Author
vandieu
View
223
Download
0
Embed Size (px)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Landasan sistem ekonomi negara diatur dalam Pasal 33 dan
Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara 1945, mengatur tanggungjawab
yang dibebankan kepada negara dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Selain ditujukan kepada negara, tanggungjawab
juga dibebankan kepada golongan yang mampu berusaha, dan karena itu
dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara 1945 memuat semangat
kebersamaan (kekeluargaan), sumber-sumber kemakmuran dan
kesejahteraan sosial, pelaku usaha, bangunan dan wadah/bentuk usaha,
cara penggunaan/proses berusaha, serta tujuan akhir kegiatan usaha
yaitu untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama.1
Dalam proses pembangunan ekonomi nasional, sampai saat ini
struktur ekonomi Indonesia disangga oleh para pelaku usaha yang
tergabung dalam kelompok usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah,
dan kelompok usaha besar. Sumbangan dari kelompok ini sangat berarti
dalam perekonomian nasional. Usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) merupakan salah satu pilar utama perekonomian nasional
yang berwawasan kemandirian memiliki potensi besar untuk
1 Tatang Astrarudin, 2008, Perjanjian Kemitraan Usaha Antara Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM) Dengan Usaha Besar Sebagai Upaya
Memperkokoh Struktur Ekonomi Nasional Menurut Peraturan Perundang-
Undangan Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran,
Bandung, h.1-2. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat
Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia , PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
h. 95-97. (Selanjutnya disebut Jimly Asshidiqie I).
2
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tanpa mengabaikan peran
usaha besar, koperasi, maupun BUMN.
Perkembangan UMKM memiliki potensi besar dalam
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal mana ditunjukkan oleh
keberadaan UMKM yang telah mencerminkan wujud nyata kehidupan
sosial dan ekonomi bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Peran UMKM
yang besar ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap produksi nasional,
jumlah unit usaha dan pengusaha, serta penyerapan tenaga kerja.
Ditengah perkembangan ekonomi yang ada, UMKM sebagai
pilar ekonomi nasional dari segi kuantitas belum diimbangi dengan
peningkatan kualitas yang memadai. Masalah yang dihadapi adalah
rendahnya produktivitas dan daya saing, sehingga menimbulkan
kesenjangan besar antara UMKM dengan usaha berskala besar.
Peningkatan produktivitas sangat dibutuhkan guna mendorong
peningkatan daya saing UMKM untuk bisa berkompetensi, baik dalam
kancah perekonomian domestik maupun global.
Prolem krusial yang dihadapi UMKM adalah terbatasnya akses
UMKM kepada sumber daya produktif, terutama terhadap permodalan,
teknologi, informasi dan pasar. Terbatasnya akses UMKM terhadap
modal menyebabkan sulit untuk meningkatkan kapasitas usaha dan
mengembangkan produk-produk yang berdaya saing.
Problem akses modal UMKM sumber penyebabnya justru
karena keterbatasan UMKM itu sendiri baik dari segi pemasaran,
penguasaan teknologi dan informasi, serta buruknya manajemen usaha.
3
Faktor tersebut menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan lembaga
perbankan dan lembaga keuangan lainnya untuk memberikan bantuan
permodalan dalam bentuk kredit terhadap UMKM. Selain itu,
ketidakmampuan UMKM untuk menyediakan jaminan (agunan) telah
menyulitkan UMKM untuk mengakses kredit dari perbankan.
Semua negara, terutama negara-negara berkembang seperti
Indonesia mengalami problem yang sama berkaitan dengan terbatasnya
akses UMKM terhadap modal. Hal yang sama juga dialami oleh UMKM
yang bergerak di sektor usaha pariwisata, dan bila dicermati secara
umum sumber masalahnya juga hampir sama.
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang menyediakan jasa
akomodasi, transportasi, makanan, rekreasi serta jasa-jasa lainnya yang
terkait. Sebagai suatu bentuk perdagangan jasa, pariwisata merupakan
suatu sistem perdagangan jasa yang mencakup berbagai komponen
perdagangan jasa, seperti; pelaku, bentuk jasa, konsumen jasa, dan
transaksi jasa yang menghubungkan pemasok jasa dan konsumen jasa .2
Kegiatan pariwisata di era globalisasi tidak dapat dipungkiri
telah membawa dampak positif berupa keuntungan dibidang ekonomi,
seperti; pemasukan dari sektor pajak dan perluasan kesempatan kerja ,
terutama bagi Negara yang menjadi tujuan wisata. Namun pada sisi lain
pariwisata juga dapat membawa dampak negatif, seperti kerusakan
2 Wyasa Putra, Ida Bagus, 2010, Fungsi Hukum Dalam Pengaturan
Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan Jasa: Inkonsistensi Konsep Dalam
Kebijakan Pariwisata dan Penyerapan General Agreement on Trade in Services
Dalam Pengaturan Perdagangan Jasa Pariwisata Internasional Indonesia,
Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h. 120.
(Selanjutnya disebut Wyasa Putra Ida Bagus I).
4
lingkungan, sebagaimana dikemukakan oleh Supasti Dharmawan,
sebagai berikut;
A many studies have shown that the growth and development of
the tourism industry bring both positive and negative impacts for
the destinations. The positive impacts of these activities are
increased tax revenues, open job opportunities for communicates
and for the construction of adequate infrastructure, etc. on the
other hands, the negative impacts of it are environmental damage
both environment in terms of natural ecosystems such as air
pollution, exploitation of water resources, destruction of coral
reef as well as environmental damage in the social dimensions
such as the behavior of tourists which are sometimes
inappropriate with the local cultures.3
(Banyak studi menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan
industri pariwisata memberikan baik dampak positif maupun
negatif bagi daerah tujuannya. Dampak positif tersebut adalah
peningkatan pendapatan pajak, terbukanya kesempatan pekerjaan,
konstruksi infrastruktur yang memadia, dan lain-lain. Disisi lain
dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan baik secara
natural yang berdampak pada ekosistem seperti adanya polusi
udara, eksploitasi sumber daya air, kerusakan terumbu karang dan
juga kerusakan lingkungan dalam aspek sosial seperti perilaku
para turis yang terkadang tidak sesuai dengan budaya lokal).
Perdagangan jasa pariwisata melibatkan berbagai aspek. Aspek-
aspek tersebut antara lain aspek ekonomi, budaya, sosial, agama,
lingkungan, keamanan, dan aspek lainnya. Aspek yang mendapat
perhatian paling besar dalam pembangunan pariwisata adalah aspek
ekonomi. Terkait dengan aspek ekonomi inilah pariwisata dikatakan
sebagai suatu industri. Bahkan kegiatan pariwisata dikatakan sebagai
3 Supasti Dharmawan, Ni Ketut, 2012, Tourism and Enviroment; Toward
Promoting Sustainable Development of Turist; A Human Rights Perspective,
Indonesia Law Review, Year 2 vol. 1, January – April 2012, h. 23 (Selanjutnya
disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut I)
5
suatu kegiatan bisnis4, yang berorientasi dalam penyediaan jasa yang
dibutuhkan wisatawan.
Dewasa ini perkembangan pariwisata dunia mengarah ke Asia
Pasifik, setelah Eropa mengalami jaman keemasan pada masa-masa
terdahulu. Negara-negara dikawasan Asia Pasifik dan Karibia akan
mewakili pengembangan pasar Internasional baru dan akan menjadi
masa depan internasional.5
Indonesia berada di kawasan Asia Pasifik, merupakan destinasi
pariwisata yang sangat dikenal dunia. Pariwisata mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap perekonomian masyarakat, dimana
pariwisata mempunyai peranan positif dalam penciptaan pendapatan
bagi masyarakat, penciptaan lapangan kerja, sebagai sumber
penghasilan devisa, mendorong ekspor (khususnya barang-barang hasil
industri kerajinan), dan mengubah struktur perekonomian ke arah yang
lebih berimbang.
Kegiatan pariwisata yang melibatkan usaha yang berskala
besar maupun Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang selanjutnya
disebut UMKM mempunyai peranan strategis dalam pembangunan
ekonomi nasional, oleh karena disamping berperan dalam pertumbuhan
4 Gelgel, I Putu, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi
Perdagangan Jasa (GATS-WTO) Implikasi Hukum dan Antisipasinya, PT. Refika
Aditama, Bandung, h. 23. (Selanjutnya disebut Gelgel I Putu I). Lihat juga Wyasa
Putra Ida Bagus, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata., PT. Refika Aditama,
Bandung, h. 17-18. (Selanjutnya disebut Wyasa Putra Ida Bagus II).
