42
REFERAT KORTIKOSTEROID SISTEMIK Oleh : Lalu Aditya Haris Pratama H1A 006 022 Pembimbing dr. Yunita Hapsari Sp. KK DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU PROVINSI NTB

Referat Kortikosteroid Adit

Embed Size (px)

Citation preview

REFERAT

KORTIKOSTEROID SISTEMIK

Oleh :

Lalu Aditya Haris Pratama

H1A 006 022

Pembimbing

dr. Yunita Hapsari Sp. KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSU PROVINSI NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2013

BAB I

PENDAHULUAN

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di

bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik

(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak

sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem

kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan

protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.1

Kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat ini

mempunyai efek anti inflamasi dan imunosupresan. Sejak kortikosteroid digunakan

dalam bidang dermatologi, obat ini sangat menolong penderita. Berbagai penyakit

yang dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis. Penyakit

berat yang dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka

kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan kortikosteroid, demikian pula sindrom

Stevens-Johnson yang berat dan nekrolisis epidermal toksik. Tetapi disamping

memberikan manfaat yang banyak penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu

yang lama juga akan mengakibatkan timbulnya efek samping yang tidak diinginkan.

Namun, berkat kemajuan dalam bidang pengetahuan mengenai mekanisme kerja serta

pemahaman patogenesis berbagai penyakit, khususnya mengenai peradangan kulit,

pemakaian kortikosteroid menjadi semakin rasional dan efektif.

Oleh karena seringnya penggunaan obat kortikosteroid ini maka diperlukan

pengetahuan mengenai mekanisme kerja, penggunaan dosis, cara pemberian serta

efek samping yang akan ditimbulkannya bila digunakan baik sebagai pengobatan

dalam waktu singkat maupun dalam waktu yang lama. Dengan ini diharapkan seorang

dokter dapat menggunakan kortikosteroid dalam praktek medis secara rasional dan

efektif untuk memberikan efek terapeutik maksimal bagi pasien dan mencegah efek

samping yang ditimbulkan.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di

bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik

(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak

sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem

kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan

protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.2

II.2 Biosintesis Dan Kimia

Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan

bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom

karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan

sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini

berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian

ACTH. Sedangkan sumber steroid farmaseutik biasanya disintesis dari cholic acid

(diperoleh dari hewan ternak) atau steroid sapogenin dalam diosgenin dan hecopenin

tertentu yang ditemukan dalam tumbuhan.3

Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis

terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja,

jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan

sekresinya.4

II.3 Mekanisme Kerja

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.

Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya

di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam

sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami

perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin.

2

Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis

protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.

Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang

transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan

fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau

toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.3

II.4 Farmakokinetik

Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami.

Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk

regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas.

Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat

sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi

dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg

kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein

dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-2

(CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat

lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar

plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas

bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexamethason terikat dengan

albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.3

Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu

paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan

dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati.

Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai kortisol bebas, sekitar

20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor

mineralokortikoid sebelum mencapai hati.

Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula

kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan

protein. Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon

bentuk aktifnya dalam tubuh.

Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan ruang

sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat

menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.4,6

3

II.5 Farmakodinamik

Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak;

dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf,

dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi

organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan

lingkungan.

Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin

besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada

keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid

dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya

terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui pengaruh steroid

terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan terhadap hormon lain.

Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespon terhadap katekolamin bila tidak ada

kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis fisiologis akan mengembalikan

respon tersebut.3

Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau

farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan

tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan

kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun

kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi

sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium

dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat antiinflamasinya.

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua golongan besar,

yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada

penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada

keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol.

Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah terhadap keseimbangan

air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar

sangat kecil. Prototip golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan

mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 α-

fluorokortisol.1

Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan

masa kerjanya, antara lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang (12-36 jam), dan

kerja lama (>36 jam).5

4

Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan

kortikosteroid

KortikosteroidPotensi

Lama kerja

Dosis ekuivalen

(mg)*Retensi natrium

Anti-inflamasi

Kortisol (hidrokortison)

1 1 S 20

Kortison 0,8 0,8 S 25Kortikosteron 15 0,35 S -6-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4Fludrokortison (mineralokortikoid)

125 10 I -

Prednisone 0,8 4 I 5Prednisolon 0,8 4 I 5Triamsinolon 0 5 I 4Parametason 0 10 L 2Betametason 0 25 L 0,75Deksametason 0 25 L 0,75

Keterangan:

* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.

S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam);

I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam);

L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam).

Metabolisme.

Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut:

Metabolisme karbohidrat dan protein. Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa

darah sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa ke

dalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitive dan

menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit

menghambat lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak,

peningkatan pelepasan asam lemak, dan gliserol ke dalam darah. Efek ini paling nyata

pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak dipertahankan dengan cara

glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas asam amino, perangsangan

lipolisis, dan hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer.1

Hormon ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di perifer

steroid mempunyai efek katabolic. Efek katabolik inilah yang menyebabkan

terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi

osteoporosis tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi negative.

5

Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang

berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.

Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang

atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas.

Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang

(buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face), sebaliknya

lemak di daerah ekstremitas akan menghilang.1

Keseimbangan air dan elektrolit. Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi

Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada

hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume cairan ekstrasel,

hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan sebaliknya:

hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan hidrasi sel.1

System kardiovaskular. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular

secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap

keseimbangan air and elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi pengurangan

volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan

timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid

terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard.

Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:

permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil

menurun, fungsi jantung dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus dimonitor

untuk gejala dan tanda-tanda edema paru.

Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah hipertensi dan

hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada

ginjal, sedangkan hipertensi diduga akibat retensi Na yang berlebihan dan

berlangsung lama yang dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol, akibatnya

diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan bertambah.1

Otot rangka. Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik,

dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan,

timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada insufisiensi adrenal

diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini tidak terjadi kerusakan otot

maupun sambungan saraf otot. Pemberian transfuse atau kortisol dapat

mengembalikan kapasitas kerja otot. Kelemahan otot pada pasien aldosterisme

primer, terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian glukokortikoid dosis

6

besar untuk waktu lama dapat timbul wasting otot rangka yaitu pengurangan massa

otot, diduga akibat efek katabolik dan antianaboliknya pada protein otot yang disertai

hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas fosforilase, dan adanya akumulasi

kalsium otot yang menyebabkan penekanan fungsi mitokondria.1

Susunan saraf pusat. Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat secara langsung

dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung disebabkan efeknya pada

metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi, dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek

steroid pada SSP ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG,

dan kepekaan otak, terutama untuk penggunaan waktu lama atau pasien penyakit

Addison.1

Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menimbulkan serangkaian

reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan mood yang mungkin

disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati; yang lain memperlihatkan

keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan, dan peningkatan aktivitas motorik. Kortisol

juga dapat menimbulkan depresi. Pasien yang pernah mengalami gangguan jiwa

sering memperlihatkan reaksi psikotik.

Elemen pembentuk darah. Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin

dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul polisitemia pada

sindrom cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami anemia normokromik,

normositik yang ringan.1

Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit PMN, karena

mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan

mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel limfosit,

eosinofil, monosit, dan basofil dapat menurun dalam darah setelah pemberian

glukokortikoid.

Efek anti-inflamasi dan imunosupresif. Kortisol dan analog sintetiknya dapat

mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia,

mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi

dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang

dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi

yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan

pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi,

distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya

terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan

7

glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan

ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi.

Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan

molekul adhesi sel, khusunya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh

glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja

pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil

dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi

maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut

disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan

penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah

sel pada tempat inflamasi.1

Glukokortikoid juga menhambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab

antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan

mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan

membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta

menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan activator

plasminogen.

Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi

inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan platelet-

aktivating factor.1

Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila digunakan

langsung pada kulit, yang diduga terjadi dengan menekan degranulasi sel mast.

Glukokortikoid juga menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan jumlah

histamine yang dirilis oleh basofil dan sel mast.

Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi merupakan

terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebabnya tetap

ada. Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi

yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya

secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif.

Jaringan limfoid dan sistem imunologi. Glukokortikoid tidak menyebabkan lisis

jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat mengurangi jumlah sel pada

leukemia limfoblastik akut dan beberapa keganasan sel limfosit. Kortikosteroid bukan

hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons imunnya. Kortikosteroid juga

menghambat inflamasi dengan menghambat migrasi leukosit ke daerah inflamasi.1

8

Pertumbuhan. Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menghambat

pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon pertumbuhan di

perifer. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat maturasi dan proses

pertumbuhan memanjang.

Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan oleh

kombinasi berbagai faktor: hambatan somatomedin oleh hormon pertumbuhan,

hambatan sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel di kartilago

epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang.1

II.6 Evaluasi Sebelum Pemberian

Untuk mengurangi kesalahan, evaluasi sebelum pemberian kortikosteroid

perlu dilakukan terutama perhatian khusus terhadap penderita diabetes, hipertensi,

hiperlipidemia, glaukoma, dan penyakit lain yang bisa dipengaruhi oleh

kortikosteroid. Pengukuran tekanan darah dan berat badan sebaiknya dilakukan.6

Sebelum memilih kortikosteroid, perlu diperhatikan 4 hal agar bisa memilih

jenis kortikosteroid yang tepat bagi pasien dengan efek terbaik dan efek samping

seminimal mungkin, sebagai berikut:

1. Sebaiknya pilih kortikosteroid dengan efek mineralokortikoid minimal untuk

mengurangi terjadinya retensi natrium.

