Transcript
Page 1: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Landasan sistem ekonomi negara diatur dalam Pasal 33 dan

Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara 1945, mengatur tanggungjawab

yang dibebankan kepada negara dalam upaya meningkatkan

kesejahteraan rakyat. Selain ditujukan kepada negara, tanggungjawab

juga dibebankan kepada golongan yang mampu berusaha, dan karena itu

dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara 1945 memuat semangat

kebersamaan (kekeluargaan), sumber-sumber kemakmuran dan

kesejahteraan sosial, pelaku usaha, bangunan dan wadah/bentuk usaha,

cara penggunaan/proses berusaha, serta tujuan akhir kegiatan usaha

yaitu untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama.1

Dalam proses pembangunan ekonomi nasional, sampai saat ini

struktur ekonomi Indonesia disangga oleh para pelaku usaha yang

tergabung dalam kelompok usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah,

dan kelompok usaha besar. Sumbangan dari kelompok ini sangat berarti

dalam perekonomian nasional. Usaha mikro, kecil, dan menengah

(UMKM) merupakan salah satu pilar utama perekonomian nasional

yang berwawasan kemandirian memiliki potensi besar untuk

1 Tatang Astrarudin, 2008, Perjanjian Kemitraan Usaha Antara Usaha

Mikro Kecil Menengah (UMKM) Dengan Usaha Besar Sebagai Upaya

Memperkokoh Struktur Ekonomi Nasional Menurut Peraturan Perundang-

Undangan Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran,

Bandung, h.1-2. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat

Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia , PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

h. 95-97. (Selanjutnya disebut Jimly Asshidiqie I).

Page 2: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

2

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tanpa mengabaikan peran

usaha besar, koperasi, maupun BUMN.

Perkembangan UMKM memiliki potensi besar dalam

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal mana ditunjukkan oleh

keberadaan UMKM yang telah mencerminkan wujud nyata kehidupan

sosial dan ekonomi bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Peran UMKM

yang besar ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap produksi nasional,

jumlah unit usaha dan pengusaha, serta penyerapan tenaga kerja.

Ditengah perkembangan ekonomi yang ada, UMKM sebagai

pilar ekonomi nasional dari segi kuantitas belum diimbangi dengan

peningkatan kualitas yang memadai. Masalah yang dihadapi adalah

rendahnya produktivitas dan daya saing, sehingga menimbulkan

kesenjangan besar antara UMKM dengan usaha berskala besar.

Peningkatan produktivitas sangat dibutuhkan guna mendorong

peningkatan daya saing UMKM untuk bisa berkompetensi, baik dalam

kancah perekonomian domestik maupun global.

Prolem krusial yang dihadapi UMKM adalah terbatasnya akses

UMKM kepada sumber daya produktif, terutama terhadap permodalan,

teknologi, informasi dan pasar. Terbatasnya akses UMKM terhadap

modal menyebabkan sulit untuk meningkatkan kapasitas usaha dan

mengembangkan produk-produk yang berdaya saing.

Problem akses modal UMKM sumber penyebabnya justru

karena keterbatasan UMKM itu sendiri baik dari segi pemasaran,

penguasaan teknologi dan informasi, serta buruknya manajemen usaha.

Page 3: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

3

Faktor tersebut menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan lembaga

perbankan dan lembaga keuangan lainnya untuk memberikan bantuan

permodalan dalam bentuk kredit terhadap UMKM. Selain itu,

ketidakmampuan UMKM untuk menyediakan jaminan (agunan) telah

menyulitkan UMKM untuk mengakses kredit dari perbankan.

Semua negara, terutama negara-negara berkembang seperti

Indonesia mengalami problem yang sama berkaitan dengan terbatasnya

akses UMKM terhadap modal. Hal yang sama juga dialami oleh UMKM

yang bergerak di sektor usaha pariwisata, dan bila dicermati secara

umum sumber masalahnya juga hampir sama.

