Download docx - asesmen disleksia

Transcript
Page 1: asesmen disleksia

Oleh Iim Imandala, S.Pd.

(dipublikasikan juga di http://iimimandala.blogspot.com)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Setiap warga negara memiliki

hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Begitu pula

dengan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,

intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus (UU No.

20 Tahun 2003 dalam Sub Dinas PLB Jabar, 2007). Warga negara yang

berkelainan tersebut dan masih berusia anak–anak disebut Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK). Anak disleksia sebagai bagian dari anak

berkebutuhan khusus, tentunya mereka juga berhak memperoleh pendidikan

khusus agar dapat berkembang sesuai dengan potensinya.

Dalam proses pendidikan formal, anak disleksia (sebutan umum bagi anak

berkesulitan belajar membaca secara khusus) ini banyak ditemui di sekolah

reguler (SD), terutama di kelas I, 2 dan 3. Meskipun demikian jumlah pasti

anak disleksia di Indonesia khususnya di Jawa Barat belum dapat dipastikan

(Sunardi dan Sugiarmin, M., 2001). Prevalensi tentang jumlah siswa yang

mengalami kesulitan belajar pada setiap kelas belum bisa diketahui secara

pasti, tetapi diperkirakan 2-10% (Somad, P., 2002:40). Anak berkesulitan

belajar keberadaanya sering dianggap sebagai siswa yang berprestasi rendah

(underachivers) umumnya kita temui di sekolah reguler (Delphie, B, 2006 :24).

Anak disleksia banyak ditemui di sekolah reguler karena kelainan yang

mereka miliki tidak kasat mata sehingga mereka bisa diterima di sekolah

reguler. Akibatnya keberadaan mereka sering tidak disadari oleh

lingkungannya, terutama oleh guru.

Sebagian guru beranggapan, bahwa anak disleksia ini sebagai anak yang

bodoh, berprestasi rendah, pemalas, kurang konsentrasi, atau anak nakal.

Anggapan itu muncul karena guru tidak paham tentang anak ini, sehingga

Page 2: asesmen disleksia

upaya yang dilakukan oleh guru pun kurang optimal atau tidak sesuai dengan

kebutuhan serta kemampuan anak. Seharusnya sebagai guru yang

“mumpuni” adalah guru yang mampu mengorganisir kegiatan belajar

mengajar di kelas melalui program pembelajaran individual dengan

memperhatikan kemampuan dan kelemahan setiap individu siswa ( Delphie,

B., 2006 :1). Anggapan guru atau tindakan guru yang kurang tepat dapat

menambah parah kesulitan belajar membaca yang dialami oleh anak

disleksia.

Seharusnya guru memahami dengan benar bahwa mereka memiliki prestasi

yang rendah karena kesulitan membaca yang mereka alami sehingga

membawa dampak pada penguasaan bidang studi lainnya. Sebagaimana

yang dikatakan oleh Lerner (1984 dalam Abdurrahman, M., 2003) bahwa

kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang

studi yang dipelajari di sekolah. Jika siswa mengalami kesulitan membaca

maka ia akan berkesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada

kelas-kelas berikutnya. Adanya kesulitan membaca akan mengakibatkan

ketidakmampuan menangkap pesan-pesan tulisan, padahal hampir semua

mata pelajaran pesannya disampaikan melalui (huruf, angka-angka, dan

simbol-simbol lain) (Somad, P., 2002). Jadi yang paling awal harus dilakukan

adalah mengatasi kesulitan membacanya dahulu.

Selain masalah pemahaman guru yang masih kurang tentang anak disleksia

ini, masalah lain adalah masih dirasakan beban tugas guru yang cukup berat.

Guru harus mengajar dengan rasio 1:40 (Somad, P., 2002) dan guru juga

dituntut peran ganda, disamping mengajar juga sebagai pembimbing

(Dikdasmen, 1990/1991 dalam Somad, P., 2002), sehingga dengan kondisi-

kondisi tersebut anak berkesulitan membaca belum tertangani secara optimal.

Kesulitan belajar membaca memerlukan perhatian yang serius, sehingga

anak yang mengalami kesulitan belajar membaca dapat memahami mata

Page 3: asesmen disleksia

pelajaran lainnya secara lancar. Penanganan kesulitan belajar membaca ini,

terutama, harus dilakukan sejak tahap membaca permulaan. Pada tahap

tersebut, belajar membaca menjadi sangat penting karena merupakan fondasi

untuk belajar membaca pada tahap lebih lanjut. Apabila pada tahap ini anak

mengalami kesulitan maka akan berpengaruh pada pelajaran membaca

selanjutnya. Seperti yang terjadi pada anak disleksia, mereka sangat banyak

memiliki hambatan pada tahap membaca permulaan sehingga tidaklah

mengherankan jika ia mendapatkan kesulitan memahami isi bacaan dan

menemui kesulitan mengikuti tahap membaca lanjut, hal ini, berdampak pada

prestasi belajar.

Anak disleksia sebagai bahan makalah yang dimaksudkan adalah siswa-

siswa Sekolah Dasar (SD) yang dalam membacanya sulit membedakan huruf

vocal (a, i, u, e, o), terbalik huruf “tedi“ dibacanya “tebi“, menghilangkan kata

atau huruf “ibu membeli roti“ dibacanya “ibu beli roti“, sulit membedakan

konsonan yang bentuknya mirip “nenas“ dibacanya “memas“, “roti“ dibacanya

“rori“ atau “toti“, kondisi itu disebabkan bukan oleh keterbelakangan mental,

gangguan emosional, tunarungu, tunanetra, bukan karena hambatan

lingkungan, budaya, atau ekonomi.

Oleh karena itu perlu adanya pemikiran tentang penanganan kesulitan

membaca permulaan pada anak disleksia ini. Melalui makalah ini munculah

pemikiran untuk menangani kesulitan membaca tersebut dengan pengajaran

remedial membaca permulaan bagi anak disleksia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan

dibahas dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut :

“Bagaimana Pengajaran Remedial Membaca Permulaan Anak Disleksia ?“

Page 4: asesmen disleksia

Untuk menjawab masalah tersebut, maka diajukan pertanyaan berikut:

a. Bagaimana konsep dasar anak disleksia ?

b. Bagaimana konsep dasar membaca permulaan?

c. Bagaimana bentuk-bentuk kesulitan membaca permulaan anak disleksia ?

d. Bagaimana remedial membaca permulaan anak disleksia ?

C. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh pemahaman

mengenai pengajaran membaca permulaan bagi anak disleksia.

2. Manfaat

a. Diharapkan dapat menjawab persoalan pengajaran membaca permulaan

bagi anak disleksia

b. Diharapkan hasil pemikiran ini dapat menjadi bahan informasi berkaitan

dengan pengajaran remedial membaca permulaan di sekolah, baik di sekolah

regular (SD) maupun sekolah luar biasa (SLB).

D. Sistimatika Penulisan Makalah

Untuk mendapatkan gambaran bahasan yang terarah maka sistimatika isi

keseluruhan makalah ini terdiri dari :

a. Bab I. Membahas (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3)

tujuan dan manfaat.

Page 5: asesmen disleksia

1. Bab II. Kajian teori, mencakup (1) konsep dasar anak disleksia dan

membaca permulaan, (2) penerapan remedial terhadap kesulitan

membaca anak disleksia.

