Referat Demam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

demam pada anak

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Dalam tubuh, panas diproduksi melalui peningkatkan Basal Metabolic Rate(BMR). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan Basal Metabolic Rateantara lain: (1) laju metabolisme dari semua sel tubuh; (2) laju cadangan metabolisme yang disebabkan oleh aktivitas otot; (3) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh pengaruh tiroksin, epinefrin, norepinefrin dan perangsangan simpatis terhadap sel; (5) metabolisme tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kimiawi didalam sel sendiri.Pada keadaan istirahat, berbagai organ seperti otak, otot, hati, jantung, tiroid, pankreas dan kelenjar adrenal berperan dalam menghasilkan panas pada tingkat sel yang melibatkan adenosin trifosfat (ATP). Bayi baru lahir menghasilkan panas pada jaringan lemak coklat, yang terletak terutama dileher dan skapula. Jaringan ini kaya akan pembuluh darah dan mempunyai banyak mitokondria. Pada keadaan oksidasi asam lemak pada mitokondria dapat meningkatkan produksi panas sampai dua kali lipat. Dewasa dan anak besar mempertahankan panas dengan vasokonstriksi dan memproduksi panas dengan menggigil sebagai respon terhadap kenaikan suhu tubuh. Aliran darah yang diatur oleh susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam mendistribusikan panas dalam tubuh. Pada lingkungan panas atau bila suhu tubuh meningkat, pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus mempengaruhi serabut eferen dari sistem saraf otonom untuk melebarkan pembuluh darah (vasodilatasi). Peningkatan aliran darah dikulit menyebabkan pelepasan panas dari pusat tubuh melalui permukaan kulit kesekitarnya dalam bentuk keringat. Dilain pihak, pada lingkungan dingin akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah sehingga akan mempertahankan suhu tubuh.

BAB IIDEMAM

2.1 DEFINISIDemam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature 38,0C atau oral temperature 37,5C atau axillary temperature 37,2C.Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat.Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam hilang sesudah masa yang pendek. Tempat pengukuranJenis thermometerRentang; rerata suhu normal (oC)Demam (oC)

AksilaAir raksa, elektronik34,7 37,3; 36,437,4

SublingualAir raksa, elektronik35,5 37,5; 36,637,6

RektalAir raksa, elektronik36,6 37,9; 37,038

TelingaEmisi infra merah35,7 37,5; 36,637,6

2.2 DEMAM PADA ANAKDemam pada anak dapat digolongkan sebagai (1) demam yang singkat dengan tanda-tanda yang khas terhadap suatu penyakit sehingga diagnosis dapat ditegakkan melalui riwayat klinis dan pemeriksaan fisik, dengan atau tanpa uji laboratorium; (2) demam tanpa tanda-tanda yang khas terhadap suatu penyakit, sehingga riwayat dan pemeriksaan fisik tidak memberi kesan diagnosis tetapi uji laboratorium dapat menegakkan etiologi; dan (3) demam yang tidak diketahui sebabnya (Fever of Unknown Origin = FUO).

2.3 ETIOLOGI Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis.Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama 1-10 hari. Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya.

2.4 PATOGENESIS Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung mengubahset-point di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas.Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh seperti toksin, produk-produk bakteri dan bakteri itu sendiri mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), interferon (INF), interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL-11). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.2.4.1 Pirogen eksogen Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar. Umumnya, pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk merangsang sintesis interleukin-1 (IL-1). Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen, misalnya endotoksin, bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu. Radiasi, racun DDT dan racun kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek langsung terhadap hipotalamus. Beberapa bakteri memproduksi eksotoksin yang akan merangsang secara langsung makrofag dan monosit untuk melepas IL-1. Mekanisme ini dijumpai pada scarlet feverdan toxin shock syndrome. Pirogen eksogen dapat berasal dari mikroba dan non-mikroba.a. Pirogen Mikrobial Bakteri Gram NegatifPirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichia coli, Salmonela) disebabkan adanya heat-stable factor yaitu endotoksin, yaitu suatu pirogen eksogen yang pertama kali ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida (LPS). Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis (dose-related). Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat dalam jaringan atau dalam darah, keduanya akan difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan dan natural killer cell (NK cell). Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan interleukin-1, kemudian interleukin-1 tersebut mencapai hipotalamus sehingga segera menimbulkan demam. Endotoksin juga dapat mengaktifkan sistem komplemen dan aktifasi faktor hageman, seperti yang terdapat pada gambar 1.4 dan gambar 1.5