5 Pitana I Gede, 2006, Kepariwisataan Bali Dalam Wacana Otonomi
Daerah, Puslitbang Kepariwisataan Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, h.3. (Selnjutnya disebut Pitana
I Gede I).
6
ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam
pendistribusian hasil-hasil pembangunan.
Usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai bagian dari usaha
ekonomi kerakyatan penting untuk diberdayakan ditengah arus
perkembangan pariwisata. Dalam penyelenggaraan kepariwisataan di
era globalisasi, pemerintah perlu memberi dorongan agar kegiatan
usaha dibidang pariwisata dapat memberi peluang dalam pemberdayaan
ekonomi rakyat.6 Bila UMKM sebagai bentuk ekonomi kerakyatan tidak
diberikan peluang dan kurang diberdayakan, maka ia tidak akan
mempunyai daya saing ketika berhadapan dengan kekuatan ekonomi
global.
Sebagai daerah destinasi wisata utama di Indonesia dengan
sektor unggulan pariwisata, seperti Bali misalnya pernah mengalami
krisis ekonomi, seperti pada waktu ledakan bom di Jl. Legian Kuta
Tahun 2002 dan di Jimbaran tahun 2005, telah memporak-porandakan
perekonomian di Bali. Korporat, hotel, restoran, agen perjalanan, dan
aktivitas pariwisata lumpuh. Namun pada sisi lain UMKM mampu
bertahan ditengah-tengah krisis tersebut.7
6 Gelgel I Putu, 2006, Hukum Pariwisata Suatu Pengantar, Widya
Dharma, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, h. 29. (Selanjutnya disebut I
Putu Gelgel II).
7 Ibid. Lihat juga Wenegama I Wayan, Peranan Usaha Kecil dan
Menengah Dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Tingkat Pendapatan
Masyarakat Miskin di Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung , Buletin Studi
Ekonomi Volume 18 Nomor 1 Pebruari 2013, h. 79. Menurutnya krisis ekonomi
yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu, dimana usaha besar banyak yang
stagnasi dan bahkan berhenti aktivitasnya, sektor UMKM terbukti lebih tangguh
dalam menghadapi krisis tersebut. Oleh karena itu pemberdayaan perlu dilakukan
oleh pemerintah agar UMKM dapat lebih berkembang dan kompetitif bersama
pelaku usaha ekonomi lainnya.
7
Fakta menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang diciptakan
oleh kelompok UMKM jauh lebih banyak dibandingkan dengan tenaga
kerja yang bisa diserap oleh usaha besar. Karena itu, diharapkan
kelompok UMKM ini terus berperan optimal dalam upaya
menangulangi pengangguran yang jumlahnya cenderung meningkat
setiap tahunnya.8 Dengan banyak menyerap tenaga kerja berarti UMKM
yang bergerak di bidang usaha pariwisata mempunyai peran strategis
dalam upaya Pemerintah Daerah memerangi kemiskinan di daerah.
Bila dilihat dari eksistensi UMKM sebagai bagian dari ekonomi
kerakyatan9, telah menghadapi berbagai problematik, baik problematik
sosiologis, filosofis maupun yuridis, terkait dengan upaya
pemberdayaan UMKM dalam perekonomian nasional. Berbagai
problematik dimaksud penting kiranya untuk dikaji mengingat begitu
besarnya peran UMKM sebagai motor penggerak pembangunan
dibidang ekonomi.
Secara sosiologis problem yang dihadapi UMKM adalah masih
kurang maksimalnya perhatian dari pemerintah terhadap UMKM,
terutama dari segi akses permodalan usaha. Banyak produk deregulasi
yang justru mengorbankan pengusaha yang masuk kategori UMKM,
baik langsung maupun tidak langsung, padahal kalangan pengusaha ini
8 Tulus Tambunan, 2012, Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia,
Isu-isu Penting, LP3ES, Jakarta, h.XVI.
9 Ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya
pemberdayaan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia
usaha. Rakyat yang dimaksud dalam perekonomian di Indonesia adalah rakyat
yang berada pada kelas menengah ke bawah yang mendominasi, dengan modal
kecil, teknologi sederhana, dan pada sektor agraris. Lihat Tara, Azwir, 2001,
Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta, h. 1.
8
dalam pelbagai peristiwa justru menjadi penggerak utama kekuatan
sosial.10
Modal merupakan kunci dari berlangsungnya usaha, sebab
tanpa modal tidak mungkin UMKM dapat menjalankan usaha yang
diinginkannya. Fenomena yang dihadapi UMKM memang tidak hanya
menyangkut modal, tetapi juga lemah dari segi sumber daya manusia,
teknologi, manajemen, maupun akses pasar, sehingga sulit untuk
bersaing dan bermitra dengan usaha besar.11
Permasalahan utama UMKM saat ini utamanya terkait dengan
kesulitan dalam hal permodalan dan pemasaran. Menurut Ina Primiana,
beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan bagi UMKM terkait
permodalan, yaitu;
1. Kesulitan akses ke bank dikarenakan ketidakmampuan
dalam hal menyediakan persyaratan agar bankable.
Sebetulnya Bank Indonesia telah banyak membantu UMKM
agar dapat lebih mudah untuk mendapatkan akses kredit dari
bank, namun kenyataannya tidak semua UMKM dapat
memenuhi persyaratan collateral. Artinya masih lebih
banyak UMKM yang belum terjaring.
2. Ketidaktahuan UMKM terhadap cara memperoleh dana atau
modal dari sumber-sumber lain, selain perbankan yang
dapat menjadi sumber pembiayaan.
3. Tidak tersedianya modal pada saat pesanan datang. Artinya
mereka membutuhkan dana cepat untuk memenuhi pesanan.
Hal ini tidak mungkin bisa dipenuhi oleh perbankan, karena
10 Normin S. Pakpahan, Frans Limahelu, 1992, Peta Hukum Dibidang
Kegiatan Ekonomi, Suatu Studi Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha
Kecil dan Menengah pada Sepuluh Provinsi di Indonesia , Kantor Menko Ekuin
dan Pengawasan Pembangunan bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, h. 12.
11
Mohammad Jafar Hafsah, 2000, Kemitraan Usaha Konsepsi dan
Strategi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 67. Lihat juga Budi Rachmat, 2005,
Modal Ventura, Cara Mudah Meningkatkan Usaha Kecil dan Menengah , Ghalia
Indonesia, Bogor, h. 21.
9
pengajuan kredit bank membutuhkan waktu lama (bisa
mencapai 2 – 3 bulan).12
Terbatasnya akses pasar dan akses modal sebagaimana
dikemukakan tersebut di atas juga dialami oleh UMKM di bidang usaha
pariwisata. UMKM merupakan fenomena baru dimana eksistensinya
dalam perekonomian Indonesia, menjadi isu penting sebagai pilar
ekonomi disamping BUMN, Badan Usaha Swasta, dan bentuk badan
usaha lainnya. Namun kenyataannya keberadaan UMKM masih sebagai
kelompok usaha yang terpinggirkan dalam situasi kerasnya menghadapi
persaingan bisnis domestik dan free trade global seperti Asean China
Free Trade Agreement (ACFTA).13
Bila dicermati dalam masyarakat ada beberapa fakta
yang menunjukkan kelompok UMKM dibidang pariwisata terpinggirkan
dan kalah bersaing dengan pelaku usaha besar, yaitu;
1. Pedagang kaki lima dan pedagang acung kelompok UMKM penjual
barang-barang kerajinan yang dikejar-kejar Satpol PP ketika
menggelar dagangannya didepan atau disekitar Artshop yang
notabena milik pelaku usaha besar. Disini tentu perlu dipertanyakan
tentang policy atau kebijakan Pemerintah Daerah dalam
pembangunan ekonomi daerah yang sering mewacanakan slogan
12 Ina Primiana, 2009, Menggerakkan Sektor Riil UKM dan Industri ,
Alfabeta, Bandung, h. 49-50
13
Retno Murni et. all., Eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Sebagai Penopang Industri Pariwisata Berkelanjutan di Bali , Jurnal Elmiah
Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 36 No.2
September 2011, h. 103.
