51
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan sebagai salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan, dengan tujuan agar pelaksanaan berjalan sesuai harapan. Landasan filosofis adalah perkawinan berdasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai ajaran agama Hindu. Sebagai aplikasi dari landasan filosofis perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya. 1 Landasan yuridis adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Secara yuridis formal hukum yang berlaku adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi masing-masing pemeluknya. Artinya, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ketentuan diatur dalam Kitab Hukum Perdata (Burgerljk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Kristen (Huweljiksordonantie Christen Indonesia S.1933 nomor 74), dan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde huwelijken S. 1898 nomor 158). Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku. 2 Peraturan-peraturan lain maksudnya adalah ketentuan-ketentuan menurut hukum 1 Soerjono Soekanto, 1992, Intisari Hukum Keluarga, PT Citra Aditya Bakti Bandung, h.5. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I). 2 Ibid, h.8.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkawinan sebagai salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia

memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut

menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan, dengan tujuan agar

pelaksanaan berjalan sesuai harapan.

Landasan filosofis adalah perkawinan berdasarkan atas nilai-nilai

Pancasila dan nilai-nilai ajaran agama Hindu. Sebagai aplikasi dari landasan

filosofis perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan

kepercayaannya.1 Landasan yuridis adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Secara yuridis

formal hukum yang berlaku adalah hukum masing-masing agama dan

kepercayaan bagi masing-masing pemeluknya. Artinya, tidak ada perkawinan di

luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ketentuan diatur dalam

Kitab Hukum Perdata (Burgerljk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Kristen

(Huweljiksordonantie Christen Indonesia S.1933 nomor 74), dan Peraturan

Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde huwelijken S. 1898 nomor

158). Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku.2

Peraturan-peraturan lain maksudnya adalah ketentuan-ketentuan menurut hukum

1 Soerjono Soekanto, 1992, Intisari Hukum Keluarga, PT Citra Aditya Bakti Bandung,

h.5. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I). 2 Ibid, h.8.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

2

adat. Ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai dengan Undang- Undang Perkawinan

menjadi hapus, asumsi tersebut adalah asumsi secara yuridis formal. Dengan

demikian, hukum adat yang sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan serta hal-

hal yang belum diatur secara tertulis tetap berlaku.

Landasan sosiologis adalah hukum perkawinan antar-wangsa mendapat

pengakuan dari masyarakat. Perkawinan menyangkut kedudukan sosial. Pada

umumnya suatu perkawinan berlangsung antara orang-orang yang mempunyai

kedudukan sosial yang sederajat, tetapi adakalanya perkawinan tersebut

menaikkan derajat orang-orang tertentu, atau sebaliknya menurunkan derajat

tersebut. Keadaan semacam itu pada umumnya tampak pada masyarakat yang

sistem stratifikasi sosialnya bersifat tertutup.3 Stratifikasi sosial masyarakat Hindu

di Bali dikenal dengan sistem wangsa yaitu menganut sistem tertutup. Oleh

karena dalam sistem wangsa terdapat aturan-aturan yang membatasi anggota

masyarakatnya untuk pindah dari lapisan bawah ke atas. Sistem wangsa pada

masyarakat Hindu di Bali membawa konsekwensi adanya peraturan perkawinan

antar-wangsa dari zaman kerajaan sampai zaman kemerdekaan.

Mencermati landasan perkawinan tersebut di atas secara yuridis sosiologis

tampak bahwa perkawinan antar-wangsa dari tahun ke tahun mengalami

dinamika. Dinamika tersebut disebabkan oleh perubahan peraturan pada zaman

kerajaan sampai zaman kemerdekaan. Perubahan hukum tidak selalu diikuti oleh

perubahan sosial, demikian sebaliknya perubahan sosial tidak selalu diikuti oleh

3 Ibid. h. 11.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

3

perubahan hukum.4 Artinya, dalam keadaan tertentu perkembangan hukum dapat

tertinggal karena perkembangan sosial yang sangat cepat, misalnya dipengaruhi

oleh faktor teknologi, sebaliknya perkembangan sosial tidak selalu mengikuti

perubahan hukum.

Penggunaan hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (

social engineering) adalah suatu hal yang lumrah. Umumnya orang berpendapat

bahwa hukum dalam penggunaannya sekarang hampir selalu berupa sarana untuk

melakukan social engineering. “Hukum sebagai sarana social engineering adalah

penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan

masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan yang

diinginkan. Kemampuan seperti ini biasanya dilekatkan pada hukum modern

sebagai lawan dari hukum tradisional”.5

Hukum tradisional yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hukum

adat yang memiliki ciri utama yaitu religio magis.6 Artinya perilaku hukum atau

kaidah-kaidah hukum adat berkaitan dengan kepercayaan terhadap gaib dan atau

berdasarkan kepercayaan Ajaran Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat Hindu

di Bali dalam melaksanakan perkawinan selalu didahului dengan upacara

adat/agama. Tujuan upacara adalah untuk memohon keselamatan dan kerukunan

bagi mempelai ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi dan para roh leluhur yang

berstana di pura keluarga.

4 Soerjono Soekanto, 2012, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali, Pers, Jakarta, h.115

(Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II). 5 Satjipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni Bandung, h.142

(Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I) 6 Tolib Setiadi, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Dalam Kajian Kepustakaan),

Penerbit Alfabeta Bandung, h 33.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

4

Hukum juga dinyatakan sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial

atau social control, yaitu suatu proses untuk mempengaruhi orang untuk

bertingkah laku sesuai dengan peraturan yang sedang berlaku. Seperti apa yang

diuraikan di atas, kadang kala hukum tidak mampu melakukan fungsinya baik

sebagai social control maupun fungsinya sebagai rekayasa sosial (social

engineering), dalam bidang-bidang tertentu dalam hukum adat. Rouscoe Pound7

berpendapat bahwa batas-batas kemampuan hukum terletak pada hukum yang

pada umumnya hanya mengatur kepentingan-kepentingan masyarakat yang

bersifat lahiriah. Dalam menerapkan sanksi yang melekat pada hukum ada batas-

batasnya. Faktor tersebut harus diperhatikan oleh para pelopor perubahan apakah

itu legislatif atau hakim yang menginginkan hukum sebagai alat untuk mengubah

masyarakat. Sebagai contoh ketidakmampuan melakukan fungsinya sebagai

rekayasa sosial (social engineering) dalam penelitian ini, terbitnya Keputusan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali Nomor: 11/D.P.R D Tahun 1951

(selanjutnya disebut Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951), mencabut

Peswara tahun 1910 yang telah diubah dengan Beslit Residen Bali dan Lombok

tanggal 11 April 1927 Nomor 352 sepanjang yang mengatur mengenai

perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Berdasarkan hasil

penelitian sampai saat ini Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 belum

mampu mengubah perilaku masyarakat Hindu untuk tidak melakukan upacara

patiwangi, karena upacara patiwangi menyangkut kepercayaan.

7 Hendrojono, 2005, Sosiologi Hukum Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum,

Srikandi, Surabaya, h.55.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

5

Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 merupakan produk keempat

DPR sejak dilantik pada tanggal 25 September 1950. Keputusan ini merupakan

kebijakan Pemerintah Daerah Bali yang pada waktu itu mempunyai dua badan

yakni Dewan Pemerintah Daerah Bali dan Dewan Perwakilan Rakyat Bali. Tujuan

dikeluarkannya keputusan adalah untuk menghapus peraturan perkawinan zaman

kerajaan maupun zaman penjajahan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan

masyarakat yang merdeka berdasarkan Pancasila. Berdasarkan Pasal 5 dari

Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 maka, peraturan ini disebut

peraturan perhubungan perkawinan antara catur wangsa. Berdasarkan peraturan

tersebut penelitian ini menggunakan istilah “perkawinan antar-wangsa”.

Hukum adat perkawinan antar-wangsa mempunyai ruang lingkup berlaku

secara lokal artinya, berlaku untuk masyarakat Hindu di Bali. Bagi masyarakat

Hindu di Bali, eksistensi hukum perkawinan antar-wangsa masih sangat kuat.

Artinya, hukum tersebut masih diakui oleh masyarakat Hindu di Bali. Perkawinan

antar-wangsa termasuk dalam hukum adat keluarga. Soerojo Wignjodipoero

menggunakan istilah hukum kekeluargaan yaitu hukum yang menyangkut tentang

keturunan.8 Bushar Muhammad menggunakan istilah keturunan. Keturunan

adalah ketunggalan leluhur artinya, ada hubungan darah antara orang seorang dan

orang lain.9 Menurut Korn pada hakikatnya “sistem kekeluargaan yang dianut

oleh masyarakat Hindu di Bali adalah sistem kekeluargaan patrilinial. Keturunan

ditarik dari garis keturunan laki-laki (purusa). Artinya, bila terjadi perkawinan

8 Soerojo Wignjodipoero, 1987, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, CV Haji

Masagung, Jakarta, h.108-117. 9 Bushar Muhammad, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adat, Penerbit PT Pradnya Paramita,

h.3. (Selanjutnya disebut Bushar Muhammad I)

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

6

maka, seorang perempuan kawin akan masuk ke dalam rumpun keluarga laki-laki

(suami) untuk selanjutnya meneruskan keturunan dalam keluarga laki-laki.”10

Berdasarkan uraian di atas hukum keluarga adalah hukum baik tertulis

maupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan

dengan keturunan. Hubungan tersebut dapat diakibatkan oleh adanya hubungan

darah maupun yang diakibatkan oleh suatu perbuatan hukum tertentu. Hubungan

keluarga disebabkan oleh adanya suatu perbuatan hukum, yaitu perkawinan

maupun pengangkatan anak. Hubungan kekeluargaan berisi hak-hak dan

kewajiban-kewajiban dalam kehidupan keluarga, seperti hak dan kewajiban anak

terhadap orang tua, hak dan kewajiban antara suami dengan istri dalam

perkawinan. Hukum yang tidak tertulis mengatur hubungan-hubungan tersebut di

atas disebut hukum adat kekeluargaan, termasuk hukum adat kekeluargaan adalah

hukum adat perkawinan.

Hukum adat perkawinan masyarakat Hindu di Bali berkaitan dengan aspek

pelapisan masyarakat (stratifikasi sosial). Aspek pelapisan masyarakat ini dapat

mempengaruhi keberadaan dan pelaksanaan hukum adat perkawinan yang dikenal

dengan wangsa. Konsep wangsa yaitu kedudukan seseorang di dalam masyarakat

ditentukan oleh kelahiran atau keturunannya. Konsep ini bersifat vertikal. Pasek

Diantha menyebutnya “stelsel vertikal untuk sistem catur wangsa, sedangkan

sistem catur warna menganut sistem horizontal.”11

10

VE. Korn, 1978, “Het Adat Recht Van Bali” Hukum Adat Bali (Terjemahan: I Gede

Wayan Pangkat) Cetakan kedua, Penerbit FHPM Universitas Udayana Denpasar, h. 1.

