Upload
dwi-wirastomo
View
104
Download
3
Embed Size (px)
PRESENTASI KASUS BEDAH PLASTIK
SEORANG LAKI-LAKI 16 TAHUN DENGAN FRAKTUR
ZYGOMATICUS DEKSTRA ET SINISTRA DAN OPEN FRAKTUR
PHALANG PROKSIMAL DIGITI IV DAN METATARSAL V PEDIS
DEKSTRA
Oleh :
Ancilla Cherisha Illinantas G9911112016
Ayu Indrasari G9911112028
Dessy Hayu Pratiwi G9911112045
Periode : 3 Desember 2012 – 8 Desember 2012
Pembimbing :
dr. Amru Sungkar, Sp.B, Sp.BP
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
SMF ILMU BEDAH FK UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2012
STATUS PASIEN
A. ANAMNESA
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. H
Umur : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Pilangdoyong Kemusu Boyolali Jawa Tengah
No RM : 01164417
Masuk RS : 30 November 2012
Pemeriksaan : 3 Desember 2012
Ruang perawatan : Mawar 2
2. KELUHAN UTAMA
Penurunan kesadaran dan nyeri wajah dan jari kaki keempat kanan
setelah kecelakaan lalu lintas.
3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
2 jam SMRS pasien mengendarai sepeda motor bertabrakan
dengan motor lain dari arah berlawanan. Pasien terjatuh dengan posisi
tidak diketahui. Pasien pingsan (+), mual (-), muntah (-), kejang (-).
Oleh penolong pasien dibawa ke Puskesmas Kenusu I dan dipasang
infus, injeksi obat-obatan. Karena keterbatasan sarana, pasien dirujuk
ke RSDM dengan diagnosis CKB.
4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaaan umum : penurunan kesadaran, lemah
Primary Survey :
Airway : Bebas
Breathing : Nafas spontan, thorakoabdominal dengan RR 20x/menit
Circulation : Heart Rate 76x/menit, tensi 120/60 mmhg
Disability : GCS E4V5M6, lateralisasi (-), pupil isokor (3mm/3mm)
Exposure : Suhu 36,8o C, jejas (+) lihat status lokalis.
Secondary survey :
Kepala : jejas (+) lihat status lokalis
Mata : periorbital hematoma (+/+) telekantus (-)
Hidung : bloody discharge (+/+) darah kering (-/-)
Telinga : Sekret (-/-) darah (-/-) tragus pain (-/-)
Mulut : Maloklusi (+) open bite, gigi goyang (-) gigi tanggal (-)
Leher : Step off (-) KGB membesar (-)
Thorax : Jejas (-), Normochest, simetris, retraksi (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan= kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), ST (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-) defense muscular (-)
Ekstremitas : status lokalis
C. STATUS LOKALIS
R. frontal :
Inspeksi : vulnus apertum ukuran 2x1 cm dasar sub kutis
Palpasi : hipoestesi (-/-)
R. Midfacial
Inspeksi : vulnus excoriasi, pendataran iminen (+/+)
Palpasi : hipoestesi (+/+)
R. Digiti IV pedis dekstra :
Look : vulnus apertum ukuran 1x1 cm, deformitas (+) ke lateral
Feel : NVD (-)
Movement : ROM terbatas karena nyeri
D. ASSESMENT I
Comotio cerebri GCS E3V5M6
Vulnus appertum regio frontal
Suspek open fraktur phalang digiti IV pedis dekstra
Suspek fraktur zygomaticus dekstra et sinistra
E. PLANNING DIAGNOSTIK I
O2 3 lpm
IVFD D5 ½ NS 20 tpm
Inj. Ceftriaxon 1gr/12jam
Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
Inj. Ketorolac 1 amp / 8 jam
Cek DR 3, gol darah, PT, APTT, HBSAg
CT scan kepala multi slice
Foto Roentgen Thorak AP
Foto Roentgen Pedis dekstra AP/oblique
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 1 Desember 2011
• Hb : 16,3 gr/dl
• Hct : 45 vol%
• AE : 5,11 juta/uL
• AL : 24,8 ribu/uL
• AT : 461 ribu/uL³
• Gol darah : O
• PT : 16.9 detik
• APTT : 36 detik
• HBsAg : non reaktif
2. Hasil Pemeriksaan CT Scan
Tanggal 30 November 2012
Tampak lesi isodense di sunus maksilaris kanan kiri, etmoidalis
kanan kiri dan sinus speniodalis
Midline shifting (-)
Sulci dan giri tampak merapat
