Upload
dwi-wahyu-arsita
View
130
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem mastikasi merupakan unit fungsional dalam pengunyahan yang mempunyai
komponen terdiri dari gigi – geligi, sendi temporomandibula (STM), otot kunyah, dan system
syaraf. Otot digerakan oleh system impuls syaraf karena ada tekanan yang timbul dari gigi
bawah berkontak dengan gigi atas sehingga mandibula dapat melaksanakan aktifitas fungsional
dari system mastikasi. Keharmonisan antara komponen – komponen ini sangat penting dipelihara
kesehatan dan kapasitas fungsionalnya.
Dalam kenyataannya masih banyak ditemukan system mastikasi yang bermasalah yang
sering dijumpai dalam praktek dokter gigi. Salah satu dari system mastikasi yang bermasalah dan
berpengaruh terhadap pasien misalnya terjadi kliking pada sendi rahang pasien yang
menyebabkan wajah pasien tidak simetris. Dimana dengan keadaan seperti ini dapat
menimbulkan beberapa gangguan pada kesehatan rongga mulut, terutama mengenai dari sendi-
sendi yang ada dalam rongga mulut. Sendi-sendi pada rahang yang mendukung dalam proses
pengunyahan pada rongga mulut manusia yaitu sendi temporomandibula atau
temporomandibular joint (TMJ) yang mungkin belum banyak dikenal oleh masyarakat awam.
B. HIPOTESA
Kontak oklusi mempengaruhi fungsi dari TMJ
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengaruh kontak oklusi pada TMJ?
2. Bagaimana mekanisme sampai terjadinya kliking pada TMJ?
3. Kelas-kelas oklusi.
D. TUJUAN
1. Memahami akibat terjadinya gangguan oklusi pada otot, diskus TMJ, serta sistem
stomatognatik dan melalui pemeriksaan klinis secara komprehensif.
2. Menghubungkan kelainan gangguan fungsi sendi tempora mandibular dengan perawatan
pada kasus – kasus konservasi gigi yang spesialistis. 1
3. Menginterpretasikan keadaan akibat kelainan oklusi dan gangguan fungsi mastikasi
4. Memprediksi hasil perawatan gangguan TMJ sehubungan dengan perawatan kasus –
kasus di bidang I.konservasi gigi yang spesialistis.
5. Menjabarkan rencana perawatan kelainan TMJ dan oklusi gigi ke dalam sistem
stogmatognati yang benar di bidang konservasi gigi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Oklusi
2.1.1 Pengertian Oklusi
Oklusi adalah setiap kontak antara gigi-geligi dari lengkung yang berlawanan dan
biasanya mengacu pada permukaan oklusal (Harty, 1995).
Oklusi gigi-gigi dibicarakan dalam dua judul berikut :
1. Oklusi statis yang mengacu pada posisi dimana gigi-gigi atas dan bawah saling
berkontak.
2. Oklusi fungsional mengacu pada gerak fungsional dari mandibula dank arena itu, gigi-
geligi bawah berkontak dengan gigi-geligi atas (Foster, 1997).
2.1.2 Posisi Mandibula
Posisi-non-oklusal dari mandibula
1. Posisi istirahat
Posisi istirahat mandibula, kadang disebut posisi postural edogen adalah posisi ketika
semua otot yang mengontrol posisi mandibula berada dalam keadaan relaks. Keadaan ini
dianggap dikendalikan oleh mekanisme refleks yang dipicu oleh reseptor regangan pada otot
mastikasi, khususnya otot temporal. Posisi istirahat pada kebanyakan kasus adalah
sedemikian rupa hingga ada celah beberapa milimeter antara gigi-gigi atas dan bawah. Celah
ini disebut free-way space atau jarak antar-oklusal (Foster, 1997).
Walaupun posisi istirahat mandibula dianggap konstan untuk tiap individu, ada
variasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Variasivariasi sehari-hari dari posisi
istirahat terlihat bersama variasi postur kepala. Jadi jika kepala didongakkan ke belakang,
jarak antaroklusal akan meningkat, jika dicondongkan ke depan jarak antaroklusal
3
berkurang. Variasi jangka panjang berhubungan dengan tanggalnya gigi dan proses penuaan
selain perubahan tonus otot (Foster, 1997).
2. Posisi postural adaptif
Walaupun pada kebanyakan individu, mandibula mempunyai posisi istirahat yang normal,
pada beberapa individu terjadi posisi yang berbeda pada waktu istirahat. Posisi semacam ini
disebut sebagai posisi postural adaptif, karena respons tidak sadar terhadap kebutuhan. Dua
penyebab utama posisi postural adaptif adalah:
a) Untuk mempertahankan seal oral anterior. Pernapasan normal yang tenang adalah melalui
hidung. Ini mengharuskan jalan udara oral tertutup, yang biasanya diperoleh dengan seal
oral posterior, yaitu palatum lunak menyentuh lidah dsn seal oral anterior yaitu bibir
berkontak atau lidah menyentuh gigi anterior. Pada beberapa individu, mandibula
berkembang ke hubungan di luar normal dengan maksila, hingga untuk mendapat seal oral
anterior diperlukan posisi mandibula postural ke depan (Foster, 1997).
b) Untuk mendapat pernapasan mulut. Jika pernapasan hidung tidak cukup, perlu diganti atau
ditambah dengan pernapasan mulut. Ini biasanya disebabkan oleh penyempitan saluran
hidung akibat infeksi kronis, walaupun tentu saja pernapasan mulut merupakan keadaan
normal selama latihan fisik dan bicara. Untuk pernapasan mulut diperlukan posisi postural
yang berubah dari mandibula, dengan mandibula diturunkan dan jarak antar oklusal yang
meningkat berlebihan (Foster, 1997).
Posisi oklusal mandibula (oklusi statis)
Posisi mandibula dengan gigi-gigi berada dalam kontak oklusal, tentu saja, tidak terlalu
bervariasi. Ada dua posisi utama yang bisa dibicarakan di sini (Foster, 1997).
1. Posisi kontak retrusi (relasi sentrik)
Posisi terminal dari jalur pergerakan mandibula otomatis dari istirahat ke posisi
oklusi yang tidak terdeviasi akibat kontak gigi atau aksi otot yang abnormal. Kondil
mandibula normalnya berada pada posisi paling posterior di dalam fosa kondilar,
walaupun tidak terdorong dengan kuat (Foster, 1997).4
2. Posisi interkuspal (oklusi sentrik)
Posisi interkuspal maksimal dari gigi-gigi atas dan bawah. Definisi ini tidak bisa
diterapkan untuk semua individu, karena pada beberapa kasus, seperti pada tahap akhir
gigi-geligi susu, atrisi sudah mengurangi tonjol gigi-gigi sehingga permukaan oklusal
relative datar (Foster, 1997).
Pada sebagian besar orang, kedua posisi oklusal dari mandibula ini hampir
identik. Rincian yang halus dari posisi gigi dipengaruhi oleh tahap akhir dari pergerakan
mandibula menuju ke posisi oklusi, sehingga gigi-gigi berada pada posisi dimana posisi
kontak retrusi dan posisi interkuspal hampir sama. Pada beberapa orang, malposisi gigi
yang disebabkan karena factor-faktor lain menyebabkan posisi interkuspal sangat berbeda
dari posisi kontak awal. Mekanisme umum untuk keadaan ini akan dibicarakan pada
bagian berikutnya (Foster, 1997).
2.1.3 Oklusi Ideal
Konsep bahwa ada yang ideal untuk setiap komponen oklusi gigi-geligi, dari suatu
pengetahuan di mana variasi, atau maloklusi bisa diukur, barangkali dimulai dari hasil penelitian
Angel (1899). Angel yang mengadakan penelitian mengenai oklusi statis pada posisi interkuspal,
mendifinisikan hubungan ideal dari gigi geligi molar pertama atas dan bawah tetap pada bidang
sagital. Dari definisi ini, dapatlah didefinisikan variasi dari oklusi pada bidang yang sama, dan
klasifikasi oklusi dari angel, atau versi modifikasinya, sudah dipergunakan secara luas sejak
klasifikasi tersebut diperkenalkan (Foster, 1997).
Andrew (1972) menyebutkan enam kunci oklusi normal, yang berasal dari hasil
penelitian yang dilakukannya terhadap 120 subyek yang oklusi idelnya mempunyai enam cirri.
Keenam cirri tersebut adalah :
1. Hubungan yang tetap dari gigi-gigi molar pertama tetap pada bidang sagital.
2. Angulasi mahkota gigi-gigi insisivus yang tepat pada bidang transversal.
3. Inklinasi mahkota gigi-gigi insisivus yang tepat pada bidang sagital.
5
4. Tidak adanya rotasi gigi-gigi individual.
5. Kontak yang akurat dari gigi-gigi individual dalam masing-masing lengkung gigi, tanpa
celah maupun berjejal-jejal.
6. Bidang oklusi yang datar atau sedikit melengkung (Foster, 1997).
Andrew memperkirakan bahwa jika satu atau beberapa ciri ini tidak tepat, hubungan oklusal
dari gigi geligi tidaklah ideal (Foster, 1997).
Sekali lagi, “Kunci” Andrew berhubungan terutama dengan oklusi static, tetapi cirri-ciri yang
didefinisikan tidak mencangkup klasifikasi dari Angel (Foster, 1997).
Beberapa criteria mengenai oklusi fungsional yang idela sudah diperkenalkan oleh Roth
(1976). Berikut ini adalh salinan dari konsep Roth, yang ditunjukan terutama untuk mendapatkan
efisiensi pengunyahan maksimal yang konsisten dengan beban traumatuk minimal yang
mengenai gigi-gigi dan jaringan pendukung serta otot dan apparatus pengunyahan skeletal
(Foster, 1997).
1. Pada posisi interkuspal maksimal (oklusi sentrik), kondil mandibula harus berada pada
posisi paling superior dan paling retrusi dalam fosa kondilar. Ini berdampak bahwa posisi
interkuspal adalah sama dengan posisi kontak retrusi.
2. Pada saat menutup ke oklusi sentrik, stress yang mengenai gigi-gigi posterior harus
diarahkan sepanjang sumbu panjang gigi.
3. Gigi-gigi posterior harus berkontak setara dan merata, tanpa kontak pada gigi-gigi
anterior, pada oklusi sentrik.
