Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PEMEROLEHAN BAHASA DAN KAITANNYA
DENGAN AKULTURASI BAHASA PADA GURU SMPN 3
MANGARABOMBANG KAB. TAKALAR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar SarjanaPendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUniversitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
RINI10533 6684 11
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSARFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIASeptember 2015
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalatmu
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar”
(Al-Baqarah: 153)
Kupersembahkan karya sederhana ini sebagai bukti kebaktian dan
kecintaanku kepada:
Ayahanda dan ibunda yang telah mendoakan dan membimbing aku
dengan kasih sayangnya mewujudkan harapan menjadi kenyataan
Ayah Ibu,Maafkan aku yang tak pernah
mencintaimu seutuh engkau mencintaiku
maafkan aku yang tak pernah memperjuangkan
harapanmu melebihi tekadmu memperjuangkan
harapanku
Ayah Ibu, Maafkan aku yang tak peduli dengan
letihmu yang renta sedang dalam sakitmu
engkau masih sempat memikirkan rasa letih yang
kualami…
Saudara-saudaraku yang telah menjadi motivator kesuksesanku
Almamaterku Yang telah mewadahi proses keberhasilanku
Sahabatku Yang telah menyertai hari-hariku
viii
ABSTRAK
RINI. 2015. Analisis Pemerolehan Bahasa dan Kaitannya denganAkulturasi Bahasa. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar.Dibimbing oleh Salam dan Abdan Syakur.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses terjadinyaakulturasi pemerolehan bahasa yang berkaitan dengan akulturasi bahasa pada guruSMPN 3 Mangarabombang dan untuk mengetahui pengaruh akulturasi bahasa.Sampel yang diambil dari jumlah populasi dengan menggunakan metodepenarikan sampel yaitu secara acak (random sampling), setiap populasi memilikikesempatan yang sama menjadi sampel sehingga sampel dapat mewakili populasiyang ada. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, teknikwawancara, dan rekaman baik secara lisan maupun tulisan. Teknik observasidilakukan untuk mengamati secara langsung di dalam kelas sehingga diperolehdata yang alami tentang akulturasi bahasa. Teknik wawancara, metode ini penelitiberusaha menjaring informasi yang berupa penjelasan-penjelasan denganmenggunakan sejumlah pertanyaan.
Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa prosesakulturasi guru SMPN 3 Mangarabombang adalah banyaknya guru yangmenggunakan bahasa pertama (B1) atau bahasa ibu di sekolah maka dari ituterjadilah akulturasi yang diakibatkan oleh masuknya unsur bahasa Makassar kedalam bahasa Indonesia, secara lisan kemudian direfleksikan ke dalam bahasatertulis, hal ini menyebabkan terjadinya bahasa baru yang tidak sesuai denganejaan yang disempurnakan, akan tetapi pada penelitian ini kata-kata yangmengalami akulturasi tidak terjadi perubahan makna
Penyimpangan kaidah-kaidah bahasa tersebut antara lain: Awalan ter-yang diganti dengan tak/ta?-, awalan na- sebagai pengganti orang ketiga, akhiran–mi biasanya mengikuti kata sifat yang artinya sudah, akhiran –pi pengganti katananti, akhiran –pa pengganti orang pertama tunggal, akhiran –ji sebagai penjelaskata yang diikutinya, akhiran –ko pengganti orang kedua biasanya digunakankepada orang yang lebih muda, akhiran –na pengganti orang ketiga yang artinyasama dengan nya, akhiran –na pengganti orang ketiga, perubahan bunyi /h/, /k/,dan /t/ pada akhir kata dasar serta perubahan bunyi bahasa /n/ menjadi /ng/ dan/m/ menjadi /ng/. Dari penyimpangan kaidah-kaidah bahasa tersebut merupakanpenyimpangan kaidah-kaidah bahasa akibat akulturasi pengaruh dari segimorfologi dan fonologinya.
Kata Kunci: Akulturasi, Pemerolehan bahasa.
ix
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang paling afdal penulis persembahkan kecuali rasa puji dan
syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan nikmat berupa kesempatan,
kesehatan, ketabahan, petunjuk dan kekuatan iman sehingga penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan. Salam dan salawat tak lupa kita kirimkan kepada Nabi Besar
Muhammad saw beserta keluarganya dan para sahabatnya yang tetap istiqamah di
jalan Allah.
Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik yang
harus ditempuh dalam rangka menyelesaikan Program Studi pada Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.
Adapun judul Skripsi ini adalah ”Analisis Pemerolehan Bahasa dan Kaitannya
dengan Akulturasi Bahasa pada Guru SMPN 3 Mangarabombang”. Di dalam
penyusunan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan tantangan.
Akan tetapi, semua itu dapat teratasi berkat petunjuk dari Allah swt. serta kerja
keras dan rasa percaya diri dari penulis. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis
menerima dengan ikhlas segala koreksi dan masukan-masukan guna
penyempurnaan tulisan ini agar kelak dapat bermanfaat.
Skripsi ini dapat terselesaikan berkat adanya bantuan dan motivasi dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
x
kepada semua pihak yang turut serta memberikan bantuan baik berupa materi
maupun moral, khususnya kepada:
Kedua Orang Tua tercinta, Ayahanda Tada dan Ibunda Tima, Kakakku
Nurhayati,Rostina Megawati, S.Pd. yang senantiasa memberikan semangat dan
dorongan serta Doa sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga saya bisa
menjadi orang yang diharapkan oleh keluarga. Dr. Irwan Akib, M.Pd., Rektor
Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Dr. Munirah, M.Pd., Ketua
jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Syekh Adiwijaya Latief,
S.Pd., M.Pd., Sekretaris jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Pembimbing I Dr. Salam, S.Pd., M.Pd. dan Pembimbing II Abdan Syakur,
S.Pd.,M.Pd. yang telah meluangkan waktu untuk mencurahkan segenap perhatian,
arahan, dorongan dan semangat serta pandangan-pandangan dengan penuh rasa
kesabaran sehingga dapat membuka wawasan berpikir yang sangat berarti bagi
penulis sejak penyusunan proposal hingga skripsi ini selesai. Bapak dan Ibu dosen
Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membagikan ilmunya kepada
penulis selama ini. Serta sahabat-sahabat seperjuanganku, dan teman-teman
angkatan 2011 khususnya kelas A. Terimah kasih atas doa, motivasi, dukungan
serta masukan-masukannya sehingga skripsi ini terselesaikan. Semoga kalian
semua tetap menjadi sahabatku yang selalu ada di dalam suka maupun duka
meskipun kelak waktu akan memisahkan kita karena cita dan cinta yang harus kita
capai.
xi
Segenap kemampuan, tenaga dan daya pikir telah tercurahkan dalam
menyelesaikan penulisan ini untuk mencapai hasil yang maksimal. Namun
sesempurnanya manusia adalah ketika ia melakukan kesalahan, oleh karena itu
penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat
dalam tulisan ini dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Ya Allah Ya
Tuhan kami, terimalah segala usaha kami. Engkau adalah Maha Mendengar dan
Maha Mengetahui. Semoga Engkau membalas pahala yang berlipat kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini, Amin.
Makassar, September 2015
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN .................................................................................... v
SURAT PERJANJIAN ....................................................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN...................................................................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ix
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 5
E. Defenisi Istilah ..................................................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................... 8
A. Penelitian Yang Relevan ...................................................................................... 8
1. Pengertian bahasa........................................................................................... 8
2. Pengertian Akulturasi..................................................................................... 11
3. Bilingualisme ................................................................................................. 16
iv
4. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pemerolehan Bahasa Kedua................... 17
5. Belajar dan Pembelajaran............................................................................... 23
B. Kerangka Pikir ..................................................................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 28
A. Desain Penelitian.................................................................................................. 28
B. Populasi dan Sampel ............................................................................................ 28
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ......................................................................................... 31
B. Pembahasan............................................................................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................................... 60
B. Saran.......................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 63
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, manusia memerlukan
berbagai macam kebutuhan pokok di antaranya ialah bahasa. Betapa pentingnya
bahasa sebagai alat komunikasi yang primer dapat dirasakan oleh setiap pengguna
bahasa. Kenyataan ini terbukti dengan adanya sejumlah orang yang merasa tidak
cukup dengan memiliki satu bahasa. Mereka berusaha untuk menggunakan bahasa
yang lain sebagai alat mencapai wawasan yang lebih luas. Sebagai contoh yang
kongkret, orang Indonesia yang sudah mahir menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pertama (B1) masih memerlukan bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua (B2) untuk melanjutkan pelajaran di negara yang penduduknya
menggunakan bahasa Inggris seperti Amerika. Demikian juga halnya ada yang
mempelajari bahasa Arab untuk melanjutkan pelajaran pada negara yang
penduduknya berbahasa Arab seperti Mesir.
Keterpaduan antara manusia dan bahasanya dapat penulis umpamakan
seperti keterpaduan anatara manik-manik merjan dan kelindangnyayang
membentuk sebuah kalung. Bahasa dengan pendukungnya menciptakan suatu
masyarakat bahasa.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bahasa tidak perna lekang dari
manusia kapan dan di manapun manusia berada. Ketika manusia kelihatan secara
eksplisit tidak berbicara, pada hakikatnya ia masih juga menggunakan bahasa,
1
2
karena bahasa sebagai alat untuk membentuk bahasa, karena sebagai alat untuk
membentuk pikiran dan perasaan. Betapa melekatnya bahasa pada seseorang, pada
waktu tidurpun ia sering menggunakan bahasa.
Bahasa merupakan identitas suatu bangsa, bahkan identitas pribadi
seseorang. Kita masih teringat dengan ungkapan yang berbunyi: Bahasa
menunjukkan bangsa. Budi bahasa yang halus alamat oarang baik, dan perangai
serta tutur kata yang tidak senonoh, menunjukkan asal bangsawan
Pamuntjak(dalam Junus dan Fatimah Junus.,2010: 2). Demikian makna ungkapan
tersebut yang berkenaan dengan bahasa dan bangsa.
Samsuri (dalam Junus dan Fatimah Junus 1980:27-31)
Mengatakan bahwa bahasa indonesia merupakan karunia Tuhan, karenaadanya bahasa sekaligus telah melenyapkan persoalan bahasa Nasional,yang sangat pelik dan gampang dapat menimbulkan emosi ke daerahan.Dalam hubungan inilah kita perlu menyadari jasa pemuda MuhammadYamin dengan kawan-kawannya yang pada Kongres Pemuda pada bulanOktober 1928, dan juga sebelumnya, telah memberikan kepada bangsaIndonesia suatu formulasi tentang alat penyelesaian alat komunikasi bagikehidupan bangsa yang merdeka dan bersatu.
Pada dasarnaya, ketika berbahasa manusia berkeinginan dapat melakukan
komunikasi dengan baik yang benar baik secara lisan maupun secara tertulis.
Namun, terkadang apa yang diinginkan manusia ada yang terpenuhi dan ada juga
tidak. Dalam berbahasa dapat terjadi hal yang demikian. Tanpa disengaja penutur
mengucapkan suatu kalimat yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa. Seringpula
tanpa disadari kekeliruan dalam mengucapkan suatu kalimat. Kesalahan tersebut
dapat membuat seseorang tidak memahami apa yang dikatakan. Dan terkadang
kita mengucapkan kalimat yang keliru, tapi maknanya masih dapat dipahami
orang lain.
3
Orang yang sering menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian
adalah pengontak dua bahasa. Kontak bahasa dapat mengakibatkan saling
pengaruh anatara bahasa pertama (B1) dan bahasa ke dua (B2). Kaidah bahasa
pertama (B1) digunakan ketika ia menggunakan bahasa ke dua (B2), dan
sebaliknya pun dapat terjadi kaidah bahasa kedua (B1) ketika ia menggunakan
bahasa pertama (B1).
