Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkawinan sebagai salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia
memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Ketiga landasan tersebut
menjadi dasar pelaksanaan hukum adat perkawinan, dengan tujuan agar
pelaksanaan berjalan sesuai harapan.
Landasan filosofis adalah perkawinan berdasarkan atas nilai-nilai
Pancasila dan nilai-nilai ajaran agama Hindu. Sebagai aplikasi dari landasan
filosofis perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan
kepercayaannya.1 Landasan yuridis adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Secara yuridis
formal hukum yang berlaku adalah hukum masing-masing agama dan
kepercayaan bagi masing-masing pemeluknya. Artinya, tidak ada perkawinan di
luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ketentuan diatur dalam
Kitab Hukum Perdata (Burgerljk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Kristen
(Huweljiksordonantie Christen Indonesia S.1933 nomor 74), dan Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde huwelijken S. 1898 nomor
158). Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku.2
Peraturan-peraturan lain maksudnya adalah ketentuan-ketentuan menurut hukum
1 Soerjono Soekanto, 1992, Intisari Hukum Keluarga, PT Citra Aditya Bakti Bandung,
h.5. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I). 2 Ibid, h.8.
2
adat. Ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai dengan Undang- Undang Perkawinan
menjadi hapus, asumsi tersebut adalah asumsi secara yuridis formal. Dengan
demikian, hukum adat yang sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan serta hal-
hal yang belum diatur secara tertulis tetap berlaku.
Landasan sosiologis adalah hukum perkawinan antar-wangsa mendapat
pengakuan dari masyarakat. Perkawinan menyangkut kedudukan sosial. Pada
umumnya suatu perkawinan berlangsung antara orang-orang yang mempunyai
kedudukan sosial yang sederajat, tetapi adakalanya perkawinan tersebut
menaikkan derajat orang-orang tertentu, atau sebaliknya menurunkan derajat
tersebut. Keadaan semacam itu pada umumnya tampak pada masyarakat yang
sistem stratifikasi sosialnya bersifat tertutup.3 Stratifikasi sosial masyarakat Hindu
di Bali dikenal dengan sistem wangsa yaitu menganut sistem tertutup. Oleh
karena dalam sistem wangsa terdapat aturan-aturan yang membatasi anggota
masyarakatnya untuk pindah dari lapisan bawah ke atas. Sistem wangsa pada
masyarakat Hindu di Bali membawa konsekwensi adanya peraturan perkawinan
antar-wangsa dari zaman kerajaan sampai zaman kemerdekaan.
Mencermati landasan perkawinan tersebut di atas secara yuridis sosiologis
tampak bahwa perkawinan antar-wangsa dari tahun ke tahun mengalami
dinamika. Dinamika tersebut disebabkan oleh perubahan peraturan pada zaman
kerajaan sampai zaman kemerdekaan. Perubahan hukum tidak selalu diikuti oleh
perubahan sosial, demikian sebaliknya perubahan sosial tidak selalu diikuti oleh
3 Ibid. h. 11.
3
perubahan hukum.4 Artinya, dalam keadaan tertentu perkembangan hukum dapat
tertinggal karena perkembangan sosial yang sangat cepat, misalnya dipengaruhi
oleh faktor teknologi, sebaliknya perkembangan sosial tidak selalu mengikuti
perubahan hukum.
Penggunaan hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (
social engineering) adalah suatu hal yang lumrah. Umumnya orang berpendapat
bahwa hukum dalam penggunaannya sekarang hampir selalu berupa sarana untuk
melakukan social engineering. “Hukum sebagai sarana social engineering adalah
penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan
masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan yang
diinginkan. Kemampuan seperti ini biasanya dilekatkan pada hukum modern
sebagai lawan dari hukum tradisional”.5
Hukum tradisional yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hukum
adat yang memiliki ciri utama yaitu religio magis.6 Artinya perilaku hukum atau
kaidah-kaidah hukum adat berkaitan dengan kepercayaan terhadap gaib dan atau
berdasarkan kepercayaan Ajaran Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat Hindu
di Bali dalam melaksanakan perkawinan selalu didahului dengan upacara
adat/agama. Tujuan upacara adalah untuk memohon keselamatan dan kerukunan
bagi mempelai ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi dan para roh leluhur yang
berstana di pura keluarga.
4 Soerjono Soekanto, 2012, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali, Pers, Jakarta, h.115
(Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II). 5 Satjipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni Bandung, h.142
(Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I) 6 Tolib Setiadi, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Dalam Kajian Kepustakaan),
Penerbit Alfabeta Bandung, h 33.
4
Hukum juga dinyatakan sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial
atau social control, yaitu suatu proses untuk mempengaruhi orang untuk
bertingkah laku sesuai dengan peraturan yang sedang berlaku. Seperti apa yang
diuraikan di atas, kadang kala hukum tidak mampu melakukan fungsinya baik
sebagai social control maupun fungsinya sebagai rekayasa sosial (social
engineering), dalam bidang-bidang tertentu dalam hukum adat. Rouscoe Pound7
berpendapat bahwa batas-batas kemampuan hukum terletak pada hukum yang
pada umumnya hanya mengatur kepentingan-kepentingan masyarakat yang
bersifat lahiriah. Dalam menerapkan sanksi yang melekat pada hukum ada batas-
batasnya. Faktor tersebut harus diperhatikan oleh para pelopor perubahan apakah
itu legislatif atau hakim yang menginginkan hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat. Sebagai contoh ketidakmampuan melakukan fungsinya sebagai
rekayasa sosial (social engineering) dalam penelitian ini, terbitnya Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali Nomor: 11/D.P.R D Tahun 1951
(selanjutnya disebut Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951), mencabut
Peswara tahun 1910 yang telah diubah dengan Beslit Residen Bali dan Lombok
tanggal 11 April 1927 Nomor 352 sepanjang yang mengatur mengenai
perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Berdasarkan hasil
penelitian sampai saat ini Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 belum
mampu mengubah perilaku masyarakat Hindu untuk tidak melakukan upacara
patiwangi, karena upacara patiwangi menyangkut kepercayaan.
7 Hendrojono, 2005, Sosiologi Hukum Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum,
Srikandi, Surabaya, h.55.
5
Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 merupakan produk keempat
DPR sejak dilantik pada tanggal 25 September 1950. Keputusan ini merupakan
kebijakan Pemerintah Daerah Bali yang pada waktu itu mempunyai dua badan
yakni Dewan Pemerintah Daerah Bali dan Dewan Perwakilan Rakyat Bali. Tujuan
dikeluarkannya keputusan adalah untuk menghapus peraturan perkawinan zaman
kerajaan maupun zaman penjajahan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat yang merdeka berdasarkan Pancasila. Berdasarkan Pasal 5 dari
Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 maka, peraturan ini disebut
peraturan perhubungan perkawinan antara catur wangsa. Berdasarkan peraturan
tersebut penelitian ini menggunakan istilah “perkawinan antar-wangsa”.
Hukum adat perkawinan antar-wangsa mempunyai ruang lingkup berlaku
secara lokal artinya, berlaku untuk masyarakat Hindu di Bali. Bagi masyarakat
Hindu di Bali, eksistensi hukum perkawinan antar-wangsa masih sangat kuat.
Artinya, hukum tersebut masih diakui oleh masyarakat Hindu di Bali. Perkawinan
antar-wangsa termasuk dalam hukum adat keluarga. Soerojo Wignjodipoero
menggunakan istilah hukum kekeluargaan yaitu hukum yang menyangkut tentang
keturunan.8 Bushar Muhammad menggunakan istilah keturunan. Keturunan
adalah ketunggalan leluhur artinya, ada hubungan darah antara orang seorang dan
orang lain.9 Menurut Korn pada hakikatnya “sistem kekeluargaan yang dianut
oleh masyarakat Hindu di Bali adalah sistem kekeluargaan patrilinial. Keturunan
ditarik dari garis keturunan laki-laki (purusa). Artinya, bila terjadi perkawinan
8 Soerojo Wignjodipoero, 1987, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, CV Haji
Masagung, Jakarta, h.108-117. 9 Bushar Muhammad, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adat, Penerbit PT Pradnya Paramita,
h.3. (Selanjutnya disebut Bushar Muhammad I)
6
maka, seorang perempuan kawin akan masuk ke dalam rumpun keluarga laki-laki
(suami) untuk selanjutnya meneruskan keturunan dalam keluarga laki-laki.”10
Berdasarkan uraian di atas hukum keluarga adalah hukum baik tertulis
maupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan
dengan keturunan. Hubungan tersebut dapat diakibatkan oleh adanya hubungan
darah maupun yang diakibatkan oleh suatu perbuatan hukum tertentu. Hubungan
keluarga disebabkan oleh adanya suatu perbuatan hukum, yaitu perkawinan
maupun pengangkatan anak. Hubungan kekeluargaan berisi hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam kehidupan keluarga, seperti hak dan kewajiban anak
terhadap orang tua, hak dan kewajiban antara suami dengan istri dalam
perkawinan. Hukum yang tidak tertulis mengatur hubungan-hubungan tersebut di
atas disebut hukum adat kekeluargaan, termasuk hukum adat kekeluargaan adalah
hukum adat perkawinan.
Hukum adat perkawinan masyarakat Hindu di Bali berkaitan dengan aspek
pelapisan masyarakat (stratifikasi sosial). Aspek pelapisan masyarakat ini dapat
mempengaruhi keberadaan dan pelaksanaan hukum adat perkawinan yang dikenal
dengan wangsa. Konsep wangsa yaitu kedudukan seseorang di dalam masyarakat
ditentukan oleh kelahiran atau keturunannya. Konsep ini bersifat vertikal. Pasek
Diantha menyebutnya “stelsel vertikal untuk sistem catur wangsa, sedangkan
sistem catur warna menganut sistem horizontal.”11
10
VE. Korn, 1978, “Het Adat Recht Van Bali” Hukum Adat Bali (Terjemahan: I Gede
Wayan Pangkat) Cetakan kedua, Penerbit FHPM Universitas Udayana Denpasar, h. 1.
(Selanjutnya disebut Korn I). 11
Made Pasek Diantha dan I Gede Pasek Eka Wisanjaya, 2010, Kasta Dalam Perspektif
Hukum dan HAM, Penerbit Udayana University Press, Denpasar, h.129.
7
Sistem wangsa yang menempatkan posisi dan kedudukan manusia dalam
masyarakat pada strata yang lebih tinggi atau lebih rendah disebut stelsel vertikal.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor sosiologis dan faktor historis pada saat masuknya
agama Hindu ke Bali. Berdasarkan sejarah, Ardika menyatakan: “Dalem Sri
Kresna Kepakisan merupakan cikal bakal Dinasti Kepakisan merupakan awal
pembentukan wamsakerta baru di Bali. Wamsa Sri Kresna Kepakisan, yang
kemudian menurunkan raja-raja turunan dari Majapahit, antara lain Samprangan,
Gelgel dan Klungkung. Dalem Sri Kresna Kepakisan dianggap raja yang telah
berhasil menunaikan tugasnya sebagai fasilitator Bali dan Wilayah
taklukannya”.12
Menurut Wiana dan Raka Santri sistem pelapisan sosial
masyarakat yang beragama Hindu disebut juga Wamsa,13
masyarakat luas
menyebut Wangsa. Istilah wamsa sama dengan wangsa yang mempunyai arti
sama yaitu keturunan.