Bakteri Gram PositifPirogen utama bakteri gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan dinding sel. Bakteri gram-positif mengeluarkan eksotoksin, dimana eksotoksin ini dapat menyebabkan pelepasan daripada sitokin yang berasal dari T-helper dan makrofag yang dapat menginduksi demam. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini menerangkan perbedaan prognosis yang lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakteri gram-negatif. Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh basil gram-positif (misalnya difteri, tetanus, dan botulinum) pada umumnya demam yang ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram-positif piogenik atau bakteri gram-negatif lainnya. VirusTelah diketahui secara klinis bahwa virus dapat menyebabkan demam. Pada tahun 1958, dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang mengalami demam setelah disuntik virus influenza. Mekanisme virus memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invasi secara langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologis terjadi terhadap komponen virus yang termasuk diantaranya yaitu pembentukan antibodi, induksi oleh interferon dan nekrosis sel akibat virus. JamurProduk jamur baik yang mati maupun yang hidup, memproduksi pirogen eksogen yang akan merangsang terjadinya demam. Demam pada umumnya timbul ketika produk jamur berada dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya leukemia) disertai demam yang berhubungan dengan neutropenia sehingga mempunyai resiko tnggi untuk terserang infeksi jamur invasif.b. Pirogen Non-Mikrobial FagositosisFagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab untuk terjadinya demam, seperti dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imun (immune hemolytic anemia).

Kompleks Antigen-antibodiDemam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul baik sebagai akibat reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi (immune fever) atau oleh antigen yang teraktivasi sel-T untuk memproduksi limfokin, dan kemudian akan merangsang monosit dan makrofag untuk melepas interleukin-1 (IL-1). Contoh demam yang disebabkan oleh immunologically mediated diantaranya lupus eritematosus sistemik (SLE) dan reaksi obat yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap penisilin lebih mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi dengan leukosit dibandingkan dengan pelepasan IL-1. SteroidSteroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan metabolik androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan interleukin-1 (IL-1). Ethiocholanolon dapat menyebabkan demam hanya bila disuntikan secara intramuskular (IM), maka diduga demam tersebut disebabkan oleh pelepasan interleukin-1 (IL-1) oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan. Steroid ini diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien dengan sindrom adrogenital dan demam yang tidak diketahui sebabnya (fever of unknown origin = FUO). Sistem Monosit-MakrofagSel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi interleukin-1 (IL-1) dan terjadinya demam. Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai penanggung jawab dalam memproduksi interleukin-1 (IL-1) oleh karena demam dapat timbul dalam keadaan agranulositosis. Sel mononuklear selain merupakan monosit yang beredar dalam darah perifer juga tersebar di dalam organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus limfatik, plasenta, rongga peritoneum dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari granulocyte-monocyte colony-forming unit (GM-CFU) dalam sumsum tulang, kemudian memasuki peredaran darah untuk tinggal selama beberapa hari sebagai monosit yang beredar atau bermigrasi ke jaringan yang akan berubah fungsi dan morfologi menjadi makrofag yang berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan penting dalam pertahanan tubuh termasuk diantaranya merusak dan mengeliminasi mikroba, mengenal antigen dan mempresentasikannya untuk menempel pada limfosit, aktivasi limfosit-T dan destruksi sel tumor (Tabel 1.1). Keadaan yang berhubungan dengan perubahan fungsi sistem monosit-makrofag diantaranya bayi baru lahir, kortikosteroid dan terapi imunosupresif lain, lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Wiskott-Aldrich dan penyakit granulomatosus kronik. Dua produk utama monosit-makrofag adalah interleukin-1 (IL-1) dan Tumor necroting factor (TNF).

2.4.2 Pirogen Endogena Interleukin-1 (IL-1)Interleukin-1 (IL-1) disimpan dalam bentuk inaktif dalam sitoplasma sel sekretori, dengan bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum dilepas melalui membran sel kedalam sirkulasi. Interleukin-1 (IL-1) dianggap sebagai hormon oleh karena mempengaruhi organ-organ yang jauh. Penghancuran interleukin-1 (IL-1) terutama dilakukan di ginjal.Interleukin-1 (IL-1) terdiri atas 3 struktur polipeptida yang saling berhubungan, yaitu 2 agonis (IL-1 dan IL-1) dan sebuah antagonis (IL-1 reseptor antagonis). Reseptor antagonis IL-1 ini berkompetisi dengan IL-1 dan IL-1 untuk berikatan dengan reseptor IL-1. Jumlah relatif IL-1 dan reseptor antagonis IL-1 dalam suatu keadaan sakit akan mempengaruhi reaksi inflamasi menjadi aktif atau ditekan. Selain makrofag sebagai sumber utama produksi IL-1, sel kupfer di hati, keratinosit, sel langerhans pankreas serta astrosit juga memproduksi IL-1. Pada jaringan otak, produksi IL-1 oleh astrosit diduga berperan dalam respon imun dalam susunan saraf pusat (SSP) dan demam sekunder terhadap perdarahan SSP.