10
"community base tourism" atau pariwisata berbasis masyarakat dan
pembangunan ekonomi kerakyatan. Semestinya para pedagang
acung dan pedagang kaki lima ini difasilitasi akses pasarnya dengan
menyediakan tempat berusaha untuk mereka, sehingga yang
bersangkutan dapat ikut menikmati kemajuan ekonomi akibat
pengaruh pariwisata.
2. Menjamurnya Artshop atau toko oleh-oleh yang menjual segala
macam jenis souvenir dan makanan khas daerah setempat.
Keberadaan mereka ini jelas-jelas telah mematikan pasar tradisional
dan pasar seni yang umumnya terdiri dari para UMKM. Menyikapi
fenomena tersebut, yang perlu dipertanyakan adalah mengenai
keberpihakan dari Pemerintah Daerah yang nyata-nyata masih pada
pelaku usaha besar. Pemerintah Daerah dan para pengusaha besar
kurang memperhatikan kepentingan masyarakat yang pada
umumnya sebagian besar terdiri dari UMKM.
3. Kondisi dibiarkannya hotel-hotel yang menjadikan dirinya sebagai
tempat eksklusif menyediakan segala kebutuhan wisatawan, mulai
dari makanan, souvenir, pakaian dan yang lainnya, sehingga hampir
tidak ada sepeserpun uang wisatawan bisa dinikmati oleh UMKM.
Pertanyaannya kenapa hotel sebagai tempat menginap justru
sekaligus sebagai tempat berdagang dengan merampas lahan
11
tempat usaha masyarakat tradisional. Kondisi seperti ini
bertentangan dengan prinsip "community base tourism".14
4. Kendala dan keterbatasan permodalan yang dialami oleh UMKM
yang menyulitkan dirinya untuk bisa tumbuh dan berkembang secara
wajar. Adanya order yang cukup besar dari pelanggan seringkali
ditolak karena modal tidak mencukupi. Setiap pengajuan pinjaman
melalui perbankan atau koperasi sering ditolak karena terkendala
agunan.15
Agunan merupakan barang-barang kebendaan milik debitur
yang dijadikan jaminan untuk melunasi utangnya.16
Pengertian agunan
seperti diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 yaitu ; a. Merupakan jaminan tambahan, b. Benda/barang milik
nasabah debitur yang diserahkan kepada bank/kreditur, c. Untuk
mendapatkan fasilitas kredit/ pembiayaan.17
Fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan betapa lemahnya
posisi UMKM dari segi akses pasar karena tidak mampu bersaing
dengan usaha besar yang bermodal kuat yang memiliki segala
14 Sutjipta I Nyoman, 2005, Pariwisata Revolusi di Pulau Dewata ,
Universitas Udayana, Denpasar, h. 62. Menurut Sutjipta “Community Base
Tourism” adalah pariwisata yang berbasiskan kerakyatan atau pembangunan
ekonomi kerakyatan, yang sering diwacanakan oleh para Pejabat Pemerintah dan
para pengusaha pariwisata. Berbagai fakta di lapangan menunjukkan adanya
kebijakan pariwisata yang dipertanyakan berpihak kemanakah pemerintah yang
membuat “policy” atau kebijakan dalam bidang pariwisata ?
15
Kipas Lukis Payangan Terkendala Modal, Nusa Bali, 28 Januari 2014.
16
Suhariningsih, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Kredit
Dengan Jaminan Barang Inventory dalam Bingkai Jaminan Fidusia , Universitas
Wisnuwardana Press, Malang, h.19-20.
17
Ibid, Menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Udang Nomor 10 Tahun 1998,
Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank
dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah.
12
keunggulan. Tidak hanya akses pasar, UMKM juga lemah dari akses
permodalan. Peranan modal menjadi sangat besar ketika UMKM akan
ikut berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi sebagai dampak dari
kegiatan pariwisata. Disini terasa betapa sulitnya kelompok usaha ini
untuk mengembangkan usaha mereka karena adanya kendala dalam
penyediaan modal.
Kebutuhan dan pentingnya modal bagi UMKM dibidang usaha
pariwisata yang pada umumnya dilakoni oleh masyarakat lokal juga
diungkapkan oleh I Nyoman Madiun sebagai berikut :
Tidak dapat dihindari untuk melakukan diversifikasi produk
wisata, syarat utamanya adalah tersedianya cukup modal.
Demikian pula halnya, ketika masyarakat lokal harus
melakukan diversifikasi terhadap berbagai sumber daya yang
dimiliki sebagai dampak meningkatnya kebutuhan wisatawan
maupun masyarakat pendatang lainnya, peningkatan kebutuhan
modal tersebut tidak dapat dihindari.18
Tidak hanya sekedar terkendala modal, akibat derasnya aliran
modal dari luar, masyarakat lokal yang notabena usaha kecil tidak
mampu bersaing dengan pemilik modal dari luar tersebut yang tidak
hanya menekuni usaha-usaha besar, tetapi juga mengambil alih usaha-
usaha berskala kecil yang pada mulanya dilakukan oleh masyarakat
lokal.
Kurangnya permodalan dan terbatasnya akses permodalan
merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan unit
usaha UMKM.19
Akses UMKM untuk mendapatkan modal yang berupa
18 Madiun I Nyoman, 2010, Nusa Dua Model Pengembangan Kawasan
Wisata Modern, Udayana University Press, h. 170.
19
http : //usahamodalkecil31.blogspot.com/2012/08kendalausahakecil
menengah dan solusi.html, diakses tanggal 20 Juni 2013.
13
kredit dari bank sangat sulit untuk didapat, mengingat adanya
persyaratan administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat
dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar adalah adanya
ketentuan mengenai agunan, karena tidak semua UMKM memiliki harta
yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.20
Sesungguhnya akses terhadap modal merupakan hak UMKM,
karena merupakan bagian dari hak azasi manusia (HAM), yaitu hak
ekonomi yang perlu diperjuangkan dalam konteks pembangunan
dibidang ekonomi. Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat), sehingga jelas bahwa jaminan hukum terhadap hak azasi
manusia pasti dijunjung tinggi dan hak-hak azasi manusia, terutama
hak-hak ekonomi dihormati dan dilindungi.21
Pengertian hak-hak ekonomi cakupannya sangat luas, yang
pada dasarnya berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Menurut
A.A. Baramuli secara umum hak-hak ekonomi dapat dirumuskan
sebagai berikut;
Hak-hak azasi untuk hidup, hak memperoleh kehidupan yang layak, hak memperoleh pekerjaan dan upah yang wajar, hak memperoleh pendidikan, hak membangun atau turut dalam proses pembangunan negaranya, hak kaum lemah untuk dilindungi, hak persamaan akses dibidang ekonomi, hak persamaan kesempatan dalam tender/suplai kepada pemerintah, dan banyak lagi hak-hak
20 Ibid.
21
Dalam suatu negara hukum, salah satu unsurnya adalah adanya
pengakuan dan jaminan Hak Azasi Manusia (HAM). Seperti dikemukakan ahli
hukum Carl J. Frederick Jalius Starl, sebagaimana dikutip Moch. Mahfud MD,
mengemukakan ciri-ciri rechtstaat/negara hukum adalah; 1) Adanya pengakuan
hak-hak dasar manusia/hak-hak azasi manusia. 2) Adanya pembagian kekuasaan
untuk menjamin hak azasi manusia. 3) pemerintah berdasarkan peraturan -
peraturan. 4) Peradilan administrasi dalam perselisihan/ Adanya peradilan Tata
Usaha Negara. Lihat Moch. Mahfud MD, 2001, Demokrasi dan Konstitusi
Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan , PT.
Rineka Cipta, Jakarta, h. 28. (Selanjutnya disebut Moch. Mahfud MD. I)
14
yang diatur dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan, merupakan hak-hak azasi manusia sekaligus hak-hak ekonomi.
22
Pembangunan ekonomi sesungguhnya bertujuan untuk memenuhi
hak-hak ekonomi dari setiap orang sesuai dengan prinsip persamaan,
pemerataan, dan berkeadilan. Oleh karenanya kecenderungan
pembangunan ekonomi yang hanya menguntungkan golongan kuat harus
dikoreksi. Keseimbangan golongan kuat dan lemah harus diupayakan
melalui penyediaan perangkat hukum yang memadai yang memberikan
peluang terhadap kelompok lemah untuk memenuhi hak-hak ekonominya.
