37
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker serviks merupakan kanker ginekologis yang paling sering terjadi pada wanita, kebanyak kanker tersebut berasal dari infeksi Human Papilloma virus (HPV). Dibandingkan dengan keganasan dibidang gynekologi lainnya kaker serviks cenderung terjadi pada usia yang lebih muda usia rata-rata antara 40- 59 tahun. 1 Kanker serviks merupak kanker yang palig sering ditemukan diseluruh dunia, pada tahun 2002, sekitar 493000 kasus baru diidentifikasi di seluruh dunia dengan jumlah kematian 274000. Negara berkembang bekontribusi 83% dari kasus yang terjadi setiap tahun, sedangkan negara dengan perekonomian yang maju memiliki angka kejadian kanker serviks lebih rendah hanya sekitar 3,6%. 1 Di Indonesia sendiri kanker serviks masih menempati urutan pertama keganasan ginekologis. 2 Diagnosis kanker serviks tidaklah sulit, apalagi kalau tingkatannya sudah agak lanjut yang menjadi persoalan adalah bagaimana mendeteksi sedini mungkin, yakni waktu tumor masih prainvasif. Dengan memperhatikan perubahan displastik pada serviks, penangan yang sederhana namun tepat akan 1

Bab 1 lesi prakanker

Embed Size (px)

DESCRIPTION

lesi prakanker referat

Citation preview

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker serviks merupakan kanker ginekologis yang paling sering

terjadi pada wanita, kebanyak kanker tersebut berasal dari infeksi Human

Papilloma virus (HPV). Dibandingkan dengan keganasan dibidang gynekologi

lainnya kaker serviks cenderung terjadi pada usia yang lebih muda usia rata-

rata antara 40-59 tahun. 1

Kanker serviks merupak kanker yang palig sering ditemukan

diseluruh dunia, pada tahun 2002, sekitar 493000 kasus baru diidentifikasi di

seluruh dunia dengan jumlah kematian 274000. Negara berkembang

bekontribusi 83% dari kasus yang terjadi setiap tahun, sedangkan negara

dengan perekonomian yang maju memiliki angka kejadian kanker serviks

lebih rendah hanya sekitar 3,6%. 1 Di Indonesia sendiri kanker serviks masih

menempati urutan pertama keganasan ginekologis. 2

Diagnosis kanker serviks tidaklah sulit, apalagi kalau tingkatannya

sudah agak lanjut yang menjadi persoalan adalah bagaimana mendeteksi

sedini mungkin, yakni waktu tumor masih prainvasif. Dengan memperhatikan

perubahan displastik pada serviks, penangan yang sederhana namun tepat akan

menghindarkan wanita tersebut dari keganasan. Pencegahan primer

nampaknya cukup sulit dikerjakan mengingat sebab biologik kanker serviks

belum dapat diketahui, yang dapat dilakukan yaitu menghindari faktor

intrinsik dan ekstrinsik yang memeberi resiko kanker serviks. Upaya

pecegahan sekunder dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan pap

smear dan biopsi secara berkala. 2

1

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kanker leher rahim adalah kanker primer yang terjadi pada jaringan

leher rahim (serviks). Sementara lesi prakanker, adalah kelainan pada epitel

serviks akibat terjadinya perubahan sel-sel epitel, namun kelainannya belum

menembus lapisan basal (membrana basalis). 3

Terminologi dari lesi preinvasif serviks telah mengalami perubahan

beberapa kali. Terminologi CIN dibagi menjadi 3 derajat:

- CIN 1 - sesuai dengan displasia ringan (NIS 1)

- CIN 2 - sesuai dengan displasia sedang (NIS 2)

- CIN 3 - meliputi displasia berat dan ca insitu, karena seringkali patologis

tidak dapat membedakan keduanya secara tegas (NIS 3).

Terminologi NIS menegaskan kembali konsep bahwa lesi prekursor

dari kanker serviks membentuk suatu rangkaian proses yang berkelanjutan.

