengan mata tertutup atau tidak mencontoh. Setelah dikuasai betul
oleh anak, guru melanjutkan dengan huruf lain. Dalam pendekatan VAKT ini
bila siswa telah menguasai beberapa huruf, kemudian anak merangkaikan
menjadi sebuah kata dengan pola KVK (Konsonan, Vokal, Konsonan),
misalnya pal, sas, bas, dan top.
3. Keunggulan dan Kelemahan Pengajaran Remedial
a. Keunggulan
Memperbaiki sebagian atau seluruh kesulitan membaca yang dialami oleh
anak disleksia, fokus diarahkan kepada setiap anak secara individual,
melibatkan keterlibatan anak secara langsung dan penuh dengan peragaan.
Metode ini juga merangsang semua modalitas yang dimiliki oleh anak (visual,
auditori, kinestetik, dan taktil). Seharusnya pembelajaran diawali dengan
penyusunan program yang berdasarkan atas hasil asesmen, metode, materi,
teknik dan bentuk pengelolaan kelas disiapkan secara khusus untuk setiap
individu (Shodiq, 1996:169; Abdurrahman, 2003).
b. Kelemahan
Pengajaran remedial membaca ini memiliki kelemahan, yaitu butuh waktu
lebih lama (Shodiq, 1996:161).
4. Prosedur Pengajaran Remedial
a. Asesmen
Asesmen dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan asesmen formal
dan asesmen informal. Asesmen formal adalah asesmen dengan
menggunakan tes baku yang sudah disusun sedemikian rupa oleh para ahli
sehingga memiliki standar tertentu, sedangkan tes informal adalah penilaian
dengan menganalisis hasil pekerjaan siswa atau dengan tes buatan guru
(McLoughlin dan Lewis, 1986; Mercer dan Mercer, 1989; Alimin, Z., 1996
dalam Imandala, I., 2000: 23).
Dalam makalah ini menggunakan asesmen informal (lihat di bawah ini) karena
melalui asesmen informal guru dapat menyusunnya sesuai kurikulum dan
guru akan lebih memahami anak (Wardani, et al., 2007:27). Asesmen informal
yang hendak digunakan dapat dilihat pada halaman di bawah ini:
(1) Tes Buatan Guru
Membedakan bentuk huruf: Lingkari huruf yang disebutkan
Huruf B/S Huruf B/S
(1) b d p
(2) a e r s
(3) m w h k
(4) l j t p y
(5) z o f v u n
(6) c s r z i e
(7) R G C D
(8) O D Q P
(9) S Z B H K
(10) Y U Y L F
(11) X N M W Z S
(12) A R K T B F
Sumber: Sunardi dan Sugiarmin, M. (2001:98)
(2) Format Observasi
Observasi Deskripsi
1. Posisi duduk
2. Posisi kepala
3. Konsentrasi
4. Gerakan tangan
5. Kesalahan membaca
6. Posisi buku
7. Intonasi
8. Ekspresi
9. Nada suara (tegang/tidak)
Sumber: Abdurrahman (2003)
(3) Format Pencatatan Bentuk-Bentuk Kesulitan
Nama: ………….
TTL : ………….
Kelas : ………………
No Bentuk Kesulitan Ya Tidak Deskripsi
1
2.
Terbalik huruf
dst.
Sumber: Abdurrahman (2003)
b. Perencanaan
Di dalam perencanaan guru menyusun langkah-langkah pengajaran secara
sistematis. Yang disusun dalam perencanaan adalah tujuan, materi,
alat/bahan, metode, evaluasi, dan jadwal (Shodiq, 1996).
Contoh format perencanaan:
Hasil asesmen: Ketika membaca anak sering terbalik pada huruf b, d, p, q, m,
n, r, dan t
Tujuan Materi Alat/bahan Metode Evaluasi
Tujuan Umum:
anak mampu
memahami
- Memperkenalkan
bentuk-bentuk
huruf b, d, p, q, m,
- Kartu huruf
dengan
warna yang
Metode
Fernald*
Tes
perbuatan
(membaca)
bentuk-bentuk
huruf
Tujuan
khusus: anak
mampu
membedakan
huruf b, d, p, q,
m, n, r, dan t,
pada posisi
tunggal, diawal
kata, di tengah
kata, dan di
akhir kata.
n, r, dan t, satu
persatu hingga
anak paham
- Mengucapkan
bunyi huruf-huruf
tersebut.