Selanjutnya dari segi filosofis, problematik yang dihadapi adalah
apa yang sudah diatur dalam Konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945
ditingkat implementasi belum sepenuhnya dapat diwujudkan oleh para
pengambil kebijakan berkaitan pembangunan dibidang ekonomi dengan
prinsip demokrasi ekonomi. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang
Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial mengatur sebagai berikut;
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
22 Baramuli A.A., 1977, Hak-Hak Azasi Manusia Dalam Konteks Hak-
Hak Ekonomi, Dalam Hak Azasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia ,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 129.
15
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sendi utama
politik ekonomi Indonesia. Ketentuan pasal ini mestinya menjiwai para
penentu kebijakan dibidang ekonomi. Apa yang tertuang dalam pasal 33
Batang Tubuh dan Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 tidak terurai secara substansial dan nyata dalam berbagai regulasi
dan kebijakan pemerintah.23
Sistem Ekonomi Kerakyatan hanya sebatas
wacana dan belum sepenuhnya berpihak pada Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM).
Hingga saat ini Indonesia menurut Bernhard Limbong justru
sangat giat mengembangkan ekonomi konglomerasi yang digerakkan
kapital global,24
yang berpihak pada usaha berskala besar yang
dipandang bisa memberikan kontribusi yang menguntungkan bagi
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional. Akibat dari semua
itu, ekonomi kerakyatan yang didasarkan demokrasi ekonomi menjadi
terpinggirkan dan UMKM tidak dapat ikut menikmati kesempatan dan
peluang yang sama seperti usaha besar.
Demokrasi ekonomi yang berintikan keadilan belum
sepenuhnya dapat diwujudkan bila dikaitkan dengan hak UMKM untuk
mendapatkan akses modal (capital) maupun akses pasar. Peluang dan
kesempatan UMKM untuk mendapatkan akses modal maupun akses
23 Bernhard Limbong, tanpa tahun, Ekonomi Kerakyatan dan
Nasionalisme Ekonomi, Margaretha Pustaka, Jakarta, h. iii.
24
Ibid.h.ii. Kapital global dapat pula dikaitkan dengan Kapitalisme Pasar
Bebas. Kehadiran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan antisipasi
terhadap kapitalisme pasar bebas. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sangat
sejalan dengan dengan visi membangun negara Indonesia Merdeka yaitu
masyarakat adil dan makmur. Dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 itu
yang paling diutamakan adalah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini
sangat berbeda dengan visi kapitalisme pasar bebas. Lihat juga Mubyarto, 1987,
Ekonomi Pancasila; Gagasan dan Kemungkinan , Pustaka LP3ES, Jakarta, h. 57-
58.
16
pasar sangat kecil bila dibandingkan usaha besar, sehingga
menimbulkan kesenjangan dan ketidakseimbangan dalam bidang
ekonomi.
Bila dikaitkan manfaat pembangunan dibidang ekonomi,
terutama akibat pengaruh pariwisata, hendaknya manfaat itu dapat
dinikmati secara merata dan dapat didistribusikan secara adil antara
usaha besar dan usaha kecil. Seperti dikemukakan oleh K. Sukardika
sebagai berikut;
Dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan, salah satunya
harus memenuhi kriteria equalitas, yaitu keadilan, dalam arti
pemerataan kesempatan untuk ambil bagian dalam berusaha,
atau menikmati berbagai manfaat pembangunan. Manfaat
pembangunan ekonomi harus didistribusikan secara adil, dan
mereka yang menderita (the needy) harus mendapat prioritas
lebih tinggi didalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan.25
Terkait dengan hak UMKM atas akses modal yang merupakan
bagian terpenting dari pemberdayaan UMKM, perlu kiranya dicermati
beberapa peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, guna
mengetahui problematik yuridis yang dihadapi dalam upaya
pemberdayaan UMKM. Adapun peraturan perundang-undangan yang
dimaksud diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009
Tentang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008
Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Undang-Undang Nomor 10
25 Sukardika K., 2004, Menata Bali ke Depan Kebijakan Kultural,
Pendidikan dan Agama, CV. Bali Media Adhikarsa, Denpasar, h. 78-79, Lebih
lanjut Sukardika juga menyatakan bahwa distribusi manfaat ekonomi yang
dibawa oleh pariwisata masih terlihat timpang, terutama antara masyarakat lokal
dengan kapitalis dari luar maupun antar golongan di masyarakat, Ibid., h . 84.
17
Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal.
Ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan mengatur tentang kewajiban Pemerintah dan
Pemerintah Daerah untuk mengembangkan dan melindungi UMKM dan
koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan membuat kebijakan
pencadangan usaha dan memfasilitasi kemitraan UMKM dengan usaha
skala besar.26
Selengkapnya ketentuan pasal 17 dimaksud adalah
sebagai berikut;
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan
melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dalam
bidang usaha pariwisata dengan cara :
a. Membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk
usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, dan
b. Memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah
dan koperasi dengan usaha skala besar.
Ketegasan tentang pemberdayaan UMKM ini juga dapat dilihat
pada penjelasan umum dari Undang-undang Nomor 10 tahun 2009
Tentang Kepariwisataan. Pembangunan kepariwisataan juga
berorientasi pada upaya pemberdayaan usaha mikro, kecil dan
menengah didalam dan disekitar destinasi pariwisata. Pada Undang-
Undang Pariwisata yang baru (Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009)
26 Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan
Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 67.
18
tampak adanya upaya Pemerintah untuk mendorong usaha mikro, kecil
dan menengah agar dapat tumbuh dan berkembang sehubungan dengan
usaha yang dijalankan di bidang pariwisata.
Ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Kepariwisataan tidak
mengatur secara jelas tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dibidang permodalan UMKM. Ketentuan pasal ini hanya
mengatur kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
membuat kebijakan pencadangan usaha dan kemitraan usaha bagi
UMKM. Dalam kerangka liberealisasi dibidang pariwisata tentu
sangat dibutuhkan adanya modal bagi UMKM agar dapat bersaing
dengan usaha besar.
Masalah yang berkaitan dengan modal yang dibutuhkan
UMKM dapat ditemui pengaturnya dalam ketentuan Pasal 61
Undang-Undang Kepariwisataan, yang menyatakan bahwa Pemerintah
dan Pemerintah Daerah memberikan peluang pendanaan bagi usaha
mikro dan kecil dibidang kepariwisataan. Apa yang diatur dalam Pasal
61 hanya diperuntukkan bagi usaha mikro dan kecil saja dan tidak untuk
usaha menengah. Selain itu tidak jelas dirumuskan tentang kewajiban
dari Pemerintan dan Pemerintah Daerah dibidang penyediaan dana bagi
UMKM. Apa bentuk dan bagaimana cara mendapatkan peluang
pendanaan tersebut juga tidak dijabarkan secara kongkrit.
19
Liberalisasi pariwisata tentu menghadirkan pengusaha atau
pemasok jasa asing di Indonesia yang umumnya dapat diklasifikasikan
sebagai usaha berskala besar.27
Dengan lompatan teknologi yang
dimiliki, pendanaan (modal) yang tidak terbatas dan skill yang
mumpuni, tentu tidaklah adil jika mereka nantinya bersaing dengan
UMKM yang menjadi porsi terbesar dari bentuk usaha di Indonesia.28
Pemerintah sebagai representasi negara kesejahteraan (welfare
state) sudah barang tentu wajib melindungi keberadaan UMKM
sehingga tidak tereliminasi di negara mereka sendiri. Perlu diketahui,
yang dihadapi UMKM tidak saja pelaku usaha besar asing, tetapi juga
pelaku besar domestik yang bermodal kuat. Guna meningkatkan daya
saing, maka UMKM perlu diperkuat struktur permodalannya dengan
membuka peluang seluas-luasnya untuk mendapatkan akses permodalan
usaha.
Intervensi atau campur tangan pemerintah sangat diperlukan
dengan membuka akses untuk mendapatkan modal bagi UMKM,
sehingga ada permainan atau pertarungan yang seimbang dalam
mekanisme pasar. Pemerintah perlu mengambil kebijakan serta
membuat peraturan perundang-undangan yang mengarah pada
perlindungan pihak yang lemah.