Semua derajat dari lesi ini mempunyai potensi untuk menjadi kanker serviks

bila dibiarkan tanpa pengobatan. Karena risiko untuk menjadi progresif dari

semua tingkatan lesi prekursor ini tidak dapat diketahui maka ditegaskan

bahwa semua lesi NIS sebaiknya diobati. 4

2.2 Epidemiologi

Diantara tumor ganas ginekologi kanker servix menduduki peringkat

pertama dari 5 kanker terbanyak di Indonesia. Umur penderita antara 30-60

tahun, terbanyak antara 45-50 tahun. Periode laten dari kanker prainvasif

menjadi invasif memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita

berusia < 35 tahun yang menunjukan kanker serviks yang invasif saat di

diagnosis, sedangkan 53% dari KIS terdapat pada wanita dibawah usia 35

tahun. Mempertimbangkan keterbatasan yang ada, kita sepakat secara

nasional melacak (mendeteksi dini) setiap wanita sekali saja setelah melewati

usia 30 tahun dan menyediakan sarana penanganannya, untuk berhenti sampai

usia 60 tahun. Yang penting dalam pelacakan ini adalah cakupannya

(coverage). Bahkan direncanakan melatih tenaga sukarelawati (dukun, ibu-

2

ibu PKK) untuk mengenali bentuk portio yang mencurigakan untuk dapat di

Pap smear oleh dokter atau bidan di Puskesmas atau Puskesling sebagaimana

disarankan oleh WHO. 2

2.3 Etiologi

Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim

oleh satu atau lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang

beresiko tinggi menyebabkan kanker leher rahim yang ditularkan melalui

hubungan seksual (sexually transmitted disease). Perempuan biasanya

terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai tigapuluhan, walaupun

kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya. Infeksi virus

HPV yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18, 45, 5613 dimana

HPV tipe 16 dan 18 ditemukan pada sekitar 70% kasus. Infeksi HPV tipe ini

dapat mengakibatkan perubahan sel-sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel

derajat tinggi (high-grade intraepithelial lesion/ LISDT) yang merupakan lesi

prakanker. Sementara HPV yang berisiko sedang dan rendah menyebabkan

kanker (tipe non-onkogenik) berturut turut adalah tipe 30, 31, 33, 35, 39, 51,

52, 58, 66 dan 6, 11, 42, 43, 44, 53, 54,55. 3

2.4 Faktor Resiko

Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada

usia dini, berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, dan memiliki

pasangan yang suka berganti-ganti pasangan.1 Infeksi HPV sering terjadi

pada usia muda, sekitar 25-30% nya terjadi pada usia kurang dari 25 tahun.

Beberapa ko-faktor yang memungkinkan infeksi HPV berisiko menjadi

kanker leher rahim adalah : 3

a. Faktor HPV :

- tipe virus

- infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan

- jumlah virus (viral load)

3

b. Faktor host/ penjamu :

- status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita

HIV positif) yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi

lesi prekanker dan kanker.

- jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami

kanker

c. Faktor eksogen

- merokok

- ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya

- penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral

2.5 Prekursor Kanker serviks

Klasifikasi WHO (1973) membagi prekursor kanker serviks menjadi 2

kelompok, yakni: 4

a. Karsinoma in situ, perubahan perangai sel dengan inti yang

menampakkan keganasan, yang meliputi seluruh ketebalan epitel

skuamosa serviks tanpa menembus membran basalis.

b. Displasia, perubahan perangai sel dengan inti yang menampakkan

keganasan, tetapi tidak melibatkan keseluruhan ketebalan epitel dan juga

tidak menembus membran basalis. Displasia dibagi lagi dalam 3 derajat,

yaitu ringan, sedang, dan berat.

