32
TONSILEKTOMI A. Definisi Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina. 2,3 Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. 4 B. Epidemiologi Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. 5 Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. 6,7 Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit. 8 Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat. 9 Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia.

Tonsilektomi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tonsilektomi

TONSILEKTOMI

A. Definisi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.2,3

Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di

nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.4

B. Epidemiologi

Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini

bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan

keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.5 Di AS

karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor.6,7 Di

Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek

dan teknik tidak sulit.8

Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,

adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat.9 Angka ini

menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan

287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa

adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi

dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di

Skotlandia.

Sedangkan pada orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi

meningkat dari 72 per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000

pada tahun 1996 (3.200 operasi).7 Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi

tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari

RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan

jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi

tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus

menurun sampai tahun 2003 (152 kasus).10 Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati

dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah

operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.11

C. Indikasi Tonsilektomi

Page 2: Tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan

prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi

diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih

utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.9

Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi

tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif

tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini

masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak

menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.13

1. Indikasi Absolut6 (AAO)

a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,

gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner

b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase

c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

2. Indikasi Relatif6 (AAO)

a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik

adekuat

b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi

medis

c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik

dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten

Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat

dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.8 Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk

pasien dewasa harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau

hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan

indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang

dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik.

Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana

seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada keadaan yang

lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di

tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan

beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan

Page 3: Tonsilektomi

sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas

hidup walaupun tidak mengancam nyawa.15

D. Kontraindikasi

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila

sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan

imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:8

1. Gangguan perdarahan

2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat

3. Anemia

4. Infeksi akut yang berat

E. Persiapan Praoperasi

1. Penilaian Praoperasi

Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi pada seorang pasien terletak di

tangan dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorok atau

dokter yang bertanggungjawab bila dalam keadaan tertentu tidak ada dokter spesialis

THT. Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di bawah anestesi umum, maka

kondisi kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk menyatakan

kelayakannya menjalani operasi tersebut.

Karena sebagian besar pasien yang menjalani tonsilektomi adalah anak-anak dan

sisanya orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan kerjasama dokter umum, dokter

spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian

preoperasi terhadap pasien. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa konsultasi kepada

dokter spesialis anak maupun penyakit dalam hanya dilakukan untuk kondisi tertentu oleh

dokter spesialis THT atau anestesi. Misalnya anak dengan malnutrisi, kelainan metabolik

atau penyakit tertentu yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas selama dan

pascaoperasi. Konsultasi ini dapat dilakukan baik oleh dokter spesialis THT maupun

spesialis anestesi.

Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat mengurangi lama perawatan di

rumah sakit dan meminimalkan pembatalan atau penundaan operasi (American Family

Physician). Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis yang diperoleh

dari anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik. Penilaian laboratoris dan radiologik

kadang dibutuhkan. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan baik di kalangan klinisi

Page 4: Tonsilektomi

maupun institusi pelayanan kesehatan dalam memilih pemeriksaan penunjang yang

dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi tertentu. Hal ini memiliki dampak pada

keselamatan pasien selain meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pasien,

pemerintah atau pihak ketiga.

a. Anamnesis dan Rekam Medik

Riwayat kesehatan.

Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan maksilofasial pada anak

dan pada orang dewasa asma, kelainan paru, diabetes melitus, hipertensi, epilepsi,

dll.

AFP: riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran), imunisasi, infeksi

terakhir terutama infeksi saluran napas khususnya pneumonia, Penyakit kronik

terutama paru-paru dan jantung, kelainan anatomi, obat yang sedang dan pernah

digunakan beserta dosisnya.

Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi

b. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum

Status gizi: malnutrisi

Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur pada jantung,

tanda-tanda gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruktif menahun.

Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien dengan

penyulit berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital di daerah orofaring dan

kelainan fungsional. Pada pasien ini, kelainan yang telah ada dapat menyulitkan

proses operasi. Selain itu penting untuk mendokumentasikan semua temuan

pemeriksaan fisik dalam rekam medik.

c. Pemeriksaan Penunjang17

Berdasarkan hasil kajian HTA Indonesia 2003 tentang persiapan rutin

prabedah elektif, maka pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk

tonsilektomi adalah sebagai berikut:

1) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit

2) Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT

d. Informed consent8

Page 5: Tonsilektomi

Informed consent perlu diberikan kepada pasien sehubungan dengan risiko

dan komplikasi yang potensial akan dialami pasien.

e. Persiapan praoperasi17

Puasa harus dilakukan sebelum operasi dilakukan. Lama puasa dapat dilihat

pada tabel 2, berdasarkan umur pasien.