FagositosisAntigen Mikrobial dan Non-mikrobial

Memproses dan mempresentasikanPeran utama mekanisme pertahanan sebelum antigen

antigendipresentasikan pada sel-T

Aktivasi sel-TSel-T menjadi aktif hanya setelah kontak antigen pada

permukaan monosit-makrofag

TumorisidalUmumnya disebabkan oleh TNF

Sekresi dari :

Interferon dan Mempengaruhi respon imun, anti virus, anti proliferatif

IL-1Efek primer pada hipotalamus untuk mengindusi demam,

aktivasi sel-T dan produksi antibodi oleh sel-B

IL-6Induksi demam dan hepatic acute phase proteins, aktivasi

sel-B dan stem cell, resistensi non spesifik pada infeksi

IL-8Aktivasi neutrofil dan sintesis IgE

IL-11Efek pada sel limfopoetik dan mieloid/eritroid, perangsangan

sekresi T-cell dependent B-cell

Tumor necrosis factorAktivasi selular, aktivasi anti tumor

ProstaglandinBeraksi sebagai supresi imun, mengurangi IL-1

LisozimZat penting bagi proses peradangan

Interleukin-1 mempunyai banyak fungsi, fungsi primernya yaitu menginduksi demam pada hipotalamus untuk menaikkan suhu. Peran IL-1 diperlukan untuk proliferasi sel-T serta aktivasi sel-B, maka sebelumnya IL-1 dikenal sebagai lymphocyte activating factor (LAF) dan B-cell activating factor(BAF). Interleukin-1 merangsang beberapa protein tertentu di hati, seperti protein fase akut misalnya fibrinogen, haptoglobin, seruloplasmin dan CRP, sedangkan sintesis albumin dan transferin menurun. Secara karakteristik akan terlihat penurunan konsentrasi zat besi (Fe) serta seng (Zn) dan peningkatan konsentrasi tembaga (Cu). Keadaan hipoferimia terjadi sebagai akibat penurunan asimilasi zat besi pada usus dan peningkatan cadangan zat besi dalam hati. Perubahan ini mempengaruhi daya tahan tubuh hospes oleh karena menurunkan daya serang mikroorganisme dengan mengurangi nutrisi esensialnya, seperti zat besi dan seng. Dapat timbul leukositosis, peningkatan kortisol dan laju endap darah.b. Tumor Necrosis Factor (TNF)Tumor necrosis factor ditemukan pada tahun 1968. Sitokin ini selain dihasilkan oleh monosit dan makrofag, limfosit, natural killer cells (sel NK), sel kupffer juga oleh astrosit otak, sebagai respon tubuh terhadap rangsang atau luka yang invasif. Sitokin dalam jumlah yang sedikit mempunyai efek biologik yang menguntungkan. Berbeda dengan IL-1 yang mempunyai aktivitas anti tumor yang rendah, TNF mempunyai efek langsung terhadap sel tumor. Ia mengubah pertahanan tubuh terhadap infeksi dan merangsang pemulihan jaringan menjadi normal, termasuk penyembuhan luka. Tumor necrosis factor juga mempunyai efek untuk merangsang produksi IL-1, menambah aktivitas kemotaksis makrofag dan neutrofil serta meningkatkan fagositosis dan sitotoksik.Meskipun TNF mempunyai efek biologis yang serupa dengan IL-1, TNF tidak mempunyai efek langsung pada aktivasi stem cell dan limfosit. Seperti IL-1, TNF dianggap sebagai pirogen endogen oleh karena efeknya pada hipotalamus dalam menginduksi demam. Tumor necrosis factor identik dengan cachectin, yang menghambat aktivitas lipase lipoprotein dan menyebabkan hipertrigliseridemia serta cachexia, petanda adanya hubungan dengan infeksi kronik. Tingginya kadar TNF dalam serum mempunyai hubungan dengan aktivitas atau prognosis berbagai penyakit infeksi, seperti meningitis bakterialis, leismaniasis, infeksi virus HIV, malaria dan penyakit peradangan usus. Tumor necrosis factor juga diduga berperan dalam kelainan klinis lain, seperti artritis reumatoid, autoimmune disease, dan graft-versus-host disease.c. Limfosit yang TeraktivasiDalam sistem imun, limfosit merupakan sel antigen spesifik dan terdiri atas 2 jenis yaitu sel-B yang bertanggung jawab terhadap produksi antibodi dan sel-T yang mengatur sintesis antibodi dan secara tidak langsung berfungsi sebagai sitotoksik, serta memproduksi respon inflamasi hipersensitivit tipe lambat. Interleukin-1 berperan penting dalam aktivasi limfosit (dahulu disebut sebagai LAF). Sel limfosit hanya mengenal antigen dan menjadi aktif setelah antigen diproses dan dipresentasikan kepadanya oleh makrofag. Efek stimulasi IL-1 pada hipotalamus (seperti pirogen endogen menginduksi demam) dan pada limfosit-T (sebagai LAF) merupakan bukti kuat dari manfaat demam. Sebagai jawaban stimulasi IL-1, limfosit-T menghasilkan berbagai zat seperti yang terdapat dalam tabel 1.2d. InterferonInterferon dikenal oleh karena kemampuan untuk menekan replikasi virus di dalam sel yang terinfeksi. Berbeda dengan IL-1 dan TNF, interferon diproduksi oleh limfosit-T yang teraktivasi. Terdapat 3 jenis molekul yang berbeda dalam aktivitas biologik dan urutan asam aminonya, yaitu interferon- (INF alfa), interferon- (INF beta) dan interferon-gama (ITNF gama). Interferon alfa dan beta diproduksi oleh hampir semua sel (seperti leukosit, fibroblas dan makrofag) sebagai