4. Harus ada overjet dan overbite minimal, tetapi cukup besar untuk membuat gigi-gigi
posterior saling tidak berkontak pada gerak lateral dari mandibula, ke luar dari oklusi
sentrik.
5. Harus ada halangan minimal dari gigi-gigi terhadap gerak mandibula seperti dibatasi oleh
sendi temporomandibula (Foster, 1997).
6
2.1.4 Klasifikasi dari oklusi gigi-geligi
Klasifikasi ini berdasarkan pada klasifikasi Edward Angle (1899) walaupun berbeda
dalam beberapa aspek yang penting. Ini adalah klasifikasi dari hubungan antero-posterior
lengkung gigi-gigi atas dan bawah, dan tidak melibatkan hubungan lateral serta vertikal, gigi
berjejal dan malposisi local dari gigi-gigi (Foster, 1997).
Klas 1
Hubungan ideal yang bisa ditolerir. Ini adalah hubungan antero-posterior yang
sedemikian rupa, dengan gigi-gigi berada pada posisi yang tepat di lengkung rahang, ujung gigi
kaninus atas berada pada bidang vertical yang sama seperti ujung distal gigi kaninus bawah.
Gigi-gigi premolar atas berinterdigitasi dengan cara yang sama dengan gigi-gigi premolar bawah,
dan tonjol antero-bukal dari molar pertama atas tetap beroklusi dengan alur (groove) bukal dari
molar pertama bawah tetap (Gambar 2.8). Jika gigi insisivus berada pada inklinasi yang tepat,
overjet insisal adalah sebesar 3 mm (Foster, 1997).
Gambar 2.8. Oklusi Klas I Angle
Klas 2
Pada hubungan klas 2, lengkung gigi bawah terletak lebih posterior daripada lengkung
gigi atas dibandingkan pada hubungan klas 1. Karena itulah, keadaan ini kadang disebut sebagai 7
“hubungan postnormal” . Ada 2 tipe hubungan Klas 2 yang umum dijumpai, dan k arena itu,
Klas 2 ini umumnya dikelompokkan menjadi dua devisi (Foster, 1997).
Klas 2 divisi 1
Lengkung gigi mempunyai hubungan Klas 2, dengan gigi-gigi insisuv sentral atas
proklinasi, dan overjet insisal lebih besar (Gambar 2.9). Gigi insisivus lateral atas juga proklinasi
(Foster, 1997).
Klas 2 divisi 2
Lengkung gigi mempunyai hubungan klas 2, dengan gigi-gigi insisivus sentral atas yang
proklinasi dan overbite insisal yang besar (Gambar 2.9). Gigi-gigi insisivus lateral atas bisa
proklinasi atau retroklinasi (Foster, 1997).
Tidaklah selalu dapat mengelompokkan hubungan oklusal Klas 2 ke dalam salah satu dari
divisi ini, pada kasus semacam ini, oklusi bisa disebut sebegai “Klas 2 tidak pasti”
Gambar 2.9. Oklusi Klas II Angle
Klas 3
8
Pada hubungan Klas 3, lengkung gigi bawah terletak lebih anterior terhadap lengkung
gigi atas dibandingkan pada hubungan Klas 1. Oleh karena itu, hubungan ini kadang-kadang
disebut juga sebagai “hubungan prenormal”. Ada dua tipe utama dari hubungan Klas 3. Yang
pertama, biasanya disebut Klas 3 sejati, dimana rahang bawah berpindah dari posisi istirahat ke
oklusi Klas 3 pada saat penutupan normal. Pada tipe yang kedua, gigi-gigi insisivus terletak
sedemikian rupa sehingga gerak menutup mandibula menyebabkan insisivus bawah berkontak
dengan insisivus atas sebelum mencapai oklusi sentrik. Oleh karena itu, mandibula akan
bergerak ke depan pada penutupan translokasi, menuju ke posisi interkuspal. Tipe hubungan
semacam ini biasanya disebut Klas 3 postural atau Klas 3 dengan pergeseran (Gambar 2.10)
Gambar 2.10. Oklusi Klas III Angle
Pada masing-masing tipe hubungan oklusal, malposisi gigi setempat bisa mempengaruhi
hubungan dasar dari kedua lengkung gigi. Jadi, rincian interkuspal dari gigi-gigi tidak sama
dengan klasifikasi keseluruhan dari hubungan lengkung gigi. Jika banyak gigi yang malposisi,
akan sulit bahkan tidak mungkin untuk menentukan klasifikasi oklusi. Di samping itu, asimetris
bisa menyebabkan hubungan pada satu sisi rahang berbeda dari sisi yang lain. Pada situasi
semacam ini, oklusi perlu dideskripsikan dengan kata-kata, bukan hanya dengan klasifikasi
verbal saja (Foster, 1997).
Kelihatannya proporsi pembagian oklusi menjadi berbagai kategori seperti disebutkan di
atas adalah berbeda pada berbagai populasi. Pada salah satu penelitian mengenai oklusi gigi yang
9
dilakukan terhadap populasi murid sekolah di shrpshire, yang berusia dari 11-12 tahun, Foster
dan Day (1974) menemukan proporsi berikut ini.
Klas 1 44%
Klas 2 divisi 1 27%
Klas 2 divisi 2 18%
Klas 2 (tak pasti) 7%
Klas 3 (sejati) 3%
Klas 3 (portural) 0,3%
Dari penelitian ini terlihat bahwa walaupun hubungan oklusal oklusal Klas 1 adalah ideal
hubungan ini tidak selalu normal, seperti terlihat pada kurang dari separuh populasi (Foster,
1997).
2.1.5 Gangguan dan kelainan
Sejak gigi erupsi, permukaan oklusal dan jaringan pendukungnya berubah baik karena
karies, penyakit periodontium dan keausan. Bentuk gigi, tulang pendukungnya dan ruang di
antara gigi sudah lebih dahulu ditentukan secara genetic dan factor – factor ini tidak selalu
memberikan fungsi yang optimal. Pada umumnya, terdapat fenomena adaptasi untuk
memperoleh fungsi yang terbaik namun fenomena ini tidak selalu memadai bagi kesehatan
system mastikasi. Berlandaskan pada penyakit, perubahan dan adaptasi inilah berbagai macam
gangguan dan kelainan akan dibahas (Thomson, 2007).
Ada perbedaan yang tipis antara istilah “gangguan” (disturbance), “kelainan” (disorder),
dan “penyakit” (disease) dan mungkin terlalu ilmiah untuk membedakan istilah tersebut. Namun,
dengan mempertimbangkan efek fungsi pada mastikasi, pembedaan perlu dilakukan agar mampu
memilah antara perubahan atau gangguan fungsi dengan kerusakan yang mungkin
diakibatkannya. Juga perlu dibedakan antara kefua kondisi ini dengan penyakit itu sendiri, yang
merupakan respons patologis terhadap infeksi atau perubahan jaringan (Thomson, 2007).
10
Oleh karena itu, definisi kedua istilah yang digunakan adalah sebagai berikut :
Gangguan adalah setiap gangguan atau perubahan pada fungsi oklusal system mastikasi.
Kelainan adalah respons terhadap gangguan yang menimbulkan perubahan patologis
pada jaringan system mastikasi.
Gangguan pada system mastikasi bisa berupa gangguan perkembangan dan gangguan
fungsional (Thomson, 2007).
Gangguan dan Perkembangan
Maloklusi
Ini adalah akibat dari malrelasi antara pertumbuhan dan posisi serta ukuran gigi.
Maloklusi diklasifikasikan menurut relasi molar pertama (I, II, dan III), atau sebagai relasi
normal, paranormal, dan pascanormal. Maloklusi juga bisa dibagi menjadi maloklusi primer
yang timbul pada gigi – geligi yang sedang berkembang dan maloklusi sekunder yang timbul
pada orang dewasa akibat tanggalnya gigi dan pergerakan gigi tetangga (Thomson, 2007).
Gangguan yang berasal dari maloklusi primer adalah sebagai berikut :
Gigi – gigi sangat berjejal yang mengakibatkan rotasi gigi –gigi individual atau
berkembangnya gigi di dalam atau di luar lengkung. Gangguan ini mengakibatkan interferensi
tonjol dan aktivitas pergeseran mandibulla, walaupun pada gigi –geligi yang sedang berkembang
adaptasi dari pergerakan gigi umumnya bisa mencegah timbulnya gangguan tersebut. Gangguan
lain yang diakibatkan adalah relasi oklusal yng kurang stabil (tonjol terhadap tonjol ketimbang
tonjol terhadap fosa) dan kelainan gingival antara gigi – gigi karena tidak memadainya ruang
untuk tempat epithelium interdental (Thomson, 2007).
Meningkat atau berkurangnya overlap vertical atau horizontal yang bisa mengakibatkan
fungsi insisivus yang tidak stabil atau perlunya seal bibir yang adaptif (Thomson, 2007).
Penyimpangan garis median atas dan bawah yang menandai adanya interferensi insisivus
atau interferensi tonjol pada segmen posterior (Thomson, 2007).
11
Gangguan – gangguan ini sering menerima perawatan ortodonti di saat remaja. Akan tetapi,
adakalanya perawatan ini mengakibatkan relasi tonjol posterior yang tidak stabil, dan dianjurkan
untuk melakukan analisis oklusal agar stabilitas segmen posterior dalam keadaan berfungsi bisa
terjamin (Thomson, 2007) .
Kurangnya perkembangan jaringan dentoalveolar
Keadaan ini umumnya terlihat pada segmen posterior, uni- atau bilateral, dan mengakibatkan
overclosure mandibulla, jika bilateral, dan kurangnya oklusi fungsional unilateral jika terbatas
pada satu sisi. Kondisi ini menimbulkan gigitan terbuka ( open bite ) posterior. Gangguan ini
juga bisa terjadi pada segmen anterior atas sebagai akibat kurangnya pertumbuhan tulang
premaksila (Thomson, 2007).