2. Penilaian Praanestesia

Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses evaluasi/penilaian

klinis yang dilakukan sebelum melaksanakan pelayanan anestesi baik untuk prosedur

bedah maupun nonbedah. Penilaian preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter ahli

anestesia dan terdiri dari:18

a. Anamnesis dan Evaluasi rekam medik

Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam

mengetahui riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang diderita pasien.

Terutama adanya infeksi saluran pernapasan atas yang dapat mengganggu manajemen

anestesi. Sehingga dapat dilakukan pelayanan anestesi yang baik dan persiapan untuk

mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang mungkin akan dihadapi dokter anestesi

yang bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat kondisi-kondisi

tertentu yang didapatkan dengan anamnesis disamping data dari rekam medik.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test Malampatti untuk

feasibility intubasi, evaluasi paru-paru, jantung dan catatan mengenai tanda vital

pasien. Penilaian praanestesia dilakukan sebelum pelaksanaan operasi.

c. Tes praoperasi

Tes yang dilakukan sebelum operasi terdiri dari tes rutin dan tes yang

dilakukan atas dasar indikasi tertentu.

F. Teknik Operasi Tonsilektomi

Page 6: Tonsilektomi

Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi

oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan.9,19 Selama bertahun-tahun,

berbagai teknik dan instrumen untuk tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat ini teknik

tonsilektomi yang optimal dengan morbiditas yang rendah masih menjadi kontroversi,

masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak seperti kebanyakan operasi

dimana luka sembuh per primam, penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per

sekundam.19

Diskusi terkini dalam memilih jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti

nyeri, perdarahan perioperatif dan pascaoperatif serta durasi operasi.19 Selain itu juga

ditentukan oleh kemampuan dan pengalaman ahli bedah serta ketersediaan teknologi yang

mendukung.20 Beberapa teknik dan peralatan baru ditemukan dan dikembangkan di samping

teknik tonsilektomi standar.9

Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik

Guillotine dan diseksi.

1. Guillotine

Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan

dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Namun tidak ada

literatur yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotom

modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari

sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang

untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.5

Laporan operasi tonsilektomi pertama dilakukan oleh Celcus pada abad ke-1,

kemudian Albucassis di Cordova membuat sebuah buku yang mengulas mengenai operasi

dan pengobatan secara lengkap dengan teknik tonsilektomi yang menggunakan pisau

seperti guillotine. Greenfield Sluder pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20

merupakan seorang ahli yang sangat merekomendasikan teknik Guillotine dalam

tonsilektomi. Beliau mempopulerkan alat Sluder yang merupakan modifikasi alat

Guillotin.5

Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak digunakan. Hingga

dikatakan bahwa teknik Guillotine merupakan teknik tonsilketomi tertua yang masih

aman untuk digunakan hingga sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang

melakukan cara ini, namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia,

terutama di daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi.5

Page 7: Tonsilektomi

Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat,

komplikasi anestesi kecil, biaya kecil.21

2. Diseksi

Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya sedikit

ahli THT yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder.22 Di negara-

negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan

endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka

lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak

digunakan pada pasien anak.11

Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain yang

lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah. Pasien

menjalani anestesi umum (general endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi:

memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul

tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-

hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan

irigasi pada daerah tersebut dengan salin.9

Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan benar dengan

mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli bedah dan harus

diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan dimulai. Mouth gag diselipkan dan

bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal terfiksasi aman diantara lidah dan bilah.

