Upload
hathuy
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pergerakan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang semula
hanya terbatas pada bidang sosial secara bertahap memasuki wilayah politik.
Kesadaran terhadap kemerdekaan bangsa dan negara muncul ketika para
pemuda Indonesia yang mengenyam pendidikan di Belanda menyadari betapa
penting arti sebuah kemerdekaan. Pada awal abad 20 perkembangan
pemikiran politik modern mulai dikenal di Indonesia, terutama ideologi-
ideologi politik yang sesuai dengan kondisi objektif masyarakat Indonesia.
Nasionalisme misalnya, selain sebagai ideologi dan gerakan yang
mendasarkan pada doktrin kemerdekaan dan kedaulatan rakyat1, nasionalisme
juga memiliki semangat menentukan hubungan antara individu dan negara.2
Nasionalisme telah menunjukkan keberhasilannya dalam merebut
kemerdekaan dan kedaulatan rakyat di beberapa belahan dunia khususnya di
Barat. Revolusi Amerika yang kemudian diikuti oleh pecahnya revolusi
Perancis juga adalah buah dari semangat nasionalisme.
Di Indonesia mengalami hal yang tidak jauh berbeda, perjuangan
kemerdekaan yang dirintis oleh para pemuda dan pelajar, juga dipengaruhi
oleh semangat nasionalisme. Pada akhir tahun 1920-an konsep nasionalisme
mendapatkan bentuknya dalam tiga organisasi pergerakan nasional, yaitu
Perhimpunan Indonesia, Indonesische Studieclub dan Algemeene Studieclub.
Ketiga organisasi inilah yang menjadi peletak batu pertama semangat
nasionalisme Indonesia yang lebih matang dalam konsep dan praksis
dibandingkan masa-masa sebelumnya.3 Sedikit berbeda dengan sosialis-
komunis yang mengambil wadah dalam ISDV (Indische Sosiaal
1 Frank Dhont, Nasionalisme Baru, Intelektual Indonesia Tahun 1920-an, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 2005, hlm. v 2 Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed), Ideologi Politik Kontemporer, terj. R.M. Ali,
Jendela, Yogyakarta, 2004, hlm. 210 3 Frank Dhont, Nasionalisme Baru…op.cit., hlm. vi
1
2
Demokratische Vereniging).4 Ideologi yang bersumber dari ajaran Marxis-
Leninis ini berpusat di Moskow, tujuannya adalah menyadarkan dan membela
kaum tertindas, miskin dan lemah, atau yang sering disebut kaum proletar.
Berbicara mengenai organisasi-organisasi perjuangan kemerdekaan
Indonesia, tidak bisa lepas dari peran besar SI (Sarekat Islam), awal tujuan
pendirian SI hanya sebatas pada bidang ekonomi yang berlandaskan pada
ajaran Islam. Tetapi lambat laun mengalami perkembangan orientasi sehingga
memasuki wilayah politik dan anggotanya tidak terbatas pada orang-orang
Islam saja.5
Beragamnya ideologi-ideologi modern lain yang masuk ke Indonesia
seolah menawarkan diri dengan segala konsep, gagasan dan langkah-langkah
praksis untuk mencapai suatu kedaulatan rakyat. Tetapi jika melihat kembali
pada kondisi sosial budaya Indonesia pra modern kita akan melihat
keganjilan-keganjilan yang mencolok. Pertumbuhan masyarakat dari satu fase
tradisional menuju modern tidak menjadikan masyarakat Indonesia menjadi
masyarakat baru secara utuh, tetapi lebih tepat jika dikatakan masyarakat
modern adalah bentuk lain dari masyarakat tradisional. Terbukti dari pilihan
rakyat dalam memilih wadah (organisasi) baik itu organisasi sosial, ekonomi
atau politik, kaum priyayi tergabung dalam Budi Utomo, kaum santri dalam
wadah Sarekat Islam dan kaum abangan memilih tergabung dalam PKI.
Latar belakang masyarakat yang beragam telah menjadikan perbedaan
– perbedaan dalam memilih wadah perjuangan mencapai kemerdekaan, jika
dikaji secara detail dan rinci tentu kita akan menemukan begitu banyak jenis
dan corak perjuangan rakyat. Mulai dari organisasi besar hingga yang kecil,
4 ISDV (Indische Sosiaal Demokratische Vereniging) didirikan pada tahun 1913 dipelopori oleh orang – orang Belanda dan Indonesia. Dari pihak Belanda antara lain adalah Sneevliet, Brandsteder dan Dekker, sedangkan dari Indonesia adalah Semaun. Pada tahun 1920 ISDV berubah nama menjadi Perserikatan Komunis Hindia. Lihat Mohamad Sidky Daeng Materu, S.H. Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1985, hlm. 22-23
5 Perlu dicatat pada tanggal 6 Mei 1917, Semaun menjabat sebagai Presiden Sarekat Islam Semarang menggantikan Mohammad Joesoef. Di tangan Semaun-lah SI Semarang yang semula bertujuan memajukan taraf ekonomi anggota – anggotanya saja menjadi gerakan-gerakan politik sosialis-revolusioner. Karena piawainya melakukan propaganda maka dalam waktu tidak begitu lama para pemimpin SI telah menerapkan ajaran-ajaran sosialis Rusia. lihat Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2005, hlm. 23
3
untuk itu ada baiknya jika kita melihatnya dalam satu frame perjuangan untuk
mencapai kemerdekaan. Persoalan organisasi dan ideologi yang dibawa adalah
soal cara saja sedangkan tujuannya adalah satu yaitu kedaulatan rakyat,
merdeka mengatur diri sendiri.
Pada saat – saat terjadi gejolak dalam masyarakat Indonesia untuk
merintis kemerdekaan inilah muncul dua brosur dari Tan Malaka yang
selanjutnya menjadi panduan pergerakan para founding fathers Indonesia.
