21

Click here to load reader

BAB 2 Case GE Ensefalitis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 Case GE Ensefalitis

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

ENSEFALITIS

2.1. Definisi

Ensefalitis adalah suatu peradangan akut dari jaringan parenkim otak yang

disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam mikroorganisme dan ditandai

dengan gejala-gejala umum dan manifestasi neurologis.

2.2. Etiologi

Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis,

misalnya bakteri (staphilococcus, streptococcus, E. Coli, dan M. Tuberculosa, M.

Pneumonia), parasit, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab yang terpenting dan

tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak

atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu. Berbagai

jenis virus dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya sama. Sesuai

dengan jenis virus, serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam ensefalitis

virus.3

2.3. Klasifikasi

Klasifikasi yang diajukan oleh Robin berdasarkan etiologi virus:

1. Infeksi virus yang bersifat epidemik

a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus

ECHO.

b. Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis

encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis,

Russian spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.

2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes

zoster, Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan

jenis lain yang dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.

Page 2: BAB 2 Case GE Ensefalitis

3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela,

pasca vaksinia, pasca mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang

mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.10

Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis, tetapi

baru Japanese B encephalitis yang ditemukan.

2.4. Epidemiologi

Menurut The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada jurnal

Pediatrics in Review yang menggunakan National Hospital Discharge Survey

mengestimasi perawatan inap di rumah sakit yang disebabkan oleh ensefalitis di

amerika serikat, dimana per tahun ditemukan kasus 7,3/100.000 dengan data rata

rata per tahun lebih dari 200.000 hari perawatan inap di rumah sakit, dan 1400

kematian.

Insiden tertinggi terjadi pada anak-anak dibawah usia 1 tahun dengan kasus

13.7/100.000 dan orang dewasa diatas 65 tahun dengan kasus 10.6/100.000 per

tahun

Karena keterbatasan data sehingga kriteria diagnostik spesifiknya pun terbatas.

Dalam analisis National Hospital Discharge, didapatkan data penyebab ensefalitis

60% adalah tidak diketahui, dan dari yang diketahui didapatkan penyebab

tersering adalah herpes virus, varisela dan arbovirus.11

2.5. Patofisiologi

Virus dapat masuk tubuh pasien melalui kulit, saluran nafas dan saluran

cerna. Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh

dengan beberapa cara :

- Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan

atau organ tertentu.

- Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian

menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.

- Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah

pertamakali masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke

organ lain.

Page 3: BAB 2 Case GE Ensefalitis

- Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak di permukaan

selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.

Pada keadaan permulaan timbul demam, tetapi belum ada kelainan

neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan

saraf pusat dan akhirnya diikuti kelainan neurologis.2

Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :

- Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang

sedang berkembang biak.

- Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan

berakibat demielinisasi, kerusakan vaskular, dan paravaskular.

Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak.

- Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten.

Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi

virus, kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat

menghambat multiplikasi virus. Banyak virus yang penyebarannya melalui

manusia. Nyamuk atau kutu menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies

ditularkan melalui gigitan binatang. Pada beberapa virus seperti varisella-zoster

dan citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun yang lemah, merupakan faktor

resiko utama.2

Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui

peredaran darah atau melalui sistem neural (Virus Herpes Simpleks, Virus

Varisella Zoster).

Setelah melewati sawar darah otak, virus memasuki sel-sel neural yang

mengakibatjan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons

inflamasi yang secara difus menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu

(nigra) dengan substansia putih (alba). Adanya patologi fokal disebabkan karena

terdapat reseptor-reseptor membran sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-

bagian khusus otak. Sebagai contoh, virus herpes simpleks mempunyai predileksi

pada lobus temporal medial dan inferior.

Page 4: BAB 2 Case GE Ensefalitis

Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum

jelas dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural

secara langsung dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.

Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan

ludah.Infeksi primer biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja.Biasanya

subklinis atau berupa somatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan

neurologis merupakan komplikasi dari reaktivasi virus.Pada infeksi primer, virus

menjadi laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa tahun kemudian,rangsangan

non spesifik menyebabkan reaktivasi yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes

labialis.1

Pada ensefalitis bakterial, organisme piogenik masuk ke dalam otak

melalui peredaran darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus.

Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang

fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui

tromboflebitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus paranasalis.

Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di

bagian substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses

peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh

darah dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami

peradangan tadi timbul edema, perlunakan dan kongesti jaringan otak disertai

peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat pembuluh darah dan infiltrasi

leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk ruang abses. Mula-

mula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat membentuk

kapsul yang konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit PMN, sel-sel

plasma dan limfosit. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam

ventrikulus atau ruang subarakhnoid yang dapat mengakibatkan meningitis.

Proses radang pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak saja, juga sering

mengenai jaringan selaput otak. Oleh karena itu ensefalitis virus lebih tepat bila

disebut sebagai meningo ensefalitis.4

Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi

lengket. Sel-sel darah yang lengket satu sama lainnya dapast menyumbat kapiler-

Page 5: BAB 2 Case GE Ensefalitis

kapiler dalam otak. Akibatnya timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala

neurologist timbul karena kerusakan jaringan otak yang terjadi. Pada malaria

serebral ini, dapat timbul konvulsi dan koma.

Pada toxoplasmosis kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan

tersebar dalam jaringan otak terutama dalam jaringan korteks.

Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada

postmortem. Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan

ensefalitis fungal, dimana dapat ditemukan indentifikasi morfologik.

Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai pada rabies (badan negri)

atau virus herpes (badan inklusi intranuklear).

2.6. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai

yang berat. Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga

perlahan-lahan. Masa prodormal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai dengan

demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada

ekstremitas dan pucat, kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang berat

ringannya tergantung distribusi dan luasnya lesi pada neuron.

Pada bayi, terdapat jeritan, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, dan

kejang-kejang. Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau hanya

twitching saja. Kejang dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebrum yang

beraneka ragam dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misalnya paresis

atau paralisis, afasia dan sebagainya. Gejala batang otak meliputi perubahan

refleks pupil, defisit saraf kranial dan perubahan pola pernafasan. Tanda rangsang

meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen. Pada kelompok

pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu diagnosis.2

Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat

meradang.gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan

tangan, rigiditas pada lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus.

Rabies memberi gejala pertama yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu

meningkat, spastis, koma pada stadium paralisis.

Page 6: BAB 2 Case GE Ensefalitis

Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau

subakut. Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung

1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan

kepribadian dan gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan

penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun

sampai koma dan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien

yang mengalami koma sering kali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang

berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan hemiparesis. Beberapa

kasus dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku kuduk dan

papil edema.1

Mycoplasma pneumoniae (MP) juga diketahui merupakan penyebab

infeksi pernafasan pada anak-anak dan dewasa, akan tetapi hanya 0,1% dari

infeksi MP yang dapat menyebabkan komplikasi neurologi seperti ensefalitis,

meningitis, dan myelitis, dengan penularan secara langsung ke sistem saraf pusat

maupun tidak langsung seperti toxin-mediated. Dengan gejala klinis yang

menyerupai ensefalitis pada umumnya yaitu demam, sakit kepala, muntah, dan

kejang, dan penurunan kesadaran, dan gejala klinis infeksi saluran pernafasannya

dapat asimptomatik.11

2.7. Diagnosis

Memastikan diagnosis ensefalitis didasarkan atas, gambaran klinis,

pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan virologis, dan pemeriksaan penunjang

lain seperti EEG, pencitraan, biopsi otak, dan polymerase chain reaction (PCR).

Walaupun tidak begitu membantu, gambaran cairan serebrospinal dapat pula

dipertimbangkan. Biasanya berwarna jernih, jumlah sel berkisar 50-200/µL

dengan dominasi sel limfosit. Jumlah protein kadang kadang meningkat dan kadar

glukosa biasanya masih dalam batas normal.

2.8. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaaan laboratorium dimana pada pemeriksaan darah tepi

rutin tidak spesifik. Jumlah leukosit darah tepi tidak normal atau sedikit

meningkat, kadang-kadang teradapat pergeseran ke kiri.

Page 7: BAB 2 Case GE Ensefalitis

Pemeriksaan cairan serebrospinal, dimana gambaran cairan serebrospinal

dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu membantu. Biasanya berwarna

jernih, jumlah sel 50-200/µL dengan dominasi limfosit. Kadar protein meningkat,

sedangkan glukosa masih dalam batas normal. Pada fase awal penyakit ensefalitis

viral, sel- sel di LCS sering kali polimorfonuklear baru kemudian menjadi sel- sel

mononuclear.