Istilah "pemerolehan" terpaut dengan kajian psikolinguistik ketika kita
berbicara mengenai anak-anak dengan bahasa ibunya. Dengan beberapa
pertimbangan, istilah pertama dipakai untuk belajar B2 dan istilah kedua dipakai
untuk bahasa ibu (B1). Faktanya, belajar selalu dikaitkan dengan guru, kurikulum,
alokasi waktu, dan sebagainya, sedangkan dalam pemerolehan B1 semua itu tidak
ada. Ada fakta lain bahwa dalam memperoleh B1, anak mulai dari nol;
dalam belajar B2, pebelajar sudah memiliki bahasa. Dengan "mesin" pemerolehan
bahasa yang dibawa sejak lahir anak mengolah data bahasa lalu memproduksi
ujaran-ujaran. Dengan watak aktif, kreatif, dan inofatif, anak-anak akhirnya
mampu menguasai gramatika bahasa dan memproduksi tutur menuju bahasa yang
diidealkan oleh penutur dewasa.
Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa
mempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenai
pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa
merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan
kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan
4
proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan
bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.
Pengaruh bahasa pertama dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak
alamiah. Seseorang dapat saja menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua
tanpa suatu pemerolehan. Jika bahasa kedua berbeda dengan bahasa pertama,
model monitor dapat dipakai dengan menambahkan beberapa morfologi dan
melakukannya dengan sebaik-baiknya untuk memperbaiki susunan kata.
Pemerolehan bahasa mungkin pelan-pelan, tetapi dalam jangka panjang akan lebih
bermanfaat kalau bahasa dipergunakan untuk maksud dan tujuan komunikasi.
Masyarakat Indonesia terdiri dari masyarakat daerah yang memiliki
bahasa daerah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penggunaaan bahasa Indonesia
dalam kehidupan sehari-hari sangat mungkin dipengaruhi oleh unsur-unsur dari
bahasa daerah. Hal ini mengakibatkan bahasa Indonesia semakin berkembang.
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia sangat mungkin mengalami
hambatan,baik yang datang dari dalam maupun dari luar bahasa.
Penelitian tentang pemerolehan bahasa sudah banyak dilakukan peneliti
sebelumnya. Namun pada kesempatan ini peneliti ingin meneliti pemerolehan
bahasa yang berkaitan dengan akuturasi. Adapun penelitian ini diberi judul
”Analisis pemerolehan bahasa dan kaitannya dengan akulturasi bahasa pada
guru SMPN 3 Mangarabombang”. selain untuk meneliti bagaimana pemerolehan
bahasa satu (BI), juga akan meneliti akulturasi yang digunakan seorang dalam
5
PBM,sebagaimana diketahui bahwa akulturasi bahasa paling banyak terjadi
dilingkungan sekolah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
rumusan masalah dalam analisis bahasa ini adalah: Bagaimana Pengaruh dan
kaitan bahasa pertama terhadap akulturasi bahasa pada guru SMPN 3
Mangarabombang dalam proses mengajar Bahasa Indonesia.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian bahasa ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pengaruh pemerolehan bahasa pertama terhadap bahasa kedua dan keterkaitan
bahasa pertama terhadap akulturasi bahasa kedua guru SMPN 3
Mangarabombang.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara Teoretis
Secara garis besar penelitian ini dikhususkan untuk menelaah kajian
analisis pemerolehan bahasa dan akulturasi bahasa sehingga bermanfaat dalam
bahan kajian analisis pemerolehan bahasa dan kaitannya dengan akulturasi
bahasa.
2. Manfaat secara Praktis
Beberapa macam manfaat praktis yang bisa dihasilkan dari
proses penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat bagi guru :
6
a. Memperoleh wawasan yang luas tentang analisis pemerolehan bahasa yaitu
analisis pemerolehan bahasa dan kaitannya dengan akulturasi bahasa pada
proses pemelajaran bahasa Indonesia.
b. Untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan yang baru bagaimana akulturasi
bahasa yang dipengaruhi oleh pemerolehan bahasa pertama pada proses
pembelajaran bahasa Indonesia.
2. Manfaat bagi peneliti :
a. Mengetahui lebih dalam lagi bagaimana proses, penyebab, dampak dari
akulturasi bahasa baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat.
b. Memperoleh ilmu tentang pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua yang
berkaitan dengan akulturasi bahasa.
E. Defenisi Istilah
Agar lebih mengarah dan memfokuskan pada permasalahan yang akan
dibahas sekaligus menghindari persepsi yang lain mengenai istilah-istilah yang
ada, perlu adanya penyelarasan mengenai definisi istilah. Adapun definisi istilah
yang berkaitan dengan judul dalam penelitian untuk proposal ini adalah sebagai
berikut:
1. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan
oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama,
berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.
2. Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-
fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa dan pemakai bahasa karena
7
ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu
sama lain dalam satu masyarakat tutur.
3. Penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa disebut dengan
bilingualisme (kedwibahasaan).
4. Istilah akulturasi berasal dari bahasa Latin acculturate yang berarti
“tumbuh dan berkembang bersama”. Secara umum, pengertian
akulturasi (acculturation) adalah perpaduan dua buah budaya yang
menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli
dalam budaya tersebut.
5. Bahasa ibu biasa disebut bahasa pertama karena bahasa itulah yang
pertama dipelajari anak.
6. Bahasa lain yang bukan bahasa ibunya atau bahasa yang dipelajari
selain dari bahasa yang pertama didapatkan, maka bahasa lain itu
disebut bahasa kedua.
7. Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses manusia
mendapatkan kemampuan untuk menangkap, menghasilkan, dan
menggunakan kata untuk pemahaman dan komunikasi.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Pengertian Bahasa
Bahasa merupakan identitas suatu bangsa, bahkan identitas pribadi
seseorang. Kita masih teringat dengan ungkapan yang berbunyi Bahasa
menunjukkan bangsa. Budi bahasa yang halus alamat oarang baik, dan perangai
serta tutur kata yang tidak senonoh, menunjukkan asal bangsawan
Pamuntjak(dalam Junus dan Fatimah Junus.,2010: 2). Demikian makna ungkapan
tersebut yang berkenaan dengan bahasa dan bangsa.
a. Bahasa berdasarkan tahap pemerolehan
Berdasarkan tahap pemerolehan, bahasa dapat dibedakan menjadi 3, yaitu
bahasa ibu (bahasa pertama), bahasa kedua (ketiga dan seterusnya) dan bahasa
asing.
1) Bahasa Ibu
Bahasa ibu merupakan padanan untuk istilah Inggris native language,
yaitu satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu
atau keluarga oleh anak.Sebagai contoh, bahasa ibu penduduk asli penduduk di
lereng gunung merapi adalah bahasa Jawa dan bahasa ibu penduduk asli di tepi
danau batur adalah bahasa Bali.
Bahasa ibu tidak mengacu pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh
seorang ibu (atau biasa disebut bahasa sang ibu), melainkan mengacu pada bahasa
9
yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang mengasuhnya. Sekarang ini di
kota-kota besar seperti Surabaya, Yogyakarta, Semarang dll, banyak terjadi orang
tua menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi berdua namun menggunakan
bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan anak mereka. Hal ini bisa
dikatakan bahasa ibu si anak adalah bahasa Indonesia sebab bahasa itulah yang
dipelajari anak dari keluarganya.
Bahasa ibu biasa disebut bahasa pertama karena bahasa itulah yang
pertama dipelajari anak. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain yang
bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa
kedua. Sedangkan bahasa lain lagi yang mungkin dipelajari anak setelah itu
disebut bahasa ketiga, keempat dan seterusnya.
2) Bahasa Kedua
Di atas telah disebutkan bahwa bahasa lain yang bukan bahasa ibunya
yang dipelajari oleh anak, maka bahasa lain itu disebut bahasa kedua. Bahasa
kedua ini bisa bahasa nasional, bahasa resmi negara, bahasa resmi kedaerahan,
atau juga bahasa asing (bukan bahasa asli penduduk pribumi).
Saat memasuki bangku sekolah anak tersebut mendapat pengajaran bahasa
Indonesia di sekolah, maka dalam hal ini bahasa Indonesia dapak dikatakan
sebagai bahasa kedua si anak.Pemerolehan Bahasa Kedua anak adalah sebagai
berikut :
a) Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa Indonesia bukan bahasa pertama
mereka, melainkan bahasa kedua.
10
b) Pengenalan/penguasaan bahasa Indonesia dapat terjadi melalui proses
pemerolehan atau proses belajar.
c) Proses pemerolehan terjadi secara alamiah, tanpa sadar, melalui interaksi tak
formal dengan orang tua dan/atau teman sebaya, tanpa bimbingan.
d) Proses belajar terjadi secara formal, disengaja, melalui interaksi edukatif, ada
bimbingan, dan dilakukan dengan sadar.
e) Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2) didapat bersama-sama atau
dalam waktu berbeda. Jika didapat dalam waktu yang berbeda, Bahasa Kedua
(B2) didapat pada usia prasekolah atau pada usia Sekolah Dasar.
f) Bahasa Kedua (B2) dapat diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama (B1) dan
Bahasa Kedua (B2). Jika diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama, Bahasa
Kedua dipelajari melalui proses belajar formal; jika didapat di lingkungan
Bahasa Kedua, Bahasa Kedua didapat melalui interaksi tidak formal, melalui
keluarga, atau anggota masya-rakat Bahasa Kedua.
b. Masa waktu dan perkembangan pemerolehan bahasa
Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian
penting yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori,
dan (c) perkembangan masa sekolah.Perkembangan pemerolehan bahasa pertama
anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik,
tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.
Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara
orang tua khususnya ibu) dengan anak.Pada masa perkembangan pralinguistik
anak mengembangkan konsep dirinya.Ia berusaha membedakan dirinya dengan
11
subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada
tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda
dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini
lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang
menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian.
Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang
ucapannya.Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk
perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya.Jumlah morfem
rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima
tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan
rata-rata tadi.Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA).
Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada
persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua
mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek
dengan orang.
Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak
pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) +
tindakan (aksi) + objek.Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen +
Aksi + Objek, Agen + Objek.
2. Pengertian Akulturasi
Apa itu Akulturasi? Istilah akulturasi berasal dari bahasa Latin
acculturate yang berarti “tumbuh dan berkembang bersama”. Secara umum,
pengertian akulturasi (acculturation) adalah perpaduan dua buah budaya yang
12
menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsurasli dalam budaya
tersebut.Misalnya.proses percampuran dua budaya atau lebih yang saling bertemu
dan saling memengaruhi.
Menurut Koentjaraningrat, akulturasi adalah prosessosial yang terjadi bila
kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing
yang berbeda. Syarat terjadinya proses akulturasi adalah adanya persenyawaan
(affinity) yaitu penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut. Syarat lainnya adalah
adanya keseragaman (homogenity) seperti nilai baru yang tercerna akibat
keserupaan tingkat dan corak budayanya.
Akulturasi dapat terjadi melalui kontak budaya yang bentuknya dapat bermacam-
macam, antara lain sebagai berikut:
a. Kontak sosial dapat terwujud pada seluruh lapisan masyarakat, sebagian
masyarakat, atau bahkan antarindividu dalam dua masyarakat. Kehadiran
teknologi misalnya, tentu berbeda dengan kehadiran seorang ulama. Kehadiran
seorang ahli psikologi berbeda dengan kehadiran seorang ahli ekonomi.
b. Kontak budaya dapat terwujud dalam situasi bersahabat atau situasi
bermusuhan.
c. Kontak budaya dapat terwujud antara kelompok yang menguasai dan dikuasai
dalam seluruh unsur budaya, baik dalam ekonomi, bahasa. teknologi.
kemasyarakatan. agama, kesenian, maupun ilmu pengetahuan.
d. Kontak budaya dapat terwujud di antara masyarakat yang jumlah warganya
banyak atau sedikit.
13
e. Kontak budaya dapat terwujud dalam ketiga wujud budaya baik sistem budaya,
sistem sosial, maupun unsur budaya fisik.
Teori akulturasi berfokus pada pertanyaan kenapa pebelajar bahasa kedua,
tidak seperti pebelajar bahasa pertama, kerap gagal mencapai kefasihan (mastery)
bahasa sasaran. Penjelasannya disebut dengan istilah ‘distance’ atau ‘jarak’.
Pebelajar bahasa kedua bisa terputus aksesnya dengan penutur asli (dan
berdampak juga pada input yang dibutuhkan) akibat jarak sosial atau jarak
psikologis. Dalam kasus seperti itu maka perkembangan kemampuan pebelajar
menjadi berhenti ‘fossilizes’ dan tidak ada perkembangan lebih lanjut pada
interlanguage.