Kedua buku kecil (brosur) itu diberi judul Naar De Republik Indonesia
(NDRI) dan Massa Actie (MA), keduanya di tulis di luar negeri dengan bahasa
Belanda, karena sasaran pembacanya ditujukan pada kaum terpelajar yang
banyak mengenyam pendidikan di Belanda.6 Isi kedua buku tersebut
menggugah selera para pejuang untuk lekas-lekas merdeka dengan cara
revolusi. Sehingga setelah buku tersebut sampai di Indonesia para pejuang
segera membahas isinya. 7
Tan Malaka sendiri sebagai penganut ajaran marxisme mulai
memasuki dunia politik secara langsung di Indonesia setelah kembali dari
menempuh pendidikan guru di Belanda. Perjuangan politik praktis Tan
Malaka dimulainya sejak tahun1921-1922 di tanah Jawa dengan langsung ikut
ambil bagian dalam pergerakan kemerdekaan melawan kolonial Belanda. Tan
Malaka bergabung dengan PKI yang ketika itu dipimpin Semaun. Pilihan
untuk masuk dalam aliran politik berhaluan “kiri” (komunis) ini ternyata telah
lama ia pertimbangkan jauh sebelum Tan Malaka kembali ke Indonesia.8
6 Hadidjojo Nitimihardjo (ketua umum partai MURBA), dalam kata pengantar penerbit
ulang buku Naar De Republik Indonesia dalam bahasa Indonesia tahun 2000, hlm. Vi. 7 Dalam membicarakan mengenai isi brosur tersebut, Klub Debat Bandung yang dipimpin
oleh Bung Karno dan Ir. Anwari segera melakukan kajian dan interpretasi atas kedua buku tersebut. Sementara di Jakarta, para pelajar seperti; Sugondo Djojopuspito, Karim Pringgodigdo, Maruto Nitimihardjo, Amir Syarifuddin Harahap, Sumitro Reksodiputro, Abu Hanifah, dan Sumanang yang telah terbiasa dengan diskusi-diskusi tentang revolusi Bolshevik dn revolusi prancis menambah yakin akan terjadinya revolusi besar di Indonesia setelah hadirnya dua buku karya Tan Malaka tersebut. Ibid, hlm. vii
8 Pada tahun terakhir Tan Malaka tinggal di Belanda, pikiran-pikiran politiknya mendapatkan bentuk yang lebih jelas. Pendapat-pendapat komunis telah melekat padanya dalam perbincangan-perbincangan Tan Malaka biasanya tidak menonjolkan dirinya. Ia tidak berkesan telah menjadi seorang komunis. Lihat Harry A. Poeze, Tan Malaka, Stritjder Voor Indonesie’s Vrijheid Levensloop van 1897 tot 1945, terj. Pergulatan Menuju Republik, 1897-1925, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000, hlm. 84
4
Pertemuan dengan tokoh-tokoh PKI membuat ia bertambah yakin
dengan pendirian haluan politiknya. Dengan perantara Sutopo,9 Tan Malaka
diperkenalkan dengan tokoh-tokoh pejuang seperti Tjokroaminoto, Semaun,
dan Darsono.10 Karena kecakapan Tan Malaka dalam teori dan diplomasi
maka dengan mudah ia mendapatkan simpati dari tokoh-tokoh politik dan hati
rakyat. Oleh Semaun, Tan Malaka diberi tugas untuk mengajar di sekolah
yang diselenggarakan oleh PKI, ia berhasil mengelola sekolah itu dengan baik
sehingga namanya sering diasosiasikan dengan sekolah tersebut, orang-orang
menyebutnya “sekolah Tan Malaka”. Kesuksesanya semakin membuat Tan
Malaka memiliki citra baik dimata para elite dan anggota partai, sehingga
dalam waktu singkat Tan Malaka sudah berada di pucuk pimpinan, tetapi
posisi itu tidak lama ia rasakan. Pergerakan yang dilakukan Tan Malaka
mengorganisasi kaum buruh segera diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda
dan pada 22 Maret 1922 Tan Malaka ditangkap lalu dibuang keluar negeri.11
Sejak pembuangannya itu praktis perjuangan Tan Malaka terhenti, usahanya
dalam membantu perjuangan di Tanah air terbatas pada tulisan-tulisan yang
dibuatnya di luar negeri.
Dalam pembuangannya di Belanda Islam aktif dalam organisasi partai
berhaluan komunis hingga hampir saja ia terpilih menjadi anggota parlemen
perwakilan partai Komunis Belanda. Pada tahun 1923 Tan Malaka
menyempatkan waktu untuk menghadiri Kongres IV Komintren (Asosiasi
Komunis Internasional) di Moskov.12 Kongres yang berlangsung pada tanggal
5 November sampai 5 Desember tersebut memberikan kesempatan pada Tan
Malaka sebagai anggota delegasi Asia untuk berbicara, tepatnya pada sidang
ke-7 tanggal 12 November, pidato Tan Malaka itu disampaikan dalam bahasa
9 Sutopo adalah Mantan redaktur kepala surat kabar Budi Utomo, yang alamatnya dia peroleh dari seorang anggota BU di Medan. Ibid, hlm. 170
10 Ibid, hlm. 171 11 Fransz Magnis-Suseno, “Tan Malaka, Menuju Indonesi Yang Sosialis”, Basis, nomor
01-02, Januari – Februari 2001, hlm. 63 12 Fransz Magnis-Suseno, Dalam Bayangan Lenin, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003,
hlm. 206. Sebagai gabungan dari partai-partai komunis Komintren yang didirikan pada tahun 1919 bertugas memformulasikan satu program daerah-daerah jajahan. Tugas utamanya adalah menyatukan kaum buruh sedunia yang menurut mereka adalah alat terbaik untuk mencapai revolusi total.
5
Jerman.13 Yang menarik dari pidato Tan Malaka ketika itu adalah idenya
mengenai mendesak kerjasama antara gerakan nasionalis anti-kolonialisme
dan partai komunis setempat. Tan Malaka bergerak lebih jauh dari Lenin
dalam memberikan tekanan kepada peranan yang harus dimainkan Islam,
termasuk di dalamnya Pan-Islamisme.14
Pandangan Tan Malaka mengenai agama terasa mengejutkan sebagian
peserta waktu itu, karena secara teori dalam ajaran Marx agama adalah candu.