respon terhadap infeksi virus, sedangkan sintesis interferon gama dibatasi oleh limfosit-T. Meski fungsi sel limfosit-T pada neonatus normal sama efektifnya dengan dewasa, namun interferon (khususnya interferon gama) fungsinya belum memadai, sehingga diduga menyababkan makin beratnya infeksi virus pada bayi baru lahir.Interferon gama dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan menstimulasi sel-B untuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi interferon gama sebagai pirogen endogen dapat secara tidak langsung merangsang makrofag untuk melepaskan interleukin-1 (macrophage-activating factor) atau secara langsung pada pusat pengatur suhu di hipotalamus. Interferon mungkin mempengaruhi aktivitas antivirus dan sitolitik TNF, serta meningkatkan efisiensi natural killer cell. Aktivitas antivirus disebabkan penyesuaian dari sistem interferon dengan berbagai jalur biokimia yang mempunyai efek anti virus dan beraksi pada berbagai fase siklus replekasi virus. Interferon juga memperlihatkan aktivitas antitumor baik secara langsung dengan cara mencegah pembelahan sel melalui pemanjangan jalur siklus multiplikasi sel atau secara tidak langsung dengan mengubah respon imun. Aktivitas antivirus dan antitumor interferon terpengaruhi oleh meningkatnya suhu. Interleukin-4 (IL-4), yang menginduksi sintesis imunoglobulin IgE dan IgG4 oleh sel polimorfonuklear, tonsil atau sel limpa dari manusia sehat dan pasien alergi, dihalangi oleh interferon gama dan interferon alfa, berarti limfokin ini beraksi sebagai antagonis IL-4.Interferon melalui kemampuan biologiknya, dapat digunakan sebagai obat pada berbagai penyakit. Interferon alfa semakin sering dipakai dalam pengobatan berbagai infeksi virus, seperti hepatitis B, C dan delta. Efek toksik preparat interferon diantaranya demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala yang berat, somnolen dan muntah. Demam dapat muncul pada separuh pasien yang mendapat interferon, dan dapat mencapai 40C. Efek samping ini dapat diatasi dengan pemberian parasetamol dan prednisolon. Efek samping berat diantaranya gagal hati, gagal jantung, neuropati dan pansitopenia.e. Interleukin-2 (IL-2)Interleukin-2 merupakan limfokin penting kedua (setelah interferon) yang dilepas oleh limfosit-T yang terakivasi sebagai respons stimulasi IL-1. Interleukin-2 mempunyai efek penting pada pertumbuhan dan fungsi sel-T,Natural killer cell (sel NK) dan sel-B. Telah dilaporkan adanya kasus defisiensi imun kongenital berat disertai dengan defek spesifik dari produksi IL-2. Interleukin-2 memperlihatkan efek sitotoksik antitumor (terhadap melanoma ginjal, usus besar dan paru) sebagai hasil aktivasi spesifik darinatural killer cell (lymphokine-activated killer cell atau LAK), yang memiliki aktivitas sototoksik terhadap proliferasi sel tumor. Uji klinis dengan IL-2 sedang dilakukan saat ini pada tumor tertentu pada anak. Respon neuroblastoma tampak cukup baik terhadap terapi imun dengan IL-2. Sayangnya, terapi imun dengan IL-2 dapat menyebabkan defek kemotaksis neutrofil yang reversibel, diikuti peningkatan kerentanan terhadap infeksi pada pasien yang menerimanya. Efek samping lainnya diantaranya lemah badan, demam, anoreksia dan nyeri otot. Gejala ini dapat dikontrol dengan parasetamol. Interleukin-2 menstimulasi pelepasan sitokin lain, seperti IL-1, TNF dan INF alfa, yang akan menginduksi aktivitas sel endotel, mendahului bocornya pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan oedem paru dan resistensi cairan yang hebat. Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi IL-2 diantaranya SLE (Systemic Lupus Erytematosus), diabetes melitus (DM), luka bakar dan beberapa bentuk keganasan.f. Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF)Dari empat hemopoetic colony-stimulating factor yang berpotensi tinggi menguntungkan adalah eritropoetin, granulocyte colony-stimulating factor(G-CSF), dan macrophage colony-stimulating factor (M-CSF).Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) adalah limfokin lain yang diproduksi terutama oleh limfosit, meskipun makrofag dan sel mast juga mempunyai kemampuan untuk memproduksinya. Fungsi utama GM-CSF adalah menstimulasi sel progenitor hemopoetik untuk berproliferasi dan berdeferensiasi menjadi granulosit dan makrofag serta mengatur kematangan fungsinya. Penggunaan dalam pengobatan diantaranya digunakan untuk pengobatan mielodisplasia, anemia aplastik dan efek mielotoksik pada pengobatan keganasan serta transplantasi. Pemberian GM-CSF dapat disertai dengan terjadinya demam, yang dapat dihambat dengan pemberian obat anti inflamasi non steroid (Non Steriod Anti Inflamation Drug = NSAID) seperti ibuprofen.Demam Infeksi, toksin, dan pengimbas lain sitokin-sitokin pirogenik endogen

