Upload
made-maya-aprilia
View
396
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam
sejarah operasi. Pada tahun 2006, di Amerika Serikat lebih dari 530.000 prosedur
operasi tonsilektomi pada anak dilakukan pertahunnya. Kontroversi mengenai
tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila dibandingkan dengan prosedur operasi
manapun. Konsensus umum yang beredar saat ini menyatakan bahwa tonsilektomi
pada anak telah dilakukan dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada tahun-
tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para dokter dan orangtua
tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi
klinis. Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis
berulang, namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan
makan, kegagalan penambahan berat badan, overbite, tounge thrust, halitosis,
mendengkur, gangguan bicara dan enuresis. Amercan Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi
yang merupakan kesepakatan para ahli mengenai indikasi tindakan
tonsilektomi.1,2,3
Terdapat beberapa komplikasi operasi tonsilektomi, diantaranya nyeri
tenggorokan, mual dan muntah pasca operasi, kesulitan makan, dan juga
perdarahan.2 Perdarahan pascaoperasi merupakan komplikasi yang penting, yang
memiliki potensi meningkatkan morbidatas dan kematian.4 Perdarahan pasca
operasi terjadi pada 0,1-8,1% dari jumlah kasus. Perdarahan pascaoperasi bisa
terjadi segera dimana terjadi pada rentang waktu kurang dari 24 jam ataupun
sekunder yang terjadi setelah 24 jam pasca operasi tonsilektomi. Pendarahan ini
terutama diperberat karena pasien tidak dapat melihat langsung dan mengontrol
pendarahannya. Pasien sering tertelan dan terjadi aspirasi darah, ditambah lagi
bahwa pasien masih dalam keadaan nyeri paska operasi. Beberapa pasien
pendarahannya berhenti secara spontan. Beberapa mengalami episod pendarahan
berulang.1, 4 Oleh karena itu sangat penting bagi tim medis untuk mengenali tanda-
tanda perdarahan post tonsilektomi dan bagaimana cara mengatasinya.
1
2
BAB II
TONSILEKTOMI
2.1. Definisi
Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan satu atau kedua tonsil palatina.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di
nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.1,2,3,5
2.2. Epidemiologi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun
tidak berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di
AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi
mayor. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi
operasi pendek dan teknik tidak sulit.
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta
tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika
Serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada
tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani
tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak
(86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani
tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada
orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72
per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun
1996 (3.200 operasi).1
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit
Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan
2
3
kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.1
2.3. Embriologi dan Anatomi Tonsil
2.3.1. Embriologi
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong
brakial ke II ke dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral.
Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang
kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi
lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada
bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan. Pada
bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan terjadi nodul pada
bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan
jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim,
dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil.1
2.3.2. Anatomi 1, 6, 7
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi
faring. Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal
(adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring
dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di
bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil
berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai
10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu
mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal
sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
- Lateral– m. konstriktor faring superior
- Anterior – m. Palatoglosus
- Posterior – m. Palatofaringeus
4
- Superior – palatum mole
- Inferior – tonsil lingual
Gambar 1. Cavum oral
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan
ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel
(terdiri dari jaringan linfoid). Tedapat klasifikasi ukuran tonsil palatine,
yaitu :
Gambar 2. Hubungan ukuran tonsil dan besarnya obstruksi pernapasanan
yang terjadi
Ukuran ini berkaitan dengan ada atau tidaknya tanda-tanda obstruksi
pernapasan. Tonsil +1 biasanya diikuti dengan tanda obstruksi pernapasan
5
25%, tonsil + 225-50%, tonsil +3 50-75%, dan tonsil + 4 dengan tanda
obstruksi > 75%.1
b. Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu
batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya
adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk
seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di
sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai
palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah
meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus
hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior
bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk
ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.
c. Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi
menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul
adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.
d. Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil
terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah
ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat
pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah
terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.
e. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna,
yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris
dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A.
palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4)
A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh
A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara
6
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil
diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena
dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan
pleksus faringeal.
Gambar 3. Pembuluh darah yang memperdarahi tonsil palatina
f. Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
g. Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
h. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit,
0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi
limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-
75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel
M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells)
yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga
7
terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit
T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
2.3.3. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau
segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah
ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai
bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di
dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada
masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.