Sistem ventrikel dan sisterna tak tampak kelainan
Pons, cerebellum dan cerebelopontine angle tak tampak kelainan
Tak tampak kalsifikasi abnormal
Orbita dan mastoid kanan kiri tak tampak kelainan
Bone window : tampak fraktur os zygomaticum kann kiri, os nasal
Kesan :
Lesi isodense di sinus maksilaris kanan kiri etmoidalis kanan kiri
dan sinus spenoidalis dapat merukapakan fraktur os. Zygomaticum
kanan kiri dan os nasal
Edema cerebri
3. Hasil Pemeriksaan Roentgen Thorak AP
Tanggal 30 November 2012
Cor : besar dan bentuk kesan normal
Pulmo : tak tampak infiltrate, corakan bronkovaskular normal
Sinus costophrenicus kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesan : cor dan pulmo tak tampak kelainan
4. Hasil pemeriksaan Roentgen Pedis AP/oblique dekstra
Tanggal 30 November 2012
Tampak fraktur phalang proksimal digiti 4, metatarsal digiti 5
pedis kanan
Trabekulasi tulang di luar lesi tampak baik
Celah dan permukaan sendi di luar lesi tampak baik
Tak tampak soft tissue mass/swelling
Kesan :
Fraktur phalang proksimal digiti4, metatarsal digiti 5 pedis kanan
G. ASSESMENT II
Edema cerebri
Fraktur zygomaticus dekstra et sinistra
Multiple vulnus terhecting
Open fraktur phalang proksimal digiti IV pedis dekstra dan metatarsal V
pedis dekstra
H. PLAN II
Cito debridement + ORIF phalanx proximal digiti IV dan metatarsal V pedis
dekstra
Konsul anestesi
ORIF elektif close fracture zigomatic dekstra et sinistra
Infus KAEN 3B 20 tpm
Injeksi ceftriaxone 2 gr/24 jam
Injeksi metronidazole 1 fl/8 jam
Injeksi ketorolac 1 ampul /8 jam
Injeksi ranitidine 1 ampul/12 jam
I. Laporan operasi 01 Desember 2012
1. Supinasi dalam RA
2. Sterilkan daerah operasi
3. Debridement (+)
4. Identifikasi fraktur proximal digiti IV pedis dekstra
5. Reduksi dan fiksasi dengan k.wire 1,2 mm cross pinning kesan
stabil
6. Identifikasi fraktur metatarsal V pedis dekstra
7. Reduksi dan fiksasi dengan k.wire 1,2 mm cross pinning kesan
stabil
8. Jahit primer
9. Operasi selesai
J. PROGNOSIS
1. Ad vitam : dubia
2. Ad sanam : dubia
3. Ad fungsionam : dubia
K. FOTO KLINIS
TINJAUAN PUSTAKA
FRAKTUR ZIGOMATICOMAXILLARIS COMPLEKS
1. DEFINISI
Fraktur zygomatic complex merupakan fraktur yang paling sering
pada trauma maksilofasial. Zygomatic complex bertanggung jawab untuk
kontur wajah bagian tengah dan untuk perlindungan dari isi orbital. Fraktur
zygomatic complex muncul biasanya pada dewasa muda. Fraktur zigoma
merupakan merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya
insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih
menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1
dengan perempuan (Sallam, 2010). Penyebab dari fraktur zigoma yang
paling sering adalah dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Zigoma
mempunyai peran yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan
disrupsi dari posisi zigoma dapat mengganggu fungsi okular dan
mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma harus didiagnosa secara
tepat dan ditangani secara adekuat (Rehman, 2010).
2. ANATOMI DAN KLASIFIKASI
Gambar 1. Tulang-tulang maksilofasial
Fraktur zigomatikomaksilari disebabkan karena trauma langsung di
pipi yang terjadi pada artikulasio antara os.zigomaticum dan os.maksilaris
bagian frontal dan arkus zigomatikus (Obuekwe, 2005). Fraktur Maxilla dari
fraktur simpel dentoalveolar hingga fraktur comminutif midface, tergantung
pada kekuatan benturan secara langsung. Pada fraktur maksilari komplit,
dinding penopang vertikal terpecah. Fraktur maksila dapat juga terjadi
langsung pada sagital, biasanya dimulai pada perbatasan hingga kaninus
(Rajendra, 2009).