Konservasi panasProduksi panas

Titik ambang naik ke tingkat demamProstaglandin E2Pusat termoregulator hipotalamusMonosit, makrofagSel endotelLimfosit BSel MesangiumKeratinositSel EpitelSel GliaSitokin PirogenikEndogen:IL-1, TNF, IL-6, IFN

Bagan 1. Patogenesis demam

2.5 PATOFISIOLOGI

Pengaturan suhu tubuh seluruhnya diatur di hipotalamus. Segala substansi pemicu demam (pirogen) akan menyebabkan pelepasan mediator demam yaitu prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 kemudian mempengaruhi set-point di hipotalamus, yang menyebabkan perubahan respon secara sistemik, membentuk efek pembentukan panas tubuh untuk menyesuaikan dengan level suhu yang telah diatur di hipotalamus. PGE2 dilepaskan dari jalur sintesis asam arakidonat. Jalur tersebut dimediasi oleh enzim fosfolipase A2 (PLA2), siklooksigenase (COX-2), dan prostaglandin E2 sintase. Enzim tersebut seluruhnya menyebabkan sintesis dan pelepasan dari PGE2. PGE2 merupakan mediator utama dalam respon demam. Pengaturan suhu tubuh akan tetap tinggi sampai PGE2 hilang dari peredaran sistemik. PGE2 mempengaruhi neuron pada daerah pre-optik (POA) melalui reseptor-3 prostaglandin E (EP3). Neuron yang mengekspresikan EP3 di POA akan menginervasi dorsomedial hipotalamus (DMH), nukleus rostral raphe pallidus di medula oblongata (rRPa), dan nukleus paraventrikular (PVN) dari hipotalamus. Sinyal demam dikirim ke DMH dan rRPa menyebabkan stimulasi dari sistem simpatis, yang kemudian akan mencetuskan pembentukan panas tubuh dan vasokontriksi untuk menurunkan kehilangan panas tubuh melalui kulit. Inervasi dari POA ke PVN 9 akan memediasi efek neuroendokrin dari demam melalui jalur yang melibatkan kelenjar hipofisis dan organ endokrin lainnya. Sebagai perumpamaan, hipotalamus di otak berfungsi mirip dengan termostat pada lemari pendingin. Ketika set-point suhu tubuh ditingkatkan, maka tubuh akan mengkompensasi peningkatan tersebut dengan secara aktif memproduksi panas dan menahan panas dalam tubuh agar tidak keluar dari tubuh. Vasokontriksi pembuluh darah akan menurunkan proses kehilangan panas melalui kulit dan menyebabkan seseorang merasakan dingin bahkan hingga menggigil. Jika proses penyesuaian tersebut tidak cukup untuk menyebabkan suhu darah sesuai dengan setingan suhu di hipotalamus, maka proses menggigil dimulai dengan tujuan menggerakkan otot-otot untuk menghasilkan lebih banyak panas. Ketika demam berhenti, dan setingan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah, maka akan terjadi proses kebalikan dari proses sebelumnya, dengan tujuan menyesuaikan suhu tubuh dengan setingan termostat yang baru. Proses tersebut meliputi vasodilatasi pembuluh darah untuk meningkatkan pengeluaran panas melalui kulit, dan berkeringat sebagai upaya pendinginan tubuh dalam menyesuaikan setingan suhu yang baru.

2.5 POLA DEMAM1. Demam kontinyu Merupakan demam yang terus-menerus tinggi dan memiliki toleransi fluktuasi yang tidak lebih dari 1 C. Contoh penyakitnya antara lain; demam dengue, demam tifoid, pneumonia, infeksi respiratorik, keadaan penurunan sistem imun, infeksi virus, sepsis, gangguan sistem saraf pusat, malaria falciparum, dan lain-lain.

2. Demam intermiten Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan kemudian kembali ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus tersebut berulang-ulang hingga akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu diurnal > 1 C. Contoh penyakitnya antara lain; demam tifoid, malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa subtipe dari demam intermiten, yaitu : a) Demam quotidian Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria falciparum dan demam tifoid

b) Demam tertian Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria tertiana (Plasmodium vivax)

c) Demam quartan Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria kuartana (Plasmodium malariae)

3. Demam remiten Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai suhu normal, fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10 C. Contoh penyakitnya antara lain; infeksi virus, demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.