2. Bab III. Kesimpulan dan Saran.

E. Ruang Lingkup dan Prosedur Pemecahan Masalah

1. Ruang Lingkup

a. Konsep dasar anak disleksia

b. Kemampuan membaca anak disleksia

c. Konsep dasar membaca permulaan

d. Penerapan remedial membaca

2. Prosedur Pemecahan Masalah

Dalam membahas dan pemecahan masalah dalam makalah ini dengan cara

sebagai berikut :

1. Melakukan kajian pustaka yang berkaitan dengan:

a. Konsep dasar anak disleksia.

b. Kemampuan membaca anak disleksia.

c. Gambaran pelaksanaan remedial membaca permulaan bagi anak disleksia.

2. Menyimpulkan masalah pengajaran remedial membaca permulaan bagi

anak disleksia.

BAB II

PENGAJARAN REMEDIAL MEMBACA PERMULAAN

Page 6: asesmen disleksia

BAGI ANAK DISLEKSIA

A. Konsep dasar Anak Disleksia dan Membaca Permulaan

1. Pengertian Anak Disleksia

Anak disleksia merupakan bagian dari anak berkesulitan belajar. Untuk

menunjukkan bahwa anak disleksia adalah bagian dari anak berkesulitan

belajar, dapat dilihat dari definisi anak berkesulitan belajar (learning

diabilities), yaitu anak yang memiliki kesulitan belajar dalam proses psikologis

dasar, sehingga menunjukkan hambatan dalam belajar berbicara,

mendengarkan, menulis, membaca, dan berhitung, sedangkan mereka ini

memiliki potensi kecerdasan yang baik tapi berprestasi rendah, yang bukan

disebabkan oleh tunanetra, tunarungu, terbelakang mental, gangguan

emosional, gangguan ekonomi, sosial atau budaya (Public Law 94-142, 1997;

Delphie, B., 2006:27)

Jadi jelaslah dari definisi di atas disleksia merupakan bagian dari learning

disabilities(berkesulitan belajar), karena disleksia menunjukkan adanya

kesulitan dalam membaca yang bukan diakibatkan oleh kasus-kasus utama

(seperti terbelakang mental, hendaya visual dan pendengaran, kelainan gerak

serta gangguan emosional (Delphie, 2006:28)) dan bukan disebabkan oleh

gangguan yang merugikan dari lingkungan dan budayanya.

Selanjutnya akan dijelaskan pengertian disleksia secara harfiyah, peristilahan

dan dari beberapa ahli. Secara harfiyah disleksia (dyslexia) berarti tidak

mampu membaca. Menurut Reid & Hresko (M.Sodiq A. 1996:3). Disleksia

berarti suatu kesulitan pada membaca. Sedangkan Hornsby (M.Sodiq A,

1996:3) menyatakan bahwa kata disleksia berarti kesulitan pada kata-kata

atau bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa disleksia merupakan

suatu kondisi atau bentuk kesulitan belajar membaca, kesulitan belajar

membaca kata atau bahasa yang disebabkan oleh gangguan saraf pusat.

Secara terminologi, istilah disleksia dirujukan pada kesulitan belajar membaca

tingkat berat sampai amat berat pada diri seseorang. Mengingat konsep

disleksia seperti itu, maka terdapat berbagai pengertian disleksia yang satu

Page 7: asesmen disleksia

sama lain kadang-kadang terkesan kontroversi. Hal ini dimungkinkan oleh

berbagai alasan, diantaranya: (a) didasarkan pada orientasi dan titik pandang

yang berbeda-beda, dan (b) bermuara pada luas sempitnya wawasan

pengetahuan dan pengalaman pengusulnya.

Terdapat beberapa pengertian disleksia yang dikemukakan para ahli seperti

berikut.

a. Disleksia merujuk pada anak yang tidak dapat membaca sekalipun

penglihatan, pendengaran. Inteligensinya normal, dan ketrampilan usia

bahasanya sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor neurologis dan

tidak dapat diatributkan pada faktor kedua, misalnya Iingkungan atau sebab

sebab sosial (Corsini,1987).

b. Disleksia sebagai kesulitan membaca berat pada anak yang berinteligensi

normal dan bermotivasi cukup, berlatar belakang budaya yang memadai dan

berkesempatan memperoleh pendidikan serta tidak bermasalah emosional

(Guszak,1985).

c. Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen-

komponen kata dan kalimat, yang secara historis menunjukan perkembangan

bahasa lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja

serta berkesulitan dalam mempelajari sistem representasional misalnya

berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. ( Bryan & Bryan dikutif

Mercer,1987).

d. Disleksia adalah bentuk kesulitan belaiar membaca dan menulis terutama

belajar mengeja secara betul dan mengungkapkan pikiran secara tertulis dan

ia telah pernah memanfaatkan sekolah normal serta tidak memperlihatkan

keterbelakangan dalam mata pelajaran-mata pelajaran lainnya ( Hornsby

dalam Sodiq, 1996:4)

Page 8: asesmen disleksia

Jadi pengertian disleksia adalah suatu tipe atau bentuk kelainan membaca

yang disebabkan oleh faktor-faktor neurologis, genetika, dan psikologis dasar,

tapi umumnya mereka ini cukup cerdas yang ditandai oleh skor IQ rata-rata/

normal atau di atas rata-rata. Untuk penanganannya membutuhkan

keterlibatan para ahli selain guru yang bersangkutan, seperti ahli pendidikan

khusus dan psikolog, Wikipedia (2007) menambahkan, anak disleksia

memiliki kesulitan dalam mengasosiakan antara bentuk huruf dengan

bunyinya dan mereka juga sering terbalik atau kebingungan terhadap huruf-

huruf tertentu.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa anak

disleksia adalah anak yang mengalami kesulitan belajar membaca yang

disebabkan oleh faktor neurologis, genetika, dan psikologis dasar, serta

sering menunjukkan kesulitan dalam mengasosiasikan antara bentuk huruf

dan bunyinya dan mereka juga sering terbalik atau kebingungan terhadap

huruf-huruf tertentu, tetapi mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata

bahkan ada di atas rata-rata.

2. Karakteristik Anak Disleksia

Karakteristik anak disleksia amat bervariasi tergantung masalahnya. Sodiq

(1996: 5) memberikan karakteristik anak disleksia sebagai berikut: (1)

membaca lamban, turun naik intonasinya, dan kata demi kata; (2) sering

membalikan huruf-huruf dan kata-kata; (3) mengubah huruf pada kata; (4)

kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit berbeda susunannya misalnya:

bau, buah, batu, buta; dan (5) sering menebak dan mengulangi kata-kata dan

frasa .

Pada anak disleksia kesalahan-kesalahan membaca oral tersebut sering

disertai oleh kelainan bicara, yaitu: (1) gangguan artikulasi, (2) gagap, dan (3)

pembalikan konsep waktu dan ruang misalnya kacau terhadap konsep

belakang dan muka,atas bawah, kemarin dan besok. Selain itu pada anak

Page 9: asesmen disleksia

disleksia sering juga ditandai adanya bentuk kesalahan mengeja dan

kesalahan tulis, misalnya jika didiktekan kata pagar maka ditulis papar.

Berkaitan dengan berbagai bentuk kesalahan dan problem yang dimiliki oleh

anak disleksia tersebut, Gearheart (1984) menyatakan disleksia merupakan

kesulitan membaca berat yang disertai oleh gangguan persepsi visual dan

problem-problem dalam menulis misalnya perbalikan dan tulisan cermin

(mirror writing).