Gangguan Fungsional
Maloklusi sekunder
Ini adalah posisi gigi yang berubah akibat tanggalnya satu atau beberapa gigi atau akibat
penyakit periodontium. Tanggalnya gigi mengakibatkan migrasi gigi atau gigi – gigi di dekatnya
hanya jika oklusi diantara gigi – gigi ini dan gigi antagonisnya kurang stabil untuk mencegah
terjadinya keadaan tersebut. Beberapa migrasi biasanya berlangsung sampai diperoleh kembali
oklusi yang stabil dan keadaan ini bisa mengakibatkan timbulnya satu atau beberapa kelainan
yang lain. Modotnya gigi – gigi tidak berantagonis pada situasi ini merupakan kejadian yang
umum walaupun bisa dicegah dengan gaya otot lidah atau pipi. Kerusakan jaringan npendukung
periodontium gigi yang tidak memiliki antagonis merupakan efek yang umum dan bisa
berkembang menjadi kelainan. Jika ada penyakit periodontium, dengan atau tanpa disertai
tanggalnya gigi, fungsi oklusal bisa mengakibatkan migrasi yang selanjutnya bisa berkembang
menjadi maloklusi sekunder (Thomson, 2007).
Fungsi unilateral dan fungsi yang berkurang
Gigi – gigi yang tanggal, sakit, atau gigi – gigi yang tajam, kelainan gingival atau mukosa
bisa menyebabkan mastikasi terbatas hanya pada satu sisi atau bahkan pada segmen labial.
Meskipun demikian, fungsi unilateral pada gigi tiruan lengkap cukup sering ditemukan sehingga
12
bisa dianggap normal dan adakalanya disebut sebagai mastikasi “kidal” atau “normal”. Keadaan
ini tidak dianggap sebagai factor perkembangan karena kedua sendi berhubungan dengan satu
tulang. Adaptasi terhadap fungsi unilateral biasanya sudah cukup untuk mencegah terjadinya
kelainan, tetapi sebaliknya, restorsi fungsi bilateral sering kali merupakan tindakan perawatan
yang membantu jika timbul sakit pada salah satu atau kedua region sendi. Salah satu perluasan
dari gangguan ini adalah kurangnya dukungan gigi posterior yang umumnya diasosiasikan
dengan sindrom disfungsi mandibulla. Manifestasi gangguan ini adalah tanggalnya satu atau
beberapa gigi pada segmen bukal, dan kadang – kadang kerusakan permukaan oklusal sudah
cukup menimbulkan nyeri pada daerah sendi. Berkurangnya fungsi mastikasi merupakan
gangguan yang sering ditemukan dan gangguan ini jarang langsung menimbulkan kelainan.
Sebaliknya, restorasinya kerap bermanfaat jika gangguan ini telah mengenai otot – otot
(Thomson, 2007).
Hilangnya kurva oklusal
Keadaan ini terjadi setelah tanggalnya gigi – gigi posterior pada situasi sadel bounded
dan merupakan contoh lain dari maloklusi sekunder. Keadaan ini sering diikuti dengan modot
atau miringnya gigi – gigi yang merupakan antagonis dari daerah pencabutan dan miringnya gigi
– gigi yang terletak di samping daerah tersebut. Gangguan ini cenderung menimbulkan gangguan
lebih lanjut dan kelainan. Usaha untuk memperbaiki hilangnya kurva oklusal harus dilakukan
sebelum penggantian direncanakan, karena jika tidak, gangguan lebih lanjut dapat terjadi akibat
restorasi (Thomson, 2007).
Parafungsi ( bruksisme )
Ini adalah suatu gangguan yang perlu dianggap sebagai kondisi klinis tersendiri, karena
timbul tanpa bergantung pada gangguan oklusal atau iritasi mulut yang lain. Stimulus yang
direlai dari pusat otak yang lebih tinggi, menyebabkan hiperaktivitas otot. Jika otot yang terkena
adalah otot system mastikasi, akibatnya adalah parafungsi clenching atau grinding dari gigi –
gigi. Implus yang mengakibatkan aktivitas ini dianggap sebagai bentuk dari gangguan emosional 13
atay kecemasan dan bisa termanifestasikan pada kelompok otot yang lain. Contohnya adalah
kepalan tangan, menghentakkan kaki keras ke lantai dan aktivitas – aktivitas lain yang sering kali
lebih berbahaya. Teori lain yang bisa diterima adalah bahwa aktivitas yang tidak relevan terjadi
pada region yang memiliki kelemahan atau defek, seperti pada mulut dengan interferensi yonjol
atau pada punggung yang otot – ototnya mungkin kurang mampu mendukungnya. Ini mungkin
merupakan alasan yang spekulatif namun terdapat sedikit keraguan bahwa aksi otot akan
memberikan “keluaran” untuk keadaan emosional semacam rasa tidak puas, frustasi, kemarahan
dan kecemasan (Thomson, 2007).
Adanya iritasi pada rongga mulut merangsang aktivitas – aktivitas tersebut atau berperan
sebagai pemicu timbulnya aktivitas itu melalui system umpan balik, gangguan oklusi dapat
memberikan rangsang seperti itu. Pemakaian gigi tiruan yang tidak stabil menimbulkan iritasi
lain seperti itu. Dan efeknya pada gigi tiruan adalah ketidakstabilan lebih lanjut dan rasa tidak
enak (Thomson, 2007).
Atrisi permukaan oklusal
Proses keausan ini mulai segera setelah gigi bererupsi dan bervariasi sesuai dengan
kualitas diet, kebiasaan mengunyah, dan kebiasaan parafungsi. Atrisi bisa terjadi setempat yakni
hanya mengenai satu atau dua gigi yang saling berantagonis atau menyeluruh pada gigi – geligi.
Oleh karena itu, perubahan kecil pada posisi interkuspa ini akan berlangsung berkesinambungan.
Adaptasi terhadap hilangnya dimensi vertical oklusal ini bisa timbul dalam bentuk erupsi lebih
lanjut melalui deposit sementum di atas permukaan akar atau respons neuromuscular terhadap IP
yang sudah berubah. Juga pulpa gigi – gigi bersangkutan memberi respons dengan
mendepositkan dentin sekunder. Gigi tiruan, akrilik, porselen, sama – sama beresiko terkena
gangguan ini (Thomson, 2007).
Kelainan
Seperti sudah disebutkan diatas, kelainan oklusi adalah respons terhadap gangguan
sehingga timbul perubahan patologis pada jaringan system mastikasi. Dalam mempertimbangkan
kelainan sebagai suatu kelompok keadaan, perlu ide yang jelas mengenai gangguan yang sudah
14
ada karena sebuah gangguan umumnya merupakan akibat dari gangguan yang lain. Kelainan –
kelainan yang akan dibicarakan adalah :
Atrisi (keausan) permukaan oklusal dan insisal
Gangguan ini menjadi suatu kelainan ketika dentin terpajan dan menjadi berlubang. Gigi
menjadi sensitive secara intermiten dan relasi vertical oklusal perlahan – lahan mengecil.
Penampilan gigi – gigi menjadi kurang menarik. Penyebabnya adalah kombinasi dari grinding
parafungsi, kualitas diet, dan produksi asam oleh aktivitas bakteri terhadap karbohidrat yang
dikonsumsi. Hasil akhirnya kadang – kadang terlihat berupa permukaan gigi yang datar dengan
kurva Monson terbalik yang menunjukkan keausan yang besar dari tonjol pendukung. Keadaan
ini umumnya timbul perlahan – lahan namun kelainan tersebut bisa dipercepat oleh adanya
kebiasaan grinding yang berlebihan dari gigi –geligi.
Efek lain dari gaya parafungsi adalah retaknya gigi yang sering kali merupakan penyebab
umum dari nyeri gigi, walaupun hal ini sering luput dari perkiraan. Kelainan ini juga bisa
mengakibatkan terjadinya fraktur gigi longitudinal atau kerusakan pulpa yang memerlukan
perawatan. Peringatan yang bertujuan preventif harus diberikan kepada pasien sedini mungkin
dan pesawat overlai perlu dibuat agar dipakai pasien sewaktu tidur malam hari (Thomson, 2007).
Respon periodontium terhadap gaya oklusal
Ini disebutkan hanya untuk membedakannya dari kelainan periodontium, dan akan dibahas
lebih lanjut di bawah masalah trauma oklusal. Pendapat yang mengatakan bahwa kelainan
jaringan periodontium berasal dari gaya oklusal yang merugikan dan berlarut – larut tanpa ada
factor pendorong lainnya, belum bisa dibuktikan. Walaupun demikian, gaya ini tetap tidak bisa
dianggap bukan factor yang memperparah lesi yang sudah ada pada jaringan periodontium
(Thomson, 2007).
Mobilitas, jiggling, dan migrasi
Mobilitas atau goyangnya gigi bisa disebabkan oleh gaya oklusal yang berlawanan, tetapi
dalam keadaan tanpa lesi gingival atau periodontium, gigi akan kembali stabil jika gaya
oklusalnya hilang. Jika ada lesi periodontium dan eksfoliasi dalam derajat tertentu, gaya oklusal
15
bisa memperberat mobilitas. Oleh karena itu, interferensi tonjol bisa disebabkan oleh kerusakan
periodontium dan merupakan penyebab kontak premature dan pergeseran gigi. Jadi, dengan
demikian terciptalah lingkaran setan sebab – akibat (Thomson, 2007) .
Jiggling adalah istilah yang kurang ilmiah namun deskriptif untuk menggambarkan gerak
gigi pada satu arah akibat suatu gaya (otot, gigi, atau pesawat) dan reposisinya akibat gaya yang
berlawanan (gigi, otot, atau pesawat yang dilepas). Jadi, gigi insisivus atas yang periodontium
pendukungnya sudah rusak bisa terdorong ke depan oleh insisivus bawah antagonisnya dan bisa
kembali ke posisi semula oleh aktivitas otot bibir. Contoh lain adalah retraksi insisivus atas yang
proklinasi akibat pemakaian pesawat lepasan yang dipakai di malam hari dan kembali ke
posisinya selama siang hari akibat kekuatan lidah atau gigi antagonis ketika pasien melepas
pesawat. Pada contoh pertama, lesi periodontium merupakan factor predisposisi, pada contoh
kedua, pesawat adalah penyebabnya. Suatu kelainan bisa timbul pada kasus terakhir, jika
“perawatan” berlarut – larut, akibat nekrosis traumatic jaringan periodontiumnya. Aktivitas ini
juga merangsang timbulnya gangguan pada pembentukan akar gigi – gigi pada pasien remaja.