Agama hanya sebagai alat penguasa menindas, mengeksploitasi rakyat dan
agama cenderung menjadikan umat manusia tidak progresif, pasrah menerima
nasib.15 Pemahaman Tan Malaka terhadap Islam menjadikan ia berbeda
dengan penganut ajaran Marxis lainnya. Tulisan-tulisannya memiliki
keorisinilitasan tersendiri. Marxisme-Leninisme baginya hanya sebuah alat
atau perangkat analisis untuk mengantarkan bangsanya merdeka dari
kungkungan penjajahan imperialis.16
Pada tahun 1928 Tan Malaka kembali diberi kepercayaan oleh
Komintren untuk menjadi salah seorang agen pada wilayah Asia Tenggara,
tetapi ketika Moskow mengetahui keterlibatannya di Partai Republik
Indonesia (PARI)17 yang agak berlainan haluan dengan ajaran-ajaran
komunisme ala Rusia dibawah kekuasaan Lenin. Maka ketika Muso kembali
ke Indonesia dari Moskow langsung melakukan propaganda untuk memusuhi
13 Harry A. Poeze, Tan Malaka Pergulatan …op.cit., hlm 312-313 14 Helen Jarvis, Tan Malaka Pejuang Revolusioner Atau Murtad?, CERMIN,
Yogyakarta, 2000, hlm. 10. untuk keterangan lebih lengkap lihat Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan…
15 Karl Marx (818-1903), mendasari teorinya atas analisis ekonomi, dan membagi masyarakat menjadi dua kelas yaitu kelas borjuis (pemilik modal) dan kelas proletar (kaum pekerja). Agama yang dipahaminya sangat dipengaruhi bangunan teorinya tersebut. Tetapi apakah memahami Marx semudah membalikkan telapak tangan? Tentu tidak. Teori-teori Marx sangat complicated, sehingga memungkinkan banyak interpretasi (multi interprettif). Orang pertama yang dianggap berhasil memahami dan menjalankan teori Marx adalah Lenin, sehingga telah menjadi terminologi baku istilah “Maxsisme-Leninisme”. Sedangkan Tan Malaka memiliki interpretasi sendiri terhadap ajaran-ajaran Marx, ia melihat adanya kesamaan misi antara agama dan komunisme. Keterangan lebih lanjut mengenai pemikiran Tan Malaka terhadap agama pada bab III
16 Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayangan Lenin…op.cit. hlm. 205 17 PARI didirikan Tan Malaka bersama Djmaluddin Tamim dan Subakat pada bulan Juli
1927 di Bangkok dengan tujuan melanjutkan usahanya selama ini memerdekakan bangsanya yang terhambat akibat pembuanganya oleh pemerintah Hindia Belanda. Pendirian PARI sesungguhnya akibat kekecewaan Tan Malaka terhadap tindakan PKI melakukan pemberontakan tahun 1926. kenyataan ini pula yang menyebabkan Tan Malaka segera mengarang buku Massa aksi.
6
Tan Malaka dan para pengikutnya. Semenjak kejadian itulah praktis
kehidupan Tan Malaka tidak pernah menetap di satu daerah. Pada permulaan
Oktober Tahun 1932 ia pindah ke Hongkong dan tertangkap di sana oleh
tentara Inggris, setelah dilepas ia pergi ke China. setelah itu ia pergi ke
singapura, disini ia mengajar di sekolah Normal Tinggi (Nanyang Chinnese
Normal School) sebagai guru bahasa Inggris dan matematika hingga tahun
1937.18
Akhirnya sekitar tahun 1942 Tan Malaka kembali ke tanah Jawa.
Bersamaan dengan Jepang yang telah menduduki Indonesia menggantikan
posisi Belanda (Belanda menyerah pada Jepang tanggal 8 Maret 1942).19
Usahanya untuk memerdekakan bangsanya dari penjajah ternyata tidaklah
surut karena pembuangnya selama kurang lebih 22 tahun. Berbagai upaya dia
lakukan, mulai dari memahami struktur masyarakat dan kondisi sosio-politik
rakyat Indonesia yang telah banyak mengalami perubahan. Ketika itu tokoh
utama pergerakan bangsa dipegang oleh Soekarno-Hatta-Sjahrir. Ketiga tokoh
tersebut yang kelak menjadi “lawan politik” Tan Malaka dalam
mempertahankan kemerdekaan. Terdapat garis demarkasi yang luas antara
ketiga tokoh tersebut dengan Tan Malaka dalam menghadapi Jepang.
Kecenderungan memilih langkah berunding oleh pemerintahan Soekarno
sangat dikecam oleh Tan Malaka sebagai tindakan keliru.
Dengan berdasarkan atas analisisnya mengenai kekuatan rakyat dan
bukti-bukti sejarah yang menunjukkan langkah revolusi mesti dijalankan oleh
massa aksi maka pada tahun 1946 Tan Malaka mengkoordinir 141 organisasi
politik membentuk organisasi massa yang kemudian dikenal dengan nama
Persatuan Perjuangan (PP) dan dalam kongres PP di Solo dibuatlah 7 butir
program revolusi PP yaitu “Minimum Program”.20
18 Fransz Magnis-Suseno, “Tan Malaka, Menuju Indonesia…op,cit., hlm. 63 19 Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara II, Teplok Press, Jakarta, 2000, hlm. 271.
keterangan mengenai autobiografi Tan Malaka akan di terangkan pada bab III 20 Isi dari Minimum Program adalah sebagai berikut: 1. Berunding atas pengakuan
kemerdekaan 100%. 2. Pemerintahan Rakyat (dalam arti kesesuaian haluan pemerintah dengan kemauan rakyat). 3. Tentara Rakyat (dalam arti kesesuaian antara kemauan tentara dengan kemauan rakyat). 4. Melucuti tentara Jepang. 5. Mengurus tawanan bangsa Eropa. 6. Menyita dan
7
Program-program PP yang telah diformulasikan mengharuskan Sjahrir
meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri. Kembali pemerintah
melakukan strategi untuk merangkul Tan Malaka agar mengikuti program
pemerintah dengan memasukkan sebagian dari minimum program, tetapi Tan
Malaka tetap menolak ajakan tersebut.21
Ketika itu bangsa Indonesia dalam keadaan genting, sebagian
kelompok PKI yang tidak setuju dengan pemerintahan Soekarno melakukan
pemberontakan di Madiun.22 Pada saat situasi memanas, sebelum kematiannya
pada tahun 1949 Tan Malaka mendirikan partai MURBA23 sebagai garis
haluan politiknya.
Sejenak mengingat kembali pemberontakan-pemberontakan yang
dilakukan PKI jauh sebelumnya. Pada bulan November 1926 meletus
pemberontakan di Jawa Barat, terutama di Bantam oleh PKI. Disusul dalam
bulan Januari 1927 dengan pemberontakan di Sumatra Barat. Dari
pemberontakan itu 13.000 orang ditangkap, 4.500 dihukum, dan 13.000
memanfaatkan pertanian dan perkebunan musuh. 7. Menyita dan memanfaatkan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang dan lain-lain). Isi dari minimum program sering sekali disinggung oleh Tan Malaka dalam beberapa brosur dan bukunya, dan untuk penjelasan lebih jauh mengenai minimum program serta perbandingannya dengan program pemerintah dapat dilihat Tan Malaka, Dari Penjara Ke Penjara III, Teplok Press, Jakarta, 2000, hlm. 234-250.
21 Karena dianggap membahayakan program pemerintah untuk berdiplomasi dengan pemerintahan Jepang maka berbagai usaha dilakukan untuk melenyapkan Tan Malaka. Menteri pertahanan Amir Sjarifuddin dan Menteri Dalam Negri Soedarsono segera mengeluarkan surat perintah penangkapan Tan Malaka di Madiun pada kongres Persatuan Perjuangan (PP) yang ke empat. Lihat Hasan Nasbi, Filosofi Negara Menurut Tan Malaka, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm 7-8. dalam buku ini disebutkan kehadiran Tan Malaka di Madiun guna menghadiri kongres PP ke tiga. Bandingkan dengan Dari Penjara Ke Penjara III, pada bagian terakhir Tan Malaka memulai tulisannya dengan mengatakan bahwa kedatangannya ke Madiun untuk menghadiri kongres ke empat. Kurang lebih selama 30 bulan Tan Malaka mendekam dalam penjara dan baru pada tanggal 18 September 1948 Tan Malaka dikeluarkan dari penjara Madiun.
