44
BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. 1 Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500- 1 | DEMAM TIFOID PADA ANAK

referat demam tifoid

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: referat demam tifoid

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan

oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang

dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri

sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus,

dan Peyer’s patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid

dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan

demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies

Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun

demam paratifoid.1

Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada

penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini juga

merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat

dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang

buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di

seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Demam

tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa.

Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami

anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid

banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.2

1 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 2: referat demam tifoid

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.

Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran

pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan

pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

II. Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena

penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data

World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta

kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap

tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit

endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya

adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus

ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan

358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun

atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3

Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural

reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya

melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.

Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu

apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.

Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan

mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1

2 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 3: referat demam tifoid

Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan

yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya

keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).

Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada

dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari

seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan

sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1

III. Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella

typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.

paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,

mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.

Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)

yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida.

Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar

dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh

plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

3 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 4: referat demam tifoid

IV. Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti

organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan

hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica,

dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di

dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam

kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan

keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh

manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang

mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer

patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan

infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada

lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan

seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan

ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan

menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer

Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di

lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama

makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening

mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini

masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya

asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati

dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan

kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali

masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai

tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.4 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 5: referat demam tifoid

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.

Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi

setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah

teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi

beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala

reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,

diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada

anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang

terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan

(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia

jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi

pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi

akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,

serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor

sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan

neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut

terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui

pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi

makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk

memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat

menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil,

demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem

imunologis.1,4

5 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 6: referat demam tifoid

Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

V. Manifestasi klinik

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda

klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama

pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.

6 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 7: referat demam tifoid

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi

terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai

korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status

imunologis penderita.1,4,5

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar

gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih.

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut

pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,

konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.

Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten,

lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan

kesadaran dari yang ringan sampai berat.

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang

dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat

pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler

terutama pada bayi yang tifoid kongenital.

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan

tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang

tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin

progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna

merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang

didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,

dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama

dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada

demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5

mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada 7 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 8: referat demam tifoid

orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini

muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK

Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan

diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah

mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa

memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis

pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%),

muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan

kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%),

meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai

dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%),

sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%),

gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).9 Sedangkan

tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki,

sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis

fokal.6

VI. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok, yaitu :

1. Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang

dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,

yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak

selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit

oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan

dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit

jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,

aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada

perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan

8 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 9: referat demam tifoid

kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak

memerlukan penanganan khusus.

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid

sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6

2. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji

serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan

adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen

spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang

diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang

digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi

terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.

Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan

antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita

dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang

sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.

Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer

antibodi dalam serum.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum

penderita tersangka demam tifoid yaitu;

1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2. Aglutinin H (flagel kuman)

3. Aglutinin Vi (simpai kuman).

9 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 10: referat demam tifoid

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan

untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar

kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.

Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai

beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang

telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan

aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul

lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada

pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak

dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk

menentukan pengidap S.typhi.

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai

uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45

menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,

96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak

menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka

diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan

pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada

deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan

bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif

palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang

berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.

Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu

1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.

2. Gangguan pembentukan antibodi.

3. Saat pengambilan darah.

4. Daerah endemik atau non endemik.

5. Riwayat vaksinasi.

6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi

bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

10 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 11: referat demam tifoid

Faktor teknik, yaitu

1. Akibat aglutinin silang.

2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:

Negatif Palsu

Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling

sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam

5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.

Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

Positif Palsu

Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)

memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang

dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu

(false positive).

Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan

pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut

karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi

IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh

Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15

Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar

11 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 12: referat demam tifoid

89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk

pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di

negara berkembang.6

Ada 4 interpretasi hasil :

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam

tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.

Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:

Immunodominan yang kuat

Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan

H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap

sel B.

Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon

antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.

Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat

melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.

Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan

baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

Mendeteksi infeksi akut Salmonella

Muncul pada hari ke 3 demam

Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella

Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit

Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik

IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM

menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi

12 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 13: referat demam tifoid

terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan

infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid

yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode

Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan

inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan

memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid

bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%,

nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16

Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam

tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6%

dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar

79% dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-

tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan

dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif

yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa

Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan

kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang

dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan

membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga

dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas

kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain

adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum

ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu

4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum

pasien.6

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

13 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 14: referat demam tifoid

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG

terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam

spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%

pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang

didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan

sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial

serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel

urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100%

pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan

antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan

penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila

dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu

diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.6

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi

dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi

sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai

reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah

distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat

yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila

dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai

prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap

30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan

spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata

sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang

menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini

14 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 15: referat demam tifoid

terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin

lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis

tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika

tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.

typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau

dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih

mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan

pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif

tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa

faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah

yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu

pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil

dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk

kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit

dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat

menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila

dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana

dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.

typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan

pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-

80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%

pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita

15 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 16: referat demam tifoid

yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah

dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan

meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun

secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum

tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi

dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama

perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama

bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan

kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak

dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur

pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang

cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi

terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa

sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur

sumsum tulang.5,6

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media

yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat

minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu

pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai

sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang

dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri

sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku

dalam pelayanan penderita.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan

teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase

chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

16 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 17: referat demam tifoid

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar

100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya

dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk

(2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur

darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi

risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur

teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang

bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah

serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi

dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis

masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya

masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6

VII. Diagnosis

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan

bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang

timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran

pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap

dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,

anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta

gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan

kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu

panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan

diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh

tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose

spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan

abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika

tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun

malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.

17 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 18: referat demam tifoid

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala

klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam

menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk

menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang

diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5

VIII. Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis

dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan

bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme

intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis

dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia,

limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1

IX. Penatalaksanaan

IX.1. Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus

diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah

yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak

memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk

mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya

diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.

18 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 19: referat demam tifoid

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.

Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,

penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit

dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan

cairan rumatannya.

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh

yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal

ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka

terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang

memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah

diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah

pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya

vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit

meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga

mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang

dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu

(thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat

pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7

IX.2. Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila

mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah

Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk

menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran

cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk

diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat

19 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 20: referat demam tifoid

diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5

Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian

Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat

diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau

didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan

dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan

sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari

dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian

secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi

2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini

adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,

Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika

golongan ini sudah dilaporkan resisten.

Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah

dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-

anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang

diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2

minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi

chloramphenicol.

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan

pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari

Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella

20 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 21: referat demam tifoid

typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi

dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan

cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan

Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai

syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit

untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang

diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera

dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

X. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4

1. Komplikasi pada usus halus

a) Perdarahan usus

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.

Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda

– tanda renjatan.

b) Perforasi usus

Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian

distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila

terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat

udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat

dalam keadaan tegak.

c) Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.

Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,

dan nyeri tekan.

21 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 22: referat demam tifoid

2. Komplikasi diluar usus halus

a) Bronkitis dan bronkopneumonia

Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan

oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul

pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses

paru, efusi, dan empiema.

b) Kolesistitis

Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan

gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita

cenderung untuk menjadi seorang karier.

c) Typhoid ensefalopati

Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran

menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam

batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek

dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.

d) Meningitis

Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada

neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas

sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella

havana dan Salmonella oranemburg.

e) Miokarditis

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak

khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering

terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara

lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok

tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.

f) Infeksi saluran kemih

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui

urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat

juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,

sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal

maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

22 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 23: referat demam tifoid

g) Karier kronik

Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam

tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier

temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada

10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3

minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki

bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik

karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan

cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti

schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang

lama.

XI. Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2

Cuci tangan.

Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam

tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air

mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau

setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak

tersedia air.

Hindari minum air yang tidak dimasak.

Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.

Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol

atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di

dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak

menelan air di pancuran kamar mandi.

Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.

23 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 24: referat demam tifoid

Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang

telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai

berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan

sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran

tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar

sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci,

pilihlah buah yang dapat dikupas.

Pilih makanan yang masih panas.

Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang

terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa

menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun

tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli

makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut

beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

Sering cuci tangan.

Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran

infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian

gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah

menggunakan toilet.

Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.

Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.

Hindari memegang makanan.

Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda

tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas

kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda

tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.

24 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 25: referat demam tifoid

Gunakan barang pribadi yang terpisah.

Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan

menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi

Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan

mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan

perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa

ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik

untuk mengendalikan demam tifoid.1,2

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)

Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali

dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita

hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum

antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas

2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)

Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung

kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-

12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval

4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan

adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.

Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam

pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek

samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

Vaksin polisakarida

25 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 26: referat demam tifoid

Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya

proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.

Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi

dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan

pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan

hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

XII. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan

kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi

antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka

mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan

pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan

hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan

mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3

bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak

– anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh

pasien demam tifoid.1

26 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 27: referat demam tifoid

BAB III

PENUTUP

Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang

ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran cerna dan

melakukan replikasi dapal ileum terminal.

Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,

gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari

terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa

terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu

lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf

Pusat berupa Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam

keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.

Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat

menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau pemeriksaan

serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.

Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan tirah

baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan Antibiotika yang

memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella typhi.

27 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K

Page 28: referat demam tifoid

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.

Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.

2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari

http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diketa

hui.html. 22 Januari 2012.

3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,

Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba

Medika, 2002:1-43.

4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A

Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.

5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics

Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.

6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.

Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.

7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada

pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota

Gorontalo. 2012. Diunduh dari

http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01_

08_2012.pdf. 22 Januari 2012.

28 | D E M A M T I F O I D P A D A A N A K