Oklusi interkuspa dan kebiasaan parafungsi akan memperberat kedua contoh tersebut dan seperti
pada mobilitas, gigi akan mulai mengalami lingkaran setan sebab – akibat (Thomson, 2007).
Migrasi mengacu pada gerakan gigi dengan periodontium yang rusak yang disebabkan
karena aksi gigi antagonis atau otot tanpa bisa mengalami reposisi. Gigi akan bergerak sampai
mencapai kestabilan posisi antara otot – otot atau gigi yang berlawanan. Kondisi ini biasanya
mengenai gigi – gigi insisivus atas yang akan bermigrasi ke depan atau ke lateral. Seal bibir yang
kurang baik biasanya juga ikut menyebabkan kedaan tersebut. Tidak jarang gigi – gigi ini
bergeser ke luar dari bibir, dan sesudahnya bibir bawah akan menjadi kekuatan tambahan untuk
menggeser gigi (Thomson, 2007).
Pada kelainan – kelainan ini selalu ada kombinasi berbagai penyebab dan selain lesi
periodontium, gaya oklusal dan muscular, sering disertai pula oleh tanggalnya gigi – gigi
pdterior atau overclosure mandibula. Respons patologi lebih lanjut adalah nekrosis jaringan
periodontium yang timbul setelah terjadinya jiggling yang lama, yang tidak mesti didahului oleh
lesi gingival dan lesi periodontium yang kelak timbul. Ini adalah komplikasi yang langka
(Thomson, 2007).
16
Disuse stagnation dan atrofi (insufisiensi mastikasi)
Berkurangnya fungsi akan merangsang terjadinya penumpukan sisa makanan pada gigi – gigi
dan epithelium di sekitarnya. Akibat yang bisa terjadi adalah karies dan iritasi gingival. Ulserasi
dan perdarahan epithelium yang terkena akan mengikuti keadaan tersebut, baik sewaktu gigi –
gigi disikat atau terjadi kadang – kadang ketika mengunyah makanan yang keras (Thomson,
2007).
Disuse atrophy bisa berkembang jika gigi sudah sama sekali keluar dari kontaknya dengan
gigi antagonis atau linger residual. Kondisi ini paling sering mengenai molar kedua atau ketiga.
Perubahan bisa terjadi pada membrane periodontium. Fibroblast cenderung muncul dan serabut
kolagen digantikan dengan reticulum dari jaringan ikat fibrosa. Tulang alveolar cenderung
memiliki trabekula yang lebih sedikit dan lebih tipis dan gigi – gigi tersebut tidak memberi
respons dengan baik terhadap fungsi yang telah dipulihkan jika gigi sudah tidak berfungsi dalam
waktu lama. Penggantian serabut periodontium dengan jaringan ikat fibrosa akan membuat gigi
tidak bisa menahan daya oklusal atau abutment dan tulang membutuhkan perbaikan lebih cepat
daripada yang bisa disediakan untuk kebutuhan fungsional yang mendadak tersebut. Meskipun
demikian, jika fungsinya bisa diperbaiki perlahan – lahan, misalnya dengan memasang basis gigi
tiruan tanpa gigi untuk beberapa waktu, baru kemudian menambahkan elemen gigi, pemulihan
jaringan tersebut bisa terjadi (Thomson, 2007).
Trauma oklusal
Istilah ini mendominasi studi mengenai oklusi, sejak diperkenalkan oleh Stillman dan McCall
(1927) sebagai “oklusi traumatic”. Istilah ini barangkali tidak bisa dipertukarkan karena istilah
yang pertama menunjukkan cedera akibat oklusi sedangkan yang lain berkonotasi oklusi yang
menyebabkan cedera. Walaupun demikian, keduanya tidak bisa disingkirkan dari daftar
gangguan atsu kelainan oklusi. Namun, istilah ini banyak menimbulkn keracunan dan sebaliknya
digunakan bukan sebagai suatu dogma (Thomson, 2007).
17
Istilah ini didefinisikan sebagai cedera pada jaringan periodontium gigi akibat gaya oklusal
gigi atau gigi – gigi antagonis. Trauma oklusal diklasifikasikan sebagai primer atsu sekunder.
Trauma oklusal primer mangacu pada efek gaya abnormal pada jaringan periodontium yang
sehat, sedangkan trauma oklusal sekunder mengacu pada efek gaya oklusal pada periodontium
yang memang sudah berpenyakit. Istilah ini sering menimbulkan pertentangan dan salah
pengertian di kalangan preklinik dan ilmuwan, dan alasannya tidaklah sulit ditemukan. Istilah ini
menimbulkan pertanyaa, ini mengacu pada fakta yang belum terbukti, yaitu bahwa oklusal
menyebabkan cedera pada periodontium. Ada anggapan bahwa hal ini kelihatannya terjadi, dank
arena itu istilah tersebut digunakan. Hipotesis ini belum pernah benar – benar diuji, apalagi
dibuktikan. Memang benar, gaya oklusal menyebabkan gigi bergerak dan menjadi goyang jika
gaya dibiarkan tetap ada, namun gigi – gigi akan kembali stabil jika gaya ditiadakan. Gaya
semacam ini akan memperberat lesi periodontium yang sudah ada tetapi belum terbukti bisa
mengakibatkan munculnya lesi semacam itu kecuali jika lesi gingival sebelumnya memang
sudah ada. Pada situasu tersebut, gaya oklusal akan memicu kerusakan periodontium. Demikian
pula lesi periodontium akan sembuh, jika defek periodonyiumnya diperbaiki (Thomson, 2007).
Gaya oklusal, khususnya yang diarahkan sepanjang bidang aksial, dapat menyababkan
terjepitnya pembuluh yang masuk dan keluar dari kamar pulpa gigi melalui apeks sehingga
mengakibatkan kematian pulpa. Cedera juga bisa disebabkan karena tekanan insisivus pada
gingival antagonis, seperti sudah disebutkan diatas, namun tidak satu pun dari keadaan tersebut
yang dianggap sebagai trauma oklusal. Trauma juga digunakan sebagai alasan terjadinya keausan
permukaan oklusal akibat kebiasaan parafungsi. Istilah “traumatogenik”, yang digunakan oleh
Box (1930) dan berimplokasi kemungkinan menimbulkan trauma, lebih bersifat pengandaian.
Istilah ini mengimplikasikan bahwa cedera bisa disebabkan oleh gaya oklusal lateral yang
mengenai membrane periodontium, dan ini belum pernah terlihat terjadi tanpa ada sebab lain
(Thomson, 2007).
“Trauma oklusal” adalah suatu istilah yang dapat diterapkan untuk keausan permukaan
oklusal gigi – gigi, nekrosis pembuluh pulpa, dan cedera gingival atau mukosa palatal, tetapi
bukan untuk kerusakan jaringan periodontium (Thomson, 2007).
18
2.1.6 Perkembangan ideal dari oklusi gigi geligi tetap
Perkembangan oklusi gigi – geligi tetap bisa dianggap melalui 3 tahapan berikut ini :
1. Erupsi dari molar pertama dan insisivus tetap
2. Erupsi dari kaninus, premolar, dan molar kedua
3. Erupsi dari molar ketiga (Foster, 1997).
Gigi yang masuk ke dalam skema ini adalah gigi kaninus bawah, yang bererupsi pada usia
9 tahun, dan tumbuh di antara tahap pertama dan kedua. Waktu erupsi untuk gigi geligi tetap
dan kisaran variasinya sudah dilaporkan oleh Van der Linden (1983) dan Hagg dan Taranger
(1985) dari hasil penelitian mereka terhadap murid – murid sekolah di Swedia. Pada umumnya,
waktu erupsi adalah lebih dini pada anak perempuan ketimbang anak laki – laki, tetapi hal ini
bervariasi antara berbagai populasi (Foster, 1997).
Tahap 1
Tahap pertama dari perkembangan berhubungan dengan penggantian gigi – gigi
insisivus susu dan penambahan keempat molar pertama tetap pada susunan gigi – geligi.
Keadaan ini biasanya berlangsung pada usia 6 -8 tahun. Insisivus tetap akan bererupsi
sedikit lebih ke proklinasi daripada insisivus susu, dan karena itu membentuk overbite
insisal yang lebih kecil bila gigi – gigi tersebut berkontak oklusal. Proklinasi ini juga
berperan dalam menambah ukuran lengkung rahang (Foster, 1997).
Tahap 2
Tahap perkembangan oklusi gigi geligi tetap yang kedua berkaitan dengan
penggantian molar susu dan kaninus atas oleh premolar dan kaninus atas tetap, dan
penambahan gigi molar kedua. Tahap ini biasanya berlangsung pada usia 10 – 13 tahun
(Foster, 1997).
Tahap 3
19
Erupsi dari molar ketiga pada awal kehidupan dewasa melengkapi perkembangan
oklusi dari gigi geligi tetap. Usia erupsi gigi molar ketiga yang umum adalah 18 – 25
tahun, meskipun gigi ini bisa saja beerupsi lebih cepat atau lebih lambat dari batas usia
ini (Foster, 1997).
Variasi
1. Celah dan kondisi berjejal. Kondisi gigi yang berjejal lebih sering ditemukan biasanya
mengenai insisivus lateral, kaninus, premolar kedua, dan molar ketiga.
2. Hubungan antero – posterior. Bisa terbentuk hubungan Klas 2 atau Klas 3. Variasi pada
inklinasi pada insisivus.
3. Hubungan vertikal. Variasi overbite insisal dan hubungan gigi – gig perkembangan
gigitan terbalik.
4. Hubungan lateral. Perkembangan gigitan terbalik.
5. Posisi gigi individual. Kaninus atas dan molar ketiga bawah sangat mudah terkena posisi
perkembangan acak (Foster, 1997).
2.1.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Oklusal
2.1.7.1 Faktor Oklusal
Faktor-faktor ini bisa dikelompokkan sebagai berikut:
Faktor-faktor umum yang mempengaruhi perkembangan oklusal
1. Faktor skeletal. Ukuran, bentuk, dan posisi relatif dari rahang atas dan bawah
2. Faktor otot. Bentuk dan fungsi otot yang mngelilingi gigi, isalnya otot bibir, pipi dan
lidah.
3. Faktor gigi. Ukuran gigi-geligi dalam hubungannya dengan ukuran rahang (Foster,
1997).