(Selanjutnya disebut Korn I). 11

Made Pasek Diantha dan I Gede Pasek Eka Wisanjaya, 2010, Kasta Dalam Perspektif

Hukum dan HAM, Penerbit Udayana University Press, Denpasar, h.129.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

7

Sistem wangsa yang menempatkan posisi dan kedudukan manusia dalam

masyarakat pada strata yang lebih tinggi atau lebih rendah disebut stelsel vertikal.

Hal ini dipengaruhi oleh faktor sosiologis dan faktor historis pada saat masuknya

agama Hindu ke Bali. Berdasarkan sejarah, Ardika menyatakan: “Dalem Sri

Kresna Kepakisan merupakan cikal bakal Dinasti Kepakisan merupakan awal

pembentukan wamsakerta baru di Bali. Wamsa Sri Kresna Kepakisan, yang

kemudian menurunkan raja-raja turunan dari Majapahit, antara lain Samprangan,

Gelgel dan Klungkung. Dalem Sri Kresna Kepakisan dianggap raja yang telah

berhasil menunaikan tugasnya sebagai fasilitator Bali dan Wilayah

taklukannya”.12

Menurut Wiana dan Raka Santri sistem pelapisan sosial

masyarakat yang beragama Hindu disebut juga Wamsa,13

masyarakat luas

menyebut Wangsa. Istilah wamsa sama dengan wangsa yang mempunyai arti

sama yaitu keturunan.

Timbulnya sistem wangsa tidak lepas dari pemerintahan dinasti Dalem Sri

Kresna Kepakisan di Bali (1352-1380). Setelah Dalem Sri Kresna

Kepakisan wafat digantikan oleh putranya yaitu I Dewa Samprangan

bergelar Dalem Samprangan (1380-1401). Dalem Samprangan kemudian

digantikan oleh adiknya Ida I Dewa Ketut Ngulesir bergelar Dalem Ketut

Ngulesir (1401-1460). Dalem Ngulesir digantikan oleh putranya Dalem

Watu Renggong (1460-1550). Pada pemerintahan Dalem Watu Renggong,

Dang Hyang Nirartha menjadi pendeta keraton (Bhagawanta). Di Bali

beliau disebut dengan Pedanda Sakti Wawu Rawuh artinya, Pendeta Sakti

Baru Datang. Beliau membawa konsep Tripurusa yang berkaitan dengan

ke-Esaan Tuhan yang bersifat vertikal yaitu Parama Siwa, Sadha Siwa,

dan Siwa. Perpaduan antara Siwa dan Sadha Siwa menghasilkan lingga

sebagai perwujudan Siwa. Atas dasar ini pula kemudian dibangun

Padmasana sebagai simbol alam semesta, stana Tuhan sebagai yang

12

I Wayan Ardika, dkk, 2013, Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern,Penerbit

Udayana University Press, h.272 13

Ketut Wiana dan Raka Santri, 2006, Kasta dalam Hindu Kesalah Pahaman Berabad-

abad, Cetakan kelima, Penerbit Percetakan Ofset BP Denpasar, h.21-22

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

8

tunggal.14

Konsep tersebut merupakan penyempurnaan konsep Tri Murti15

dari Mpu Kuturan yang sebelumnya bersifat horizontal.

Keturunan dari Dang Hyang Nirarta kemudian menjadi wangsa

Brahmana, keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi wangsa Ksatrya

Dalem, keturunan para Arya menjadi wangsa Ksatrya. Ada yang menyebut para

Ksatrya di luar Ksatrya Dalem sebagai wangsa Wesya.16

Masyarakat di luar itu

seperti keturunan Pasek, Pande, Bujangga, dan masyarakat Bali Aga menolak

sistem kasta, kemudian dikelompokkan sebagai wangsa Sudra, yang kemudian

menyebut diri sebagai Jaba Wangsa.

Sistem pelapisan sosial dalam Kitab Suci Veda disebut dengan istilah

warna, yang berkaitan dengan profesi atau fungsi individu dalam masyarakat.

Warna dalam ajaran agama Hindu selanjutnya dibedakan menjadi empat macam

yang disebut catur warna yaitu brahmana, ksatrya, vaisya, dan sudra. Tugas-

tugas profesionalnya yang diatur dalam Yajurveda XVIII. 48 yang berbunyi

sebagai berikut:”Brahmane brahmanam, ksatraya rajanyam, marudbhyo vaisyam,

tapase sudram”. Artinya, “ Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan

brahmana untuk pengetahuan, para ksatriya untuk perlindungan, para vaisya

untuk perdagangan dan para sudra untuk pekerjaan jasmaniah.”17

Sistem warna

merupakan sistem pelapisan sosial yang bersifat terbuka. Sistem ini memberi

peluang kepada siapa saja untuk mencapai warna yang diinginkan, dengan jalan

14

Anonim 1987, Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali, Penerbit Pemerintah

Daerah Tingkat I Bali, h.83. (Selanjutnya disebut Anonim I) 15

Ardika, Op.Cit, h.282. 16

Ketut Wiana dan Raka Santri, Op.Cit, h. 99. 17

I Made Titib, 2003, Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan) Penerbit Paramita

Surabaya h.388-389. (Selanjutnya disebut I Made Titib I).

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

9

melakukan usaha meningkatkan diri melalui pendidikan, ekonomi, maupun

jabatan yang diperolehnya.

Masyarakat Hindu di Bali memiliki karakteristik yang identik dengan

kelompok masyarakat seperti di atas. Masyarakat Hindu di Bali dalam konteks

sosial terstratifikasi ke dalam empat strata yang dikenal catur wangsa yaitu

wangsa brahmana, ksatrya, wesya dan sudra. Djoyodiguno menyebutnya dengan

istilah ”kewangsaan” untuk istilah “keturunan.”18

Dalam penelitian ini digunakan

istilah wangsa. Dalam catur wangsa sesungguhnya berarti “setiap orang

berpotensi untuk melaksanakan keempat warna”. Catur berarti empat, Wang

berarti manusia, dan sa/se berarti satu. Jadi, keempat warna itu bersatu di dalam

diri seorang manusia.19

Berdasarkan pengertian tersebut wangsa kelihatannya

tidak bersifat vertikal, tetapi mereka dapat melaksanakan ke-empat warna sesuai

keinginan dan kemampuannya.

Pada zaman kerajaan dan zaman Belanda sistem wangsa di Bali, apa pun

istilahnya: kasta, warna, wangsa ternyata membawa implikasi hukum tertentu

dalam hukum perkawinan khususnya perkawinan antara wangsa. Clayton

mengemukakan dua jenis peraturan yang berhubungan dengan perkawinan yaitu

“(1) endogamy, which refers to rules prescribing that an individual must marry

someone within a certain group”, and (2) exogamy, requers that a person marry

someone outdide of acertain group.20

Masyarakat yang tergolong ke dalam tri

wangsa menganut sistem endogami wangsa, yang melarang anggota keluarganya

18

M.M. Djoyodigoeno, 1976, Azas-Azas Hukum adat, JBP. Badan Penerbit Gajahmada,

Yogyakarta. h 58. (Selanjutnya disebut Djojodigoeno I). 19

I Ketut Wiana dan Raka Santri, Op.Cit, h. 120. 20

R. Richard Clayton, 1975, The Family, Marriage, and Social Change, D.C. Helth and

Company, Lexington, Massachussets, Toronto, London, p.45.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

10

untuk kawin ke luar (eksogami) dengan wangsa sudra, karena dianggap

merendahkan martabat dari golongan tersebut.

Pelanggaran terhadap larangan perkawinan antar-wangsa disebut Asu

Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Istilah Asu Pundung secara harfiah berarti

perempun brahmana menggendong anjing. Laki-laki ksatrya, wesya, dan sudra

diibaratkan sebagai anjing dan Alangkahi Karang Hulu berarti laki-laki wesya dan

sudra meloncati kepala. Istilah “kepala” tersebut mengacu kepada kepala raja.21

Jiwa Atmaja mengartikan perbuatan Alangkahi Karang Hulu sebagai perbuatan

melangkahi atau meloncati “wilayah sakral” (karang hulu).22

Larangan

perkawinan Asu Pundung adalah perkawinan antara seorang laki-laki dari wangsa

Sudra, wangsa Wesya dan wangsa Ksatrya bukan Dalem mengawini seorang

wanita dari wangsa Brahmana dan Ksatrya Dalem. Larangan perkawinan

Alangkahi Karang Hulu adalah jika laki-laki wangsa Sudra dan Wesya

mengambil seorang wanita dari wangsa Ksatrya bukan Dalem. Laki-laki dari

wangsa Sudra mengambil wanita dari wangsa Wesya. Namun belakangan wangsa

Wesya tidak kelihatan, mereka sepertinya menggunakan wangsa Ksatrya bukan

Dalem.

Pergeseran sistem warna menjadi sistem wangsa kemudian disebut dengan

istilah kasta terjadi pada tahun 1910. Ketika itu raja mengeluarkan “Peswara”

(semacam keputusan) yang menetapkan jenis-jenis pelanggaran adat beserta

sanksinya. Peswara yang kemudian diperkuat dengan Beslit Resident Bali dan

21

Made Kembar Kerepun, 2004, Benang Kusut Nama Gelar di Bali, Penerbit CV. Bali

Media Adhikara, h.76. 22

Jiwa Atmaja, 2008, Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat Bali,

Penerbit CV Bali Media Adhikarsa bekerjasama dengan Udayana University Press, h.149.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

11

Lombok tertanggal 11 April 1927, No.352 JI,C.2 yang menetapkan Asu Pundung

dan Alangkahi Karang Hulu sebagai salah satu jenis pelanggaran adat dalam

perkawinan antar-wangsa.23

Peswara tersebut di atas nampaknya sudah tidak

sesuai dengan perkembangan masyarakat yang sudah merdeka. Norma dan

sanksinya mengandung nilai-nilai yang merendahkan martabat manusia. Dengan

demikian pemerintah melalui Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951

mencabut peswara tahun 1927. Dasar pertimbangan Keputusan menunjuk pada

perubahan-perubahan yang terjadi sejak merdeka, dengan berpedoman pada satu

bangsa, satu bahasa, satu negara. Pertimbangan lain adalah mengacu agar jangan

lagi terasa sesuatu golongan mendapat perilaku yang tidak adil. Keputusan ini

merupakan salah satu tonggak penting perkembangan hukum adat perkawinan

antar-wangsa di Bali yang telah mencerminkan nilai-nilai keadilan, persamaan,

dan kesederajatan. Nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kesederajatan

merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam rinsip-prinsip Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia tahun 1948 (selanjutnya disingkat menjadi DUHAM).

Prinsip-prinsip HAM sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia

sejak dahulu, sebelum bangsa Indonesia merdeka. Pancasila merupakan Dasar

Negara Indonesia yang digali dari jiwa bangsa Indonesia. Sila kedua dari

Pancasila merupakan salah satu sila yang memuat prinsip-prinsip HAM. Pancasila

sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka dengan demikian Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur tentang HAM

23

I Ketut Wiana dan Raka Santri, op.cit, h. 107.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

12

tercantum dalam BAB XIV: Kesejahteraan Sosial24

, yaitu Pasal 33 dan Pasal 34.

Pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, ketentuan HAM diatur

dalam Bagian V Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar manusia yang

meliputi 26 pasal, terdiri dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 33. Undang-Undang

Dasar Sementara Tahun 1950 HAM diatur dalam ketentuan termuat dalam Bagian

VI: Asas-Asas Dasar, meliputi 8 pasal yaitu dari Pasal 35 sampai dengan Pasal 43.

Dalam kurun waktu berlakunya ketiga Undang-Undang Dasar tersebut Hak Asasi

Manusia tidak mendapatkan perhatian sebagaimana seharusnya, apa lagi

dilaksanakan. Pelaksanaan HAM nampaknya terjadi setelah adanya Deklarasi

Sedunia HAM PBB yaitu Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi

Universal Hak Azasi Manusia 1948).

Pemerintah Bali selama tahun 1950-1951 mengeluarkan produk peraturan

yang lebih banyak berbentuk kebijakan. Pada waktu itu Indonesia baru satu tahun

mengenal hierarki perundang-undangan pertama, yang diatur dalam Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari

1950.25

Dalam peraturan tersebut belum diatur hierarki sampai setingkat Perda.

Kedudukan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 pada hierarki belum

nampak. Hierarki pada waktu itu hanya mengatur jenis peraturan-peraturan

Pemerintah Pusat yaitu :

24

Soehino, 2011, Hak Asasi Manusia Perkembangan Pengaturan Dan Pelaksanaan Hak

Asasi Manusia Di Indonesia (Sejak Kelahirannya Sampai Waktu Ini), Fakultas Ekonomi dan

Bisnis UGM Yogyakarta, h.17-28. 25

Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Per-Undang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan, Penerbit Kanisius, h.70.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

13

a. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang,

b. Peraturan Pemerintah,

c. Peraturan Menteri.

Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 tampaknya kurang ditaati

oleh masyarakat Hindu di Bali, sehingga hukum tidak dapat berfungsi secara

cepat untuk mengubah perilaku masyarakat. Konsep hukum demikian menurut

Rouscoe Pound lazim disebut” Law as a tool of social engineering.”26

Artinya,

Pemerintah Daerah Bali ingin mengubah perilaku masyarakatnya melalui suatu

peraturan. Kusumaatmaja, dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia

menjelaskan yang intinya bagaimana memerankan hukum sebagai sarana

pembaharuan masyarakat.27

Tujuannya adalah agar perilaku masyarakat menjadi

berubah sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam DUHAM 1948 yaitu

menghargai dan menghormati harkat dan martabat manusia. Dengan demikian

Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 belum berlaku efektif. Hal ini

disebabkan oleh karena keputusan belum sejalan dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat, meminjam pendapat Erlich yaitu living law.28

Terbukti tidak jarang

perkawinan antar-wangsa masih mendapat sanksi psikologis maupun sanksi sosial

dalam bentuk upacara penurunan wangsa.

26

Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan

Sosiologis),Penerbit Candra Pratama, Jakarta, h. 101. (Selanjutnya disebut Achmad Ali I). 27

Romly, 2012, Teori Hukum Integratif Rekontruksi Terhadap Teori Hukum

Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Penerbit Genta Publishing, h.42. 28

Zainuddin Ali, 2006, Filsafat Hukum, Cetakan pertama,Sinar Grafika Jakarta h.61.

(Selanjutnya disebut Zainudin Ali I).

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

14

Pelaksanaan sanksi berkaitan dengan alam pikiran masyarakat yang telah

lama di bawah kekuasaan kerajaan dan kolonial. Pada zaman tersebut makna

hukum selaras dengan pendapat John Austin29

“a law is a command whichs

obliges a person or person….Law and other commands are said to proceed from

superiors, and to bind or oblige inferior” Artinya, hukum adalah suatu perintah

dari pihak superior, pihak superior yang dimaksud adalah pihak yang berdaulat

yaitu raja-raja pada zaman tersebut. Pihak superior menentukan apa yang

diperbolehkan dan apa yang menjadi larangan. Kekuasaan dari superior itu

memaksa orang/pihak inferior untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara

menakut-nakuti dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang

diinginkan. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan

adil, atau sebaliknya. Dengan konsep hukum tersebut masyarakat mentaati hukum

yang menjadi perintah penguasa/pihak yang berdaulat. Ketaatan terhadap

kedaulatan/perintah penguasa dirasakan sebagai “a moral duty to obey” oleh

masyarakat yaitu merupakan suatu kewajiban moral untuk mentaatinya.

Kewajiban moral ini kemudian melekat dalam budaya masyarakat, sehingga

memerlukan waktu yang panjang untuk mengubahnya.

Ketaatan masyarakat terhadap peraturan terdahulu telah menjadi suatu

kewajiban moral, kemudian menjadi suatu tradisi, dan akhirnya menjadi suatu

keyakinan. Masyarakat awam nampaknya tidak mengetahui dan memahami

Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 yang secara tegas telah menghapus

29

Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia) Penerbit Pt.Gramedia Pustaka Utama, h.114. (Selanjutnya

disebut Dardji Dihardjo dan Shidarta I).

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

15

“Hukum adat yang disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu”.30

Hal ini

disebabkan karena sosialisasi peraturan sangat kurang dan sudah lama terbitnya.

Sarana untuk sosialisasi pada tahun 1951, tidaklah secanggih seperti sekarang

dengan menggunakan media elektronik. Akibat kurang sosialisasi menyebabkan

masyarakat maupun keluarga masih melaksanakan sanksi terhadap perkawinan

antar-wangsa. Penyebab lain adalah adanya suatu keyakinan dari sebagian

masyarakat awam di Bali, kalau terjadi perkawinan antar-wangsa/

pratiloma/nyerod maka sebaiknya dibuatkan atau dilengkapi dengan upacara

patiwangi. Istilah pratiloma31

menunjuk pada perkawinan di mana perempuan tri

wangsa kawin dengan laki-laki yang derajatnya lebih rendah. Apabila tidak

melakukan upacara patiwangi, takut akan terjadi sesuatu. Walaupun keyakinan

tersebut di atas merupakan mitos belaka yang tidak dapat dibuktikan dengan akal

sehat, tetapi tidak jarang terbukti kebenarannya. Hal tersebut pernah terjadi di

Desa Sukasada Kabupaten Buleleng. Berdasarkan wawancara dalam penelitian

tesis tahun 2009.32

Ida Ayu Ririn dari Puri Anyar Sukasada setelah berapa lama

perkawinannya tidak mempunyai keturunan, kemudian timbul niat dari keluarga

untuk melakukan upacara patiwangi, setelah dilakukan pelaksanaan upacara

patiwangi, kemudian Ida Ayu Ririn memiliki beberapa keturunan. Sebaliknya Ida

30

Lihat ketentuan Pasal 2 dan 3 SK. DPRD. Bali No.11 Tahun 1951, bunyi Pasal 2 Yang

disebut Asu Pundung ialah: Gadis (wanita) dari kasta Brahmanawangsa dikawini oleh laki-laki

Ksatrya, Wesya, dan Sudrawangsa. Pasal 3 a. Gadis (wanita) dari Ksatryawangsa dikawini oleh

laki-laki dari kasta Wesya, Sudrawangsa. b. Gadis (wanita) dari kasta Wesyawangsa dikawini oleh

laki-laki dari kasta Sudrawangsa. 31

Istilah ini dapat dilihat dalam Manawa Dharmacastra Buku III Pasal 13 pratiloma

menurut garis mendaki, artinya laki dari golongan lebih rendah tidak boleh mengambil istri dari

perempuan yang golongannya lebih tinggi. Asas pratiloma merupakan lawan dari asas anuloma

yaitu menurut garis menurun. Asas ini tidak dapat diterapkan lagi oleh karena emansipasi sosial

tidak dapat dipergunakan sebagai criteria hukum. h.136, 32

Sadnyini Ida Ayu, 2009, Dinamika Hukum Adat Perkawinan Asupundung di Bali

(tesis), Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, h. 147. (Selanjutnya disebut Sadnyini I).

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

16

Ayu Kade Adnyani dari Desa Pedungan Denpasar Selatan sudah melakukan

upacara patiwangi, tidak memiliki keturunan bahkan suaminya meninggal dunia

selang 3 tahun mengangkat anak. Permasalahan lain terjadi di Desa Timpag

Kecamatan Kerambitan, upacara patiwangi dilakukan atas perintah sulinggih.

Apabila upacara tidak dilakukan maka sulinggih tidak mau melaksanakan (muput)

upacara perkawinan dimaksud, yakni tidak diberi tirta/air suci. Di samping sanksi

dari masyarakat, sanksi dari keluarga juga menyebabkan tekanan psikologis.

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka timbul problem filosofis,

bahwa sanksi perkawinan antar-wangsa bertentangan dengan nilai-nilai sila

Ketuhanan Yang maha Esa dalam Pancasila. Sebagai negara yang ber-Ketuhanan,

maka semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan. Hal ini mengisyaratkan

bahwa semua manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam derajat hak asasi.

Perkawinan antar-wangsa bertentangan juga dengan nilai-nilai sila kedua yaitu

kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mengisyaratkan adanya perlakuan

yang adil terhadap semua manusia tanpa memandang ras, kasta, suku, dan jenis

kelamin. Sanksi perkawinan antar-wangsa juga bertentangan dengan nilai-nilai

ajaran Hindu. Salah satunya adalah ajaran Ahimsa yaitu tidak memperbolehkan

seseorang untuk mengambil jiwa seseorang. Namun ajaran tersebut pada zaman

kerajaan seolah-olah dikesampingkan terutama dalam konteks perkawinan antar-

wangsa. Sanksi selong (dibuang) ke luar daerah dan sanksi upacara patiwangi.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

17

Wiana menyatakan bahwa upacara patiwangi adalah upacara untuk menurunkan

wangsa seorang perempuan dengan jalan menghilangkan keharumannya.33

Problem yuridis, pelaksanaan sanksi dan upacara patiwangi dalam

perkawinan antar-wangsa sudah sepantasnya dihapus oleh karena tidak sesuai

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(selanjutnya disingkat menjadi UUD NRI 1945) terutama dalam Pasal 27 dan 28.

Pasal 27 ayat (1) berbunyi segala warga negara bersamaan kedudukannya dan

wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya.

Pasal 28 setelah diamandemen empat kali memuat pasal-pasal yang

mengatur tentang HAM, yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Pasal

yang berkaitan dengan penelitian ini adalah: Pasal 28A menyatakan setiap

orang berhak untuk hidup serta berhak mepertahankan hidup dan

kehidupannya. Pasal 28B ayat (1) Setiap orang berhak membentuk

keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal

28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum. Pasal 28G ayat (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah

kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak

asasi. Ayat (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau

perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak

memproleh suaka politik dari negara lain. Pasal 28H ayat (1) Setiap orang

berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan. Pasal I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Pasal 28J

ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain

dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2)

Dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

33

Ketut Wiana,2006, Memahami Perbedaan Catur varna, Kasta, dan Wangsa, Penerbit

Paramita, Surabaya, h.163. (Selanjutnya disebut Ketut Wiana I).