2.4. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi
relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa
usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.1
1. Indikasi Absolut (AAO)
8
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi
2. Indikasi Relatif (AAO)
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun
dengan terapi antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik
dengan pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier
streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-
laktamase resisten
Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi
dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus
dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai
kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi
absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang
dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi
semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti
halitosis, debris kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada keadaan yang
lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak
di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan
terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini
harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut
dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam nyawa.1
2.5. Kontraindikasi
9
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:1,3
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
2.6. Teknik Operasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa teknik operasi tonsilektomi. Pemelihan teknik operasi
tersebut difokuskan pada mortalitas seperti nyeri, perdarahan peri dan paska
operasi, durasi operasi, serta kemampuan dan pengalaman ahli bedah, dan juga
ketersedian teknologi yang mendukung. Di Indonesia teknik terbanyak yang
dilakukan adalah teknik Gullotine dan diseksi1
1. Cara Guillotine
Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari Philadelphia,
sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah modifikasi Sluder.
Di negara-negara maju cara ini sudah jarang digunakan dan di Indonesia cara ini
hanya digunakan pada anak-anak dalam anestesi umum. Teknik :
a. Posisi pasien telentang dalam anestesi umum. Operator di sisi kanan
berhadapan dengan pasien.
b. Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan
pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula.
c. Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui
sudut kiri.
d. Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub
bawah tonsil dimasukkan ke dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk
tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke
dalam Iubang guillotine.
e. Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit.
10
f. Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine,
dengan bantuan jari, tonsil dilepaskan dari jaringan sekitarnya dan
diangkat keluar. Perdarahan dirawat.
2. Cara diseksi
Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Cara ini
digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa, baik dalam anestesi umum
maupun lokal. Teknik :
a. Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala
sedikit ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien.
b. Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag.
c. Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial
d. Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari
fosanya secara tumpul sampai kutub bawah dan selanjutnya dengan
menggunakan jerat tonsil, tonsil diangkat. Perdarahan dirawat.
3. Cryogenic tonsilectomy
Tindakan pembedahan tonsil dapat menggunakan caracryosurgery yaitu
proses pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin
yang dipakai adalah freon dan cairan nitrogen.1
4. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4Mhz.
Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk
karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan
listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway).
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade,
monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga
listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan atau
untuk koagulasi.
11
5. Teknik Radiofrekuensi
Pada teknik ini elektrode radiofrekuensi disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
6. Teknik Skapel Harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini
menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser.
Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur
sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 1500C-
4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi
jauh lebih rendah (biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas
generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal
kaki.
Dan terdapat beberapa teknik operasi tonsilektomi lainnya.
2.7. Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi
anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.1,2,8
2.7.1. Komplikasi anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi (brookwood ent associates).
Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun
komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
- Laringospasme
- Gelisah pasca operasi
- Mual muntah
12
- Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
- Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan
henti jantung
- Hipersensitif terhadap obat anestesi
2.7.2. Komplikasi bedah
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah.
Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100
pasien kembali karena masalah perdarahan dan dalam jumlah yang sama
membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early
bleeding, perdarahan primer atau “reactionary haemorrage” dengan
kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama
operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat
berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan
refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat jalan napas sehingga
terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan
syok.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed
bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10
pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%.
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder
pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan
perdarahan dan trauma makanan yang keras.
b. Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali
oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
13
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi.
Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik
“cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan
pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan
terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya
dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah
sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.
c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,
stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
BAB III
DISKUSI
14
3.1. PERTANYAAN
1. Apa saja tanda pendarahan post tonsilektomi? bagaimana menilainya?
2. Apa yang menjadi penyebab perdarahan ?
3. Bagaimana penatalaksanaannya ?
3.2. DISKUSI
1. Tanda perdarahan post tonsilektomi :1,2, 3, 4, 8
a. Bila pasien belum sadar, terdengar nafas yang berbunyi.
b. Keluarnya darah dari mulut atau hidung segera pascaoperasi
tonsilektomi.
c. Pasien merasa mual dan bisa muntah karena menelan darah.
d. Warna kulit pasien memucat, tekanan darah yang rendah, dan
frekuensi nadi > 100 x/menit merupakan tanda bahwa perdarahan
sedang berlangsung
2. Pendarahan tonsilektomi dapat terjadi :1, 2, 8, 9,10
a. Saat Pembedahan
Hal ini sangat terkait dengan teknik operasi yang dilakukan.
- Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan
pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih
banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya
infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil.
- Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena
kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan
tampon tekan.
- Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh
darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan
kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada
fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam, kemudian pilar
14
15
anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat
dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.
- Dari laporan berbagai kepustakaan, teknik operasi yang dikenal
sebagai teknik “hot” (elektrokauter, radiofrekuensi, kobalasi, dan
sebagainya) dapat mengurangi morbiditas dan resiko perdarahan
paskaoperasi.
b. Pasca Pembedahan
- Pendarahan Primer atau segera
o Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi
obat bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah
dapat menyumbat jalan napas.
o Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak adekuat
selama operasi atau terlepasnya ikatan
- Pendarahan Sekunder
o Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5 – 10.
o Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta
trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan
yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil
terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh
darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan
hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh
darah permukaan.