4. Demam berjenjang (step ladder fever) Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu selama beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal kembali. Contohnya pada demam tifoid

5. Demam bifasik (pelana kuda/ saddleback) Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan suhu, kurang lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi kembali. Tipe ini didapatkan pada beberapa penyakit, seperti demam dengue, yellow fever, Colorado tick fever, Rit valley fever, dan infeksi virus seperti; influenza, poliomielitis, dan koriomeningitis limfositik.

6. Demam Pel-Ebstein atau undulasi Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin, dimana terjadi peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu berikutnya, dan seperti itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga pada kasus penyakit kolesistitis bruselosis, dan pielonefritis kronik.

7. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus) Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama senja atau di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis milier, salmonelosis, abses hepatik, dan endokarditis bakterial. 2.6 PENATALAKSANAAN DEMAMDemam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam dapat dibagi menjadi dua garis besar yaitu: non-farmakologi dan farmakologi. Akan tetapi, diperlukan penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan umur 38C, penderita dengan umur 3-12 bulan dengan suhu >39C, penderita dengan suhu >40,5C, dan demam dengan suhu yang tidak turun dalam 48-72 jam 2.6.1 Terapi non-farmakologiAdapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam:1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat yang cukup.2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti.2.6.2 Terapi farmakologiObat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama. Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak. Dosis parasetamol juga dapat disederhanakan menjadi:Tabel 2.2. Dosis parasetamol menurut kelompok umur Umur (tahun) Dosis Parasetamol tiap pemberian (mg)

< 1 60

1-3 60-125

4-6 125-250

6-12 250-500

Pada umumnya antipiretik digunakan bila suhu tubuh anak lebih dari 38 C. Orang tua dan sebagian besar dokter memberikan antipiretik pada setiap keadaan demam. Seharusnya antipiretik tidak diberikan secara otomatis, tetapi memerlukan pertimbangan. Pemberian antipiretik harus berdasarkan kenyamanan anak, bukan dari suhu yang tertera pada angka termometer saja. Saat ini pemberian resep antipiretik terlalu berlebihan, antipiretik diberikan untuk keuntungan orang tua daripada si anak. Meski tidak ada efek samping antipiretik pada perjalanan penyakit, namun terdapat beberapa bukti yang memperlihatkan efek yang merugikan. Indikasi pemberian antipiretik, antara lain : 1. Demam lebih dari 39 C yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman, biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia. 2. Demam lebih dari 40,5 C 3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan gizi kurang, penyakit jantung, luka bakar, atau pasca operasi, memerlukan antipiretik. 4. Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.

Klasifikasi Antipiretik Obat antipiretik dalam dikelompokkan dalam empat golongan; yaitu para aminofenol (parasetamol), derivat asam propionat (ibuprofen dan naproksen), salisilat (aspirin, salisilamid), dan asam asetik (indometasin). Namun yang akan dibahas pada bagian ini ialah antipiretik yang sering dipakai pada penatalaksanaan demam pada anak; yaitu parasetamol, ibuprofen, dan aspirin. 1. Parasetamol (Asetaminofen)

Parasetamol merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin. Saat ini parasetamol merupakan antipiretik yang biasa dipakai sebagai antipiretik dan analgesik dalam pengobatan demam pada anak. Keuntungannya, terdapat dalam sediaan sirup, tablet, infus, dan supositoria. Cara terakhir ini merupakan alternatif bila obat tidak dapat diberikan per oral; misalnya anak muntah, menolak pemberian cairan, mengantuk, atau tidak sadar. Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas yang setara antara parasetamol oral dan supositoria. Dengan dosis yang sama daya terapeutik antipiretiknya setara dengan aspirin, hanya parasetamol tidak mempunyai daya antiinflamasi, oleh karena itu tidak digunakan pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatodi. Parasetamol juga efektif menurunkan suhu dan efek samping lain yang berasal dari pengobatan dengan sitokin, seperti interferon dan pada pasien keganasan yang menderita infeksi. Dosis parasetamol lazim yang digunakan untuk menurunkan suhu ialah 10-15 mg/kgBB per dosis, maka akan tercapai konsentrasi efek antipiretik dan direkomendasikan diberikan setiap 4 jam. Dosis parasetamol 20 mg/kgBB tidak akan menambah daya penurunan suhu tetapi memperpanjang efek antipiretik sampai 6-8 jam. Setelah pemberian dosis terapeutik, penurunan demam terjadi setelah 30 menit, puncaknya sekitar 3 jam, dan demam akan rekuren dalam 3-4 jam setelah pemberian. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 30 menit. Makanan yang mengandung karbohidrat tinggi akan mengurangi absorpsi sehingga menghalangi penurunan demam. Parasetamol mempunyai efek samping ringan bila diberikan dalam dosis biasa. Tidak akan timbul perdarahan saluran cerna, nefropati, maupun koagulopati. Obat yang dilaporkan mempunyai interaksi dengan parasetamol, diantaranya adalah warfarin, metoklopramid, beta bloker, dan klopromazin.