22 Pemberontakan PKI Madiun hanyalah pemberontakan lokal belaka karena hanya terjadi di Madiun dan Pati, sementara di daerah lain PKI tetap setia pada pemerintah Hatta, seperti PKI Bojonegoro, Banten, dan Sumatera. Dan lagi tokoh-tokoh utama seperti Musso ketika itu tidak berada di Madiun. Lihat kata pengantar Ahmad Syafii Maarif dalam buku Soe Hok Gie, Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan, Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997, hlm. xiii
23 Istilah MURBA adalah term yang digunakan Tan Malaka untuk menunjuk kaum proletar Indonesia, kemudian pada tahun 1948 nama ini di pakai sebagai nama partai yang pendiriannya dimotori oleh Tan Malaka. secara sederhana MURBA berarti “masyarakat bawah” tetapi yang dimaksud lebih luas dari etimologi itu sendiri, karena MURBA tidak membatasi diri pada kelas petani dan buruh saja, tetapi semua kelas yang merasa tertindas dan merasa berkewajiban melakukan aksi demi tercapainya kemerdekaan dari penjajah.
8
dibuang ke Digul.24 Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI diakibatkan
penangkapan ketua mereka, Semaun oleh pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 8 Mei 1923.25 lebih jauh melihat pergerakan PKI pada tahun 1948,
meskipun telah mengalami berbagai perubahan disana-sini, dengan pergeseran
haluan dan orientasi, tetap saja pemberontakan PKI pada tahun 1948, yang
kemudian dikenal dengan “Pemberontakan Madiun,”26 itu PKI harus menelan
pil pahit kembali karena rekayasa politik yang dimainkan para elit politik saat
itu mengkambing hitamkan PKI sebagai dalang usaha kudeta.27
Kenyataan inilah yang membuat para tokoh-tokoh PKI dimasa
pemerintahan ORBA selalu dicap sebagai pemberontak negara, tidak
terkecuali Tan Malaka. Padahal jika dicermati lebih jauh dan diusut secara
24 Drs. Susanto Tirtoprodjo SH, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, PT.
Pembangunan Jakarta, Jakarta, 1996, hlm. 60 25 Aktivitas pergerakan PKI semakin meluas hingga mendirikan cabang-cabang dengan
nama “Sarikat Rakyat”, bahkan usaha melakukan pendekatan kepada serikat sekerja mendapat hasil memuaskan, tuntutan yang pertama kali dilakukan adalah kenaikan upah dan kesejahteraan para anggota buruh kereta api, tuntutan ini disertai ancaman pemogokan. Karena pemerintah Hindia Belanda mengetahui hal tersebut maka Semaun mendapat somasi. Tetapi Semaun menjawabnya dengan ancaman, “apabila pemerintah Hindia Belanda menangkap salah seorang – pemimpin dari pergerakan Sarikat Sekerja atau PKI, maka pemogokan akan segera dimulai. Ibid., hlm. 58-59
26 Pemberontakan Madiun yang pecah pada September 1948 dalam Republik yang baru berdiri kurang lebih 3 tahun ini menunjukkan bahwa Indonesia terlibat dalam gejolak bipolarisasi dunia yang tumbuh sesudah perang dunia II. Setahun sebelumnya, di Rusia dicanangkan ajaran Zjdanov yang membagi dunia menjadi dua blok, komunis dan kapitalis, dan kedua blok ini tidak mungkin bersatu. Di negara-negara non-komunis partai-partai komunis menginfiltrasi pemerintah negaranya agar dengan cara demikian- seperti yang berhasil dilakukan di Cekoslowakia pada 1947- bisa mengambil alih kekuasaan… di Indonesia tampaknya FDR, yang dikuasai oleh PKI, merupakan partai yang paling cocok untuk menerapkan ajaran Zjdanov, Amir Sjarifoeddin yang menjadi pemimpinnya. Lihat Lambert Giebels, Soekarno, Biografi 1901-1950, terj. I. Kapitan-Oen B.A, Grasindo, Jakarta, 2001, hlm. 459
27 D.N. Aidit menggugat Hatta yang ketika Pemberontakan Madiun terjadi Hatta sedang menjabat sebagai Wakil Presiden: “Dalam sidang pengadilan tanggal 27 Januari 1955, dengan berpegang pada ayat 3 pasal 310 KUHP yang ditimpakan pada saya, ujar Aidit, sudah saya nyatakan kesediaan saya kepada pengadilan untuk membuktikan dengan saksi-saksi bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan dalam Peristiwa Madiun tersebut Tangan Hatta _Sukiman-Natsir cs memang berlumuran darah. Dengan ini berarti bahwa Hatta, ketika itu masih wakil presiden, harus tampil sebagai saksi berhadapan dengan saya.” Lebih lanjut Aidit mengatakan dalam pembelaannya dimuka pengadilan tanggal 24 Februari 1955: “bahwa diantara orang-orang yang karena tidak mengertinya telah ikut dalam pengejaran ‘terhadap kaum komunis’, tidak sedikit sekarang sudah tidak mempunyai purbasangka lagi terhadap PKI dan sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi menjadi alat perang saudara dari kaum imperialis dan kaki tangannya”. Alat-alat negara sipil maupun maupun militer sudah mengerti bahwa dalam peristiwa Madiun mereka telah disuruh memerangi saudara-saudara dan teman-temannya sendiri. Untuk keterangan lebih lanjut baca D.N. Aidit, PKI Korban Perang Dingin,(Sejarah Peristiwa Madiun 1948), ERA Publisher, Jakarta, 2001, hlm. 5-7
9
tuntas para sejarawan sendiri belum dapat memberikan penilaian secara
“hitam-putih” terhadap tragedi pemberontakan PKI Madiun. Lebih-lebih
pemberontakan PKI 1965.