Timbulnya sistem wangsa tidak lepas dari pemerintahan dinasti Dalem Sri
Kresna Kepakisan di Bali (1352-1380). Setelah Dalem Sri Kresna
Kepakisan wafat digantikan oleh putranya yaitu I Dewa Samprangan
bergelar Dalem Samprangan (1380-1401). Dalem Samprangan kemudian
digantikan oleh adiknya Ida I Dewa Ketut Ngulesir bergelar Dalem Ketut
Ngulesir (1401-1460). Dalem Ngulesir digantikan oleh putranya Dalem
Watu Renggong (1460-1550). Pada pemerintahan Dalem Watu Renggong,
Dang Hyang Nirartha menjadi pendeta keraton (Bhagawanta). Di Bali
beliau disebut dengan Pedanda Sakti Wawu Rawuh artinya, Pendeta Sakti
Baru Datang. Beliau membawa konsep Tripurusa yang berkaitan dengan
ke-Esaan Tuhan yang bersifat vertikal yaitu Parama Siwa, Sadha Siwa,
dan Siwa. Perpaduan antara Siwa dan Sadha Siwa menghasilkan lingga
sebagai perwujudan Siwa. Atas dasar ini pula kemudian dibangun
Padmasana sebagai simbol alam semesta, stana Tuhan sebagai yang
12
I Wayan Ardika, dkk, 2013, Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern,Penerbit
Udayana University Press, h.272 13
Ketut Wiana dan Raka Santri, 2006, Kasta dalam Hindu Kesalah Pahaman Berabad-
abad, Cetakan kelima, Penerbit Percetakan Ofset BP Denpasar, h.21-22
8
tunggal.14
Konsep tersebut merupakan penyempurnaan konsep Tri Murti15
dari Mpu Kuturan yang sebelumnya bersifat horizontal.
Keturunan dari Dang Hyang Nirarta kemudian menjadi wangsa
Brahmana, keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan menjadi wangsa Ksatrya
Dalem, keturunan para Arya menjadi wangsa Ksatrya. Ada yang menyebut para
Ksatrya di luar Ksatrya Dalem sebagai wangsa Wesya.16
Masyarakat di luar itu
seperti keturunan Pasek, Pande, Bujangga, dan masyarakat Bali Aga menolak
sistem kasta, kemudian dikelompokkan sebagai wangsa Sudra, yang kemudian
menyebut diri sebagai Jaba Wangsa.
Sistem pelapisan sosial dalam Kitab Suci Veda disebut dengan istilah
warna, yang berkaitan dengan profesi atau fungsi individu dalam masyarakat.
Warna dalam ajaran agama Hindu selanjutnya dibedakan menjadi empat macam
yang disebut catur warna yaitu brahmana, ksatrya, vaisya, dan sudra. Tugas-
tugas profesionalnya yang diatur dalam Yajurveda XVIII. 48 yang berbunyi
sebagai berikut:”Brahmane brahmanam, ksatraya rajanyam, marudbhyo vaisyam,
tapase sudram”. Artinya, “ Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan
brahmana untuk pengetahuan, para ksatriya untuk perlindungan, para vaisya
untuk perdagangan dan para sudra untuk pekerjaan jasmaniah.”17
Sistem warna
merupakan sistem pelapisan sosial yang bersifat terbuka. Sistem ini memberi
peluang kepada siapa saja untuk mencapai warna yang diinginkan, dengan jalan
14
Anonim 1987, Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali, Penerbit Pemerintah
Daerah Tingkat I Bali, h.83. (Selanjutnya disebut Anonim I) 15
Ardika, Op.Cit, h.282. 16
Ketut Wiana dan Raka Santri, Op.Cit, h. 99. 17
I Made Titib, 2003, Veda Sabda Suci (Pedoman Praktis Kehidupan) Penerbit Paramita
Surabaya h.388-389. (Selanjutnya disebut I Made Titib I).
9
melakukan usaha meningkatkan diri melalui pendidikan, ekonomi, maupun
jabatan yang diperolehnya.
Masyarakat Hindu di Bali memiliki karakteristik yang identik dengan
kelompok masyarakat seperti di atas. Masyarakat Hindu di Bali dalam konteks
sosial terstratifikasi ke dalam empat strata yang dikenal catur wangsa yaitu
wangsa brahmana, ksatrya, wesya dan sudra. Djoyodiguno menyebutnya dengan
istilah ”kewangsaan” untuk istilah “keturunan.”18
Dalam penelitian ini digunakan
istilah wangsa. Dalam catur wangsa sesungguhnya berarti “setiap orang
berpotensi untuk melaksanakan keempat warna”. Catur berarti empat, Wang
berarti manusia, dan sa/se berarti satu. Jadi, keempat warna itu bersatu di dalam
diri seorang manusia.19
Berdasarkan pengertian tersebut wangsa kelihatannya
tidak bersifat vertikal, tetapi mereka dapat melaksanakan ke-empat warna sesuai
keinginan dan kemampuannya.
Pada zaman kerajaan dan zaman Belanda sistem wangsa di Bali, apa pun
istilahnya: kasta, warna, wangsa ternyata membawa implikasi hukum tertentu
dalam hukum perkawinan khususnya perkawinan antara wangsa. Clayton
mengemukakan dua jenis peraturan yang berhubungan dengan perkawinan yaitu
“(1) endogamy, which refers to rules prescribing that an individual must marry
someone within a certain group”, and (2) exogamy, requers that a person marry
someone outdide of acertain group.20
Masyarakat yang tergolong ke dalam tri
wangsa menganut sistem endogami wangsa, yang melarang anggota keluarganya
18
M.M. Djoyodigoeno, 1976, Azas-Azas Hukum adat, JBP. Badan Penerbit Gajahmada,
Yogyakarta. h 58. (Selanjutnya disebut Djojodigoeno I). 19
I Ketut Wiana dan Raka Santri, Op.Cit, h. 120. 20
R. Richard Clayton, 1975, The Family, Marriage, and Social Change, D.C. Helth and
Company, Lexington, Massachussets, Toronto, London, p.45.
10
untuk kawin ke luar (eksogami) dengan wangsa sudra, karena dianggap
merendahkan martabat dari golongan tersebut.
Pelanggaran terhadap larangan perkawinan antar-wangsa disebut Asu
Pundung dan Alangkahi Karang Hulu. Istilah Asu Pundung secara harfiah berarti
perempun brahmana menggendong anjing. Laki-laki ksatrya, wesya, dan sudra
diibaratkan sebagai anjing dan Alangkahi Karang Hulu berarti laki-laki wesya dan
sudra meloncati kepala. Istilah “kepala” tersebut mengacu kepada kepala raja.21
Jiwa Atmaja mengartikan perbuatan Alangkahi Karang Hulu sebagai perbuatan
melangkahi atau meloncati “wilayah sakral” (karang hulu).22
Larangan
perkawinan Asu Pundung adalah perkawinan antara seorang laki-laki dari wangsa
Sudra, wangsa Wesya dan wangsa Ksatrya bukan Dalem mengawini seorang
wanita dari wangsa Brahmana dan Ksatrya Dalem. Larangan perkawinan
Alangkahi Karang Hulu adalah jika laki-laki wangsa Sudra dan Wesya
mengambil seorang wanita dari wangsa Ksatrya bukan Dalem. Laki-laki dari
wangsa Sudra mengambil wanita dari wangsa Wesya. Namun belakangan wangsa
Wesya tidak kelihatan, mereka sepertinya menggunakan wangsa Ksatrya bukan
Dalem.
Pergeseran sistem warna menjadi sistem wangsa kemudian disebut dengan
istilah kasta terjadi pada tahun 1910. Ketika itu raja mengeluarkan “Peswara”
(semacam keputusan) yang menetapkan jenis-jenis pelanggaran adat beserta
sanksinya. Peswara yang kemudian diperkuat dengan Beslit Resident Bali dan
21
Made Kembar Kerepun, 2004, Benang Kusut Nama Gelar di Bali, Penerbit CV. Bali
Media Adhikara, h.76. 22
Jiwa Atmaja, 2008, Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat Bali,
Penerbit CV Bali Media Adhikarsa bekerjasama dengan Udayana University Press, h.149.
11
Lombok tertanggal 11 April 1927, No.352 JI,C.2 yang menetapkan Asu Pundung
dan Alangkahi Karang Hulu sebagai salah satu jenis pelanggaran adat dalam
perkawinan antar-wangsa.23
Peswara tersebut di atas nampaknya sudah tidak
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang sudah merdeka. Norma dan
sanksinya mengandung nilai-nilai yang merendahkan martabat manusia. Dengan
demikian pemerintah melalui Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951
mencabut peswara tahun 1927. Dasar pertimbangan Keputusan menunjuk pada
perubahan-perubahan yang terjadi sejak merdeka, dengan berpedoman pada satu
bangsa, satu bahasa, satu negara. Pertimbangan lain adalah mengacu agar jangan
lagi terasa sesuatu golongan mendapat perilaku yang tidak adil. Keputusan ini
merupakan salah satu tonggak penting perkembangan hukum adat perkawinan
antar-wangsa di Bali yang telah mencerminkan nilai-nilai keadilan, persamaan,
dan kesederajatan. Nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kesederajatan
merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam rinsip-prinsip Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia tahun 1948 (selanjutnya disingkat menjadi DUHAM).
Prinsip-prinsip HAM sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia
sejak dahulu, sebelum bangsa Indonesia merdeka. Pancasila merupakan Dasar
Negara Indonesia yang digali dari jiwa bangsa Indonesia. Sila kedua dari
Pancasila merupakan salah satu sila yang memuat prinsip-prinsip HAM. Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka dengan demikian Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur tentang HAM
23
I Ketut Wiana dan Raka Santri, op.cit, h. 107.
12
tercantum dalam BAB XIV: Kesejahteraan Sosial24
, yaitu Pasal 33 dan Pasal 34.
Pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, ketentuan HAM diatur
dalam Bagian V Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar manusia yang
meliputi 26 pasal, terdiri dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 33. Undang-Undang
Dasar Sementara Tahun 1950 HAM diatur dalam ketentuan termuat dalam Bagian
VI: Asas-Asas Dasar, meliputi 8 pasal yaitu dari Pasal 35 sampai dengan Pasal 43.
Dalam kurun waktu berlakunya ketiga Undang-Undang Dasar tersebut Hak Asasi
Manusia tidak mendapatkan perhatian sebagaimana seharusnya, apa lagi
dilaksanakan. Pelaksanaan HAM nampaknya terjadi setelah adanya Deklarasi
Sedunia HAM PBB yaitu Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi
Universal Hak Azasi Manusia 1948).