Mouth gag paling baik ditempatkan dengan cara membuka mulut menggunakan jempol

dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis

tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung

bilah tidak mengenai palatum superior sampai tonsil karena dapat menyebabkan

perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah,

wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka. Tindakan ini harus

dilakukan dengan visualisasi langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa

orofaringeal akibat ujung bilah. Setelah mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan secara

hati-hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak

terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub superior dan inferior

tonsil terlihat. Kepala di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum memulai

operasi, harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan molle.1

Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur garis tengah

untuk tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag tersedia dalam beberapa

Page 8: Tonsilektomi

ukuran. Anak dan dewasa (khususnya wanita) menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki

dewasa memerlukan bilah no. 4. Bilah no. 2 jarang digunakan kecuali pada anak yang

kecil. Intubasi nasal trakea lebih tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli

bedah bila tidak dilakukan adenoidektomi.1

Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan disamping teknik

diseksi standar, yaitu:

1) Electrosurgery (Bedah listrik)20

Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum, karena

mudah memicu terjadinya ledakan. Namun, dengan makin berkembangnya zat

anestetik yang nonflammable dan perbaikan peralatan operasi, maka penggunaan

teknik bedah listrik makin meluas.

Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi

radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang

digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz.

Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi

saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam

jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini

menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical

pathway).

Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade,

monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga listrik

dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan atau untuk

koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan

tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat pula digunakan

sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.

2) Radiofrekuensi24

Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.

Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan

bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah

jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan

jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium

penghantar seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat

menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini

Page 9: Tonsilektomi

terjadi pada suhu rendah (400C-700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang

rusak.

Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed

Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty system

(bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation system dan Argon plasma

coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian

atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat menurunkan

morbiditas tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi yang lebih besar dengan

desain yang baik untuk mengevaluasi keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini.

3) Skalpel harmonik25

Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan

mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini

menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan

elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup

tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 1500C-4000C),

sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih

rendah (biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110

Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.

Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang

bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 μm (paling penting), dan

hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung pemotong saat kontak

dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan tekanan jaringan

internal, sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan.

Koagulasi muncul ketika energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan

hidrogen tersier menjadi protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi

jaringan internal akibat vibrasi frekuensi tinggi.

Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik bedah lain,

yaitu:

Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan akibat panas minimal

karena proses pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan

charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga lebih sedikit. Tidak seperti

elektrokauter, skalpel harmonik tidak memiliki energi listrik yang ditransfer ke

atau melalui pasien, sehingga tidak ada stray energi (energi yang tersasar) yang

dapat menyebabkan shock atau luka bakar.

Page 10: Tonsilektomi

Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit

perdarahan, perdarahan pasca operasi juga minimal.

Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini

mengurangi nyeri pascaoperasi.

Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa mentoleransi

kehilangan darah seperti pada anak-anak, pasien dengan anemia atau defisiensi

faktor VIII dan pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan.

4) Coblation26

Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar

ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation; bipolar

radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation.

Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik

radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium klorida.

Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan

sekitar. Coblation probe memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan

probe diatermi standar (suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari 100°C).

National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi teknik

coblation sama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna

mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan.

5) Intracapsular partial tonsillectomy27

Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan

dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun mikrodebrider endoskopi

bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat

lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan

jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.

Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari

terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan

“pelindung biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini akan mencegah terjadinya

perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan

nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan.

Jaringan tonsil yang tersisa akan meningkatkan insiden tonsillar regrowth. Tonsilitis

kronis merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam teknik

tonsilektomi intrakapsuler. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini.

Page 11: Tonsilektomi

Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca operasi

lebih rendah dibanding tonsilektomi standar. Tetapi masih diperlukan studi dengan

desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik ini.

6) Laser (CO2-KTP)28

Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl

Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi

volume tonsil dan menghilangkan „recesses‟ pada tonsil yang meyebabkan infeksi

kronik dan rekuren.

LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik dengan

anestesi lokal. Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan

kebutuhan analgesia pascaoperasi berkurang. Tekhnik ini direkomendasikan untuk

tonsilitis kronik dan rekuren, sore throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan

nafas yang disebabkan pembesaran tonsil.