2. Penggunaan jangka panjang untuk prednison atau obat sejenisnya, yang memiliki

waktu paruh intermediate dan afinitas terhadap reseptor steroid yang lemah dapat

mengurangi efek samping daripada penggunaan obat seperti dexamethasone yang

memiliki waktu paruh panjang, dan afinitas terhadap resptor steroid yang kuat,

bahkan dengan efek terapeutik yang sama.

3. Bila pasien tidak memberikan respon terhadap kortison maupun prednison, maka

dilakukan terapi substitusi dengan obat yang memiliki bentuk biologi aktif yang

sama yaitu cotisol dan prednisolone.

4. Metilprednisolone digunakan untuk pulse therapy karena obat ini memilik

potensi yang kuat dengan efek retensi natrium minimal.6

II.7 Indikasi dan Dosis Pada Kasus Dermatologi

Kortikosteroid banyak dipakai dalam bidang dermatologi untuk kasus:

9

- Penyakit berlepuh yang serius (pemfigus, pemfigoid, pemfigoid sikatrikal,

dermatosis bula linear imunoglobulin A, epidermolisis bullosa akuisita,

herpes gestationis, eritema multiforme, dan toksik epidermal nekrolisis.

- Penyakit jaringan ikat (dermatomiositis, SLE, mixed-connective tissue

disease, eosinophilic fasciitis, polychondritis relaps)

- Vasculitis.

- Neutrophilic dermatoses (pyoderma gangrenosum, dermatosis akut febril

neutrofilik, Behcet disease).

- Sarcoidosis.

- Type 1 reactive leprosy.

- Problematic hemangioma pada bayi.

- Kasabach-Merrit Syndrome.

- Panniculitis.

- Urticaria/angioedema.6

Selain itu, terapi singkat kortikosteroid dapat digunakan untuk kasus seperti

dermatitis kontak, dermatitis atopik, fotodermatitis, dermatitis ekfoliatif dan

eritroderma. Kortikosteroid dosis rendah pada malam hari digunakan untuk

pengobatan akne dan hirsutism konsekuen dengan sindrom adrenogenital bila

penyakit ini tidak berespon terhadap terapi konservatif lainnya. Penggunaan

kortikosteroid masih kontroversial untuk kasus eritema nodosum, liken planus,

limfoma kutaneus T-cell dan lupus eritematosus diskoid.

Berikut berbagai penyakit kulit yang dapat diobati dengan kortikosteroid

beserta dosisnya.

10

Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada berbagai dermatosis5

Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari

Dermatitis

Erupsi alergi obat ringan

SJS berat dan NET

Eritrodermia

Reaksi lepra

DLE

Pemfigoid bulosa

Pemfigus vulgaris

Pemfigus foliaseus

Pemfigus eritematosa

Psoriasis pustulosa

Reaksi Jarish-Herxheimer

Prednison 4x5 mg atau 3x10mg

Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Deksametason 6x5 mg

Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg

Prednison 3x10 mg

Prednison 3x10 mg

Prednison 40-80 mg

Prednison 60-150 mg

Prednison 3x20 mg

Prednison 3x20 mg

Prednison 4x10 mg

Prednison 20-40 mg

Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi

sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri

(insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).

Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk:

Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg

hidrokortison harus diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat

mineralokortikoid yang dapat menahan Na dan air.

Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi (20

mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien memerlukan juga

mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari; atau

cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.

Hyperplasia adrenal congenital.

Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.3

Selain itu, kortikosteroid banyak dipakai untuk terapi kasus non endokrin seperti

pematangan fungsi paru pada fetus, artritis, karditis reumatik, Penyakit kolagen, asma

bronchial dan penyakit saluran napas, penyakit alergi, penyakit mata (konjungtivitis

alergika, uveitis akut, neuritis optika, koroiditis), penyakit hepar, keganasan,

11

gangguan hematologik lain (anemia hemolitik acquaired dan autoimun, leukemia,

purpura alergika akut dll), syok, edema serebral, dan trauma sumsum tulang belakang.

II.8 Jalur Pemberian

Kortikosteroid sistemik dapat diberikan melalui 4 jalur, yaitu:

1. Intralesi. Memberikan akses langsung pada lesi yang relatif sedikit dan lesi yang

resisten

2. Intramuskular. Pemberian melalui jalur ini tidak direkomendasikan

karenamenimbulkan lebih banyak efek samping terutama terhadap supresi HPA

axis dan miopati.