Pemerintah Bali selama tahun 1950-1951 mengeluarkan produk peraturan
yang lebih banyak berbentuk kebijakan. Pada waktu itu Indonesia baru satu tahun
mengenal hierarki perundang-undangan pertama, yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari
1950.25
Dalam peraturan tersebut belum diatur hierarki sampai setingkat Perda.
Kedudukan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 pada hierarki belum
nampak. Hierarki pada waktu itu hanya mengatur jenis peraturan-peraturan
Pemerintah Pusat yaitu :
24
Soehino, 2011, Hak Asasi Manusia Perkembangan Pengaturan Dan Pelaksanaan Hak
Asasi Manusia Di Indonesia (Sejak Kelahirannya Sampai Waktu Ini), Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UGM Yogyakarta, h.17-28. 25
Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Per-Undang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, Penerbit Kanisius, h.70.
13
a. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang,
b. Peraturan Pemerintah,
c. Peraturan Menteri.
Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 tampaknya kurang ditaati
oleh masyarakat Hindu di Bali, sehingga hukum tidak dapat berfungsi secara
cepat untuk mengubah perilaku masyarakat. Konsep hukum demikian menurut
Rouscoe Pound lazim disebut” Law as a tool of social engineering.”26
Artinya,
Pemerintah Daerah Bali ingin mengubah perilaku masyarakatnya melalui suatu
peraturan. Kusumaatmaja, dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia
menjelaskan yang intinya bagaimana memerankan hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat.27
Tujuannya adalah agar perilaku masyarakat menjadi
berubah sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam DUHAM 1948 yaitu
menghargai dan menghormati harkat dan martabat manusia. Dengan demikian
Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 belum berlaku efektif. Hal ini
disebabkan oleh karena keputusan belum sejalan dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat, meminjam pendapat Erlich yaitu living law.28
Terbukti tidak jarang
perkawinan antar-wangsa masih mendapat sanksi psikologis maupun sanksi sosial
dalam bentuk upacara penurunan wangsa.
26
Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis),Penerbit Candra Pratama, Jakarta, h. 101. (Selanjutnya disebut Achmad Ali I). 27
Romly, 2012, Teori Hukum Integratif Rekontruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Penerbit Genta Publishing, h.42. 28
Zainuddin Ali, 2006, Filsafat Hukum, Cetakan pertama,Sinar Grafika Jakarta h.61.
(Selanjutnya disebut Zainudin Ali I).
14
Pelaksanaan sanksi berkaitan dengan alam pikiran masyarakat yang telah
lama di bawah kekuasaan kerajaan dan kolonial. Pada zaman tersebut makna
hukum selaras dengan pendapat John Austin29
“a law is a command whichs
obliges a person or person….Law and other commands are said to proceed from
superiors, and to bind or oblige inferior” Artinya, hukum adalah suatu perintah
dari pihak superior, pihak superior yang dimaksud adalah pihak yang berdaulat
yaitu raja-raja pada zaman tersebut. Pihak superior menentukan apa yang
diperbolehkan dan apa yang menjadi larangan. Kekuasaan dari superior itu
memaksa orang/pihak inferior untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara
menakut-nakuti dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang
diinginkan. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan
adil, atau sebaliknya. Dengan konsep hukum tersebut masyarakat mentaati hukum
yang menjadi perintah penguasa/pihak yang berdaulat. Ketaatan terhadap
kedaulatan/perintah penguasa dirasakan sebagai “a moral duty to obey” oleh
masyarakat yaitu merupakan suatu kewajiban moral untuk mentaatinya.
Kewajiban moral ini kemudian melekat dalam budaya masyarakat, sehingga
memerlukan waktu yang panjang untuk mengubahnya.
Ketaatan masyarakat terhadap peraturan terdahulu telah menjadi suatu
kewajiban moral, kemudian menjadi suatu tradisi, dan akhirnya menjadi suatu
keyakinan. Masyarakat awam nampaknya tidak mengetahui dan memahami
Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 yang secara tegas telah menghapus
29
Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia) Penerbit Pt.Gramedia Pustaka Utama, h.114. (Selanjutnya
disebut Dardji Dihardjo dan Shidarta I).
15
“Hukum adat yang disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu”.30
Hal ini
disebabkan karena sosialisasi peraturan sangat kurang dan sudah lama terbitnya.
Sarana untuk sosialisasi pada tahun 1951, tidaklah secanggih seperti sekarang
dengan menggunakan media elektronik. Akibat kurang sosialisasi menyebabkan
masyarakat maupun keluarga masih melaksanakan sanksi terhadap perkawinan
antar-wangsa. Penyebab lain adalah adanya suatu keyakinan dari sebagian
masyarakat awam di Bali, kalau terjadi perkawinan antar-wangsa/
pratiloma/nyerod maka sebaiknya dibuatkan atau dilengkapi dengan upacara
patiwangi. Istilah pratiloma31
menunjuk pada perkawinan di mana perempuan tri
wangsa kawin dengan laki-laki yang derajatnya lebih rendah. Apabila tidak
melakukan upacara patiwangi, takut akan terjadi sesuatu. Walaupun keyakinan
tersebut di atas merupakan mitos belaka yang tidak dapat dibuktikan dengan akal
sehat, tetapi tidak jarang terbukti kebenarannya. Hal tersebut pernah terjadi di
Desa Sukasada Kabupaten Buleleng. Berdasarkan wawancara dalam penelitian
tesis tahun 2009.32
Ida Ayu Ririn dari Puri Anyar Sukasada setelah berapa lama
perkawinannya tidak mempunyai keturunan, kemudian timbul niat dari keluarga
untuk melakukan upacara patiwangi, setelah dilakukan pelaksanaan upacara
patiwangi, kemudian Ida Ayu Ririn memiliki beberapa keturunan. Sebaliknya Ida
30
Lihat ketentuan Pasal 2 dan 3 SK. DPRD. Bali No.11 Tahun 1951, bunyi Pasal 2 Yang
disebut Asu Pundung ialah: Gadis (wanita) dari kasta Brahmanawangsa dikawini oleh laki-laki
Ksatrya, Wesya, dan Sudrawangsa. Pasal 3 a. Gadis (wanita) dari Ksatryawangsa dikawini oleh
laki-laki dari kasta Wesya, Sudrawangsa. b. Gadis (wanita) dari kasta Wesyawangsa dikawini oleh
laki-laki dari kasta Sudrawangsa. 31
Istilah ini dapat dilihat dalam Manawa Dharmacastra Buku III Pasal 13 pratiloma
menurut garis mendaki, artinya laki dari golongan lebih rendah tidak boleh mengambil istri dari
perempuan yang golongannya lebih tinggi. Asas pratiloma merupakan lawan dari asas anuloma
yaitu menurut garis menurun. Asas ini tidak dapat diterapkan lagi oleh karena emansipasi sosial
tidak dapat dipergunakan sebagai criteria hukum. h.136, 32
Sadnyini Ida Ayu, 2009, Dinamika Hukum Adat Perkawinan Asupundung di Bali
(tesis), Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, h. 147. (Selanjutnya disebut Sadnyini I).
16
Ayu Kade Adnyani dari Desa Pedungan Denpasar Selatan sudah melakukan
upacara patiwangi, tidak memiliki keturunan bahkan suaminya meninggal dunia
selang 3 tahun mengangkat anak. Permasalahan lain terjadi di Desa Timpag
Kecamatan Kerambitan, upacara patiwangi dilakukan atas perintah sulinggih.
Apabila upacara tidak dilakukan maka sulinggih tidak mau melaksanakan (muput)
upacara perkawinan dimaksud, yakni tidak diberi tirta/air suci. Di samping sanksi
dari masyarakat, sanksi dari keluarga juga menyebabkan tekanan psikologis.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka timbul problem filosofis,
bahwa sanksi perkawinan antar-wangsa bertentangan dengan nilai-nilai sila
Ketuhanan Yang maha Esa dalam Pancasila. Sebagai negara yang ber-Ketuhanan,
maka semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan. Hal ini mengisyaratkan
bahwa semua manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam derajat hak asasi.
Perkawinan antar-wangsa bertentangan juga dengan nilai-nilai sila kedua yaitu
kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mengisyaratkan adanya perlakuan
yang adil terhadap semua manusia tanpa memandang ras, kasta, suku, dan jenis
kelamin. Sanksi perkawinan antar-wangsa juga bertentangan dengan nilai-nilai
ajaran Hindu. Salah satunya adalah ajaran Ahimsa yaitu tidak memperbolehkan
seseorang untuk mengambil jiwa seseorang. Namun ajaran tersebut pada zaman
kerajaan seolah-olah dikesampingkan terutama dalam konteks perkawinan antar-
wangsa. Sanksi selong (dibuang) ke luar daerah dan sanksi upacara patiwangi.
17
Wiana menyatakan bahwa upacara patiwangi adalah upacara untuk menurunkan
wangsa seorang perempuan dengan jalan menghilangkan keharumannya.33
Problem yuridis, pelaksanaan sanksi dan upacara patiwangi dalam
perkawinan antar-wangsa sudah sepantasnya dihapus oleh karena tidak sesuai
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disingkat menjadi UUD NRI 1945) terutama dalam Pasal 27 dan 28.
Pasal 27 ayat (1) berbunyi segala warga negara bersamaan kedudukannya dan
wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.
Pasal 28 setelah diamandemen empat kali memuat pasal-pasal yang
mengatur tentang HAM, yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Pasal
yang berkaitan dengan penelitian ini adalah: Pasal 28A menyatakan setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mepertahankan hidup dan
kehidupannya. Pasal 28B ayat (1) Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal
28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. Pasal 28G ayat (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi. Ayat (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memproleh suaka politik dari negara lain. Pasal 28H ayat (1) Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Pasal I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Pasal 28J
ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2)
Dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
33
Ketut Wiana,2006, Memahami Perbedaan Catur varna, Kasta, dan Wangsa, Penerbit
Paramita, Surabaya, h.163. (Selanjutnya disebut Ketut Wiana I).
18
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Undang-undang tentang
Perkawinan. Undang-undang tersebut tidak mengatur tentang perkawinan antar-
wangsa. Undang-undang ini hanya mengatur tentang perkawinan campuran yang
diatur dalam BAB XII Bagian ketiga yang mengatur tentang perkawinan
campuran. Perkawinan campuran adalah perkawinan karena perbedaan
kewarganegaraan, bukan perbedaan wangsa. Undang-undang Nomor 7 Tahun
1984 yaitu Undang-undang mengenai Pengesahan Konvensi Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yaitu
tentang Hak Azasi Manusia. Undang-undang Nomor 7 mengatur secara khusus
tentang HAM perempuan.
