Upload
mindi-widayani
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TONSILEKTOMI
A. Definisi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.2,3
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di
nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.4
B. Epidemiologi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini
bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.5 Di AS
karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor.6,7 Di
Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek
dan teknik tidak sulit.8
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,
adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat.9 Angka ini
menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan
287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa
adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi
dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di
Skotlandia.
Sedangkan pada orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi
meningkat dari 72 per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000
pada tahun 1996 (3.200 operasi).7 Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi
tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari
RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus
menurun sampai tahun 2003 (152 kasus).10 Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati
dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah
operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.11
C. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi
diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih
utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.9
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif
tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini
masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak
menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.13
1. Indikasi Absolut6 (AAO)
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,
gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
2. Indikasi Relatif6 (AAO)
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik
adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi
medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat
dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.8 Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk
pasien dewasa harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau
hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan
indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang
dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik.
Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana
seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada keadaan yang
lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di
tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan
beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan
sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas
hidup walaupun tidak mengancam nyawa.15
D. Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:8
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
E. Persiapan Praoperasi
1. Penilaian Praoperasi
Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang pasien terletak di
tangan dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorok atau
dokter yang bertanggungjawab bila dalam keadaan tertentu tidak ada dokter spesialis
THT. Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka
kondisi kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan
kelayakannya menjalani operasi tersebut.
Karena sebagian besar pasien yang menjalani tonsilektomi adalah anak-anak dan
sisanya orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan kerjasama dokter umum, dokter
spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian
preoperasi terhadap pasien. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa konsultasi kepada
dokter spesialis anak maupun penyakit dalam hanya dilakukan untuk kondisi tertentu oleh
dokter spesialis THT atau anestesi. Misalnya anak dengan malnutrisi, kelainan metabolik
atau penyakit tertentu yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas selama dan
pascaoperasi. Konsultasi ini dapat dilakukan baik oleh dokter spesialis THT maupun
spesialis anestesi.
Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat mengurangi lama perawatan di
rumah sakit dan meminimalkan pembatalan atau penundaan operasi (American Family
Physician). Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis yang diperoleh
dari anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik. Penilaian laboratoris dan radiologik
kadang dibutuhkan. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan baik di kalangan klinisi
maupun institusi pelayanan kesehatan dalam memilih pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi tertentu. Hal ini memiliki dampak pada
keselamatan pasien selain meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pasien,
pemerintah atau pihak ketiga.
a. Anamnesis dan Rekam Medik
Riwayat kesehatan.
Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan maksilofasial pada anak
dan pada orang dewasa asma, kelainan paru, diabetes melitus, hipertensi, epilepsi,
dll.
AFP: riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran), imunisasi, infeksi
terakhir terutama infeksi saluran napas khususnya pneumonia, Penyakit kronik
terutama paru-paru dan jantung, kelainan anatomi, obat yang sedang dan pernah
digunakan beserta dosisnya.
Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Status gizi: malnutrisi
Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur pada jantung,
tanda-tanda gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruktif menahun.
Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien dengan
penyulit berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital di daerah orofaring dan
kelainan fungsional. Pada pasien ini, kelainan yang telah ada dapat menyulitkan
proses operasi. Selain itu penting untuk mendokumentasikan semua temuan
pemeriksaan fisik dalam rekam medik.
c. Pemeriksaan Penunjang17
Berdasarkan hasil kajian HTA Indonesia 2003 tentang persiapan rutin
prabedah elektif, maka pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk
tonsilektomi adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit
2) Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT
d. Informed consent8
Informed consent perlu diberikan kepada pasien sehubungan dengan risiko
dan komplikasi yang potensial akan dialami pasien.
e. Persiapan praoperasi17
Puasa harus dilakukan sebelum operasi dilakukan. Lama puasa dapat dilihat
pada tabel 2, berdasarkan umur pasien.
2. Penilaian Praanestesia
Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses evaluasi/penilaian
klinis yang dilakukan sebelum melaksanakan pelayanan anestesi baik untuk prosedur
bedah maupun nonbedah. Penilaian preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter ahli
anestesia dan terdiri dari:18
a. Anamnesis dan Evaluasi rekam medik
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam
mengetahui riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang diderita pasien.
Terutama adanya infeksi saluran pernapasan atas yang dapat mengganggu manajemen
anestesi. Sehingga dapat dilakukan pelayanan anestesi yang baik dan persiapan untuk
mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang mungkin akan dihadapi dokter anestesi
yang bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat kondisi-kondisi
tertentu yang didapatkan dengan anamnesis disamping data dari rekam medik.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test Malampatti untuk
feasibility intubasi, evaluasi paru-paru, jantung dan catatan mengenai tanda vital
pasien. Penilaian praanestesia dilakukan sebelum pelaksanaan operasi.
c. Tes praoperasi
Tes yang dilakukan sebelum operasi terdiri dari tes rutin dan tes yang
dilakukan atas dasar indikasi tertentu.
F. Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi
oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan.9,19 Selama bertahun-tahun,
berbagai teknik dan instrumen untuk tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat ini teknik
tonsilektomi yang optimal dengan morbiditas yang rendah masih menjadi kontroversi,
masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak seperti kebanyakan operasi
dimana luka sembuh per primam, penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per
sekundam.19
Diskusi terkini dalam memilih jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti
nyeri, perdarahan perioperatif dan pascaoperatif serta durasi operasi.19 Selain itu juga
ditentukan oleh kemampuan dan pengalaman ahli bedah serta ketersediaan teknologi yang
mendukung.20 Beberapa teknik dan peralatan baru ditemukan dan dikembangkan di samping
teknik tonsilektomi standar.9
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan
dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Namun tidak ada
literatur yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotom
modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari
sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang
untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.5
Laporan operasi tonsilektomi pertama dilakukan oleh Celcus pada abad ke-1,
kemudian Albucassis di Cordova membuat sebuah buku yang mengulas mengenai operasi
dan pengobatan secara lengkap dengan teknik tonsilektomi yang menggunakan pisau
seperti guillotine. Greenfield Sluder pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
merupakan seorang ahli yang sangat merekomendasikan teknik Guillotine dalam
tonsilektomi. Beliau mempopulerkan alat Sluder yang merupakan modifikasi alat
Guillotin.5
Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak digunakan. Hingga
dikatakan bahwa teknik Guillotine merupakan teknik tonsilketomi tertua yang masih
aman untuk digunakan hingga sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang
melakukan cara ini, namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia,
terutama di daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi.5
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat,
komplikasi anestesi kecil, biaya kecil.21
2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya sedikit
ahli THT yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder.22 Di negara-
negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan
endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka
lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak
digunakan pada pasien anak.11
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain yang
lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah. Pasien
menjalani anestesi umum (general endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi:
memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul
tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-
hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan
irigasi pada daerah tersebut dengan salin.9
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan benar dengan
mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli bedah dan harus
diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan dimulai. Mouth gag diselipkan dan
bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal terfiksasi aman diantara lidah dan bilah.
Mouth gag paling baik ditempatkan dengan cara membuka mulut menggunakan jempol
dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis
tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung
bilah tidak mengenai palatum superior sampai tonsil karena dapat menyebabkan
perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah,
wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka. Tindakan ini harus
dilakukan dengan visualisasi langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa
orofaringeal akibat ujung bilah. Setelah mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan secara
hati-hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak
terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub superior dan inferior
tonsil terlihat. Kepala di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum memulai
operasi, harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan molle.1
Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur garis tengah
untuk tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag tersedia dalam beberapa
ukuran. Anak dan dewasa (khususnya wanita) menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki
dewasa memerlukan bilah no. 4. Bilah no. 2 jarang digunakan kecuali pada anak yang
kecil. Intubasi nasal trakea lebih tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli
bedah bila tidak dilakukan adenoidektomi.1
Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan disamping teknik
diseksi standar, yaitu:
1) Electrosurgery (Bedah listrik)20
Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum, karena
mudah memicu terjadinya ledakan. Namun, dengan makin berkembangnya zat
anestetik yang nonflammable dan perbaikan peralatan operasi, maka penggunaan
teknik bedah listrik makin meluas.
Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi
radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang
digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi
saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam
jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini
menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical
pathway).
Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade,
monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga listrik
dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan atau untuk
koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan
tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat pula digunakan
sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.
2) Radiofrekuensi24
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan
jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium
penghantar seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat
menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini
terjadi pada suhu rendah (400C-700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang
rusak.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed
Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty system
(bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation system dan Argon plasma
coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian
atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat menurunkan
morbiditas tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi yang lebih besar dengan
desain yang baik untuk mengevaluasi keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini.
3) Skalpel harmonik25
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini
menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan
elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup
tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 1500C-4000C),
sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih
rendah (biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110
Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.
Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang
bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 μm (paling penting), dan
hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung pemotong saat kontak
dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan tekanan jaringan
internal, sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan.