3. Oral. Prednison merupakan pilihan terbaik. Bila digunakan selama 3-4 minggu,

kortikosteroid dapat dihentikan tanpa harus di tappering. Dosis minimal dari jenis

short-acting yang diberikan setiap pagi dapat meminimalisir efek samping obat.

Kadar puncak kortisol terjadi pada pukul 8 pagi, dimana bila diberikan pada waktu

itu, supresi terhadap HPA axis sedikit sekali, dan feedback dari kelenjar adrenal

untuk sekresi ACTH dapat terjadi pada kondisi ini.

4. Intravena. Pemberian melalui jalur i.v dilakukan pada 2 kondisi, pertama pada

pasien dengan tingkat stress yang meningkat dikarenakan pasien ini sakit dan akan

menjalani operasi yang diketahui mengalami supresi adrenal akibat penggunakan

kortikosteroid. Kedua, pasien dengan beberapa penyakit seperti pioderma

gangrenosun resisten, pemfigus berat, pemfigoid bulosa, SLE atau

dermatomiositis. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kontrol yang cepat terhadap

penyakit dan untuk meminimalisir kecenderungan untuk kebutuhan terhadap terapi

jangka panjang kortikosteroid oral dengan dosis tinggi. Efek samping yang dapat

terjadi melalui pemberian secara i.v antara lain reaksi anafilaktik, kejang, aritmia,

dan kematian mendadak. Efek samping yang lain meliputi hipotensi, hipertensi,

hiperglikemia, perpindahan elektrolit, dan psikosis akut.

II.9 Monitoring

Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid 

untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan

keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi

diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh dengan

pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harus tetap di ukur. Jika dilakukan

12

pengobatan jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran

densitas tulang spinal dengan menggunakan computed tomography (CT), dual-photon

absorptiometry, atau dual-energy x ray absorptiometry (DEXA).6

Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi

diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen,

demam, gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar

mempunyai kemungkinan terjadinya efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis.

Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di monitor. Elektrolit serum, kadar gula

darah puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap diukur dengan regular. Pemeriksaan

tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang menggumpal. Selain itu, pemeriksaan

lanjut pada mata karena ditakutkan terjadinya katarak dan glaukoma.6

Berikut hal-hal yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid jangka

panjang6

No. Efek samping Monitor1.2.3.4.

5.6.

7.

8.

HipertensiBerat badan meningkatReaktivasi infeksiAbnormalitas metabolik

OsteoporosisMata         Katarak        GlaukomaUlkus peptik

Supresi kelenjar adrenal

Tekanan darahBerat badanPPD, (12 hari setelah pemakaian prednison)Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita diabetes dan hiperlipidemia) Densitas tulang

Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 bulan)Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke enam)Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau proton pump inhibitorDosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol pada jam 8 pagi sebelum tapering off.

II.10 Efek SampingBerikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.5

Tempat Macam efek samping1. Saluran

cerna

2. Otot3. Susunan

Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan

13

saraf pusat

4. Tulang

5. Kulit

6. Mata7. Darah8. Pembuluh

darah9. Kelenjar

adrenal bagian kortek

10. Metabolisme protein, KH dan lemak

11. Elektrolit

12. Sistem immunitas

bunuh diri), nafsu makan bertambah.Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang.Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis, purpura, telangiektasis.Glaukoma dan katarak subkapsular posteriorKenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfositKenaikan tekanan darahAtrofi, tidak bisa melawan stres

Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffao hump, perlemakan hati.

Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor)Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik

Jika sistemik steroids telah digunaka selama satu bulan atau kurang, efek

samping yang serius jarang terjadi. Namun efek samping yang mungkin timbul adalah

sebagai berikut:

Gangguan tidur.

Meningkatkan nafsu makan.

Meningkatkan berat badan.

Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi.

Efek yang jarang terjadi namun memerlukan perhatian adalah mania, masalah

kejiwaan, jantung, ulkus peptikum dan diabetes.

Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama

1. Suppression of The Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis (Withdrawal of Therapy)

Terjadi melalui mekanisme supresi dari hipotalamus-hipofisis-adrenal axis

yang terjadi secara cepat setelah pemberian terapi kortikosteroid. Bila terapi diberikan

antara 1-3 minggu, pemulihan dari HPA axis berlangsung cepat. Pemakaian

kortikosteroid dalam jangka lama akan berdampak pada supresi HPA axis yang dapat

bertahan sampai 1 tahun setelah terapi dihentikan. Gejala supresi adrenal antara lain

