Upload
cuntia
View
91
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Diskusi Kelompok
PERDARAHAN PADA TONSILEKTOMI
Nama anggota kelompok :
Mariam Binti Abd Rasyid 54081001114Abdullah Fikri 54081001092Petricia Yunita 54081001104Rima Zanaria 54081001070Cynthia Lina 54081001076Sugianto Mukmin 54081001067Aditya Rafrendra 54081001025Nur Anisa Aulia 54081001031Febby Hazul Fajri 54081001019Dewi Zanaria 54081001035Ressei Amanda 54081001038Nina Novalia 54081001045
Pembimbing :
Dr. Yoan Levia M, Sp. THT-KL
BAGIAN / INSTALASI
ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROK
FAKULTAL KEDOKTERAN UNSRI / RSMH PALEMBANG
1
LEMBAR PENGESAHAN
Makalah dengan judul :
PERDARAHAN PADA TONSILITIS
Disusun Oleh :
Mariam Binti Abd Rasyid, S. Ked 54081001114Abdullah Fikri, S. Ked 54081001092Petricia Yunita, S. Ked 54081001104Rima Zanaria, S. Ked 54081001070Cynthia Lina, S. Ked 54081001076Sugianto Mukmin, S. Ked 54081001067Aditya Rafrendra, S. Ked 54081001025Nur Anisa Aulia, S. Ked 54081001031Febby Hazul Fajri, S. Ked 54081001019Dewi Zanaria, S. Ked 54081001035Ressei Amanda, S. Ked 54081001038Nina Novalia, S. Ked 54081001045
Yang akan dipresentasikan pada tanggal 17 juli 2012
Telah disahkan sebagai syarat dalam menyelesaikan KKS di Bagian Ilmu
Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode :
25 Juni 2012 – 30 Juli 2012
Palembang, Juli 2012
Dr. Yoan Levia Magdi Sp.THT-KL
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................1
BABII TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................2
BAB III PEMBAHASAN ...............................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam
sejarah operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila
dibandingkan dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar
sekarang menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang
tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya
jumlah ini karena keyakinan para dokter dan orangtua tentang keuntungan
tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Pada dekade
terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga
untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan
penambahan berat badan, overbite, tounge thrust, halitosis, mendengkur,
gangguan bicara dan enuresis.
Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pascaoperasi berkisar antara 0,1-
8,1% dari jumlah kasus. Perdarahan pascaoperasi bisa terjadi segera dimana
3
terjadi pada rentang waktu kurang dari 24 jam ataupun sekunder yang terjadi
setelah 24 jam pasca operasi tonsilektomi. Pendarahan ini terutama diperberat
karena pasien tidak dapat melihat langsung dan mengontrol pendarahannya.
Pasien sering tertelan dan terjadi aspirasi darah, ditambah lagi bahwa pasien
masih dalam keadaan nyeri paska operasi. Beberapa pasien pendarahannya
berhenti secara spontan. Beberapa mengalami episode pendarahan berulang.
BAB II
TONSILEKTOMI
I. Definisi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan
limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.
II. Epidemiologi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun
hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi
digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada
operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.
4
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta
tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika
Serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada
tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani
tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak
(86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani
tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada
orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72
per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun
1996 (3.200 operasi).
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit
Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan
kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.
III. Embriologi dan Anatomi Tonsil
1. Embriologi
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke
II ke dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk
fosa tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel.
Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian,
sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan
janin, berasal dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat
epitel tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan
ikat limfoid. Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal
dari mesenkim, dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil.
5
2. Anatomi
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.
Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur
yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding
posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
- Lateral– m. konstriktor faring superior
- Anterior – m. Palatoglosus
- Posterior – m. Palatofaringeus
- Superior – palatum mole
- Inferior – tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri
dari jaringan linfoid).
b. Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada
rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar
posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba
eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak
6
terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum
mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding
lateral faring.
c. Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul
ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang
menutupi 4/5 bagian tonsil.
d. Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak
masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan
tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil
atau terpotongnya pangkal lidah.
3. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu
1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A.
palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina
desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal
asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal
asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
4. Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
7
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
5. Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
6. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-
0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan
T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil
terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag,
sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin
spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2
fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;
2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.
Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai
kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid
bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai
ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.
8
IV. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi
relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa
usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.
1. Indikasi Absolut (AAO)
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
a. Indikasi Relatif (AAO)
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun
dengan terapi antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik
dengan pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier
streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-
laktamase resisten
Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi
dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.
9
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus
dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai
kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi
absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang
dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi
semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti
halitosis, debris kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada keadaan yang
lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak
di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan
terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini
harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut
dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam nyawa.
V. Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
VI. Teknik Operasi Tonsilektomi
1. Cara Guillotine
Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari Philadelphia,
sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah modifikasi Sluder.
Di negara-negara maju cara ini sudah jarang digunakan dan di Indonesia cara ini
hanya digunakan pada anak-anak dalam anestesi umum. Teknik
a. Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan
berhadapan dengan pasien.
10
b. Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan
pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula.
c. Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui
sudut kiri.
d. Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub
bawah tonsil dimasukkan ke dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk
tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke
dalam Iubang guillotine.
e. Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
f. Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine,
dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan
diangkat keluar. Perdarahan dirawat.
2. Cara diseksi
Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Cara ini
digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa, baik dalam anestesi umum
maupun lokal. Teknik :
a. Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala
sedikit ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien.
b. Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.
c. Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial
d. Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari
fosanya secara tumpul sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan
menggunakan jerat tonsil, tonsil diangkat. Perdarahan dirawat.
3. Cryogenic tonsilectomy
Tindakan pembedahan tonsil dapat menggunakan caracryosurgery yaitu proses
pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin yang
dipakai adalah freon dan cairan nitrogen.
11
4. Electrosterilization of tonsil
Merupakan suatu pembedahan tonsil dengan cara koagulasi listrik pada jaringan
tonsil.
VII. Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi
anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi dan adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini
terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat
ditemukan berupa:
- Laringospasme
- Gelisah pasca operasi
- Mual muntah
- Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
- Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan
henti jantung
- Hipersensitif terhadap obat anestesi
2. Komplikasi bedah
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus). Perdarahan
dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah. Kematian
akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien
kembali karena masalah perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan
transfusi darah.
12
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early
bleeding, perdarahan primer atau “reactionary haemorrage” dengan
kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi.
Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat berbahaya,
karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk
belum sempurna. Darah dapat menyumbat jalan napas sehingga terjadi asfiksia.
Perdarahan dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed
bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10
pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%.
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder
pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan
dan trauma makanan yang keras.
b. Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi.
Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik
“cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan
pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan
terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya
dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit
untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.
3. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000),
aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis
faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
13
BAB III
DISKUSI
3.1 PERTANYAAN
1. Apa saja tanda pendarahan post tonsilektomi? bagaimana menilainya?
2. Apa yang menjadi penyebab perdarahan ?
3. Bagaimana penatalaksanaannya ?
3.2 DISKUSI
1. Tanda perdarahan post tonsilektomi :
a. Bila pasien belum sadar, terdengar nafas yang berbunyi.
b. Keluarnya darah dari mulut atau hidung segera pascaoperasi
tonsilektomi.
c. Pasien merasa mual dan bisa muntah karena menelan darah.
14
2. Pendarahan tonsilektomi dapat terjadi :
a. Pendarahan Saat Pembedahan
- Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan
faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat
jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut
atau abses peritonsil.
- Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang
robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
- Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah
yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila
dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon
atau gelfoam, kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih
juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.
- Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada
cara guillotine lebih sedikit dari cara diseksi
b. Pendarahan Pasca Pembedahan
- Pendarahan Primer atau segera
o Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi
obat bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah
dapat menyumbat jalan napas.
o Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak adekuat
selama operasi atau terlepasnya ikatan
- Pendarahan Sekunder
o Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5 – 10.
o Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta
trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan
yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil
terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh
15
darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan
hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh
darah permukaan.