Terdapat problem sosiologis, di mana masyarakat masih melaksanakan
sanksi hukum adat terhadap pasangan perkawinan antar-wangsa. Sanksi dimaksud
adalah sanksi sosial dan psikologis. Sanksi sosial yaitu pada umumnya perempuan
dari wangsa di atas tidak boleh dilamar, hubungannya tidak direstui keluarga.
Dengan demikian perkawinan dilakukan dengan cara ngerorod, walaupun
lembaga ngerorod mendapat pengakuan oleh masyarakat Hindu di Bali, namun
cara demikian sangat merendahkan perempuan. Tidak diperbolehkan mepamit,
tidak diajak ngomong dan banyak sanksi-sanksi psikis dialami perempuan dalam
perkawinan antar-wangsa. Tidak efektifnya penerapan keputusan, merupakan
hambatan Pemerintah Daerah Bali dalam mengadakan perubahan sosial.
19
Ketidak efektifan dari penerapan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun
1951 menyebabkan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat kemudian
menerbitkan Bhisama PHDI Nomor: 03/ Bhisama/Sabha/ Pandita Parisada
Pusat/X/2002. (selanjutnya disingkat menjadi Bhisama PHDI). Bhisama PHDI
kelihatannya tidak juga berhasil menghapus istilah kawin nyerod dan upacara
patiwangi sejalan dengan di-hapusnya tradisi Asu Mundung dan Alangkahi
Karang Hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951.34
Berhubung sanksi
masih dilakukan oleh masyarakat, maka Majelis Utama Desa Pakraman
(selanjutnya disingkat MUDP) kemudian menerbitkan Keputusan MUDP III
tahun 2010 memutuskan “Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait
dengan pelaksanaan upacara perkawinan”. MUDP menyikapi upacara patiwangi
dalam perkawinan nyerod bertentangan dengan HAM dan menimbulkan dampak
ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga, baik selama perkawinan
maupun sesudah perceraian.35
Peraturan tersebut di atas diterbitkan untuk
kepentingan masyarakat, dengan tujuan ketertiban, keadilan, dan kesejahtraan
dalam pergaulan antara wangsa di Bali, khususnya dalam perkawinan antar-
wangsa. Kenyataan sosiologis menunjukkan keputusan belum dapat mengubah
perilaku masyarakat.
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka sudah saatnya dilakukan
penelitian secara mendasar, mendalam, dan secara holistik menyangkut problem
34
Baca lebih lanjut Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
Nomor: 03/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002. Tentang Pengamalan Catur Warna,
Dalam Sudiana, 2007, Samhita Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia, Parisada Hindu
Dharma Indonesia Propinsi Bali, h. 144-152. 35
Anonim, 2011, Himpunan Hasil-Hasil Pasamuan Agung III MDP Bali, Penerbit
Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Denpasar, h. 44-46.
(Selanjutnya disebut Anonim II).
20
filosofis, yuridis, dan sosiologis. Pemikiran inilah yang mendorong untuk
dilakukannya penelitian dan kajian hukum yang diangkat dalam disertasi dengan
judul Dinamika Sanksi Hukum Adat Dalam Perkawinan Antar-wangsa di Bali
(Persepektif HAM).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan problem filosofis, problem yuridis, dan problem sosiologis
dalam uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-
wangsa?
2. Apa makna perubahan sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-
wangsa terhadap HAM perempuan?
3. Mengapa perubahan sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa
berimplikasi terhadap HAM perempuan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu hukum, terutama
ilmu hukum adat mengenai perkawinan antar-wangsa dalam hukum adat Bali.
Hasilnya nanti dapat diaplikasikan terhadap permasalahan-permasalahan
perkawinan antar-wangsa dan juga dapat dikembangkan lagi melalui penelitian-
penelitian dalam aspek yang lebih luas dan lebih dalam.
21
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai berdasarkan permasalahan yang
akan diteliti adalah:
1) Untuk mengkaji sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-wangsa, yaitu
mengkaji proses terjadinya dinamika sanksi hukum adat perkawinan antar-
wangsa termasuk mengkaji dinamika peraturannya berdasarkan periodisasi
sebagai berikut : peraturan dan sanksi zaman kerajaan (1352-1849), peraturan
dan sanksi zaman penjajahan (1849-1945), peraturan dan sanksi zaman
kemerdekaan (1945-2014).
2) Untuk menggali dan mengetahui makna dari perubahan sanksi hukum adat
perkawinan antar-wangsa terhadap HAM perempuan, berdasarkan
periodesasi sebagai berikut: makna perubahan sanksi zaman kerajaan (1352-
1849), makna perubahan sanksi zaman kolonial (1849-1945), makna
perubahan sanksi zaman kemerdekaan (1945-2014),
3) Untuk menggali dan mengkaji implikasi perubahan sanksi hukum adat
perkawinan antar-wangsa terhadap HAM perempuan.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat hasil penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
memecahkan masalah perkawinan antar-wangsa. Memberi solusi dan
penyelesaian terhadap terganggunya harmonisasi hubungan akibat
perkawinan antar-wangsa di masa yang akan datang, serta dapat menghapus
dampak atau implikasi terhadap sanksi adat perkawinan antar-wangsa.
22
2) Hasil penelitian dapat dibaca dan dipahami oleh masyarakat melalui internet,
Perpustakaan Unud, maupun Perpustakaan Undiknas Denpasar. Hasil
penelitian diharapkan bermanfaat untuk membantu pemerintah dalam
menguatkan pelaksanaan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 tahun 1951,
Bhisama PHDI Nomor 03 tahun 2002, dan Keputusan MUDP Nomor III
tahun 2010.
3) Hasil penelitian dapat memperkaya penelitian hukum tentang perkawinan
antar-wangsa dalam bidang hukum adat Bali.
4) Memberi gambaran yang lebih komprehensif kepada masyarakat tentang
kasta, warna, dan wangsa serta implikasinya terhadap perkawinan antar-
wangsa.
5) Kajian ini bermanfaat untuk memproleh ilmu khususnya ilmu hukum adat
dan sebagai prasyarat untuk mendapatkan gelar Doktor pada Program Doktor
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
1.5 Orisinalitas
Pengamatan sepintas terhadap hasil penelitian atau kajian terdahulu
tampaknya Dinamika Sanksi Hukum Adat Perkawinan Antar-wangsa di Bali
(Perspektif HAM) belum ada yang meneliti. Beberapa penelitian dan tulisan yang
berkaitan dengan kasta dan perkawinan antar-wangsa sebelumnya antara lain:
1) Tulisan I Gusti Ngurah Bagus tahun 1969 berjudul:
Pertentangan Kasta Dalam Bentuk Baru Pada Masyarakat Bali. Tulisan ini
dipersembahkan kepada Prof. Dr. E. M. A. A. J. Allard, sebagai
penghormatan. Dalam tulisan tersebut, Ngurah Bagus mengungkapkan
tentang perubahan kebudayaan di Bali terjadi tahun 1919 sampai 1931.
Perubahan tersebut merupakan awal mula, selanjutnya merupakan dasar
23
kebudayaan Bali modern sekarang. Pertentangan kasta juga terjadi dalam era
tersebut dengan memakai wadah majalah Surya Kanta dan majalah Bali
Adnyana. Selanjutnya Ngurah Bagus mengemukakan “pada point ke 17 dari
tulisannya sebagai berikut: Anggapan umum di Bali boleh dikatakan yang
disebut jaba itu adalah termasuk sama dengan sudra. Dilihat dari segi bahasa,
kata jaba sendiri adalah berasal dari bahasa Sansekerta dalam
perkembangannya di Bali dipakai untuk menyebutkan sesuatu golongan
masyarakat.
Dalam point ke 19 menyatakan bahwa: Perbedaan antara golongan jaba dan
tri wangsa menyebabkan adanya Undang-undang yang mengatur perkawinan
antar kasta (wangsa) yaitu Peswara 1910 yang kemudian diubah dengan
Beslit Resident tahun 1927, No.352, sedangkan hal ini semenjak tahun 1951
telah dihapus oleh Dewan Pemerintah Bali.36
2) Penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung Gde Putra Agung tahun 1964
dalam bentuk tesis berjudul: “Perubahan Sosial Dan Pertentangan Kasta Di
Bali Utara 1924-1928”37
. Dalam tesis dijelaskan bahwa pertentangan kasta
membawa pembaharuan dalam masyarakat. Bentuk kompetisi antara
golongan elite modern Tri Wangsa dengan elite modern Jaba, masing-masing
golongan itu menyalurkan paham-paham pembaharuan melalui majalah yang
mereka terbitkan sehingga paham kemajuan itu dapat tersebar ke seluruh
Bali”.
Hal yang positif dari pertentangan tersebut telah dapat dinikmati oleh
sebagian masyarakat, khususnya perempuan Tri Wangsa dapat bernafas lega
oleh karena perbedaan wangsa tidaklah seketat Zaman Kerajaan maupun
Zaman Kolonial. Penelitian ini terfokus pada perubahan sosial dan
pertentangan kasta, belum diteliti tentang dinamika sanksi hukum perkawinan
antar-wangsa serta implikasinya terhadap HAM.
36
I Gusti Ngurah Bagus, 1969, Pertentangan Kasta Dalam Bentuk Baru, Unniversitas
Udayana Denpasar, h.13 37
Anak Agung Gde Putra Agung, 1964, Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta Di
Bali Utara, 1924-1928, (tesis), Fakulas Sastra Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
24
3) Ida Bagus Yudha Triguna tahun 1997 mengadakan penelitian dalam disertasi
berjudul: “Mobilitas Kelas, Konflik, Dan Penafsiran Kembali Simbolisme
Masyarakat Hindu Di Bali.”38
Tumbuh suatu ketegangan antara masyarakat
Bali asli dengan para bangsawan yang berasal dari Majapahit, dengan adanya
kekuasaan Belanda yang memberikan gelar-gelar kebangsawanan yang
berdimensi vertikal. Muncul kelas sosial baru dari golongan jaba wangsa
memperkuat posisi tawar-menawar mereka di hadapan kekuasaan kelompok
tri wangsa. Hal ini semakin terbuka, karena munculnya rasionalisasi,
monetorisasi, dan orientasi kekuasaan menyusul hadirnya birokrasi
pemerintahan nasional sesudah kemerdekaan dan berkembangnya industri
pariwisata, yang berhasil membuka ruang lebih lebar bagi mobilitas kelas
sosial golongan jaba wangsa memasuki lapisan menengah dan atas struktur
stratifikasi masyarakat Bali dalam bidang politik dan ekonomi.