Menurut Ekwall & Shanker 1988 (dalam M.Sodia, A, 1996:6) ada beberapa

simtom berkaitan dengan kasus kesulitan belajar membaca berat (disleksia):

a. Pembalikan huruf dan kata,misalnya membalikan huruf b dengan d; p

dengan a, u dengan n; kata kuda dengan daku palu dengan lupa; tali dengan

ilat; satu dengan utas.

b. Pengingatan pada kata mengalami kesulitan atau tidak menentu (eratik)

c. Membaca ulang oral (secara lisan) tak bertambah baik setelah menyusul

d. Membaca tanpa suara (dalam hati) atau membaca oral (secara lisan) yang

pertama

e. Ketidak sanggupan menyimpan informasi dalam memori sampai waktu

diperlukan

e. Kesulitan dalam konsentrasi

i. Koordinasi motorik tangan-mata lemah

j. Kesulitan pada pengurutan

Page 10: asesmen disleksia

k. Ketaksanggupan bekerja secara tepat

l. Penghilangan tentang kata-kata dan prasa

m. Kekacauan berkaitan dengan membaca secara lisan (oral) misalnya tak

mampu membedakan antara d dan p

n. Diskriminasi auditori lemah

o. Miskin dalam sintaksis (ilmu tata bahasa), gagap, dan bicara terputus-putus

p. Prestasi belajar dalam berhitung tinggi dari pada dalam membaca dan

mengeja

q. Hyperaktivitas.

Sementara itu Guszak ( dalam M.Sodik A, 1996: 6) mengemukakan ciri-ciri

anak disleksia sebagai berikut:

a. Membalikan huruf atau kata

b. Kesulitan/tak mampu mengingat kata

c. Kesulitan/tak mampu menyimpan informasi dalam memori d. Sulit

berkonsentrasi.

e. Sulit dalam melihat keterhubungan (relationship),

f. Impulsif.

g. Sulit melakukan koordinasi tangan-mata,

h. Sulit dalam segi mengurutkan,

Page 11: asesmen disleksia

i. Membaca lambat,

j. Penanggalan kata, frasa dan sebagainya,

k. Kekacauan membaca secara oral,

l. Hyperaktif, dan

m. Kinerja matematika secara signifikan lebih tinggi dari pada kinerja

membaca

3. Faktor Penyebab

Penyebab utama disleksia adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya

disfungsi neurologis. Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan

kesulitan belajar tetapi juga menyebabkan tunagrahita dan gangguan

emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis

yang pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain:

a. Faktor genetik

b. Luka pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen

c. Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk

memfungsikan syaraf pusat)

d. Biokimia yang merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan),

pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam), gizi yang tidak

memadai

e. Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan

anak (deprivasi lingkungan)

Page 12: asesmen disleksia

Dari berbagai penyebab tersebut dapat menimbulkan gangguan dari tarap

yang ringan hingga tarap berat.

4. Kemampuan Membaca Anak Disleksia

Kemampuan membaca erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa,

sementara itu kemampuan berbahasa berhubungan dengan

intelegensi/kecerdasan. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa anak

disleksia ini memiliki kecerdasan rata-rata bahkan ada yang di atas rata-rata.

Disisi lain Wiki (2007) berpendapat bahwa mereka itu cukup cerdas dan

cukup lancar dalam bicara. Artinya mereka ini seharusnya tidak memiliki

kesulitan ketika belajar membaca, tapi kenyataannya meskipun cerdas dan

bicaranya cukup lancar mereka mengalami kesulitan belajar membaca.

Tingkat kemampuan membaca, menulis ekspresif dan mengejanya berada di

bawah rata-rata teman seusianya.

Pada saat membaca mereka menunjukkan adanya tanda-tanda kesulitan

membaca sebagai berikut: (1) membaca lamban, turun naik intonasinya, dan

kata-demi kata, (2) sering membalik huruf-huruf dan kata-kata, Contohnya b

dengan d, p dengan q, u dengan n, kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali

dengan ilat, papa dibaca dada (3) pengubahan huruf pada kata, misalnya baju

menjadi baja, batu menjadi bata, (4) kacau terhadap kata-kata yang hanya

sedikit berbeda susunannya, misalnya: bau, buah, batu, buta, (5) sering

menebak dan mengulangi kata-kata dan frasa, (6) menghilangkan sebagian

huruf (omission), (7) menambah huruf (addition), (8) terbalik huruf (reversal),

(9) tidak menguasai penggunaan tanda baca, misalnya tanda titik (.), tanda

koma (,), tanda tanya (?), tanda seru (!) dan (10) kesulitan dalam memahami

isi bacaan (Reid dan Hresko 1981:232-233; Shodiq, 1996:5; Somad, P.,

2002:40; Abdurrahman, 2003:205; Suherman, 2005:84).

5. Konsep Dasar Membaca Permulaan

Page 13: asesmen disleksia

Pengajaran membaca secara umum dapat dibagi kedalam dua tahapan, yaitu

pengajaran membaca permulaan dan pengajaran membaca lanjut. Adapun

pengertian membaca permulaan menurut Dalwadi (2002) adalah tahap awal

dalam belajar membaca yang difokuskan kepada mengenal simbol-simbol

atau tanda-tanda yang berkaitan dengan huruf-huruf , sehingga menjadi

pondasi agar anak dapat melanjutkan ke tahap membaca lanjut. Sedangkan

tahap membaca lanjut adalah anak tidak sekedar mengenal simbol atau

tanda-tanda tapi sudah mulai mempergunakannya untuk membaca kata atau

kalimat sehingga anak memahami apa yang dibacanya (Amin, 1995 : 211).

Pada tahap membaca permulaan, anak membaca huruf atau kata tidak lagi

terlalu tergantung pada lingkungan. Pada tahap ini anak masih perlu bantuan

seperlunya selama membaca. Bantuan yang diberikan umumnya berupa

konkretisasi kata yang dibaca, misalnya ketika anak membaca kata “buku”

ditunjukkan wujud bukunya atau gambar buku ada di samping atau di bawah

tulisan buku.

Tahap membaca permulaan ini umumnya ada pada saat tibanya masa peka,

yaitu anak usia enam tahun atau tujuh tahun bagi anak normal atau usia

sembilan tahun atau sepuluh tahun pada anak tunagrahita. Pada tahap

membaca permulaan ini penguasaan jumlah kata anak masih terbatas dan

penguasaan pada abjad belum sepenuhnya dikuasai. Jadi masih ada huruf

yang sulit diucapkan dan sering dibaca salah, serta kemampuan membuat

wacana tidak lebih dari tujuh baris, itupun ide pokoknya belum tampak dan

belum bisa dianggap sebagai wacana yang baik. Tahap membaca permulaan

merupakan saat kritis dan strategis dikembangkannya kemampuan membaca

tanpa teks yaitu membaca dengan cara menceritakan gambar situasional

yang tersedia. Pengembangan yang tepat pada tahap membaca permulaan

ini perlu sekali, biasanya yang paling cocok dan sesuai alam anak yaitu

membaca sambil bermain misalnya membaca menggunakan permainan kartu

kata bergambar.

Page 14: asesmen disleksia

Pada tahap membaca ini kemandirian anak saat membaca mulai ada, tatapi

anak beum bisa dilepas sepenuhnya saat membaca kata atau kalimat Untuk

itu pada tahap ini masih perlu ada bantuan yang diberikan oleh guru atau

orang tua kepada anak melalui berbagai” !atihan membaca terbimbing. Pada

tahap ini biasanya anak sudah tidak lagi mengucapkan semua huruf abjad

salah, sekalipun kadang-kadang sesekali membuat kesalahan membaca yang

strukturnya agak kompleks, misalnya “strategis” (KKKVKVKV ), “status”

(KKVKVK). Pada tahap ini anak, juga mulai ada kemauan membaca tanpa

diperintah oleh orang lain. Namun kadang-kadang masih perlu diingatkan oleh

orang lain baik guru atau orang tua untuk membaca buku. Pada tahap ini

anak belun mampu memanfaatkan tanda konteks berupa tanda baca; anak

belum bisa membedakan tanda koma dan titik saat membaca. Di samping itu

anak mulai bisa mengambil inti dari wacana yang tersedia.