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

18

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Undang-undang tentang

Perkawinan. Undang-undang tersebut tidak mengatur tentang perkawinan antar-

wangsa. Undang-undang ini hanya mengatur tentang perkawinan campuran yang

diatur dalam BAB XII Bagian ketiga yang mengatur tentang perkawinan

campuran. Perkawinan campuran adalah perkawinan karena perbedaan

kewarganegaraan, bukan perbedaan wangsa. Undang-undang Nomor 7 Tahun

1984 yaitu Undang-undang mengenai Pengesahan Konvensi Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yaitu

tentang Hak Azasi Manusia. Undang-undang Nomor 7 mengatur secara khusus

tentang HAM perempuan.

Terdapat problem sosiologis, di mana masyarakat masih melaksanakan

sanksi hukum adat terhadap pasangan perkawinan antar-wangsa. Sanksi dimaksud

adalah sanksi sosial dan psikologis. Sanksi sosial yaitu pada umumnya perempuan

dari wangsa di atas tidak boleh dilamar, hubungannya tidak direstui keluarga.

Dengan demikian perkawinan dilakukan dengan cara ngerorod, walaupun

lembaga ngerorod mendapat pengakuan oleh masyarakat Hindu di Bali, namun

cara demikian sangat merendahkan perempuan. Tidak diperbolehkan mepamit,

tidak diajak ngomong dan banyak sanksi-sanksi psikis dialami perempuan dalam

perkawinan antar-wangsa. Tidak efektifnya penerapan keputusan, merupakan

hambatan Pemerintah Daerah Bali dalam mengadakan perubahan sosial.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

19

Ketidak efektifan dari penerapan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun

1951 menyebabkan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat kemudian

menerbitkan Bhisama PHDI Nomor: 03/ Bhisama/Sabha/ Pandita Parisada

Pusat/X/2002. (selanjutnya disingkat menjadi Bhisama PHDI). Bhisama PHDI

kelihatannya tidak juga berhasil menghapus istilah kawin nyerod dan upacara

patiwangi sejalan dengan di-hapusnya tradisi Asu Mundung dan Alangkahi

Karang Hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951.34

Berhubung sanksi

masih dilakukan oleh masyarakat, maka Majelis Utama Desa Pakraman

(selanjutnya disingkat MUDP) kemudian menerbitkan Keputusan MUDP III

tahun 2010 memutuskan “Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait

dengan pelaksanaan upacara perkawinan”. MUDP menyikapi upacara patiwangi

dalam perkawinan nyerod bertentangan dengan HAM dan menimbulkan dampak

ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga, baik selama perkawinan

maupun sesudah perceraian.35

Peraturan tersebut di atas diterbitkan untuk

kepentingan masyarakat, dengan tujuan ketertiban, keadilan, dan kesejahtraan

dalam pergaulan antara wangsa di Bali, khususnya dalam perkawinan antar-

wangsa. Kenyataan sosiologis menunjukkan keputusan belum dapat mengubah

perilaku masyarakat.

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka sudah saatnya dilakukan

penelitian secara mendasar, mendalam, dan secara holistik menyangkut problem

34

Baca lebih lanjut Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat

Nomor: 03/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002. Tentang Pengamalan Catur Warna,

Dalam Sudiana, 2007, Samhita Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia, Parisada Hindu

Dharma Indonesia Propinsi Bali, h. 144-152. 35

Anonim, 2011, Himpunan Hasil-Hasil Pasamuan Agung III MDP Bali, Penerbit

Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Denpasar, h. 44-46.

(Selanjutnya disebut Anonim II).

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

20

filosofis, yuridis, dan sosiologis. Pemikiran inilah yang mendorong untuk

dilakukannya penelitian dan kajian hukum yang diangkat dalam disertasi dengan

judul Dinamika Sanksi Hukum Adat Dalam Perkawinan Antar-wangsa di Bali

(Persepektif HAM).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan problem filosofis, problem yuridis, dan problem sosiologis

dalam uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan beberapa

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-

wangsa?

2. Apa makna perubahan sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-

wangsa terhadap HAM perempuan?

3. Mengapa perubahan sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa

berimplikasi terhadap HAM perempuan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu hukum, terutama

ilmu hukum adat mengenai perkawinan antar-wangsa dalam hukum adat Bali.

Hasilnya nanti dapat diaplikasikan terhadap permasalahan-permasalahan

perkawinan antar-wangsa dan juga dapat dikembangkan lagi melalui penelitian-

penelitian dalam aspek yang lebih luas dan lebih dalam.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

21

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai berdasarkan permasalahan yang

akan diteliti adalah:

1) Untuk mengkaji sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-wangsa, yaitu

mengkaji proses terjadinya dinamika sanksi hukum adat perkawinan antar-

wangsa termasuk mengkaji dinamika peraturannya berdasarkan periodisasi

sebagai berikut : peraturan dan sanksi zaman kerajaan (1352-1849), peraturan

dan sanksi zaman penjajahan (1849-1945), peraturan dan sanksi zaman

kemerdekaan (1945-2014).

2) Untuk menggali dan mengetahui makna dari perubahan sanksi hukum adat

perkawinan antar-wangsa terhadap HAM perempuan, berdasarkan

periodesasi sebagai berikut: makna perubahan sanksi zaman kerajaan (1352-

1849), makna perubahan sanksi zaman kolonial (1849-1945), makna

perubahan sanksi zaman kemerdekaan (1945-2014),

3) Untuk menggali dan mengkaji implikasi perubahan sanksi hukum adat

perkawinan antar-wangsa terhadap HAM perempuan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat hasil penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

memecahkan masalah perkawinan antar-wangsa. Memberi solusi dan

penyelesaian terhadap terganggunya harmonisasi hubungan akibat

perkawinan antar-wangsa di masa yang akan datang, serta dapat menghapus

dampak atau implikasi terhadap sanksi adat perkawinan antar-wangsa.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

22

2) Hasil penelitian dapat dibaca dan dipahami oleh masyarakat melalui internet,

Perpustakaan Unud, maupun Perpustakaan Undiknas Denpasar. Hasil

penelitian diharapkan bermanfaat untuk membantu pemerintah dalam

menguatkan pelaksanaan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 tahun 1951,

Bhisama PHDI Nomor 03 tahun 2002, dan Keputusan MUDP Nomor III

tahun 2010.

3) Hasil penelitian dapat memperkaya penelitian hukum tentang perkawinan

antar-wangsa dalam bidang hukum adat Bali.

4) Memberi gambaran yang lebih komprehensif kepada masyarakat tentang

kasta, warna, dan wangsa serta implikasinya terhadap perkawinan antar-

wangsa.

5) Kajian ini bermanfaat untuk memproleh ilmu khususnya ilmu hukum adat

dan sebagai prasyarat untuk mendapatkan gelar Doktor pada Program Doktor

Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

1.5 Orisinalitas

Pengamatan sepintas terhadap hasil penelitian atau kajian terdahulu

tampaknya Dinamika Sanksi Hukum Adat Perkawinan Antar-wangsa di Bali

(Perspektif HAM) belum ada yang meneliti. Beberapa penelitian dan tulisan yang

berkaitan dengan kasta dan perkawinan antar-wangsa sebelumnya antara lain:

1) Tulisan I Gusti Ngurah Bagus tahun 1969 berjudul:

Pertentangan Kasta Dalam Bentuk Baru Pada Masyarakat Bali. Tulisan ini

dipersembahkan kepada Prof. Dr. E. M. A. A. J. Allard, sebagai

penghormatan. Dalam tulisan tersebut, Ngurah Bagus mengungkapkan

tentang perubahan kebudayaan di Bali terjadi tahun 1919 sampai 1931.

Perubahan tersebut merupakan awal mula, selanjutnya merupakan dasar

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

23

kebudayaan Bali modern sekarang. Pertentangan kasta juga terjadi dalam era

tersebut dengan memakai wadah majalah Surya Kanta dan majalah Bali

Adnyana. Selanjutnya Ngurah Bagus mengemukakan “pada point ke 17 dari

tulisannya sebagai berikut: Anggapan umum di Bali boleh dikatakan yang

disebut jaba itu adalah termasuk sama dengan sudra. Dilihat dari segi bahasa,

kata jaba sendiri adalah berasal dari bahasa Sansekerta dalam

perkembangannya di Bali dipakai untuk menyebutkan sesuatu golongan

masyarakat.

Dalam point ke 19 menyatakan bahwa: Perbedaan antara golongan jaba dan

tri wangsa menyebabkan adanya Undang-undang yang mengatur perkawinan

antar kasta (wangsa) yaitu Peswara 1910 yang kemudian diubah dengan

Beslit Resident tahun 1927, No.352, sedangkan hal ini semenjak tahun 1951

telah dihapus oleh Dewan Pemerintah Bali.36

2) Penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung Gde Putra Agung tahun 1964

dalam bentuk tesis berjudul: “Perubahan Sosial Dan Pertentangan Kasta Di

Bali Utara 1924-1928”37

. Dalam tesis dijelaskan bahwa pertentangan kasta

membawa pembaharuan dalam masyarakat. Bentuk kompetisi antara

golongan elite modern Tri Wangsa dengan elite modern Jaba, masing-masing

golongan itu menyalurkan paham-paham pembaharuan melalui majalah yang

mereka terbitkan sehingga paham kemajuan itu dapat tersebar ke seluruh

Bali”.

Hal yang positif dari pertentangan tersebut telah dapat dinikmati oleh

sebagian masyarakat, khususnya perempuan Tri Wangsa dapat bernafas lega

oleh karena perbedaan wangsa tidaklah seketat Zaman Kerajaan maupun

Zaman Kolonial. Penelitian ini terfokus pada perubahan sosial dan

pertentangan kasta, belum diteliti tentang dinamika sanksi hukum perkawinan

antar-wangsa serta implikasinya terhadap HAM.

36

I Gusti Ngurah Bagus, 1969, Pertentangan Kasta Dalam Bentuk Baru, Unniversitas

Udayana Denpasar, h.13 37

Anak Agung Gde Putra Agung, 1964, Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta Di

Bali Utara, 1924-1928, (tesis), Fakulas Sastra Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

24

3) Ida Bagus Yudha Triguna tahun 1997 mengadakan penelitian dalam disertasi

berjudul: “Mobilitas Kelas, Konflik, Dan Penafsiran Kembali Simbolisme

Masyarakat Hindu Di Bali.”38

Tumbuh suatu ketegangan antara masyarakat

Bali asli dengan para bangsawan yang berasal dari Majapahit, dengan adanya

kekuasaan Belanda yang memberikan gelar-gelar kebangsawanan yang

berdimensi vertikal. Muncul kelas sosial baru dari golongan jaba wangsa

memperkuat posisi tawar-menawar mereka di hadapan kekuasaan kelompok

tri wangsa. Hal ini semakin terbuka, karena munculnya rasionalisasi,

monetorisasi, dan orientasi kekuasaan menyusul hadirnya birokrasi

pemerintahan nasional sesudah kemerdekaan dan berkembangnya industri

pariwisata, yang berhasil membuka ruang lebih lebar bagi mobilitas kelas

sosial golongan jaba wangsa memasuki lapisan menengah dan atas struktur

stratifikasi masyarakat Bali dalam bidang politik dan ekonomi.