14

letargi, lemah, mual, tidak nafsu makan, demam, orthostatic hypotension, hipoglikemi

dan penurunan berat badan.6

Pemberian kortikosteroid jangka lama (>3 minggu) yang dihentikan secara

mendadak dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal). Insufisensi

adrenal akut sebaiknya dibedakan dari Addison disease, di mana pada Addison

disease terjadi destruksi adrenokorteks oleh bermacam penyebab (mis.autoimun,

granulomatosa, keganasan dll). Insufisiensi adrenal akut terjadi akibat penekanan

sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh kortikosteroid eksogen, sehingga kelenjar

adrenal kurang memproduksi kortikosteroid endogen.  Pada saat kortikosteroid

eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid (endogen). Dapat terjadi

kehilangan ion Na+dan shock, terkait aktivitas mineralokortikoid yang ikut

berkurang.  Gejala yang timbul antara lain penurunan nafsu makan, gangguan saluran

cerna, dehidrasi, rasa lemah, hipotensi, demam ,penurunan berat badan, deskuamasi

kulit, sakit kepala, dan yang lebih jarang mialgia dan arthralgia,. Hal ini diatasi

dengan pemberian hidrokortison, disertai asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa

secepatnya.  Dapat juga dilakukan dengan tappering off secara perlahan, biasanya

dengan pemberian prednison 1 mg setiap minggu. Untuk menghindari insufisiensi

adrenal maka penghentian penggunaan kortikosteroid harus secara perlahan

/bertahap.6

2. Perubahan Metabolik

Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme

glukosa yaitu melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-6-

pospat, maka akan timbul gejala berupa peninggian kadar glukosa dalam darah

sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuria. Dapat juga terjadi resistensi insulin dan

gangguan toleransi glukosa, sehingga menyebabkan diabetes steroid (steroid-induced

diabetes).7

3. Respon Imun

Kortikosteroid menyebabkan hipersensitifitas tipe lambat dikarenakan

aktifitasnya menghambat limfosit dan monosit.6

Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek

antiinflamasi. Efek antiinflamasi ini terjadi melalui mekanisme penekanan aktifitas

fosfolipase sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan

dan leukotrien. Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi

15

peradangan, namun dapat memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada

pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan

pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah infeksi.8

4. Ulkus Peptikum

Tukak lambung merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada

pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk

melakukan pemeriksaan radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat

diberikan. Pemberian dosis besar sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi,

dan di antara waktu makan diberikan antasida (bila perlu). Perforasi yang terjadi

sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya karena dapat berlangsung

dengan gejala klinis minimal.8

Pada penelitian case-control yang dilakukan Sonia H, dkk di Inggris antara

tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 didapatkan bahwa penggunaan streroid

meningkatkan risiko terkena perdarahan gastrointestinal bagian atas sebesar 1.8 kali

dibandigkan yang tidak mengkonsumsi streroid. Risko ini juga akan bertambah berat

jika pemakaian streroid diikuti dengan pemakain NSAID (Diaz dan Luis, 2005)

Sedangkan hasil penelitian prospektif yang dilakukan oleh Jiing-Chyuan Luo,

dkk pada 67 penderita SLE yang mendapatkan pengobatan terapi kortikosteroid,

didapatkan bahwa pengunaan steroid dosis tinggi de novo tidak memicu terjadinya

ulkus gaster pada pasien-pasien SLE. Akan tetapi, penggunaan Aspirin disertai terapi

denyut metylprednisolon meningkatkan terjadinya ulkus gaster. Kortikosteroid

meningkatkan sekresi dari asam lambung, mengurangi mukus, hiperplasia gastrin dan

sel parietal.10

5. Miopati

Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat

menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan dan

miopatik. Miopatik biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan

pelvis, dan pada pengobatan dengan dosis besar. Miopatik merupakan komplikasi

berat dan obat harus segera dihentikan.6

Pada myopati yang paling berperan adalah menghambat uptake dari glukosa

pada otot skeletal. Kortikosteroid juga diduga berperan dalam pemecahan dari protein

16

otot. Hal ini secara langsung disebabkan oleh degredasi protein dan inhibisi sintesis

sintesis protein .7

6. Perubahan Tingkah Laku

Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi. Kemungkinan

hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak, sehingga

mempengaruhi kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan jiwa dapat muncul, antara

lain: nervositas, insomnia, psikopatik, skizofrenik, kecenderungan bunuh diri.

Gangguan jiwa akibat penggunaan hormon ini dapat hilang segera atau dalam

beberapa bulan setelah obat dihentikan .7

7. Glaukoma (steroid-induced glaucoma) dan Katarak

Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan baik.