Menurut Shodiq (1996:126) pada tahap membaca permulaan anak lebih

diarahkan kepada membaca huruf atau kata. Pada tahapan ini anak normal

pada umumnya tidak lagi terlalu bergantung pada lingkungan, tetapi tidak

demikian pada anak disleksia. Mereka masih sangat membutuhkan bantuan

selama membaca

Jadi membaca permulaan adalah tahap awal anak belajar membaca dengan

fokus pada pengenalan simbol-simbol huruf dan aspek-aspek yang

mendukung pada kegiatan membaca lanjut. Oleh karena itu Pengajaran

remedial pada tahap membaca permulaan memiliki peranan penting untuk

mengatasi kesulitan-kesulitan membaca yang dihadapi oleh anak disleksia.

Jika kesulitannya dapat ditangani pada tahap ini maka akan membantu anak

untuk memasuki tahapan membaca lanjut.

B. Pengajaran Remedial Membaca Permulaan Bagi anak Disleksia

1. Pengertian Pengajaran Remedial

Page 15: asesmen disleksia

Istilah pengajaran remedial membaca menunjuk pada kegiatan remediasi

membaca yang terjadi atau dilakukan di luar kelas reguler (Dechant & Smith,

dalam M.Sodiq,1999). Pengajaran remedial membaca berisikan berbagai

kegiatan remedial yang diperuntukkan bagi anak disleksia yang secara umum

pelaksanaannya di luar pembelajaran kelas reguler dan biasanya

dilaksanakan oleh guru remedial membaca atau guru khusus mengenai

membaca.

Fokus pengajaran remedial membaca pada setiap anak secara individual,

bukan pada kelompok anak atau pada kinerja level kelas. Ini berarti penilaian

norma kelompok tak berlaku, karena kemajuan anak didasarkan semata-mata

atas pengukuran individual bukan level kelas. Pengajaran remedial membaca

harus empati, betul-betul berfokus pada anak, kecepatan berjalan secara

realistis, pengajaran berbasis atas basisl asesmen untuk memudahkan belajar

dan pembelajaran anak. Metode, materi, teknik, dan bentuk pengelolaan kelas

secara khusus amat diperlukan, yang didasarkan pada informasi khusus

tentang anak atas hasill asesmen yang dilaksanakan secara seksama dan

akurat.

Berbagai strategi pembelajaran dapat dilakukan untuk membantu

mengembangkan kemampuan membaca anak disleksia, sebab disleksia

merupakan kondisi hambatan belajar yang terus melekat, sehingga salah

satunya membutuhkan pengajaran remedial yang tepat (Shodiq, 1996; Wiki,

2007)

Remedial membaca bagi anak disleksia adalah kegiatan perbaikan membaca

(Dechant, 1982:249 dalam Shodiq, 1996:161), pelaksanaanya di luar

pengajaran kelas reguler, sebaiknya dilaksanakan oleh guru remedial

membaca atau guru khusus mengenai membaca (Shodiq, 1996:169).

Page 16: asesmen disleksia

Lebih lanjut, tujuan pengajaran secara remedial dalam membaca permulaan

pada anak disleksia adalah memberikan kecakapan untuk memperkenalkan

bentuk dan bunyi huruf serta mengubah rangkaian-rangkaian huruf menjadi

rangkaian-rangkaian bunyi bermakna dan melancarkan teknik membaca pada

anak. Jika dalam membaca permulaan dilakukan secara sistematis (dimulai

dari asesmen, berdasarkan kemampuan dan kebutuhan anak, dimulai dari

yang paling mudah) dan menggunakan metode secara tepat (efektif) akan

memudahkan anak untuk mengikuti pengajaran membaca lanjut.

2. Pendekatan Pengajaran Remedial Membaca Permulaan

Pendekatan pengajaran membaca bagi anak disleksia telah banyak

dikembangkan oleh para ahli, terutama di negara-negara yang telah menaruh

perhatiannya terhadap pendidikan anak disleksia. Pendekatan yang dimaksud

yaitu pendekatan multisensori, diantaranya (1) Pendekatan taktil-kinestetik,

(2) pendekatan visual-auditifkinestetik taktil, dan sebagainya.

a. Pendekatan Taktil-Kinestetik

Metode taktil-kinestetik dianggap cocok untuk diterapkan dalam pengajaran

membaca anak disleksia. Metode kinestetik dikembangkan oleh Grace

Fernald dan Hellen B.Keller. Metode ini lebih dikenal dengan metode telusur

dan kinestetik. Tujuan pokok metode ini adalah untuk melatih pengamatan

anak agar terarah, akurat, clan sistematis selama melaksanakan kegiatan

membaca. Dalam pelaksanaan pembelajaran membaca anak disleksia

dengan menggunakan metode ini, bila anak disleksia mengalami kesulitan

dalam membaca suatu kata atau suku kata bahkan huruf, makna huruf, suku

kata, atau kata yang sulit dibaca oleh anak tersebut harus ditelusuri bentuk,

konfigurasi dan urutannya dengan menggunakan jari tangan atau alat tulis

tertentu. Dengan cara demikian, ingatan anak disleksia atas kata; suku kata,

atau huruf tersebut dapat terbantu oleh respon visual dan kinestetik.

Menurut Kirk, Kliebhan, & Lerner (dalam M.Sodiq,1999: 165) ada empat

langkah penerapan metode ini yaitu

Page 17: asesmen disleksia

(1) Guru menuliskan kata yang dipilih dengan kapur berwarna pada papan

tulis. Tulisan tersebut dibuat cukup besar agar mudah dikenali oleh anak dan

ditelusuri dengan menggunakan jari atau pensil. Selama anak menelusuri dan

menunjuk kata yang tertulis, anak mengucapkan setiap bagiannya (suku

katanya). Hal ini dilakukan berulang kali sehingga anak dapat menuliskan kata

tersebut tanpa melihat rupa kata dan dapat mengucapkannya.

(2) Anak mempelajari kata atau huruf dengan cara mengucapkannya sendiri,

serta bebas menulis dan membaca kata yang telah ditulis. Tahap ini ditempuh

bila anak disleksia tidak perlu lagi menunjuk atau menelusuri kata-kata baru

yang dipelajarinya.

(3) Anak mempelajari kata dengan cara mengucapkannya, sebelum

menuliskannya. Dalam hal ini anak dapat belajar tanpa meminta guru untuk

menuliskan kata, dan anak disleksia diperbolehkan memandang sekilas kata

yang terdiri atas empat sampai lima suku kata sambil mengucapkan dan

menuliskannya secara hapalan.

(4) Anak dapat mengenal kata-kata baru dengan memperhatikan

kesamaannya dengan kata-kata yang telah dipelajarinya. Setelah anak

mempelajari kata yang tertulis, anak mulai menggeneralisasikan dan

mengenalnya kata baru berdasar kemiripan kata-kata yang telah dipelajari.

Sedangkan Ekwall & Shanker (M.Sodiq,1999:165) mengemukakan empat

tahapan penerapan pendekatan taktil-kinestetik dalam pengajaran membaca

anak disleksia sebagai berikut

(1) Penelusuran (tracing).