Akulturasi adalah proses modifikasi sikap, pengetahuan, dan perilaku
dengan cara menambahkan elemen-elemen baru pada latar belakang budaya
seseorang, mengurangi beberapa elemen yang sudah ada sebelumnya, dan
penyusunan ulang (reorganisasi) elemen-eleinen lain (Barry McLaughlin, 1989).
Keseluruhan proses akulturasi tersebut membutuhkan adaptasi sosial dan
psikologis.
Akulturasi dan pemerolehan bahasa kedua ditentukan oleh seberapa
jauhnya jarak sosial (social distance) dan jarak psikologis (psychological distance)
antara pebelajar dan budaya bahasa sasaran. Social distance berhubungan dengan
individu sebagai anggota kelompok sosial yang berhubungan dengan kelompok
sosial lain yang anggota-anggotanya bicara dengan bahasa berbeda. Sedangkan
Psychological distance adalah hasil dari beragam faktor-faktor afektif yang
14
menyangkut si pebelajar sebagai individu, misalnya gegar budaya dan motivasi
tinggi/rendah.
Gegar budaya (culture shock) adalah pengalaman yang sering terjadi pada
pebelajar bahasa kedua pada budaya keduanya.Artinya, pebelajar itu belajar
bahasa kedua di tempat yang baru dengan budaya yang baru juga.
Namun, gegar budaya juga bisa dianggap sebagai sesuatu yang positif
yaitu sebagai pengalaman be!ajar lintas budaya dimana seseorang menjadi sadar
akan perkembangan, proses belajar, dan perubahan vang terjadi pada dirinya.
Melalui pengalaman ini seseorang akan mendapatkan cara pandang yang berbeda
atas dirinya sendiri dan memahami nilai-nilai, sikap, dan cara pandang orang lain
yang diturunkan dari budaya mereka.
Brown (1980:129) memaknai teori akulturasi sebagai proses adaptasi
terhadap budaya baru. Proses adaptasi ini sangat penting dalam pemerolehan
bahasa kedua karena dia merupakan salah satu alat ekspresi budaya. Selain alat
ekspresi budaya juga sebagai alat komunikasi sosial. Berkenaan dengan itu,
Schumann (1978c :34 ) mengajukan premis utama teori akulturasi bahwa
pemerolehan bahasa kedua hanyalah salah satu aspek akulturasi dan tingkat
akulfirasi seorang pembelajaar dalam target akan menjadi alat kontrol terhadap
bahasa target yang telah diperoleh.
Akulturasi pemerolehan bahasa kedua juga ditentukan oleh faklor jarak
sosioal dan kejiwaan antara pembelajar dan budaya bahasa target. Jauh dekatnya
jarak itu, mempengaruhi timbulnya :
15
a. Language shock, yang diakibatkan adanya pengalaman buruk pembelajar
dalam menggunakan bahasa target;
b. Culture shock, pembelajar merasa salah arah, stres, dan ketaktsan, sebagai
akibat dari perbedaan budaya pembelajar dengar, masyarakat bahasa target;
dan
c. Motivasi, dorongan kuat/lemah yang dimiliki pembetajar untuk mempelajari
bahasa target.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa makin kuat kemampuan pembelajar
mengadaptasi bahasa target, makin besar kemungkinan berhasil mernpelajari
bahasa itu. Sebaliknya, language shock dan culture shock menjadi penghambat
dalam mempelajari bahasa target. Solusi yang tepat adalah pengajaran bahasa
diimbangi dengan studi lintas budaya agar pembelajar dapat menempatkan
secara proporsional antara budaya asli dan impor yang terimplisit di dalam
bahasa masing-masing.
Dalam hal ini,pemerolehan bahasa erat kaitannya dengan akulturasi bahasa
khususnya pemerolehan bahasa kedua. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa
pertama (BI) dapat pula memengaruhipemerolehan bahasa kedua (B2).
3. Bilingualisme
Istilah bilingualisme (dalam bahsa Inggris: bilingualism) dalam bahasa
Indonesia disebut kedwibahasaan. Kalau melihat sesorang menggunakan dua
bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain, dia berdwibahasa dalam arti
melaksanakan kedwibahasaan yang kita sebut bilingualisme. Dengan demikian,
bilingualisme adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi
16
atau berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan kemampuan untuk menggunakan
dua bahasa disebut dengan bilingualitas (kedwibahasawan).
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kedwibahasaan ialah kebiasaan
menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain. Secara
sosiolinguistik kedwibahasaan (bilingualisme) sebagai penggunaan dua bahasa
seorang penutur dengan pergaulannya dengan orang lain. Maka dari itu
bilingualisme sangat diperlukan untuk berkomunikasi dengan lingkungan
bermasyarakat atau dapat juga perorangan.
Pakar lain Mackey (dalam Chaer2004 : 84) mengatakan dengan tegas
bahwa bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua
bahasa tentunya harus menguasai bahasa pertama yaitu bahasa ibu ( B1 ) dan
bahasa kedua ( B2 ) yang menjadi bahasa keduanya.
Dengan demikian salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua
bahasa atau lebih oleh sekolompok orang dengan tidak adanya peran tertentu
dalam kedua bahasa itu.Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kapan saja,
kepada siapa saja, dan dalam situasi bagaimana saja.
Disadari atau tidak disadari dalam pemerolehan bahasa kedua pasti
mendapat gangguan dari bahasa pertama. Hal ini disebabkan kadang- kadang
pembelajar bahasa kedua melakukan transfer, baik transfer struktur maupun
transfer bahasa unsure-unsur bahasa lain di dalam bahasa pertama pada saat
memproduksi bahasa kedua.
17
Penutur bilingual yang memiliki kemampuan terhadap B1 dan B2 sama
baiknya, tentu tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu
kapan saja diperlukan, karena tindak laku kedua bahasa itu terpisah dan bekerja
sendiri-sendiri. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan seperti ini oleh
Ervin dan Osgood (1965:139) disebut berkemampuan bahasa yang sejajar.
Sedangkan yang kemampuan terhadap B2-nya jauh lebih rendah atau tidak sama
dari kemampuan terhadap B1-nya disebut berkemampuan bahasa yang majemuk.
Penutur yang mempunyai kemampuan majemuk ini biasanya mempunyai
kesulitan dalam menggunakan B2-nya karena akan dipengaruhi oleh kemampuan
B1-nya.
4. Faktor-Faktor yang MemengaruhiPemerolehan Bahasa Kedua
Sebagaimana proses kemampuan B1, kemampuan B2 pun untuk
mendapatkan kompetensi semantik, kompetensi sintaksis, dan kompetensi
fonologi. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa ketiga kompetensi tersebut
merupakan subtansi dari kompetensi linguistik.Untuk dapat berbahasa (B1 atau
B2) dengan baik, seseorang harus menguasai tiga kompetensi tersebut. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan subtansi antara proses yang terjadi pada
kemampuan B 1 dan B2.Proses penguasaan B2 mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Proses belajar bahasa secara sengaja.
b. Berlangsung setalah terdidik berada di sekolah.
c. Lingkungan sekolah sangat menentukan.
d. Motivasi si terdidik tidak sekuat saat memppelajari bahasa pertama.
18
e. Waktunya terbatas.
f. Si terdidik tidak mempunyai banyak waktu untuk mempraktekkan bahasa yang
dipelajari.
g. Bahasa pertama mempengaruhi proses belajar bahasa kedua.
h. Umur kritis mempelajari bahasa kedua kadang-kadang telah lewat, sehingga
proses belajar bahasa kedua berlangsung lama.
i. Dan disediakan alat bantu belajar.
Tarigan (1988:125-126) mengacu pada La Foge (1983) mengatakan bahwa
terdapat tiga ciri proses pembelajaran bahasa kedua;
a. pembelajaran bahasa adalah manusia, karenannya pembelajaran bahasa terjadi
dalam interaksi social antar individu (guru, siswa) yang di dalamnya berlaku
hokum-hukum social,
b. pembelajaran berlangsung dalam interaksi yang dinamis, berarti bahwa
pembelajar tumbuh dan berkembang menuju ke “kedewasaan ber-B211,
sehingga dalam proses ini pengajar diharapkan memberikan segala
pengalamannya untuk membantu pembelajar,
c. pembelajaran berlangsung dalam suasana reponsif. Artinya, proses
pembelajaran merupakan kesempatan besar bagi pembelajar untuk melakukan
respon. Pancingan dapat diberikan oleh pengajar atau sesame pembelajar.
Adapun faktor yang memengaruhipemerolehan bahasa kedua antara lain :
a. Faktor Motivasi
Dalam pembelajaran bahasa kedua menyatakan bahwa orang yang didalam
didrinya ada keinginan, dorongan, atau tujuan yang ingin dicapai dalam belajar
19
bahasa kedua cenderung akan lebih berhasil disbanding dengan orang yang belajar
tanpa dilandasi oleh suatu dorongan, tujuan dan motivasi itu. Lambert dan
Gardner (1972), Brown (1980), dan Ellias (1986), juga mendukung pernyataan
bahwa belajar bahasa akan lebih behasil bila dalam diri pembelajar ada motivasi
tertentu.
Beberapa pakar pembelajaran bahasa kedua telah mengemukakan apa
yang dimaksud dengan motivasi. Coffer (1964) misalnya menyataka bahwa
motivasi adalah dorongan, hasrat, kemauan, alasan, atau tujuan yang mengerakkan
orang untuk melakukan sesuatu.Pakar lain, Brown (1981) menyatakan bahwa
motivasi adalah dorongan dari dalam, dorongan sesaat, emosi atau keinginan yang
mengerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu.Sedangakan Lambert (1972)
menyatakan bahawa motivasi adalah alasan untuk mencapai tujuan secara
keseluruhan.Jadi motivasi dalam pembelajaran bahasa berupa dorongan yang
datang dari dalam diri pembelajar yang menyebabkan pembelajaran memiliki
keinginan yang kuat untuk mempelajari suatu bahasa kedua.
Dalam kaitannya dalam pemebalajaran bahasa kedua, yaitu: 1) fungsi
integrative dan 2) fungsi instrumental. Motivasi berfungsi integrative kalau
motivasi itu mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya
keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau
menjadi anggota masyarakat bahasa penutur. Sedangkan motivasi berfungsi
instrumental adalah kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk memiliki
kemauan untuk mempelajari bahas kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau
20
karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial atas
masyarakat tersebut (Dadner dan Lambert, 1972:3).
b. Faktor Usia
Ada anggapan umum dalam pembelajaran bahasa kedua bahwa anak-anak
lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibanding dengan
orang dewasa (Bambang Djunaidi, 1990).Anak-anak tampaknya lebih mudah
dalam memperoleh bahasa baru, sedangkan orang dewasa tampaknya mendapat
kesulitan dalam memperoleh tingakat kemahiran bahasa kedua. Anggapan ini
telah mengarahkan adanya hipotesis mengenai usia kritis atau periode kritis
(Lenneberg, 1967; Oyama, 1976) untuk belajar bahasa kedua.
Namun, hasil penelitan mengenai faktor usia dalam pembelajaran bahasa kedua
menunjukkan hal berikut.
1) Dalam hal urutan pemerolehan tampaknya faktor usia tidak terllalu berperan
sebab urutan pemerolehan oleh anak-anak dan orang dewasa sama saja
(Fathman, 1975; Duly, Burt, dan Kreshen, 1982).
2) Dalam hal kecepatan dan keberhasilan belajara bahasa kedua, dapat
disimpulkan: a) anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam
pemerolehan system fonologi atau pelafalan; bahkan banyak diantara mereka
yang mencapai pelafalan seperti penutur asli; b) orang dewasa tampaknya maju
lebih cepat daripada kanak-kanak dalam bidang morfologi dan sintaksis, paling
tidak pada pemulaan masa belajar; c) kanak-kanak lebih berhasil daripada
orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat (‘Oyama, 1976; Dulay, Burt, dan
Krashen, 1982; Asher dan Gracia, 1969).