27 Parikesit Widiatedja IGN., 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata,
Konstruksi Konsep Ragam Masalah dan Alternatif Solusi , Udayana University
Press, Denpasar, h. 99. (Selanjutnya disebut Parikesit Widiatedja IGN. I).
28
Ibid.
20
Kondisi tidak seimbang ini tidak dapat dibiarkan terus tanpa
intervensi pemerintah. Strategi pembiaran dengan tingkat intervensi
yang amat minimal dapat menjadi bumerang karena tingkat ajang
pertarungan yang seimbang (level playing) dalam mekanisme pasar
masih belum tercipta.29
Apabila tidak ada akses bagi semua pihak untuk
dapat berperan serta dan punya kesempatan yang sama dalam kegiatan
ekonomi, maka pasar akan bermanifestasi sebagai alat perampasan
ekonomi. Kalau sudah seperti itu, maka disitulah ketimpangan
pendapatan dan kepincangan kesejahteraan dimulai.30
Dalam rangka pemberdayaan UMKM, maka disusunlah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah. Masalah yang menyangkut pembiayaan bagi UMKM
dengan melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dalam
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 24,
yang selengkapnya menyatakan;
Pasal 21 ayat (1);
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan
bagi usaha mikro dan kecil
Pasal 21 ayat (4);
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat
memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan
mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak
mengikat untuk usaha mikro dan kecil.
Pasal 22;
Dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro
dan Usaha Kecil, pemerintah melakukan upaya;
29 Bustanul Arifin, Didik KJ. Rachbini, 2001, Ekonomi Politik dan
Kebijakan Publik, PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta, h. 107.
30
Amartya Sen, Suara Kaum Jelata dari Tanah Damai, Tempo, 9
Desember 2001, h. 76 – 77. Lihat juga Parikesit Widiatedja IGN. I, Op.Cit, h. 12.
21
a. Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan
dan lembaga keuangan bukan bank.
b. Pengembangan lembaga modal ventura
c. Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang,
d. Peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil
melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan
konvensional dan syariah, dan
e. Pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23 ayat (1);
Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap
sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud Pasal 22
Pemerintah dan Pemerintah Daerah ;
a. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan
lembaga keuangan bukan bank.
b. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas
jangkauan lembaga penjamin kredit, dan
c. Memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi
persyaratan untuk memperoleh pembiayaan.
Pasal 24;
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan
usaha menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan
dengan;
a. Memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan
modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan
pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga
pembiayaan lainnya; dan
b. Mengembangkan lembaga penjamin kredit, dan
meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor.
Ketentuan Pasal 21 ayat (1) khusus ditujukan untuk usaha
mikro dan kecil yang memuat ketentuan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan untuk kelompok usaha
tersebut. Ketentuan pasal ini tidak jelas dan tegas menyatakan
penyediaan pembiayaan itu sebagai kewajiban dari Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
22
Selanjutnya apa yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4), disamping
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dunia usaha juga dapat
memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, serta
mengusahakan sumber pembiayaan lain bagi usaha mikro dan kecil.
Kata “dapat” yang dirumuskan dalam pasal ini mengandung arti ganda,
sehingga menimbulkan penafsiran, bahwa Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dunia usaha, “dapat” dan bisa juga “tidak” memberikan hibah,
mengusahakan bantuan luar negeri, serta mengusahakan sumber
pembiayaan lain bagi usaha mikro dan kecil.
Kemudian ketentuan Pasal 22 mengatur tentang upaya untuk
meningkatkan sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil
oleh Pemerintah. Sumber-sumber pembiayaan dimaksud meliputi kredit
perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, modal ventura, anjak
piutang, koperasi simpan pinjam dan pengembangan sumber
pembiayaan lainnya.
Guna meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap
pembiayaan, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah berdasarkan
Pasal 23 ayat 1 mengembangkan dan memperluas jaringan lembaga
keuangan bukan bank, memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit,
serta memberi kemudahan persyaratan dalam memperoleh pembiayaan.
Secara khusus ketentuan Pasal 24 mengatur pemberdayaan
terhadap usaha menengah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah
23
melakukan pemberdayaan dalam bidang pembiayaan dan penjaminan
dengan meningkatkan pembiayaan modal kerja, akses pembiayaan
melalui pasar modal, lembaga pembiayaan lainnya serta
mengembangkan lembaga penjamin kredit.
Apa yang diatur dalam beberapa pasal dari Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah
tersebut diatas tidak mengatur secara jelas dan eksplisit peran
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyediaan modal bagi
UMKM. Seharusnya masalah akses pendanaan atau modal merupakan
bagian dari pengembangan usaha perlu diatur secara jelas dan
operasional. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 belum menjawab
secara riil bagaimana UMKM mendapatkan akses modal atau
pembiayaan dengan mudah dengan mempertimbangkan karakteristik
dari UMKM itu sendiri.
Selain itu, kejelasan mengenai agunan dan bentuk jaminan yang
menjadi persoalan utama tidak dijabarkan secara kongkrit dalam
Undang-Undang ini. Seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya
bahwa salah satu kendala UMKM untuk mendapatkan akses kredit atau
pembiayaan dari lembaga perbankan disebabkan karena ketiadaan
agunan sebagai salah satu persyaratan yang ditetapkan untuk
mendapatkan kucuran kredit atau pembiayaan.
Bila dikaitkan dengan pengembangan usaha dan juga
mengemban misi pelestarian predikat ketangguhan, UMKM
24
mengharapkan kemudahan-kemudahan yang berkenaan dengan
peningkatan modal. Untuk maksud ini akses ke lembaga perbankan
sebagai sumber utama pembiayaan bagi UMKM seharusnya dibuka
selebar-lebarnya.31
Namun sayang harapan ini belum terakomodir
pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008.
Selain itu, khusus dalam kontek penjaminan kredit bagi usaha
mikro dan kecil diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang
UMKM dan untuk usaha menengah diatur dalam Pasal 24 huruf b
Undang-Undang UMKM. Kedua ketentuan pasal tersebut memberikan
peluang terbentuknya lembaga penjaminan kredit dengan Pemerintah
Daerah bertindak sebagai penjamin kredit. Dengan adanya penjaminan
kredit ini maka terbuka peluang bagi UMKM untuk mendapatkan akses
modal melalui fasilitas kredit dari perbankan.
Bila dicermati apa yang diatur dalam ketentuan pasal 23 ayat
(1) huruf b dan pasal 24 huruf b Undang-Undang UMKM tersebut
bertentangan dan tidak sinkron dengan ketentuan pasal 55 ayat 1
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang menyatakan
Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman
31 Yohanes Usfunan, et. al., 2007, Kajian Penggunaan Dana Pemerintah
Daerah Untuk Penjaminan Kredit UMKM, Bank Indonesia – Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, h. 2. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ketangguhan
usaha yang telah dibuktikan, sehingga rata-rata masih tetap eksis hingga saat ini
merupakan sifat yang paling karakteristik atau sudah menjadi jati diri UMKM.
Karakter tersebut memang dibangun dari tekad untuk bersungguh-sungguh dan
kemandirian dalam berusaha. Ketidakmampuan menyediakan agunan atau
jaminan pada akhirnya menjadi masalah yang paling mendasar bagi UMKM, dan
oleh karena itu sangat diperlukan kebijaksanaan pembinaan dari pemerintah.
25
pihak lain. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa Pemerintah
Daerah tidak dapat bertindak sebagai penjamin kredit UMKM. Tidak
diperbolehkannya Pemerintah Daerah sebagai penjamin atas pinjaman
pihak lain juga diatur dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.
Pengembangan UMKM didaerah memerlukan Lembaga
Penjaminan Kredit (LKP) dalam memperoleh akses permodalan dari
perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya.32
Saat ini sudah banyak
Pemerintah Daerah menjalankan bisnis penjaminan kredit UMKM di
daerah yang bekerjasama dengan LPK, namun perkembangannya relati f
lambat dan belum optimal menjamin kredit UMKM. Salah satu
permasalahannya adalah masih adanya keraguan Pemerintah Daerah
untuk bertindak sebagai penjamin karena adanya ketentuan yang
bertentangan (konflik) dan tidak harmonis tersebut, yaitu antara
ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf b dan Pasal 24 huruf b Undang-
Undang UMKM disatu pihak dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 30 tahun 2011 di pihak lain.