Koagulasi muncul ketika energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan
hidrogen tersier menjadi protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi
jaringan internal akibat vibrasi frekuensi tinggi.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik bedah lain,
yaitu:
Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan akibat panas minimal
karena proses pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan
charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga lebih sedikit. Tidak seperti
elektrokauter, skalpel harmonik tidak memiliki energi listrik yang ditransfer ke
atau melalui pasien, sehingga tidak ada stray energi (energi yang tersasar) yang
dapat menyebabkan shock atau luka bakar.
Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit
perdarahan, perdarahan pasca operasi juga minimal.
Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini
mengurangi nyeri pascaoperasi.
Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa mentoleransi
kehilangan darah seperti pada anak-anak, pasien dengan anemia atau defisiensi
faktor VIII dan pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan.
4) Coblation26
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar
ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation; bipolar
radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation.
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik
radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium klorida.
Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan
sekitar. Coblation probe memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan
probe diatermi standar (suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari 100°C).
National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi teknik
coblation sama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna
mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan.
5) Intracapsular partial tonsillectomy27
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan
dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun mikrodebrider endoskopi
bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat
lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari
terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan
“pelindung biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini akan mencegah terjadinya
perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan
nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan.
Jaringan tonsil yang tersisa akan meningkatkan insiden tonsillar regrowth. Tonsilitis
kronis merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam teknik
tonsilektomi intrakapsuler. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini.
Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca operasi
lebih rendah dibanding tonsilektomi standar. Tetapi masih diperlukan studi dengan
desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik ini.
6) Laser (CO2-KTP)28
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl
Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi
volume tonsil dan menghilangkan „recesses‟ pada tonsil yang meyebabkan infeksi
kronik dan rekuren.
LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik dengan
anestesi lokal. Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan
kebutuhan analgesia pascaoperasi berkurang. Tekhnik ini direkomendasikan untuk
tonsilitis kronik dan rekuren, sore throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan
nafas yang disebabkan pembesaran tonsil.
G. Penyulit
Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam
melakukan tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa:4
1. Kelainan anatomi:
Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)
Kelainan maksilofasial dan dentofasial
2. Kelainan pada komponen darah:
Hemoglobin < 10 g/100 dl
Hematokrit < 30 g%
Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)
3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain
4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
5. Multiple Allergy
6. Penyakit lain, seperti:
Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
Obesitas, kejang demam, epilepsi
H. Teknik Anestesi29
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah
anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan
dengan tujuan untuk pendidikan.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi umum biasanya dilakukan untuk
tonsilektomi pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan gelisah. Pilihan
untuk menggunakan anestesi lokal bisa merupakan keputusan pasien yang tidak
menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam keadaan yang tidak memungkinkan
untuk menjalani anestesi umum. Biasanya ditujukan untuk tonsilektomi pada orang dewasa.
Dimana sebelumnya pasien telah diseleksi kondisi kesehatannya terlebih dahulu dan
mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter bedah yang bersangkutan sehingga pasien
dinilai dapat mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik.
Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi:
1. Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik
2. Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi
3. Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau obat-
obatan yang dibutuhkan
4. Menyediakan rapid emergence.
Premedikasi30
Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan evaluasi preoperasi. Saat pemberian
obat premedikasi dilakukan setelah pasien berada di bawah pengawasan dokter/perawat
terlatih. Anak-anak dengan riwayat sleep apneu atau obstruksi saluran napas intermitten atau
dengan tonsil yang sangat besar harus lebih diperhatikan.
Anestesi Umum
Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat anestesia
eter tidak boleh digunakan lagi jika pembedahan menggunakan kauter/diatermi. Teknik
anestesi yang dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal, karena dengan ini saturasi
oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol
dengan mudah. Dokter ahli anestesi serta perawat anestesi walaupun berada di luar lapangan
operasi namun masih memegang kendali jalan napas.31
1. Anestesi endotrakea30,31
Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor
ECG (bila tidak ada, dapat menggunakan precordial stetoskop). Manset pengukur
tekanan darah dipasang di lengan dan infus dextrose 5% atau larutan Ringer
dipasang di tangan.
Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil, induksi anestesi dilakukan dengan
halotan. Karena halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah superfisial, infus
menjadi lebih mudah dipasang setelah anak tidur.
Pada anak, induksi menggunakan sungkup dapat dilakukan dengan halotan atau
sevoflurane dengan oksigen dan nitrous oxide. Kehadiran orangtua di ruang
operasi selama induksi inhalasi bisa membantu menenangkan anak yang gelisah.
Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu
dengan pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari masuknya
darah ke dalam trakea, jika ETT tidak memiliki cuff, perlu diletakkan kasa bedah
di daerah supraglotik tepat di atas pita suara dan sekitar endotrakeal tube.
Selama maintenance, pernapasan dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
Antisialalogue (atropin) dapat diberikan untuk meminimalkan sekresi di lapangan
operasi.
Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction),
dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang
pharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup.
Ekstubasi dapat dilakukan bila pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah
terjagabebas (intact protective airway reflexes).32 Ekstubasi juga dapat dilakukan
saat pasien masih dalam anestesi dalam. Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV bisa
mengurangi risiko batuk dan laringospasme pada saat ekstubasi.
Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala lebih
rendah daripada panggul (tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa darah
mengumpul di sekitar pipi dan mudah dihisap keluar.
Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi adalah sebesar 60% sehingga
dapat diberikan antiemetik sebagai pencegahan.
Perdarahan pascatonsilektomi32
Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung pasien bisa penuh berisi darah yang
tertelan. Darah dalam lambung dapat memicu muntah secara spontan maupun pada waktu
induksi anestesi untuk re-operasi. Pengosongan lambung dengan oro/nasogastric tube
diperlukan sebelum anestesi.
Perkembangan baru adalah menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA) sebagai
pengganti pipa endotrakeal. Keuntungan LMA dibanding ETT adalah berkurangnya risiko
stridor postoperasi. Obstruksi saluran napas postoperasi juga lebih sedikit. Tetapi cara ini
memerlukan perhatian khusus seperti: 30
Selama anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan positif akan
meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama bila tahanan jalan napas besar dan
compliance paru rendah.
Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil.
LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar kembali.
Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus ditimbang juga dengan risiko yang
mungkin terjadi dan pengambilan keputusan harus berdasarkan pertimbangan per
individu.
2. Modifikasi Crowe-Davis mouth gag31
Keberatan dokter ahli THT tentang penggunaan intubasi endotrakeal adalah
karena pipa ETT menyita lapangan operasi. Dengan modifikasi Crowe-Davis mouth
gag ETT dapat diletakkan pada celah sepanjang permukaan bawah dari bilah lidah.
Sehingga lapang operasi menjadi bebas.
Pengamatan selama operasi
Selama operasi yang harus dipantau:
- Jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik tidak mengganggu operasi
- Pernapasan dan gerak dada cukup
- Saturasi oksigen di atas 95%
- Denyut nadi yang teratur
- Jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus yang masuk
Alat monitoring tambahan yang dianjurkan:
Pulse oxymetri
Pada pasien yang menjalani tonsilektomi untuk tatalaksana obstructive sleep apnea,
ketersediaan monitoring postoperatif dan pulseoksimetri merupakan keharusan. Begitu juga
dengan pasien dengan sindroma Down yang bisa mengalami depresi susunan saraf pusat
untuk waktu yang lama setelah anestesi umum selama tonsilektomi berlangsung.
Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit)
Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri
dengan posisi kepala lebih rendah dan mendongak.33 Pasien diobservasi selama beberapa
waktu di ruang pemulihan untuk meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan
efektivitas biaya dari pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani tonsilektomi
sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang telah diseleksi secara tepat
sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai lama observasi optimum sebelum pasien
dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama minimal 6 jam untuk mengawasi adanya
perdarahan dini.30
Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU) memerlukan
dokter spesialis anestesi, perawat dan dokter ahli bedah yang bekerja sebagai sebuah tim.
Bersama-sama, dilakukan observasi adanya masalah terkait medis, bedah dan anestesi dengan
tujuan dapat memberikan terapi secara cepat sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi
yang timbul.
Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi
respirasi, frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi
pemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering dilakukan setiap 15 menit untuk
jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam.
Untuk menentukan secara objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat digunakan
sistem skoring. Sistem yang saat ini digunakan secara luas adalah Skor Aldrete yang
dimodifikasi:
Kesadaran
2= sadar penuh 1= respons bila nama dipanggil 0= tidak ada respons
Aktivitas atas perintah
2= menggerakkan semua ektrimitas 1= menggerakkan 2 ekstrimitas 0= tidak bergerak
Pernapasan
2= bernapas dalam tanpa hambatan 1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi pernapasan 0=
apneu
Sirkulasi
2= tekanan darah dalam kisaran 20% nilai preoperasi 1= tekanan darah dalam kisaran 50-
20% nilai preoperasi 0= tekanan darah 50% atau kurang dari nilai preoperasi
Saturasi oksigen
2= SpO2 > 92% pada udara ruangan 1= dibutuhkan tambahan O2 untuk mempertahankan
SpO2 > 92% 0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2
Skor total= 10; skor < atau = 9 membutuhkan PACU
Perawatan postoperasi20
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara
jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan
postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan
secara bertahap pindah ke makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan
intravena diteruskan sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake
oral. Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan
bisa dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara adekuat,
muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam keadaan
stabil.