- Membedakan
mencolok
- Bentuk
huruf tiga
dimensi
- Kartu huruf
yang
bertekstur
dan tertulis
*Dipilih metode Fernald karena dalam metode ini melibatkan keterlibatan anak
secara langsung dan penuh dengan peragaan. Metode ini juga merangsang
semua modalitas yang dimiliki oleh anak (visual, auditori, kinestetik, dan
taktil).
Jadwal
No Siswa Kelas Hari Waktu Keterangan
1 A 2 Senin 11.00 -12.00
2 B 2 Selasa 11.00 -12.00
3 C 3 Rabu 12.15 -13.15
4 D 3 Kamis 12.15 -13.15
5 E 3 Jum’at 12.15 -13.15
c. Pelaksanaan
Sebagai bahan pertimbangan, di bawah ini disajikan teori-teori metode
membaca dari (1) Fernald, (2) Gillingham, dan (3) Analisis Glass. Sehingga
dalam pelaksanaan metode Fernald tidak rancu atau tercampur dengan
metode lain.
(1) Metode Fernald
Fernald telah mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multi
sensori yang sering dikenal pula sebagai metode VAKT (Visual Auditori
Kinestetik Taktil), metode ini menggunakan materi bacaan yang dipilih dari
kata-kata yang diucapkan oleh anak dan tiap kata diajarkan secara utuh.
Metode ini memiliki empat tahapan, tahapan pertama, guru menulis kata yang
hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon. Selanjutnya anak menelusuri
tulisan tersebut dengan jarinya (taktil kinestetik), pada saat ini menulusuri
tulisan tersebut, anak melihat tulisan (visual), dan mengucapkannya dengan
keras (auditori). Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat
menulis kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh. Jika anak telah
dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan,
pada tahapan kedua anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan
dengan jari, tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis,
sambil mengucapkannya. Anak-anak mempelajari kata-kata baru
pada tahapan ketiga, dengan melihat tulisan di papan tulis atau tulisan cetak,
dengan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak
dimulai membaca tulisan dari buku. Pada tahapan keempat, anak mampu
mengingat kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah
dipelajari.
(2) Metode Gillingham
Metode gillingham, merupakan pendekatan terstruktur dari taraf tinggi yang
memerlukan lima jam pelajaran selama dua tahun. Aktifitas pertama
diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf-huruf
tersebut. Anak menggunakan teknik menjiplak untuk mempelajari berbagai
huruf. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya dikombinasikan ke dalam
kelompok-kelompok yang lebih besar dan kemudian program fonik
diselesaikan.
(3) Metode Analisis Glass
Metode analisis Glass merupakan suatu metode pengajaran melalui
pemecahan sandi kelompok huruf dalam kata. Metode ini bertolak dari asumsi
yang mendasari membaca sebagai pemecahan sandi atau kode tulisan. Ada
dua asumsi yang mendasari metode ini. Petama proses pemecahan sandi
(decoding) dan membaca (reading) merupakan kegiatan yang
berbeda. Kedua, pemecahan sandi mendahului membaca. Pemecahan sandi
didefinisikan sebagai menentukan bunyi yang berhubungan dengan suatu
kata tertulis secara tepat. Membaca didefinisikan sebagai menurunkan makna
dari kata-kata yang berbentuk tulisan. Jika anak tidak melakukan pemecahan
sandi tulisan secara efisien, maka mereka tidak akan belajar membaca.
Melalui metode analisis Glass, anak dibimbing untuk mengenal kelompok-
kelompok huruf sambil melihat kata secara keseluruhan. Meode ini
menekankan pada latihan auditoris dan visual yang terpusat pada kata yangt
sedang dipelajari. Materi yang diperlukan untuk mengajar mengenal
kelompok-kelompok huruf dapat dibuat oleh guru. Secara esesnsial, kelompok
huruf dapat dibuat pada kartu berukuran 3 x 15 cm. Pada tiap kartu tersebut
guru menuliskan secara baik kata-kata yang terpilih yang telah menjadi
pembendaharaan kata anak. Kelompok kata didefinisikan sebagai dua atau
lebih huruf yang merupakan satu kata utuh, menggambarkan suatui bunyi
yang relatif tetap. Dalam Bahasa Indonesia kelompok huruf yang merupakan
satu kata yang hanya terdiri dari suku kata sangat jarang. Kata “tak” misalnya
sesungguhnya merupakan kependekan dari kata tidak, dan kata “pak” atau
‘bu” sesungguhnya kependekan dari kata “bapak” dan “ibu”. Dengan
demikian, penerapan metode analisis Glass dalam Bahasa Indonesia akan
bebentuk suku kata, misalnya kata “bapak” terdiri dari dua kelompok huruf
“ba” dan “pak”.