Faktor-faktor lokal yang mempengaruhi perkenbangan oklusal20
1. Posisi perkembangan gigi-gigi yang acak.
2. Adanya gigi-gigi supernumerari.
3. Hipodonsia- tidak adanya gigi tertentu, kongenital.
4. Efek aktifitas kebiasaan tertntu.
5. Anatomi jaringan linak yang terlokalisir-frenulum labial (Foster, 1997).
Faktor-faktor umum selalu ada, menghasilkan oklusal ideal atau variasi oklusal, dan
biasanya ketiga faktor utama tersebut saling brkaitan satu sama lain,. Jadi otot melkat pada
rahang dan variasi pada posisi rahang bisa mnimbulkan variasi pada aksi otot. Variasi yang sama
pada aktivitas otot juga bisa ngubah variasi pada ukuran gigi-geligi. Faktor-faktor lokal bisa ada
sendiri-sendiri atau terkombinasi, dan bisa memperbasar fek merugikan dari satu atau beberapa
faktor umum, menambah komplikasi lbih lanjut pada oklusi gigi-geligi (Foster, 1997).
Faktor-faktor skeletal yang mempengaruhi perkembangan oklusal
Gigi-geligi adalah apendage dari rahang dan didukung oleh tulang alveolar, yang pada
gilirannya berlandaskan pada tulang basal dari rahang. Pembagian tulang-tulang rahang menjadi
komponen basal dan alveolar bersifat artifisial, karna keduanya (Foster, 1997).
Hubungan rahang bisa dikelompokan menjadi tiga :
1. Rahang dalam hubungannya dengan basis kranium.
2. Rahang dalam hubungannya satu sama lain.
3. Tulang alveolar dalam hubungannya dngan tulang alveolar (Foster, 1997).
Rahang dalam hubungannya dengan basis kranium.
21
Rahang adalah bagian dari struktur total kepala, dan setiap rahang mempunyai hubungan
posisional yang bervariasi terhadap struktur lain dari kepala. variasi semacam itu bisa tejadi pada
ketiga bidang, sagital, lateral, dan vertikal, tetapi biasanya paling besar pada bidang sagital dn
vertikal (Foster, 1997).
Rahang dalam hubungannya satu sama lain.
Hubungan rahang satu sama lain juga bervariasi pada ktiga bidang ruang, dan variasi
pada setiap bidang bisa mmpengaruhi oklusi dari gigi-gigi (Foster, 1997).
Hubungan posisional antero- posterior dari bagian basal rahang atas dan bawah, satu
samlain, dengan gigi-gigi berada dalam keadaan oklusi, disebut sebagai hubungan skeletal.
Keadaan ini kadang-kadang disebut juga sebagai hubungan basis gigi, atau pola skeletal.
klasifikasi dari hubungan skeletal sering digunakan yaitu:
Klas 1 skeletal- dimana rahang berada pada hubungan antero-posterior yang idal pada
keadaan oklusi.
Klas 2 skeletal- dimana rahang berada dalam keadaan oklusi, terletak lebih kebelakang
dalam hubungannya dengan rahang atas, dibandingkan pada klas 1 skeletal.
Klas 3 skeletal- dimana rahang bawah pada keadaan oklusi terletak lebih kedepan dari pada
klas 1 skeletal (Foster, 1997).
Variasi pad hubungan skeletal bisa disebabkan oleh:
1. Variasi ukuran rahang
2. Variasi posisi rahang dalam hungannya dengan basis kranium.
Tulang alveolar dalam hubungannya dngan tulang alveolar.
Walaupun tulang alveolar didukung oleh tulang basal, hubungan antara tulang alveolar
atas dan bawah tidak perlu sama seperti antara tulang basal atas dan bawah. Tulang alveolar
berfungsi mendukung gigi-gigi, dan karna itu posisinya lebih selaras dengan gigi daripada
dengan tulang basal. Di samping itu, tulang basal berfungsi sebagai landasan dan hubungan
22
tulang alveolar serta hubungan gigi hanya bisa berbda dengan hubungan basal dalam kisaran
terbatas. ini adalah faktor yang sangat penting pada prwatan ortodonsi. Alasan perbedaan antara
hubungan alveolar dan basal adalah karena posisi gigi tidak seluruhnya ditentukan oleh posisi
rahang (Foster, 1997).
Hubungan skeletal pada perawatan ortodonsi
Hubungan skeletal bukan hanya faktor penting dalam perkembangan oklusal, tetapi juga
berperan penting dalam perawatan otodonsi. Kelihatannya perawatan ortodonsi yang terbatas
hanya pada menggerakkan gigi, efeknya kecil terhadap ukuran , bentuk atau posisi rlatif dari
bagian-bagian basal rahang. Efek langsungnya hanya pada posisi gigi dan pada posisi serta
bentuk tulang alveolar. Oleh karena itu, karena gigi-gigi harus ditempatkan pada tulang basal,
hubungan skeletal harus membatasi jumlah pergrakan gigi yang bisa dilakukan. Khususnya ,
hubungan skeletal membatasi jumlah pergerakan antero-posterior dari gigi-gigi insisivus, dan
mungkin posisi insisivus pada hubungan oklusi klas 2 atau klas 3 tidak bisa diperbaiki jika
berdasarkan pada penyimpangan skeletal klas 2 atau klas 3 yang parah. Dalam istilah praktisnya
adalah relatif mudah untuk mengubah inklinasi gigi-gigi insisivua dan enimbulkan sedikit atau
tampa perubahan terhadap posisi apeks gigi-gigi. ada berbagai macam teknik perawatan yang
bisa menghasilkan gerak apikal dan ini sampai batas tertentu, bisa memperbaiki penyimpangan
skeletal (Foster, 1997).
2.1.7.2Faktor Otot
Posisi akhir dari gigi sangat ditentukan oleh aksi otot,khususnya otot – otot bibir,pipi,dan
lidah. Efek otot – otot ini dimodifikasi oleh posisi perlekatannya pada tulang,misalnya
hubungan skeletal. Bentuk bibir sangat penting dalm menentukan dimensi vertikal dan sagital.
Dimensi vertikal menentukan besar tekanan bibir yang mengenai gigi – gigi. Dimensi sagtal
menentukan posisi tekanan bibir pada gigi – gigi.
Aktivitas bibir bisa memodifikasi efek hubungan skeletal terhadap oklusi gigi –
gigi,terutama melalui terjadinya perubahan inklinasi dari gigi – gigi insivisusyang sedang 23
bererupsi.
Besar lidah,posisi istirahat,dan fungsi bisa mempengaruhi oklusi yang sedang
berkembang.
Postur istirahat adaptif atau penelanan adaptif bisa menyebabkan terbentuknya overbite yang
tidak sempurna. Kebiasaan menjulurkan lidah endogen bisa mempengaruhi posisi gigi insivisus
dan tidak bisa diubah dengan perawatan.
Belum ada kriteria yang cukup untuk bisa membedakan antara aktivitas lidah ”adaptif”
dengan ”endogen”. Efek bicara pada perkembangan oklusal dan efek posisi gigi terhadap bicara
masih belum dimengerti seluruhnya,dan setiap efek yang terlihat kelihatannya dipengaruhi oleh
faktor – faktor lain yang saling berkaitan.
Kebiasaan mengisap jari dan ibu jari serta aktivitas mengisap lainnya,bisa mempengaruhi
oklusi yang sedang berkembang,menyebabkan terbentuknya gigitan terbuka anterior dan gigitan
terbalik unilateral pada beberapa kasus. Efeknya terbatas hanya pada posisi gigi,dan efeknya
terhadap pertumbuhan bagian bsal rahang adlah kecil.
Zona netral kelihatannya ada di dalam rongga mulut,di tempat mana gigi – gigi akan
mempertahankan posisinya yang stabil di bawah pengaruh tekanan otot – otot yang bekerja pada
gigi- gigi itu dan tekanan udara yang berasal dari tekanan otot tersebut.
Mendidik ulang otot – otot mulut untuk membentuk efek yang berbeda pada gigi – gigi
adalah sulit,dan gigi – gigi harus berada pada posisi keseimbangan antara berbagai tekanan,baik
sebelum maupun sesudah perawatan ortodonsi.
Lingkungan muskular dari gigi – gigi tidak mempunyai pola aktivitas yang tetap dapat
berubah selama pertumbuhan,dengan akibat menyebabkan perubahan pada posisi gigi (Foster,
1997).
2.1.7.3 Faktor Dental
Faktor utama yang ketiga yang mempengaruhi perkembangan oklusal gigi geligi adalah
hubungan antara ukuran gigi geligi dengan ukuran rahang tempat terletaknya gigi-gigi tersebut.
Idealnya, harus ada ruangan yang cukup agar gigi-gigi bisa bererupsi ke dalam mulut tanpa
perlu berjejal maupun saling menumpuk. Sudah di perlihatkan bahwa pada gigi geligi
24
susu,situasi ideal di peroleh jika ada celah di antara gigi-gigi anterior. Disni ada kemungkinan
yang lebih besar bahwa gigi-gigi tetap tidak akan tumbuh berjejal-jejal. Pada gigi geligi tetap,
kontak antara gigi-gigiyang berdekatan di anggap cukup baik, meskipun sedikit celah biasanya
lebih baik. Disproporsi pada ukuran gigi geligi rahang tidak selalu muncul berupa susunan
lengkung gigi yang berjejal-jejal. Bentuk dan ukuran lengkung gigi berperan penting dalam
menentukan ruang yang tersedia untuk gigi-gigi. Ukuran lengkung rahang bsa tidak sama
dengan ukuran lengkung dari tulang basal rahang. Hubungan skeletal dan faktor muskular bisa
mengakibatkan lengkung gigi lebih besar atau lebih kecil di bandingkan dengan lengkung
tulang basal, jadi mengurangi atau menambah efek ukuran gigi-gigi yang berlebihan. Oleh
karena itu, dalam mempertimbangkan efek ini, akan lebih realistik bila ukuran gigi gelegi di
pertimbangkan dalam hubungannya denagn ukuran lengkung gigi, bukan dengan ukuran rahang
(Foster, 1997).