Pengambilan keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering hanya berdasarkan
pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang jelas dapat menunjang
keputusan tersebut. Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah
studi randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya
nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika yang
dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya penisilin yang
diberikan per oral. Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses
peritonsil atau memiliki riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan
antibiotika. Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada
pasien dengan kelainan jantung.
Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia yang
berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu juga bisa
menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien harus
dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi keluhan
pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.
I. Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum
maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi
tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal
baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.23
1. Komplikasi anestesi30
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi
dan adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan
status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
- Laringospasme
- Gelisah pasca operasi
- Mual muntah
- Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi32
- Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti jantung32
- Hipersensitif terhadap obat anestesi
2. Komplikasi bedah22
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).16 Perdarahan
dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah. Kematian akibat
perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena
masalah perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding,
perdarahan primer atau “reactionary haemorrage” dengan kemungkinan penyebabnya
adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam
pertama. Perdarahan primer ini sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih
dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat
jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan
hipovolemik bahkan syok.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding
atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah.
Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat
diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang
menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan yang
keras.
b. Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan
iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya
14-21 hari setelah operasi.
Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi.
Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik “cold”
diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik.
Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam
asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat
ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena
dibutuhkan.
3. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi,
otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah,
gigi dan pneumonia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-97
2. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
3. Larizgoita I. Tonsillectomy: scientific evidence, clinical practice and uncertainties. Barcelona: CAHTA 1999
4. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2-327-6
5. Mathews J, Lancaster J, Sherman I, Sullivan GO. Historical article guillotine tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United Kingdom. The Journal of Laryngology and Otology 2002;116:988-91
6. Darrow DH, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy. Laryngoscope 2002;112:6-10
7. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky M. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in moderately affected children. Pediatrics 2002;110:7-15
8. Hasil rapat Tim Ahli Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa, HTA Indonesia.
9. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:3-5
10. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian THT FKUI-RSUPNCM.
11. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004 RS Fatmawati.
12. Zuniar. Kumpulan karya ilmiah: Gambaran mikrobiologi pada tonsilitis kronis dari hasil usapan tenggorok dan bagian dalam tonsil. FKUI-PPDS bidang studi ilmu THT 2001.
13. Berkowitz RG, Zalzal GH. Tonsillectomy in children under 3 years of age. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract]
14. Drake A. Carr MS. Tonsillectomy. October, 2004. Available at: http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm
15. Bhattacharya N. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic Journal of Medicine 2003:70;698-701
16. Randal DA, Hoffer ME. Complication of tonsillectomy and adenoidectomy. Otolaryngol Head Neck Surg 1998;118:61-8
17. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa I, Umbas R, Thayeb U, Windiastuti E, dkk. Persiapan rutin prabedah elektif. HTA Indonesia 2003
18. Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew R, et al. Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation 2003
19. Bäck L. Paloheimo M, Ylikoski J. Traditional tonsillectomy compared with bipolar radiofrequency thermal ablation tonsillectomy in adults. Arch otolaryngol Head Neck Surg 2001;127:1106-12
20. Maddern BR. Bedah listrik for tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:11-13
21. Nawawi F. Studi Perbandingan cara Guillotine dan Diseksi. FKUI 1990
22. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ. Anesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal intubation and the armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth 1993;40:757-8 [Abstract]
23. Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the Gale Group
24. Plant RL. Radiofrequency treatment of tonsillar hypertrophy. Laryngoscope 2002:112;20-2
25. Wiatrak BJ, Willging JP. Skalpel harmonik for tonsillectomy. Laryngoscope 2002:112;14-16
26. National Institute for Clinical Excellence. Coblation tonsillectomy. Available from: http://www.nice.org.uk/ip175overview
27. Koltai PJ, Solares A, Mascha EJ, Meng Xu. Intracapsular partial tonsillectomy for tonsillar hypertrophy in children. Laryngoscope 2002,112:17-19.
28. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Tonsillectomy procedures. Available from: http://www.entlink.net/KidsENT/tonsil_procedures.cfm
29. Practice advisory for preanesthesia evaluation. A report by the American Society of anesthesiologists task force on preanesthesia evaluation. 2003.
30. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ, Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for infants and children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd ed.p.461-67.
31. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Snow JC. Anesthesia in otolaryngology and ophthalmology.USA:Charles C Thomas 1979.p.245-57.
32. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE, Tinker JH, Morgan GE,editors. Principles and practice of anesthesiology. London: Mosby 1998.2nd ed.p.2208-10.
33. Keith Allman, Iain Wilson. Oxford Handbook of Anaesthesia, 1 st Edition. Oxford University Press, 2001, 517