24
LAPORAN STUDI KASUS 1 COMPREHENSIVE I BLOCK SEMESTER VI Disusun oleh: Kelompok 4 Susanti G1D012004 Novi Ika Mawarni G1D012013 Umairoh Azzahro G1D012021 Reni Astuti G1D012029 Mirza Paramita G1D012037 Nita Dwianti G1D012048 Suci Utami G1D012057 Nofiana G1D012066 Novi Nasar Intimetika G1D012077 Sevi Nurmalita G1D012086 Ginanjar Aris Anggoro G1D012017 KEMENTRIAN PENDIDIKAN, RISET DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Laporan CS1. Gagal Ginjal Kronis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan CS1. Gagal Ginjal Kronis

Citation preview

LAPORAN STUDI KASUS 1

COMPREHENSIVE I BLOCKSEMESTER VI

Disusun oleh:

Kelompok 4Susanti

G1D012004Novi Ika Mawarni

G1D012013Umairoh Azzahro

G1D012021Reni Astuti

G1D012029Mirza Paramita

G1D012037Nita Dwianti

G1D012048Suci Utami

G1D012057Nofiana

G1D012066Novi Nasar Intimetika

G1D012077Sevi Nurmalita

G1D012086Ginanjar Aris Anggoro

G1D012017KEMENTRIAN PENDIDIKAN, RISET DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

PURWOKERTO

2015

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang

Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi vital dalam tubuh manusia. Beberapa fungsi ginjal antara lain mengatur volume dan komposisi kimia darah dengan mengekskresikan zat sisa metabolisme tubuh dan air secara selektif. Jika terjadi gangguan fungsi pada kedua ginjal, maka ginjal akan mengalami kegagalan fungsi dan kematian dalam 3-4 minggu Widyastuti, Butar-Butar, & Bebasari, 2014().

Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia yang berdampak pada masalah medik, ekonomi dan sosial yang sangat besar bagi pasien dan keluarga Syamsiah, 2011(). Gagal ginjal dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel Widyastuti et al., 2014() serta komplikasi pada beberapa organ seperti efusi pleura. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Surjanto, Susanto, Aphridasari, dan Leonardo (2014), efusi pleura transudat biasanya ditemukan pada pasien dengan GGK (5,61%). Hal tersebut karena GGK dapat meningkatkan produksi cairan pleura.

Prevalensi GGK terus bertambah setiap tahun. Berdasarkan laporan United State Renal Data System (USRDDS) pada tahun 2009, prevalensi GGK sekitar 10-13% di dunia Ma'shumah, Bintanah, & Handarsari, 2014(). Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi GGK di Indonesia sekitar 0,2%. Prevalensi pada kelompok usia 75 tahun lebih tinggi sekitar 0,6% daripada kelompok usia yang lain (Kementerian Kesehatan RI).

B. TujuanMahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:

1. Pathway gagal ginjal sesuai kasus2. Pengkajian keperawatan sesuai kasus3. Analisa data pemeriksaan penunjang pada kasus

4. Diagnosa dan intervensi keperawatan sesuai kasusBAB II

TINJAUAN TEORIC. Pengertian GGKGGK merupakan kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (Nursalam, 2006). Menurut Smeltzer (2002), GGK merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. GGK terjadi jika kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup (Baradero, 2008). D. Etiologi

Menurut Price (2005), penyebab terjadinya GGK diklasifikasikan menjadi 8 macam, yaitu

5. Penyakit infeksi tubolointerstitial, misalnya pielonefritis kronik atau refluks nefropati

6. Penyakit peradangan, misalnya glomerulonephritis

7. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna

8. Gangguan jaringan ikat, misalnya lupus eritematosus sistemik, poliartritis nodosa, sclerosis sistemik progresif

9. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal

10. Penyakit metabolik, misalnya diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis

11. Nefropati toksik, misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timah

12. Nefropati obstruktif, misalnya traktus urinarius bagian atas (batum neoplasma, fibrosis retroperitoneal), traktus urinarius bagian bawah (hipertrofi prostat, strktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra).

E. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis dari gagal ginjal kronis terbagi dalam beberapa sistem tubuh (Baradero, 2008), yaitu

13. Sistem hematopoetik: anemia, cepat lelah, trombositopenia, ekimosis, perdarahan

14. Sistem kardiovaskuler: hipertensi, hypervolemia, takikardia, disritmia, gagal jantung kongestif, perikarditis

15. Sistem pernapasan: takipnea, pernapasan kussmaul, halitosis uremik atau fetor, sputum yang lengket, batuk disertai nyeri, suhu tubuh meningkat, hilar pneumonitis, pleural friction rub, edema paru.

16. Sistem gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, perdarahan gastrointestinal, distensi abdomen, diare, dan konstipasi.

17. Sistem neurologi: perubahan tingkat kesadaran (letargi, bingung, stupor, koma), kejang, tidur terganggu, asteriksis.

18. Sistem muskuloskeletal: pucat, pigmentasi, pruritus, ekimosis, lecet, uremic frosts19. Sistem perkemiihan: haluaran urin berkurang, berat jenis urin menurun, proteinuria, fragmen dan sel darah urin, natrium dalam urine berkurang

20. Sistem reproduksi: infertilitas, libido menurun, disfungsi ereksi, amenorea, lambat pubertas.

F. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik21. Asupan melebihi haluaran

22. Oliguria adalah produksiurinsedikit, biasanya kurang dari 400 ml / hari pada orang dewasa, dan dapat menjadi salah satu tanda awal dari gagalginjal23. Distensi vena jugularis, adalah JVP tampak hingga setinggi leher; jauh lebih tinggi daripada normal

24. Ortopnea, adalah gangguan respirasi yang terjadi saaat pasien berbaring sehingga memaksanya untuk duduk. Keadaan ini dicetuskan oleh peningkatan aliran balik vena ke ventrikel kiri yangmengalami kegagalan dan tidak mampu menangani peningkatan preload ini

25. Efusi pleura, adalah suatu kondisikesehatandimana jumlah kelebihan cairan menumpuk di rongga pleura

26. Refleks hepatojugular positif

27. Perubahan tekanan arteri pulmonal

28. Kongesti pulmonal, adalah keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan (peningkatan jumlah darah) di dalam pembuluh darah paru paru

29. Gelisah, adalah keadaan dimana seseorang merasa tidak tenang, selalu merasa khawatir

30. Perubahan berat jenis urin

31. Bunyi jantung III, adalah bunyi jantung yang lembut tapi lambat, terdengar setelah bunyi jantung kedua, dan pada kebanyakan terjadi pada anak-anak dan beberapa pada orang dewasa muda. Hal ini terjadi karena disebabkan oleh peregangan tiba-tiba oleh katub kuspid mitral.

32. Penambahan berat badan dalam waktu sangat singkat

G. Pemeriksaan Penunjang

33. Pemeriksaan Urina. Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau tidak ada urine (anuria, yaitu kurang dari 100 ml).

b. Warna: secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus (nanah), bakteri, lemak, partikel koloid, pospat atau asam urat, sedimen kotor. Warna kecoklatan menunjukkan adanya darah, infeksi tambahan warna merah diduga nefritis glomerulus.

c. Berat jenis: kurang dari 1.015 (menetap pada satu titik menunjukkan kerusakan ginjal berat).

d. Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular.

e. Protein: derajat tinggi proteinuria (3+ s/d 4+) menunjukan kerusakan glomerulus dan protein derajat rendah (+1 s/d +2) menunjukan infeksi atau nefritis intertisisal.

f. Kreatinin: peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.

g. Natrium: biasanya menurun hingga lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.

h. pH: lebih besar dari 7 pada infeksi saluran kemih (ISK) dan nekrosis tubular ginjal.

Doenges & Marilynn (2000)34. Pemeriksaan Darah

i. Osmolalitas: lebih besar dari 28,5 mOsm/kg

j. BUN/ kreatinin: meningkat hingga 10 mg/dl.

k. Hemoglobin (Hb): menurun atau anemia, biasanya Hb kurang dari 7 -8 g/dl.

l. Kalium: peningkatan sehubungan asidosis metabolik mecapai 6,5 mEq atau lebih besar.

m. Protein: penurunan pada kadar serum menunjukan kehiangan protein melalui urin, perpindahan cairan penurunan pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial.

n. Natrium: hipernatremia / hiponatremia.

o. Magnesium/fosfat: meningkat.

p. Kalsium: menurun.35. Elektrokardiogram (EKG) Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia). Kemungkinan abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

36. Ultrasonografi (USG)

Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah lanjut.