Klasifikasi Le Fort (Stewart, 2008):
a. Le Fort I (fraktura maksilari transversa).
Fraktur melalui maksila setinggi rima piriformis, termasuk seluruh
prosesus alveolaris, palatum dan prosesus pterigoideus.
Letak: sepertiga bawah.
Ditandai dengan floating fragmen pada maksila bagian bawah, oedem
muka, maloklusi.
Gambar 2. Le Fort I Fracture
b. Le Fort II (fraktura piramidal).
Sepertiga tengah dan segmen maksila yang terisolasi berbentuk
piramid,
Gerakan dapat diperiksa pada medial lantai orbital dengan
menggerakkan gigi atas kebelakang dan kedepan.
Dapat menyebabkan midfasial terpisah dan mobile, ekimosis/
hematom periorbita, kerusakan nervus infraorbita, diplopia dan
perdarahan subkonjungtiva, oedem muka, pendataran nasal,
telecanthus, epistaksis atau CSF rhinorrhea, unstable maxilla dan
hidung
Gambar 2. Le Fort II Fracture
c. Le Fort III (disjunksi kraniofasial).
merupakan separasi yang lengkap tulang fasial dari basis tengkorak
dimana letaknya sepertiga atas dari facial,
bisa menyebabkan midfasial terlepas dari bagian atas.
memerlukan pengikatan pada sutura zigomatikofrontal
Muka datar seperti piring (Dish face deformity), epistaksis, CSF
rhinorrhea , Unstable maxilla, os nasal dan os zygoma, obstruksi jalan
napas berat, maloklusi, battle sign (perdarahan retroauriculair),
Raccoon eyes, CSF otorrhea, hemotympani
Gambar 3. Le Fort III Fracture
3. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik pada fraktur multipel wajah dilakukan
pemeriksaan jalan nafas, pernafasan serta sirkulasi darah. Keterbatasan
gerakan rahang dan pendataran pipi, epistaksis unilateral merupakan akibat
dari fraktur maxilla atau dasar orbita. Status lokalis regio yang trauma
seperti defek rima infraorbita, sutura frontozigoma dan penyokong zigoma
dapat merupakan tanda defisiensi malar. Pemeriksaan mata sangat penting
dengan menilai adanya diplopia, kerusakan periorbita atau ekimosis
subkonjungtiva. Pada palpasi didapatkan adanya nyeri di daerah zigoma,
parestesia terjadi bila saraf infraorbita, zigomatikofasial atau
zigomatikotemporal terkena trauma serta krepitasi pada emfisema
subkutis (Ahmed, 2010).
Fraktur pada zygoma dapat melibatkan foramen infraorbita dan
menekan nervus infraorbita yang bermanifestasi klinis sebagai parestesia
pada daerah infraorbita. Perubahan posisi frontal dengan pemisahan sutura
zygomaticofrontalis menyebabkan penurunan atau pengenduran canthus
lateral dari kelopak mata dan bola mata. Trauma pada pipi yang menekan os
zygoma ke dalam dapat menekan dan menyebabkan fraktur dinding lateral
dan dasar orbita. Fraktur ini dapat mengakibatkan diplopia yang disebabkan
edema dan hemoragi pada otot ekstraokuler atau disebabkan terjepitnya otot
ekstraokuler atau saraf mata diantara fragmen-fragmen tulang (Kreishat,
2011).
Ketika zygoma mengalami penekanan dan terdepresi ke dalam, os
temporal dapat menekan prosesus koronoideus mandibula dan tendo
muskulus temporalis sehingga pasien mengalami kesulitan dalam membuka
dan menutup mulut (David and Coen, 2008).
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiographi plan dan CT scan (axial section, coronal sction dan 3d
reconstruksi regio maxillofacial) sangat efektif untuk membantu diagnosis.
Rekonstruksi 3D dapat membantu menggambarkan bentuk ulang sehingga
dapat membantu dalam keakuratan rencana preoperatif. Computed
tomography (CT) adalah teknologi yang dapat memperlihatkan visualisasi
dari jaringan keras dan lunak pada wajah. Dilaporkan bahwa CT dapat
mencapai nilai yang lebih akurat dalam diagnosis fraktur tulangmidfasial.