Menanggapi kenyataan ini, Mestika Zed, memberikan tiga catatan
mengenai Tan Malaka yang perlu dipahami. Pertama, Tan Malaka sebagai
pengikut “Komunisme Awal” (Vroeg Communist) yang berkembang sebelum
proklamasi berbeda dengan komunis paska proklamasi. Kedua, paska
proklamasi Tan Malaka bukan lagi seorang PKI. Ketiga, ketika gugur di bulan
Februari 1949 Tan Malaka adalah seorang Murbais.28
Melihat Tan Malaka dari satu perspektif hanya akan membuat
pemahaman kita semakin kabur terhadap dirinya. Tan Malaka mungkin bagai
permata yang tiap sisi kehidupannya memancarkan satu pemahaman sendiri
bagi yang melihat. Telah banyak para peneliti yang mencoba mengkaji
pemikiran-pemikiran Tan Malaka dan hasilnya beragam kesimpulan yang
diperoleh. 29Akan tetapi jika penilaian terhadap pikiran-pikiran Tan Malaka
dilihat secara komprehensif mungkin penyimpulan yang didapat akan menjadi
28 Partai “komunis awal” (Vroeg Communist) yang berkembang sebelum proklamasi
berbeda dengan komunis pasca proklamasi. Komunis pada fase awal adalah sebuah kekuatan perjuangan nasional yang paling lantang menyuarakan sikap anti kolonial dan juga kelompok paling radikal menyuarakan kemerdekaan. Tan Malaka juga pada bulan Juli tahun 1927 mendirikan partai PARI (Partai Republik Indonesia) di Bangkok, kemudian khususnya pasca perjanjian Linggarjati 1947 dan Renvile 1948, Tan Malaka merintis pembentukan partai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta. Mestika Zed (et.al), Tan Malaka Dalam Pemahaman Sejarah Publik, LPPM Tan Malaka Jakarta, 2005, hlm 24-25
29 Muhammad Yamin menjulukinya sebagai Bapak Republik Indonesia, Soekarno sesekali memujinya sebagai orang yang begitu cinta kepada Republik Indonesia, dan sejarawan Alfian menyebutnya sang revolusioner yang kesepian. Bahkan Helen Jarvis melihat pemikiran politik Tan Malaka bergerak lebih maju dari Lenin. Dalam buku Islam Dalam Tinjauan Madilog, Buya Hamka memberikan kata pengantar menulis : “Bagaimanapun ia (Tan Malaka) tetap putra Minangkabau (yang) di sepanjang sejarah nasional berlantun: adat besandi syarak, syarak basandi kitabullah. lantas siapakah Tan Malaka sebenarnya? Ruth Mc Vey (pakar sejarah komunis Indonesia) tidak mampu memberikan kesimpulan yang pasti. Dan pakar Jepang Noriaki Oishikawa dalam sebuah esai menulis di koran Kompas berjudul : “Sekali lagi, siapa Tan Malaka sebenarnya? Seorang Komunis? Seorang Marxsist? Seorang Nasionalis Sejati? Seorang Muslim?. Mestika Zed (et.al) Ibid, hlm. 29. Safrizal Rambe (penulis buku Pemikiran Politik Tan Malaka) menulis dalam bukunya :”Herbert faith dan Lance Castles memposisikan Murbaisme sebagai komunis radikal…. Ben Andeson memposisikan sebagai nasioanalis yang komunis”, dia sendiri berkesimpulan bahwa Tan Malaka adalah kiri nasionalis. Lihat Safrizal Rambe, Pemikiran Politik Tan Malaka, kajian terhadap pejuang “sang kiri Nasionalis” jalan penghubung memahami Madilog, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. xiii-xiv. Lihat juga dalam buku Hasan Nasbi, Filosofi…,op,cit., hlm. 161. Yang berkesimpulan bahwa Tan Malaka adalah blue print marxist.
10
lain. Bisa saja kita akan menemukan sesuatu yang baru yang selama ini belum
pernah kita temukan pada pemikir-pemikir lain.
Dalam karya-karya Tan Malaka sebelum kembali ke Indonesia tahun
1942 sangat terlihat sekali cara berfikirnya bernuansa Marxist, tetapi setelah
Tan Malaka mendialektikakan pemahamannya terhadap ajaran-ajaran Marxist
dengan kondisi masyarakat Indonesia, maka Tan Malaka menemukan sesuatu
yang baru (orisinil).30 Tan Malaka mencoba untuk mengkombinasikan segala
pengetahuan dan keyakinannya menjadi satu kesatuan utuh, tanpa harus
membuang yang satu atau yang lain. Sehingga wajar apabila para peneliti agak
kesulitan memposisikan Tan Malaka pada satu main stream.
Cara berfikir Tan Malaka sering sekali menonjolkan sisi Marxisme,
tapi Tan Malaka bukanlah tipe plagiator (epigon) yang mengadopsi begitu saja
setiap ajaran-ajaran Marxis-Leninis, filsafat politiknya (ideologi) kental
dengan nuansa nasionalisme. Tujuannya tidak lain adalah kemerdekaan
bangsa dan terwujudnya negara Indonesia yang sosialis-Komunis yang
didalamnya melebur kekuatan–kekuatan revolusioner terutama Islam,
nasionalis dan komunis.31 Bersesuaian dengan ini Presiden Soekarno pada
kongres partai Murba tahun 1960 memberikan definisi sendiri tentang
nasionalisme:
“kita jang berdjuang untuk mentjapai Indonesia merdeka, kita jang berdjuang untuk mempertahankan Indonesia merdeka, kita jang berdjuang untuk merealisasikan amanat penderitaan rakjat, pada hakikatnja kita ini semua adalah nasionalis, oleh karena kita tjinta kepada Indonesia, kepada tanah air Indonesia, kepada bangsa Indonesia, kepada kepribadian bangsa Indonesia, kepada segenap tjita-tjita daripada rakjat Indonesia…saja kenal almarhum sdr. Tan Malaka, saja batja semua ia punja tulisan-tulisan. Saja bitjara dengan beliau berdjam-djam. Dan selalu didalam pembitjaraan-pembitjaraan dengan almarhum saudara Tan Malaka ini selalu tampak
30 Keorisinilan pemikirannya terlihat ketika ia ingin menggabungkan ajaran marxisme
dengan Islam. Sebenarnya gagasan Tan Malaka untuk menggabungkan partai-partai Islam dan PKI telah terlihat pada kongres SI di Surabaya yang berlangsung pada tanggal 6 sampai 10 oktober. Lihat Dari Penjara Ke Penjara I, Teplok Press, Yogyakarta 2000, hlm. 116-117. Harry A. Poeze, Tan malaka, Pergulatan…op,cit., hlm 204-205. Selanjutnya gagasan ini ia kemukakan dihadapan peserta kongres ke empat Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI) bulan November 1922 di Moskow.
31 Safrizal Rambe, Pemikiran…op,cit., hlm. 7
11
bahwa Tan Malaka pentjinta tanah air, dan bangsa Indonesia. Ia adalah sosialis jang sebenar-benarnja” 32
Penjelasan dari Soekarno ini sekaligus menjawab persoalan yang
selama ini dialamatkan pada Tan Malaka sebagai seorang komunis yang anti
agama dan di eliminir dari Indonesia oleh pemerintahan otoriter. Dedikasinya
terhadap Indonesia sudah tidak diragukan lagi, nampak sekali kecintaan
terhadap bangsa dan negara, tetapi mengapa Tan Malaka masih dimasukkan
ke dalam daftar nama hitam di negara yang selama ini dia perjuangakan?