21
Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa faktor umur yang tidak
dipisahkan dari faktor lain adalah faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran
bahasa kedua. Perbedaan umur mempengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajar
bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi dan sintaksis tetapi tidak
berpengaruh dalam pemerolehan urutannya.
c. Faktor Penyajian Formal
Pembelajaran atau penyajian bahasa secara formal tentu memiliki
pengaruh terhadap kecepatan dan kebehasilan dalam meperoleh bahasa kedua
karena disebabkan beberapa faktor dan variable yang disediakan dengan
sengaja.Demikian juga keadaan lingkungan pembelajaran bahasa kedua secara
formal, di dalam kelas, sangat berbeda dengan lingkungan pembelajaran bahasa
kedua secara narutalistik atau alamiah.Steiberg (1979: 166) menyebutkan
karekteristiklingkunagn pembelajaran bahasa di kelas sebagai berikut:
1) Lingkungan pembelajaran bahasa di kelas sangat diwarnai oleh faktor
psikolog sosial kelas yang mellliputi penyesuaian, disiplin, dan prosedur
yang digunakan.
2) .Dilingkungan kelas dilakukan praseleksi terhadap data linguistik, yang
dilakukan guru berdasarkan kurikulum yang digunakan.
3) Dilingkungan kelas disajikan kaidah-kaidah gramatikal secara eksplisit
untuk menungkatkan kualitas berbahasa siswa yang tidak dijumpai di
lingkungan alamiah.
4) Di lingkungan kelas sering disajikan data dan situasi bhasa yang artifisial
(buatan), tidak seperti dalam lingkungan alamiah.
22
5) Di lingkungan kelas disediakan alat-alat pengajara seperti buku teks, buku
penunjang, papan tulis, tugas-tugas yang harus diselesaikan, dan
sebagainya.
Dengan kelima karakter lingkungan seperti di atas dapat disimpulakan
bahwa lingkungan kelas merupakan lingkunagan yang memfokuskan pada
kesadaran dalam memperolehh kaidah-kaiadah dan bentuk bahasa yag dipelajari
(Dulay, 982:17). Namun, pembelajaran bahasa edua secara formal kurang
berpotensi untuk menghasilakan penutur-penutur yang mampu berkomunikasi
secara alamiah seperti penutur aslinya.
Dengan kondisi lingkungan kelas yang khas dalam pembelajaran bahasa
kedua, maka tentunya ada pengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran bahasa
kedua.
Dalam penelitian ini seorang guru menjadi acuan penggunaan bahasa
pertama sering kali terjadi dalam proses pembelajaran dalam kelas. Bahasa
pertama inilah yang menyebabkan akulturasi bahasa dalam proses pembelajaran
pada mata pelajaran bahasa Indonesia, karna harus diutamakannya bahasa
Indonesia dalam PBM tersebut tapi secara tidak sengaja seorang guru
menggunakan bahasa pertamanya.
Contoh pengaruh pengaruh bahasa pertama yang menyebabkan akulturasi
bahasa adalah sebagai berikut:
Bu Arin :tenakullenak, aturan tetap aturan.
Antoni : tapi Bu…sakitki perutku jadi terlambatka.
Bu Arin :iyapale..api ada tugasmu nanti..
23
Antoni : tugas apa seng bu ???
Bu Arin :sinampepi di caritai, lanjutmi dulu catatanmu.
Antoni : beresmi itu ibu…
Seorang guru seringkali melakukan campur kode atau alih kode dalam
proses akulturasi bahasa dalam proses pembelajaran karna masih ada pengaruh
dari pemerolehan bahasa pertama,hal ini berkaitan dengan budaya berbahasa
seseorang, sama halnya dengan guru yang seringkali melakukan akulturasi bahasa.
5. Belajar dan Pembelajaran
Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh
pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku, sikap, dan
mengokohkan kepribadian. Dalam konteks menjadi tahu atau proses memperoleh
pengetahuan, menurut pemahaman sains konvensional, kontak manusia dengan
alam diistilahkan dengan pengalaman (experience). pengalaman yang terjadi
berulang kali melahirkan pengetahuan, (knowledge), atau a body of knowledge.
Definisi ini merupakan definisi umum dalam pembelajaran sains secara
konvensional, dan beranggapan bahwa pengetahuan sudah terserak di alam,
tinggal bagaimana siswa atau pembelajar bereksplorasi, menggali dan menemukan
kemudian memungutya, untuk memperoleh pengetahuan.
Ronald Gross dalam bukunya berjudul Peak Learning (1991), sebagai
akibat praktek belajar yang kurang kondusif, tidak demokratis, tidak memberikan
kesempatan untuk berkreasi dan belum mengembangkan seluruh potensi anak
didik secara optimal, telah mengidentifikasi enam mitos tentang belajar. Keenam
mitos itu adalah sebagai berikut:
24
a. Belajar itu membosankan, merupakan kegiatan yang tidak menyenangkan.
b. Belajar hanya terkait dengan materi dan keterampilan yang diberikan sekolah.
c. Pembelajar harus pasif, menerima dan mengikuti apa yang diberikan guru.
d. Di dalam belajar, si pembelajar di bawah perintah dan aturan guru.
e. Belajar harus sistematis, logis, dan terencana.
f. Belajar harus mengikuti seluruh program yang telah ditentukan.
Mitos semacam itu timbul karena dilandasi oleh fakta, banyak praktik
pembelajaran di sekolah yang menunjukkan pelaksanaan hal-hal tersebut. Oleh
sebab itu, harus diciptakan suasana agar belajar di sekolah berlangsung secara
aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.Kembali kepada konsep belajar,
setiap ahli psikologi memberi definisi dan batasan yang berbeda-beda, akibatnya
terdapat keragaman di dalam menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar.
Witherington (dalam Suyono dkk 2012: 11)menyatakan bahwa belajar merupakan
perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respon
yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahua, dan
kecakapan.
Menurut Hilgard (dalam Suyono dkk 2012: 12)Belajar adalah suatu proses
dimana suatu perilaku muncul atau berubah karena adanya respon terhadap
adanya suatu situasi. Dapat disimpulkan bahwa belajar adalah adanya perubahan
perilaku (behavior) karena pengalaman atau latihan.Sedangkan pengajaran
dilaksanakan dalam suatu aktivitas yang kita kenal dengan istilah mengajar.
Pengajaran amat dekat dengan pengertian pedagogi.
25
Pedagogi adalah seni atau ilmu untuk menjadi guru.istilah ini sering
mengarah kepada strategi pengajaran atau gaya mengajar. Seorang behavioris
(dalam Suyono dkk 2012: 16) menyatakan bahwa mengajar adalah upaya
memberikan stimulus , bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar
terjadi proses belajar.
Oleh Free Online Dictionary ( diakses 27 Oktober 2009) pengajaran,
teachinglinstruction, didefinisikan dengan kegiatan, praktik, pekerjaan atau
profesi seorang guru, atau sesuatu yang diajarkan, seni atau profesi seorang guru,
atau sesuatu yang diajarkan, seni atau profesi seorang guru, kegiatan dalam
mendidik atau mengajar. Di dalam Brainy Quote (diakses 27 Oktober 2009)
dinyatakan bahwa pengajaran sebagai kegiatan atau urusan tentang mengajar, apa
yang diajarkan, semakna dengan instruksi.
B. Kerangka Pikir
Berdasarkan uraian di atas, berikut ini akan diuraikan kerangka berpikir
sebagai landasan dalam membahas masalah, dan untuk mengerahkan penelitian
dalam membahas masalah, mengerahkan penelitian dalam mengumpulkan data,
mengolah data, dan memecahkan masalah. Adapun kerangka berpikir yang
dimaksud ialahpemerolehan bahasa dan kaitannya dengan akulturasi bahasa pada
guru SMPN 3 Mangarabombang . Dapat dilihat pada bagan 2.1
26
2.1 BAGAN KERANGKA PIKIR
Analisis pemerolehan bahasa dan kaitannyadengan akulturasi bahasa
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Proses Pembelajaran
Guru SMPN 3 MARBO
Bahasa Pertama
Temuan
Akulturasi Bahasa
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
1. Variabel Penelitian
Variabel merupakan konsep yang mempunyai variasi nilai. Dari definisi
tersebut mengandung arti konsep atau sesuatu bisa disebut sebagai variabel
apabila konsep tersebut mempunyai variabilitas atau bisa dibedakan jadi beberapa
kategori atau jenis. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan variable tunggal
yaitu analisis pemerolehan bahasa dan kaitannya dengan akulturasi bahasa pada
guru SMPN 3 Mangarabombang .
2. Desain Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini dirancang secara
deskriptif kualitatif. Dalam pengumpulan data peneliti terlibat langsung
(partisipant observer) sebagai instrumen penelitian. Data dianalisis dan
mendeskripsikannya sesuai dengan keadaan data lapangan. Setiap data
dideskripsikan berdasarkan kaidah terjadinya akulturasi bahasa.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah segenap objek yang menjadi titik perhatian dalam suatu
penelitian, Ali (1989:14) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan populasi
penelitian adalah keseluruhan objek penelitian baik berupa manusia, benda,
29
peristiwa maupun gejala yang terjadi berdasarkan batasan tersebut maka yang
menjadi populasi adalah seluruh guru di SMPN 3 Mangarabombang .
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan yang diteliti dan dianggap
mewakili populasi (Ali, 1989:54) berdasarkan pengertian tersebut maka seluruh
anggota populasi sekaligus menjadi sampel populasi. Hal ini mengacu pada
pendapat Arikunto (1997:152) yang mengatakan bahwa jika anggota populasi
relative kecil sebaiknya seluruh populasi tersebut dijadikan sampel. Jadi yang
menjadi sampel dalam penelitian ini adalah seluruh guru bahasa Indonesia SMPN
3 Mangarabombang .
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data akulturasi bahasa dilakukan dengan menggunakan
teknik observasi. Teknik observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung
proses belajar-mengajar di dalam kelas sehingga diperoleh data yang alami
tentang penyebab pemerolehan bahasa yang berkaitan dengan akulturasi bahasa.
Teknik wawancara, metode ini peneliti berusaha menjaring informasi yang berupa
penjelasan-penjelasan dengan menggunakan sejumlah pertanyaan. dan rekaman
baik secara lisan maupun tulisan kata yang mengalami akulturasi.
4. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik normatif, yaitu
dengan cara mendeskripsi secara kualitatif pemerolehan bahasa dan akulturasi
bahasa yang digunakan oleh guru, lalu dikaji berdasarkan struktur bahasa
indonesia sehingga ditemukan struktur yang tepat, yaitu struktur yang sesuai
30
dengan pola atau ciri standar dan kaidah bahasa Indonesia. Analisis data
berdasarkan metode tersebut dilakukan dengan tahap proses pemerolehan bahasa
yang berkaitan dengan akulturasi bahasa.
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Setiap manusia pasti perna mengalami akulturasi dalam berbahasa baik
dalam bentuk lisan maupun tulisan.Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut
adalah karena adanya kondisi yang dwibahasaan orang tersebut.Bahasa pertama
(B1) mempengaruhi bahasa kedua (B2), begitupun sebaliknya sehingga
penggunaan antara bahasa satu dengan bahasa yang lainnya sering terjadi kultur
atau saling memengaruhianatar bahasa.
Di negara kita yang terdiri dari ratusan bahasa daerah termasuk di
dalamnya adalah bahasa Makassar.Sangatlah memungkinkan terciptanya
masyarakat dwibahasaan. Adanya kondisi ini disadari atau tidak, masyarakat
pengguna bahasa Indonesia seringkali mengalami, penggunaan bahasa yang
campur sari dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia dan Ejaan
yang Disempurnakan.
Pengaruh bahasa Makassar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Takalar yang merupakan bahasa ibu (B1) dalam penggunaan bahasa Indonesia
(B2) sulit untuk dihindari. Dialek bahasa Makassar itu sangat nampak pada
penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat dalam bertutur.
Hal seperti ini bukan hanya terjadi pada kehidupan rumah tangga, dan
masyarakat, melainkan di lembaga pendidikan formal pun yakni di sekolah-
sekolah. Disinilah tampak jelas, bahwa pengaruh bahasa ibu dalam hal ini
32
penggunaan bahasa Makassar terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua,
sulit dihindari siswa maupun guru. Sebab bahasa Makassar ini secara alamiah
telah diperoleh seseorang sejak lahir sampai memasuki usia sekolah.