d. Evaluasi
Bentuk evaluasi yang diterapkan dalam mata pelajaran membaca permulaan
pada metode Fernald adalah unjuk kerja diikuti dengan tertulis (menyangkut
pengikutsertaan aspek akademik (membaca, menulis, pengetahuan dan
pemahaman), contohnya sebagai berikut :
1. Tunjukkan huruf b yang ada pada halaman ini!
2. Tunjukkan huruf d yang ada pada halaman ini!
3. Tunjukkan huruf p yang ada pada halaman ini!
4. Tunjukkan huruf q yang ada pada halaman ini!
5. Tuliskanlah huruf b dengan benar!
6. Tuliskanlah huruf b dengan benar!
7. Tuliskanlah huruf d dengan benar!
8. Tuliskanlah huruf p dengan benar!
9. Tuliskanlah huruf q dengan benar!
10. Tuliskanlah huruf e dengan benar!
4. Penerapan Remedial Membaca Permulaan Bagi Anak Disleksia
Berikut ini contoh penerapan remedial membaca permulaan bagi anak
disleksia:
1. Identitas
Nama anak : Yoga
Jenis kelamin : Laki-laki
TTL : Bandung, 20 Juni 1998
Alamat : Warung Lobak No 5 RT 02 RW 05
Desa Sekawangi Kec. Katapang Kab. Bandung
Sekolah : SLB B-C Roudhotul Jannah
Kelas : III/SDLB-C
Nama Ayah : Sukardi
Nama Ibu : Amirah
b. Contoh Asesmen dan Hasil Asesmen
Mengenal Huruf
Nama : …
Jenis Kelamin : …
TTL : ..
Kelas : …
a b c d e f
g h i j k l
m n o p q r
s t u v x y
z
Sumber: Suwarni, T. (1999:18)
Membedakan Bentuk Huruf
(Lingkari huruf yang disebutkan)
Nama : …
Jenis Kelamin : …
TTL : ..
Kelas : …
Huruf B/S Huruf B/S
(1) b d p
(2) a e r s
(3) m w h k
(4) l j t p y
(5) z o f v u n
(6) c s r z i e
(7) R G C D
(8) O D Q P
(9) S Z B H K
(10) Y U Y L F
(11) X N M W Z S
(12) A R K T B F
Sumber: Sunardi dan Sugiarmin, M. (2001:98)
Membaca Kata
(Bacalah kata-kata di bawah ini!)
Nama : …
Jenis Kelamin : …
TTL : ..
Kelas : …
1. buku duku kuku
2. mama mana nana
3. bulu bola labu
4. hati nasi hari
5. kuda lupa palu
6. peta gula pita
7. sewa vena vita
8. cuci guci gali
9. lusa lusi nita
10. tani rasi rusa
Sumber: Suwarni, T., (1999:17)
Observasi
Observasi Deskripsi
1. Posisi duduk
2. Posisi kepala
3. Konsentrasi
4. Gerakan tangan
5. Kesalahan membaca
6. Posisi buku
7. Intonasi
8. Ekspresi
9. Nada suara (tegang/tidak)
Sumber: Abdurrahman (2003 : 209) Shodiq (1996)
Contoh Pencatatan Hasil Asemen
Nama: ………….
TTL : ………….
Kelas : ………………
No Bentuk Kesulitan Deskripsi
1
2.
3.
Mengenal huruf
Terbalik huruf
Membalik huruf pada
kata
Anak sudah mampu mengenal dan menyebutkan huruf
dari a s.d. z, tapi masih terbalik pada huruf b dengan d,
m dengan n, p dengan q.
Anak masih sering terbalik huruf b dengan d, m
dengan n, p dengan q.
Anak sudah mampu membaca kata, namun masih
sering terjadi membalik kata, misalnya kuda dengan
daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat
1. Perencanaan Program
Contoh Perencanaan Program
Nama: ………….
TTL : ………….
Kelas : ………………
Hasil asesmen:
- Ketika membaca anak sering terbalik pada huruf b, d, p, q
- Anak sudah mampu membaca kata tapi masih sering terjadi membalik kata,
misalnya kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat.
- Dua kondisi di atas diakibatkan adanya masalah pada persepsi visual anak
sehingga perlu adanya materi latihan persepsi visual.