LCS sebaiknya dikultur untuk mengetahui adanya infeksi virus, bakteri &

jamur.11

Pada ensefalitis herpes simpleks, pada pemeriksaan LCS dapat ditemukan

peningkatan dari sel darah merah, mengingat adanya proses perdarahan di

parenkim otak. Disamping itu dapat pula dijumpai peningkatan konsentrasi

protein yang menandakan adanya kerusakan pada jaringan otak.

Pada infeksi Mycoplasma Pneumonia, hasil analisa cairan serebrospinal

yang normal maupun abnormal. Dan jumlah leukosit paling sering dijumpai

meningkat. Pada banyak kasus dijumpai kuman pada spesimen cairan

serebrospinal, dan hasil serologi serum, akan tetapi hal ini sering merupakan false

positif maupun false negatif. Yang paling pasti adalah dengan PCR cairan

serebrospinal.11

Pada feses dapat ditemukan hasil yang positif untuk entero virus.1

b. Pemeriksaan serologis

Isolasi virus dalam cairan serebrospinal secara rutin tidak dilakukan karena

sangat jarang menunjukkan hasil yang positif. Titer antibodi terhadap VHS dapat

diperiksa dalam serum dan cairan serebrospinal. Titer antibodi dalam serum

tergantung apakah infeksi merupakan infeksi primer arau infeksi rekuren. Pada

infeksi primer, antibodi dalam serum menjadi positif setelah 1 sampai beberapa

minggu, sedangkan pada infeksi rekuren kita dapat menemukan peningkatan titer

antibodi dalam dua kali pemeriksaan, fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan titer 4

kali lipat pada fase rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi VH sedang aktif.

Harus diiongat bahwa peningkatan kadar antibodi serum belum membuktikan

disebabkan oleh VHS. Titer antibodi dalam cairan serebrospinal merupakan

Page 8: BAB 2 Case GE Ensefalitis

indikator yang lebih baik, karena hanya diproduksi bila terjadi kerusakan sawar

darah otak, akan tetapi kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinal sering

terlambat, dan baru dapat dideteksi pada hari ke 10-12 setelah permulaan sakit.

Hal ini merupakan kendala terbesar dalam menegakkan diagnosis EHS, dan hanya

berguna sebagai diagnosis retrospektif. Penggunaan perbandingan antara titer

antibodi serum dan cairan serebrospinal < 20 tidak memeperbaiki sensitivitas

diagnosis dalam 10 hari sakit.6

c. Pencitraan

Dengan pemeriksaan pencitraan neorologis (neuroimaging), infeksi virus

dapat diketahui lebih awal dan biasanya pemeriksaan ini secara rutin dilakukan

pada pasien dengan gejala klinis neurologis.

MRI (magnetic resonance imaging)

MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang paling dianjurkan pada kasus

ensefalitis. Bila dibandingkan dengan CT-scan, MRI lebih sensitif dan

mampu untuk menampilkan detil yang lebih bila terdapat adanya kelainan-

kelainan.

Pada kasus ensefalitis herpes simpleks, MRI menunjukan adanya perubahan

patologis, yang biasanya bilateral pada lobus temporalis medial dan frontal

inferior.

Computed Tomography

Pada kasus ensefalitis herpes simpleks, CT-scan kepala biasanya

menunjukan adanya perubahan pada lobus temporalis atau frontalis, tapi

kurang sensitif dibandingkan MRI. Kira-kira sepertiga pasien ensefalitis

herpes simpleks mempunyai gambaran CT-scan kepala yang normal.