32 Pengembangan Lembaga Penjaminan Kredit di daerah ini juga diatur
dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2007. Melalui Inpres ini diinstruksikan kepada
sejumlah institusi dan lembaga terkait, termasuk Pemerintah Daerah untuk
melakukan Penguatan Permodalan bagi UMKM. Kebijakan tersebut
mengharuskan peningkatan peran Lembaga Penjaminan Kredit bagi UMKM,
seperti Perum sarana Pengembangan Usaha (SPU) dan PT Asuransi Kredit
Indonesia (Askrindo). Beberapa Daerah merespon kebijakan tersebut dengan cara
mendirikan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) dan menyertakan
permodalannya.
26
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 angka 2 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak. Terkait dengan peningkatan taraf hidup rakyat dan guna
mengembangkan sektor koperasi dan golongan ekonomi lemah atau
usaha kecil, maka ketentuan Pasal 12 dan Penjelasannya dari Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengaturnya sebagai berikut :
Pasal 12
(1) Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf
hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha
kecil dan menengah, Pemerintah bersama Bank Indonesia
dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum.
(2) Ketentuan mengenai kerjasama dengan Bank Umum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 12 ayat (2);
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah memuat antara lain;
a. Kewajiban Bank Umum untuk menyalurkan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada koperasi,
usaha kecil dan menengah dengan prosedur dan persyaratan
yang mudah dan lunak.
b. Program peningkatan taraf hidup rakyat banyak yang berupa
penyediaan kredit dengan bunga rendah atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dengan tingkat bagi hasil yang
rendah.
c. Subsidi bunga atau bagi hasil yang menjadi beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
Perkembangan layanan pemberian kredit yang beraneka ragam
coraknya memberikan peluang kepada siapa saja pelaku usaha untuk
mendapatkan tambahan modal melalui pinjaman yang disediakan
27
bank.33
Pihak perbankan tanpa diskriminasi memberi kesempatan
kepada pelaku usaha besar maupun pelaku usaha kecil untuk
mendapatkan fasilitas kredit, dan bahkan memprioritaskan bagi
pengusaha kecil dan menengah. Hal mana ditegaskan dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai berikut ;
Peranan perbankan nasional perlu ditingkatkan sesuai dengan
fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat dengan lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan
sektor perekonomian nasional dengan prioritas kepada koperasi,
pengusaha kecil dan menengah, serta berbagai lapisan
masyarakat tanpa diskriminasi sehingga akan memperkuat
struktur perekonomian nasional.
Merujuk kepada ketentuan Pasal 12 ayat (2) dan Penjelasannya
dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, sesungguhnya merupakan
kewajiban dari bank umum untuk menyediakan atau menyalurkan
kredit/pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah dengan prosedur
dan persyaratan yang mudah dan lunak. Hanya saja persoalannya
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ketentuan pasal 12
ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum diterbitkan.
Meskipun Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal
12 ayat (2) hingga kini belum terbentuk, namun Bank Indonesia telah
menerbitkan Peraturan BI Nomor 14/22/PBI/2012, yang dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dari Peraturan tersebut dinyatakan bahwa
Bank Umum wajib memberikan kredit atau pembiayaan UMKM. Yang
menjadi pertanyaan kenapa kewajiban Bank Umum itu tidak diatur
dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan Pasal 12
ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
33 Suhariningsih, Op.Cit. h.1
28
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menunjukkan adanya norma kabur, karena tidak memberikan
kejelasan tentang akses UMKM untuk mendapatkan modal melalui
fasilitas kredit yang disalurkan perbankan kepada masyarakat. Melalui
ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
hanya mengatur tentang kemungkinan Pemerintah bersama BI
melakukan kerjasama dengan Bank Umum dalam rangka pemberdayaan
UMKM, dan apa bentuk dari kerjasama itu tidak disebutkan secara
jelas.
Dalam upaya mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemerintah melalui
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga
memberikan perhatian terhadap bidang usaha yang dijalankan oleh
UMKM. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan
persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu
perlindungan sumber daya alam, perlindungan pengembangan UMKM
dan Koperasi.34
Terkait dengan pengembangan penanaman modal bagi
UMKM dan Koperasi dalam Pasal 13 Undang-Undang Penanaman
Modal diatur hal-hal sebagai berikut :
(1) Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang
dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah dan
koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar
34 Lihat ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf g dan huruf h Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
29
dengan syarat harus bekerjasama dengan usaha mikro, kecil,
menengah dan koperasi.
(2) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha
mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui program
kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan
inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi
yang seluas-luasnya.
Apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang
Penanaman Modal hampir mirip dengan apa yang diatur dalam pasal 17
Undang-Undang Kepariwisataan berkaitan dengan upaya pemberdayaan
UMKM. Undang-Undang Penanaman Modal hanya mengatur tentang
kewajiban pemerintah untuk menetapkan bidang usaha yang
dicadangkan untuk UMKM, dan bidang usaha yang terbuka untuk usaha
besar dengan syarat harus bekerjasama dengan UMKM. Selain itu,
pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan UMKM melalui
Program Kemitraan dan perluasan pasar.
Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Penanaman Modal tidak
mengatur tentang peran Pemerintah dalam penyediaan modal bagi
UMKM, padahal modal adalah merupakan asset dalam bentuk uang,
barang, atau hak-hak yang sangat dibutuhkan oleh UMKM dalam
merintis usahanya. Selain itu, dalam rangka mendorong pengembangan
ekonomi kerakyatan (ekonomi UMKM), sudah menjadi kewajiban
pemerintah untuk menyediakan atau memfasilitasi UMKM untuk
mendapatkan akses permodalan.
Sebetulnya kebutuhan hukum yang dapat membantu
kepentingan UMKM dibidang akses modal tidak sepenuhnya terletak
dibidang kekurangan peraturan perundang-undangan. Penelusuran
30
terhadap beberapa peraturan, seperti; Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 Tentang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal, tidak diragukan tentang adanya niat
Pemerintah dalam pemberdayaan terhadap UMKM. Hanya saja dari
peraturan perundang-undangan tersebut tampak adanya problem norma
yang menjadi salah satu kendalanya, dimana rumusan normanya ada
yang tidak jelas, mengandung arti ganda (ambigu), maupun konflik
norma, dalam arti rumusan normanya tidak sinkron karena bertentangan
antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya.
Secara teoritis peraturan perundang-undangan merupakan suatu
sistem yang tidak menghendaki dan tidak membenarkan adanya
pertentangan antara unsur-unsur atau bagian-bagian didalamnya.35
Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas,
harmonis dan terintegrasi menjadi sangat diperlukan untuk mewujudkan
ketertiban, menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum
terhadap UMKM.
Selain itu bila melihat karakteristik UMKM, maka problem
umum UMKM, termasuk mereka yang bergerak di sektor pariwisata
adalah rendahnya kapasitas produksi, lemahnya daya saing, terbatasnya
35 Kusno Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum Mewujudkan
Tata Pemerintahan Yang Baik, Nasa Media, Malang. h.7
31
akses pasar, dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang
bergerak dalam bidang ini. Masalah tersebut bersumber dari berbagai
sebab yang terus berkembang, mulai dari masalah pemarginalan melalui
kebijakan pemerintah sampai pada masalah keterbatasan akses modal
dan keterbatasan kapasitas mengelola modal.
Sebab-sebab masalah sebagaimana dimaksud telah diatasi
dengan berbagai regulasi dan kebijakan baik yang sifatnya internasional
maupun domestik masing-masing negara. Seperti misalnya untuk
Indonesia telah diterbitkan berbagai Peraturan Perundang-Undangan,
seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-
Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentnag
Penanaman Modal mengatur tentang kewajiban Pemerintah dan
Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan tentang pencadangan
usaha dan program kemitraan bagi UMKM. Sementara ketentuan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
32
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM, Undang-Undang Nomor
1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, dan Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, mengatur
tentang akses UMKM untuk mendapatkan pembiayaan atau modal.