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang menyediakan jasa

akomodasi, transportasi, makanan, rekreasi serta jasa-jasa lainnya yang

terkait. Sebagai suatu bentuk perdagangan jasa, pariwisata merupakan

suatu sistem perdagangan jasa yang mencakup berbagai komponen

perdagangan jasa, seperti; pelaku, bentuk jasa, konsumen jasa, dan

transaksi jasa yang menghubungkan pemasok jasa dan konsumen jasa .2

Kegiatan pariwisata di era globalisasi tidak dapat dipungkiri

telah membawa dampak positif berupa keuntungan dibidang ekonomi,

seperti; pemasukan dari sektor pajak dan perluasan kesempatan kerja ,

terutama bagi Negara yang menjadi tujuan wisata. Namun pada sisi lain

pariwisata juga dapat membawa dampak negatif, seperti kerusakan

2 Wyasa Putra, Ida Bagus, 2010, Fungsi Hukum Dalam Pengaturan

Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan Jasa: Inkonsistensi Konsep Dalam

Kebijakan Pariwisata dan Penyerapan General Agreement on Trade in Services

Dalam Pengaturan Perdagangan Jasa Pariwisata Internasional Indonesia,

Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h. 120.

(Selanjutnya disebut Wyasa Putra Ida Bagus I).

Page 4: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

4

lingkungan, sebagaimana dikemukakan oleh Supasti Dharmawan,

sebagai berikut;

A many studies have shown that the growth and development of

the tourism industry bring both positive and negative impacts for

the destinations. The positive impacts of these activities are

increased tax revenues, open job opportunities for communicates

and for the construction of adequate infrastructure, etc. on the

other hands, the negative impacts of it are environmental damage

both environment in terms of natural ecosystems such as air

pollution, exploitation of water resources, destruction of coral

reef as well as environmental damage in the social dimensions

such as the behavior of tourists which are sometimes

inappropriate with the local cultures.3

(Banyak studi menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan

industri pariwisata memberikan baik dampak positif maupun

negatif bagi daerah tujuannya. Dampak positif tersebut adalah

peningkatan pendapatan pajak, terbukanya kesempatan pekerjaan,

konstruksi infrastruktur yang memadia, dan lain-lain. Disisi lain

dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan baik secara

natural yang berdampak pada ekosistem seperti adanya polusi

udara, eksploitasi sumber daya air, kerusakan terumbu karang dan

juga kerusakan lingkungan dalam aspek sosial seperti perilaku

para turis yang terkadang tidak sesuai dengan budaya lokal).

Perdagangan jasa pariwisata melibatkan berbagai aspek. Aspek-

aspek tersebut antara lain aspek ekonomi, budaya, sosial, agama,

lingkungan, keamanan, dan aspek lainnya. Aspek yang mendapat

perhatian paling besar dalam pembangunan pariwisata adalah aspek

ekonomi. Terkait dengan aspek ekonomi inilah pariwisata dikatakan

sebagai suatu industri. Bahkan kegiatan pariwisata dikatakan sebagai

3 Supasti Dharmawan, Ni Ketut, 2012, Tourism and Enviroment; Toward

Promoting Sustainable Development of Turist; A Human Rights Perspective,

Indonesia Law Review, Year 2 vol. 1, January – April 2012, h. 23 (Selanjutnya

disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut I)

Page 5: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

5

suatu kegiatan bisnis4, yang berorientasi dalam penyediaan jasa yang

dibutuhkan wisatawan.

Dewasa ini perkembangan pariwisata dunia mengarah ke Asia

Pasifik, setelah Eropa mengalami jaman keemasan pada masa-masa

terdahulu. Negara-negara dikawasan Asia Pasifik dan Karibia akan

mewakili pengembangan pasar Internasional baru dan akan menjadi

masa depan internasional.5

Indonesia berada di kawasan Asia Pasifik, merupakan destinasi

pariwisata yang sangat dikenal dunia. Pariwisata mempunyai pengaruh

yang sangat besar terhadap perekonomian masyarakat, dimana

pariwisata mempunyai peranan positif dalam penciptaan pendapatan

bagi masyarakat, penciptaan lapangan kerja, sebagai sumber

penghasilan devisa, mendorong ekspor (khususnya barang-barang hasil

industri kerajinan), dan mengubah struktur perekonomian ke arah yang

lebih berimbang.