4) Penelitian yang dilakukan oleh Budiana Tahun 2005 dalam bentuk
disertasinya berjudul Rekontruksi Sosial Perkawinan Eksogami di Tengah
Perubahan Sosial di Bali.39
Dalam penelitian tersebut Budiana mengkaji
perkawinan beda wangsa dalam masyarakat Bali khususnya sistem
perkawinan eksogami dengan bentuk perkawinan nyeburin, pihak laki-laki tri
wangsa dengan perempuan jaba wangsa, perkawinan eksogami dengan
bentuk nyeburin pihak laki-laki jaba wangsa dengan perempuan tri wangsa,
perkawinan eksogami dengan sistem perkawinan biasa pihak laki-laki tri
38
Ida Bagus Yudha Triguna, 1997, Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali
Simbolisme Masyarakat Hindu Di Bali, (disertasi) Universitas Pajajaran Bandung. 39
Nyoman Budiana 2004,Rekontruksi Sosial Perkawinan Eksogami di Tengah
Perubahan Sosial, (disertasi), Universitas Airlangga Surabaya. (Selanjutnya disebut Budiana I).
25
wangsa dengan perempuan jaba wangsa, perkawinan biasa pihak laki-laki
jaba wangsa dengan perempuan jaba wangsa. Perkawinan Asu Pundung dan
Alangkahi Karang Hulu dikaji dengan pendekatan sosiologis. Dalam
penelitiannya Budiana tidak mengkaji dari aspek hukum dan HAM.
5) Dalam jurnal Studi Gender Srikandi, Vol. VII No.1 Tahun 2007, Sudantra
juga telah menulis sebuah artikel berjudul: “Asu Pundung dan Alangkahi
Karang Hulu Ketidakadilan Gender dalam Sistem Wangsa di Bali.“40
Dalam
ruang terbatas itu Sudantra tidak mengkaji secara mendalam, melainkan lebih
menekankan pada kenyataan bahwa terdapat ketidakadilan gender dalam
hukum adat Bali akibat adanya sistem wangsa.
6) Tahun 2009 Sadnyini melakukan penelitian untuk penulisan tesis berjudul
“Dinamika Hukum Adat Dalam Perkawinan Asu Pundung di Bali.”41
Dalam
tesis tersebut membahas dinamika stuktur, sanksi dan budaya hukum dari
perkawinan Asu Pundung, faktor-faktor penyebab dari dinamika hukum
perkawinan Asu Pundung. Dari hasil penelitian ada temuan yang harus
dilanjutkan untuk diteliti dan dikaji kembali secara mendalam, tentang
dinamika sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa ditinjau dari
perspektif HAM. Perlu dijelaskan disini bahwa penelitian yang lalu lebih
sempit dari sekarang, oleh karena hanya mengkaji tentang perkawinan Asu
Pundung, sedangkan perkawinan Alangkahi Karang Hulu belum dikaji secara
mendalam. Perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu
merupakan larangan perkawinan antar-wangsa. Larangan ini diatur secara
40
I Ketut Sudantra, 2007, “Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu Ketidakadilan
Gender Dalam Sistem Wangsa di Bali”, Jurnal Studi Gender, Vol.VII No.1 Tahun 2007, h.1-14. 41
Ida Ayu Sadnyini, Op.Cit. h. i
26
bersamaan dalam peswara dan dicabut pula secara bersamaan dengan
Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, sehingga permasalahannya
merupakan satu kesatuan.
7) Syanita Aisha tahun 2010 meneliti “Harmonisasi Hubungan antara Individu
dengan Keluarga Besar dalam Pernikahan Beda Kasta (Ksatrya dan Sudra)
dalam bentuk tesis.”42
Intinya, bila terjadi pernikahan beda kasta, harmonisasi
hubungan menjadi terganggu, sehingga komunikasi dilakukan dengan
mengirim utusan. Perkawinan dilakukan dengan cara kawin lari. Jadi tesis ini
tidak meneliti dinamika sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa.
8) Komang Putra tahun 2013 menulis dalam elektronik jurnal berjudul: “ Pro
kontra antara Catur Wangsa, Kasta, dan Warna”.43
Putra melihat kelahiran
seseorang sudah dibekali dengan keahliannya masing-masing dalam rangka
mencapai tujuan catur purusha arta yaitu: dharma, arta, kama dan moksa.
Namun implementasi dalam kehidupan nyata masih banyak orang enggan
memakai golongan sesuai catur warna, hampir sebagian besar memakai
jabatan leluhurnya, yang nyata-nyata berbeda dengan bakat keahlian
kelahirannya.
9) Ida Ayu Made Lestari dkk.tahun 2013 dalam elektronik jurnal menulis
“Implikasi Perkawinan Beda Wangsa Dalam Perspektif Hukum, Sosial,
42
Syanita Aisha, 2010, Komunikasi utuk Hubungan antara Individu dengan Keluarga
Besar dalam Pernikahan Beda Kasta, (tesis) Universitas Diponogoro,http:/ eperints undip.ac.id.
diakses, 6-1-2014. 43
Komang Putra, 2013, Prokontra antara Catur Wangsa, Kasta dan Warna, www. komang
putra. com diakses 6 -1-2014.
27
Budaya dan Religius di Banjar Brahmana Bukit, Kec. Bangli Kab. Bangli.”44
Perkawinan dari perspektif hukum adalah hak dan kewajiban serta kedudukan
yang sama dalam hukum, tetapi dalam perspektif sosial, budaya dan religius
memiliki batasan-batasan bagi orang yang melakukan perkawinan beda
wangsa, sesuai dengan dresta, kebiasaan desa setempat. Penelitian ini tidak
menggunakan perspektif HAM.
10) Anak Agung Sukranata tahun 2009 menulis tesis berjudul: “Dinamika Sanksi
Hukum Perkawinan Alangkahi Karang Hulu Dalam Hukum Adat Bali.”45
Sukranata meneliti tentang dinamika sanksi perkawinan Alangkahi Karang
Hulu, di mana sebelum adanya sanksi patiwangi perkawinan tersebut
dikenakan sanksi yang lebih ringan dari perkawinan Asu Pundung, terbatas
pada denda dan hukum kurungan tetapi tidak sampai pada hukuman mati
(labuh geni dan labuh batu). Penelitian ini belum mengkaji dari perspektif
HAM).
Dari uraian hasil penelitian di atas tampak masih ada peluang untuk
melakukan penelitian, mengkaji dan mengkritisi permasalahan tentang
perkawinan antar-wangsa di dalam masyarakat. Perbedaan wangsa masih
merupakan hal yang sangat sensitif di masyarakat sehingga dapat menimbulkan
ketidakharmonisan hubungan keluarga, konflik masyarakat, bahkan sampai
menimbulkan pelanggaran hukum dan HAM.
44
Ida Ayu Made Lestari Dewi dkk., 2013, Implikasi Perkawinan Beda Kasta Dalam
Perspektif Hukum, Sosial, Budaya, dan Religius di Banjar Brahmana Bukit, Kec. Bangli Kab.
Bangli.e journal. Undiksha ac.id. diakses tgl 6-1-2014. 45
Anak Agung Sukranata, 2009, Dinamika Sanksi Hukum Adat Perkawinan Alangkahi
Karang Hulu Dalam Hukum Adat Bali, (tesis) Program Pascasarjana Universitas Udayana.
28
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Paradigma Penelitian
Dalam menentukan metode dan teori yang akan dipergunakan dalam
penelitian ini sangat tergantung pada paradigma yang digunakan.46
Paradigma
yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma Legal Critical. Paradigma
ini tergolong dalam kelompok paradigma non-positivistik. Paradigma Critical atau
lebih tepatnya teori kritis adalah paradigma yang mengkritisi sistem hukum
modern yang dipandang positivistik-prosedural dan formalism.47
Pola pikir
paradigma positivisme normologik mengutamakan bunyi teks “peraturan
perundang-undangan”. Pola pikir paradigma Legal Critical ke arah nomologik
menekankan pada realitas atau fakta.48
Secara metodologi dialogis/dialektis,49
penelitian membutuhkan dialog
antara peneliti dengan subyek-subyek penelitian. Dialog harus berciri dialektis
agar dapat diketahui dan dipahami makna-makna perubahan yang terjadi. Terkait
dengan penelitian tentang dinamika sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa
di Bali (Perspektif HAM), secara ontologi dibentuk oleh nilai-nilai sosial, politik,
ekonomi, etnik dan gender, yang kemudian melahirkan perbedaan perlakuan
46
Paradigma untuk pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun. Inti tesis Khun adalah
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif melainkan secara
revolusi. Model perkembangan dari paradigma I-normal science-anomalies-crisis-revolution-
paradigma II. Pendapat George Ritzer paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu
pengetahuan. George Ritzer, 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Penyadur
Almandan, Rajawali PressJakarta, h.3-8. 47
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Penerbit
Setara Press (kelompok Penerbit Intrams) Malang, h.43. 48
Ifdal Kasim, 2000, Mempertimbangkan “Critical Legal Studies” dalam Kajian Hukum
Indonesia, dalam Jurnal Wacana, Insist Press, Yogyakarta, h.24. 49
Egon G Guba, Yvonna S, Lincoln, 2009, “Berbagai Paradigma yang Bersaing dalam
Penelitian Kualitatif” dalam Norman K.Denzin Yvonna S Lincoln, Handbook of Qualitative
Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, h.135.
29
terhadap perempuan tri wangsa dengan laki-laki tri wangsa, dan perempuan tri
wangsa dengan perempuan jaba wangsa dalam perkawinan antar-wangsa. Secara
epistemologi perbedaan perlakuan terjadi karena budaya patriarkis dan sistem
pelapisan sosial yaitu dengan sistem wangsa mengikuti stelsel vertikal. Dengan
demikian secara metodologis dilakukan cara untuk mengetahui perubahan yang
terjadi dalam perkawinan antar-wangsa, agar perlakuan terhadap perempuan
dalam perkawinan antar-wangsa mengikuti perkawinan sederajat, karena derajat
manusia adalah sama. Paradigma Critical sangat tepat dipakai untuk mengkaji dan
menganalisis dinamika sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa di Bali
(Persepektif HAM), khususnya HAM perempuan.
1.6.2 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggambarkan penelitian hukum empiris atau model
penelitian terhadap bekerjanya hukum dalam masyarakat (model sosio-legal
Research).50
Sulistyowati Irianto51
mengemukakan sosio-legal merupakan kajian
terhadap hukum dengan menggunakan pendekatan ilmu hukum maupun ilmu-
ilmu sosial. Prinsip dari studi sosio-legal adalah studi hukum dengan
menggunakan pendekatan metodologi ilmu sosial dalam arti luas. Dengan
demikian peneliti juga menggunakan teori sosial untuk tujuan analisis.
Karakteristik metode penelitian sosio-legal menurut Sulistyowati Irianto ada dua
50
Anonim, 2013, Pedoman penulisan Usulan Penelitian dan Disertasi Program Studi
Doktor Ilmu Hukum, Diterbitkan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Udayana Bekerja
sama dengan Intimedia (Intrans Publishing Group) h.20. (Selanjutnya disebut anonym III). 51
Adrian W. Bedner dkk., 2012, Kajian Sosio-Legal, Penterjemah Tristam Moelyono,
Penerbit Pustaka Larasan Bekerjasama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden,
Universitas Groningen, h.3.