2.1.7.4 Faktor Lokal
Faktor-faktor yang lebih bersifat loka, yang bisa mengubah perkembangan posisi dan oklusi
gigi-geligi akan dibicarakan berikut ini. Faktor-faktor ini tidak sering berperan sebagai faktor
pemodifikasi dibandingkan dengan faktor-faktor umum yang sudah dibicarakan pada bab
terdahulu, dan efeknya, tentu saja, tidak terlalu luas, tetapi bisa menambah faktor-faktor umum
dan menimbulkan komplikasi tambahan terhadap perkembangan oklusal. Atau, suatu
kabnormalan lokal bisa saja merupakan satu-satunya faktor pemodifikasi yang ada pada seorang
individu, dengan efek dari faktor-faktor umum yang menguntungkan bagi perkembangan oklusi
ideal (Foster, 1997).
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah :
1. Posisi perkembangan gigi-gigi individu yang acak
2. Adanya gigi-gigi supermerari
3. Hipodonsia perkembangan
4. Frenulum labial (Foster, 1997).
Pada tahap ini juga akan dibicarakan etiologi dari gigitan terbalik bukal dan faktor-faktor yang
mempengaruhi overbite insisal.
25
Posisi Perkembangan Gigi-gigi Individual yang Acak
Posisi perkembangan dari masing-masing gigi, sebelum gigi bererupsi ke dalam mulut, bisa
sedemikian rupa sehingga gigi tidak bererupsi ke posisinya yang tepat di dalam lengkung rahang.
Walaupun sembarang gigi bisa mengalami hal ini, ada gigi-gigi tertentu yang kelihatannya lebih
sering terkena daripada yang lain. Gigi-gigi yang paling umum berkembang pada posisi acak
adalah kaninus atas, molar ketiga bawah, insisivus sentral atas, dan insisivus lateral bawah,
semuanya pada gigi-geligi tetap (Foster, 1997).
Posisi perkembangan acak bisa disebabkan oleh trauma, atau oleh faktor etiologi yang tidak
diketahui. Walaupun susunan gigi-geligi yang berjejal merupakan penyebab umum dari
malposisi gigi, susunan yang berjejal tidak akan dibicarakan di sini, dalam kaitannya sebagai
penyebab posisi perkembangan yang acak (Foster, 1997).
Trauma yang mempengaruhi posisi perkembangan
Gigi-gigi yang paling sering nampak berkembang tidak akurat adanya trauma adalah gigi
insisivus sentral atas. Riwayat tipikal dari keadaan ini adalah anak pernah mengalami bentruan
yang keras pada regio insisivus atas gigi-gigi susu, biasanya sewaktu berusia 4-6 tahun. Gigi
insisivus sentral atas susu bisa saja impaksi ke atas, ke prosesus alveolaris. Kadang-kadang tidak
ditemukan adanya riwayat semacam ini, yang menunjukkan bahwa bahkan kerusakan yang
relatif kecil, yang tidak diingat orang tua, bisa mempengaruhi perkembangan gigi-gigi insisivus
tetap, meski pun Howard (1969) mengatakan bahwa jika tidak ada riwayat trauma dan khususnya
jika hanya ada sedikit atau tidak ada dilaserasi, gigi barangkali memang sudah tergeser
(kongentila) bukannya terkena trauma. Pada tahap perkembangan selanjutnya, gigi-gigi insisivus
tetap akan gagal bertumbuh, dan hasil pemeriksaan radiografi akan memperlihatkan:
1. Bahwa mahkota malposisi
2. Bahwa akar dilaserasi (Foster, 1997).
2.2 Temporo Mandibular Joint.
26
2.2.1 Definisi Temporomandibular Joint (TMJ).
Sendi rahang atau Temporomandibular Joint (TMJ) belum banyak dikenal orang awam,
padahal bila sendi ini terganggu dapat memberi dampak yang cukup besar terhadap kualitas
hidup (Pedersen, 1996).
TMJ adalah sendi yang kompleks, yang dapat melakukan gerakan meluncur dan rotasi
pada saat mandibula berfungsi. Mekanismenya unik karena sendi kiri dan kanan harus bergerak
secara sinkron pada saat berfungsi. Tidak seperti sendi pada bagian tubuh lain seperti bahu,
tangan atau kaki yang dapat berfungsi sendiri-sendiri. Gerakan yang terjadi secara simultan ini
dapat terjadi bila otot-otot yang mengendalikannya dalam keadaan sehat dan berfungsi dengan
baik (Pedersen, 1996).
Istilah Temporomandibular Disorders (TMD) diusulkan oleh Bell pada tahun 1982, yang
dapat diterima oleh banyak pakar. Gangguan sendi rahang atau TMD adalah sekumpulan gejala
klinik yang melibatkan otot pengunyahan, sendi rahang, atau keduanya (Pedersen, 1996).
2.2.2 Anatomi Temporo Mandibulae Joint (TMJ).
Sendi temporomandibular (sendi rahang) merupakan salah satu organ yang berperan
penting dalam sistem stomatognatik (Pedersen, 1996).
27
Temporomandibula merupakan sendi yang bertanggung jawab terhadap pergerakan
membuka dan menutup rahang mengunyah dan berbicara yang letaknya dibawah depan
telinga.Sendi temporomandibula merupakan satu-satunya sendi di kepala, sehingga bila terjadi
sesuatu pada salah satu sendi ini, maka seseorang mengalami masalah yang serius. Masalah
tersebut brupa nyeri saat membuka, menutup mulut, makan, mengunyah, berbicara, bahkan dapat
menyebabkan mulut terkunci . Lokasi sendi temporomandibular (TMJ) berada tepat dibawah
telinga yang menghubungkan rahang bawah (mandibula) dengan maksila (pada tulang
temporal). Sendi temporomandibular ini unik karena bilateral dan merupakan sendi yang paling
banyak digunakan serta paling kompleks (Pedersen, 1996).
Kondil tidak berkontak langsung dengan permukaan tulang temporal, tetapi dipisahkan
oleh diskus yang halus, disebut meniskus atau diskus artikulare. Diskus ini tidak hanya perperan
sebagai pembatas tulang keras tetapi juga sebagai bantalan yang menyerap getaran dan tekanan
yang ditransmisikan melalui sendi. Permukaan artikular tulang temporal terdiri dari fossa
articulare dan eminensia artikulare. Seperti yang lain, sendi temporomandibular juga dikontrol
oleh otot, terutama otot penguyahan, yang terletak disekitar rahang dan sendi
temporomandibular. Otot-otot ini termasuk otot pterygoid interna, pterygoid externa, 28
mylomyoid, geniohyoid dan otot digastrikus. Otot-otot lain dapat juga memberikan pengaruh
terhadap fungsi sendi temporomandibular, seperti otot leher, bahu, dan otot punggung (Pedersen,
1996).
Ligamen dan tendon berfungsi sebagai pelekat tulang dengan otot dan dengan tulang lain.
Kerusakan pada ligamen dan tendon dapat mengubah kerja sendi temporomandibular, yaitu
mempengaruhi gerak membuka dan menutup mulut (Pedersen, 1996).
Sendi temporomandibular, atau TMJ, adalah artikulasi antara kondilus mandibula dan
bagian skuamosa tulang temporal (Pedersen, 1996).
kondilus ini berbentuk eliptik dengan sumbu panjang berorientasi mediolaterally (Pedersen,
1996).
29
Permukaan artikular tulang temporal terdiri dari fosa artikular cekung dan cembung
eminensia artikularis (Pedersen, 1996).
Meniskus adalah pelana, struktur berserat yang memisahkan kondilus dan tulang temporal.
meniskus bervariasi dalam ketebalan: pusat, zona antara tipis tebal memisahkan bagian-
bagian yang disebut band anterior dan posterior band. Posterior, meniskus yang
berdekatan dengan jaringan lampiran posterior disebut zona bilaminar. Zona bilaminar
adalah diinervasi, jaringan pembuluh darah yang memainkan peran penting dalam
memungkinkan kondilus untuk memindahkan foreward. Para meniskus dan lampirannya
membagi bersama ke dalam ruang superior dan inferior. Ruang bersama superior dibatasi
di atas oleh fosa artikular dan eminensia artikularis. Ruang bersama inferior dibatasi di
bawah oleh kondilus tersebut. Kedua ruang bersama memiliki kapasitas kecil, umumnya 1cc
atau kurang (Pedersen, 1996).
30
31
Mandibula memiliki dua cabang.
1. Cabang posterior (tersembunyi pada gambar di atas belakang beberapa ligamen yang
memegang tulang rahang kuat di tempat) sesuai snuggly menjadi berongga pada tulang
Temporal, tepat di depan telinga.
2. Cabang anterior adalah untuk lampiran dari otot temporalis (Pedersen, 1996).
2.2.3 Otot-otot yang berperan di Temporo Mandibulae Joint
M. Masseter
M. Pterygoideus Externa et Interna
M. Mylohyoid
M. Temporalis
M. Geniohyoid32
M. Digastricus Venter anterior et posterior (Pedersen, 1996).
2.2.4 Nervus yang mempersarafi Temporo Mandibulae Joint
Nervus Mandibularis.
Nervus Aurikutemporal.
Nervus maseterikus.
Nervus Fascialis (Pedersen, 1996).
Persyarafan sensorik pada sendi temporomandibula yang terpenting dilakukanj oleh nervus
aurikutemporal yang merupakan cabang pertama posterior dari nervus mandibularis. Saraf lain
yang berperan adalah nervus maseterikus dan nervus temporal. Nervus maseterikus bercabang
lagi di depan kapsul dan meniskus. Nervus aurikutemporal dan nervus maseterikus merupakan
serabut – serabut properioseptif dari implus sakit nervus temporal anterior dan posterior
melelwati bagian lateral muskulus pterigoideus, yang selanjutnya masuk ke permukaan dari
muskulus temporalis, saluran spinal dari nervus trigeminus. Permukaan fibrous artikular,
fibrokartilago, daertrah sentral meniskus dan membran sinovial tidak ada persyarafannya
(Pedersen, 1996).