Kegiatan pariwisata yang melibatkan usaha yang berskala

besar maupun Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang selanjutnya

disebut UMKM mempunyai peranan strategis dalam pembangunan

ekonomi nasional, oleh karena disamping berperan dalam pertumbuhan

4 Gelgel, I Putu, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi

Perdagangan Jasa (GATS-WTO) Implikasi Hukum dan Antisipasinya, PT. Refika

Aditama, Bandung, h. 23. (Selanjutnya disebut Gelgel I Putu I). Lihat juga Wyasa

Putra Ida Bagus, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata., PT. Refika Aditama,

Bandung, h. 17-18. (Selanjutnya disebut Wyasa Putra Ida Bagus II).

5 Pitana I Gede, 2006, Kepariwisataan Bali Dalam Wacana Otonomi

Daerah, Puslitbang Kepariwisataan Badan Pengembangan Sumber Daya Budpar

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, h.3. (Selnjutnya disebut Pitana

I Gede I).

Page 6: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

6

ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam

pendistribusian hasil-hasil pembangunan.

Usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai bagian dari usaha

ekonomi kerakyatan penting untuk diberdayakan ditengah arus

perkembangan pariwisata. Dalam penyelenggaraan kepariwisataan di

era globalisasi, pemerintah perlu memberi dorongan agar kegiatan

usaha dibidang pariwisata dapat memberi peluang dalam pemberdayaan

ekonomi rakyat.6 Bila UMKM sebagai bentuk ekonomi kerakyatan tidak

diberikan peluang dan kurang diberdayakan, maka ia tidak akan

mempunyai daya saing ketika berhadapan dengan kekuatan ekonomi

global.

Sebagai daerah destinasi wisata utama di Indonesia dengan

sektor unggulan pariwisata, seperti Bali misalnya pernah mengalami

krisis ekonomi, seperti pada waktu ledakan bom di Jl. Legian Kuta

Tahun 2002 dan di Jimbaran tahun 2005, telah memporak-porandakan

perekonomian di Bali. Korporat, hotel, restoran, agen perjalanan, dan

aktivitas pariwisata lumpuh. Namun pada sisi lain UMKM mampu

bertahan ditengah-tengah krisis tersebut.7

6 Gelgel I Putu, 2006, Hukum Pariwisata Suatu Pengantar, Widya

Dharma, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, h. 29. (Selanjutnya disebut I

Putu Gelgel II).

7 Ibid. Lihat juga Wenegama I Wayan, Peranan Usaha Kecil dan

Menengah Dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Tingkat Pendapatan

Masyarakat Miskin di Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung , Buletin Studi

Ekonomi Volume 18 Nomor 1 Pebruari 2013, h. 79. Menurutnya krisis ekonomi

yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu, dimana usaha besar banyak yang

stagnasi dan bahkan berhenti aktivitasnya, sektor UMKM terbukti lebih tangguh

dalam menghadapi krisis tersebut. Oleh karena itu pemberdayaan perlu dilakukan

oleh pemerintah agar UMKM dapat lebih berkembang dan kompetitif bersama

pelaku usaha ekonomi lainnya.

Page 7: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

7

Fakta menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang diciptakan

oleh kelompok UMKM jauh lebih banyak dibandingkan dengan tenaga

kerja yang bisa diserap oleh usaha besar. Karena itu, diharapkan

kelompok UMKM ini terus berperan optimal dalam upaya

menangulangi pengangguran yang jumlahnya cenderung meningkat

setiap tahunnya.8 Dengan banyak menyerap tenaga kerja berarti UMKM

yang bergerak di bidang usaha pariwisata mempunyai peran strategis

dalam upaya Pemerintah Daerah memerangi kemiskinan di daerah.

Bila dilihat dari eksistensi UMKM sebagai bagian dari ekonomi

kerakyatan9, telah menghadapi berbagai problematik, baik problematik

sosiologis, filosofis maupun yuridis, terkait dengan upaya

pemberdayaan UMKM dalam perekonomian nasional. Berbagai

problematik dimaksud penting kiranya untuk dikaji mengingat begitu

besarnya peran UMKM sebagai motor penggerak pembangunan

dibidang ekonomi.