2. Ibuprofen

Ibuprofen ialah suatu derivat asam propionat yang mempunyai kemampuan antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Seperti antipiretik lain dan NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug), ibuprofen beraksi dengan memblokade sintesis PGE-2 melalui penghambatan siklooksigenasi. Sejak tahun 1984 satu-satunya NSAID yang direkomendasikan sebagai antipiretik di Amerika Serikat adalah ibuprofen, sedangkan di Inggris sejak tahun 1990. Obat ini diserap dengan baik oleh saluran cerna, mencapai puncak konsentrasi serum dalam 1 jam. Kadar efek maksimal untuk antipiretik (sekitar 10 mg/L) dapat dicapai dengan dosis 5 mg/kgBB, yang akan menurunkan suhu tubuh 2 C selama 3-4 jam. Dosis 10 mg/kgBB/hari dilaporkan lebih poten dan mempunyai efek supresi demam lebih lama dibandingkan dengan dosis setara parasetamol. Awitan antipiretik tampak lebih dini dan efek lebih besar pada bayi daripada anak yang lebih tua. Ibuprofen merupakan obat antipiretik kedua yang paling banyak dipakai setelah parasetamol. Efek antiinflamasi serta analgesik ibuprofen menambah keunggulan dibandingkan dengan parasetamol dalam pengobatan beberapa penyakit infeksi yang berhubungan dengan demam. Indikasi kedua pemakaian ibuprofen adalah artritis reumatoid. Dengan dosis 20-40 mg/kgBB/hari, efeknya sama dengan dosis aspirin 60-80 mg/kgBB/hari disertai efek samping yang lebih rendah. Pemberian sitokin (misalnya GM-CSF) seringkali menyebabkan demam dan mialgia, ibuprofen ternyata obat yang efektif untuk mengatasi efek samping tersebut. Ibuprofen mempunyai keuntungan pengobatan dengan efek samping ringan dalam penggunaan yang luas. Beberapa efek samping yang dilaporkan disebabkan adanya penyakit yang sebelumnya telah ada pada anak tersebut dan bukan disebabkan oleh pengobatannya. Di pihak lain efek samping biasanya berhubungan dengan dosis dan sedikit lebih sering dibandingkan dengan parasetamol dalam dosis antipiretik. Reaksi samping ibuprofen lebih rendah daripada aspirin. Anak yang menelan 100 mg/kgBB tidak menunjukkan gejala, bahkan sampai dosis 300 mg/kgBB seringkali asimptomatik. Tatalaksana kasus keracunan ibuprofen, dilakukan pengeluaran obat dengan muntah (kumbah lambung), arang aktif, dan perawatan suportif secara umum. Tidak ada antidotum spesifik terhadap keracunan ibuprofen.

3. Salisilat Aspirin sampai dengan tahun 1980 merupakan antipiretik-analgetik yang luas dipakai dalam bidang kesehatan anak. Di Amerika Serikat pangsa pasar salisilat mencapai 70% sedangkan parasetamol hanya mencapai 30%, di Inggris kecenderungannya terbalik. Dalam penelitian perbandingan antara aspirin dan parasetamol dengan dosis setara terbukti kedua kelompok mempunyai efektivitas antipiretik yang sama tetapi aspirin lebih efektif sebagai analgesik. Setelah dilaporkan adanya hubungan antara sindrom Reye dan aspirin, Committee on Infectious Diseases of the American Academy of Pediatrics, berkesimpulan pada laporannya tahun 1982, bahwa aspirin tidak dapat diberikan pada anak dengan cacar air atau dengan kemungkinan influenza. Walaupun demikian, aspirin masih digunakan secara luas di berbagai tempat di dunia, terutama di negara berkembang. Kekurangan utama aspirin adalah tidak stabil dalam bentuk larutan (oleh karena itu hanya tersedia dalam bentuk tablet), dan efek samping lebih tinggi daripada parasetamol dan ibuprofen. Adapula peningkatan insidensi interaksi dengan obat lain, termasuk antikoagulan oral (menyebabkan peningkatan resiko perdarahan), metoklopramid dan kafein, serta natrium valproat (menyebabkan terhambatnya metabolisme natrium valproat).