2.2.5 Fisiologi Pergerakan Sendi Temporo Maandibula
Berdasarkan hasil penelitian elektromiografi, gerak mandibula dalam hubungannya
dengan rahang atas dapat diklasifikasikan sebagai berikut yaitu :
Gerak membuka
Seperti sudah diperkirakan, gerak membuka maksimal umumnya lebih kecil daripada
kekuatan gigitan maksimal (menutup). Muskulus pterygoideus lateralis berfungsi menarik
prosessus kondiloideus ke depan menuju eminensia artikularis. Pada saat bersamaan, serabut
posterior muskulus temporalis harus relaks dan keadaan ini akan diikuti dengan relaksasi
muskulus masseter, serabut anterior muskulus temporalis dan muskulus pterygoideus medialis
yang berlangsung cepat dan lancar. Keadaan ini akan memungkinkan mandibula berotasi di
33
sekitar sumbu horizontal, sehingga prosessus kondilus akan bergerak ke depan sedangkan
angulus mandibula bergerak ke belakang. Dagu akan terdepresi, keadaan ini berlangsung dengan
dibantu gerak membuka yang kuat dari muskulus digastricus, muskulus geniohyoideus dan
muskulus mylohyoideus yang berkontraksi terhadap os hyoideum yang relatif stabil, ditahan
pada tempatnya oleh muskulus infrahyoidei. Sumbu tempat berotasinya (Pedersen, 1996).
1. Gerak membuka
2. Gerak menutup
3. Protrusi
4. Retusi
5. Gerak lateral
mandibula tidak dapat tetap stabil selama gerak membuka, namun akan bergerak ke
bawah dan ke depan di sepanjang garis yang ditarik (pada keadaan istirahat) dari prosessus
kondiloideus ke orifisum canalis mandibularis (Pedersen, 1996).
Gerak menutup
Penggerak utama adalah muskulus masseter, muskulus temporalis, dan muskulus
pterygoideus medialis. Rahang dapat menutup pada berbagai posisi, dari menutup pada posisi
protrusi penuh sampai menutup pada keadaan prosesus kondiloideus berada pada posisi paling
posterior dalam fosa glenoidalis. Gerak menutup pada posisi protrusi memerlukan kontraksi
muskulus pterygoideus lateralis, yang dibantu oleh muskulus pterygoideus medialis. Caput
mandibula akan tetap pada posisi ke depan pada eminensia artikularis. Pada gerak menutup
retrusi, serabut posterior muskulus temporalis akan bekerja bersama dengan muskulus masseter
untuk mengembalikan prosesus kondiloideus ke dalam fosa glenoidalis, sehingga gigi geligi
dapat saling berkontak pada oklusi normal (Pedersen, 1996).
Pada gerak menutup cavum oris, kekuatan yang dikeluarkan otot pengunyahan akan
diteruskan terutama melalui gigi geligi ke rangka wajah bagian atas. Muskulus pterygoideus
lateralis dan serabut posterior muskulus temporalis cenderung menghilangkan tekanan dari caput
mandibula pada saat otot-otot ini berkontraksi, yaitu dengan sedikit mendepresi caput selama
34
gigi geligi menggeretak. Keadaan ini berhubungan dengan fakta bahwa sumbu rotasi mandibula
akan melintas di sekitar ramus, di daerah manapun di dekat orifisum canalis mandibular.
Walaupun demikian masih diperdebatkan tentang apakah articulatio temporomandibula
merupakan sendi yang tahan terhadap stres atau tidak. Hasil-hasil penelitian mutakhir dengan
menggunakan model fotoelastik dan dengan cahaya polarisasi pada berbagai kondisi beban
menunjukkan bahwa artikulasio ini langsung berperan dalam mekanisme stress (Pedersen, 1996).
Protrusi
Pada kasus protrusi bilateral, kedua prosesus kondiloideus bergerak ke depan dan ke
bawah pada eminensia artikularis dan gigi geligi akan tetap pada kontak meluncur yang tertutup.
Penggerak utama pada keadaan ini adalah muskulus pterygoideus lateralis dibantu oleh muskulus
pterygoideus medialis. Serabut posterior muskulus temporalis merupakan antagonis dari
kontraksi muskulus pterygoideus lateralis. Muskulus masseter, muskulus pterygoideus medialis
dan serabut anterior muskulus temporalis akan berupaya mempertahankan tonus kontraksi untuk
mencegah gerak rotasi dari mandibula yang akan memisahkan gigi geligi. Kontraksi muskulus
pterygoideus lateralis juga akan menarik discus artikularis ke bawah dan ke depan menuju
eminensia artikularis. Daerah perlekatan fibroelastik posterior dari diskus ke fissura
tympanosquamosa dan ligamen capsularis akan berfungsi membatasi kisaran gerak protrusi ini
(Pedersen, 1996).
Retrusi
Selama pergerakan, kaput mandibula bersama dengan discus artikularisnya akan
meluncur ke arah fosa mandibularis melalui kontraksi serabut posterior muskulus temporalis.
Muskulus pterygoideus lateralis adalah otot antagonis dan akan relaks pada keadaan tersebut
(Pedersen, 1996).
Otot-otot pengunyahan lainnya akan berfungsi mempertahankan tonus kontraksi dan
menjaga agar gigi geligi tetap pada kontak meluncur. Elastisitas bagian posterior discus
articularis dan capsula articulatio temporomandibularis akan dapat menahan agar diskus tetap
berada pada hubungan yang tepat terhadap caput mandibula ketika prosesus kondiloideus
bergerak ke belakang (Pedersen, 1996).
35
Gerak lateral
Pada saat rahang digerakkan dari sisi yang satu ke sisi lainya untuk mendapat gerak
pengunyahan antara permukaan oklusal premolar dan molar, prosesus kondiloideus pada sisi
tujuan arah mandibula yang bergerak akan ditahan tetap pada posisi istirahat oleh serabut
posterior muskulus temporalis sedangkan tonus kontraksinya akan tetap dipertahankan oleh otot-
otot pengunyahan lain yang terdapat pada sisi tersebut. Pada sisi berlawanan prosesus
kondiloideus dan diskus artikularis akan terdorong ke depan ke eminensia artikularis melalui
kontraksi muskulus pterygoideus lateralis dan medialis, dalam hubungannya dengan relaksasi
serabut posterior muskulus temporalis. Jadi, gerak mandibula dari sisi satu ke sisi lain terbentuk
melalui kontraksi dan relaksasi otot-otot pengunyahan berlangsung bergantian, yang juga
berperan dalam gerak protrusi dan retrusi Pada gerak lateral, caput mandibula pada sisi
ipsilateral, ke arah sisi gerakan, akan tetap ditahan dalam fosa mandibularis. Pada saat
bersamaan, caput mandibula dari sisi kontralateral akan bergerak translasional ke depan.
Mandibula akan berotasi pada bidang horizontal di sekitar sumbu vertikal yang tidak melintas
melalui caput yang ‘cekat’, tetapi melintas sedikit di belakangnya. Akibatnya, caput ipsilateral
akan bergerak sedikit ke lateral, dalam gerakan yang dikenal sebagai gerak Bennett (Pedersen,
1996).
Selain menimbulkan pergerakan aktif, otot-otot pengunyahan juga mempunyai aksi
postural yang penting dalam mempertahankan posisi mandibula terhadap gaya gravitasi. Bila
mandibula berada pada posisi istirahat, gigi geligi tidak beroklusi dan akan terlihat adanya celah
atau freeway space diantara arkus dentalis superior dan inferior (Pedersen, 1996).
2.2.6 Keabnormala pada proses TMJ diantara:
Dislokasi , misalnya luksasi terjadi bila kapsul dan ligamen temporomandibula
mengalami gangguan sehingga memungkinkan processus condylaris untuk bergerak lebih
kedepan dari eminentia articularis dan ke superior pada saat membuka mulut. Kontriksi otot dan
spasme yang terjadi selanjutnya akan mengunci processus condylaris dalam posisi ini, sehingga
mengakibatkan gerakan menutup. Dislokasi dapat terjadi satu sisi atau dua sisi, dan kadang
terjadi secara sepontan bila mulut dubuka lebar, misalnya pada saat makan atau mengunyah.
Dislokasi dapat juga ditimbulkan oleh trauma saat penahanan mandibula waktu dilakukan 36
anestesi umum atau akibat pukulan. Dislokasi dapat bersifat kronis dan kambuh, dimana pasien
akan mengalami serangkaian serangan yang menyebabkan kelemahan abnormal kapsul
pendukung dan ligamen(subluksasi kronis) (Pedersen, 1996).
Kelainan internal, ini jika perlekatan meniscus pada kutub processus condylaris lateral
mengendur atau terputus, atau jika zona bilaminar mengalami kerusakan atau degenerasi akibat
trauma atau penyakit sendi ataupun keduanya, maka stabilitas sendi akan terganggu. Akibatnya
akan terjadi pergeseran discus kearah anteromedial akibat tidak adanya penahanan terhadap
pergerakan musculus pterygoideus laterralis superior. Berkurangnya pergeseran kearah anterior
yang spontan dari discus ini akan menimbulkan ”kliking” yang khas, yang akan terjadi bila jarak
antara insisal meningkat. Sumber ”kliking”sendi ini berhubungan dengan pergeseran prosescus
condylaris melewati pita posterior meniscus yang tebal. Dengan memendeknya pergeseran
anterior dari meniscus, terjadi ”kliking” berikutnya. Pada tahap inilah discus akan bersifat
fibrokartilagenus, yang mendorong terbentuknya konfirgurasi cembung-cembung (Pedersen,
1996).
Closed lock merupakan akibat dari pergeseran discus ke anterior yang terus bertahan.
Bila pita posterior dari discus yang mengalami deformasi tertahan di anterior processus
condylaris, akan terbentuk barier mekanis untuk pergeseran processus condylaris yang normal.
Jarak antar insisial jarang melebihi 25 mm, tidak terjadi translasi, dan fenomena “clicking”
hilang. Closed lock dapat terjadi sebentar-sebentar dengan disela oleh “clicking” dan “locking”,
atau bisa juga bersifat permanen. Pada kondisi parsisten, jarak antar insisal secara bertahap akan
meningkat akibat peregangan dari perlekatan posterior discus, dan bukannya oleh karena
pengurangan pergeseran yang terjadi. Keadaan ini dapat berkembang ke arah perforasi discus
yang disertai dengan osteoarthritis pada processus condylaris dan eminentia articularis
(Pedersen, 1996).
Closed lock akut Keadaan closed lock yang akut biasanya diakibatkan oleh trauma yang
menyebabkan processus condylaris terdorong ke posterior dan akibat terjadi cedera pada
perlekatan posterior. Rasa sakit atau tidak enak yang ditimbulkan dapat sangat parah, dan
37
keadaan ini kadang disebut sebagai discitis. Discitis ini lebih menggambarkan keradangan pada
perlekatan discus daripada keadaan discus yang avaskular/aneural (Pedersen, 1996).