Diduga terdapat defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan atau

peningkatan aktivitas respons protein trabecular-meshwork inducible

glucocorticoid (TIGR) sehingga menyebabkan obstruksi cairan. Selain itu bukti lain

mengisyaratkan terjadi perubahan sitoskeleton yang menghambat pinositosis aqueous

humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan menyebabkan

akumulasi.8

Kortikosteroid oral diduga meningkatkan resistensi aliran aquos humor yang

berpotensi meningkatkan tekanan intraokular, hal inilah yang mencetuskan terjadinya

glaukoma. Disisi lain, pengobatan Kortikosteroid juga berpotensi meningkatkan

opasififikasi dari kristalin lensa sehingga meningkatkan pembetukan katarak.7

8. Osteoporosis

Osteoporosis terjadi pada 40% individu yang mendapatkan pengobatan

kortikosteroid sistemik, khususnya pada anak-anak, remaja, dan wanita post-

menopouse. Sekitar 1 dari 3 pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid selama 5

sampai 10 tahun mengalami fraktur vertebrata dan meningkat pada wanita post-

menopouse. Bone-lose terjadi secara cepat pada 6 bulan pertamapenggunaan

kortikosteroid dan terus berlanjut dengan kecpatan yang lebih lambat, dengan

kehilangan sebesar 3-10% pertahun. Studi terbaru menunjukkan bahwa resiko untuk

fraktur meningkat sekalipun menggunakan dosis rendah prednison (2,5 mg/hari).6

Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara

menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah

17

menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan

resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis. Selain itu juga menurunkan

absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan meningkatkan ekskresinya melalui

ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan PTH yang menyebabkan

resorpsi. Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat osteoporosis dan

kompresi.8

9. Osteonekrosis.

Osteonekrosis atau Avaskular Nekrosis(AVN) adalah manifestasi dari nyeri

serta keterbatasan dari satu atau lebih sendi. Hal ini menyebabkan hipertensi

interosseous yang mengakibatkan iskemia tulang dan nekrosis. Pada pemakaian

kortikosteroid terjadi hipertropi liposit pada interosseous, sehingga terjadi hipertensi,

selain itu kortikosteroid juga memicu apoptosis dari osteoblast yang turut berperan

sebagaia penyebab AVN.

Kortikosteroid bisa memepengaruhi metabolisme dari osteoblast, osteoclast,

stromal cell sumsum tulang dan sel adiposa. Hal ini terjadi melalui mekanisme

pengaktifan dan penghamabatan dari regulator yang berhubungan dengan adipognesis

dan osteogenesis. Hal ini mengakibatkan jumlah serta ukuran stem-cell adiposit akan

meningkat drastis, sebaliknya akan terjadi penurunan dari osteoblast sel-sel tulang,

secara bersamaan aktivitas dari osteoclast juga terjadi, semua hal ini menginduksi

untuk terjadi osteonekrosis.11

10. Regulation of Growth

Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan pertumbuhan

terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat

growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui

ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang meningkatkan aktivitas osteoklast

meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon-hormon gonad, yang

pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan sehingga menghambat

pertumbuhan.8

11. Endokrin

Salah satu efek samping kortikosteroid adalah gangguan endokrin.

Kortikosteroid menyebabkan penurunan produksi insulin oleh sel beta dan resistensi

insulin. Hal ini mengakibatkan perubahan pada metabolisme glukosa pada tubuh.

18

Kekurangan produksi insulin serta resistensi mengakibatkan tingginya kadar glukosa

dalam darah.7

12. Kardiovaskular

Penggunaan Kortikosteroid jangka panjang dapat meyebabkan hipertensi

dengan dua mekanisme kerja. Pertama melalui jalur retensi sodium sehingga

meningkatkan volume plasma. Jalur kedua melaui respon vasopresor terhadap

angitensin II dan katekolamin.12

Penggunaan kortikosteroid berperan dalam berbagai faktor resiko yang

berhubungan dengan aterosklerosis diantaranya hipertensi arterial, resistensi insulin,

intoleransi glukosa, hiperlipidemia dan obesitas sentral. Oleh karena itu tidak

mengherankan bila konsumsi kortikosteroid meningkatkan resiko terjadinya

aterosklerosis. Faktor resiko terjadinya aterosklerosis bertahan sampai 5 tahun setelah

tercapainya kadar serum cortisol normal pada pasien dengan Cushing disease, dimana

hal yang sama juga didapatkan pada pasien yang diterapi dengan kortikosteroid.6

13. Kulit

Penggunaan kortikosteroid topikal juga dapat menyebabkan beberapa efek

samping seperti, striae, telangiektasis, eritema, perioral dan peroocular acneform.