37. Foto Polos AbdomenUntuk menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain. Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal. 38. Pieolografi Intra-Vena (PIV)Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.

39. Pemeriksaan Pielografi RetrogradDilakukan apabila dicurigai ada obstruksi yang reversibel pada ginjal, untuk memperlihatkan sistem pielokalises dan ureter dengan cara pengisian kontras positif secara retrograd dengan menggunakan bantuan kateter uretral. Selain itu, dapat juga untuk mencari kelainan morfologi pada sistem pielokalises dan ureter sehubungan dengan kemungkinan adanya tumor, radang dan kelainan faal (fisiologi) bawaan pada traktus urinarius pada ginjal yang tidak normal fungsinya sehingga tidak dapat dilakukan IVP.40. Pemeriksaan Foto DadaDapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.

41. Biopsi ginjal

Dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis.

42. Endoskopi ginjal atau nefroskopi

Untuk menentukan pelvis ginjal, misal untuk menilai adanya batu, hematuria.(Supartondo, 2001)

H. Patofisiologi GGKPenyebab yang mendasari GGK bermacam-macam seperti penyakit glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi GGK melibatkan dua mekanisme kerusakan: (1) mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa.Ginjal terdiri dari 1 juta nefron yang berkontribusi terhadap total GFR. Ketika terjadi kerusakan, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa akan mengalami kegagalan autoregulasi tekanan glomerular. Sehingga terjadi hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria dan proteinuria. Poliuria menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi.Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi GGK.Gangguan tulang pada GGK terutama stadium akhir disebabkan karena banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada GGK akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadap PTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk mengekskresikan zat zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan inhibisi 1- hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi.Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada GGK stadium 5. Penuruan ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak arrest pada pasien.Asidosis metabolik pada pasien GGK biasanya merupakan kombinasi adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada GGK, ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada GGK stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada GGK dapat menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.Pada GGK terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal gatal.Pada GGK akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung.Anemia pada GGK terjadi karena depresi sumsum tulang pada hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.BAB III

PEMBAHASAN

I. Pathway Gagal Ginjal sesuai Kasus

J. Pengkajian Fokus

Tanggal: 29 April 2015

Jam

: 10.30 WIB

43. Identitas Klien

Nama

: Ny. T

Umur

: 45 tahun

Jenis Kelamin: Perempuan

44. Riwayat Kesehatan

Keluhan utama: klien mengeluh sesak napas.

45. Pemeriksaan Fisik

q. Terdapat bunyi napas tambahan, pada efusi pleura biasanya berupa ronki karena terdapat penumpukan cairan pada rongga pleura.

r. Ansietas, disebabkan oleh sesak napas yang dialami.

s. Perubahan pola napas, pola napas menjadi tidak teratur karena ekspansi paru-paru yang tidak optimal.

t. Dispnea, disebabkan oleh adanya penumpukan cairan pada rongga pleura sehingga ekspansi paru-paru saat inspirasi tidak dapat optimal.

u. Edema pada ekstremitas, disebabkan oleh perubahan tekan osmotik dan hidrostatik sehingga cairan berpindah dari intraseluler ke interstisial.

46. Pemeriksaan Penunjang

v. Terdapat azotemia, keadaan di mana terjadi peningkatan kadar Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin. Pada klien kadar ureum 300 mg/dl dan kreatinin 6,7 mg/dl (nilai normal BUN adalah 10-50 mg/dl dan kreatinin 0,5-1,5 mg/dl).

w. Penurunan kadar hemoglobin yaitu 9 mg/dl (nilai normal 12-16 mg/dl). Hal ini terjadi karena gangguan pada fungsi ginjal sebagai eritropoesis yaitu pembentuk sel-sel darah merah.

x. Ketidakseimbangan kadar elektrolit, dapat dipengaruhi oleh pemberian terapi diuretik furosemid 1 x 1 amp. (Efek samping furosemid berupa hipokalemia, kadar normal kalium 3,5-5,1 mEq/L).

y. Pemeriksaan darah :

1) Albumin 2,5 mg/dl (nilai normal albumin 3,4-4,8 g/dl)

2) SGOT 17 (nilai normal SGOT < 37 U/L)

3) SGPT 35 (nilai normal SGPT < 45 U/L)

z. Rontgen: terdapat efusi pleura

47. Terapi

Terapi furosemid 1x 1 amp (diuretik )

K. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Diagnosa utama: Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.Intervensi: Fluid Management

48. Monitor berat badan.

49. Ukur keseimbangan cairan.

50. Monitor status hidrasi (membran mukosa).

51. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium.