Secara sosiologis problem yang dihadapi UMKM adalah masih

kurang maksimalnya perhatian dari pemerintah terhadap UMKM,

terutama dari segi akses permodalan usaha. Banyak produk deregulasi

yang justru mengorbankan pengusaha yang masuk kategori UMKM,

baik langsung maupun tidak langsung, padahal kalangan pengusaha ini

8 Tulus Tambunan, 2012, Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia,

Isu-isu Penting, LP3ES, Jakarta, h.XVI.

9 Ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya

pemberdayaan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia

usaha. Rakyat yang dimaksud dalam perekonomian di Indonesia adalah rakyat

yang berada pada kelas menengah ke bawah yang mendominasi, dengan modal

kecil, teknologi sederhana, dan pada sektor agraris. Lihat Tara, Azwir, 2001,

Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta, h. 1.

Page 8: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

8

dalam pelbagai peristiwa justru menjadi penggerak utama kekuatan

sosial.10

Modal merupakan kunci dari berlangsungnya usaha, sebab

tanpa modal tidak mungkin UMKM dapat menjalankan usaha yang

diinginkannya. Fenomena yang dihadapi UMKM memang tidak hanya

menyangkut modal, tetapi juga lemah dari segi sumber daya manusia,

teknologi, manajemen, maupun akses pasar, sehingga sulit untuk

bersaing dan bermitra dengan usaha besar.11

Permasalahan utama UMKM saat ini utamanya terkait dengan

kesulitan dalam hal permodalan dan pemasaran. Menurut Ina Primiana,

beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan bagi UMKM terkait

permodalan, yaitu;

1. Kesulitan akses ke bank dikarenakan ketidakmampuan

dalam hal menyediakan persyaratan agar bankable.

Sebetulnya Bank Indonesia telah banyak membantu UMKM

agar dapat lebih mudah untuk mendapatkan akses kredit dari

bank, namun kenyataannya tidak semua UMKM dapat

memenuhi persyaratan collateral. Artinya masih lebih

banyak UMKM yang belum terjaring.

2. Ketidaktahuan UMKM terhadap cara memperoleh dana atau

modal dari sumber-sumber lain, selain perbankan yang

dapat menjadi sumber pembiayaan.

3. Tidak tersedianya modal pada saat pesanan datang. Artinya

mereka membutuhkan dana cepat untuk memenuhi pesanan.

Hal ini tidak mungkin bisa dipenuhi oleh perbankan, karena

10 Normin S. Pakpahan, Frans Limahelu, 1992, Peta Hukum Dibidang

Kegiatan Ekonomi, Suatu Studi Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha

Kecil dan Menengah pada Sepuluh Provinsi di Indonesia , Kantor Menko Ekuin

dan Pengawasan Pembangunan bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas

Airlangga, Surabaya, h. 12.

11

Mohammad Jafar Hafsah, 2000, Kemitraan Usaha Konsepsi dan

Strategi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 67. Lihat juga Budi Rachmat, 2005,

Modal Ventura, Cara Mudah Meningkatkan Usaha Kecil dan Menengah , Ghalia

Indonesia, Bogor, h. 21.

Page 9: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

9

pengajuan kredit bank membutuhkan waktu lama (bisa

mencapai 2 – 3 bulan).12

Terbatasnya akses pasar dan akses modal sebagaimana

dikemukakan tersebut di atas juga dialami oleh UMKM di bidang usaha

pariwisata. UMKM merupakan fenomena baru dimana eksistensinya

dalam perekonomian Indonesia, menjadi isu penting sebagai pilar

ekonomi disamping BUMN, Badan Usaha Swasta, dan bentuk badan

usaha lainnya. Namun kenyataannya keberadaan UMKM masih sebagai

kelompok usaha yang terpinggirkan dalam situasi kerasnya menghadapi

persaingan bisnis domestik dan free trade global seperti Asean China

Free Trade Agreement (ACFTA).13

Bila dicermati dalam masyarakat ada beberapa fakta

yang menunjukkan kelompok UMKM dibidang pariwisata terpinggirkan

dan kalah bersaing dengan pelaku usaha besar, yaitu;

1. Pedagang kaki lima dan pedagang acung kelompok UMKM penjual

barang-barang kerajinan yang dikejar-kejar Satpol PP ketika

menggelar dagangannya didepan atau disekitar Artshop yang

notabena milik pelaku usaha besar. Disini tentu perlu dipertanyakan

tentang policy atau kebijakan Pemerintah Daerah dalam

pembangunan ekonomi daerah yang sering mewacanakan slogan

12 Ina Primiana, 2009, Menggerakkan Sektor Riil UKM dan Industri ,

Alfabeta, Bandung, h. 49-50

13

Retno Murni et. all., Eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Sebagai Penopang Industri Pariwisata Berkelanjutan di Bali , Jurnal Elmiah

Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 36 No.2

September 2011, h. 103.