30
hal.52
Pertama studi sosio-legal melakukan studi tekstual, khususnya terhadap
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan putusan
pengadilan dengan menganalisisnya secara kritis, dengan tidak lupa menjelaskan
makna dan implikasinya terhadap subjek hukum. Kaitan dengan penelitian ini
adalah hasil analisis terhadap dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa lebih
berat atau lebih ringan, menguntungkan atau merugikan perempuan. Kedua
mengkaji kasus perkawinan nyeburin antar-wangsa berdasarkan teks putusan
hakim maupun data lapangan dari hasil pengamatan dan wawancara pada aktor
yang terlibat dalam kasus tersebut.
E. Jones menyebut penelitian empiris sebagai non doctrinal research.53
Demikian pula Soetandyo Wignjosoebroto54
menyebut penelitian empiris sebagai
penelitian nondoktrinal. Penelitian nondoktrinal yang sosial dan empiris atas
hukum akan menghasilkan teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam
masyarakat.55
Supasti menyebutnya sebagai jenis penelitian dengan aspek
empiris.56
Metode penelitian hukum empiris dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif.57
Bog dan Taylor
52
Ibid, h.6. 53
E. Jones, 1962, Cureent Trends in Legal Research, (Expert), Journal of Legal
Education, p.37. 54
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode, dan Dinamika,,
Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan untuk
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA), h.147. (Selanjutnya disebut
Soetandyo I) 55
Ibid, h.164. 56
Supasti Dharmawan, 2005, Metode Penelitian Empiris, tanpa tempat terbit, h. 1. 57
Ibid, h.7.
31
menggunakan istilah metode penelitian kualitatif.58
Penelitian ini termasuk
penelitian hukum empiris dengan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan
masyarakat yang bersifat kasusistis, namun mendalam (in depth).59
Pemilihan
pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan data
deskriptif. Data deskriptif adalah data yang menggambarkan secara rinci
pemikiran melalui informasi tertulis atau lisan dari masing-masing individu yang
diamati. Pendekatan ini dipilih karena dipandang relevan untuk memperoleh hasil
penelitian. Metode penelitian kualitatif juga disebut metode penelitian
naturalistik60
karena penelitian dilakukan pada kondisi obyek yang alamiah
terhadap pelaku perkawinan antar-wangsa. Penelitian ini memiliki karakter seperti
disebutkan oleh Lincoln dan Guba,61
antara lain latar alamiah (utuh) tidak dibuat-
buat atau dimanipulasi, apa adanya, dan tidak menggunakan eksperimen. Manusia
sebagai alat (instrumen) peneliti langsung sebagai alat penelitian. Peneliti
mengadakan wawancara, memotret upacara patiwangi, mengkontruksi objek yang
diteliti, yaitu tentang dinamika perkawinan antar-wangsa, sehingga menjadi jelas
dan bermakna.
Metode penelitian naturalistik dipandang cocok digunakan untuk
mengetahui bagaimana responden memandang dunia dari segi perspektifnya
menurut pikiran dan perasaannya. Pendekatan tersebut dinamakan pendekatan
emic. Pendekatan emic yaitu titik pandang dari dalam/internal/domestik yang
58
Lexy J. Moleong, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya,
Bandung, h. 3. 59
Soetandyo Wignjosoebroto I, Op.cit.h.169. 60
Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal. 2. 61
Lexy J. Moleong, Op.cit. h.4-8.
32
disebabkan oleh cara mengklasifikasikan perilaku dengan sistem prilaku
kebudayaan tertentu.62
Pendekatan etic adalah data yang diperoleh menurut
pandangan peneliti.63
Lexy Moleong menyebut sebagai titik pandang ke
luar/ekternal/asing.64
Penelitian ini menggunakan pendekatan etic atas dasar
maksud-maksud etik peneliti dalam menganlisis perilaku masyarakat yang berdiri
di luar suatu kebudayaan berdasarkan argumentasi hukum. Dari situlah peristiwa
dipandang/dibandingkan untuk mencari perbedaan dan persamaan perilaku
masyarakat. Penelitian dengan menggunakan metode naturalistik memungkinkan
untuk mengkaji makna perubahan sanksi perkawinan antar-wangsa.
1.6.3 Lokasi penelitian, penentuan informan dan responden
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu Kabupaten Tabanan,
Kabupaten Gianyar, Kabupaten Buleleng, dan Kota Denpasar. Penentuan
lokasi tersebut di atas dilakukan oleh karena masing-masing daerah memiliki
karakter data yang berbeda sesuai keperluan untuk menjawab permasalahan.
Dengan demikian masing-masing daerah ditemukan data perkawinan antar-
wangsa sebagai berikut.
a. Kota Denpasar, terdapat data perkawinan antar-wangsa dalam bentuk
biasa, yaitu pratiloma. Adapun dinamika sanksi yang dilaksanakan
adalah sanksi selong, upacara patiwangi, tidak diperbolehkan pulang,
tidak diperbolehkan mepamit, ganti nama secara resmi. Peneliti
62
Ibid, h.55. 63
Nasution, Op.cit., h. 71 64
Lexi J Moleong, Op.cit.h. 55.
33
menemukan mulai adanya perubahan tidak melakukan upacara patiwangi
dan perubahan lain, seperti diperbolehkan mepamit layaknya perkawinan
sederajat, dan adanya etika keluarga yang sudah memperbolehkan orang
tua pihak perempuan untuk menyaksikan upacara perkawinan anaknya.
b. Kabupaten Buleleng, terdapat data dinamika sanksi perkawinan antar-
wangsa, seperti sanksi selong, tidak diperbolehkan pulang, kesepekang
(orang tuanya dikucilkan gara-gara anak perempuannya dipinang jaba
wangsa). Peneliti juga menemukan data perkawinan pada gelahang
antar-wangsa, diperbolehkan melakukan upacara mepamit.
c. Kabupaten Tabanan, terdapat data dinamika sanksi selong, upacara
patiwangi, tidak diperbolehkan melamar dan tidak diperbolehkan
mepamit/ pulang. Peneliti menemukan perkawinan antar-wangsa dalam
bentuk nyeburin, yaitu antara perempuan tri wangsa dengan laki-laki
jaba wangsa. Lebih jelasnya antara Ida Ayu Putu Stiti asal Tabanan
dengan Jero Wangi asal Tabanan, I Gusti Ayu Deliasih asal Tabanan
dengan Nurhasyim asal Kabupaten Malang, dan antara Dewa Ayu Made
Sri Kiranawati asal Tabanan dengan Putu Arcana asal Kabupaten
Buleleng. I GA Puspa Kusuma Dewi dengan Komang Sutrisno asal
Tabanan. Peneliti dapat menyaksikan secara langsung upacara
perkawinan antar-wangsa yang melakukan upacara patiwangi di pura
Bale Agung Desa Payangan, antara Kadek Hery Artana dengan Desak
Putu Sri Widari pada tanggal 9 Mei 2014.
34
d. Kabupaten Gianyar, terdapat data dinamika sanksi perkawinan antar-
wangsa yaitu sanksi selong, upacara patiwangi, tidak diperbolehkan
melakukan lamaran /meminang, larangan yang diatur dalam etika
keluarga menghadiri upacara perkawinan anaknya. Peneliti menemukan
bentuk perkawinan nyeburin antar-wangsa, yaitu perempuan jaba
wangsa dengan laki-laki tri wangsa, yaitu antara Ni Ketut Novia Arini
dengan I Gusti Ngurah Jana Eka Putra.
2. Penentuan responden dan informan dilakukan dengan cara purposive. Untuk
mendapatkan variasi data yang cukup relevan, maka data diambil dari
responden yaitu pasangan atau salah satu pasangan perkawinan antar-wangsa.
Namun tidak menutup kemungkinan data diambil dari beberapa informan
yaitu anggota keluarga seperti mertua, anak, dan cucu dari pasangan
perkawinan antar-wangsa. Untuk melengkapi data yang diperlukan, sumber
data juga dikembangkan melalui tokoh-tokoh adat dan agama Hindu serta
para pemangku dan sulinggih, sebagai pemahaman dan pendalaman
bekerjanya hukum di masyarakat.
1.6.4 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan untuk melakukan
pemahaman tentang dinamika hukum yang berlaku dalam masyarakat. Research
designed to secure a deeper understanding of law as a social phenomenon,
including research on the historica.l65
Artinya, penelitian ini menggambarkan
model penelitian untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum sebagai
65
Terry Hutchinson, 2010, Researching and Writing in Law, Third Edition, Law Book
Co. h.8.
35
fenomena sosial dan termasuk penelitian sejarah. Adapun beberapa pendekatan
yang digunakan sebagai berikut:
1) Pendekatan sosio-legal (Socio-legal approach)
Pendekatan ini digunakan karena adanya kesenjangan antara peraturan yang
berlaku dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Ian Curry -Sumner dkk.
dalam Research Skills menyatakan socio-legal adalah, “A lot of socio-legal
research is characterized by the difference between the law in the books and
the law in action”.66
Artinya, penelitian sosio-legal memiliki ciri-ciri yang
berbeda antara hukum yang berlaku dengan hukum yang bekerja di
masyarakat. Pendekatan sosio-legal digunakan di samping melakukan studi
tekstual terhadap pasal-pasal yang digunakan untuk menganalisis HAM
perempuan, juga melakukan studi tentang putusan hakim, kasus-kasus atau
data lapangan dari hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan
pada informan dan responden perkawinan antar-wangsa.
2) Pendekatan sejarah (Historical Approach)
Pendekatan historis dilakukan dalam rangka pelacakan sejarah hukum67
dalam hal ini sejarah peraturan yang mengatur perkawinan antar-wangsa
yaitu perkawinan yang termasuk dalam arti perkawinan Pratiloma (Asu
Pundung dan Alangkahi Karang Hulu) beserta sanksinya. Pendekatan sejarah
dipakai untuk mengetahui peraturan hukum tumbuh dan berkembang menurut
dinamikanya baik norma beserta sanksinya. Kelemahan dari pendekatan
66
Ian Curry-Sumner et al; 2010, Research Skills, School of Law Utrecht University, Ars
Aequi Libri Nijmegen,p.6. 67
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h 126.
36
historis di lapangan, tidak ditemukannya responden yang masih hidup dalam
Zaman Kerajaan dan Zaman Kolonial. Namun ditemukan beberapa informan
yang mengetahui penerapan sanksi di masa kerajaan dan kolonial melalui
ceritra orang tuanya. Informan dan responen pada Zaman Kemerdekaan
diketahui dan dialami secara langsung. Validitas data nantinya akan dibantu
dengan menggunakan data sekunder yaitu bahan hukum primer dan sekunder.
3) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Dalam pendekatan konsep, digunakan prinsip-prinsip hukum, prinsip-prinsip
mana dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun
doktrin-doktrin hukum, dapat juga ditemukan dalam undang-undang namun
sifatnya masih umum tidak sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Oleh
karena itu peneliti akan membangun suatu konsep untuk dijadikan suatu
acuan yang bersifat operasional. Konsep merupakan simbol yang
mengandung pengertian singkat tentang masalah. Adapun konsep yang perlu
dibangun adalah konsep dinamika sanksi, konsep hukum adat, konsep
perkawinan antar-wangsa, dan konsep HAM Perempuan. Konsep tersebut
lebih lanjut akan dikemukakan dalam definisi oprasional berikut.
1.6.5 Definisi Operasional
Adapun definisi operasional yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini
berdasarkan judul disertasi yaitu Dinamika Sanksi Hukum Adat Dalam
Perkawinan Antar-wangsa di Bali (Perspektif HAM).
1. Dinamika sanksi adalah perubahan sanksi perkawinan antar-wangsa yang
terjadi dari zaman ke zaman berikutnya. Mulai dari zaman kerajaan di Bali
37
(1352-1849), zaman Penjajahan Belanda (1849-1945), zaman Kemerdekaan
(1945-2014).
2. Hukum Adat Bali adalah keseluruhan peraturan baik tertulis maupun tidak
tertulis, termasuk peraturan agama serta kebiasaan-kebiasaan yang hidup
dalam masyarakat Hindu di Bali. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut
akan menimbulkan reaksi dan sanksi adat.
3. Perkawinan antar-wangsa adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki
catur wangsa dengan perempuan catur wangsa disertai dengan pelaksanaan
upacara sekala dan niskala. Catur Wangsa terdiri dari Brahmana wangsa,
Ksatrya wangsa, Wesya wangsa, dan Jaba wangsa. Dengan kata lain
perkawinan antar-wangsa adalah perkawinan yang dapat dilakukan oleh
perempuan brahmana wangsa, perempuan ksatrya wangsa, prempuan wesya
wangsa dan perempuan jaba wangsa dengan laki-laki yang berbeda wangsa.
4. HAM Perempuan dalam penelitian ini adalah hak asasi manusia perempuan
dalam perkawinan antar-wangsa yaitu kesederajatan dan kesetaraan dalam
bidang perkawinan dan perceraian.
1.6.6 Jenis Data
Data merupakan keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar
kajian (analisis atau kesimpulan).68
Fact is something that, actually exiss, aspect
68
Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga,
Balai Pustaka Jakarta, h.239.
38
of reality.69
Dalam penenelitian ini digunakan dua jenis data yaitu data menurut
sumber dan data menurut sifatnya.
1. Data menurut sumber
a) Data primer
Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan,
yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik
dari responden yang mengalami langsung, maupun informan yang
mengetahui terjadinya kasus perkawinan antar-wangsa.
b) Data Sekunder
Data sekunder, data yang bersumber dari penelitian kepustakaan
yang disebut bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan
hukum primer, sekunder dan tersier70
.
1) Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan-peraturan
yang mempunyai kekuatan mengikat, terdiri dari peraturan hukum
negara, peraturan agama, maupun peraturan adat antara lain:
(a) Kitab Manawa Dharmacastra
(b) Kitab Agama
(c) Kitab Adigama
(d) Kitab Kutaramanawa
(e) Lontar Widi Papincatan
(f) Lontar Brahma Tatwa
69
Bryan A.Garner, 2004, Blacks Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief,
Thomson West, United State of Amerika, h. 628. 70
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, h.14-15.
39
(g) Lontar Dandang Bang Bungalan
(h) Peswara 1900
(i) Peswara 1910
(j) Peswara 1927
(k) Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 tentang Peraturan
Perhubungan Perkawinan Antar Catur Wangsa di Bali.
(l) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
(m) Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1984 tentang Pengsahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita.
(n) Undang-undang Nomor: 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia
(o) Bhisama Sabha Pandita PHDI Pusat Nomor: 03/PHDI/X/2002
tentang Pengamalan Catur Warna.
(p) Hasil Pesamuan Agung Majelis Desa Pakraman Pusat Nomor:
III Tahun 2010.
(q) Putusan Pengadilan Negeri Tabanan Nomor 8/Pdt.P/1985/PN
TBN, Tanggal 9 Juli 1985.
2) Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah
literatur-literatur tentang hukum adat, HAM, gender, internet, karya-
karya ilmiah, hasil penelitian seperti tesis, disertasi, orasi ilmiah,
jurnal ilmiah, majalah ilmiah, koran yang relevan dengan
40
pemasalahan yang diteliti. Bahan hukum ini sudah tercantum dalam
daftar pustaka.
3) Bahan hukum tersier, berupa Kamus Bahasa Indonesia untuk
mencari pengertian kata dinamika dan kata antar atau antara. Kamus
Agama Hindu digunakan untuk mencari pengertian Tat Twam Asi,
Ahimsa, Akrodha, dan Blacks Law Dictionary digunakan untuk
mencari pengertian tentang arti fakta.
2. Data menurut Sifat
Sifat data dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif. Sifat data
kualitatif adalah data yang tidak menggunakan analisis berdasarkan
perhitungan prosentase angka dan perhitungan statistik. Laporan penelitian ini
berbentuk deskriptif kualitatif.
1.6.7 Teknik Pengumpulan Data (Data Collection)
1. Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder (bahan hukum)71
dilakukan dengan studi
kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan, mempelajari,
mengambil intisari yang diperlukan, baik berupa teori-teori, konsep-konsep,
maupun pandangan para sarjana, kemudian semua dicatat dan diberi ulasan.
Semua bahan hukum tersebut dicatat dengan menggunakan sistem kartu (card
system) yaitu kartu penelitian yang berisi catatan mengenai hasil penelitian.
71
Ibid, h.14
41
Menurut Winarno Surakhmad, Sistem kartu tersebut dibagi tiga
macam, yakni72
kartu ikhtisar, kartu kutipan, kartu analisis/usulan. Kartu
ikhtisar memuat nama pengarang, judul buku, nama penerbit, tahun terbitan,
halaman, pokok masalah yang dikutip dan kartu analisis memuat ulasan yang
bersifat menambah atau menjelaskan dengan cara mengkritik, menarik
kesimpulan, saran maupun komentar. Dalam penelitian ini sistem kartu (card
system) yang dimaksud tidak lagi menggunakan kartu, namun berbentuk
catatan bahan hukum yang tersimpan dalam levtop, agar mudah menyimpan,
gampang mencari dan menggunakannya. Selain sistem kartu penelitian ini
juga menggunakan studi dokumentasi yaitu mengambil dokumen-dukumen
dengan cara meng-copy kitab-kitab agama, lontar-lontar, putusan hakim, akta
perkawinan antar-wangsa.
2. Teknik Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan empat cara, yaitu teknik
observasi terlibat (participant observation), wawancara mendalam (indepth
interview), wawancara dengan para elit (elite interviewing)73
dan teknik
dokumentasi. Keempat teknik pengumpulan data ini cocok digunakan dalam
penelitian yang bersifat menjelaskan serta menggunakan strategi penelitian
lapangan, dan pendekatan historis.
72
Winarno Surakhmad, Pengantar Pennelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, h.227 73
Tjok Istri Putra Astiti, 1994, Pengaruh Hukum Adat dan Program Keluarga Berencana
Terhadap Nilai Anak Laki-laki Dan Perempuan Pada Masyarakat Bali Yang Sedang Berubah
(Suatu Studi Kasus di Desa Baturiti, Tabanan, Bali). Disertasi Pogram Pasca Sarjana Intitut
Pertanian Bogor, h.58-59. (Selanjutnya disebut Astiti I).
42
a) Teknik Observasi Terlibat
Teknik observasi digunakan untuk mengetahui secara langsung
proses perkawinan antar-wangsa. Peneliti terlibat sambil mengadakan
pengamatan secara langsung dalam upacara perkawinan antar-wangsa.
Dengan observasi partisipan74
data yang diperoleh menjadi lebih lengkap,
tajam, dan sampai mengetahui tingkat makna dari setiap perilaku yang
nampak. Sebelumnya agak sulit mencari pelaksanaan perkawinan antar-
wangsa yang melakukan upacara patiwangi yang diobservasi. Usaha
mencari informasi kemudian berhasil menemukan perkawinan antar-
wangsa di Banjar Gelagah Desa Payangan Kecamatan Marga Kabupaten
Tabanan. Upacara patiwangi dilakukan oleh Desak Putu Sri Wedari
dengan Kadek Hery Artana yang dilakukan pada tanggal 9 Mei 2014.
Peneliti kemudian menjajagi rumah kediaman dari Kadek Hery Artana di
Denpasar, dan mohon izin membuat dokumentasi untuk keperluan
disertasi. Pada waktu yang telah ditentukan tepatnya hari Jumat pon wuku
Julungwangi upacara dilakukan jam 8 pagi. Peneliti melakukan observasi
sambil mengabadikannya dalam bentuk foto sebagai bukti dokumentasi.
b) Teknik Wawancara dengan para elit (elite interviewing).
Wawancara dengan para elit dilakukan terhadap sejumlah pejabat
desa seperti, Kepala Desa, Bendesa Pakraman, Kelihan adat, Pemangku,
Penglingsir, Rohaniawan/pedande, ahli agama, dan ahli hukum. Dalam
melakukan wawancara terhadap pejabat desa tersebut, peneliti tidak
74
Sugiyono, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif Dilengkapi Contoh Proposal dan
Laporan Penelitian, Penerbit Alfabeta, h. 64.
43
mengalami kesulitan yang berarti. Peneliti menggunakan bahasa daerah
Bali alus madya yang mudah dipahami dan hanya sekali waktu
menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian peneliti cepat dapat
menjalin hubungan emosi dengan para informan. Dengan menggunakan
bahasa daerah dalam melakukan wawancara ada sentuhan budaya dan
rasa persaudaraan yang dirasakan oleh pihak yang diajak bicara. Sebelum
peneliti lebih jauh melakukan wawancara, langkah pertama yang
dilakukan adalah perkenalkan diri terlebih dahulu dengan informan dan
mengutarakan maksud dan tujuan peneliti untuk mengetahui sejarah
dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa yang terjadi di desanya.
Dalam menggali dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa
menggunakan pedoman wawancara yang terdiri dari 13 pertanyaan
pokok, yaitu 1) dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa dalam tiga
zaman, 2) proses sahnya perkawinan antar-wangsa, 3) apakah upacara
patiwangi masih dilakukan, 4) proses dan tempat pelaksanaan
perkawinan antar-wangsa, 5) adakah masyarakat yang tidak
melakukannya, 6) prakarsa untuk melakukan patiwangi, 7) dengan
adanya perubahan sanksi, apakah persoalan kasta mulai melentur, 8)
apakah ada perkawinan nyeburin dan pada gelahang antara wangsa, 10)
tanggapan keluarga besar terhadap perkawinan nyeburin dan pada
gelahang, 11) Bagaimana proses apakah sama dengan perkawinan
nyerod, 12) implikasi perkawinan antar-wangsa dalam perceraian /mulih
44
deha, dan implikasi pada saat meninggal, 13) apakah sudah tahu sanksi
patiwangi sudah dihapus.