Akses untuk mendapatkan modal bagi UMKM sudah diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun UMKM tetap tidak
berdaya karena tidak dapat mengelola modal dengan baik, sehingga
tidak mampu menjaga keberlanjutan usaha. Ketidakberdayaan UMKM
yang telah mendapat penguatan modal disebabkan karena kelemahan
pengetahuan, teknologi, akses pasar, jaringan usaha, jaringan informasi,
sistem kelembagaan usaha, Sumber Daya Manusia, yang merupakan
bentuk lain dari modal selain uang, atau modal dalam pengertian yang
luas.
Peraturan perundang-undangan memang telah mengatur akses
UMKM atas modal, namun akses itu belum mencakup modal dalam
pengertian yang luas. Kebijakan akses modal menggunakan konsep
modal dalam arti sempit, yaitu terbatas pada modal dalam bentuk uang,
sehingga kebijakan akses modal UMKM sepenuhnya berorientasi pada
pengaturan atas akses modal dan realisasi modal, tetapi tidak mencakup
pengaturan terhadap upaya-upaya penguatan UMKM dalam mengelola
modal dan memelihara keberlanjutan usaha.
33
Menyikapi fenomena pengaturan UMKM seperti itu, maka
perlu diteliti lebih jauh mengenai sebab-sebab mengapa UMKM dalam
kondisi tidak berdaya dan masih sulit untuk untuk mendapatkan modal,
padahal akses untuk mendapatkan modal sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan di
atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah penelitian
sebagai berikut :
1. Mengapa peraturan perundang-undangan yang ada belum menjamin
dapat terwujudnya hak UMKM atas akses modal dibidang usaha
pariwisata ?
2. Bagaimana formulasi Pengaturan dalam rangka mewujudkan hak
UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan
penelusuan guna menemukan, menganalisis secara mendalam
dan komprehensif tentang pengaturan hak Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) atas akses modal dalam
penyelenggaraan usaha dibidang pariwisata.
34
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus atau tujuan spesifik dari penelitian ini
adalah;
1. Untuk menemukan dan menganalisis secara mendalam
tentang kondisi peraturan perundang-undangan yang ada
dalam rangka menjamin diwujudkannya hak UMKM atas
akses modal dibidang usaha pariwiata.
2. Untuk menemukan, menganalisis dan memformulasikan
pengaturan dalam rangka mewujudkan hak UMKM atas akses
modal dibidang usaha pariwisata.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian dalam rangka penulisan disertasi ini mempunyai
manfaat teoritis maupun manfaat praktis. Secara teoritis penelitian ini
bermanfaat untuk pengembangan keilmuan, khususnya pengembangan
ilmu hukum dalam kaitannya dengan hak UMKM atas akses mereka
terhadap modal dalam penyelenggaraan usaha dibidang pariwisata.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam
merumuskan dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hak UMKM atas akses modal dibidang usaha dibidang
pariwisata.
35
1.5 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan ada
beberapa hasil penelitian disertasi yang telah dilakukan oleh peneliti
terdahulu berkaitan dengan penulisan disertasi ini, namun berbeda baik
dari segi substansi maupun permasalahan pokok yang dikaji.
Sebagai sumber informasi dan referensi dalam melakukan
penelitian, sehingga nantinya hasil penelitian disertasi ini dapat
dipertanggungjawabkan tingkat keasliannya (orisinalitasnya), maka
berikut ini dipaparkan beberapa hasil penelitian disertasi terdahulu
sebagai berikut;
1. Penelitian Disertasi tentang Politik Hukum Integratif Pengembangan
Daya Saing Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Era
Liberalisasi Ekonomi Serta Implementasinya di Indonesia Ditinjau
dari Perspektif Teori Negara Kesejahteraan Berdasarkan Pancasila,
oleh Ade Komarudin dengan tiga permasalahan pokok yang dikaji
yaitu; 1) Bagaimana pengembangan daya saing UMKM pada era
liberalisasi dikaitkan dengan politik hukum integrati f bidang
UMKM, 2) Bagaimana akibat hukum peraturan perundang-undangan
bidang UMKM yang tidak terintegrasi terhadap keadilan bagi semua
pelaku usaha, 3) Bagaimana konsep politik hukum integratif
pengembangan daya saing UMKM pada era liberalisasi berdasarkan
keadilan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
36
2. Penelitian Disertasi tentang "Membangun Kapabilitas Inovasi
UMKM, Peranan Kualitas Kemitraan antara Usaha Kecil dan
Menengah dengan Usaha Besar pada Industri Otomotif di Indonesia ,
oleh Widodo, tahun 2010, yang hasil penelitiannya menyimpulkan ;
(1) partner first, willingness to share UB dan absortive capacity
UKM berpengaruh positif terhadap kualitas kemitraan, dan temuan
ini sesuai dengan sebagian besar temuan penelitian sebelumnya, (2)
kapabilitas inovasi UKM lebih ditentukan oleh absortive capacity
UKM, tidak ditentukan oleh kualitas kemitraan dan willingness to
share UB. Namun demikian, tingkat absortive capacity UKM yang
cukup tinggi adalah sebagian dari proses pembelajaran selama
menjadi mitra binaan UB, dan (3) kinerja kemitraan antara UKM
subkontraktor dengan UB terbukti lebih baik dibandingkan antara
UKM non subkontraktor dengan UB karena kemitraan antara UKM
subkontraktor dengan UB memiliki tingkat keterkaitan dan mutual
benefits yang lebih tinggi.
3. Penelitian Disertasi tentang "Fungsi Hukum Dalam Pengaturan
Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan Jasa : Inkonsistensi Konsep
Dalam Kebijakan Pariwisata dan Penyerapan General Agreement On
Trade In Services Dalam Pengaturan Perdagangan Jasa Pariwisata
Internasional Indonesia", yang dilakukan oleh I.B. Wyasa Putra
pada tahun 2010, dengan 3 (tiga) permasalahan pokok yang dikaji
37
yaitu; 1) Bagaimana kerangka teoritik fungsi hukum dalam
mengendalikan cara kerja idiologi dalam kontek penyerapan suatu
instrumen Hukum Ekonomi Internasional yang merupakan bentuk
tranformasi idiologi liberal. 2) Bagaimana kerangka konsep
penyerapan GATS, yang merupakan bentuk transformasi idiologi
liberal, kedalam suatu sistem pengaturan perdagangan jasa
pariwisata internasional Indonesia yang tunduk pada idiologi
Pancasila. 3) Bagaimana konstruksi substansi norma Undang-
undang Kepariwisataan dalam pengaturan pariwisata sebagai bentuk
perdagangan jasa, agar kontruksi tersebut dapat menyerap
substansi GATS secara utuh.
4. Penelitian Disertasi tentang Perjanjian Kemitraan Usaha Antara
Usaha Kecil Menengah (UMKM) dengan Usaha Besar Sebagai
Upaya Memperoleh Struktur Ekonomi Nasional Menurut Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia yang dilakukan oleh Tatang
Astarudin pada tahun 2008, dengan 4 (empat) permasalahan pokok
yang dikaji yaitu ; 1) Bagaimana Perkembangan Pelaksanaan
Perjanjian Kemitraan Usaha antara Usaha Kecil Menengah (UKM)
dengan Usaha Besar dewasa ini dihubungkan dengan upaya
menciptakan kondisi saling memperkuat antara Usaha Kecil
Menengah (UKM) dan Usaha Besar di Indonesia. 2) Bagaimana
Tanggung jawab Usaha Besar terhadap Pengembangan Usaha Kecil
38
Menengah (UKM) di Indonesia agar semua kelompok usaha dapat
mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama. 3) Bagaimana
Sistem Pengawasan Kemitraan antara Usaha Kecil Menengah
(UKM) dengan Usaha Besar untuk menghindari tindakan eksploitasi
kelompok usaha besar terhadap kelompok usaha yang lebih kecil. 4)
Bagaimana pengembangan perjanjian kemitraan Usaha Kecil
Menengah (UKM) dan usaha besar agar dapat memperkokoh
struktur ekonomi Indonesia dimasa depan.