Oleh karena itu, setelah penulis melakukan penelitian langsung dilapangan
dengan mengambil lokasi SMPN 3 Mangarabombang, sampailah saatnya
mendeskripsikan hasil penelitian itu pada bab IV ini.
Pada bab ini penulis memaparkan pengaruh bahasa Makassar (B1)
terhadap penggunaan bahasa Indonesia (B2) dalam proses pembelajaran adapun
yang dibahas adalah pengaruh dan kaitan bahasa pertama terhadap akulturasi
bahasa sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan.
1. Pengaruh Morfologis Bahasa Makassar ke dalam Bahasa Indonesia pada
Proses Akulturasi Bahasa
Untuk melihat dan mengetahui lebih seberapa jauh adanya pengaruh
bahasa Makassar dalam tataran morfologis terhadap penggunaan bahasa Indonesia
dapat diketahui dari penggunaan klitik oleh guru dalam berkomunikasi.
Yang dimaksud klitik adalah morfem terikat yang melekat pada kata
sebagikonstituennya.Klitika ini terdiri atas dua macam yaitu klitika yang melekat
pada awal kata yang disebut proklitik dan klitik yang melekat pada posisi akhir
kata disebut enklitik.
Adapun klitik yang dipakai guru SMPN 3 Mangarabombang dalam
berbahasa Indonesia sebagai pengaruh dari bahasa Makassar adalah sebagai
berikut:
1. Klitik Penegas
33
- Pemakaian proklitik : tak-
- Pemakaian enklitik : -mi, -pi, -pa, -ji
2. Klitik Sapaan
- Pemakaian enklitik : -kik, -ko, -kak
3. Klitik yang menyatakan milik
- Pemakaian proklitik : na-
- Pemakaian enklitik : -ta, -na, -i
Untuk lebih jelasnya, mengenai pemakaian klitik tersebut dapat dilihat
pada uraian/ pemaparan hasil penelitian berikut.
1. Klitik Penegas dalam Bahasa Makassar
a. Pemakaian proklitik tak-
Pada saat penulis mengadakan penelitian, klitiktak- ini dipergunakan oleh
guru dalam menggunakan bahasa Indonesia, seperti pada dialog yang penulis
kutip di bawah ini:
Pak Bahar : Pak Makmur!,tak Lemparki pulpenku
Pak Makmur : Di mana tak Lempar pak?
Pak Bahar : Di bawa mejanya Bu Yuli
Dialog di atas merupakan salah satu dari sekian banyak percakapan bebas
oleh guru di dalam kelas yang di dalamnya terdapat akulturasi bahasa Indonesia
dalam bahasa makassar dengan menggunakan klitiktak-, seharusnya kata itu
adalah terlempar. Namun, merasa tidak dapat memperoleh data yang lebih akurat,
mengingat percakapan itu di dalam ruang guru dan hasil dialog mereka sulit untuk
penulis merangkumnya secara keseluruhan. Maka penulis berinisiatif untuk
34
mengajukan pertanyaan berupa dialog antara penulis dan responden (guru). Dalam
pertanyaan itu penulis sengaja mengarahkan responden untuk memberikan
jawaban pada dua kemungkinan, yaitu dengan menggunakan klitiktak-.
Adapun pertanayaan penulis adalah “apabila sebuah handpone terletak di
atas ketinggian 3 meter dari dasar lantai dan tiba-tiba terjatuh, maka kemungkinan
apa yang bisa terjadi pada handpone tersebut ?”
Dari pertanyaan yang penulis ajukan pada 26 responden, diperoleh
jawaban yang sama, tetapi pemakaian klitik yang berbeda. Jawaban responden
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2Jawaban Responden terhadap Kemungkinan yang Terjadi pada Handpone
KLASIFIKASI FREKUENSI PERSENTASE (%)
Terhambur
Takhambur
10
16
36
64
Jumlah 26 100
Sumber Data: Wawancara Responden, 25 Agustus 2015
Dari tabel di atas, yang merupakan klasifikasi jawaban mengenai soal tadi,
dimana responden memberikan jawan yang sama, tetapi tampak adanya pengaruh
bahasa Makassar pada sebagian jawaban responden. Terlihat pada tabel bahwa
yang menjawab terhambur sebanyak 10 responden atau 36%.Sedangkan yang
menjawab tak hambur sebanyak 16 responden atau 64 % dari 26 responden.Hal
ini menunjukkan bahwa pemakaian klitiktaksebagai pengaruh bahasa ibu (B1) dari
guru, masih sering terjadi, apalagi perbandingan hasil jawaban dari responden
hampir seimbang.
35
Kalau merujuk kepada kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, hal
seperti ini sangatlah tidak dibenarkan karena telah menyimpang dari kaidah
bahasa Indonesia itu sendiri.
Namun, kesalahan berbahasa memang sulit untuk dihindari oleh guru
SMPN 3 Mangarabombang khususnya, karena bahasa Makassar tetap sebagai
bahasa sehari-hari dalam rumah tangga (keluarga) dan lingkungan masyarakat,
sehingga sampai di sekolah pun pengaruh itu tetap akan ada.
Mengenai bahasa sehari-hari yang digunakan oleh guru, dalam rumah
tangga dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3Kondisi Kebahasaan Guru SMPN 3 Mangarabombang dalam Rumah Tangga
(keluarga)
Jenis Frekuensi Persentase (%)
Bahasa Makassar/Bugis
Bahasa Indonesia
Campuran
12
12
2
44
44
12
Jumlah 26 100
Sumber Data : Kuesioner Responden, 25 agustus 2015.
Data yang tertera pada tabel di atas, menunjukkan bahwa bahasa
Makassar/Bugis tetap menjadi bahasa dominan atau utama yang dipergunakan
oleh guru SMPN 3 Mangarabombang dalam berkomunikasi dengan keluarganya.
Terlihat responden yang memilih bahasa Makassar sebagai bahasa utama keluarga
sebanyak 12 responden (44%), sedangkan bahasa Indonesia dan campuran antara
bahasa Makassar dan bahasa Indonesia atau bahasa bugis dengan bahasa
Indonesia masing-masing 12(44%) dan 2 (12%) dari 26 responden.
36
Data lain yang diperoleh dari guru adalah adanya pemakaian klitikta-
sebagai pengganti prefikster-, yaitu:
Pak Arfah : Kenapa tidak tak buka pintu perpustakaan?
Pak sapri : jadi taktutup terus.
Pak Bahar : tak kunciki mungkin dari dalam.
Dialog singkat yang penulis sempat dengarkan ini menunjukkan pengaruh
klitik bahasa Makassar ke dalam bahasa Indonesia. Dialog tersebut seharusnya.
Pak Arfah : Kenapa tidak tak buka pintu perpustakaan?
Pak sapri : jadi taktutup terus.
Pak Bahar : tak kunciki mungkin dari dalam.
b. Pemakaian enklitik –mi
Pemakaian Enklitik–mi dalam bahasa Indonesia seringkali didapatkan, baik
itu mengikuti kata kerja maupun kata sifat. Bahkan pemakaian enklitik–mi bukan
hanya dipergunakan oleh orang Makassar atau penutur bahasa Makassar, tetapi
enklitik –mi tersebut juga di pakai orang Bugis, orang suku Mandar, orang Tator
dan suku Bugis konjo, selayar dan lain-lain, dalam menggunakan bahasa
Indonesia.
Mengenai pemakaian enklitik–mi ini, penulis memeperoleh data antara lain
dengan melakukan pertanyaan kepada siswa, dengan bunyi pertanyaan sebagai
berikut:
1. Kenapa kamu tidak masuk kelas ?
2. Kenapa kamu memakai sepatu putih ?
3. Kenapa kamu buang bukumu ?
37
4. Kenapa kau buang pulpenmu ?
5. Sudah ada guru yang mengajar di kelas II ?
Pertanyaan di atas dikondisikan atau disesuaikan dengan keadaan guru pada
saat ditanaya.Dalam hal ini, apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab
oleh guru sesuai keadaan guru (responden) pada saat itu. Adapun jawaban
responden yaitu:
1. Istirahatmi Bu
2. Rusakmi sepatu hitamku Bu
3. Robekmi Bu
4. Habismi Bu
5. Sudah adami Bu
Dari data di atas, di tunjukkan bahwa enklitik–mi dapat mengikuti kata sifat
dan kata kerja. Apabila enklitik–mi mengikuti kata kerja maka maknanya adalah
menegaskan tindakan pada kata dasarnya. Kalau enklitik–mi mengikuti kata sifat.
Untuk mendapatkan data yang lebih meyakinkan mengenai pemakaian
enklitik–mi ini, maka pertanyaan no 1 di atas, penulis ajukan kepada 26
responden.Adapun jawaban dari responden itu dapat dilihat pada tabel 4 di bawah
ini.
Tabel 4Jawaban Responden terhadap Pertanyaan
“ Mengapa kamu tidak masuk kelas?”
KlasifikasiFrekuensi Persentase
Sedang Istirahat
Istirahatmi
12
16
43
57
Jumlah 28 100
Sumber Data: Wawancara Responden, 26 Agustus 2015
38
Dari tabel di atas, ditunjukkan bahwa dari 28 responden yang ditanya
sebagian besar memakai enklitik–mi yakni mencapai 57%, sedangkan yang
menggunakan bahasa Indonesia baku hanya 43%. Hal ini menunjukkan bahwa
pengaruh bahasa pertama (B1) sangat besar pada penggunaan enklitik–mi dalam
bahasa Indonesia.
Pada penelitian, penulis juga sempat mendengar dan mencatat hasil dialog
bebas dua orang siswa, yaitu:
Sahar : Saya mau pulang deh, karena mauka? Ke pengantin
Supriandi : Tunggumi dulusampe jam terakhir
Sahar :Tidakbisaka’, nanti pergimimamakku baru saya sampai di rumah
Supriandi : Pulang mako, kuaalfakoitu.
Sahar : Biarmi
Pemakaian enklitik–mi seperti di atas, seringkali penulis mengutipnya
secara keseluruhan karena berbagai keterbatasan yang di miliki oleh penulis.
Namun, dari semua data yang diperoleh melalui jawaban dari 26
responden yang tertera pada tabel 4, maupun hasil dialog yang di kutip tadi, maka
penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa ada kecenderungan bagi guru
SMPN 3 Mangarabombangmemakai enklitik–mi apabila berbicara atau
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Padahal klitik–mi ini
merupakan enklitik dalam bahasa Makassar dan tidak ada dalam kaidah bahasa
Indonesia. Jadi, adanya pemakaian enklitik–mi oleh guru maupun siswa itu
sebagai akibat pengaruh bahasa sehari-hari yaitu sebagian besar bahasa Makassar.
c. Pemakaian enklitik -pi
39
Pemakaian enklitik–pi oleh guru dan siswa dalam berbahasa Indonesia
dapat dilihat melalui dialog bebas yang didengar dan dicatat oleh penulis, seperti
di bawah ini:
Guru : Kenapa kau tidak masuk kelas?
Siswa : Belumpidatang Pak Ali
Guru : Memangnya datangpi gurunu baru mauki masuk ?sekarangkan sudah
waktunya belajar
Siswa : Tapi belajarpidi kelasku baru maukamasuk
Data lain diperoleh dengan cara mengajukan pertanyaan kepada 26 guru
(responden) yang berbunyi:
Apa Bapak/Ibu telah menyusun RPP?.jawaban yang diperoleh tertera pada tabel 5.
Tabel 5Jawaban responden terhadap pertanyaaan“Apa Bapak/Ibu telah menyusun RPP ?”
Klasifikasi Frekuensi PersentaseBelum
Belumpi1214
4654
Jumlah 26 100Sumber Data: Wawancara Responden, 26 Agustus 2015
Dari tabel di atas, ditunjukan bahwa sebagian besar responden memakai
enklitik–pi yakni sebanayak 14 responden atau 54% sedangkan yang tidak
memakai enklitik–pi atau menggunakan kata baku hanya 12 responden atau 46%
dari 26 responden.
Pemakianenklitik–pi mengacu kepada orang ketiga dan enklitik ini dapat
menjadi pengganti kata : nanti, setelah, dan juga.