Richart mengajukan istilah neoplasia intraepitelial serviks (NIS) dan

mengategorikan displasia ringan sebagai NIS 1, displasia sedang sebagai NIS

2, dan displasia berat sebagai karsinoma in situ atau NIS 3. Sistem Bethesda

(1989) mengategorikan NIS 1 dan infeksi HPV sebagai Low Grade Squamous

Intraepithelial Lesions (LSIL) dan NIS 2 serta NIS 3 sebagai High Grade

Squamous Intraepithelial Lesions (HGSIL). Selanjutnya, sistem Bethesda

melakukan modifikasi berdasarkan penemuan ASCUS (Atypical Squamous

Cells of Uncertain Significance). Walaupun klasifikasi sistem Bethesda

mencoba untuk menyederhanakan pelaporan dan membantu penanganan

4

klinik serta menghindari perbedaan persepsi penilaian patologi, pemahaman

perjalanan alamiah dari prekursor kanker serviks belum begitu baik. 4

Tabel 1. Klasifikasi lesi prakanker serviks uteri 4

Klasifikasi WHOKlasifikasi Neoplasia Intraepitelial serviks

(NIS)Klasifikasi Bethesda

Tidak terklasifikasi Tidak terklasifikasi ASCUS

Tidak terklasifikasi Efek HPV LISDR

Displasia ringan NIS 1 LISDR

Displasia sedang NIS 2 LISDT

Displasia berat NIS 3 LISDT

Carsinoma in situ NIS 3 LISDT

Perubahan epitel serviks dengan gambaran di antara karsinoma insitu

dan epitel normal disebut sebagai displasia. Dengan demikian, sebutan

displasia berarti suatu abnormalitas dari pertumbuhan dan perkembangan

yang ditandai dengan proliferasi sel yang secara sitologi abnormal, di mana

sel superfisial menyerupai sel basal. Juga menunjukkan inti yang atipik,

perubahan dari rasio inti/sitoplasma, dan kehilangan polaritas normal. 4

Tergantung dari tingkatan dan ketebalan dari epitel yang mengalami

perubahan, displasia dibagi menjadi displasia ringan, displasia sedang, dan

displasia berat. Kadang-kadang, yang membedakan antara displasia berat

dengan karsinoma insitu hanya didasarkan pada ada atau tidaknya satu

lapisan sel pipih pada permukaan epitel serviks saja. Dalam beberapa

penelitian dinyatakan bahwa ahli patologi juga mendapat kesulitan untuk

membedakan antara displasia berat dengan karsinoma insitu ini. Hal ini

mempengaruhi pemilihan pengobatan yang berbeda antara kedua lesi

tersebut, sehingga klasifikasi terhadap lesi prakanker yang hanya didasarkan

pada histologi harus dihindari. 4

Dengan meningkatnya pengertian terhadap biologi lesi preinvasif

serviks, akhir-akhir ini disepakati untuk mengganti ketiga istilah derajat dari

CIN 1, 2, dan 3 menjadi dua tingkatan saja. Agar penemuan histologi

mempunyai korelasi dengan penemuan sitologi maka salah satu klasifikasi

5

yang digunakan mengikuti pembagian sitologi yang diperkenalkan oleh

Bethesda, dengan memakai istilah: 4

Lesi Intraepitelial Skuamousa Derajat Rendah (LISDR), meliputi displasia

ringan, koilositotik atypia, koilositosis, flat kondiloma, dan NIS 1.

Lesi Intraepitelial Skuamousa Derajat Tinggi (LISDT), meliputi NIS 2 dan

NIS 3.

Sebagai tambahan, selain sel endoserviks yang atipik berat (AIS) juga

dijumpai sel endoserviks yang mengalami atipik lebih ringan yang dapat

dijumpai pada serviksUntuk lesi yang atipiknya lebih ringan tersebut

diberikan bermacam-macam nama, seperti: 4

Endocervical dysplasia atau atypical hyperplasia.

Ada yang menganalogikannya dengan lesi skuamosa serviks sehingga

memberinya nama Cervical Intraepithelial Glandular Neoplasia (CIGN)

untuk semua lesi noninvasif glandular. Dengan menggunakan istilah

CIGN ini maka lesi atipikal hiperplasia digolongkan ke dalam CIGN 1

atau CIGN 2, tergantung dari derajat atipik dan derajat mitosisnya.

Sedangkan AIS digolongkan pada CIGN 3.

Hasil penelusuran dari beberapa literatur selama 40 tahun terakhir

memberi kesan bahwa lesi lanjut (NIS 3) lebih banyak yang menjadi persisten

dan menjadi progres dibandingkan pada lesi awal (NIS 1). Dinyatakan bahwa

NIS 3 dapat mengalami regresi secara spontan. Akan tetapi, yang lebih

penting dinyatakan bahwa yang progresif menjadi karsinoma sebanyak 15%,

sedangkan dari NIS 1 hanya 1%. Tampaknya, regresi dan progres dari NIS 1

dan NIS 2 adalah sama. Jika luaran akhir dari pasienpasien dengan abnormal

smear dapat diprediksi maka problem penatalaksanaan lesi adalah sangat

sederhana. Kenyataannya, tidak semua pesien dengan kelainan pada sel-sel

serviksnya akan berkembang menjadi NIS atau progresif menjadi kanker

serviks. Untuk itu, beberapa pasien dengan beberapa tingkatan NIS perlu

dilakukan evaluasi lebih lanjut. 4

Kessler melakukan review dari banyak penelitian tentang perilaku

biologik dari displasia serviks. Terjadinya progresivitas dari lesi NIS menjadi

bentuk yang lebih berat atau kanker invasif berkisar antara 1,4% - 60%. Jika

6

dilakukan biopsi pada lesi yang kecil maka sebagai dampak tindakan biopsi

tersebut perjalanan alamiah selanjutnya akan terputus. Walaupun penelitian

tentang perilaku biologi dari karsinoma insitu bervariasi, dilaporkan bahwa

pertumbuhannya menjadi karsinoma invasif mencapai 50% dari seluruh

kasus. 4

Hal tersebut menjadi nyata dengan adanya penelitian akhir-akhir ini,

yang menjumpai bahwa NIS banyak terdiagnosis pada usia yang lebih muda.