52. Kolaborasi pemberian deuretik.

53. Monitor kadar elektrolit.

54. Kolaborasi hemodialisis sesuai indikasi.

55. Monitor suara nafas.BAB IV

PENUTUP

Etiologi GGK yang dialami Ny.T menyebabkan kerusakan sebagian nefron ginjal. Setelah ginjal gagal mengkompensasi, terjadi penurunan GFR dan lolosnya protein molekul besar seperti albumin. Sehingga cairan vaskular berpindah ke ruang interstisial. Kelebihan volume cairan di ruang interstisial menyebabkan edema dan efusi pleura. Manifestasi sesak nafas yang dialami klien disebabkan karena efusi pleura. Sehingga diagnosa utama pada Ny.T adalah kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.

Pengkajian fokus yang dilakukan pada Ny.T meliputi status hidrasi, edema, suara nafas, dan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan darah menjadi pilihan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kadar BUN, kreatinin, Hb, dan elektrolit. Karena diagnosa utama yang diangkat adalah kelebihan volume cairan, maka intervensi yang dilakukan yaitu manajemen cairan.DAFTAR PUSTAKABaradero, M., Wilfrid, D., & Yakobus, S. (2008). Klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC.

Doenges, E. & Marilyn. (2000).Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perancanaandan pendokumentasianperawatan pasien ed. 3. Jakarta: EGC.

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar (Riskesdas 2013). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Ma'shumah, N., Bintanah, S., & Handarsari, E. (2014). Hubungan asupan protein dengan kadar ureum, kreatinin, dan kadar hemoglobin darah pada penderita gagal ginjal kronik hemodialisa rawat jalan di RS Tugurejo Semarang. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang, 3(1), 22-32.

Nursalam. (2006). Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan Ed 1. Jakarta: Salemba Medika

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit (6 ed. Vol. 2). Jakarta: EGC.

Syamsiah, N. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien CDK yang menjalani hemodialisa di RSPAU Dr Esnawan Antariksa Halim Perdana Kusuma Jakarta. Universitas Indonesia, Depok.

Widyastuti, R., Butar-Butar, W., & Bebasari, E. (2014). Korelasi lama menjalani hemodialisis dengan indeks massa tubuh pasien gagal ginjal kronik di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau pada bulan Mei tahun 2014. Jom FK, 1(2), 1-12.

Smeltzer, S.C. & Bare B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2). Jakarta: EGC.

Supartondo. (2001). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Surjanto, E., Sutanto, Y. S., Aphridasari, J., & Leonardo. (2014). Penyebab efusi pleura pada pasien rawat inap di rumah sakit. J Respir Indo, 34(2), 102-108.

Etiologi (misal: glomerulonefritis, sindrom nefrotik, dll.

Sesak napas

Ekspansi paru

Efusi pleura

Perpindahan cairan intrasel ke interstisial

Albumin lolos di urin

Partikel besar mudah keluar (protein)

Gangguan perfusi jaringan

Hb

Edema

Volume interstisial

Tekanan kapiler

CES

Retensi air & Na

Pruritus

Ureum

oliguria

GFR (BUN & kreatinin )

Gagal ginjal

Tidak dapat dikompensasi oleh ginjal

Ketidakefektifan pola napas

Kelebihan volume cairan

Kerusakan integritas kulit

Produksi cairan pleura

Tekanan onkotik & tekanan hidrostatik

Suplai O2 ke jaringan

Kegagalan proses filtrasi

Albumin darah

Produksi eritropoetin

Ekskresi air & elektrolit tidak seimbang

Kerusakan pada nefron (jumlah nefron fungsional menurun)

1