40
Pemakaian enklitik–pi seperti pada data di atas adalah enklitik bahasa
Makassar yang dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini merupakan suatu
Akulturasi dan penyimpangan terhadap kaidah bahasa Indonesia yang berlaku
yang dilakukan oleh guru SMPN 3 Mangarabombang.
d. Pemakaian enklitik –pa
Menurut pengamatan penulis sebelum menyelenggarakan penelitian secara
resmi, enklitik–pa seringkali dipakai oleh guru dalam berkomunikasi, baik dalam
kelas maupun di luar kelas.
Pada saat melakukan penelitian, penulis memperoleh data dari hasil dialog
di luar kelas:
A: Belumpaki makan bakso ?
B: Bulumpa, karena makanpaki baru makanka juga
A: Kenapa makanpabaru mauki makan?
B: Yah, supaya kamu yang bayar semuanya
A: Kalau begitu tungguka, datangpadari WC baru pesanka.
Pada dialog yang sempat dicatat dan dikutip dalam skripsi ini ditunjukkan
adanya akulturasi bahasa dengan memasukkan atau mengikutsertakan klitik–pa
dalam bahasa Indonesia. Padahal klitik tersebut adalah klitk yang digunakan
dalam bahasa Makassar. Seharusnya dialog tersebut seperti ini:
A: Kau belum makan bakso ?
B: Belum. Karena nanti kamu makan baru saya makan bakso juga
A: Kenapa nanti saya makan baru kamu mau makan?
B: Yah, supaya kamu yang bayar semuanya
41
A: Kalau begitu tunggu , nanti datang dari WC baru pergi pesan.
Berdasarkan data mengenai pemakaian enklitik–pa, maka penulis dapat
menarik beberapa kesimpulan bahwa:
- Pemakaian enklitik –pa lebih mengacu pada orang pertama tunggal/ diri sendiri
- Pemakaian enklitik –pa dapat menjadi pengganti kata : setelah, nanti
- Enklitik –pa merupakan bentuk enklitik bahasa Makassar yang dapat
menyatakan waktu (tenggang waktu) dan seringkali dipakai dalam berbahasa
Indonesia. Padahal hal tersebut merupakan kesalahan dalam berbahasa.
- Enklitik –pa dapat menjadi penegas makna pada kata yang diikutinya.
e. Pemakaian enklitik–ji
Enklitik–jijuga sering digunakan oleh siswa dalam berbahasa Indonesia.
Sebagai salah satu dialog yang dicatat penulis, yaitu sebagai berikut:
Haris: Sama siapakopergi ke rumahnya Ani?
Sahar: Sendirikuji
Haris: AdajiAni?
Sahar: Adaji
Haris: Bagaimana jalan ke sana?
Sahar: Bagusji
Agar diperoleh data yang dapat mendukung penulis dalam mengambil
kesimpulan mengenai pemakaian klitik–ji, maka penelitian, penulis mengajukan
pertanyaan kepada 26 responden.
Pertanyaannya : “Apakah kepala sekolah yang menjadi Pembina upacara tadi ?”
42
Jawaban yang diperoleh adalah sama. Hanya saja ada yang memakai enklitik–
jidan ada yang tidak. Jawaban yang dimaksudkan yaitu:
- Kepala sekolahji Bu.
- Kepala sekolah Bu.
Adapun perbandingan jawaban tersebut dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:
Tabel 6Jawaban Responden terhadap Pertanyaan
“Apa Kepala Sekolah yang Menjadi Pembina Upacara”
Klasifikasi Frekuensi Persentase %
Kepal Sekolahji
Kepala Sekolah
18
8
71
29
Jumlah 26 100
Sumber Data : Wawancara Responden, 27agustus 2015
Pada tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar responden memakai
enklitik–ji, yakni sebanyak 18 responden atau 71% sedangkan yang tidak
memakai enklitik–ji sebanyak 8 responden atau 29% dari 26 responden.
Merujuk dari data tersabut, baik dari dialog yang dikutip maupun yang
tertera di dalam tabel di atas menunjukkan bahwa enklitik–ji di sini berperan
sebagai penegas kata yang diikutinya dan dapat mengacu pada orang.
2. Klitik Sapaan Bahasa Makassar yang dipakai dalam Berbahasa Indonesia
a. Pemakaian enklitik–kik
Dalam masyarakat Makassar enklitik ini seringkali digunakan dengan
mengikutkan/meletakkan pada kata sifat dan kata kerja.Pemakaian enklitik ini
43
oleh penutur bahasa Makassar mencerminkan kesopanan dan penghormatan
terhadap lawan bicara.
Pemakaian enklitik–kikdapat menjadi pengganti orang pertama jamak dan
pengganti orang kedua tunggal, misalnya: pergikik. Enklitik–kik pada kata ini, bisa
berarti kita (kita pergi) dan bisa pula berarti Anda (Anda pergi).
Untuk mengetahui dan memperoleh data mengenai pemakaian enklitik–
kikoleh guru SMPN 3 Mangarabombang dalam berbicara (berkomunikasi), maka
dalam penelitian, penulis melakukan dialog singkat, seperti di bawah ini:
Penulis : Boleh saya jalan-jalan ke rumahnya ibu ?
Guru X : Boleh nak. Kapankikmau datang ?
Guru Y : Boleh nak. Kapan kira-kira mau datang ?
Penulis : Nantilah kalau ada kesempatan
Pada dialog berupa pertanyaaan tersebut terlihat ada dua klasifikasi
jawaban yaitu X dan Y. Guru X maksudnya adalah kelompok guru yang
memakai enklitik–kik dan guru Y adalah kelompok guru yang menjawab tidak.
Adapun perbandingan kedua klasifikasi jawaban itu dapat dilihat pada
tabel 7 di bawah:
Tabel 7Jawaban Responden terhadap Pertanyaan“Boleh Saya Jalan-jalan ke Rumah ibu?”
Klasifikasi Frekuensi Persentase
Kapan
Kapankik
10
16
43
57
Jumlah 26 100
44
Sumber Data: Wawancara 27 Agustus 2015
Data yang terdapat pada tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar
responden memakai enklitik–kikdalam bahasa Indonesia yakni sebanyak 16 siswa
(57%) sedangkan yang tidak memakai enklitik–kik hanya 10 siswa (43%) dari 26
responden. Hal ini berarti guru dalam berbicara dengan memakai enklitik–
kikdalam berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia.Padahal bentuk
enklitik tersebut tidak ada dalam kaidah bahasa Indonesia.
a) Pemakaian enklitik –ko dan –kak
Pemakaian enklitik–ko (mako)sering digunakan sebagai pengganti orang
kedua. Dalam bahasa Makassar, enklitik–kodipakai apabila berbicara kepada
orang yang lebih muda atau biasa juga dipakai kepada orang yang lebih rendah
status sosialnya. Sedangkan enklitik–kakdipakai sebagai pengganti orang
pertaman tunggal.
Enklitik–ko (mako) dan –kakmerupakan enklitik bahasa Makassar yang
sering dipakai oleh masyarakat Makassar, termasuk guru SMPN 3
Mangarabombang dalam menggunakan bahasa Indonesia. Pulangkak, sakitkak,
dan lain sebagainya.
Selanjutnya mengenai pemakaian enklitik–kodan –kak oleh guru SMPN 3
Mangarabombangdapat dilihat pada salah satu hasil dialog yang sempat didengar
dan dicatat oleh penulis pada saat melakukan penelitian, yaitu sebagai berikut :
A : Hei, Tunggukak, sama-samakik pulang.
B : Naik motorkikkah ?
A : Ya, tapi kau saja yang boncengkak
B : Tidak bisakakces, kurang sehatkaksekarang
45
Dialog yang menggunakan enklitik seperti data di atas ini banyak ditemui
atau didengar oleh penulis baik sebelum maupun saat melakukan penelitian.tetapi
tidak memungkinkan untuk mengutip semua dialog dalam skripsi ini. Yang
jelasnya enklitik–ko (makodan -kak) seringkali didengar oleh penulis, bahkan
boleh dikatakan setiap hari, karena kebetulan lokasi penelitian untuk memperoleh
data ini adalah tempat penulis sendiri dalam menjalankan tugas sebagai pendidik
dan satu lokasi dengan pemantapan profesi keguruan (P2K).
Berdasarkan pada fungsi enklitik–kodan –kak, maka dialog di atas dapat
menggunakan bahasa Indonesia yang baik sehingga dialog itu seperti di bawah
ini:
A: Hai, Tunggu saya, kita sama-sama pulang
B: Apa kau naik motor?
A: Ya, tapi kau saja yang membonceng saya
B: Saya tidak bisa, saya kurang sehat
Kata yang ditulis miring ini adalah kata yang digantikan dengan enklitik–
kik, -ko, dan –kak pada dialog yang dikutip tadi.
Pemakaian enklitik seperti ini sebenarnya tidak dibolehkan dalam kaidah
bahasa Indonesia baku. Namun, karena kondisi masyarakat atau siswa yang
dwibahasaan mengakibatkan adanya pengaruh bahasa pertama (B1) terhadap
penggunaan bahasa kedua (B2) dalam bertutur kata, bahkan dalam bentuk tulisan
pun tidak menutup kemungkinan terpakai enklitik–kodan –kak
2. Klitik yang Menyatakan Relasi Posesif (Milik)
a) Pemakaian proklitik na-
46
Proklitikna- merupakan salah satu bentuk klitik dalam bahasa Makassar
yang berfungsi sebagai pengganti orang ketiga. Namun, klitik ini juga seringkali
digunakan dalam berbahasa Indonesia. Seperti pada dialog yang didapatkan dalam
penelitian, sebagai berikut:
A : Kapan nadatang suamita dari Malaysia ?
B : Kemarin
A : Apa nabelikanki ?
B : Tidak ada nabelikankakdi sana. Tapi yang penting naingatji pulang
Pada dialog di atas klitikna- berfungsi sebagai pengganti orang ketiga
yaitu suami dari guru B. terdapat pula adanya pemakaian enklitik–ki dan–kak
sehingga terlihat dengan jelas adanya penyimpangan terhadap kaidah bahasa
Indonesia baku.
Untuk mengetahui seberapa jauh penggunaan proklitikna-oleh guru, maka
penulis berinisiatif untuk berdialog dengan guru dengan mengajukan pertanyaan
yang memungkinkan terpakainya klitikna-dalam dialog tersebut. Adapun dialog
singkat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
Penulis: Apa bapak sering tidak masuk mengajar ?
Siswa : Tidak nak. (semua responden menjawab sama)
Penulis : Mengapa ?
Guru X: Kepala Sekolah marah
Guru Y: Namarahikik Kepala Sekolah
Perbandingan banayaknya antara guru pada kelompok X dan kelompok Y,
tertera pada tabel 8 di bawah ini:
47
Tabel 8Jawaban Responden terhadap Pertanayaan“Apa bapak sering tidak masuk mengajar?”
Klasifikasi Frekuensi Persentase (%)
Kepala Sekolah Marah
Namarahikik Kepala Sekolah
10
16
36
64
Jumlah 26 100
Sumber Data: Wawancara Responden, 28 Agustus 2015
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden memakai
proklitikna-yakni sebanyak 16 responden (64%), sedangkan yang tidak memakai
proklitikna- hanya 10 responden (36%) dari 26 responden.
Merujuk dari data, baik dari hasil dialog antar guru maupun antara penulis
dengan siswaguru yang diuraikan di atas, maka penulis dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa ada kecenderungan bagi guru SMPN 3 Mangarabombang
untuk memakai proklitikna-dalam berbicara, walaupun bahasa yang digunakan
adalah bahasa Indonesia.
b) Pemakaian enklitik –ta
Pemakaian enklitik–ta oleh guru, sempat didengar oleh penulis pada saat
seorang siswa menyampaikan sesuatu hal kepada seorang guru, yaitu sebagai
berikut:
Siswa : Bu, Ayamtamungkin mati di kelas I
Guru : Mengapa bisa mati ?
Siswa : Nalempariki anak-anak
48
Pemakaian enklitik–ta penulis lakukan dengan cara meminta bantuan
kepada seorang staf tata usaha untuk memanggil guru (sampel) dan
memberitahukan kepada guru bahwa ada surat di kantor untuk penulis. Setelah itu
guru dengan cara bergantian menyampaikan bahwa ada surat untuk penulis. Siswa
tersebut ada yang mengatakan: Nak ! Ada suratta dikantor, nabilang Dg. Muntu.