Teknik alternatif lain adalah pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi
mudah dan cepat untuk dilakukan, selain itu bersifat noninvasif. CT telah
direkomendasikan untuk evaluasi preoperatif pada trauma zygomaticus
sebagai metode diagnostik standar, terutama dalam kasus-kasus rumit
dengan cedera intrakranial cedera atau ketika ada kebutuhan untuk evaluasi
saraf optik, karena kedua hal tersebut tidak dapat secara memadai dilihat
oleh ultrasonografi. Sementara ultrasonografi telah terbukti menjadi alat
yang berharga dalam mendeteksi fraktur tanpa komplikasi di
zygomaticofrontal, arcus zygomaticus dan margio infraorbital, tapi hasil
untuk dasar orbita dan dinding medial orbitatetap tidak memuaskan. Selain
itu, USG lebih dapat diandalkan dalam menilai keadaan pascaoperasi,
sehingga dapat menurunkan biaya dan paparan radiasi (Ceallaigh, 2007;
Sallam, 2010).
Foto polos dari anteroposterior (AP)
Foto AP: walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan
membandingkan sisi kontralateral, bisa ditemui diskontinuitas tulang
secara radiologis (David dan Coen, 2008)
Waters
Proyeksi Water biasanya menampilkan opaque sinus maxillary,
dengan keterkaitan fraktur lateral dinding sinus maksilaris yang terlibat
CT Scan
CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto
radiologi biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang
muka keseluruhan dan lubang tulang yang patah atau melesak dapat
dikenali dengan lebih jelas, selain itu dapat pula mengevaluasi jaringan
lunak, dikerjakan atas indikasi khusus. Meskipun demikian, gambar 3D
mungkin membantu dalam visualisasi besar kominuta, zygomatico, dan
kompleks fraktur yang melibatkan beberapa rangkaian,khususnya
sehubungan dengan midface. Gambar 3D memberikan informasi hanya
mengenai arsitektur. Untuk jeratan lemak dan otot, encephaloceles,
hematoma, dan cedera terkait harus dinilai radiografi melalui CT Scan
2D (Candance, 2010).
Pada kebanyakan pasien dengan dampak wajah yang signifikan, CT
scan harus dilakukan. CT scan harus dilakukan dengan potongan aksial
tidak lebih besar dari 3 mm terpisah, dari atas tempurung kepala melalui
bagian bawah mandibula.. Secara umum, CT scan dapat diterima untuk
diagnosis pada semua fraktur wajah, selain mandibula. Meskipun CT
scan pada dasarnya 100% sensitif dan spesifik untuk fraktur, namun tidak
memberikan informasi rinci tentang struktur gigi. Hal ini paling penting
di daerah sudut mandibula dengan mengenai kondisi geraham ketiga.
Informasi mengenai kerusakan akar gigi dan posisi relatif terhadap patah
tulang sangat penting dalam perencanaan dan pengobatan patah tulang
sudut (Saigal et al., 2005)
5. RENCANA PENCEGAHAN
a. Penanganan awal
Stabilkan Pasien
Primary survey: Airway, breathing, circulation, dan selanjutnya
tetap diawasi. Fraktur mandibula bilateral dan maxilla harus
distabilkan agar tidak mengganggu jalan napas. Apabila ada
perdarahan lakukan penjahitan.
Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus
dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut tekan/ tamponade
hidung.
Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita,
telinga, hidung, wajah bagian tengah (midfacial), mandibula,
rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain injury)
dapat menunda timing operasi Open Reduction Internal Fixation
(ORIF) pada fraktur tulang muka.
Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi
definituf.
Identifikasi cedera
Memperoleh gambaran imaging yang diperlukan (CT scan 3-
dimensi)
Konsultasi dengan bagian yang bersangkutan, misalnya bedah
saraf, bedah tulang, jantung, rehabilitasi medik, dan anestesi untuk
persiapan operasi).
Konsultasikan penyakit menular atau infeksi
Stabilkan dasar jaringan keras untuk mendukung jaringan lunak
dan mencegah kontraktur bekas luka sebelum rekonstruksi utama.
Lakukan review menyeluruh dan imaging serta tentukan perawaan
yang akan dilakukan.
b. Penanganan lanjut
Ganti komponen jaringan lunak yang hilang
Lakukan rekonstruksi utama dan manajemen fraktur
Memasukkan agresif fisik / pengobatan dgn memberi pekerjaan
tertentu
Lakukan rekonstruksi sekunder (misalnya, implan, vestibuloplasty)
Lakukan rekonstruksi tersier (misalnya, masalah kosmetik, bekas
luka revisi)
(Powers et al., 2005; Khan et al, 2010, Parashar, 2007)
6. PROGNOSIS
Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan
dalam waktu 1 minggu setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik.