4) Penelitian yang dilakukan oleh Budiana Tahun 2005 dalam bentuk

disertasinya berjudul Rekontruksi Sosial Perkawinan Eksogami di Tengah

Perubahan Sosial di Bali.39

Dalam penelitian tersebut Budiana mengkaji

perkawinan beda wangsa dalam masyarakat Bali khususnya sistem

perkawinan eksogami dengan bentuk perkawinan nyeburin, pihak laki-laki tri

wangsa dengan perempuan jaba wangsa, perkawinan eksogami dengan

bentuk nyeburin pihak laki-laki jaba wangsa dengan perempuan tri wangsa,

perkawinan eksogami dengan sistem perkawinan biasa pihak laki-laki tri

38

Ida Bagus Yudha Triguna, 1997, Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali

Simbolisme Masyarakat Hindu Di Bali, (disertasi) Universitas Pajajaran Bandung. 39

Nyoman Budiana 2004,Rekontruksi Sosial Perkawinan Eksogami di Tengah

Perubahan Sosial, (disertasi), Universitas Airlangga Surabaya. (Selanjutnya disebut Budiana I).

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

25

wangsa dengan perempuan jaba wangsa, perkawinan biasa pihak laki-laki

jaba wangsa dengan perempuan jaba wangsa. Perkawinan Asu Pundung dan

Alangkahi Karang Hulu dikaji dengan pendekatan sosiologis. Dalam

penelitiannya Budiana tidak mengkaji dari aspek hukum dan HAM.

5) Dalam jurnal Studi Gender Srikandi, Vol. VII No.1 Tahun 2007, Sudantra

juga telah menulis sebuah artikel berjudul: “Asu Pundung dan Alangkahi

Karang Hulu Ketidakadilan Gender dalam Sistem Wangsa di Bali.“40

Dalam

ruang terbatas itu Sudantra tidak mengkaji secara mendalam, melainkan lebih

menekankan pada kenyataan bahwa terdapat ketidakadilan gender dalam

hukum adat Bali akibat adanya sistem wangsa.

6) Tahun 2009 Sadnyini melakukan penelitian untuk penulisan tesis berjudul

“Dinamika Hukum Adat Dalam Perkawinan Asu Pundung di Bali.”41

Dalam

tesis tersebut membahas dinamika stuktur, sanksi dan budaya hukum dari

perkawinan Asu Pundung, faktor-faktor penyebab dari dinamika hukum

perkawinan Asu Pundung. Dari hasil penelitian ada temuan yang harus

dilanjutkan untuk diteliti dan dikaji kembali secara mendalam, tentang

dinamika sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa ditinjau dari

perspektif HAM. Perlu dijelaskan disini bahwa penelitian yang lalu lebih

sempit dari sekarang, oleh karena hanya mengkaji tentang perkawinan Asu

Pundung, sedangkan perkawinan Alangkahi Karang Hulu belum dikaji secara

mendalam. Perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu

merupakan larangan perkawinan antar-wangsa. Larangan ini diatur secara

40

I Ketut Sudantra, 2007, “Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu Ketidakadilan

Gender Dalam Sistem Wangsa di Bali”, Jurnal Studi Gender, Vol.VII No.1 Tahun 2007, h.1-14. 41

Ida Ayu Sadnyini, Op.Cit. h. i

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

26

bersamaan dalam peswara dan dicabut pula secara bersamaan dengan

Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, sehingga permasalahannya

merupakan satu kesatuan.

7) Syanita Aisha tahun 2010 meneliti “Harmonisasi Hubungan antara Individu

dengan Keluarga Besar dalam Pernikahan Beda Kasta (Ksatrya dan Sudra)

dalam bentuk tesis.”42

Intinya, bila terjadi pernikahan beda kasta, harmonisasi

hubungan menjadi terganggu, sehingga komunikasi dilakukan dengan

mengirim utusan. Perkawinan dilakukan dengan cara kawin lari. Jadi tesis ini

tidak meneliti dinamika sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa.

8) Komang Putra tahun 2013 menulis dalam elektronik jurnal berjudul: “ Pro

kontra antara Catur Wangsa, Kasta, dan Warna”.43

Putra melihat kelahiran

seseorang sudah dibekali dengan keahliannya masing-masing dalam rangka

mencapai tujuan catur purusha arta yaitu: dharma, arta, kama dan moksa.

Namun implementasi dalam kehidupan nyata masih banyak orang enggan

memakai golongan sesuai catur warna, hampir sebagian besar memakai

jabatan leluhurnya, yang nyata-nyata berbeda dengan bakat keahlian

kelahirannya.

9) Ida Ayu Made Lestari dkk.tahun 2013 dalam elektronik jurnal menulis

“Implikasi Perkawinan Beda Wangsa Dalam Perspektif Hukum, Sosial,

42

Syanita Aisha, 2010, Komunikasi utuk Hubungan antara Individu dengan Keluarga

Besar dalam Pernikahan Beda Kasta, (tesis) Universitas Diponogoro,http:/ eperints undip.ac.id.

diakses, 6-1-2014. 43

Komang Putra, 2013, Prokontra antara Catur Wangsa, Kasta dan Warna, www. komang

putra. com diakses 6 -1-2014.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

27

Budaya dan Religius di Banjar Brahmana Bukit, Kec. Bangli Kab. Bangli.”44

Perkawinan dari perspektif hukum adalah hak dan kewajiban serta kedudukan

yang sama dalam hukum, tetapi dalam perspektif sosial, budaya dan religius

memiliki batasan-batasan bagi orang yang melakukan perkawinan beda

wangsa, sesuai dengan dresta, kebiasaan desa setempat. Penelitian ini tidak

menggunakan perspektif HAM.

10) Anak Agung Sukranata tahun 2009 menulis tesis berjudul: “Dinamika Sanksi

Hukum Perkawinan Alangkahi Karang Hulu Dalam Hukum Adat Bali.”45

Sukranata meneliti tentang dinamika sanksi perkawinan Alangkahi Karang

Hulu, di mana sebelum adanya sanksi patiwangi perkawinan tersebut

dikenakan sanksi yang lebih ringan dari perkawinan Asu Pundung, terbatas

pada denda dan hukum kurungan tetapi tidak sampai pada hukuman mati

(labuh geni dan labuh batu). Penelitian ini belum mengkaji dari perspektif

HAM).

Dari uraian hasil penelitian di atas tampak masih ada peluang untuk

melakukan penelitian, mengkaji dan mengkritisi permasalahan tentang

perkawinan antar-wangsa di dalam masyarakat. Perbedaan wangsa masih

merupakan hal yang sangat sensitif di masyarakat sehingga dapat menimbulkan

ketidakharmonisan hubungan keluarga, konflik masyarakat, bahkan sampai

menimbulkan pelanggaran hukum dan HAM.

44

Ida Ayu Made Lestari Dewi dkk., 2013, Implikasi Perkawinan Beda Kasta Dalam

Perspektif Hukum, Sosial, Budaya, dan Religius di Banjar Brahmana Bukit, Kec. Bangli Kab.

Bangli.e journal. Undiksha ac.id. diakses tgl 6-1-2014. 45

Anak Agung Sukranata, 2009, Dinamika Sanksi Hukum Adat Perkawinan Alangkahi

Karang Hulu Dalam Hukum Adat Bali, (tesis) Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

28

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Paradigma Penelitian

Dalam menentukan metode dan teori yang akan dipergunakan dalam

penelitian ini sangat tergantung pada paradigma yang digunakan.46

Paradigma

yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma Legal Critical. Paradigma

ini tergolong dalam kelompok paradigma non-positivistik. Paradigma Critical atau

lebih tepatnya teori kritis adalah paradigma yang mengkritisi sistem hukum

modern yang dipandang positivistik-prosedural dan formalism.47

Pola pikir

paradigma positivisme normologik mengutamakan bunyi teks “peraturan

perundang-undangan”. Pola pikir paradigma Legal Critical ke arah nomologik

menekankan pada realitas atau fakta.48

Secara metodologi dialogis/dialektis,49

penelitian membutuhkan dialog

antara peneliti dengan subyek-subyek penelitian. Dialog harus berciri dialektis

agar dapat diketahui dan dipahami makna-makna perubahan yang terjadi. Terkait

dengan penelitian tentang dinamika sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa

di Bali (Perspektif HAM), secara ontologi dibentuk oleh nilai-nilai sosial, politik,

ekonomi, etnik dan gender, yang kemudian melahirkan perbedaan perlakuan

46

Paradigma untuk pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun. Inti tesis Khun adalah

bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif melainkan secara

revolusi. Model perkembangan dari paradigma I-normal science-anomalies-crisis-revolution-

paradigma II. Pendapat George Ritzer paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan

tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu

pengetahuan. George Ritzer, 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyadur

Almandan, Rajawali PressJakarta, h.3-8. 47

I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Penerbit

Setara Press (kelompok Penerbit Intrams) Malang, h.43. 48

Ifdal Kasim, 2000, Mempertimbangkan “Critical Legal Studies” dalam Kajian Hukum

Indonesia, dalam Jurnal Wacana, Insist Press, Yogyakarta, h.24. 49

Egon G Guba, Yvonna S, Lincoln, 2009, “Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam

Penelitian Kualitatif” dalam Norman K.Denzin Yvonna S Lincoln, Handbook of Qualitative

Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, h.135.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

29

terhadap perempuan tri wangsa dengan laki-laki tri wangsa, dan perempuan tri

wangsa dengan perempuan jaba wangsa dalam perkawinan antar-wangsa. Secara

epistemologi perbedaan perlakuan terjadi karena budaya patriarkis dan sistem

pelapisan sosial yaitu dengan sistem wangsa mengikuti stelsel vertikal. Dengan

demikian secara metodologis dilakukan cara untuk mengetahui perubahan yang

terjadi dalam perkawinan antar-wangsa, agar perlakuan terhadap perempuan

dalam perkawinan antar-wangsa mengikuti perkawinan sederajat, karena derajat

manusia adalah sama. Paradigma Critical sangat tepat dipakai untuk mengkaji dan

menganalisis dinamika sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa di Bali

(Persepektif HAM), khususnya HAM perempuan.

1.6.2 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggambarkan penelitian hukum empiris atau model

penelitian terhadap bekerjanya hukum dalam masyarakat (model sosio-legal

Research).50

Sulistyowati Irianto51

mengemukakan sosio-legal merupakan kajian

terhadap hukum dengan menggunakan pendekatan ilmu hukum maupun ilmu-

ilmu sosial. Prinsip dari studi sosio-legal adalah studi hukum dengan

menggunakan pendekatan metodologi ilmu sosial dalam arti luas. Dengan

demikian peneliti juga menggunakan teori sosial untuk tujuan analisis.