Artritis. Keradanga sendi temporomandibula yang disebabkan oleh trauma, atritis
tertentu, dan infeksi disebut sebagai artritis. Trauma, baik akut atau pun kronis, menyebabkan
suatu keadaan progresif yang ditandai dengan pembekaan, rasa sakit yang timbul hilang dan
keterbatasan luas pergerakan sendi yang terlibat (Pedersen, 1996).
Spasme otot. Miospasme atau kekejangan otot, yaitu kontraksi tak sadar dari satu atau
kelompok otot yang terjadi secara tiba-tiba, biasanya nyeri dan sering kali dapat menimbulkan
gangguan fungsi. Devisiasi mandibula saat membuka mulut dan berbagai macam
gangguan/keterbatasan pergerakan merupakan tanda obyektif dari miospasme. Bila musculus
maseter dan temporalis mengalami kekejangan satu sisi, maka pergerakan membuka dari
mandibula akan tertahan, dan akan terjadi deviasi mandibula ke arah sisi yang kejang. Pada saat
membuka mulut mengunyah dan menutupkan gerakan akan timbul rasa nyeri ekstraartikular.
Bil;a musculus pterygoideus lateralis inferior mengalami spasme akan terjadi maloklusi akut,
yang ditunjukkan dengan tidak beroklusinya gigi-gigi posterior pada sisi yang sama dengan
musculus tersebut, dan terjadi kontak prematur gigi-gigi anterior pada sisi yang berlawanan.
Nyeri akibat spasme pterygoideus lateralis kadang terasa pada sendi itu sendiri. Bila terjadi
kekejangan pada musculus masseter, temporalis, dan musculus pterygoideus lateralis inferior
terjadi secara berurutan, baik unilateral ataupun bilateral, maka dapat timbul maloklusi akut
(Pedersen, 1996).
Oklusi. Pemeriksan gigi secara menyeluruh dengan memperhatikan khususnya faktor
oklusi, merupakan awal yamg tepat. Gangguan oklusi secara umum bisa langsung diperiksa,
yaitu misalnya gigitan silang, gigitan dalam, gigi supraerupsi dan daerah tak bergigi yang tidak
direstorasi. Abrasi ekstrem dan aus karena pemakain seringakali merupakan tanda khas penderita
bruxism, yang bisa langsung dikenali. Protesa yang digunakan diperiksa stabilitas, fungsi dan
abrasi/aus pada oklusal (Pedersen, 1996).
Sters. Walaupu sters dikatakan memiliki peranan etiologis yang penting dalam dialami
penderita atau reaksi penderita dalam menghadapinya. Beberapa penderita akan mengalami 38
kualitas tidurnya menjadi rendah dengan mulai timbulnya bruxism dengan keadaan sters
(Pedersen, 1996).
2.2.7 Penatalaksanaan untuk penyakit TMJ ini terdap 2 cara, yaitu secara konservatif dan
pembedahan.
Terapi TMJ yang paling konservatif meliputi terapi fisik, obat-obatan dan mekanis.
Metode ini sering digunakan secara bersamaan.
Terapi Fisik.
Pendekatan paling dasar untuk gangguan fungsi/penyakit TMJ adalah secara fisik.
Kompres panas pada otot yang kaku seringkali dapat menghilangkan nyeri otot dan kaku. Pasien
diintruksi untuk membatasi jarak antar insisal pada saat membuka mulut, untuk menghindari
“kliking”. Pemijatan otot yang nyeri dapat membantu meregangkan gejala nyeri kronis
(Pedersen, 1996).
Manipulasi.
Manipulasi dapat dilakukan dalam terapi TMJ untuk mengurangi dislokasi mandibular
dan pergeseran discus ke anterior.
Karena keradangan merupakan bagian dari gangguan fungsi sendi baik intra maupun
ekstra-artikular, maka diindikasikan penggunaan bahan anti radang non-steroid. Aspirin,
ibuprofen, dan Naproxen merupakan obat-obatan yang efektif .
Mekanisme. Penatalaksanaan penyakit fungsi sendi temporomandibula secara mekanis
meliputi penggunaan splint, penyesuaian oklusal, retorasi prostetik (Pedersen, 1996).
Penatalaksanaan pembedahan, beberapa keadaan tertentu hanya dapat ditangani secara
pembedahan. Penatalaksanaan pembedahan dilakukan bila secara konservatif gagal. Kasus yang
ditangani secara pembedahan seperti, ankilosis tulang, eksisi neoplasia, hiperplasia procesus
39
condylaris, rekonstruksi processus condylaris, dan penanganan beberapa fraktur subcondylaris
secara pembedahan (Pedersen, 1996).
BAB III
PEMBAHASAN
Oklusi gigi geligi merupakan salah satu sistem mastikasi akan berjalan normal apabila
adanya interaksi yang berjalan seimbang dari setiap komponen mastikasi yang terlibat. Apabila
adanya perubahan – perubahan kecil dalam hubungan kontak oklusi yang menghambat adanya
oklusi normal dapat memicu timbulnya kelainan STM yaitu gangguan fungsional. Yaitu masalah
– masalah STM yang timbul akibat fungsi yang menyimpang karena adanya kelainan posisi dan /
fungsi gigi geligi, atau otot kunyah.
Gejala kelainan STM dapat dikelompokkan menjadi rasa nyeri, bunyi, dan disfungsi.
Rasa nyeri adalah gejala yang bersifat subjektif dan sulit dievaluasi.Dan setiap orang memiliki
ambang batas yang berbeda dan penerimaan yang berbeda terhadap rasa nyeri, dan mungkin juga
terdapat factor psikogenik. Beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan sifat rasa nyeri,
berdenyut-denyut, terbakar, dan samar-samar. Daerah penyebaran rasa nyeri yang paling sering
dari sendi adalah telinga, pipi, dan daerah temporal. Bunyi keletuk sendi terdengar sewaktu
pasien membuka dan menutup mulut. 40
1. Ketidak mampuan untuk mengoklusikan gigi – gigi dengan normal. Kekakuan sendi meru-
pakan keluhan yang paling sering terjadi. Kadang kala terdpat keterbatasan membuka dan
gerakan mandibula yang terbatas, saat mengunyah tidak terdapat koordina sirahang sehingga
dirasakan tidak nyaman waktu mengunyah. Dan keluhan lain adalah sakit kepala.
Nyeri pada otot adalah suatu bentuk penyakit yang ada didalam tubuh dapat terjadi
karena stimulus sepertipanas, tekanan, atau bahan kimia. Penyakit ini mempunyai efek yang
berhubun gandengan sensoris, motoris, atau autonom. Nyeri yang berasal dari otot adalah
penyebab nyeri yang sering terjadi pada kepala dan leher. Rasa nyeri pada otot adalah suatu
penyakit yang dirasakan menyebar seperti adanya tekanan yang bervariasi, dapat dirasa sebagai
berbagai perubahan intensitas tekanan. Rasa nyeri tersebut tidak mudah dilokalisir, dan sulit di
identifikasi oleh pasien. Dengan kata lain, sumber dan lokasi dari nyeri dapat berbeda. Nyeri
pada otot di daerah orofasial dipengaruhi oleh kerja fungsional otot selama pengunyahan.
Dari factor oklusi yang mana bila terjadi ketidak seimbangan oklusi dapat terjadi
disfungsi pada sendi temporomandibula. Padahal ini gigi-geligi memegang peranan penting
untuk menjaga agar oklusi dapat berkontak dengan baik antara gigi-gigi antagonisnya. Gigi –
gigi tetangga yang hilang secara betahap akan mengalami perubahan posisi, dimana perubahan
tersebut menyebabkan gerakan artikulas itidak lancar, dan pada gigi lawannya akan mengalami
ekstrusi.
41
BAB IV
KONSEP MAPPING
42
TMJ
ANATOMI SARAF &
OTOT
FISIOLOGI
NON OKLUSA
L
OKLUSAL
POSISI MANDIBULA
MANDIBULA
……………..
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Nyeri merupakan gejala yang akan ditemui dalam praktek sehari-hari oleh seorsang dokter
gigi. Untuk menanganinya, perlu dicari faktor dasar yang menyebabkannyeri tersebut. Gangguan
temporomandibular ternyata sering terjadi pada populasi umum. Gejala yang sering terjadi pada
gangguan ini adalah nyeri. Oleh sebab itu, penting sekali seorang dokter umum memasukan
gangguan temporomandibular untuk dipertimbangkan sebagai diagnosis kerja.
Agar dapat mengenali gangguan temporomandibular ini, tentu seorang dokter harus
memahami sifat dari penyakit ini. Faktor oklusi ternyata penting dalam presipitasi gejala nyeri
pada gangguan temporomandibular.
Gangguan temporomandibular merupakan gangguan yang kompleks. Diperlukan tinjauan
dari berbagai multidisiplin. Dalam menangani kasus gangguan temporomandibular, diperlukan
kerjasama tim yang baik. Salah satu faktor yang penting dalam gangguan temporomandibular
adalah kelainan pada gigi / oklusi gigi geligi. Kerjasama yang baik antara pasien dan dokter gigi
43
OKLUSI IDEAL
OKLUSI
OKLUSI TIDAK IDEAL
KELAINANNORMAL
GANGGUAN
dapat membantu pasien dengan kelainan temporomandibular dalam proses penyembuhan
penyakitnya
5.2. Saran
Adapun saran dari makalah ini adalah
1. Dokter umum perlu mengetahui kelainan temporomandibular.
2. Terapi yang tepat bagi gangguan nyeri pada TMJ dapat membantu pasien baik secara
emosional, waktu, maupun materi.
3. Pertimbangkan gangguan teporomandibular dalam menghadapi kasus nyeri kronik.
4. Perlu kerjasama yang baik antara berbagai bidang keilmuan dalam tatalaksana nyeri pada
TMJ.
DAFTAR PUSTAKA
Foster, T.D. Buku Ajar Orthodonsi Edisi III. Jakarta: EGC
Gordon W, Pedersen. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC
Harty F.J. 1987. Kamus kedokteran gigi. Jakarta:EGC.
Thomson, Hamish. 2007. Oklusi Edisi II. Jakarta: EGC
44