Dan ada juga yang mengatakan : Nak ! Ada surat untuk kamu di kantor.
Untuk mengetahui kedua kalimat penyampaian guru, dapat dilihat pada
tabel 9 di bawah ini:
Tabel 9Klasifikasi Kalimat Penyampaian oleh guru/ Responden
Klasifikasi Frekuensi Persentase (%)
Suratta
Surat
20
6
82
18
Jumlah 26 100
Sumber Data :Kalimat Penyampaian Responden 28 Agustus 2015
Pada tabel di atas, bahwa bagian besar responden atau sampel memakai
enklitik–ta yakni sebanyak 20 responden (82%), sedangkan yang tidak memakai
enklitik–ta hanya 6 responden (18%) dari 26 responden.
Merujuk dari semua data tersebut, baik yang diperoleh melalui hasil dialog
maupun data yang tertera pada tabel, maka penulis dapat mengatakan bahwa
enklitik–ta dipakai sebagai penanda relasi posesif orang kedua yang dihormati.
Kalau dalam bahasa Indonesia enklitik–ta sama halnya dengan kata Anda.
Pemakaian enklitik–ta dalam bertutur kata, baik itu dilekatkan pada kata
Makassar maupun Indonesia mencerminkan adanya sikap sopan dan rasa hormat
49
bagi penutur tersebut.Oleh karena itu, sepertinya ada kecenderungan bagi guru
SMPN 3 Mangarabombangmemakai enklitik–ta apabila berbicara dengan orang
yang lebih tua dari mereka.
c) Pemakaian enklitik –na
Enklitik–najuga merupakan klitik dalam bahasa Makassar yang fungsinya
sama dengan enklitik–ta, yaitu sebagai pengganti orang ketiga yang menyatakan
relasi posesif atau milik kalau dalam bahasa Indonesia sama dengan enklitiknya.
Data yang diperoleh mengenai pemakaian enklitk–nayaitu antara lain
melalui dialog antar guru di bawah ini:
Pak Agus : Siapa punya absen ini ?
Pak Bahar : absenna Pak Adnan
Pak Agus : Bukan Absenna ini, karena bukan namanakulihat
Dalam dialog tersebut terlihat dengan jelas adanya pemakaian enklitik–
na.pemakaianenklitik seperti ini seringkali didengar oleh penulis, yang dilakukan
oleh siswa, baik di dalam maupun di luar kelas.
Agar mendapatkan data yang lebih mendukung penulis dalam menarik
kesimpulan mengenai pemakaian enklitik–na, maka penulis mengajukan
pertanyaan berupa dialog singkat kepada 26 sampel seperti di bawah ini:
Penulis : Siapa punya motor yang di sana?
Guru X :Motornya Pak Alimuddin, nak !
Guru Y :MotornaPak Alimuddin, Nak !
Untuk mengetahui perbandingan antara kelompok guru yang menjawab
dengan memakai dan tidak memakai enklitik–na, terlihat pada tabel 10.
50
Tabel 10Jawaban Responden terhadap Pertanyaan
“Siapa punya motor”
Klasifikasi Frekuensi PersentaseMotornyaMotorna
719
2575
Jumlah 26 100Sumber Data: Wawancara Responden, 28 Agustus 2015
Data tabel di atas menunjukkan bahwa perbandingan antara yang memakai
dan tidak memakai enklitik–na, masih lebih banyak yang memakai enklitik–na
Yakni sebanyak 19 responden, sedang yang tidak memakai enklitik–nayakni
sebanayak 7 responden. Atau masing-masing 25% dan 75% dari 28 responden.
Berdasarkan data tersebut, maka penulis dapat mengambil suatu
kesimpulan bahwa sebagian guru SMPN 3 Mangarabombangmasih cenderung
memakai enklitik–na, walaupun mereka berbicara menggunakan bahasa
Indonesia. Padahal enklitik ini tidak ada dalam kaidah bahasa Indonesia baku.
Namun, hal ini merupakan suatu bentuk pengaruh bahasa Makassar terhadap
penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua bagi guru tersebut.
d) Pemakaian enklitik –i
Enklitik–i merupakan salah satu bentuk enklitik dalam bahasa Makassar
yang berfungsi sebagai pengganti orang ketiga. Misalnya, angnganrei (dia
makan), attinroi(dia tidur), dan lain-lain.
Enklitik –i juga seringkali dipakai oleh guru dalam berbahasa Indonesia.
Seperti pada dialog di luar kelas yang dikutip penulis di bawah ini:
A: Adai kemarin Bapak kepsek di rumahku
B: Sama siapai?
51
A: Tidak kutahuiorangna
B: Oh, samaimungkin kepseknya SMPN 5
Melihat dialog tersebut, enklitik–i di samping berfungsi sebagai pengganti
orang ketiga juga sebagai penanda pelengkap kata yang mengikutinya.
Karena penulis masih menganggap bahwa data yang diperoleh melalui
dialog bebas yang sering didengar itu, masih kurang mendukung untuk
mengambil kesimpulan mengenai pemakaian enklitik–i, maka penulis melakukan
dialog singkat atau berupa wawancara untuk mengetahui lebih jauh tentang
pemakaian enklitik–i oleh guru :
Adapun bunyi dialog singkat tersebut adalah sebagai berikut:
Penulis : Mengapa tidak pernah lagi main volli kalau olahraga
X : Rusak netnya nak
Y : Rusaki netnya nak
Untuk mengetahui banayaknya responden yang memakai dan tidak
memakai enklitik–i, maka data tersebut dirangkum dalam tabel di bawah ini:
Tabel 11Jawaban Responden terhadap Pertanyaan
“Mengapa tidak pernah Main Volli kalau olahraga ?”
Kalisifikasi Frekuensi Persentase
Rusak Net
Rusaki Net
8
18
32
68
Jumlah 26 100
Sumber Data: Wawancara Responden, 28 Agustus 2015
52
Pada tabel 11 dapat dilihat bahwa ternyata sebagian besar responden
memakai enklitik–i dalam berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia,
yaitu sebanayak 8 responden (32%), sedangkan yang tidak memakai enklitk–i
hanya 18 responden (68%) dari 26 responden yang dipilih.
Dari data yang diperoleh tersebut, maka penulis dapat berkesimpulan
bahwa pada umumnya dan ada kecenderungan guru SMPN 3 Mangarabombang
memindahkan enklitik–i sebagai enklitk bahasa Makassar ke dalam penggunaan
bahasa Indonesia dalam berkomunikasi terutama dalam bertutur.
Berdasarkan pada semua data yang diperoleh dan telah diuraikan dengan
pemaparan apa adanya dalam pembahasan ini, maka penulis dapat menarik suatu
kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1) Ada kecenderungan bagi guru SMPN 3 Mangarabombang untuk memindahkan
atau memakai enklitik bahasa Makassar pada saat mereka berkomunikasi atau
bertutur kata dengan menggunakan bahasa Indonesia.
2) Dari segi morfologi pengaruh bahasa Makassar (B1) terhadap penggunaan
bahasa Indonesia (B2) oleh guru SMPN 3 Mangarabombang sangat besar. Hal
ini juga diakui oleh guru pelajaran bahasa Indonesia yang mengatakan bahwa:
“ Pengaruh bahasa Makassar terhadap penggunaan bahasa Indonesia bagi siswa
sangat besar bahkan sulit dihindari. Karena bahasa Makassar memang menjadi
bahasa utama sejak kecil hingga sekarang. Sehingga penggunaan kedua bahasa
ini saling memengaruhi satu sama lain ” (Hasriyati, 28 Agustus 2014).
53
2. Pengaruh Fonologi Bahasa Makassar terhadap Penggunaan Bahasa
Indonesia
Adanya kondisi masyarakat yang dwibahasaan (bahasa Makassar-bahasa
Indonesia) menyebabkan terjadinya perubahan fonem atau sistem bunyi pada
kata-kata tertentu dalam bahasa Indonesia.Hal ini terjadi sebagai akibat dari
pengaruh bahasa Makassar (B1) terhadap bahasa Indonesia (B2).
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan maka pengaruh bahasa Makassar
terhadap perubahan fonem (sistem bunyi) terjadi pada tiga posisi pada kata dasar
bahasa Indonesia yaitu:
- Terjadi pada awal kata dasar
- Terjadi pada tengah kata dasar
- Terjadi pada akhir kata dasar
Oleh karena itu, sub bahasa dari pembahasan kali ini adalah letak ketiga
fonem tersebut.Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada uraian atau pembahasan di
bawah ini.
1. Pengaruh dan Perubahan di Awal Kata Dasar
Berdasarkan dari data yang diperoleh, maka ada beberapa fonem atau
bunyi yang diubah dari bunyi sebenarnya yaitu sebagai berikut:
- Bunyi /n/ diubah menjadi /ng/
Salah satu bentuk kesalahan berbahasa Indonesia, bahwa masyarakat
Makassar atau para penutur bahasa Makassar, apabila menggunakan bahasa
Indonesia dalam berbicara ada kecenderungan bunyi /n/ diubah menjadi bunyi
/ng/.
54
Seperti data yang dipeoleh dari 28 responden melalui hasil pembacaan
kalimat oleh siswa, sebagai berikut:
a) Jepang adalah salah satu Negara industri terbesar dikawasan asia.
b) Aku cinta Negara Indonesia
c) Insya Allah tahun depan saya rencana naik haji
d) Biaya transfortasi sekarang cukup tinggi
Hasil pembacaan oleh 26 siswa (responden) menunjukkan bahwa sebagian
besar responden mengubah bunyi /n/ pada kata yang tulis miring menjdi bunyi
/ng/, yakni sebanyak 20 (79%) responden, sedangkan yang tidak mengubah atau
tetap pada bunyi /n/ sebanayak 6 (21%) dari 26 responden.
Data lain diperoleh melalui dialog 2 orang guru yang sempat didengar dan
dicatat oleh penulis, sebagai berikut:
A : Pangtasnilai bagus
B : Saya memang pingtarkok
C : Pingtarmenyongtek
D : Yang pengting nilai saya bagus
Walaupun huruf /n/ terdapat ditengah kata, ternyata diucapkan pula seperti
bunyi /ng/, hal ini merupakan pengaruh dari bahasa Makassar, yang secara tidak
sadar dilakukan karena bunyi tersebut tidak diucapkan pada yang sebenarnya atau
yang seharusnya.
2. Perubahan di Akhir Kata Dasar
- Bunyi /n/ di ubah menjadi bunyi /ng/
55
Untuk memperoleh data yang lebih meyakinkan dan akurat, maka penulis
meminta kepada responden untuk membaca kalimat di bawah:
a) Saya sudah makan bakso
b) Pohon kelapa semakin berkurang
c) Meskipun hujan, saya tetap berangkat ke sekolah
Hasil pembaca oleh 28 responden, menunjukkan bahwa sebagian besar
bunyi /n/ pada kata yang ditulis miring diubah menjadi bunyi /ng/ yakni sebanyak
18 responden.Sedangkan yang tidak mengubah atau tetap dengan bunyi /n/ hanya
sebanyak 8 responden. Dengan kata lain 71% dan 29% dari 26 responden.
Perubahan bunyi tersebut juga diperoleh dari dialog guru di dalam kelas,
yaitu:
A :Nanti kita ke kebung wisata alam
B : Makangapa di sana?
A : Makangrambutang
B : jangangmi panggil kelas laing Bu.
Berdasarkan pada data di atas, penulis berkesimpulan bahwa sebagian
besar dan ada kecenderungan guru SMPN 3 Mangarabombangkalau mengubah
bunyi /n/ menjadi /ng/ dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
Perubahan bunyi /n/ menjadi bunyi /ng/ memang paling banyak ditemui
pada masyarakat dwibahasaan (bahasa Makassar-bahasa Indonesia, baik
dilakukan oleh masyarakat biasa, anak / siswa sekolah, maupun mahasiswa
bahkan para Pembina/ guru pelajaran bahasa Indonesia sekalipun.
56
Kenyataan ini sulit dihindari kalau tidak ada kesadaran untuk mengubah
kebiasaan berbahasa, karena sebagai masyarakat Makassar yang tentunya pada
umumnya dalam sehari-hari menggunakan bahasa Makassar, bunyi /n/ pada akhir
kata memang tidak ada.Hal inilah menyebabkan terjadinya kesalahan pengucapan
atau bunyi pada huruf-huruf tertentu dalam berbahasa Indonesia.