Selanjutnya ditetapkan tujuan penanganan untuk mengatasi kesulitan
membaca yang dialami oleh anak dengan harapan dapat menghasilkan
perilaku belajar sesuai kategori perilaku Bloom, yaitu ranah kognitif, afektif,
dan psikomotor (dalam Dimyati dan Mudjiono, 1994:23).
Setelah menetapkan tujuan selanjutnya ditentukan materi, alat/bahan,
metode, dan evaluasi. Contohnya sebagai berikut:
Tujuan Materi Alat/bahan Metode Evaluasi
Tujuan Umum: - - Kartu Metode Tes
anak mampu
memahami
bentuk-bentuk
huruf
Tujuan khusus:
- Anak mampu
mengenal dan
memahami huruf
b, d, p, q (kognitif)
- Anak mampu
membedakan
huruf b, d, p, q,
pada posisi
tunggal, diawal
kata, di tengah
kata, dan di akhir
kata (psikomotor).
- Anak mampu
peka terhadap
kesalahan/bentuk-
bentuk kesulitan
membacanya
(afektif).
Memperkenalkan
bentuk-bentuk
huruf b, d, p, q,
satu persatu
hingga anak
paham
- Mengucapkan
bunyi huruf-huruf
tersebut.
- Latihan persepsi
visual
huruf
dengan
warna yang
mencolok
- Bentuk
huruf tiga
dimensi
- Kartu
huruf yang
bertekstur
Fernald*
perbuatan
(membaca)
dan tertulis
d. Pelaksanaan
Contoh Pelaksanaan
Menggunakan metode Fernald, langkah-langkanya sebagai berikut:
(1) Guru mencatat bentuk huruf-huruf yang sulit dikuasai/dibedakan oleh anak
(b, d, p, dan, q)
(2) Guru mencatat kata-kata yang sering terbalik (kuda dengan daku, palu
dengan lupa, tali dengan ilat)
(3) Guru menulis huruf/kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan
krayon. Selanjutnya anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (taktil
kinestetik), pada saat ini menulusuri tulisan tersebut, anak melihat tulisan
(visual), dan mengucapkannya dengan keras (auditori). Proses semacam ini
diulang-ulang sehingga anak dapat menulis huruf/kata tersebut dengan benar
tanpa melihat contoh. Jika anak telah dapat menulis dan membaca dengan
benar, bahan bacaan tersebut disimpan.
(4) Selanjutnya anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan
dengan jari, tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis,
sambil mengucapkannya.
(5) Anak-anak mempelajari kata-kata baru, dengan melihat tulisan di papan
tulis atau tulisan cetak, dengan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis.
Pada tahapan ini anak dimulai membaca tulisan dari buku.
(6) Pada tahapan ini, anak diharapkan mampu mengingat kata-kata yang
dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah dipelajari.
1. Evaluasi
Contoh Evaluasi
1. Tunjukkan huruf b yang ada pada halaman ini!
2. Tunjukkan huruf d yang ada pada halaman ini!
3. Tunjukkan huruf p yang ada pada halaman ini!
4. Tunjukkan huruf q yang ada pada halaman ini!
5. Tuliskanlah huruf b dengan benar!
6. Tuliskanlah huruf b dengan benar!
7. Tuliskanlah huruf d dengan benar!
8. Tuliskanlah huruf p dengan benar!
9. Tuliskanlah huruf q dengan benar!
10. Tuliskanlah huruf e dengan benar!
Bacalah kata-kata di bawah ini!
1. buku duku kuku
2. mama mana nana
3. bulu bola labu
4. hati nasi hari
5. kuda lupa palu
6. peta gula pita
7. sewa vena vita
8. cuci guci gali
9. lusa lusi nita
10. tani rasi rusa
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Disleksia merupakan kondisi kesulitan belajar membaca taraf berat yang
disebabkan oleh faktor neurologis, kematangan, genetika , dan psikologis
dasar yang ditandai oleh IQ rata-rata atau diatas rata-rata dan kadang-kadang
menyertai atau bersama-sama dengan jenis kelainan lain.
2. Pengajaran membaca terdiri dari tahapan membaca permulaan, dan
membaca lanjut. Adapun pengertian membaca permulaan adalah tahap awal
dalam belajar membaca yang difokuskan kepada mengenal simbol-simbol
atau tanda-tanda yang berkaitan dengan huruf-huruf , sehingga menjadi
pondasi agar anak dapat melanjutkan ke tahap membaca lanjut.