Penelitian disertasi dari Ade Komarudin lebih menekankan pada
politik hukum yang diperlukan dalam pengembangan daya saing
UMKM dalam perspektif negara kesejahteraan. Sementara disertasi dari
Widodo memfokuskan kajian pada aspek kemitraan (partnership) antara
UMKM dengan usaha besar pada industri otomotif. Begitu juga
penelitian disertasi dari Tatang Asfarudin menyangkut kemitraan
(partnership), hanya saja fokus kajiannya lebih menekankan pada aspek
perjanjian dari kemitraan antara UMKM dengan usaha besar menurut
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sementara penelitian
disertasi dari Ida Bagus Wyasa Putra memfokuskan pada fungsi hukum
dalam pengaturan pariwisata sebagai bentuk perdagangan jasa dalam
konteks penyerapan General Agreement On Trade in Services dalam
pengaturan perdagangan jasa pariwisata Indonesia.
39
Berdasarkan pemaparan beberapa hasil penelitian disertasi
terdahulu seperti diuraikan di atas, maka penelitian disertasi saya lebih
memfokuskan pada aspek pengaturan hak UMKM atas akses modal
dibidang usaha pariwisata. Bila dilihat dari segi judul maupun rumusan
masalah yang diteliti, maka penelitian saya berbeda dan tidak
mengandung unsur kesamaan dengan penelitian-penelitian sejenis yang
sudah dilakukan sebelumnya.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian ilmiah termasuk dalam
penulisan Disertasi ini didukung oleh metode tertentu, sehingga
penelitian tersebut dapat berlangsung secara terencana dan
teratur. Van Peursen menterjemahkan pengertian metode secara
harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang
harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian,
berlangsung menurut suatu rencana tertentu.36
Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisa dan kontruksi yang dilakukan secara
metodologis, sistematis, dan konsisten.37
Sementara penelitian
hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna
36 Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif ,
Bayu Publishing, Malang, h. 26. (Selanjutnya disebut Johnny Ibrahim I).
37
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta, h. 42 (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I)
40
menjawab isu hukum yang dihadapi, sehingga penelitian hukum
dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep
baru sebagai preskripsi dalam penyelesaian masalah yang
dihadapi.38
Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan
disertasi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang
didasarkan pada data sekunder.39
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penelitian hukum
normatif memfokuskan obyek kajian pada ketentuan-ketentuan
hukum positif, lalu mengarah pada makna dari azas hukum.
Penelitian hukum normatif terhadap pengkajian (analisis)
dimulai dari perangkat-perangkat pasal-pasal hukum positif
terkandung konsep-konsep eksplanasi dan sifat dari
permasalahan penelitian. Selanjutnya mendalami lapisan ilmu
hukum (dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum).40
1.6.2 Pendekatan Masalah
Dalam rangka memperoleh kebenaran ilmiah atas jawaban
isu hukum yang dikaji, maka dalam penelitian dipergunakan
38 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,
h.35. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I).
39
Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, CV. Rajawali, h. 15. (Selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II). Lihat
juga Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 83-103. Menurut Bambang Sunggono bahwa penelitian
hukum normatif adalah penelitian hukum yang didasarkan atau hanya menelaah
data sekunder (data kepustakaan).
40
Hadin Mudjad HM. dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum
Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 10.
41
beberapa pendekatan.41
Menurut Johny Ibrahim, ada 7 (tujuh)
pendekatan, yaitu ;
1. Pendekatan perundang-undangan (statue approach)
2. Pendekatan konsep (conceptual approach)
3. Pendekatan analitis (analytical approach)
4. Pendekatan perbandingan (comparative approach)
5. Pendekatan historis
6. Pendekatan filsafat
7. Pendekatan kasus.42
Berkaitan dengan penelitian disertasi ini dipergunakan
beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan
(statue approach), pendekatan konsep (conceptual approach),
pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan
historis (historical approaci). Penggunaan pendekatan-
pendekatan sebagaimana dimaksud dapat dijelaskan sebagai
berikut;
1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) yang
dipilih mengingat yang akan diteliti adalah berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan eksistensi Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Melalui pendekatan ini
akan dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-
41 Philipus M. Hadjon, 1999, Menulis Laporan Penelitian Hukum,
UNAIR, Surabaya, h. 2.
42
Johnny Ibrahim I, Op.Cit, h. 246.
42
undangan yang ada dari sisi bentuk maupun isinya43
, terutama
yang memuat norma-norma hukum tentang akses UMKM
untuk mendapatkan modal usaha.
2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach), juga dipilih guna
melakukan penelusuran terhadap makna suatu konsep
(pengertian) yang terdapat pada peraturan perundang-
undangan, pandangan ahli hukum, putusan pengadilan.
Pendekatan konseptual itu sendiri merupakan pendekatan
yang dipergunakan untuk memperoleh kejelasan dan
pembenaran ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang
bersumber dari prinsip-prinsip hukum.44
3. Pendekatan Analitis (Analitical Approach), yaitu pendekatan
dengan melakukan analisis terhadap bahan-bahan hukum
untuk mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah
yang dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan,
secara konseptual dan sekaligus untuk mengetahui penerapan
dalam praktek dan putusan-putusan hukum.
43 Seperti dijelaskan oleh Haryono bahwa untuk pendekatan perundang-
undangan, peneliti harus melihat hukum sebagai suatu sistem yang mempunyai
sifat;
1. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait
antara yang satu dengan yang lain secara logis.
2. All-Inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan kekurangan
hukum.
3. Systemic, bahwa disamping bertautan antara yang satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hirarkhis. Johnny Ibrahim
I Op.Cit, h. 303.
44
Hadin Mudjad HM., Nunuk Nuswardani, Op.Cit.h.47
43
4. Pendekatan Historis (Historical Approach), yaitu pendekatan
dengan melakukan analisis terhadap politik hukum pengaturan
UMKM di Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto (masa
Orde Baru) dan masa pemerintahan reformasi.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian hukum normatif, bahan hukum mencakup,
pertama; bahan hukum primer, kedua; bahan hukum sekunder,
dan ketiga; bahan hukum tertier. Bahan hukum yang
dipergunakan dalam penulisan disertasi ini adalah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
Adapun bahan-bahan hukum dimaksud adalah
sebagai berikut;
a. Bahan hukum primer; yaitu bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas, yang terdiri
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.45
Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah;
1) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 (Pasal 33,
Pasal 34).
2) Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan (Pasal 17, Pasal 26 huruf f, dan Pasal
61).
45 Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, h. 141.(Selanjutnya disebut Peter Mahmud
Marzuki II).
44
3) Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro (Pasal 3 Huruf a, b, c dan Pasal 11 ayat
(1), (2)).
4) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan
Usaha Milik Negara (Pasal 2 ayat (1) huruf e dan Pasal
88).
5) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan (Pasal 12 ayat (1), (2)).
6) Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (Pasal 21, Pasal 23, dan
Pasal 24).
7) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal (Pasal 13 ayat (1), (2)).
b. Bahan hukum sekunder; yaitu bahan hukum yang berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas putusan
pengadilan. 46
c. Bahan hukum tertier; yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks
komulatif, dan seterusnya.47
1.6.4 Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan terhadap beberapa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan UMKM.
46 Ibid.
47
Soerjono Soekanto II, Loc.Cit.
45
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen
dengan melakukan inventarisasi terhadap bahan-bahan hukum
yang ada. Bahan hukum yang berhasil diinventarisir kemudian
diidentifikasi serta diklasifikasikan dengan melakukan
pencatatan secara cermat dan sistematis sesuai dengan tujuan dan
kebutuhan penelitian. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah
untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat,
penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian,48
dalam hal ini mengenai pemberdayaan UMKM
dibidang akses modal.
1.6.5 Tehnik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam
penelitian ini, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan hukum tertier, dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis deskripsi, interprestasi, evaluasi
dan argumentasi. Pengertian dari masing-masing teknik analisis
dimaksud dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:
a. Tehnik deskripsi, adalah berupa uraian apa adanya
terhadap suatu kondisi atau proposisi-proposisi hukum
maupun non hukum.
48 Rony Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan
Yurimetri, Ghalia, Indonesia, Jakarta, h. 98.
46
b. Tehnik interpretasi, adalah menggunakan jenis-jenis
penafsiran dalam hukum, terutama penafsiran menurut tata
bahasa (gramatikal).
c. Tehnik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat, benar
atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan atau
proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang
tertera dalam hukum primer maupun sekunder.
d. Tehnik argumentasi, yaitu penilaian yang didasarkan pada
alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.