Karakteristik metode penelitian sosio-legal menurut Sulistyowati Irianto ada dua

50

Anonim, 2013, Pedoman penulisan Usulan Penelitian dan Disertasi Program Studi

Doktor Ilmu Hukum, Diterbitkan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Udayana Bekerja

sama dengan Intimedia (Intrans Publishing Group) h.20. (Selanjutnya disebut anonym III). 51

Adrian W. Bedner dkk., 2012, Kajian Sosio-Legal, Penterjemah Tristam Moelyono,

Penerbit Pustaka Larasan Bekerjasama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden,

Universitas Groningen, h.3.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

30

hal.52

Pertama studi sosio-legal melakukan studi tekstual, khususnya terhadap

pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan putusan

pengadilan dengan menganalisisnya secara kritis, dengan tidak lupa menjelaskan

makna dan implikasinya terhadap subjek hukum. Kaitan dengan penelitian ini

adalah hasil analisis terhadap dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa lebih

berat atau lebih ringan, menguntungkan atau merugikan perempuan. Kedua

mengkaji kasus perkawinan nyeburin antar-wangsa berdasarkan teks putusan

hakim maupun data lapangan dari hasil pengamatan dan wawancara pada aktor

yang terlibat dalam kasus tersebut.

E. Jones menyebut penelitian empiris sebagai non doctrinal research.53

Demikian pula Soetandyo Wignjosoebroto54

menyebut penelitian empiris sebagai

penelitian nondoktrinal. Penelitian nondoktrinal yang sosial dan empiris atas

hukum akan menghasilkan teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam

masyarakat.55

Supasti menyebutnya sebagai jenis penelitian dengan aspek

empiris.56

Metode penelitian hukum empiris dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif.57

Bog dan Taylor

52

Ibid, h.6. 53

E. Jones, 1962, Cureent Trends in Legal Research, (Expert), Journal of Legal

Education, p.37. 54

Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode, dan Dinamika,,

Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan untuk

Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA), h.147. (Selanjutnya disebut

Soetandyo I) 55

Ibid, h.164. 56

Supasti Dharmawan, 2005, Metode Penelitian Empiris, tanpa tempat terbit, h. 1. 57

Ibid, h.7.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

31

menggunakan istilah metode penelitian kualitatif.58

Penelitian ini termasuk

penelitian hukum empiris dengan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan

masyarakat yang bersifat kasusistis, namun mendalam (in depth).59

Pemilihan

pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan data

deskriptif. Data deskriptif adalah data yang menggambarkan secara rinci

pemikiran melalui informasi tertulis atau lisan dari masing-masing individu yang

diamati. Pendekatan ini dipilih karena dipandang relevan untuk memperoleh hasil

penelitian. Metode penelitian kualitatif juga disebut metode penelitian

naturalistik60

karena penelitian dilakukan pada kondisi obyek yang alamiah

terhadap pelaku perkawinan antar-wangsa. Penelitian ini memiliki karakter seperti

disebutkan oleh Lincoln dan Guba,61

antara lain latar alamiah (utuh) tidak dibuat-

buat atau dimanipulasi, apa adanya, dan tidak menggunakan eksperimen. Manusia

sebagai alat (instrumen) peneliti langsung sebagai alat penelitian. Peneliti

mengadakan wawancara, memotret upacara patiwangi, mengkontruksi objek yang

diteliti, yaitu tentang dinamika perkawinan antar-wangsa, sehingga menjadi jelas

dan bermakna.

Metode penelitian naturalistik dipandang cocok digunakan untuk

mengetahui bagaimana responden memandang dunia dari segi perspektifnya

menurut pikiran dan perasaannya. Pendekatan tersebut dinamakan pendekatan

emic. Pendekatan emic yaitu titik pandang dari dalam/internal/domestik yang

58

Lexy J. Moleong, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya,

Bandung, h. 3. 59

Soetandyo Wignjosoebroto I, Op.cit.h.169. 60

Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal. 2. 61

Lexy J. Moleong, Op.cit. h.4-8.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

32

disebabkan oleh cara mengklasifikasikan perilaku dengan sistem prilaku

kebudayaan tertentu.62

Pendekatan etic adalah data yang diperoleh menurut

pandangan peneliti.63

Lexy Moleong menyebut sebagai titik pandang ke

luar/ekternal/asing.64

Penelitian ini menggunakan pendekatan etic atas dasar

maksud-maksud etik peneliti dalam menganlisis perilaku masyarakat yang berdiri

di luar suatu kebudayaan berdasarkan argumentasi hukum. Dari situlah peristiwa

dipandang/dibandingkan untuk mencari perbedaan dan persamaan perilaku

masyarakat. Penelitian dengan menggunakan metode naturalistik memungkinkan

untuk mengkaji makna perubahan sanksi perkawinan antar-wangsa.

1.6.3 Lokasi penelitian, penentuan informan dan responden

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu Kabupaten Tabanan,

Kabupaten Gianyar, Kabupaten Buleleng, dan Kota Denpasar. Penentuan

lokasi tersebut di atas dilakukan oleh karena masing-masing daerah memiliki

karakter data yang berbeda sesuai keperluan untuk menjawab permasalahan.

Dengan demikian masing-masing daerah ditemukan data perkawinan antar-

wangsa sebagai berikut.

a. Kota Denpasar, terdapat data perkawinan antar-wangsa dalam bentuk

biasa, yaitu pratiloma. Adapun dinamika sanksi yang dilaksanakan

adalah sanksi selong, upacara patiwangi, tidak diperbolehkan pulang,

tidak diperbolehkan mepamit, ganti nama secara resmi. Peneliti

62

Ibid, h.55. 63

Nasution, Op.cit., h. 71 64

Lexi J Moleong, Op.cit.h. 55.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

33

menemukan mulai adanya perubahan tidak melakukan upacara patiwangi

dan perubahan lain, seperti diperbolehkan mepamit layaknya perkawinan

sederajat, dan adanya etika keluarga yang sudah memperbolehkan orang

tua pihak perempuan untuk menyaksikan upacara perkawinan anaknya.

b. Kabupaten Buleleng, terdapat data dinamika sanksi perkawinan antar-

wangsa, seperti sanksi selong, tidak diperbolehkan pulang, kesepekang

(orang tuanya dikucilkan gara-gara anak perempuannya dipinang jaba

wangsa). Peneliti juga menemukan data perkawinan pada gelahang

antar-wangsa, diperbolehkan melakukan upacara mepamit.

c. Kabupaten Tabanan, terdapat data dinamika sanksi selong, upacara

patiwangi, tidak diperbolehkan melamar dan tidak diperbolehkan

mepamit/ pulang. Peneliti menemukan perkawinan antar-wangsa dalam

bentuk nyeburin, yaitu antara perempuan tri wangsa dengan laki-laki

jaba wangsa. Lebih jelasnya antara Ida Ayu Putu Stiti asal Tabanan

dengan Jero Wangi asal Tabanan, I Gusti Ayu Deliasih asal Tabanan

dengan Nurhasyim asal Kabupaten Malang, dan antara Dewa Ayu Made

Sri Kiranawati asal Tabanan dengan Putu Arcana asal Kabupaten

Buleleng. I GA Puspa Kusuma Dewi dengan Komang Sutrisno asal

Tabanan. Peneliti dapat menyaksikan secara langsung upacara

perkawinan antar-wangsa yang melakukan upacara patiwangi di pura

Bale Agung Desa Payangan, antara Kadek Hery Artana dengan Desak

Putu Sri Widari pada tanggal 9 Mei 2014.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

34

d. Kabupaten Gianyar, terdapat data dinamika sanksi perkawinan antar-

wangsa yaitu sanksi selong, upacara patiwangi, tidak diperbolehkan

melakukan lamaran /meminang, larangan yang diatur dalam etika

keluarga menghadiri upacara perkawinan anaknya. Peneliti menemukan

bentuk perkawinan nyeburin antar-wangsa, yaitu perempuan jaba

wangsa dengan laki-laki tri wangsa, yaitu antara Ni Ketut Novia Arini

dengan I Gusti Ngurah Jana Eka Putra.

2. Penentuan responden dan informan dilakukan dengan cara purposive. Untuk

mendapatkan variasi data yang cukup relevan, maka data diambil dari

responden yaitu pasangan atau salah satu pasangan perkawinan antar-wangsa.

Namun tidak menutup kemungkinan data diambil dari beberapa informan

yaitu anggota keluarga seperti mertua, anak, dan cucu dari pasangan

perkawinan antar-wangsa. Untuk melengkapi data yang diperlukan, sumber

data juga dikembangkan melalui tokoh-tokoh adat dan agama Hindu serta

para pemangku dan sulinggih, sebagai pemahaman dan pendalaman

bekerjanya hukum di masyarakat.

1.6.4 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan untuk melakukan

pemahaman tentang dinamika hukum yang berlaku dalam masyarakat. Research

designed to secure a deeper understanding of law as a social phenomenon,

including research on the historica.l65

Artinya, penelitian ini menggambarkan

model penelitian untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum sebagai

65

Terry Hutchinson, 2010, Researching and Writing in Law, Third Edition, Law Book

Co. h.8.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

35

fenomena sosial dan termasuk penelitian sejarah. Adapun beberapa pendekatan

yang digunakan sebagai berikut:

1) Pendekatan sosio-legal (Socio-legal approach)

Pendekatan ini digunakan karena adanya kesenjangan antara peraturan yang

berlaku dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Ian Curry -Sumner dkk.

dalam Research Skills menyatakan socio-legal adalah, “A lot of socio-legal

research is characterized by the difference between the law in the books and

the law in action”.66

Artinya, penelitian sosio-legal memiliki ciri-ciri yang

berbeda antara hukum yang berlaku dengan hukum yang bekerja di

masyarakat. Pendekatan sosio-legal digunakan di samping melakukan studi

tekstual terhadap pasal-pasal yang digunakan untuk menganalisis HAM

perempuan, juga melakukan studi tentang putusan hakim, kasus-kasus atau

data lapangan dari hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan

pada informan dan responden perkawinan antar-wangsa.

2) Pendekatan sejarah (Historical Approach)

Pendekatan historis dilakukan dalam rangka pelacakan sejarah hukum67

dalam hal ini sejarah peraturan yang mengatur perkawinan antar-wangsa

yaitu perkawinan yang termasuk dalam arti perkawinan Pratiloma (Asu

Pundung dan Alangkahi Karang Hulu) beserta sanksinya. Pendekatan sejarah

dipakai untuk mengetahui peraturan hukum tumbuh dan berkembang menurut

dinamikanya baik norma beserta sanksinya. Kelemahan dari pendekatan

66

Ian Curry-Sumner et al; 2010, Research Skills, School of Law Utrecht University, Ars

Aequi Libri Nijmegen,p.6. 67

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, h 126.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

36

historis di lapangan, tidak ditemukannya responden yang masih hidup dalam

Zaman Kerajaan dan Zaman Kolonial. Namun ditemukan beberapa informan

yang mengetahui penerapan sanksi di masa kerajaan dan kolonial melalui

ceritra orang tuanya. Informan dan responen pada Zaman Kemerdekaan

diketahui dan dialami secara langsung. Validitas data nantinya akan dibantu

dengan menggunakan data sekunder yaitu bahan hukum primer dan sekunder.

3) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Dalam pendekatan konsep, digunakan prinsip-prinsip hukum, prinsip-prinsip

mana dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun

doktrin-doktrin hukum, dapat juga ditemukan dalam undang-undang namun

sifatnya masih umum tidak sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Oleh

karena itu peneliti akan membangun suatu konsep untuk dijadikan suatu

acuan yang bersifat operasional. Konsep merupakan simbol yang

mengandung pengertian singkat tentang masalah. Adapun konsep yang perlu

dibangun adalah konsep dinamika sanksi, konsep hukum adat, konsep

perkawinan antar-wangsa, dan konsep HAM Perempuan. Konsep tersebut

lebih lanjut akan dikemukakan dalam definisi oprasional berikut.

1.6.5 Definisi Operasional

Adapun definisi operasional yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini

berdasarkan judul disertasi yaitu Dinamika Sanksi Hukum Adat Dalam

Perkawinan Antar-wangsa di Bali (Perspektif HAM).

1. Dinamika sanksi adalah perubahan sanksi perkawinan antar-wangsa yang

terjadi dari zaman ke zaman berikutnya. Mulai dari zaman kerajaan di Bali

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

37

(1352-1849), zaman Penjajahan Belanda (1849-1945), zaman Kemerdekaan

(1945-2014).

2. Hukum Adat Bali adalah keseluruhan peraturan baik tertulis maupun tidak

tertulis, termasuk peraturan agama serta kebiasaan-kebiasaan yang hidup

dalam masyarakat Hindu di Bali. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut

akan menimbulkan reaksi dan sanksi adat.

3. Perkawinan antar-wangsa adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki

catur wangsa dengan perempuan catur wangsa disertai dengan pelaksanaan

upacara sekala dan niskala. Catur Wangsa terdiri dari Brahmana wangsa,

Ksatrya wangsa, Wesya wangsa, dan Jaba wangsa. Dengan kata lain

perkawinan antar-wangsa adalah perkawinan yang dapat dilakukan oleh

perempuan brahmana wangsa, perempuan ksatrya wangsa, prempuan wesya

wangsa dan perempuan jaba wangsa dengan laki-laki yang berbeda wangsa.

4. HAM Perempuan dalam penelitian ini adalah hak asasi manusia perempuan

dalam perkawinan antar-wangsa yaitu kesederajatan dan kesetaraan dalam

bidang perkawinan dan perceraian.

1.6.6 Jenis Data

Data merupakan keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar

kajian (analisis atau kesimpulan).68

Fact is something that, actually exiss, aspect

68

Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga,

Balai Pustaka Jakarta, h.239.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

38

of reality.69

Dalam penenelitian ini digunakan dua jenis data yaitu data menurut

sumber dan data menurut sifatnya.

1. Data menurut sumber

a) Data primer

Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan,

yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik

dari responden yang mengalami langsung, maupun informan yang

mengetahui terjadinya kasus perkawinan antar-wangsa.

b) Data Sekunder

Data sekunder, data yang bersumber dari penelitian kepustakaan

yang disebut bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan

hukum primer, sekunder dan tersier70

.

1) Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan-peraturan

yang mempunyai kekuatan mengikat, terdiri dari peraturan hukum

negara, peraturan agama, maupun peraturan adat antara lain:

(a) Kitab Manawa Dharmacastra

(b) Kitab Agama

(c) Kitab Adigama

(d) Kitab Kutaramanawa

(e) Lontar Widi Papincatan

(f) Lontar Brahma Tatwa

69

Bryan A.Garner, 2004, Blacks Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief,

Thomson West, United State of Amerika, h. 628. 70

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, h.14-15.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

39

(g) Lontar Dandang Bang Bungalan

(h) Peswara 1900

(i) Peswara 1910

(j) Peswara 1927

(k) Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 tentang Peraturan

Perhubungan Perkawinan Antar Catur Wangsa di Bali.

(l) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(m) Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1984 tentang Pengsahan

Konvensi Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi

terhadap Wanita.

(n) Undang-undang Nomor: 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi

Manusia

(o) Bhisama Sabha Pandita PHDI Pusat Nomor: 03/PHDI/X/2002

tentang Pengamalan Catur Warna.

(p) Hasil Pesamuan Agung Majelis Desa Pakraman Pusat Nomor:

III Tahun 2010.

(q) Putusan Pengadilan Negeri Tabanan Nomor 8/Pdt.P/1985/PN

TBN, Tanggal 9 Juli 1985.

2) Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah

literatur-literatur tentang hukum adat, HAM, gender, internet, karya-

karya ilmiah, hasil penelitian seperti tesis, disertasi, orasi ilmiah,

jurnal ilmiah, majalah ilmiah, koran yang relevan dengan

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

40

pemasalahan yang diteliti. Bahan hukum ini sudah tercantum dalam

daftar pustaka.

3) Bahan hukum tersier, berupa Kamus Bahasa Indonesia untuk

mencari pengertian kata dinamika dan kata antar atau antara. Kamus

Agama Hindu digunakan untuk mencari pengertian Tat Twam Asi,

Ahimsa, Akrodha, dan Blacks Law Dictionary digunakan untuk

mencari pengertian tentang arti fakta.

2. Data menurut Sifat

Sifat data dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif. Sifat data

kualitatif adalah data yang tidak menggunakan analisis berdasarkan

perhitungan prosentase angka dan perhitungan statistik. Laporan penelitian ini

berbentuk deskriptif kualitatif.

1.6.7 Teknik Pengumpulan Data (Data Collection)

1. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder (bahan hukum)71

dilakukan dengan studi

kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan, mempelajari,

mengambil intisari yang diperlukan, baik berupa teori-teori, konsep-konsep,

maupun pandangan para sarjana, kemudian semua dicatat dan diberi ulasan.

Semua bahan hukum tersebut dicatat dengan menggunakan sistem kartu (card

system) yaitu kartu penelitian yang berisi catatan mengenai hasil penelitian.

71

Ibid, h.14

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

41

Menurut Winarno Surakhmad, Sistem kartu tersebut dibagi tiga

macam, yakni72

kartu ikhtisar, kartu kutipan, kartu analisis/usulan. Kartu

ikhtisar memuat nama pengarang, judul buku, nama penerbit, tahun terbitan,

halaman, pokok masalah yang dikutip dan kartu analisis memuat ulasan yang

bersifat menambah atau menjelaskan dengan cara mengkritik, menarik

kesimpulan, saran maupun komentar. Dalam penelitian ini sistem kartu (card

system) yang dimaksud tidak lagi menggunakan kartu, namun berbentuk

catatan bahan hukum yang tersimpan dalam levtop, agar mudah menyimpan,

gampang mencari dan menggunakannya. Selain sistem kartu penelitian ini

juga menggunakan studi dokumentasi yaitu mengambil dokumen-dukumen

dengan cara meng-copy kitab-kitab agama, lontar-lontar, putusan hakim, akta

perkawinan antar-wangsa.

2. Teknik Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan empat cara, yaitu teknik

observasi terlibat (participant observation), wawancara mendalam (indepth

interview), wawancara dengan para elit (elite interviewing)73

dan teknik

dokumentasi. Keempat teknik pengumpulan data ini cocok digunakan dalam

penelitian yang bersifat menjelaskan serta menggunakan strategi penelitian

lapangan, dan pendekatan historis.

72

Winarno Surakhmad, Pengantar Pennelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, h.227 73

Tjok Istri Putra Astiti, 1994, Pengaruh Hukum Adat dan Program Keluarga Berencana

Terhadap Nilai Anak Laki-laki Dan Perempuan Pada Masyarakat Bali Yang Sedang Berubah

(Suatu Studi Kasus di Desa Baturiti, Tabanan, Bali). Disertasi Pogram Pasca Sarjana Intitut

Pertanian Bogor, h.58-59. (Selanjutnya disebut Astiti I).

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

42

a) Teknik Observasi Terlibat

Teknik observasi digunakan untuk mengetahui secara langsung

proses perkawinan antar-wangsa. Peneliti terlibat sambil mengadakan

pengamatan secara langsung dalam upacara perkawinan antar-wangsa.

Dengan observasi partisipan74

data yang diperoleh menjadi lebih lengkap,

tajam, dan sampai mengetahui tingkat makna dari setiap perilaku yang

nampak. Sebelumnya agak sulit mencari pelaksanaan perkawinan antar-

wangsa yang melakukan upacara patiwangi yang diobservasi. Usaha

mencari informasi kemudian berhasil menemukan perkawinan antar-

wangsa di Banjar Gelagah Desa Payangan Kecamatan Marga Kabupaten

Tabanan. Upacara patiwangi dilakukan oleh Desak Putu Sri Wedari

dengan Kadek Hery Artana yang dilakukan pada tanggal 9 Mei 2014.

Peneliti kemudian menjajagi rumah kediaman dari Kadek Hery Artana di

Denpasar, dan mohon izin membuat dokumentasi untuk keperluan

disertasi. Pada waktu yang telah ditentukan tepatnya hari Jumat pon wuku

Julungwangi upacara dilakukan jam 8 pagi. Peneliti melakukan observasi

sambil mengabadikannya dalam bentuk foto sebagai bukti dokumentasi.

b) Teknik Wawancara dengan para elit (elite interviewing).

Wawancara dengan para elit dilakukan terhadap sejumlah pejabat

desa seperti, Kepala Desa, Bendesa Pakraman, Kelihan adat, Pemangku,

Penglingsir, Rohaniawan/pedande, ahli agama, dan ahli hukum. Dalam

melakukan wawancara terhadap pejabat desa tersebut, peneliti tidak

74

Sugiyono, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif Dilengkapi Contoh Proposal dan

Laporan Penelitian, Penerbit Alfabeta, h. 64.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

43

mengalami kesulitan yang berarti. Peneliti menggunakan bahasa daerah

Bali alus madya yang mudah dipahami dan hanya sekali waktu

menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian peneliti cepat dapat

menjalin hubungan emosi dengan para informan. Dengan menggunakan

bahasa daerah dalam melakukan wawancara ada sentuhan budaya dan

rasa persaudaraan yang dirasakan oleh pihak yang diajak bicara. Sebelum

peneliti lebih jauh melakukan wawancara, langkah pertama yang

dilakukan adalah perkenalkan diri terlebih dahulu dengan informan dan

mengutarakan maksud dan tujuan peneliti untuk mengetahui sejarah

dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa yang terjadi di desanya.

Dalam menggali dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa

menggunakan pedoman wawancara yang terdiri dari 13 pertanyaan

pokok, yaitu 1) dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa dalam tiga

zaman, 2) proses sahnya perkawinan antar-wangsa, 3) apakah upacara

patiwangi masih dilakukan, 4) proses dan tempat pelaksanaan

perkawinan antar-wangsa, 5) adakah masyarakat yang tidak

melakukannya, 6) prakarsa untuk melakukan patiwangi, 7) dengan

adanya perubahan sanksi, apakah persoalan kasta mulai melentur, 8)

apakah ada perkawinan nyeburin dan pada gelahang antara wangsa, 10)

tanggapan keluarga besar terhadap perkawinan nyeburin dan pada

gelahang, 11) Bagaimana proses apakah sama dengan perkawinan

nyerod, 12) implikasi perkawinan antar-wangsa dalam perceraian /mulih

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

44

deha, dan implikasi pada saat meninggal, 13) apakah sudah tahu sanksi

patiwangi sudah dihapus.