Melnikow dkk. pada 1998 melakukan meta-analisis terhadap kelompok

perempuan dengan atipia skuamosa atau lebih berat dengan pemeriksaan

sitologi. Tanpa dilakukan terapi, dilakukan follow up selama 6 bulan. 4

Tabel 2. Perjalanan alamiah NIS berkaitan dengan derajat lesi

Derajat displasia Regresi (%) Persisten (%) Progresif (%)

Ringan 62 24 13

Sedang 33 49 18

Berat 19 48 33

Dari tabel 2 dapat disimpulkan bahwa makin rendah derajat kelainan

maka makin besar kemungkinan untuk regresi menjadi normal, dan makin

berat derajat kelainan makin besar potensi untuk berlanjut ke lesi yang lebih

berat. 4

2.6 Skrening Kanker serviks

Lesi prakanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan

hanya dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer

melaporkan bahwa sebanyak 76% kasus tidak menunjukkan gejala sama

sekali.18 Jika sudah terjadi kanker akan timbul gejala yang sesuai dengan

tingkat penyakitnya, yaitu dapat lokal atau tersebar. Gejala yang timbul dapat

berupa perdarahan pasca sanggama atau dapat juga terjadi perdarahan diluar

masa haid dan pasca menopause. Jika tumornya besar, dapat terjadi infeksi

dan menimbulkan cairan berbau yang mengalir keluar dari vagina. Bila

penyakitnya sudah lanjut, akan timbul nyeri panggul, gejala yang berkaitan

dengan kandung kemih dan usus besar. Gejala lain yang timbul dapat berupa

gangguan organ yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan

7

kesadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah), hati

(nyeri perut kanan atas, kuning, atau pembengkakan) dan lain-lain. 3

Untuk mencegah agar tidak menjadi kanker serviks, diperlukan

metode skrining kanker serviks. WHO menyebutkan 4 komponen penting

yang menjadi pilar dalam penanganan kanker leher rahim, yaitu : pencegahan

infeksi HPV, deteksi dini melalui peningkatan kewaspadaan dan program

skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tatalaksana, serta perawatan

paliatif untuk kasus lanjut. 3

Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skirining yang

terorganisasi dengan sasaran perempuan kelompok usia tertentu,

pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap tingkat pelayanan

kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia produktif. 3

Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi

prakanker) memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan

dan penatalaksanaan kanker leher rahim. Beberapa hal penting yang perlu

direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang

dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan

efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas: 3

1. Sasaran yang akan menjalani skrining

WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut: 3

setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah

menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun

sebelumnya atau lebih.

Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap

sebelumnya

perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan

pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda

dan gejala abnormal lainnya

perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya

8

2. Interval skrining

American Cancer Society (ACS) merekomendasikan idealnya

skrining dimulai 3 tahun setelah dimulainya hubungan seksual melalui

vagina. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya lesi

prakanker baru terjadi setelah 3-5 tahun setelah paparan HPV yang

pertama. Interval yang ideal untuk dilakukan skrining adalah 3 tahun.

Skrining 3 tahun sekali memberi hasil yang hampir sama dengan skrining

tiap tahun. ACS merekomendasikan skrining tiap tahun dengan metode tes

Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan pemeriksaan

sitologi cairan (liquid-based cytology), setelah skrining yang

pertama.Setelah perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturut-

turut skrining dengan hasil negatif, skrining cukup dilakukan 2-3 tahun

sekali. Bila dana sangat terbatas skrining dapat dilakukan tiap 10 tahun

atau sekali seumur hidup dengan tetap memberikan hasil yang signifikan. 3

WHO merekomendasikan : 3

Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka

sebaiknya dilakukan pada perempuan antara usia 35-45 tahun.

Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan,

skrining hendaknya dilakukan 3 tahun sekali.

Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun

sekali.

Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan

usia diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani skrining.

Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun

sekali.

3. Metode Skrining yang Digunakan

Ada beberapa metode skrining yang dapat digunakan, tergantung

dari ketersediaan sumber daya. Metode skrining yang baik memiliki

beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat diulang kembali (reproducible),

murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman.

Beberapa metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut : 3

9

1. Metode Sitologi:

a. Tes Pap konvensional

Tes Pap atau pemeriksaan sitologi diperkenalkan oleh Dr. George

Papanicolau sejak tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian

kanker leher rahim di negara-negara maju menurun drastis.

Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur pemeriksaan yang

mudah,murah, aman, dan non-invasif. Beberapa penulis melaporkan

sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78-93%, tetapi

pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16-37% dan

negatif palsu 7-40% Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan

oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses

pembuatan sediaan dan kesalahan interpretasi. 3

b. Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid-base cytology/LBC)

Dikenal juga dengan Thin Prep atau monolayer. Tujuan metode ini

adalah mengurangi hasil negatif palsu dari pemeriksaan Tes Pap

konvensional dengan cara optimalisasi teknik koleksi dan preparasi

sel. Pada pemeriksaan metode ini sel dikoleksi dengan sikat khusus

yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi larutan fiksasi.

Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel abnormal

lebih tersebar dan mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer

sehingga mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang

cukup lama untuk pengolahan slide dan biaya yang lebih mahal. 3

2. Pemeriksaan DNA HPV

Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi

berbagai cara mulai dari cara Southern Blot yang dianggap sebagai

baku emas, filter in situ, Dot Blot, hibridisasi in situ yang memerlukan

jaringan biopsi, atau dengan cara pembesaran, seperti pada PCR

(Polymerase Chain Reaction) yang amat sensitif. 3

3. Metode inspeksi visual

a. Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)

b. Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) 3

.

10

2.7 Terapi Lesi Prakanker

Banyak modalitas yang dimiliki dalam usaha melakukan pengobatan

terhadap NIS. Laser ablation dan krioterapi biasa digunakan untuk displasia

ringan dan cold knife, konisasi, atau laser konisasi biasa digunakan untuk

displasia moderat. Di samping modalitas terapi destruksi, didapatkan terapi

eksisi seperti LEEP, LLETZ, konisasi, sampai histerektomi. 4

Dalam pengelolaan lesi prakanker, pemilihan terapi harus

dipertimbangkan secara hati-hati, dengan melihat efektivitas terapi serta efek

samping yang ditimbulkan. Sebagian besar lesi NIS umumnya berukuran

kecil dan terbatas pada ektoserviks dengan kedalaman rata-rata 2-3 mm.

Namun, sebagian kecil lesi dapat mencapai vagina bagian atas serta dapat

mencapai dasar lipatan (krypte) di kanalis servikalis yang kedalamannya

mencapai 7,8 mm. 4

Dasar dari terapi destruksi lokal pada NIS ini dimulai dari tidak

adanya risiko untuk terjadinya penyebaran secara hematogen dan limpogen,

sehingga dengan metode pemusnahan jaringan abnormal lesi akan hilang.

Empat metode destruksi lokal yang dapat dilakukan ialah krioterapi,

elektrokauter, elektrokoagulasi, dan CO2 laser. Pemilihan masing-masing

metode ini bertujuan untuk memusnahkan daerah yang dicurigai mengandung

epitel abnormal dengan harapan akan digantikan epitel yang baru. 4

1. Karioterapi

Krioterapi ialah suatu usaha penyembuhan penyakit dengan cara

mendinginkan bagian yang sakit sampai dengan suhu di bawah nol derajat

Celcius. Pada suhu sekurang-kurangnya 25 derajat Celcius sel-sel jaringan

termasuk NIS akan mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan

tersebut, terjadi perubahan-perubahan tingkat seluler dan vaskuler, yaitu (1)

sel-sel mengalami dehidrasi dan mengerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel

terganggu; (3) syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status

umum sistem mikrovaskular. Pada awalnya digunakan cairan Nitrogen atau

gas CO2, tetapi pada saat ini hampir semua alat menggunakan N2O. 4

krioterapi merupakan metode pengelolaan lesi prakanker yang relatif

sedikit komplikasi dan relatif murah dibandingkan metoda destruksi lainnya.

11

Di samping itu, jika dilakukan secara tepat, insiden rekurensi displasia cukup

rendah (0,41–0,44 %). Meskipun demikian, semua masih tergantung dari

besar lesi dan kedalamannya. Dengan kata lain, krioterapi lebih tepat

digunakan untuk lesi risiko rendah yang persisten. Jadi,sebenarnya efektivitas

dari krioterapi ditentukan oleh temperatur yang ditimbulkan, waktu

pendinginan, tipe dari probe, perluasan pembentukan bunga es dari probe,

serta ukuran dan grading dari lesi. Dibandingkan dengan jaringan lain,

jaringan epidermal dan lemak mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam

merespons pendinginan pada kondisi -90o C sampai -25o C. 4

Prosedur krioterapi ini hanya mengakibatkan nekrosis jaringan dengan

kedalaman 5 – 6 mm, dengan maksimum kedalaman 7,8 mm. Dengan

demikian, jika lesi melibatkan glandula serviks, belum tentu dapat dicapai

dengan metode ini. Di samping itu, sambungan skuamo-kolumner akan

tertarik ke dalam kanalis endoserviks sesudah krioterapi. Hal ini akan

menyulitkan saat dilakukan kolposkopi dan evauasi Papsmear. Keadaan ini

tidak terjadi jika dilakukan dengan CO2 laser. Diketahui bahwa proses re-

epitelisasi sering dimulai dari sambungan skuamokolumner. Kerugian lain

adalah jika proses CIN tidak seluruhnya dapat tercapai oleh metode krio,

proses akan berlanjut ke dalam menjadi lebih progresif dan tidak terdeteksi

oleh kolposkopi atau sitologi. 4

Untuk lesi besar dan luas mencapai lebih dari 30 mm, lesi displasia

moderat, dan karsinoma in situ, krioterapi tidak menguntungkan dibanding

dengan laser. Jika dibandingkan dengan laser ablasi, kegagalan krioterapi

lebih besar, 25% untuk krioterapi dan 7,7% untuk laser ablasi. 4

2. Carbon Dioxide Laser

Ini merupakan suatu metode penyinaran dengan energi tinggi secara

langsung ke target jaringan. Pada saat penyinaran itu, cairan intrasel akan

mendidih dan menguap dari sel. Seluruh daerah transformasi dan bagian yang

dicurigai diharapkan akan terjadi perubahan karena dirusak. Lapisan paling

luar dari mukosa serviks menguap karena cairan intrasel mendidih, sedangkan

jaringan di bawahnya mengalami nekrosisi. Penyembuhan luka juga cepat

12

dan komplikasi yang terjadi tidak lebih berat dibanding krioterapi atau

konisasi. 4

Keberhasilan laser terapi ini tergantung pada kekuatan dan lamanya

penyinaran. Laser terapi ini dapat mencapai pengobatan pada semua tingkat

displasia hingga mencapai 95%. Untuk CIN I dan II dapat mencapai tingkat

kesembuhan 84%, sedangkan angka kegagalan terapi hanya 6% dibanding

29% krioterapi. Untuk lesi kurang dari 30 mm, kegagalan terapi hampir sama

jika dibandingkan dengan krioterapi. Tetapi, jika lesi lebih dari 30 mm,

kegagalan terapi 8% dibanding dengan krioterapi yang mencapai 38%.4

Keuntungan penggunaan laser dalam pengelolaan CIN ini antara lain:

Kerusakan jaringan dapat ditentukan dengan tepat, baik luas maupun

kedalamannya.

Penyembuhan luka lebih cepat.

Tidak mengubah SSK.

Keluhan yang ditimbulkan sedikit.

Dapat digunakan pada lesi di vagina karena tidak menimbulkan jaringan

parut.

3. Elektrokauter

Diketahui bahwa elektrosurgeri mempunyai 3 fungsi, yaitu diseksi,

fulgurasi, dan desikasi. Elektrokauter merupakan teknik destruksi jaringan

dengan menggunakan panas antara 400o F sampai 1500o F. Elektrokauter ini

juga efektif untuk 2/3 CIN 3, lesi yang melibatkan multipel kuadran dari

serviks serta lesi yang mencapai kanalis endoserviks. Tetapi, elektrokauter ini

lebih efektif digunakan pada lesi CIN 1, terutama sewaktu melakukan

pemeriksaan kolposkopi. Elektrokauter ini tidak efektif untuk lesi dengan

kedalaman lebih dari 3 mm2. 4

4. Elektrokoagulasi

Pada CIN 1-2 dapat dilakukan meskipun lesi luas dan telah mencapai

kanalis servikalis. Hal inilah yang membedakannya dengan penggunaan

krioterapi. Sedangkan pada CIN III dilakukan bila ada kontraindikasi operasi,

serta dapat dilakukan pada lesi luas dan telah mencapai kanalis servikalis.

Laser dan elektrosurgeri mempunyai prinsip efek biologi yang sama, di mana

13

cairan seluler mendapat pengaruh panas yang hebat dan mengakibatkan

membran sel pecah. Proses ini terjadi pada saat cutting, sedangkan pada

proses koagulasi terjadi proses dehidrasi yang lebih lambat. 4

2.8 Vaksinasi HPV

Vaksin kanker pada awal perkembangannya dimulai dari lisan tumor

sendiri, kemudian berkembang dengan sasaran tumor associated antigen,

yaitu molekul yang diekspresikan oleh tumor dan tidak oleh sel normal.

Selanjutnya digunakan peptida atau DNA sebagai antigen. Antigen DNA

biasanya lemah dan untuk memperkuat potensi imunogeniknya dilakukan

dengan.berbagai rekayasa. Vaksin dibuat dengan teknologi rekombinan,

vaksin berisi VLP (virus like protein) yang merupakan hasil cloning dari L1

(viral capsid gene) yang mempunyai sifat imunogenik kuat. Dengan

diketahuinya infeksi HPV sebagai penyebab kanker serviks , maka terbuka

peluang untuk menciptakan vaksin dalam upaya pencegahan kanker serviks.

Dalam hal ini dikembangkan 2 jenis vaksin: 5

Vaksin pencegahan untuk memicu kekebalan tubuh humoral agar dapat

terlindung dari infeksi HPV.