Pada tahap ini pertama-tarna kata yang dipelajari ditulis oleh anak di papan

tulis atau pada selembar kertas berukuran 3 x 9 atau 4 x 10 inci. Kata-kata

tersebut dapat ditulis dalam huruf kursif (huruf cetak miring ke kanan) atau

Page 18: asesmen disleksia

cetak biasa sesuai dengan kebiasaan yang ada di kelas. Kata yang tertulis di

papan tulis tersebut kemudian dibaca anak dengan menggunakan jari telunjuk

atau jari tengahnya sambil mengucapkan tiap bagian katanya, namun bukan

bunyi kata setiap huruf. Tahap ini dilakukan sampai anak mampu merekam

kata dalam ingatannya, kemudian menuliskan kata tersebut tanpa melihat

teks aslinya sesuai bentuk tulisan yang ada. Selanjutnya anak

mengucapkannya dan menyalinnya untuk dipelajari di rumah, yang disusun

berdasarkan urutan abjad. Pendeknya tahap ini penekanannya yaitu (1) satu

jari atau beberapa jari mengadakan kontak dengan kertas, menulis di udara

dianggap kurang bermanfaat; (2) murid tidak menyalin suatu kata, namun

menulis kata berdasar ingatannya, (3) kata dipelajari sebagai satu kesatuan,

(4) tiap bagian kata diucapkannya keras-keras sebagaimana yang tertulis, (5)

anak menulis apa yang ditulis guru dan membacanya dalam selang waktu

yang pendek setelah selesai ditulis, (6) jika anak tak dapat mengenal suatu

kata, pertemuan dihentikan dan praktek penelusuran diulangi seperti semula.

(2) Menulis tanpa penelusuran (writing without tracing)

Pada tahap ini anak tidak lagi menelusuri kata yang dipelajari hanya merekam

dalam memorinya dan mengucapkannya beberapa kali, kerriudian atas dasar

memorinya menuliskannya. Pada tahap ini lebih baik jika guru menggunakan

kartu-kartu kata seperti kartu katalog perpustakaan. Kata yang dipelajari

tersebut diketik pada satu sisi kartu dan ditulis tangan pada sisi yang lain,

yang diisi menurut urutan abjad.

(3) Pengenalan kata tercetak (recognition in print)

Pada tahap ini anak tak perlu menulis setiap kata yang tercetak. Murid melihat

kata pada teks dan menjelaskan maksud dari kata yang dilihatnya tersebut.

Kata diucapkan sekali atau dua kali, kemudian ditulis atas dasar ingatannya.

(4) Analkis kata (word analysis)

Page 19: asesmen disleksia

Pada tahap ini murid didorong untuk melihat kata-kata baru dan mencoba

mengidentifikasikannya atas kesamaan bagian kata yang ada dan

menerapkannya pada kata-kata baru. Penganalisisan bunyi setiap huruf

sebaiknya dihindari, namun anak didorong untuk mengembangkan kebiasaan

mencari kesamaan bagian dari kata.

b. Pendekatan Visual-Auditif-Kinestetik-Taktil

Metode ini dikenal juga sebagai pendekatan pembelajaran membaca yang

disebut pendekatan sistern fonik-visual-auditori-kinestetik. Metode ini

dikembangkan oleh Gillingham dan Stillman (Gearheart, dalam M.Sodiq,1999:

166). Asumsi yang mendasari metode ini adalah hahwa dalam pengajaran

membaca, menulis, dan mengeja kata dipandang sebagai satu rangkaian

huruf-huruf. Metode ini berangkat dari metode abjad, yaitu bunyi yang

disimbolkan oleh huruf dipandang mudah dipelajari dengan menggunakan

keterpaduan indra visual, auditori, kinestetik, dan taktil Dengan demikian saat

anak mempelajari suatu kata anak melihat huruf tersebut, mendengar bunyi

huruf menunjuk dengan gerakan tangan atau telusuran jari tangan dan

kemudian menuliskannya dengan menggunakan visual, auditori dan kinestetil:

secara terpadu. Pendekatan ini bermanfaat sekafi bagi anak yang tidak

maniru mempelajari kata melalui pendekatan rupa kata atau yang sering

disebut dengan metode kata lembaga.

Secara umum metode VAKT ini ada kesamaannya dengan metode sintesis

pada pengajaran membaca permulaan. Dalarn metode sintesis, pengajaran

membaca permulaan dimulai mengajarkan bunyi setiap huruf, suku kata,

kemudian kata,lalu frase dan dilanjutkan pada kalimat. Pada metode VAKT

siswa mempelajari kata dengan melihat huruf tersebut, mendengar bunyi

huruf, menunjuk dengan tangan, atau menelusuri dengan jari tangan

kemudian menuliskan kata dengan masukan indera visual, auditif, kinestetik,

dan taktil secara padu.

Page 20: asesmen disleksia

Kirk, Kliebhanf. & Lerner (dafam M. Sodiq, 1999: 167) mengetengahkan tiga

tahap penerapkan metode ini dalam pengajaran membaca anak disleksia

yaitu

( I) Asosiasi pertama terdiri dari dua gabungan yaitu asosiasi simbol visual

dengan nama-nama huruf dan asosiasi simbol visual dengan bunyi huruf; juga

asosiasi rasa organ bicara dalam memproduksi nama atau bunyi huruf apa

yang anak dengar sama dengan yang anak ucapkan. Hal tersebut adalah

asosiasi visual-auditif dan auditif-kinestetik. Dafam pelaksanaan

pengajaran membaca pada anak disleksia haf ini dilakukan dengan cara : (1)

guru membagikan kartu huruf dan mengucapkannya, anak mengulangi atau

menirukan apa yang diucapkan oleh guru, dan (2) setelah nama huruf

dikuasai oleh anak, guru mengucapkan bunyi huruf dan anak mengikutinya.

Selanjutnya guru menanyakan kepada anak, “Apa bunyi huruf ini?” anak lalu

menyebutkan bunyinya.

(2) Guru mengucapkan/melafalkan bunyi huruf, bagian kartu yang bertuliskan

huruf tak diperlihatkan kepada anak (menghadap ke guru). Kemudian guru

memperlihatkannya dan menanyakan kepada anak tentang nama huruf

tersebut, kemudian anak menjawabnya.

(3) Guru menuliskan huruf yang dipelajari, menerangkan dan

menjelaskannya. Anak memahami bunyi, bentuk dan cara membuat huruf

dengan cara menelusuri huruf yang dibuat oleh guru, kemudian

menyalin/menulis huruf berdasarkan memorinya. Akhirnya anak menulis huruf

sekali lagi dengan mata tertutup atau tidak mencontoh. Setelah dikuasai betul

oleh anak, guru melanjutkan dengan huruf lain. Dalam pendekatan VAKT ini

bila siswa telah menguasai beberapa huruf, kemudian anak merangkaikan

menjadi sebuah kata dengan pola KVK (Konsonan, Vokal, Konsonan),

misalnya pal, sas, bas, dan top.

3. Keunggulan dan Kelemahan Pengajaran Remedial

Page 21: asesmen disleksia

a. Keunggulan

Memperbaiki sebagian atau seluruh kesulitan membaca yang dialami oleh

anak disleksia, fokus diarahkan kepada setiap anak secara individual,

melibatkan keterlibatan anak secara langsung dan penuh dengan peragaan.