Setelah melakukan beberapa pertanyaan, informan kemudian

memberikan informasi, penjelasan, mengenai apa yang ditanyakan,

kemudian peneliti mendengarkan dan mencatat informasi, pengalaman

maupun pengetahuannya tentang perkembangan sanksi hukum adat

perkawinan antra-wangsa. Melalui teknik ini, data yang diperoleh

berbentuk kutipan langsung tentang pengalaman dan pendapat dari

informan. Sebagai alat pengumpulan data lapangan, digunakan alat bantu

berupa catatan lapangan (field notes).75

Catatan lapangan dibuat dengan

sistem kartu berupa catatan hasil wawancara dengan informan.

c) Teknik wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden.

Wawancara dilakukan untuk mengetahui hal-hal dari responden

secara mendalam.76

Wawancara mendalam dilakukan dalam hal

menggali pikiran dan perasaan responden yang mengalami sanksi sosial,

seperti saat melakukan patiwangi, tidak diperbolehkan mepamit dan tidak

diperbolehkan pulang. Wawancara terhadap responden juga ditentukan

secara purposive atas petunjuk dari informan kunci. Wawancara

dilakukan dengan bebas dan terstruktur artinya, berpedoman pada

pertanyaan yang telah dipersiapkan. Pedoman pertanyaan dimaksud

adalah sebagai berikut: 1) Dimulai dari proses berpacaran 2) membuat

keputusan untuk kawin 3) proses perkawinan: cara kawin, cara ngeluku,

75

Lexy J. Moleong, Op.cit, h. 153. 76

Sugiyono, Op.Cit, h.72.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

45

pelaksanaan patiwangi, prakarsa patiwangi, proses pelaksanaan

patiwangi, tempat pelaksanaan patiwangi 3) tujuan patiwangi 4) perasaan

pada saat patiwangi/ganti nama, tidak diperbolehkan pulang, tidak

diperbolehkan mepamit 5) apakah sudah tahu patiwangi sudah dihapus,

6) apakah orang tua/keluarga menyaksikan pelaksanaan upacara

perkawinan dan resepsi, 7) bagaimana penggunaan bahasa setelah

perkawinan, 8) apakah hukum adat Bali sudah adil terhadap perempuan.

Setelah diajukan pertanyaan, responden kemudian menuturkan

pengalamannya dengan bermacam-macam cara penyampaian, mimik

muka yang berubah-ubah, seperti ada kesedihan, penyesalan namun tidak

jarang pelaku perkawinan antar-wangsa menyatakan perasaannya dengan

komentar “biasa saja”. Peneliti mendengar, mencatat dan sekali-kali

menyela pembicaraan untuk memperjelas apa yang dicatat. Pengalaman

responden disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan.

Waktu wawancara tergantung dari kesibukan informan dan

responden. Apabila mereka karyawan swasta atau pegawai negeri sipil,

wawancara dilakukan pada sore hari atau malam hari. Wawancara

terhadap informan dan responden pada umumnya dilakukan sampai dua

atau tiga kali. Apabila masih dirasakan kurang lengkap, peneliti

menggunakan alat komunikasi untuk mengadakan wawancara jarak jauh.

Terakhir, dilakukan pencatatan mengenai pelaksanaan wawancara (hari,

tanggal, dan waktu), tempat wawancara dan identitas informan atau

responden. Penelitian naturalistik/kualitatif menggunakan indepth

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

46

interview yang berusaha mengetahui bagaimana responden perempuan tri

wangsa yang kawin nyerod memandang perubahan perilaku dan

perlakuan masyarakat terhadap dirinya yaitu dari segi perspektifnya,

menurut pikiran dan perasaan yang dialaminya. Penelitian ini disebut

informasi emic.

d) Teknik dokumentasi

Teknik (dokumentasi) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh

data dengan cara mencatat, mengcopy, membuat dokumen/foto. Teknik

dokumentasi digunakan untuk mecopy dokumen tertulis, seperti beberapa

lontar-lontar, awig-awig desa pakraman, surat kabar Surya Kanta, surat

kabar Bali Adnyana. Putusan Pengadilan Negeri Tabanan tentang

perkawinan nyeburin antar-wangsa, yaitu antara Ida Ayu Stiti dan Jero

Wangi. Akta Perkawinan nyeburin antar-wangsa yaitu Dewa Ayu Made

Sri Kirana Dewi dan Putu Arcana. Akta Perkawinan nyeburin antara I

Gusti Ayu Deliasih dan Nurhasyim (I Gusti Putu Widana). Akta

Perkawinan nyeburin Ni Ketut Novarini dan I Gusti Jana Eka Putra.

1.6.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

1) Teknik Pengolahan Data (Data Display)

Pada tahap pengolahan data, data primer dan sekunder yang telah

terkumpul kemudian diidentifikasi, selanjutnya dikategorikan dan

diklasifikasikan berdasarkan permasalahan penelitian. Pada tahap ini dapat

juga dilakukan dengan mengkaitkan data yang satu dengan data yang lainnya,

kemudian membandingkan, mencocokkan, dan dapat juga

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

47

mempertentangkannya. Langkah selanjutnya, data disusun secara sistematis

berdasarkan pokok permasalahan.

2) Teknik Analisis Data mengikuti model (interaktif).

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis data kualitatif yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus

menerus, sehingga tuntas dan data sudah jenuh. Aktivitas dilakukan mulai

dari teknik pengumpulan data sekunder, data primer, dilanjutkan dengan

teknik pengolahan data dan dianalisis dengan menggunakan teori-teori,

konsep-konsep, sesuai fokus penelitian. Teknik ini dengan deskripsi,

interpretasi, evaluasi, dan sistematisasi, kemudian ditarik suatu kesimpulan

(berdasarkan logika deduktif maupun induktif). Penelitian ini bersifat etic.77

Selanjutnya keseluruhan hasil penelitian disajikan secara naratif (narrative),

yaitu memaparkan secara rinci dan lengkap dengan disertai ulasan-ulasan.

Langkah-langkah teknik analisis di atas mengikuti model interaktif seperti

dikemukakan oleh Miles and A. Michael Huberman78

yang terdiri dari reduksi

data (data reduction), menyajikan data (data display), penarikan kesimpulan

(conclusion), ferifikasi (drawing/verification). Langkah-langkah tersebut dapat

diragakan seperti gambar berikut:

77

Lexi J Moleong, Op.Cit. h. 72. 78

Mettew B. Miles and A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press,

Jakarta, h.11.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

48

GAMBAR.1

Sumber: Analisis data model Mattew B.Miles and A. Michael Huberman, 1992, ( model

interaktif/interaktive model)

Aplikasi gambar terhadap penelitian ini, mulai dari aktivitas pengumpulan

data di lapangan dengan berbagai cara yaitu observasi (participant observation),

wawancara (elite interviewing, indepth interview) terhadap responden, dan

dokumentasi. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan reduksi data yaitu

mengklasifikasi, mencocokkan, membandingkan, ataupun mempertentangkannya.

Selanjutnya data yang telah direduksi dianalisis dengan menggunakan teori,

konsep-konsep, ajaran-ajaran, serta peraturan perundang-undangan yang telah

dipersiapkan sesuai fokus penelitian. Dilanjutkan menyajikan seluruh hasil

penelitian secara naratif (dalam bentuk uraian) dengan memaparkan secara rinci

dan lengkap disertai interpretasi, argumentasi dan sistimatisasi. Langkah

selanjutnya conclusion yaitu penarikan kesimpulan hasil penelitian tentang

dinamika sanksi, makna perubahan sanksi, serta implikasi perubahan sanksi

hukum adat perkawinan antar-wangsa berdasarkan logika deduktif maupun logika

induktif.

Pengumpulan Data

Reduksi Data

Sajian Data

Penarikan

Kesimpulan

Verifikasi

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

49

1.6.9 Pengujian Kredibilitas Data

Teknik pengujian kredibilitas79

data dapat digambarkan seperti gambar berikut:

GAMBAR 2

Sumber: Uji kredibilitas data dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, h.122)

Pengujian kredibilitas80

data dapat dilakukan dengan beberapa tahap:

1. Tahap perpanjangan pengamatan perlu dilakukan karena setelah data

terkumpul dan diadakan seleksi atau pengkategorian sesuai fokus penelitian

dianggap belum kredibel. Hal ini erat kaitannya dengan manusia yaitu peneliti

sendiri sebagai alat penelitian. Kurangnya ketelitian, kecermatan dan

kekritisan peneliti menyebabkan kurangnya kredibilitas data. Interaksi

wawancara yang kurang fokus juga menyebabkan kurang lengkapnya data.

Berdasarkan hal tersebut diperlukan perpanjangan pengamatan, sehingga

peneliti mengadakan pengamatan kembali ke lapangan. Dengan demikian

wawancara tidak cukup dilakukan satu atau dua kali.

79

Sugiyono, Op.Cit. h.122. 80

Ibid h.208-211.

Meningkatkan ketekunan

Triangulasi

Diskusi teman sejawat

Member Check

Perpanjangan pengamatan

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

50

2. Tahap peningkatan ketekunan dan pengujian kredibilitas data dilakukan

dengan cara membaca seluruh catatan hasil penelitian secara cermat,

kemudian memberi ulasan atau deskripsi yang akurat dan sistematis tentang

dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa.

3. Tahap triangulasi yaitu pengecekan data melalui berbagai sumber dengan

berbagai cara dan berbagai waktu. Triangulasi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah triangulasi sumber untuk mengecek kebenaran data yang

diperoleh dari informan/responden satu dibandingkan dengan data yang

diperoleh dari informan/responden berikutnya. Kalau informasi yang didapat

menunjukkan kesamaan, dianggap data sudah kredibel. Hal ini berlangsung

terus menerus sampai informasi jenuh (saturated) atau informan habis.

Triangulasi waktu dilakukan pada hari libur atau tidak hari libur, pagi atau

sore, tidak ada pengaruh. Teknik wawancara juga dipadukan dengan teknik

pengamatan (observasi) dan dokumentasi dengan melampirkan foto

perkawinan antar-wangsa yang melakukan upacara patiwangi di Pura Bale

Agung.

4. Diskusi teman sejawat dilakukan dengan cara seminar hasil penelitian yang

masih bersifat sementara untuk mendapatkan masukan-masukan, saran-saran

melalui diskusi yang dilakukan dengan teman-teman mahasiswa S3 Ilmu

Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana.

5. Member check (pengecekan anggota) adalah pengujian terhadap temuan

lapangan yang ditulis dalam bentuk disertasi. Hasilnya kemudian

disampaikan kepada aktor perkawinan antar-wangsa, apakah hasil penelitian

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I.pdf · memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan,

51

sudah benar atau masih perlu ada perubahan sesuai dengan yang dialami atau

diketahui oleh aktor. Apakah mereka keberatan nama aslinya dicantumkan,

kemudian akan diadakan penggantian nama bila perlu.