Penggunaan kortikosteroid topikal dapat menfasilitasi proliferasi dari dari

Propionibacterium acnes, hal inilah yang berperan dalam pembentukan timbulnya

acnes Rosaea. Selain itu, supresi terhadap sistem imun lokal kulit juga dapat memicu

timbulnya pertumbuhan dari jamur.2

II.11 Perhatian Khusus

1. Ibu hamil

Kortikosteroid dapat melewati plasenta, namun tidak bersifat teratogenic. Bayi

yang mendapat air susu dari ibu yang mengkonsumsi kortikosteroid sebaiknya

dilakukan monitoring untuk terjadinya supresi adrenal dan supresi hormon

pertumbuhannya. Berdasarkan percbaan pada hewan, didapatkan hubungan pada

kontribusi kortikosteroid terhadap bayi prematur dengan riwayat BBLR yang

berkembang ke arah kelainan perkembangan saraf.6

2. Diet

Diet yang diberikan sebaiknya rendah kalori, lemak, dan natrium serta tinggi

protein, potassium dan kalsium. Protein sangat diperlukan untuk mengurangi

19

pengeluaran nitrogen yang diinduksi steroid. Konsumsi alkohol, kopi, dan nikotin

sebaiknya dikurangi. Olahraga teratur sangat dianjurkan untuk pasien.6

3. Supresi Adrenal

Pasien dengan terapi kortikosteroid selama lebih dari 3-4 bulan harus dianggap

telah terjadi supresi adrenal yang membutuhkan tappering off untuk mendapatkan

recovery dari hipotalamus-hipofisis-adrenal axis. Paling baik denganmengganti

pemberian sekali sehari kortikosteroid menjadi alternate-day dose yang diikuti

pengurangan secara bertahap dari jumlah obat yang diberikan. Bila kadar kortisol

plasma kurang dari 10 ug/dL, dosis prednisone diturunkan 1 mg setiap 1-2

minggu untuk mempertahankan dosis maintenance 2 mg/hari. Selanjutnya kadar

kortisol diperiksa setiap 2 bulan sampai kadar kortisol sampai melebihi 10 ug/dL.

Pada titik ini, penggunaan kortikosteroid sebagai maintenance dapat dihentikan.

Recovery dari HPA axis akan berlangsung sampai melebihi 9 bulan.6

Secara umum, insufisiensi adrenal akan teratasi dalam 1 tahun setelah

penghentian kortikosteroid. Stimulasi ACTH dapat dilakukan untuk mengetahui

kerja dari kelenjar adrenal setelah penghentian obat.

Diambil contoh prednisone, bila dosis telah diturunkan menjadi 5 mg dengan

metode alternate day, maka selanjutnya diperlukan terapi maintenance.

Pengukuran kadar kortisol diukur 4 minggu setelah dosis 5 mg alternate day

diperoleh. Selama hasilny belum ada, maka dosis dipertahankan.6

II.12 Penatalaksanaan Komplikasi

1. Osteoporosis

Pencegahan terhadap osteoporosis menjadi semakin penting untuk

mencegah sedini mungkin kerusakan tulang pada penderita. Preparat

kalsium, vitamin D, terapi pengganti hormon, program latihan pada

penderita dan restriksi natrium merupakan terapi lini pertama yang dapat

dilakukan. Kalsium yang diberikan bersamaan dengan vitamin D, bukan

pemberian kalsium tunggal, dapat mempertahankan massa tulang pada

pasien yang mendapatkan terapi jangka panjang kortikosteroid dengan dosis

rata-rata 15 mg/hari. Namun pasien dengan riwayat batu ginjal sebaiknya

tidak diberikan terapi kalsium dan vitamin D.

20

Untuk pasien yang mendapat terapi kalsium dan vitamin D, kadar

kalsium serum sebaiknya diperiksa dan pemeriksaan urine tampung

selama24 jam setiap 3 bulan.6

Bagan 1. Pencegahan dari Steroid-Induced Osteoporosis.

Bagan 2. Tes Kepadatan Tulang Bagi Pasien Yang Mendapat Terapi

Kortikosteroid

2. Aterosklerosis

21

Tekanan darah, lipid serum dan kadar glukosa sebaiknya diperiksa

secara rutin. Abnormalitas dari hasil pemeriksaan dapat diperbaiki dengan

manipulassi diet dan terapi farmakologi bila diperlukan. Pasien yang merokok

sebaiknya berhenti merokok. Pada pasien post-menopause diberikan terapi

hormon berupa estrogen yang memiliki efek perlindungan terhadap

perkembangan aterosklerosis. Namun terapi hormon masih menjadi

kontroversi karena dilaporkan pasien dengan terapi hormon menderita infark

miokard pada tahun pertama pemakaian dan dengan kemungkinan sebesar

58% akan berkembang ke arah penyakit jantung koroner.6

3. Avaskular Nekrosis

Deteksi dini sangat penting karena intervensi dini dapat mencegah

perkembangan dari penyakit sendi degeneratif yang membutuhkan terapi

pengganti sendi. Sebanyak 20% penderita memiliki hasil radiologi normal.