Elektroensefalografi (EEG)

Pada ensefalitis herpes simpleks, EEG menunjukan adanya kelainan fokal

seperti spike dan gelombang lambat atau (slow wave) atau gambaran

gelombang tajam (sharp wave) sepanjang daerah lobus temporalis. EEG

cukup sensitif untuk mendeteksi pola gambaran abnormal ensefalitis herpes

simpleks, tapi kurang dalam hal spesifisitas. Sensitifitas EEG kira kira 84 %

Page 9: BAB 2 Case GE Ensefalitis

tetapi spesifisitasnya hanya 32.5%. Gambaran elektroensefalografi (EEG)

sering menunjukkan aktifitas listrik yang merendah yang sesuai dengan

kesadaran yang menurun. Gambaran EEG juga dapat memperlihatkan proses

inflamasi yang difus (aktifitas lambat bilateral).

d. Biopsi otak

Dengan asumsi bahwa biopsi otak tidak meningkatkan morbiditas dan

mortalitas, apabila didapat lesi fokal pada pemeriksaan EEG atau CT scan, pada

daerah tersebut dapat dilakukan biopsi, tetapi apabila pada pemeriksaan CT scan

dan EEG tidak didapatkan lesi gokal, biopsi tetap dilakukan dengan melihat tanda

klinis fokal. Apabila tanda klinis fokal tidak didapatkan maka biopsi dapat

dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus

Herpes Simpleks. Baku emas dalam diagnosis ensefalitis akibat Virus Herpes

Simpleks adalah biopsi otak, dam isolasi virus dari jaringan otak. Biopsi dipantau

dengan kelainan neurologis, EEG, CT-Scan, dan MRI. Banyak pusat penelitian

tidak ingin mengerjakan prosedur ini karena berbahaya dan kurangnya fasilitas

untuk isolasi virus.7

Di negara berkembang, diagnosis spesifik untuk mengetahui penyebab

ensefalitis tidak mudah oleh karena terbatasnya fasilitas yang tersedia.

2.9. Diagnosis Banding

Meningitis yang disebabkan bakteri yang paling sering menginvasi sistem

saraf pusat yaitu H. Influenza tipe B, S. Pneumoniae, dan N. Meningitidis. Pada

meningitis biasanya ditemukan rangsang meningeal, walaupun pada bayi

terkadang tidak ditemukan. Meningitis tuberkulosa juga merupakan diagnosa

banding, dengan perjalanan penyakit yang sangat lambat. Pada pemeriksaan

fisiknya dapat ditemukan limfadenopati, dan tanda rangsang meningeal. Pada

funduskopi dapat ditemukan papil pucat, tuberkuloma di retina, dan adanya nodul

di koroid. Uji tuberkulin dapat juga membantu diagnosa.7

Infeksi bakteri parameningeal juga, seperti abses otak dimana radang bernanah

pada jaringan otak, juga dapat mempunyai tanda-tanda yang sama dengan

ensefalitis, dan gangguan non infeksi juga perlu dipikirkan pada diagnosa banding

Page 10: BAB 2 Case GE Ensefalitis

ensefalitis, seperti keganasan, perdarahan intrakranial. Untuk itu pembuatan foto

adalah penting untuk diagnosa proses ini.6

2.10. Penatalaksanaan

Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah

sakit. Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan

tersebut adalah mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan

perawatan pasien koma yaitu mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian

makanan secara enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan

elektrolit, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa darah.

Terapi suportif :

Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan

jalan nafas tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen,

pemasangan respirator bila henti nafas, intubasi, trakeostomi), pemberian

makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit,

koreksi gangguan asam basa darah. Untuk pasien dengan gangguan menelan,

akumulasi lendir pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan aspirasi

mekanis yang periodik.10

Terapi kausal :

Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus,

yaitu dengan memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-

14 hari. Preparat asiklovir tersedia dalam 250 mg dan 500 mg yang harus

diencerkan dengan aquadest atau larutan garam fisiologis. Pemeberian secara

perlahan-lahanm diencerkan menjadi 100 ml larutan, diberikan selama 1 jam.

Efek sampingnya adalah peningkatan kadar ureum dan keratinin tergantung kadar

obat dalam plasma. Pemberian asiklobir perlahan-lahan akan mengurangi efek

samping. Bila selama pengobatan terbukti bukan infeksi Virus Herpes Simpleks,

maka pengobatan dihentikan.6

Pada pasien yang terbukti secara biopsi menderita Ensefalitis Herpes

Simpleks dapat diberikan Adenosine Arabinose 15mg/kgBB/hari IV, diberikan

Page 11: BAB 2 Case GE Ensefalitis

selama 10 hari. Pada beberapa penelitian dikatakan pemberian Adenosisne

Arabinose untuk herpes simpleks ensefalitis dapat menurunkan angka kematian

dari 70% menjadi 28%.8

Terapi Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi citomegali

virus. Dosis Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.kemudian dosis diturunkan

menjadi satu kali, lalu dengan terapi maintenance.9

Pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab bakteri

dikesampingkan, dan juga untuk kemungkinan infeksi sekunder. Pada ensefalitis

supurativa diberikan:

- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.

- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.7

Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk ensefalitis karena toxoplasmosis.

Terapi Simptomatik :

Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang.

Tergantung dari kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang diberikan ialah

diazepam 0,3-0,5 mg/Kg BB/ hari dilanjutkan dengan fenobarbital. Perlunya

diperiksa kadar glukosa darah, kalsium, magnesium harus dipertahankan normal

agar ancaman konvulsi menjadi minimum.

Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan

menempatkan es pada permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar,

misalnya pada kiri dan kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis

dan diatas kepala. Dapat juga diberikan antipiretikum seperti parasetamol dengan

dosis 10-15mg/kgBB, bila keadaan telah memungkinkan pemberian obat peroral.9

Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM

dibagi 3 dosis dengan cairan rendah natrium, dilanjutkan dengan pemberian 0,25-

0,5mg/kgBB/hari. Bila terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial, dapat

diberikan manitol 0,5-2 g/kgBB IV dalam periode 8-12 jam.1

Nyeri kepala dan hiperestesia diobati dengan istirahat, analgesik yang tidak

mengandung aspirin dan pengurangan cahaya ruangan, kebisingan, dan tamu.

Terapi rehabilitatif:

Page 12: BAB 2 Case GE Ensefalitis

Upaya pendukung dan rehabilitatif amat penting sesudah penderita sembuh.

Inkoordinasi motorik, gangguan konvulsif, strabismus, ketulian total atau parsial,

dan gangguan konvulsif dapat muncul hanya sesudah jarak waktu tertentu.

Fasilitas khusus dan kadang-kadang penempatan kelembagaan mungkin

diperlukan. Beberapa sekuele infeksi dapat amat tidak kentara. Karenanya

evaluasi perkembangan saraf dan audiologi harus merupakan bagian dari

pemantauan rutin anak yang telah sembuh dari mengoensefalitis virus, walaupun

mereka tampak secara kasar normal.6

2.11. Prognosis

Kebanyakan anak sembuh secara sempurna dari infeksi virus pada sistem

saraf sentral, walaupun prognosis tergantung pada keparahan penyakit klinis,

etiologi spesifik, dan umur anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya

keterlibatan parenkim, prognosis jelek, dengan kemungkinan defisit yang bersifat

intelektual, motorik, psikiatrik, epileptik, penglihatan, ataupun pendengaran.

Sekuele berat juga harus dipikirkan walaupun beberapa kepustakaan menyarankan

bahwa penderita bayi yang menderita ensefalitis virus mempunyai hasil akhir

jangka panjang lebih jelek daripada nak yang lebih tua, data baru membuktikan

bahwa observasi ini tidak benar. walaupun sekitar 10% anak sebelum usia 2 tahun

dengan infeksi virus menampakkan komplikasi akut seperti kejang, tekanan

intrakranial naik, atau koma, hampir semua hasil akhir neurologis jangka lama

baik.6

Pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simpleks yang tidak diobati

sangat buruk dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan menignkat menjadi

90% dalam 6 bulan. Pengobatan dini dengan asiklovir akan menurunkan

mortalitaas menjadi 28%. Gejala sisa lebih sering ditemukan dan lebih berat pada

kasus yang tidak diobati. Keterlambatan pengobatan yang lebih dari 4 hari

memberikan prognosis buruk, demikian juga koma; pasien yang mengalami koma

seringkali menggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat.2

2.12. Komplikasi

Kesadaran pasien sewaktu keluar dari rumah sakit bukan merupakan

gambaran penyakit secara keseluruhan karena gejala sisa kadang-kadang baru

Page 13: BAB 2 Case GE Ensefalitis

timbul setelah pasien pulang. Beberapa kelainan yang mungkin dapat dijumpai

antara lain retardasi mental, iritabel, emosi tidak stabil, sulit tidur, halusinasi,

enuresis, perubahan perilaku, dan juga dapat ditemukan gangguan motorik dan

epilepsi.5

Ensefalitis