G. Penyulit

Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam

melakukan tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa:4

1. Kelainan anatomi:

Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)

Kelainan maksilofasial dan dentofasial

2. Kelainan pada komponen darah:

Hemoglobin < 10 g/100 dl

Hematokrit < 30 g%

Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)

3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain

4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)

5. Multiple Allergy

6. Penyakit lain, seperti:

Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain

Hipertensi dan penyakit kardiovaskular

Obesitas, kejang demam, epilepsi

H. Teknik Anestesi29

Page 12: Tonsilektomi

Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,

kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,

dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah

anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan

dengan tujuan untuk pendidikan.

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi umum biasanya dilakukan untuk

tonsilektomi pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan gelisah. Pilihan

untuk menggunakan anestesi lokal bisa merupakan keputusan pasien yang tidak

menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam keadaan yang tidak memungkinkan

untuk menjalani anestesi umum. Biasanya ditujukan untuk tonsilektomi pada orang dewasa.

Dimana sebelumnya pasien telah diseleksi kondisi kesehatannya terlebih dahulu dan

mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter bedah yang bersangkutan sehingga pasien

dinilai dapat mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik.

Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi:

1. Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik

2. Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi

3. Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau obat-

obatan yang dibutuhkan

4. Menyediakan rapid emergence.

Premedikasi30

Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan evaluasi preoperasi. Saat pemberian

obat premedikasi dilakukan setelah pasien berada di bawah pengawasan dokter/perawat

terlatih. Anak-anak dengan riwayat sleep apneu atau obstruksi saluran napas intermitten atau

dengan tonsil yang sangat besar harus lebih diperhatikan.

Anestesi Umum

Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat anestesia

eter tidak boleh digunakan lagi jika pembedahan menggunakan kauter/diatermi. Teknik

anestesi yang dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal, karena dengan ini saturasi

oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol

dengan mudah. Dokter ahli anestesi serta perawat anestesi walaupun berada di luar lapangan

operasi namun masih memegang kendali jalan napas.31

1. Anestesi endotrakea30,31

Page 13: Tonsilektomi

Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor

ECG (bila tidak ada, dapat menggunakan precordial stetoskop). Manset pengukur

tekanan darah dipasang di lengan dan infus dextrose 5% atau larutan Ringer

dipasang di tangan.

Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil, induksi anestesi dilakukan dengan

halotan. Karena halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah superfisial, infus

menjadi lebih mudah dipasang setelah anak tidur.

Pada anak, induksi menggunakan sungkup dapat dilakukan dengan halotan atau

sevoflurane dengan oksigen dan nitrous oxide. Kehadiran orangtua di ruang

operasi selama induksi inhalasi bisa membantu menenangkan anak yang gelisah.

Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu

dengan pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari masuknya

darah ke dalam trakea, jika ETT tidak memiliki cuff, perlu diletakkan kasa bedah

di daerah supraglotik tepat di atas pita suara dan sekitar endotrakeal tube.

Selama maintenance, pernapasan dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).

Antisialalogue (atropin) dapat diberikan untuk meminimalkan sekresi di lapangan

operasi.

Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction),

dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang

pharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup.

Ekstubasi dapat dilakukan bila pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah

terjagabebas (intact protective airway reflexes).32 Ekstubasi juga dapat dilakukan

saat pasien masih dalam anestesi dalam. Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV bisa

mengurangi risiko batuk dan laringospasme pada saat ekstubasi.

Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala lebih

rendah daripada panggul (tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa darah

mengumpul di sekitar pipi dan mudah dihisap keluar.

Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi adalah sebesar 60% sehingga

dapat diberikan antiemetik sebagai pencegahan.

Perdarahan pascatonsilektomi32

Page 14: Tonsilektomi

Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung pasien bisa penuh berisi darah yang

tertelan. Darah dalam lambung dapat memicu muntah secara spontan maupun pada waktu

induksi anestesi untuk re-operasi. Pengosongan lambung dengan oro/nasogastric tube

diperlukan sebelum anestesi.

Perkembangan baru adalah menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA) sebagai

pengganti pipa endotrakeal. Keuntungan LMA dibanding ETT adalah berkurangnya risiko

stridor postoperasi. Obstruksi saluran napas postoperasi juga lebih sedikit. Tetapi cara ini

memerlukan perhatian khusus seperti: 30

Selama anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan positif akan

meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung terutama bila tahanan jalan napas besar dan

compliance paru rendah.

Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil.

LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar kembali.

Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus ditimbang juga dengan risiko yang

mungkin terjadi dan pengambilan keputusan harus berdasarkan pertimbangan per

individu.

2. Modifikasi Crowe-Davis mouth gag31

Keberatan dokter ahli THT tentang penggunaan intubasi endotrakeal adalah

karena pipa ETT menyita lapangan operasi. Dengan modifikasi Crowe-Davis mouth

gag ETT dapat diletakkan pada celah sepanjang permukaan bawah dari bilah lidah.

Sehingga lapang operasi menjadi bebas.

Pengamatan selama operasi

Selama operasi yang harus dipantau:

- Jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik tidak mengganggu operasi

- Pernapasan dan gerak dada cukup

- Saturasi oksigen di atas 95%

- Denyut nadi yang teratur

- Jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus yang masuk

Alat monitoring tambahan yang dianjurkan:

Pulse oxymetri

Page 15: Tonsilektomi

Pada pasien yang menjalani tonsilektomi untuk tatalaksana obstructive sleep apnea,

ketersediaan monitoring postoperatif dan pulseoksimetri merupakan keharusan. Begitu juga

dengan pasien dengan sindroma Down yang bisa mengalami depresi susunan saraf pusat

untuk waktu yang lama setelah anestesi umum selama tonsilektomi berlangsung.

Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit)

Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri

dengan posisi kepala lebih rendah dan mendongak.33 Pasien diobservasi selama beberapa

waktu di ruang pemulihan untuk meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan

efektivitas biaya dari pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani tonsilektomi

sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang telah diseleksi secara tepat

sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai lama observasi optimum sebelum pasien

dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama minimal 6 jam untuk mengawasi adanya

perdarahan dini.30

Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU) memerlukan

dokter spesialis anestesi, perawat dan dokter ahli bedah yang bekerja sebagai sebuah tim.

Bersama-sama, dilakukan observasi adanya masalah terkait medis, bedah dan anestesi dengan

tujuan dapat memberikan terapi secara cepat sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi

yang timbul.

Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi

respirasi, frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi

pemeriksaan tergantung kondisi pasien, namun paling sering dilakukan setiap 15 menit untuk

jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam.

Untuk menentukan secara objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat digunakan

sistem skoring. Sistem yang saat ini digunakan secara luas adalah Skor Aldrete yang

dimodifikasi:

Kesadaran

2= sadar penuh 1= respons bila nama dipanggil 0= tidak ada respons

Aktivitas atas perintah

2= menggerakkan semua ektrimitas 1= menggerakkan 2 ekstrimitas 0= tidak bergerak

Pernapasan

2= bernapas dalam tanpa hambatan 1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi pernapasan 0=

apneu

Page 16: Tonsilektomi

Sirkulasi

2= tekanan darah dalam kisaran 20% nilai preoperasi 1= tekanan darah dalam kisaran 50-

20% nilai preoperasi 0= tekanan darah 50% atau kurang dari nilai preoperasi

Saturasi oksigen

2= SpO2 > 92% pada udara ruangan 1= dibutuhkan tambahan O2 untuk mempertahankan

SpO2 > 92% 0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2

Skor total= 10; skor < atau = 9 membutuhkan PACU

Perawatan postoperasi20

Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara

jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan

postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan

secara bertahap pindah ke makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan

intravena diteruskan sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake

oral. Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan

bisa dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara adekuat,

muntah berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam keadaan

stabil.

Pengambilan keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering hanya berdasarkan

pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang jelas dapat menunjang

keputusan tersebut. Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah

studi randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya

nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika yang

dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya penisilin yang

diberikan per oral. Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses

peritonsil atau memiliki riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan

antibiotika. Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada

pasien dengan kelainan jantung.

Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia yang

berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu juga bisa

menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien harus

dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi keluhan

pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.

Page 17: Tonsilektomi

I. Komplikasi

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum

maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi

tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal

baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.23

1. Komplikasi anestesi30

Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi

dan adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan

status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:

- Laringospasme

- Gelisah pasca operasi

- Mual muntah

- Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi32

- Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti jantung32

- Hipersensitif terhadap obat anestesi

2. Komplikasi bedah22

a. Perdarahan

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).16 Perdarahan

dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah. Kematian akibat

perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena

masalah perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.

Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding,

perdarahan primer atau “reactionary haemorrage” dengan kemungkinan penyebabnya

adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam

pertama. Perdarahan primer ini sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih

dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat

jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan

hipovolemik bahkan syok.

Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding

atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah.

Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat

diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang

Page 18: Tonsilektomi

menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan yang

keras.

b. Nyeri

Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf

glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan

iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya

14-21 hari setelah operasi.

Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi.

Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik “cold”

diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik.

Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam

asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat

ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena

dibutuhkan.

3. Komplikasi lain

Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi,

otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah,

gigi dan pneumonia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-97

2. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.

Page 19: Tonsilektomi

3. Larizgoita I. Tonsillectomy: scientific evidence, clinical practice and uncertainties. Barcelona: CAHTA 1999

4. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2-327-6

5. Mathews J, Lancaster J, Sherman I, Sullivan GO. Historical article guillotine tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United Kingdom. The Journal of Laryngology and Otology 2002;116:988-91

6. Darrow DH, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy. Laryngoscope 2002;112:6-10

7. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky M. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in moderately affected children. Pediatrics 2002;110:7-15

8. Hasil rapat Tim Ahli Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa, HTA Indonesia.

9. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:3-5

10. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian THT FKUI-RSUPNCM.

11. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004 RS Fatmawati.

12. Zuniar. Kumpulan karya ilmiah: Gambaran mikrobiologi pada tonsilitis kronis dari hasil usapan tenggorok dan bagian dalam tonsil. FKUI-PPDS bidang studi ilmu THT 2001.

13. Berkowitz RG, Zalzal GH. Tonsillectomy in children under 3 years of age. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract]

14. Drake A. Carr MS. Tonsillectomy. October, 2004. Available at: http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm

15. Bhattacharya N. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic Journal of Medicine 2003:70;698-701

16. Randal DA, Hoffer ME. Complication of tonsillectomy and adenoidectomy. Otolaryngol Head Neck Surg 1998;118:61-8

17. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa I, Umbas R, Thayeb U, Windiastuti E, dkk. Persiapan rutin prabedah elektif. HTA Indonesia 2003

18. Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew R, et al. Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation 2003

Page 20: Tonsilektomi

19. Bäck L. Paloheimo M, Ylikoski J. Traditional tonsillectomy compared with bipolar radiofrequency thermal ablation tonsillectomy in adults. Arch otolaryngol Head Neck Surg 2001;127:1106-12

20. Maddern BR. Bedah listrik for tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:11-13

21. Nawawi F. Studi Perbandingan cara Guillotine dan Diseksi. FKUI 1990

22. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ. Anesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal intubation and the armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth 1993;40:757-8 [Abstract]

23. Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the Gale Group

24. Plant RL. Radiofrequency treatment of tonsillar hypertrophy. Laryngoscope 2002:112;20-2

25. Wiatrak BJ, Willging JP. Skalpel harmonik for tonsillectomy. Laryngoscope 2002:112;14-16

26. National Institute for Clinical Excellence. Coblation tonsillectomy. Available from: http://www.nice.org.uk/ip175overview

27. Koltai PJ, Solares A, Mascha EJ, Meng Xu. Intracapsular partial tonsillectomy for tonsillar hypertrophy in children. Laryngoscope 2002,112:17-19.

28. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Tonsillectomy procedures. Available from: http://www.entlink.net/KidsENT/tonsil_procedures.cfm

29. Practice advisory for preanesthesia evaluation. A report by the American Society of anesthesiologists task force on preanesthesia evaluation. 2003.

30. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ, Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for infants and children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd ed.p.461-67.

31. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Snow JC. Anesthesia in otolaryngology and ophthalmology.USA:Charles C Thomas 1979.p.245-57.

32. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE, Tinker JH, Morgan GE,editors. Principles and practice of anesthesiology. London: Mosby 1998.2nd ed.p.2208-10.

33. Keith Allman, Iain Wilson. Oxford Handbook of Anaesthesia, 1 st Edition. Oxford University Press, 2001, 517