- Bunyi /m/ diubah menjadi bunyi /ng/
Setelah melakukan penelitian, ternyata ada pula sebagian guru melakukan
kesalahan berbahasa Indonesia dengan cenderung mengubah bunyi /m/ menjadi
bunyi /ng/.
Realita ini berdasarkan data yang diperoleh dengan melalui hasil dialog
bebas dari guru, yaitu:
A : Tenggelangka kemarin di sungai
B : Kenapa bisa tenggelang
A : saya kira tidak dalangairnya, langsungka lompat
B : Jadi, siapami yang tolongko waktu tenggelang
A : tetanggaku.
Pada saat guru berdialog seperti di atas, terdengar dengan jelas adanya
pengucapan bunyi /m/ menjadi /ng/, bahkan terdapat pula enklitik –ka, dan–
kosemua bentuk kesalahan ini merupakan pengaruh dari bahasa Makassar, yakni
bunyi huruf tertentu cenderung dipindahkan kebahasa Indonesia (B2). Dialog
dengan mengubah bunyi /m/ menjadi bunyi /ng/ banyak dilakukan oleh guru
SMPN 3 Mangarabombang, tetapi penulis beranggapan bahwa tidak mungkin
57
dialog yang didengar dikutip semua dalam skripsi berbagai keterbatasan yang
dimiliki oleh penulis sendiri.
- Menghilang bunyi /h/ dan bunyi /k/, serta bunyi /t/ pada akhir kata dasar.
Mengenai hal ini dioperoleh melalui hasil dialog tiga orang guru, seperti di
bawah ini:
A : Adu, tangankuteririssilet
B : Banyak darana keluar
C : Tidak usataku, masijaujidari jantung
A : Memangnya siapa yang taku
B : Di tidak takutapi merasa saki
Dari data atau dialog di atas terjadi kesalahan berbahasa yang cukup besar.
Karena di samping bunyi huruf /h/, /k/, dan /t/ dihilangkan, juga memakai enklitik
yang tidak ada dalam bahasa Indonesia. Dialog tersebut seharusnya:
A : Aduh, tanganku teriris silet
B : Banyak darahnya keluar
C : Tidak usah takut, masih jauh dari jantung
A : Memangnya siapa yang takut
B : Dia tidak takut, tapi merasa sakit
Dialog ini merupakan dialog yang dikutip dengan melakukan berbagai
kesalahan berbahasa Indonesia. Hal ini terjadi sebagai pengaruh dari kondisi guru
yang dalam keluarga dan lingkungan masyarakatnya, mereka menggunakan
bahasa Makassar sebagai bahasa sehri-hari.Sehingga dalam berbahasa Indonesia
mereka pun terbawa dan terpengaruh dengan dialek bahasa Makassar.
58
Untuk memperoleh data yang akurat, maka penulis meminta kepada guru
untuk membaca kalimat di bawah :
- Hidup memang penuh kesulitan
- Tanah tumpah darahku
- Dialah memnuat aku susah
Dari pembacaan kalimat ini, yang menghilangkan bunyi /h/ pada kata yang
ditulis miring adalah 22 responden (89%), sedangkan yang tidak menghilangkan
hanya sebanyak 4 responden (11%) dari 26 responden.
Data ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan bagi guru SMPN 3
Mangarabomban guntuk menghilangkan bunyi /h/, /k/, dan /t/ pada akhir kata
dasar apabila mereka berbicara atau bertutur kata bahasa Indonesia.
Demikianlah uraian tentang pengaruh fonologis bahasa Makassar terhadap
bahasa Indonesia dalam berkomunikasi oleh guru SMPN 3 Mangarabombang.
Dari data yang diperoleh ditunjukkan adanya kecenderungan fonem atau bunyi,
seperti yang diuraikan di atas, misalnya bunyi /n/ diubah menjadi /ng/ dan lain-
lainnya yang ada dalam bahasa Makassar dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data kuisioner, dan wawancara kepada, maka
dapatlah terlihat akulturasi yang terjadi pada setiap jawaban siswa dalam bentuk
dialog atau percakapan. Hal ini menunjukkan bahwa akulturasi bahasa Makassar
ke dalam bahasa Indonesia cukup tinggi pengaruhnya. Oleh karena itu masalah
akulturasi perlu mendapatkan perhatian khusus agar bahasa Indonesia dapat
berkembang dengan baik.
59
Akulturasi bahasa Makassar telah terjadi baik secara tulisan maupun lisan
terhadap bahasa Indonesia yang dilakukan dwibahasaan.Akulturasi ini terjadi
karena seringnya pola struktur bahasa Makassar ditransfer ke dalam bahasa
Indonesia.
Hasil penelitian akulturasi bahasa Makassar terhadap penggunaan bahasa
Indonesia ini belum terungkap secara keseluruhan.Hal ini menunjukkan bahwa
masih ada faktor-faktor penghambat atau faktor-faktor lainnya yang ada kaitannya
dengan akulturasi bahasa. Untuk memperoleh data tentang faktor tersebut, tentu
saja memerlukan penelitian lanjutan, akan tetapi penulis memunyai keterbatasan
waktu, kesempatan, tenaga, dan dana, maka penulis hanya dapat menyajikan
sebagian dari banyaknya akulturasi berbahasa.
60
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis Pemerolehan
Bahasa dan Kaitannya dengan Akulturasi Bahasa pada Guru SMPN 3
Mangarabombang dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa proses
Pemerolehan Bahasa dan Kaitannya dengan Akulturasi Bahasa pada Guru SMPN
3 Mangarabombang adalah banyaknya guru yang menggunakan bahasa pertama (B1)
atau bahasa ibu di sekolah maka dari itu terjadilah akulturasi yang diakibatkan oleh
masuknya unsur bahasa Makassar ke dalam bahasa Indonesia, secara lisan kemudian
direfleksikan ke dalam bahasa tertulis, hal ini menyebabkan terjadinya penyimpangan
kaidah-kaidah dalam penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan ejaan yang
disempurnakan, akan tetapi pada penelitian ini kata-kata yang mengalami akulturasi tidak
terjadi perubahan makna
Akulturasi terjadi akibat dari penutur bahasa yang dwibahasawan (B1 dan
B2) dengan penerima bahasa yang hanya memiliki satu bahasa (B1). penutur
bahasa dan penerima bahasa melakukan kontak bahasa yang menimbulkan
akulturasi bahas karena beberapa faktor.
Terjadinya akulturasi dikarenakan adanya pengaruh morfologi dan
fonologi unsur bahasa Makassar yang masuk ke dalam unsur bahasa Indonesia.
Kalau merujuk kepada kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, hal seperti
61
ini sangatlah tidak dibenarkan karena telah menyimpang dari kaidah bahasa
Indonesia itu sendiri.
Akulturasi yang terjadi pada lingkungan sekolah baik di dalam kelas
maupun di luar kelas terdapat beberapa penyimpangan kaidah-kaidah bahasa,
penyimpanan kaidah-kaidah bahasa tersebut antara lain: Awalan ter- yang diganti
dengan tak/ta?-, awalan na- sebagai pengganti orang ketiga, akhiran –mi biasanya
mengikuti kata sifat yang artinya sudah, akhiran –pi pengganti kata nanti, akhiran
–pa pengganti orang pertama tunggal, akhiran –ji sebagai penjelas kata yang
diikutinya, akhiran –ko pengganti orang kedua biasanya digunakan kepada orang
yang lebih muda, akhiran –na pengganti orang ketiga yang artinya sama dengan
nya, akhiran –na pengganti orang ketiga, perubahan bunyi /h/, /k/, dan /t/ pada
akhir kata dasar serta perubahan bunyi bahasa /n/ menjadi /ng/ dan /m/ menjadi
/ng/.
Guru SMPN 3 Mangarabombang masih dominan menggunakan bahasa
Makassar sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) dibandingkan
menggunakan bahasa indonesia sebagai bahasa kedua (B2).
B. Saran
Berdasarkan hasil yang telah dicapai maka disarankan:
Bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
hendaknya pada saat PPL atau P2K pada proses pembelajaran siswa sebaiknya
lebih sering berkomunikasi agar bahasa Ibu yang melekat pada siswa tersebut
tidak terbawa pada saat menggunakan bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia.
62
Bagi seseorang yang bilingual atau dwibahasawan sebaiknya kedua bahasa
yang kita miliki harus diketahui unsur-unsur bahasanya agar, pada saat
menggunakan bahasa tersebut tidak salah dalam penempatan kaidah bahasanya,
sehingga dalam penggunaan bahasa kedua atau bahasa Indonesia tidak lagi terjadi
akulturasi.
Sudah sepatutnya uraian dalam tulisan ini tidak hanya sekadar kritik
ilmiah bagi penulis dan pembaca, tetapi dapat memberikan hikmah dan dapat
dijadikan pelajaran berharga menyikapi permasalahan dalam berbahasa.
Kiranya dalam penelitian ini merupakan motivasi bagi pembaca untuk
menyadari bahwa banhyak faktor yang dapat memengaruhi kita dalam berbahasa.
Jika perlu ada baiknya kalangan mahasiswa Pendidikan Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia lebih memberdayakan bahasa Indonesia baik di lingkungan keluarga,
masyarakat, serta lingkungan sosial lainnya seperti di sekolah- sekolah tempat kita
berbagi ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Arisnawati, Nurlina. 2013. Sawerigading. Kategori Campur Kode HumorCekakak Cekikik. (V 19), (No. 2). 227-235.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta.
Chaer , Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta
Etik Tulianti. 2010. Alih Kode dan Campur Kode dalam Cerbung Dolanan Geni.Skripsi. Tidak diterbitkan. Surakarta : Fakultas Sastra dan Seni RupaUniversitas Sebelas Maret.
Fitria.2014.Interferensi Kesalahan Bahasa Makassar Kedalam Bahasa IndonesiaPada Proses Belajar Kelas X SMKT Gowa.Makassar.UNISMUH.
Http://id.Wikipedia.org/wiki/sosiolinguistik. ( 1 Mei 2015).
Http://Wikipedia.com/bilingualime. (2 Mei 2015).
Hambali. 2001. Pengantar Sosiolinguistik. Makassar : UNISMUH.
Mali, Ramlah. 2010. Analisis Campur Kode dalam Ceramah Ustas Nur Maulana.Skripsi : Unismuh Makassar.
Rahman, Has’ad. 2013. Alih Kode dan Campur Kode. http// Wikipedia.com/AlihKode Campur Kode. (2 Mei 2015).
Salim Umar, Abdu. 2012. Analisis Alih Kode dan Campu Kode Bahasa Indonesiapada Iklan Trans 7.
Setyaningsih, Nina. 2008. Alih Kode dan Campur Kode (Online), (http://www.Slideshare. Net / Ninazski/ Paper-sosling-nina. ( 7 Mei 2015).
Simamora, Jon. 2010. Campur Kode Bahasa Indonesia Bahasa Bajo MasyarakatDesa Kokoe Kecamatan Talagaraya Kabupaten Buton. Skripsi : UnismuhMakasaar.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Rini, lahir pada tanggal 10 Oktober 1991 di Batulanteang
Desa Pattopakang, Kecamatan Mangarabombang,
Kabupaten Takalar. Merupakan buah kasih sayang dari
Ayahanda Tada dan Ibunda Tima sebagai anak keempat
dari empat bersaudara.
Pada tahun 1998, penulis memasuki jenjang pendidikan formal di SD
Impres Cikoang dan berhasil menyelesaikan pada tahun 2004, kemudian pada
tahun yang sama melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri
3 Mangarabombang dan selesai pada tahun 2007, kemudian melanjutkan di
tingkat lanjutan atas di SMAN 1 Mangarabombang dan selesai pada tahun 2010.
Setelah menempuh pendidikan tingkat menengah atas, pada tahun 2011 penulis
berhasil melanjutkan pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Berkat rahmat Allah swt yang disertai iringan doa kedua orang tua dan
saudara. Perjuangan panjang penulis yang penuh suka dan duka di dalam
mengikuti pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar sehingga dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Pemeroehan Bahasa dan Kaitannya
dengan Akulturasi Bahasa pada Guru SMPN 3 Mangarabombang”