Metode ini juga merangsang semua modalitas yang dimiliki oleh anak (visual,

auditori, kinestetik, dan taktil). Seharusnya pembelajaran diawali dengan

penyusunan program yang berdasarkan atas hasil asesmen, metode, materi,

teknik dan bentuk pengelolaan kelas disiapkan secara khusus untuk setiap

individu (Shodiq, 1996:169; Abdurrahman, 2003).

b. Kelemahan

Pengajaran remedial membaca ini memiliki kelemahan, yaitu butuh waktu

lebih lama (Shodiq, 1996:161).

4. Prosedur Pengajaran Remedial

a. Asesmen

Asesmen dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan asesmen formal

dan asesmen informal. Asesmen formal adalah asesmen dengan

menggunakan tes baku yang sudah disusun sedemikian rupa oleh para ahli

sehingga memiliki standar tertentu, sedangkan tes informal adalah penilaian

dengan menganalisis hasil pekerjaan siswa atau dengan tes buatan guru

(McLoughlin dan Lewis, 1986; Mercer dan Mercer, 1989; Alimin, Z., 1996

dalam Imandala, I., 2000: 23).

Dalam makalah ini menggunakan asesmen informal (lihat di bawah ini) karena

melalui asesmen informal guru dapat menyusunnya sesuai kurikulum dan

guru akan lebih memahami anak (Wardani, et al., 2007:27). Asesmen informal

yang hendak digunakan dapat dilihat pada halaman di bawah ini:

(1) Tes Buatan Guru

Membedakan bentuk huruf: Lingkari huruf yang disebutkan

Page 22: asesmen disleksia

Huruf B/S Huruf B/S

(1) b d p

(2) a e r s

(3) m w h k

(4) l j t p y

(5) z o f v u n

(6) c s r z i e

(7) R G C D

(8) O D Q P

(9) S Z B H K

(10) Y U Y L F

(11) X N M W Z S

(12) A R K T B F

Sumber: Sunardi dan Sugiarmin, M. (2001:98)

(2) Format Observasi

Observasi Deskripsi

1. Posisi duduk

2. Posisi kepala

3. Konsentrasi

4. Gerakan tangan

5. Kesalahan membaca

6. Posisi buku

7. Intonasi

8. Ekspresi

9. Nada suara (tegang/tidak)

Sumber: Abdurrahman (2003)

Page 23: asesmen disleksia

(3) Format Pencatatan Bentuk-Bentuk Kesulitan

Nama: ………….

TTL : ………….

Kelas : ………………

No Bentuk Kesulitan Ya Tidak Deskripsi

1

2.

Terbalik huruf

dst.

Sumber: Abdurrahman (2003)

b. Perencanaan

Di dalam perencanaan guru menyusun langkah-langkah pengajaran secara

sistematis. Yang disusun dalam perencanaan adalah tujuan, materi,

alat/bahan, metode, evaluasi, dan jadwal (Shodiq, 1996).

Contoh format perencanaan:

Hasil asesmen: Ketika membaca anak sering terbalik pada huruf b, d, p, q, m,

n, r, dan t

Tujuan Materi Alat/bahan Metode Evaluasi

Tujuan Umum:

anak mampu

memahami

- Memperkenalkan

bentuk-bentuk

huruf b, d, p, q, m,

- Kartu huruf

dengan

warna yang

Metode

Fernald*

Tes

perbuatan

(membaca)

Page 24: asesmen disleksia

bentuk-bentuk

huruf

Tujuan

khusus: anak

mampu

membedakan

huruf b, d, p, q,

m, n, r, dan t,

pada posisi

tunggal, diawal

kata, di tengah

kata, dan di

akhir kata.

n, r, dan t, satu

persatu hingga

anak paham

- Mengucapkan

bunyi huruf-huruf

tersebut.

- Membedakan

mencolok

- Bentuk

huruf tiga

dimensi

- Kartu huruf

yang

bertekstur

dan tertulis

*Dipilih metode Fernald karena dalam metode ini melibatkan keterlibatan anak

secara langsung dan penuh dengan peragaan. Metode ini juga merangsang

semua modalitas yang dimiliki oleh anak (visual, auditori, kinestetik, dan

taktil).

Jadwal

No Siswa Kelas Hari Waktu Keterangan

1 A 2 Senin 11.00 -12.00

2 B 2 Selasa 11.00 -12.00

3 C 3 Rabu 12.15 -13.15

4 D 3 Kamis 12.15 -13.15

5 E 3 Jum’at 12.15 -13.15

c. Pelaksanaan

Page 25: asesmen disleksia

Sebagai bahan pertimbangan, di bawah ini disajikan teori-teori metode

membaca dari (1) Fernald, (2) Gillingham, dan (3) Analisis Glass. Sehingga

dalam pelaksanaan metode Fernald tidak rancu atau tercampur dengan

metode lain.

(1) Metode Fernald

Fernald telah mengembangkan suatu metode pengajaran membaca multi

sensori yang sering dikenal pula sebagai metode VAKT (Visual Auditori

Kinestetik Taktil), metode ini menggunakan materi bacaan yang dipilih dari

kata-kata yang diucapkan oleh anak dan tiap kata diajarkan secara utuh.

Metode ini memiliki empat tahapan, tahapan pertama, guru menulis kata yang

hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon. Selanjutnya anak menelusuri

tulisan tersebut dengan jarinya (taktil kinestetik), pada saat ini menulusuri

tulisan tersebut, anak melihat tulisan (visual), dan mengucapkannya dengan

keras (auditori). Proses semacam ini diulang-ulang sehingga anak dapat

menulis kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh. Jika anak telah

dapat menulis dan membaca dengan benar, bahan bacaan tersebut disimpan,

pada tahapan kedua anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan

dengan jari, tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis,

sambil mengucapkannya. Anak-anak mempelajari kata-kata baru

pada tahapan ketiga, dengan melihat tulisan di papan tulis atau tulisan cetak,

dengan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak

dimulai membaca tulisan dari buku. Pada tahapan keempat, anak mampu

mengingat kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah

dipelajari.

(2) Metode Gillingham

Metode gillingham, merupakan pendekatan terstruktur dari taraf tinggi yang

memerlukan lima jam pelajaran selama dua tahun. Aktifitas pertama

diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf-huruf

Page 26: asesmen disleksia

tersebut. Anak menggunakan teknik menjiplak untuk mempelajari berbagai

huruf. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya dikombinasikan ke dalam

kelompok-kelompok yang lebih besar dan kemudian program fonik

diselesaikan.

(3) Metode Analisis Glass

Metode analisis Glass merupakan suatu metode pengajaran melalui

pemecahan sandi kelompok huruf dalam kata. Metode ini bertolak dari asumsi

yang mendasari membaca sebagai pemecahan sandi atau kode tulisan. Ada

dua asumsi yang mendasari metode ini. Petama proses pemecahan sandi

(decoding) dan membaca (reading) merupakan kegiatan yang

berbeda. Kedua, pemecahan sandi mendahului membaca. Pemecahan sandi

didefinisikan sebagai menentukan bunyi yang berhubungan dengan suatu

kata tertulis secara tepat. Membaca didefinisikan sebagai menurunkan makna

dari kata-kata yang berbentuk tulisan. Jika anak tidak melakukan pemecahan

sandi tulisan secara efisien, maka mereka tidak akan belajar membaca.