Penyebab perdarahan post tonsilektomi adalah :
a. Teknik pembedahan yang jelek , misalnya terbukanya kembali pembuluh
darah kecil pada luka operasi, atau pembuluh darah yang tidak terikat atau
terkauter.
b. Kelainan status hematologi dan hemodinamik
c. Perawatan post operasi. Misalnya : infeksi pada lokasi operasi, trauma
oleh makanan yang keras, terkelupasnya scar superfisial pada luka
operasi.
Untuk menghindari terjadinya perdarahan post tonsilektomi maka prosedur
pembedahan yang dianjurkan adalah :
1. Persiapan pasien :
a. riwayat penyakit yang komplit
b. pemeriksaan fisik khusus terhadap adanya kecenderungan
terjadinya perdarahan
c. uji penyaringan darah yang paling sering dilakukan adalah: hitung
jenis komplit, tromboplastin parsial, waktu perdarahan dan waktu
pembekuan, dan jumlah trombosit
d. pasien sebaiknya tidak makan aspirin selam 2 minggu sebelum
pembedahan .
2. Pertimbangan teknis pembedahan : aliran darah yang berasal dari lima
pembuluh darah arteri :
- bagian dorsum lingua berasal dari a. Lingualis
- palatina asenden dan tonsila berasal dari a. Maksilaris eksterna
- faring asenden dari a. Karotis aksterna
16
- palatina desenden dari a. Maksilaris interna : kelainan pembuluh
darah pada daerah ini dapat menyebabkan kesulitan tertentu pada
pembedahan.
Faktor demografi, indikasi pembedahan, teknik anestesi, penggunaan obat-obatan
hemostasis dapat juga mempengaruhai resiko terjadi perdarahan post
tonsilektomi.
3. Penatalaksanaan perdarahan post tonsilektomi :
Yang penting pada perawatan pasca tonsilektomi adalah
o Baringkan pasien pada satu sisi tanpa bantal,
o Ukur nadi dan tekanan darah secara teratur
o Awasi adanya gerakan menelan karena pasien mungkin
menelan darah yang terkumpul di faring dan
o Napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di
tenggorok. Bila diduga ada perdarahan, periksa fosa tonsil.
Bekuan darah di fosa tonsil diangkat, karena tindakan ini dapat
menyebabkan jaringan berkontraksi dan perdarahan berhenti
spontan. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dilakukan
penekanan dengan tampon yang mengandung adrenalin 1:1000.
Selanjutnya bila masih gagal dapat dicoba dengan pemberian
hemostatik topikal di fosa tonsil dan hemostatik parenteral
dapat diberikan. Bila dengan cara di atas perdarahan belum
berhasil dihentikan, pasien dibawa ke kamar operasi dan
dilakukan perawatan perdarahan seperti saat operasi.
o Untuk pendarahan sekunder, penanganan sama dengan
penanganan pendarahan primer.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams GL. Boies LR, Jr. Highler PA. Boies Buku Ajar THT.
Edisi 6. Effendi H. Santoso RAK. Editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
1993
2. Post-tonsillectomy hemorrhage: incidence, prevention and
management. Available from : URL : http://www.pedisurg.com/index.htm
3. Treatment Protocol Reduces Risk for Bleeding Available from :
http://www15.medica.de/htm
4. postoperative tonsillar bleeding. Available from :
http://www.findarticles.com
18
5. Protocol Before, After Tonsillectomy Reduces Risk for Children
with Bleeding Disorders. Available from : URL :
http://www.medilexicon.com
6. Hasil rapat Tim Ahli Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa, 2004
HTA Indonesia.
7. Drake A. Carr MS. Tonsillectomy. October, 2004. Available at:
http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm
8. Dorland, WA Newman. Dalam: Kamus Kedokteran Dorland.
Edisi ke-29. 2002. Jakarta: EGC.
9. Soepardi EA, Iskandar HN. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 6. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
10.
19