Secara apriori jawabnya sederhana, karena ideologi penguasa ketika itu
bertentangan dengan ideologi politik Tan Malaka, bahkan dianggap
membahayakan. Ideologi politik Tan Malaka yang mengadopsi ajaran-ajaran
Marxisme-Leninisme dianggap tidak sejalan dengan perjuangan rakyat
Indonesia. Langkah - langkah politis yang diambil cenderung revolusioner dan
radikal sehingga dari berbagai pihak sulit untuk merimanya, mengingat
kondisi riil masyarakat Indonesia yang dianggap belum siap dengan konsep -
konsep politik Tan Malaka.
Asumsi lain yang dapat diajukan adalah adanya kekhawatiran para
pemimpin negara terancam kedudukannya. Jika pada masa penjajahan
Belanda Tan Malaka dieksternir, alasannya cukup jelas, karena perjuangan
Tan Malaka dibidang politik terasa menjadi batu penghalang bagi
kelangsungan negara penjajah, tetapi pada masa setelah kemerdekaan,
ancaman terhadap Tan Malaka datang dari pemerintahan sendiri, pihak
pemerintah menolak ide Tan Malaka yang tidak mau berunding dengan negara
penjajah untuk melakukan intervensi dalam pengaturan pemerintahan
Indonesia. Kenyataan ini yang memperkuat asumsi bahwa ideologi politik Tan
Malaka membahayakan kedudukan para pemimpin negara ketika itu.
32 Sambutan Presiden R.I (Soekarno) pada Kongres Partai Murba Desember 1960.
12
B. PENEGASAN ISTILAH
Untuk menghindari adanya salah pengertian dalam memahami maksud
dan tujuan penelitian ini, maka untuk lebih akurat dalam wilayah batasan
pembahasan judul, penulis memberikan pengertian yang dimaksud dalam
penelitian yang berjudul “Pemikiran Politik Tan Malaka (kajian filsafat
politik)”, dalam redaksinya terdapat beberapa kata yang memiliki makna
tertentu sehingga perlu dijelaskan maksud dan tujuan penggunaan kata
tersebut:
Pemikiran, memiliki akar kata “pikir” yang berarti akal budi, ingatan,
angan-angan, kemudian menjadi kata benda kerja dengan mendapat imbuhan
pe dan an, pemikiran adalah cara atau hasil pikir.33 Dalam literatur lain
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pemikiran adalah proses, cara,
perbuatan memikir.34 Kata “pemikiran” pada arti kedua sebagai kata kerja,
yang juga berarti aktif progresif. Pada tulisan ini penggunaan kata pemikiran
bersifat elastis (tidak kaku), tergantung pada kalimat yang mengikutinya.
Politik, Inggris: politics; dari Yunani: politikos (menyangkut warga
negara). Secara etimologis kata politik berarti polites (seorang warganegara),
polis (kota, negara), politeia (kewargaan). Politik juga berarti ilmu,
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tatacara
pemerintahan, dsb), segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dsb)
mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu
muslihat; kelicikan akal (daya upaya).35
Penggunaan kata politik, dalam literatur lain disebutkan sebagai segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara
atau terhadap negara lain, Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani
suatu masalah).36
33 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986,
hlm. 753 34 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Depdikbud),
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, cet III, Jakarta,1990, hlm. 683 35 W.J.S Poerwadarminta, Kamus...op.cit., hlm. 763 36 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Depdikbud),
Kamus…op.cit., hlm. 694
13
Beberapa pengertian pokok politik:
1. Apa yang berhubungan dengan pemerintahan.
2. Perkara mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijaksanaan
umum dan keputusan-keputusan atau kebijaksanaan yang menyangkut
partai-partai yang berperan dalam kehidupan bernegara.
3. Bidang studi yang berkaitan dengan masalah-masalah sipil-sosial dan
mengembangkan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah-
masalah tersebut.
4. Aktivitas yang berkaitan dengan relasi-relasi antara bangsa-bangsa dan
kelompok-kelompok sosial lainnya, yang berhubungan dengan perkara
penggunaan kekuasaan negara.37
Tan Malaka, adalah seorang pejuang revolusioner Indonesia yang
lahir di Suliki, Nagari Pandan Gadang, 50 Koto, tahun (1897- w. 1948/9)
dengan nama Sutan Ibrahim kemudian mendapat gelar Datuk Tan Malako.
Pemikiran dan pergerakan yang cemerlang membuatnya disegani dan hormati
para teman-teman seperjuangan. Bahkan karya-karyanya menjadi panduan
pergerakan kemerdekaan ketika itu terutama buku Naar de Republik Indonesia
(Menuju Republik Indonesia) yang ditulis dalam bahasa Belanda, terbit
pertama di Canton, April 1925 dan buku massa aksi yang ditulis di Singapura
tahun 1926.
Kajian, berarti proses, cara, perbuatan mengkaji, penyelidikan
(pelajaran yang mendalam), penelaahan. Sedangkan mengkaji berarti belajar,
mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan, (mempertimbangkan
dsb).38
Filsafat, Inggris: Philosophy; Yunani: Philosophia (cinta akan
kebijaksanaan); secara etimologis terdiri dari dua suku kata yaitu Philos
(cinta) atau Philia (persahabatan, tertarik kepada) dan Sophos (kebijaksanaan,
pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Secara
37 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 857 38 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Depdikbud),
Kamus…op.cit., hlm. 378
14
terminologi filsafat mempunyai banyak arti sebagaimana filsuf-filsuf
menggunakannya.
Beberapa definisi pokok filsafat:
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta
lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan:
sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-
pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang Anda
katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.39
Filsafat politik, istilah filsafat politik seringkali membingungkan
karena di dalamnya memuat berbagai implikasi sekaligus ambigu. Istilah
filsafat sendiri belum menemukan definisi baku, kemudian ditambah lagi
dengan kata politik yang juga belum mendapat definisi baku. Dalam
penggunaannya sering terjadi perluasan makna, tumpang tindih dengan istilah
“teori politik”.
Meskipun istilah teori seringkali diterapkan baik pada studi-studi
normatif atau empiris, beberapa ilmuwan politik menyatakan istilah filosofi
untuk studi-studi bentuk terdahulu (misalnya rezim apakah yang terbaik?) dan
menerapkan teori untuk bentuk yang lebih belakangan (misalnya, model
apakah yang paling mampu menjelaskan kelompok pemberi suara?). meski
demikian, para teoritikus empiris harus membuat asumsi-asumsi normatif
dalam membangkitkan model-model penjelasan, dan para filsuf normatif jelas-
jelas harus mempertimbangkan data empiris dalam merumuskan pandangan
yang dapat dipertahankan.40 Dengan demikian penggunaan kata filsafat politik
dan teori politik dalam tulisan ini dapat dipertukarkan sesuai dengan kata
sebelum dan sesudahnya.