Penyebab perdarahan post tonsilektomi adalah :
a. Teknik pembedahan yang jelek , misalnya terbukanya kembali
pembuluh darah kecil pada luka operasi, atau pembuluh darah yang
tidak terikat atau terkauter.
b. Kelainan status hematologi dan hemodinamik
c. Perdarahan pada 8 jam pertama dapat disebabkan oleh :
Ikatan pembuluh darah yang terlepas
16
Tekanan darah meningkat
Bekuan darah terlepas
Peningkatan tekanan vena karena refleks batuk pada saat
pasien mulai sadar
d. Perawatan post operasi. Misalnya : infeksi pada lokasi operasi,
trauma oleh makanan yang keras ataupun batuk, terkelupasnya scar
superfisial pada luka operasi.
3. Penatalaksanaan perdarahan post tonsilektomi : 1, 2, 8, 11, 12, 13
Faktor penting dalam penatalaksanaan perdarahan post
tonsilektomi adalah pencegahan. Jadi sangat penting menilai apakah
pasien dalam kondisi hemostasis yang baik untuk dilakukan operasi.
Untuk menghindari terjadinya perdarahan post tonsilektomi maka
prosedur pembedahan yang dianjurkan adalah :
1. Persiapan pasien :
a. riwayat penyakit yang komplit
b. pemeriksaan fisik khusus terhadap adanya kecenderungan
terjadinya perdarahan
c. uji penyaringan darah yang paling sering dilakukan adalah:
hitung jenis komplit, tromboplastin parsial, waktu perdarahan
dan waktu pembekuan, dan jumlah trombosit
d. pasien sebaiknya tidak makan aspirin selama 2 minggu
sebelum pembedahan.
2. Pertimbangan teknis pembedahan : aliran darah yang berasal dari
lima pembuluh darah arteri :
- bagian dorsum lingua berasal dari a. Lingualis
- palatina asenden dan tonsila berasal dari a. Maksilaris eksterna
- faring asenden dari a. Karotis aksterna
- palatina desenden dari a. Maksilaris interna : kelainan
pembuluh darah pada daerah ini dapat menyebabkan kesulitan
tertentu pada pembedahan.
17
Faktor demografi, indikasi pembedahan, teknik anestesi,
penggunaan obat-obatan hemostasis dapat juga mempengaruhai resiko
terjadi perdarahan post tonsilektomi.
Jika terjadi perdarahan minimal segera setelah operasi, segera cari
sumber perdarahan lakukan penghentian perdarahan segera. Hal ini dapat
dilakukan di meja operasi dengan menjepit titik perdarahan kemudian
dilakukan ligase atau elektrokauter. Jika masih gagal, dapat dilakukan
eksplorasi leher dan mengikatan a. carotis eksternah pada cabang paling
distal kearah tonsil.
Jika perdarahan terjadi yang harus di awasi adalah manajemen
jalan nafas dan mencegah terjadinya syok hipovolemik. Manajemen jalan
nafas dilakukan dengan cara membersihkan bekuan darah yang ada pada
hipofaring dengan menggunakan jari, spons, ataupun dengan suction.
Vasopressor dapat diberikan jika tanda-tanda hipotensi muncul dan
pertimbangkan untuk dilakukan transfusi darah.
Yang penting pada perawatan pasca tonsilektomi adalah
o Baringkan pasien pada satu sisi tanpa bantal,
o Ukur nadi dan tekanan darah secara teratur
o Awasi adanya gerakan menelan karena pasien mungkin menelan
darah yang terkumpul di faring dan
o Napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di
tenggorok. Bila diduga ada perdarahan, periksa fosa tonsil. Bekuan
darah di fosa tonsil diangkat, karena tindakan ini dapat
menyebabkan jaringan berkontraksi dan perdarahan berhenti
spontan. Bila perdarahan belum berhenti, dapat dilakukan
penekanan dengan tampon yang mengandung adrenalin 1:1000.
Selanjutnya bila masih gagal dapat dicoba dengan pemberian
hemostatik topikal di fosa tonsil dan hemostatik parenteral dapat
diberikan. Bila dengan cara di atas perdarahan belum berhasil
dihentikan, pasien dibawa ke kamar operasi dan dilakukan
perawatan perdarahan seperti saat operasi.
18
o Kompres es disekitar leher
o Pemberian minuman dingin dan makanan lembut untuk beberapa
hari pertama