Vaksin Pengobatan untuk menstimulasi kekebalan tubuh seluler agar sel

yang terinfeksi HPV dapat dimusnahkan.

a. Efektifitas Vaksin

Pada penelitian didapatkan bahwa vaksin bivalen HPV 16/18 VLP

sangat efektif menurunkan angka kejadian infeksi HPV dan infeksi

menetap HPV 16/18 pada individu yang sudah mendapat vaksinasi

lengkap HPV ada wanita muda. Efektifitas vaksin juga sangat tinggi pada

wanita yang tidak mendapatkan protokol vaksin secara lengkap. 5

Efektifetas vaksin dihubungkan dengan infeksi menetap HPV 16 dan

18, abnoramalitas dari pemeriksaan sel serviks yang dihubungkan dengan

infeksi HPV 16 dan 18., dan angka kejadian CIN yang dihubungkan

dengan infeksi HPV 16 dan 18. Vaksin HPV 16/18 VLP ini akan

merangsang produksi antibodi yang kadarnya masih lebih tinggi jika

dibandingkan dengan kadar antibodi yang dihasilkan oleh tubuh sebagai

14

respons alami dari infeksi virus HPV, respons kekebalan tubuh yang

ditimbulkan memiliki daya perlindungan yang lebih lama jika

dibandingkan dengan respons kekebalan tubuh yang ditimbulkan oleh

infeksi alami HPV. 5

b. Masa Perlindungan

Data tentang percobaan tentang HPV vaksin ditunjukkan bahwa

kadar antibodi menurun setelah mencapai puncaknya setelah imunisasi dan

kemudian menetap (plateau), tetapi masih lebih tinggi dibandingkan

dengan respons kekebalan tubuh yang timbul pada infeksi alami dari virus

HPV dan kadar tersebut menetap pada 48 bulan setelah vaksinasi. 5

c. Sasaran dan Waktu Pemberian vaksin

Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut

diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV. Vaksin mulai dapat

diberikan pada wanita usia 10 tahun. Berdasarkan pustaka vaksin dapat

diberikan pada wanita usia 10-26 tahun (rekomendasi FDA-US), penelitian

memperlihatkan vaksin dapat diberikan sampai usia 55 tahun. Infeksi HPV

yang menyerang organ genetalia biasanya ditularkan melalui hubungan

seksual, dan imunisasi diberikan untuk melakukan perlindungan terhadap

sejumlah besar penyakit yang dihasilkan oleh infeksi virus tersebut. Selain

itu vaksin diberikan pada usia tersebut maka respon kekebalan tubuh yang

dihasilkan akan lebih besar dibandingkan bila diberikan setelah pubertas,

baik pada wanita maupun pada pria. 5

d. Sedian

Terdapat dua jenis vaksin HPV L1 VLP yang sudah dipasarkan

melalui uji klinis, yakni Cervarik dan Gardasil: 5

Cervarik

Adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18 L1 VLP vaksin yang diproduksi

oleh Glaxo Smith Kline Biological, Rixensart, Belgium. Pada preparat ini,

Protein L1 dari HPV diekspresikan oleh recombinant baculovirus vector

dan VLP dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian dikombinasikan

sehingga menghasilkan suatu vaksin yang sangat merangsang sistem imun.

Preparat ini diberikan secara intramuskuler dalam tiga kali pemberian

15

yaitu pada bulan ke 0, kemudian diteruskan bulan ke 1 dan ke 6 masing-

masing 0,5 ml secara intramuskuler. 5

Gardasil

Adalah vaksin quadrivalent 40 μg protein HPV 11 L1 HPV

( GARDASIL yang diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari VLP HPV tipe

6/11/16/18 diekspresikan lewat suatu rekombinant vektor Saccharomyces

cerevisiae (yeast). Tiap 0,5 cc mengandung 20μg protein HPV 6 L1, 40

μgprotein HPV 11 L1, 20 μg protein HPV18 L1. Tiap 0,5 ml mengandung

225 amorph aluminium hidroksiphosphatase sulfat. Formula tersebut juga

mengandung sodium borat. Vaksin ini tidak mengandung timerasol dan

antibiotika. Vaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 20 – 80 ˚C. dosis

vaksin ini adalah 0,5 ml, diberikan secara intramuskular dan diulang

sebanyak 3 kali, yaitu pada bulan ke 0, 2, dan ke 6. 5

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, Scorge, Schaffer et al. Cervical cancer. In Williams

Gynecology. Mc Graw Hill; 2008. P 1285 – 1318.

2. Wiknjosastro,Hanifa. Ilmu Kandungan. PT Bina Pustaka Sarwono

Prawiroharjo, Jakarta. 2009. Hal 380-390.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Skrining kanker Leher Rahim

dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat, 2008.