3. Bentuk-bentuk kesulitan membaca permulaan anak disleksia sebagai
berikut: (1) membaca lamban, turun naik intonasi, dan kata demi kata; (2)
sering membalikkan huruf-huruf dan kata-kata; (3) mengubah huruf pada kata;
(4) kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit berbeda susunannya
misalnya: bau, buah, batu, buta; dan (5) sering menebak dan mengulangi
kata-kata frasa
4. Pengajaran remedial membaca menunjuk pada suatu bentuk perlakuan
khusus pembelajaran membaca untuk memperbaiki sebagian atau seluruh
kesulitan membaca yang dialami oleh anak disleksia dengan cara melibatkan
seluruh aspek kognitif (mengenal dan memahami bentuk-bentuk huruf dan
kata), afektif (peka terhadap kesalahan dan bentuk kesulitan membacanya,
dan psikomotor (mampu menyebutkan, menunjukkan, membedakan, dan
menuliskan huruf atau kata dengan benar).
5. Remedial membaca permulaan bagi anak disleksia terdiri dari beberapa
langkah, yaitu asesmen (formal atau informal), perencanaan, pelaksanaan
(menggunakan pendekatan multisensori), dan evaluasi (tes tulis dan unjuk
kerja).
B. Saran
1. Dalam menangani kasus pembelajaran anak disleksia diperlukan kerja
sama dengan ahli lain, seperti ahli pendidikan khusus, dokter (medis) dan
psikolog.
2. Hasil pemikiran ini dapat dikaji lebih mendalam lagi, khususnya tentang
penggunaan metode Fernald dalam membaca permulaan.
3. Diharapakan disediakan ruangan khusus sebagai pusat penanganan
kesulitan belajar. Ruang tersebut dapat dipergunakan oleh guru kelas dan
guru khusus untuk mengkaji dan menangani berbagai gangguan belajar yang
terjadi pada anak didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar (cet.
kedua). Jakarta: Depdikbud dan PT Rineka Cipta.
Amin, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Dirjen Dikti
Depdikbud PPTG.
Dalwadi. (2002). Pengaruh Penerapan Metode Suku Kata Dalam Pengajaran
Membaca Permulaan Bagi Anak Tunagrahita Ringan. Skripsi S1 Pada
Jurusan PLB FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus: Dalam Setting
Pendidikan Inklusi. Bandung: PT Refika Aditama.
Dimyati dan Mudjiono. (1994). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti
Depdikbud
Imandala, I. (2000). Program Pembelajaran Berhitung Faktual Bagi Siswa
Berkesulitan Belajar Di Kelas III Sekolah Dasar. Skripsi S1 Pada Jurusan
Pendidikan Luar Biasa FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Lerner-Janet, W. (1989). Learning Disablities: Theories, Diagnosis and
Teaching Strategis (Fifth ed.). Boston USA: Houghton Mifflin Company.
McLoughlin-James, A. and Lewis-Rena, B. (1986). Assessing Special
Students (second ed.). Ohio USA: Merril Publishing Company A Bell & Howell
Company.
Mercer-Cecil, D. and Mercer-Ann, R. (1989). Teaching Students With
Learning Problems(third ed.). Ohio USA: Merril Publishing Company A Bell &
Howell Company.
Shodiq, M. (1996). Pendidikan Bagi Anak Disleksia. Jakarta: Dirjen Dikti
Depdikbud PPTA.
Somad, P. (2002). “Bimbingan Membaca Bagi Siswa Berkesulitan Membaca”.
Jurnal Jassi Anakku. 1. (1), 38-51.
Sub Dinas Pendidikan Luar Biasa. (2007). Direktori Sub Dinas Pendidikan
Luar Biasa.Bandung: Subdin PLB Jabar.
Suherman, Y. (2005). Adaptasi Pembelajaran Siswa Berkesulitan
Belajar. Bandung: Rizqi Press.
Sunardi dan Sugiarmin, M. (2001). Identifikasi Karakteristik Perilaku Belajar
Akademik Siswa Learning Disablities. Laporan Penelitian Dirjen Dikti
Depdikbud Jakarta: tidak diterbitkan.
Suwarni, T. (1999). Program Pengembangan Kemampuan Berbahasa Melalui
Pembelajaran Membaca Permulaan Bagi Anak Tunagrahita Ringan. Makalah
S1 pada Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
Universitas Pendidikan Indonesia. (2007). Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah. Bandung: UPI.
Wardani, I.G.A.K., Hernawati, T., Astati. (2007). Pengantar Pendidikan Luar
Biasa.Jakarta: Universitas Terbuka.
Wiki. (2007). Learning Disability [Online]. Tersedia: http//en.wikipedia.org/wiki.
[20 Oktober 2007].