Adapun indikasi pemakaian aspirin ialah sebagai berikut : 1. Sebagai antipiretik/ analgetik, aspirin tidak lagi direkomendasikan. Dosis 10-15 mg/kgBB memberikan efek antipiretik yang efektif. Dapat diberikan 4-5 kali per hari, oleh karena waktu paruh di dalam darah sekitar 3-4 jam. 2. Pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatoid dan demam reumatik, dosis awal ialah 80 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. Dosis ini kemudian disesuaikan untuk mempertahankan kadar salisilat dalam darah sekitar 20-30 mg/dL. Oleh karena akhir-akhir dilaporkan adanya sindrom Reye pada kasus artrtis reumatoid yang mendapat aspirin, maka aspirin tidak lagi dipakai pada pengobatan artritis reumatoid. 3. Thromboxane A2 merupakan vasokonstriktor poten dan sebagai platelet aggregation agent yang terbentuk dari asam arakidonat melalui siklus siklooksigenase. Aspirin menghambat siklooksigenase sehingga mempunyai aktivitas antitrombosit dan fibrinolitik rendah, direkomendasikan bagi anak dengan penyakit kawasaki, penyakit jantung bawaan sianotik, dan penyakit jantung koroner.

Kontraindikasi pemberian aspirin antara lain sebagai berikut : 1. Infeksi virus, khususnya infeksi saluran napas bagian atas atau cacar air. Aspirin dapat menyebabkan sindrom Reye.

2. Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), pada keadaan ini aspirin dapat menyebabkan anemia hemolitik. 3. Anak yang menderita asma, dapat menginduksi hipersensitifitas karena penggunaan aspirin (aspirin-induced hypersensitivity), berupa urtikaria, angioedema, rhinitis, dan hiperreaktivitas bronkus. Aspirin dapat menghambat sintesis, yang mempengaruhi efek dilatasi bronkus. Akhir-akhir ini terbukti adanya peningkatan pembentukan leukotrien pada keadaan asma yang diinduksi aspirin. Leukotrien merupakan vasokonstriktor poten terhadap otot-otot polos saluran napas. 4. Pada pasien yang akan mengalami pembedahan atau pasien yang memiliki kecenderungan untuk mengalami perdarahan, aspirin dapat menghambat agregasi trombosit yang bersifat reversibel.

Efek samping yang timbul pada kadar salisilat darah < 20 mg/100 mL, umumnya dianggap sebagai efek samping sedangkan gejala yang timbul pada kadar yang lebih tinggi disebut keracunan. Gambaran yang saling tumpang tindih timbul diantara kedua kelompok tersebut. Efek samping berasal dari efek langsung terhadap berbagai organ atau menghambat sintesis prostaglandin pada organ-organ terkena. Pada anak besar gambaran klinis menunjukkan alkalosis respiratorik, sedangkan pada anak yang lebih muda fase alkalosis respiratorik terjadi singkat dan ketika anak tiba di rumah sakit sudah terjadi asidosis metabolik bercampur dengan alkalosis respiratorik. Pada bayi atau keracunan salisilat berat, keseimbangan asam-basa sangat terganggu ditandai dengan penurunan pH (dapat kurang dari 7,0). Alkalosis respiratorik menunjukkan adanya keracunan ringan atau tanda awal keracunan berat. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan adalah; darah perifer lengkap, kadar salisilat, gula dalam darah, enzim hati, waktu protrombin, analisis gas darah, bikarbonat serum, ureum dan elektrolit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Powel R.K. 2004. Fever. In : Richard E.B., Robert M.K., Hal B.J. Nelson Textbook of Pediatrics. Volume 2. 17th edition. Philadelpia. Saunders. 839-841.2. Ganong F.W. 2003. Temperature Regulation. Review of Medical Physiology. 21st edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 254-259.3. Brahmer J., Sande A.M. 2001. Fever of Unknown Origin. In : Walter R.W., Merle S.A. Current Diagnosis & Treatment in Infectious Disease. 7thedition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 240-246.4. Bellig L.L. 2005. Fever. http://www.eMedicine.com.Inc/fever/topic359.htm5. Dale C.D. 2004. The Febrile Patient. In : Lee Goldman., Dennis Ausiello.Cecil Textbook of Medicine. Volume 2. 22nd edition. Philadelpia. Saunders. 1729-1733.6. Dinarello A.C., Gelfan A.J. 2001. Fever and Hypertermia.http://www.harrisononline.com.7. Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 1141-1155.8. Hariyanto W. 1995. Mengapa Kita Demam. Jakarta. Penerbit Arcan. 1-23.9. Jawetz E. 2003. Toxin Production. In : Warren L., Ernest J. Medical Microbiology & Immunology. 7th edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 35-44.10. Kaiser E.G. 2001. Microbiology Home Page. http://www.cat.cc.md.us.11. Kirana S., Widjaja T. 2004. Pemeriksaan Keadaan Umum. Dalam : Edhiwan P., J Teguh W. Buku Panduan Diagnosis Fisik di Klinik. Bandung. Concept Publishers. 28-29.12. Peterson J.C. 2002. Interleukin-1. http:/www.rndsystem.com/imag.13. Sumarno S.P.S., Herry G., Sri Rezeki S.H. 2002. Demam, Patogenesis dan Pengobatan. Buku Ajar Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. IDAI. Edisi 1. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 27-38.17