39 Ibid, hlm. 242 40 Dalam catatan kaki Joseph Losco dan Leonard Williams, Political Theory, terj, Haris
Munandar, Volume I, edisi kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 10-11.
15
C. POKOK MASALAH
Penelitian dilakukan berdasarkan persepsi yang menghasilkan suatu
masalah, tidak berawal dari kekosongan41. Dari berbagai uraian diatas, maka
perumusan masalah yang akan dibahas peneliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran-pemikiran politik Tan Malaka ?
2. Apa yang menjadi landasan konsep, gagasan, dan pemikiran politik Tan
Malaka?
3. Nilai – nilai (values) apa yang diusung dalam filsafat politik Tan Malaka
yang menjadi pijakan teorinya ?
4. Pergeseran dari teoritis - idealis ke praktis- taktis filsafat politik Tan
Malaka?
D. TUJUAN PENULISAN SKRIPSI
Skripsi ditulis sebagai sebuah usaha akademik guna mengetahui
sejarah pemikiran seorang pahlawan revolusi, sekaligus seorang pemikir.
Terlebih khusus kajian akan membidik pada bidang politik:
1. Mengetahui serta memahami pemikiran-pemikiran politik Tan Malaka
2. Melacak epistimologi pemikiran-pemikiran politik Tan Malaka
3. Memperkaya khazanah keilmuan khususnya di bidang sejarah tokoh
Indonesia masa perintisan kemerdekaan.
E. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif. Adapun
bentuk penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research).
Library Research yaitu penelitian melalui riset kepustakaan untuk mengkaji
sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau belum.42
41 “Masalah adalah lebih dari sekedar pertanyaan dan jelas berbeda dari tujuan. Masalah
adalah suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang membingungkan”. Dr. Lexy J. Moleong, MA., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, cet. 5, 1994, hlm. 62
42 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktis, Jakarta, Bina Aksara, 1989, hlm. 10
16
1. Sumber Data
Data penelitian ini diperoleh dari buku-buku atau bahan bacaan
yang relevan dengan pembahasan persoalan ini. Sementara, sumber data
tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder:
a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah data autentik atau data
yang berasal dari sumber pertama.43 Dalam hal ini, penulis akan
mengambil data dari buku-buku karya Tan Malaka dan buku karya-
karya Karl Marx.
b. Sumber Data Sekunder
Adalah data yang materinya secara tidak langsung berhubungan
dengan masalah yang diungkapkan.44 Dalam literatur lain disebutkan
data sekunder ialah data yang berorientasi pada data yang mendukung
dengan cara menemui dengan pihak yang lain, tidak langsung
diperoleh dari subyek penelitian.45 Tentang data sekunder penulis
memperolehnya dari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan pokok
penelitian antara lain; buku-buku hasil penelitian mengenai Tan
Malaka, artikel yang dimuat di majalah-majalah, surat kabar, dan situs
– situs internet.
2. Metode Pengumpulan Data.
Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka
peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data (instrumen penelitian)
utama karena sang penelitilah yang akan memahami secara mendalam
tentang objek yang diteliti peneliti sebagai alat dapat berhubungan dengan
objek secara intensif.46
43 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta 1996, hlm. 216 44 Ibid., hlm. 217
45 Saifudin Anwar, MA. Metode Penelitian, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1998, hlm. 91 46 Prof .Ida Bagoes Mantra, Ph.D, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial,
Pustaka Pelajar Yogyakarta, cet. pertama, Maret 2004, hlm. 27.
17
a. personal documents, yang berarti materi-materi yang dicatat oleh
seseorang, dengan ungkapan sendiri, pandangannya tentang
kehidupan mereka sendiri baik secara keseluruhan atau sebagian,
atau beberapa aspek tentang diri mereka. Dokumen perorangan
meliputi berbagai materi masalah yang berbeda-beda seperti
catatan harian, surat-surat pribadi, otobiografi dan sebagainya.47
b. Metode Telaah Pustaka,48 yaitu: membaca dan memahami referensi
penelitian. Referensi tersebut didapatkan dari primary source
maupun secondary source berupa tulisan-tulisan yang membahas
atau berkaitan dengan pemikiran Tan Malaka.
Selanjutnya mengingat studi ini adalah menganalisis pemikiran tokoh
yang sudah lewat, maka secara metodologis penelitian ini menggunakan
pendekatan sejarah (historical approach)49 dan menggunakan studi
leteratur, baik literatur teknis maupun literatur non teknis.
3. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul, selanjutnya data tersebut disusun secara
sistematik dan dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan metode
sebagai berikut:
a. Metode Deskriptif50
Metode Deskriptif yaitu mensistematisasikan data yang telah
terkumpul dalam suatu penjelasan terperinci yang sudah cukup
menjelaskan suatu teori sehingga sifatnya tidak mentah dan bukan
sekedar mengumpulkan, karena peneliti terlibat sepenuhnya dalam
pemilahan data disertai argumentasi yang mendukung. Yang
47 Ibid., hlm. 29 48 Mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara mencari data dan informasi, dengan
bantuan materi yang ada di perpustakaan. Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 63
49 Salah satu ciri yang menonjol dari penelitian sejarah adalah penyelidikan kritis mengenai pemikiran yang berkembang di jaman lampau dan mengutamakan data primer. Lihat penjelasan selengkapnya dalam Muhammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988, hlm. 56-57
50 Metode Deskriptif adalah metode secara umum mencoba memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang suatu obyek untuk memperjelas sebuah kajian tertentu. Consevela G. Sevilla, Pengantar Metode Penelitian, terj. Alimuddin Tawu, Jakarta: UI-Press, 1993, hlm. 24
18
dijelaskan secara deskriptif dalam tahapan ini adalah teori politik Tan
Malaka.
b. Content Analysis (Analisis Isi)
Untuk menganalisa data yang telah ada, penulis menggunakan metode
content analysis51 (analisis isi), yaitu analisis terhadap pemikiran
politik Tan Malaka, bagaimana pemikiran itu muncul, latar belakang
apa yang menyebabkan pemikiran itu dimunculkan. Dengan
menyusun kalimat menurut pola yang sama, kelemahan-kelemahan
pola pikir yang sama, cara menyajikan bahan ilustrasi dan lain-lain.52
Analisis ini juga bertumpu pada metode analisis deskriptif, yaitu
menguraikan masalah yang sedang dibahas secara teratur mengenai
sebuah konsepsi pemikiran tokoh yang bersangkutan.53
c. Hermeneutika, untuk lebih memahami maksud (corak) dan tujuan
Pemikiran Politik Tan Malaka maka penulis juga menggunakn metode
hermeneutik, yang dapat diartikan sebagai cara menafsirkan simbol
yang berupa teks atau benda kongkret untuk dicari arti dan maknanya.