Melalui metode analisis Glass, anak dibimbing untuk mengenal kelompok-

kelompok huruf sambil melihat kata secara keseluruhan. Meode ini

menekankan pada latihan auditoris dan visual yang terpusat pada kata yangt

sedang dipelajari. Materi yang diperlukan untuk mengajar mengenal

kelompok-kelompok huruf dapat dibuat oleh guru. Secara esesnsial, kelompok

huruf dapat dibuat pada kartu berukuran 3 x 15 cm. Pada tiap kartu tersebut

guru menuliskan secara baik kata-kata yang terpilih yang telah menjadi

pembendaharaan kata anak. Kelompok kata didefinisikan sebagai dua atau

lebih huruf yang merupakan satu kata utuh, menggambarkan suatui bunyi

yang relatif tetap. Dalam Bahasa Indonesia kelompok huruf yang merupakan

satu kata yang hanya terdiri dari suku kata sangat jarang. Kata “tak” misalnya

sesungguhnya merupakan kependekan dari kata tidak, dan kata “pak” atau

‘bu” sesungguhnya kependekan dari kata “bapak” dan “ibu”. Dengan

demikian, penerapan metode analisis Glass dalam Bahasa Indonesia akan

Page 27: asesmen disleksia

bebentuk suku kata, misalnya kata “bapak” terdiri dari dua kelompok huruf

“ba” dan “pak”.

d. Evaluasi

Bentuk evaluasi yang diterapkan dalam mata pelajaran membaca permulaan

pada metode Fernald adalah unjuk kerja diikuti dengan tertulis (menyangkut

pengikutsertaan aspek akademik (membaca, menulis, pengetahuan dan

pemahaman), contohnya sebagai berikut :

1. Tunjukkan huruf b yang ada pada halaman ini!

2. Tunjukkan huruf d yang ada pada halaman ini!

3. Tunjukkan huruf p yang ada pada halaman ini!

4. Tunjukkan huruf q yang ada pada halaman ini!

5. Tuliskanlah huruf b dengan benar!

6. Tuliskanlah huruf b dengan benar!

7. Tuliskanlah huruf d dengan benar!

8. Tuliskanlah huruf p dengan benar!

9. Tuliskanlah huruf q dengan benar!

10. Tuliskanlah huruf e dengan benar!

4. Penerapan Remedial Membaca Permulaan Bagi Anak Disleksia

Berikut ini contoh penerapan remedial membaca permulaan bagi anak

disleksia:

1. Identitas

Nama anak : Yoga

Jenis kelamin : Laki-laki

TTL : Bandung, 20 Juni 1998

Alamat : Warung Lobak No 5 RT 02 RW 05

Page 28: asesmen disleksia

Desa Sekawangi Kec. Katapang Kab. Bandung

Sekolah : SLB B-C Roudhotul Jannah

Kelas : III/SDLB-C

Nama Ayah : Sukardi

Nama Ibu : Amirah

b. Contoh Asesmen dan Hasil Asesmen

Mengenal Huruf

Nama : …

Jenis Kelamin : …

TTL : ..

Kelas : …

a b c d e f

g h i j k l

m n o p q r

s t u v x y

z

Sumber: Suwarni, T. (1999:18)

Membedakan Bentuk Huruf

Page 29: asesmen disleksia

(Lingkari huruf yang disebutkan)

Nama : …

Jenis Kelamin : …

TTL : ..

Kelas : …

Huruf B/S Huruf B/S

(1) b d p

(2) a e r s

(3) m w h k

(4) l j t p y

(5) z o f v u n

(6) c s r z i e

(7) R G C D

(8) O D Q P

(9) S Z B H K

(10) Y U Y L F

(11) X N M W Z S

(12) A R K T B F

Sumber: Sunardi dan Sugiarmin, M. (2001:98)

Membaca Kata

(Bacalah kata-kata di bawah ini!)

Nama : …

Jenis Kelamin : …

Page 30: asesmen disleksia

TTL : ..

Kelas : …

1. buku duku kuku

2. mama mana nana

3. bulu bola labu

4. hati nasi hari

5. kuda lupa palu

6. peta gula pita

7. sewa vena vita

8. cuci guci gali

9. lusa lusi nita

10. tani rasi rusa

Sumber: Suwarni, T., (1999:17)

Observasi

Observasi Deskripsi

Page 31: asesmen disleksia

1. Posisi duduk

2. Posisi kepala

3. Konsentrasi

4. Gerakan tangan

5. Kesalahan membaca

6. Posisi buku

7. Intonasi

8. Ekspresi

9. Nada suara (tegang/tidak)

Sumber: Abdurrahman (2003 : 209) Shodiq (1996)

Contoh Pencatatan Hasil Asemen

Nama: ………….

TTL : ………….

Kelas : ………………

No Bentuk Kesulitan Deskripsi

1

2.

3.

Mengenal huruf

Terbalik huruf

Membalik huruf pada

kata

Anak sudah mampu mengenal dan menyebutkan huruf

dari a s.d. z, tapi masih terbalik pada huruf b dengan d,

m dengan n, p dengan q.

Anak masih sering terbalik huruf b dengan d, m

dengan n, p dengan q.

Anak sudah mampu membaca kata, namun masih

sering terjadi membalik kata, misalnya kuda dengan

Page 32: asesmen disleksia

daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat

1. Perencanaan Program

Contoh Perencanaan Program

Nama: ………….

TTL : ………….

Kelas : ………………

Hasil asesmen:

- Ketika membaca anak sering terbalik pada huruf b, d, p, q

- Anak sudah mampu membaca kata tapi masih sering terjadi membalik kata,

misalnya kuda dengan daku, palu dengan lupa, tali dengan ilat.

- Dua kondisi di atas diakibatkan adanya masalah pada persepsi visual anak

sehingga perlu adanya materi latihan persepsi visual.

Selanjutnya ditetapkan tujuan penanganan untuk mengatasi kesulitan

membaca yang dialami oleh anak dengan harapan dapat menghasilkan

perilaku belajar sesuai kategori perilaku Bloom, yaitu ranah kognitif, afektif,

dan psikomotor (dalam Dimyati dan Mudjiono, 1994:23).

Setelah menetapkan tujuan selanjutnya ditentukan materi, alat/bahan,

metode, dan evaluasi. Contohnya sebagai berikut:

Tujuan Materi Alat/bahan Metode Evaluasi

Tujuan Umum: - - Kartu Metode Tes

Page 33: asesmen disleksia

anak mampu

memahami

bentuk-bentuk

huruf

Tujuan khusus:

- Anak mampu

mengenal dan

memahami huruf

b, d, p, q (kognitif)

- Anak mampu

membedakan

huruf b, d, p, q,

pada posisi

tunggal, diawal

kata, di tengah

kata, dan di akhir

kata (psikomotor).

- Anak mampu

peka terhadap

kesalahan/bentuk-

bentuk kesulitan

membacanya

(afektif).

Memperkenalkan

bentuk-bentuk

huruf b, d, p, q,

satu persatu

hingga anak

paham

- Mengucapkan

bunyi huruf-huruf

tersebut.

- Latihan persepsi

visual

huruf

dengan

warna yang

mencolok

- Bentuk

huruf tiga

dimensi

- Kartu

huruf yang

bertekstur

Fernald*

perbuatan

(membaca)

dan tertulis

d. Pelaksanaan

Contoh Pelaksanaan

Menggunakan metode Fernald, langkah-langkanya sebagai berikut:

Page 34: asesmen disleksia

(1) Guru mencatat bentuk huruf-huruf yang sulit dikuasai/dibedakan oleh anak

(b, d, p, dan, q)

(2) Guru mencatat kata-kata yang sering terbalik (kuda dengan daku, palu

dengan lupa, tali dengan ilat)

(3) Guru menulis huruf/kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan

krayon. Selanjutnya anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (taktil

kinestetik), pada saat ini menulusuri tulisan tersebut, anak melihat tulisan

(visual), dan mengucapkannya dengan keras (auditori). Proses semacam ini

diulang-ulang sehingga anak dapat menulis huruf/kata tersebut dengan benar

tanpa melihat contoh. Jika anak telah dapat menulis dan membaca dengan

benar, bahan bacaan tersebut disimpan.