Setelah melakukan beberapa pertanyaan, informan kemudian
memberikan informasi, penjelasan, mengenai apa yang ditanyakan,
kemudian peneliti mendengarkan dan mencatat informasi, pengalaman
maupun pengetahuannya tentang perkembangan sanksi hukum adat
perkawinan antra-wangsa. Melalui teknik ini, data yang diperoleh
berbentuk kutipan langsung tentang pengalaman dan pendapat dari
informan. Sebagai alat pengumpulan data lapangan, digunakan alat bantu
berupa catatan lapangan (field notes).75
Catatan lapangan dibuat dengan
sistem kartu berupa catatan hasil wawancara dengan informan.
c) Teknik wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden.
Wawancara dilakukan untuk mengetahui hal-hal dari responden
secara mendalam.76
Wawancara mendalam dilakukan dalam hal
menggali pikiran dan perasaan responden yang mengalami sanksi sosial,
seperti saat melakukan patiwangi, tidak diperbolehkan mepamit dan tidak
diperbolehkan pulang. Wawancara terhadap responden juga ditentukan
secara purposive atas petunjuk dari informan kunci. Wawancara
dilakukan dengan bebas dan terstruktur artinya, berpedoman pada
pertanyaan yang telah dipersiapkan. Pedoman pertanyaan dimaksud
adalah sebagai berikut: 1) Dimulai dari proses berpacaran 2) membuat
keputusan untuk kawin 3) proses perkawinan: cara kawin, cara ngeluku,
75
Lexy J. Moleong, Op.cit, h. 153. 76
Sugiyono, Op.Cit, h.72.
45
pelaksanaan patiwangi, prakarsa patiwangi, proses pelaksanaan
patiwangi, tempat pelaksanaan patiwangi 3) tujuan patiwangi 4) perasaan
pada saat patiwangi/ganti nama, tidak diperbolehkan pulang, tidak
diperbolehkan mepamit 5) apakah sudah tahu patiwangi sudah dihapus,
6) apakah orang tua/keluarga menyaksikan pelaksanaan upacara
perkawinan dan resepsi, 7) bagaimana penggunaan bahasa setelah
perkawinan, 8) apakah hukum adat Bali sudah adil terhadap perempuan.
Setelah diajukan pertanyaan, responden kemudian menuturkan
pengalamannya dengan bermacam-macam cara penyampaian, mimik
muka yang berubah-ubah, seperti ada kesedihan, penyesalan namun tidak
jarang pelaku perkawinan antar-wangsa menyatakan perasaannya dengan
komentar “biasa saja”. Peneliti mendengar, mencatat dan sekali-kali
menyela pembicaraan untuk memperjelas apa yang dicatat. Pengalaman
responden disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan.
Waktu wawancara tergantung dari kesibukan informan dan
responden. Apabila mereka karyawan swasta atau pegawai negeri sipil,
wawancara dilakukan pada sore hari atau malam hari. Wawancara
terhadap informan dan responden pada umumnya dilakukan sampai dua
atau tiga kali. Apabila masih dirasakan kurang lengkap, peneliti
menggunakan alat komunikasi untuk mengadakan wawancara jarak jauh.
Terakhir, dilakukan pencatatan mengenai pelaksanaan wawancara (hari,
tanggal, dan waktu), tempat wawancara dan identitas informan atau
responden. Penelitian naturalistik/kualitatif menggunakan indepth
46
interview yang berusaha mengetahui bagaimana responden perempuan tri
wangsa yang kawin nyerod memandang perubahan perilaku dan
perlakuan masyarakat terhadap dirinya yaitu dari segi perspektifnya,
menurut pikiran dan perasaan yang dialaminya. Penelitian ini disebut
informasi emic.
d) Teknik dokumentasi
Teknik (dokumentasi) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh
data dengan cara mencatat, mengcopy, membuat dokumen/foto. Teknik
dokumentasi digunakan untuk mecopy dokumen tertulis, seperti beberapa
lontar-lontar, awig-awig desa pakraman, surat kabar Surya Kanta, surat
kabar Bali Adnyana. Putusan Pengadilan Negeri Tabanan tentang
perkawinan nyeburin antar-wangsa, yaitu antara Ida Ayu Stiti dan Jero
Wangi. Akta Perkawinan nyeburin antar-wangsa yaitu Dewa Ayu Made
Sri Kirana Dewi dan Putu Arcana. Akta Perkawinan nyeburin antara I
Gusti Ayu Deliasih dan Nurhasyim (I Gusti Putu Widana). Akta
Perkawinan nyeburin Ni Ketut Novarini dan I Gusti Jana Eka Putra.
1.6.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1) Teknik Pengolahan Data (Data Display)
Pada tahap pengolahan data, data primer dan sekunder yang telah
terkumpul kemudian diidentifikasi, selanjutnya dikategorikan dan
diklasifikasikan berdasarkan permasalahan penelitian. Pada tahap ini dapat
juga dilakukan dengan mengkaitkan data yang satu dengan data yang lainnya,
kemudian membandingkan, mencocokkan, dan dapat juga
47
mempertentangkannya. Langkah selanjutnya, data disusun secara sistematis
berdasarkan pokok permasalahan.
2) Teknik Analisis Data mengikuti model (interaktif).
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data kualitatif yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus
menerus, sehingga tuntas dan data sudah jenuh. Aktivitas dilakukan mulai
dari teknik pengumpulan data sekunder, data primer, dilanjutkan dengan
teknik pengolahan data dan dianalisis dengan menggunakan teori-teori,
konsep-konsep, sesuai fokus penelitian. Teknik ini dengan deskripsi,
interpretasi, evaluasi, dan sistematisasi, kemudian ditarik suatu kesimpulan
(berdasarkan logika deduktif maupun induktif). Penelitian ini bersifat etic.77
Selanjutnya keseluruhan hasil penelitian disajikan secara naratif (narrative),
yaitu memaparkan secara rinci dan lengkap dengan disertai ulasan-ulasan.
Langkah-langkah teknik analisis di atas mengikuti model interaktif seperti
dikemukakan oleh Miles and A. Michael Huberman78
yang terdiri dari reduksi
data (data reduction), menyajikan data (data display), penarikan kesimpulan
(conclusion), ferifikasi (drawing/verification). Langkah-langkah tersebut dapat
diragakan seperti gambar berikut:
77
Lexi J Moleong, Op.Cit. h. 72. 78
Mettew B. Miles and A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press,
Jakarta, h.11.
48
GAMBAR.1
Sumber: Analisis data model Mattew B.Miles and A. Michael Huberman, 1992, ( model
interaktif/interaktive model)
Aplikasi gambar terhadap penelitian ini, mulai dari aktivitas pengumpulan
data di lapangan dengan berbagai cara yaitu observasi (participant observation),
wawancara (elite interviewing, indepth interview) terhadap responden, dan
dokumentasi. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan reduksi data yaitu
mengklasifikasi, mencocokkan, membandingkan, ataupun mempertentangkannya.
Selanjutnya data yang telah direduksi dianalisis dengan menggunakan teori,
konsep-konsep, ajaran-ajaran, serta peraturan perundang-undangan yang telah
dipersiapkan sesuai fokus penelitian. Dilanjutkan menyajikan seluruh hasil
penelitian secara naratif (dalam bentuk uraian) dengan memaparkan secara rinci
dan lengkap disertai interpretasi, argumentasi dan sistimatisasi. Langkah
selanjutnya conclusion yaitu penarikan kesimpulan hasil penelitian tentang
dinamika sanksi, makna perubahan sanksi, serta implikasi perubahan sanksi
hukum adat perkawinan antar-wangsa berdasarkan logika deduktif maupun logika
induktif.
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan
Kesimpulan
Verifikasi
49
1.6.9 Pengujian Kredibilitas Data
Teknik pengujian kredibilitas79
data dapat digambarkan seperti gambar berikut:
GAMBAR 2
Sumber: Uji kredibilitas data dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, h.122)
Pengujian kredibilitas80
data dapat dilakukan dengan beberapa tahap:
1. Tahap perpanjangan pengamatan perlu dilakukan karena setelah data
terkumpul dan diadakan seleksi atau pengkategorian sesuai fokus penelitian
dianggap belum kredibel. Hal ini erat kaitannya dengan manusia yaitu peneliti
sendiri sebagai alat penelitian. Kurangnya ketelitian, kecermatan dan
kekritisan peneliti menyebabkan kurangnya kredibilitas data. Interaksi
wawancara yang kurang fokus juga menyebabkan kurang lengkapnya data.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan perpanjangan pengamatan, sehingga
peneliti mengadakan pengamatan kembali ke lapangan. Dengan demikian
wawancara tidak cukup dilakukan satu atau dua kali.
79
Sugiyono, Op.Cit. h.122. 80
Ibid h.208-211.
Meningkatkan ketekunan
Triangulasi
Diskusi teman sejawat
Member Check
Perpanjangan pengamatan
50
2. Tahap peningkatan ketekunan dan pengujian kredibilitas data dilakukan
dengan cara membaca seluruh catatan hasil penelitian secara cermat,
kemudian memberi ulasan atau deskripsi yang akurat dan sistematis tentang
dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa.
3. Tahap triangulasi yaitu pengecekan data melalui berbagai sumber dengan
berbagai cara dan berbagai waktu. Triangulasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah triangulasi sumber untuk mengecek kebenaran data yang
diperoleh dari informan/responden satu dibandingkan dengan data yang
diperoleh dari informan/responden berikutnya. Kalau informasi yang didapat
menunjukkan kesamaan, dianggap data sudah kredibel. Hal ini berlangsung
terus menerus sampai informasi jenuh (saturated) atau informan habis.
Triangulasi waktu dilakukan pada hari libur atau tidak hari libur, pagi atau
sore, tidak ada pengaruh. Teknik wawancara juga dipadukan dengan teknik
pengamatan (observasi) dan dokumentasi dengan melampirkan foto
perkawinan antar-wangsa yang melakukan upacara patiwangi di Pura Bale
Agung.
4. Diskusi teman sejawat dilakukan dengan cara seminar hasil penelitian yang
masih bersifat sementara untuk mendapatkan masukan-masukan, saran-saran
melalui diskusi yang dilakukan dengan teman-teman mahasiswa S3 Ilmu
Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana.
5. Member check (pengecekan anggota) adalah pengujian terhadap temuan
lapangan yang ditulis dalam bentuk disertasi. Hasilnya kemudian
disampaikan kepada aktor perkawinan antar-wangsa, apakah hasil penelitian
51
sudah benar atau masih perlu ada perubahan sesuai dengan yang dialami atau
diketahui oleh aktor. Apakah mereka keberatan nama aslinya dicantumkan,
kemudian akan diadakan penggantian nama bila perlu.