Evaluasi dilakukan dengan foto polos dan MRI. Pasien juga sebaiknya rutin

ditanyakan keluhan nyeri tulang, dan keterbatasan gerak sendi-sendinya. Bila

didapatkan hasil abnormal, pemeriksaan radiologi diperlukan untuk evaluasi.

Bila hasilnya menunjukkan avaskular nekrosis, terapinya adalah bedah tulang

untung mencegah progresifitas penyakit. Bila terjadi destruksi pada sendi yang

menyebabkan keterbatasan gerak, maka pembedahan untuk mengganti sendi

yang rusak diperlukan untuk terapi.6

22

BAB III

KESIMPULAN

Kortikosteroid merupakan pengobatan yang paling sering diberikan kepada

pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh

kelenjar adrenal. Kortikosteroid terbagi kepada dua golongan utama yaitu

glukokortikoid dan mineralokortikoid.

Sejak digunakan pertama kali, kortikosteroid memberikan banyak manfaat

dalam pengobatan berbagai macam penyakit. Namun disamping memberi manfaat,

kortikosteroid juga memberikan banyak efek samping mulai dari yang ringan sampai

yang berat. Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang ataupun dalam dosis

tinggi dapat memicu berbagai macam efek samping. Hal ini sesuai dengan mekanisme

kerja dari steroid itu sendri. Efek samping yang ditimbulkan dalam pemakaian steroid

dapat berpengaruh terhadap berbagai organ maupun sistem organ dalam tubuh.

Sebagai contoh beberapa efek samping yang dapat terjadi misalnya gangguan tingkah

laku, katarak, glaukoma, tukak lambung, osteoporosis, avaskular nekrosis,

aterosklerosis, hipertensi, serta berbagai efek samping lainnya yang berhubungan

dengan mekanisme kerja kortikosteroid.

Diperlukan pengetahuan yang baik bagi seorang dokter mengenai mekanisme

kerja, farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi, dosis, cara pemberian dan yang

tidak kalah pentingnya pengetahuan mengenai efek samping obat yang ditimbulkan

kortikosteroid, untuk dapat menggunakan kortikosteroid secara rasional dan efektif

serta mencegah semaksimal mungkin efek samping yang ditimbulkan.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, A.C., John, E.H. 1997. Hormon Adrenokortikal Dalam Buku Ajar

Fisisologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

2. Fisher, D.A. 1995. Adverse Effect of Topical Corticosteroid Use. West J Med.;

162: p.123-126 Available from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1022645/ (Accessed: January 7th,

2013)

3. Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika

4. Suherman, S.K. 1999. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI

5. Djuanda, A. 2007. Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang

Dermatovenereologi. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI

6. Werth, V.P. 2008. Systemic Therapy In: Wolff, K., Goldsmith, L., Kath, S.I.,

Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Jeffell, D.J., Editors. Fitzpatrick's Dermatology In

General Medicine. 7th Ed. New York: The McGraw-Hill Companies Inc.; p.2147-2153

7. Aulakh, R., Surjit, S. 2008. Strategies For Minimizing Corticosteroid Toxicity:

A Review. Indian J Pediatr; 75(10): p.1067-107 Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19023531 (Accessed: January 7th, 2013)

8. Schimer, B.P. 2006. Adrenocorticotropic Hormone ; Adrenal Steroid And

Their Syntetic. In: Brunton, L.L., John, S.L., Keith, L.P., Editors. Goodman and

Gilman's The Pharmacological Basis Of Therapeutic. 11th Ed. New York: McGraw-

Hill Companies Inc.

9. Valencia, I.S., Francisco, C.V. 2008. Topical Corticosteroid. In: Wolff, K.,

Goldsmith, L., Kath, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Jeffell, D.J., Editors.

Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 7th Ed. New York: The McGraw-Hill

Companies Inc.; p.2102-2106.

10. Luo J.C., et al. 2009. Gastric Mucosal Injury In Systemic Lupus

Erythematosus Patients Receiving Pulse Metylprednisolone Therapy. Br J Clin

Pharmacol; 68(2): p.252-259 Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19694746 (Accessed: January 7th, 2013)

11. Gang, T., Kang, P., Pei, F.X. 2012. Glucocorticoid Effect The Metabolism Of

Bone Marrow Stromal Cells And Lead To Osteonecrosis Of The Femoral Head: A

24

Review. Chin Med J.; 125(1): p.134-139 Available From:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22340480 (Accessed: January 7th, 2013)

12. Rhen, T., John, A.C. 2005. Antiinflamatory Action of Glucocorticoid:

Molecular Mechanism. N Engl J Med.; 353: p.1711-23 Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9854452 (Accessed: January 7th, 2013)

25