Jika penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka
penyembuhannya bisa jadi masalah.
Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh
dapat menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga menbutuhkan bedah
multipel dan membutuhkan perawatan yang lama. Laserasi jaringan lunak
karena bekas luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli
bedah plastik.
Salah satu metode pencegahan trauma antara pengguna kendaraan
bermotor di sebagian besar negara di dunia adalah wajib sabuk pengaman.
Penggunaan sistem kerja air bag maupun perlengkapan keselamatan dengan
helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahang bawah juga dapat
menurunkan resiko kejadian luka rahang atas pada pengguna kendaraan
bermotor. Selain itu, lebih dari separuh pasien yang menderita trauma
wajah, akibat kecelakaan lalu lintas adalah setelah penggunaan alkohol dan
obat-obatan yang menyebabkan kantuk. Edukasi untuk tidak menyetir
kendaraan dalam keadaan mengantuk dan mabuk perlu dilakukan sebagai
usaha pencegahan trauma maxillofacial (Malara et al., 2006)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S.S, Bey, A., Hashmi, G.S, et al. 2010. Neurosensory Deficit in Cases of
Zygomatic Complex Fractures. Current Neurobiology Volume 1, pp. 51-54
Candace. Pau, Barrera. Jose, et al. 2010. Three-Dimensional Analysis of
Zygomatic-Maxillary Complex Fracture Patterns. Craniomaxillofacial
trauma & reconstruction
Ceallaigh. P, Ekanaykaee. K, et al. 2006. Diagnosis and management of common
maxillofacial injuries in the emergency department. Part 3: orbitozygomatic
complex and zygomatic arch fractures. Emerg Med J. pp 120 -122
David B. Kamadjaja, Coen Pramono D. 2008. Management of Zygomatic-
Maxillary Fracture (The principles of diagnosis and surgical treatment with
a case illustration). Dent J (Majalah Kedokteran Gigi) Vol 41 No. 2 April-
June. pp: 77-83
Khan, M., Qiamuddin, et al. 2010. Maxillofacial and Associated Fractures of the
Skeleton. Pakistan Oral & Dental Journal, Volume 30, Nomor 2, pp. 313-
316
Khreisat, Majed Hani. 2011. Diplopia in Zygomatic-Complex Fracture. Pakistan
Oral & Dental Journal Volume 31, Nomor 1, pp. 27-32
Malara, P., Malara, B., Drugacz, J. Characteristics of Maxillofacial Injuries
Resulting from Road Trafic Accident- a 5 Year Review of The Case Records
from Department of Maxillofacial Surgery in Katowice, Poland. 2006.Head
and Face Medicine, pp. 1-6
Obuekwe., et al. 2005. Etiology and Pattern of Zygomatic Complex Fractures: a
Retrospective Study. Journal of the national medical association vol 97
Powers, David B.; Will ,Michael; Bourgeois, Sidney L ; Hatt , Holly D. 2005.
Maxillofacial Trauma Treatment Protocol. Oral Maxillofacial Surg Clin N
Am Vol.17, Pp 341 – 355
Rajendra, P.B., Mathew, T.P., Agrawal, A, et al. 2008. Characteristics of
associated craniofacial trauma in patients with head injuries: An experience
with 100 cases. J. Emerg Trauma Shock, pp: 89-94
Rehman, A., Ansari, S.R., Shah, S.M, et al. 2010. Pattern of Zygomatic Bone
Fractures and Treatment Modalities: A Study. Pakistan Oral & Dental
Journal, Volume 30, Nomor 1, pp. 36-40
Saigal, K., Ronald S. Winokur., et al. 2005. Use of Three-Dimensional
Computerized Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma.
Facial Plastic Surgery, Volume 21, Nomor 3, pp. 214-219
Sallam, Maha, Ghada Khalifa, et al. 2010. Ultrasonography vs Computed
Tomography in Imaging of Zygomatic Complex Fractures. Journal of
American Science, pp. 524-533
Stewart, C., Fiechti, J.F., Wolf, S.J. 2008. Maxillofacial Trauma: Challenges in
ED Diagnosis and Management. Emergency Medicine Practice, pp. 1-20
Sudjatmiko, Gentur. 2011. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi.
Yayasan Khasanah Kebajikan.