4. Iskandar, TM. Pengelolaan Lesi Prakanker Serviks. Indonesia Journal of

Cancer. Vol III, No 3, 2009.

5. Gondo, HK. Vaksin Human Papiloma Virus (HPV) untuk Mencegah

Kanker Serviks Uteri. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma,

2009.

POMR (Problem Oriented Medical Record)

17

Nama : Nn. Asni

Umur : 32 tahun

Pendidikan : SD

Pekerjaan : PRT

Nama suami : Tn Imam safi’i

Usia : 32 tahun

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Kuli Bangunan

Alamat : Jalan Sutorejo, Labansari 135

Data Base

clue and cue

problem list

Initial Dx

planning

diagnosa terapi monitoring

education

Keluhan utama: perdarahan dari kemaluanAnamnesis:RPS:Pasien datang k RS dengan keluhan keluar darah dari kemaluan. Pasien mengatakan sudah 3 bulan ini pasien

1 Wanita, 32 thnPerdarahan dari vaginaRiwayat flek-flek selama 3 bulan. Perdarahan setelah senggama, riwayat keputihan yang berbau dan gatal. Riwayat menikah usia 16 tahun

1.Perdarahan per vagina, perdarahan setelah senggama, keputihan berbau dan gatal. Massa portio berdungkul-dungkul, rapuh.

2. perdarahan pervagina,anemis.

1.suspek ca serviks

2. anemia defisiensi besi.

1.1 pemeriksaan histo PA

1.2 hapusan darah tepi

1.3 cross match

-infus NaCL 1000 cc grojok.-Asam mefenamat 3x 500 mg tab-Asam tranexamat 3x 500 mg tab-Pasang tampon vagina.

1.1 perdarahan

1.2 tanda2 vital

1.3 cek leab post transfusi

menjelaskan penyakit pasien

Pasien harus MRS untuk mendapatkan perawatan yg intensif, juntuk mencegah komplikasi

18

keluar darah berupa flek-flek. Namun sudah 3 hari ini (17-03-2013) darah yang keluar banyak disertai gumpaln-gumpalan darah. Dan sore ini sekitar jam 15.30 darah yang keluar sangat banyak disertai darah bergumpal-gumpal. Pasien juga mengatakan sering keluar darah dari kemaluan setelah melakukan

Pemeriksaan dalam:VT: v/v: fluksus (+) ,flour(-) portio: tertutup, berdungkul-dungkul, rapuhcavum uteri : ante fleksiAP D/S: massa -, nyeri –Cavum douglasi:Tidak menonjonl,

-Inspekulo: V/V: fluksus (+), Flour (-)Portio : tertutup, tampak massa berdungkul-dungkul

-Transfusi prc 2 bag-Sulfas ferosus 1x1

19

hubungan suami istri. Nyeri perut -, pusing +, nyeri punggung -.Riw. Keputihan:Pasien mengaku pernah mengalami keputihan selama 2 bulan, warna putih susu, berbau dan gatal.RPD: DM-, HT -Riw. Obs: P2002 A0I 9bln/SPt B /bidan/3700 g/ laki2/ 15 thII 9 bln/ SC/dr/RS/ 4000 g/ laki-laki/ 11

2.wanita 32 tahun, perdarahan per vaginam, pusing, anemis.T 100/60 mmHgkepala leher: An +/+

pemeriksaa lab: DL: Hb 6,8 Leuko: 9200PCV 21,3Trombo 243000

20

tahunRPK: DM-, HT –Riw KB:Pasien dulu menggunakan Kb suntuik dan berhenti pada tahun 2012, sekarang sudah tidak menggunakan Kb.Riw Menikah:1 kali, 16 tahunRiw menstruasi:Menarche usia 12 tahun, menstruasi teratur, lamanya 7 hari, darah hais biasanya banyak. Nyeri haid

21

selama haid.HPHT: 3 bulan yang lalu tapi pasien lupa tanggal pastinya.

Pmx Fisik:KU: cukupKesadaran: CM- T 100/60 mmHg- N: 88 x/mnt- t ax/rect: 36.8 ˚C-kepala leher: An +/+, Ikt -/-Thoraks; C/P dbnAbd: lunak.NT (-)Pem.Dalam:-Inspekulo: V/V: fluksus (+), Flour (-)Portio : tertutup,

22

tampak massa berdungkul-dungkul

VT: v/v: fluksus (+) ,flour(-) portio: tertutup, berdungkul-dungkul, rapuhcavum uteri : ante fleksiAP D/S: massa -, nyeri –Cavum douglasi:Tidak menonjonl,

Pemeriksaan lab:DL: Hb 6,8 Leuko: 9200PCV 21,3Trombo 243000

23