Metode hermeneutik ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk
menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke
masa sekarang.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Sedangkan karya karya yang ada selama ini mengenai Tan Malaka
yang dibuat dalam bentuk penelitian ilmiah kemudian dibukukan baru
beberapa buku saja antara lain; disertasi Harry A. Poeze dengan judul: Tan
Malaka, Stritjder Voor Indonesie’s Vrijheid Levensloop van 1897 tot
51 Content Analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi dan
secara teknis mencakup upaya untuk a). klasifikasi tanda-tanda yang di pakai dalam komunikasi, b). menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi, c). mengunakan teknik analisis tertentu sebagai bahan prediksi. Prof. Dr. Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Serasin, cet. 7, 1996, hlm. 49
52 Sumadi Surya Barata, Metode Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, tt.), hlm. 85
53 Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisisus, 1990, hlm 65
19
1945 yang kemudian diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit
Pustaka Utama Grafiti dengan judul Tan Malaka, Perjuangan Menuju
Republik 1897- 1925 dan 1925- 1945, untuk sementara buku ini adalah karya
paling komprehensip yang mengulas tentang Tan Malaka. Data –data dalam
buku ini sangat lengkap disertai iterpretasi sejarah Tan Malaka yang cukup
kritis. Data-data yang diperoleh Poeze ini pula yang penulis jadikan pedoman
dalam penelitian.
Buku lain yang juga bermutu dan sangat membantu adalah buku karya
Rudolf Mrazek dengan judul asli Tan Malaka A Political Personality’s
Structure of experience, kemudian di terjemah kedalam bahasa Indonesia oleh
Endi Haryono dan Bhanu Setyanto dengan judul Semesta Tan Malaka, dan
diterbitkan oleh Percetakan Bayu Indra Grafika, buku ini mengulas tentang
struktur dasar yang membentuk seorang pribadi (Tan Malaka) dengan
menganalisa latar belakang intelektualitas dan lingkungan yang
melingkupinya. Penulis meminjam pendekatan Mrazek (budaya sebagai
akumulasi totalitas) terutama dalam bab analisis.
Buku lain adalah karya safrizal Rambe, semula berupa tesis yang
kemudian dipermak menjadi buku dengan judul Pemikiran Politik Tan
Malaka, kajian penghubung terhadap sang kiri nasionalis, buku ini
berbicara mengenai pemikiran-pemikiran Tan Malaka, secara khusus
menganalisa karya monumental Tan Malaka yaitu Madilog. Dari buku ini
penulis meminjam judul penelitian dan metode-metode yang membantu
memahami landasan filosofis Tan Malaka khususnya Madilog.
Karya lain yang juga sebuah penelitian tentang Tan Malaka adalah
karya Hasan Nasbi berjudul Filosofi Negara Menurut Tan Malaka, buku
yang diterbitkan tahun 2004 oleh Pustaka Pelajar ini semula berupa skripsi,
secara spesifik mengupas masalah konsep negara yang digagas Tan Malaka.
Pertemuan dengan penelitian penulis adalah pada saat negara mengambil
intervensi pada ruang publik, landasan pijak pengambilan oleh suatu negara
teramat perlu untuk dipahami agar tidak terjadi ketimpangan dan pemahaman
yang parsial.
20
Dalam pengamatan penulis, buku yang terakhir diterbitkan mengenai
Tan Malaka adalah karya Fahsin M. Fa’al. Buku yang berjudul Negara dan
Revolusi ini diterbitkan oleh percetakan Resist Yogyakarta pada tahun 2005
semula merupakan tugas akhir dalam menempuh strata satu di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, buku ini berbicara mengenai gagasan-gagasan Tan
Malaka dalam usaha membentuk suatu negara dan langkah-langkah yang
harus ditempuh. Hanya saja buku ini sedikit kurang memenuhi syarat-syarat
(standar) ilmiah, ada beberapa halaman dari buku ini yang dikutip dari buku
Safrizal Rambe tetapi tanpa menyebutkan catatan kutipan. Buku yang juga
relatif baru, diterbitkan oleh penerbit Resist tahun 2005, dengan judul Agama
Itu Bukan Candu; tesis-tesis Feuerbach, Marx dan Tan Malaka karya Eko P
Darmawan, buku ini berusaha mendeskripsikan dan me-reinterpreasi tesis-
tesis tiga tokoh mengenai agama. Stigma yang dilabelkan pada ketiga tokoh
diatas sebagai “pembangkang agama” perlu dimaknai ulang. Sehingga buku
ini sangat membantu penulis dalam melakukan pemahaman terhadap
perspektif Tan Malaka dalam memahami agama, terutama Islam.
21
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi lima bab. Pada bab I penulis
berusaha mengemukakan penagruh ideologi-ideologi yang berkembang di
Indonesia awala abad XX serta pertentangan antara Tan Malaka dengan
pemerintahan soekarno dalam mempertahankan kemerdekaan. Juga sedikit
membahas alur riwayat hidup Tan Malaka. penjelasan ini dirasa sangat urgen
untuk memudahkan pemahaman tentang tokoh (Tan Malaka ) yang akan
dibahas pada bab selanjutnya.
Pada bab II penulis akan menjelaskan landasan teori yang erat
kaitannya dengan kajian terhadap tokoh (Tan Malaka). Maka bab ini akan
menjelaskan teori-teori marxis. Kemudian diperkuat dengan beberapa ideoligi
politik mengenai sosialisme (komunisme), liberalisme, nasionalisme dan isu-
isu sentral dalam pembahasan filsafat politik. Tujuannya tidak lain sebagai
usaha memberi krangka pemahaman untuk mengembangkan dan sekaligus
pembatasan kajian agar tidak terjadi bias pada bab selanjutnya.
Pada bab III berisi tentang pemikiran-pemikiran Tan Malaka, riwayat
hidup dan karya-karyanya serta keadaan sosial dan teman-teman
seperjuangannya yang turut membentuk pemikiran Tan Malaka.
Pada bab IV merupakan analisa penulis mengenai pemikiran politik
Tan Malaka. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi pemikiran Tan
Malaka dengan berbagai pendekatan, seperti hermeneutika, tujuannya adalah
menginterpretasi fakta-fakta sejarah atau bahkan pada tahap yang lebih jauh
melakukan interpretasi atas interpretasi. Terakhir penulis akan menarik
pemikiran-pemikiran politik Tan Malaka (implikasi dan relevansi) pada zaman
sekarang, khususnya di Indonesia.
Bab V berisi kesimpulan, penutup dan saran-saran. Penulis
menyimpulkan tulisan pada bab-bab sebelumnya mengenai pemikiran politik
Tan Malaka.
22