(4) Selanjutnya anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan

dengan jari, tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis,

sambil mengucapkannya.

(5) Anak-anak mempelajari kata-kata baru, dengan melihat tulisan di papan

tulis atau tulisan cetak, dengan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis.

Pada tahapan ini anak dimulai membaca tulisan dari buku.

(6) Pada tahapan ini, anak diharapkan mampu mengingat kata-kata yang

dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah dipelajari.

1. Evaluasi

Contoh Evaluasi

1. Tunjukkan huruf b yang ada pada halaman ini!

2. Tunjukkan huruf d yang ada pada halaman ini!

Page 35: asesmen disleksia

3. Tunjukkan huruf p yang ada pada halaman ini!

4. Tunjukkan huruf q yang ada pada halaman ini!

5. Tuliskanlah huruf b dengan benar!

6. Tuliskanlah huruf b dengan benar!

7. Tuliskanlah huruf d dengan benar!

8. Tuliskanlah huruf p dengan benar!

9. Tuliskanlah huruf q dengan benar!

10. Tuliskanlah huruf e dengan benar!

Bacalah kata-kata di bawah ini!

1. buku duku kuku

2. mama mana nana

3. bulu bola labu

4. hati nasi hari

5. kuda lupa palu

6. peta gula pita

7. sewa vena vita

8. cuci guci gali

Page 36: asesmen disleksia

9. lusa lusi nita

10. tani rasi rusa

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Disleksia merupakan kondisi kesulitan belajar membaca taraf berat yang

disebabkan oleh faktor neurologis, kematangan, genetika , dan psikologis

dasar yang ditandai oleh IQ rata-rata atau diatas rata-rata dan kadang-kadang

menyertai atau bersama-sama dengan jenis kelainan lain.

2. Pengajaran membaca terdiri dari tahapan membaca permulaan, dan

membaca lanjut. Adapun pengertian membaca permulaan adalah tahap awal

dalam belajar membaca yang difokuskan kepada mengenal simbol-simbol

atau tanda-tanda yang berkaitan dengan huruf-huruf , sehingga menjadi

pondasi agar anak dapat melanjutkan ke tahap membaca lanjut.

3. Bentuk-bentuk kesulitan membaca permulaan anak disleksia sebagai

berikut: (1) membaca lamban, turun naik intonasi, dan kata demi kata; (2)

sering membalikkan huruf-huruf dan kata-kata; (3) mengubah huruf pada kata;

(4) kacau terhadap kata-kata yang hanya sedikit berbeda susunannya

misalnya: bau, buah, batu, buta; dan (5) sering menebak dan mengulangi

kata-kata frasa

4. Pengajaran remedial membaca menunjuk pada suatu bentuk perlakuan

khusus pembelajaran membaca untuk memperbaiki sebagian atau seluruh

kesulitan membaca yang dialami oleh anak disleksia dengan cara melibatkan

seluruh aspek kognitif (mengenal dan memahami bentuk-bentuk huruf dan

kata), afektif (peka terhadap kesalahan dan bentuk kesulitan membacanya,

Page 37: asesmen disleksia

dan psikomotor (mampu menyebutkan, menunjukkan, membedakan, dan

menuliskan huruf atau kata dengan benar).

5. Remedial membaca permulaan bagi anak disleksia terdiri dari beberapa

langkah, yaitu asesmen (formal atau informal), perencanaan, pelaksanaan

(menggunakan pendekatan multisensori), dan evaluasi (tes tulis dan unjuk

kerja).

B. Saran

1. Dalam menangani kasus pembelajaran anak disleksia diperlukan kerja

sama dengan ahli lain, seperti ahli pendidikan khusus, dokter (medis) dan

psikolog.

2. Hasil pemikiran ini dapat dikaji lebih mendalam lagi, khususnya tentang

penggunaan metode Fernald dalam membaca permulaan.

3. Diharapakan disediakan ruangan khusus sebagai pusat penanganan

kesulitan belajar. Ruang tersebut dapat dipergunakan oleh guru kelas dan

guru khusus untuk mengkaji dan menangani berbagai gangguan belajar yang

terjadi pada anak didiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar (cet.

kedua). Jakarta: Depdikbud dan PT Rineka Cipta.

Amin, M. (1995). Ortopedagogik Anak Tunagrahita. Jakarta: Dirjen Dikti

Depdikbud PPTG.

Dalwadi. (2002). Pengaruh Penerapan Metode Suku Kata Dalam Pengajaran

Membaca Permulaan Bagi Anak Tunagrahita Ringan. Skripsi S1 Pada

Jurusan PLB FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus: Dalam Setting

Pendidikan Inklusi. Bandung: PT Refika Aditama.

Page 38: asesmen disleksia

Dimyati dan Mudjiono. (1994). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti

Depdikbud

Imandala, I. (2000). Program Pembelajaran Berhitung Faktual Bagi Siswa

Berkesulitan Belajar Di Kelas III Sekolah Dasar. Skripsi S1 Pada Jurusan

Pendidikan Luar Biasa FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Lerner-Janet, W. (1989). Learning Disablities: Theories, Diagnosis and

Teaching Strategis (Fifth ed.). Boston USA: Houghton Mifflin Company.

McLoughlin-James, A. and Lewis-Rena, B. (1986). Assessing Special

Students (second ed.). Ohio USA: Merril Publishing Company A Bell & Howell

Company.

Mercer-Cecil, D. and Mercer-Ann, R. (1989). Teaching Students With

Learning Problems(third ed.). Ohio USA: Merril Publishing Company A Bell &

Howell Company.

Shodiq, M. (1996). Pendidikan Bagi Anak Disleksia. Jakarta: Dirjen Dikti

Depdikbud PPTA.

Somad, P. (2002). “Bimbingan Membaca Bagi Siswa Berkesulitan Membaca”.

Jurnal Jassi Anakku. 1. (1), 38-51.

Sub Dinas Pendidikan Luar Biasa. (2007). Direktori Sub Dinas Pendidikan

Luar Biasa.Bandung: Subdin PLB Jabar.

Suherman, Y. (2005). Adaptasi Pembelajaran Siswa Berkesulitan

Belajar. Bandung: Rizqi Press.

Sunardi dan Sugiarmin, M. (2001). Identifikasi Karakteristik Perilaku Belajar

Akademik Siswa Learning Disablities. Laporan Penelitian Dirjen Dikti

Depdikbud Jakarta: tidak diterbitkan.

Suwarni, T. (1999). Program Pengembangan Kemampuan Berbahasa Melalui

Pembelajaran Membaca Permulaan Bagi Anak Tunagrahita Ringan. Makalah

S1 pada Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2007). Pedoman Penulisan Karya

Ilmiah. Bandung: UPI.

Wardani, I.G.A.K., Hernawati, T., Astati. (2007). Pengantar Pendidikan Luar

Biasa.Jakarta: Universitas Terbuka.

Page 39: asesmen disleksia

Wiki. (2007). Learning Disability [Online]. Tersedia: http//en.wikipedia.org/wiki.

[20 Oktober 2007].