Page 10: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

10

"community base tourism" atau pariwisata berbasis masyarakat dan

pembangunan ekonomi kerakyatan. Semestinya para pedagang

acung dan pedagang kaki lima ini difasilitasi akses pasarnya dengan

menyediakan tempat berusaha untuk mereka, sehingga yang

bersangkutan dapat ikut menikmati kemajuan ekonomi akibat

pengaruh pariwisata.

2. Menjamurnya Artshop atau toko oleh-oleh yang menjual segala

macam jenis souvenir dan makanan khas daerah setempat.

Keberadaan mereka ini jelas-jelas telah mematikan pasar tradisional

dan pasar seni yang umumnya terdiri dari para UMKM. Menyikapi

fenomena tersebut, yang perlu dipertanyakan adalah mengenai

keberpihakan dari Pemerintah Daerah yang nyata-nyata masih pada

pelaku usaha besar. Pemerintah Daerah dan para pengusaha besar

kurang memperhatikan kepentingan masyarakat yang pada

umumnya sebagian besar terdiri dari UMKM.

3. Kondisi dibiarkannya hotel-hotel yang menjadikan dirinya sebagai

tempat eksklusif menyediakan segala kebutuhan wisatawan, mulai

dari makanan, souvenir, pakaian dan yang lainnya, sehingga hampir

tidak ada sepeserpun uang wisatawan bisa dinikmati oleh UMKM.

Pertanyaannya kenapa hotel sebagai tempat menginap justru

sekaligus sebagai tempat berdagang dengan merampas lahan

Page 11: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

11

tempat usaha masyarakat tradisional. Kondisi seperti ini

bertentangan dengan prinsip "community base tourism".14

4. Kendala dan keterbatasan permodalan yang dialami oleh UMKM

yang menyulitkan dirinya untuk bisa tumbuh dan berkembang secara

wajar. Adanya order yang cukup besar dari pelanggan seringkali

ditolak karena modal tidak mencukupi. Setiap pengajuan pinjaman

melalui perbankan atau koperasi sering ditolak karena terkendala

agunan.15

Agunan merupakan barang-barang kebendaan milik debitur

yang dijadikan jaminan untuk melunasi utangnya.16

Pengertian agunan

seperti diatur dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 yaitu ; a. Merupakan jaminan tambahan, b. Benda/barang milik

nasabah debitur yang diserahkan kepada bank/kreditur, c. Untuk

mendapatkan fasilitas kredit/ pembiayaan.17

Fakta-fakta tersebut di atas menunjukkan betapa lemahnya

posisi UMKM dari segi akses pasar karena tidak mampu bersaing

dengan usaha besar yang bermodal kuat yang memiliki segala

14 Sutjipta I Nyoman, 2005, Pariwisata Revolusi di Pulau Dewata ,

Universitas Udayana, Denpasar, h. 62. Menurut Sutjipta “Community Base

Tourism” adalah pariwisata yang berbasiskan kerakyatan atau pembangunan

ekonomi kerakyatan, yang sering diwacanakan oleh para Pejabat Pemerintah dan

para pengusaha pariwisata. Berbagai fakta di lapangan menunjukkan adanya

kebijakan pariwisata yang dipertanyakan berpihak kemanakah pemerintah yang

membuat “policy” atau kebijakan dalam bidang pariwisata ?

15

Kipas Lukis Payangan Terkendala Modal, Nusa Bali, 28 Januari 2014.

16

Suhariningsih, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Kredit

Dengan Jaminan Barang Inventory dalam Bingkai Jaminan Fidusia , Universitas

Wisnuwardana Press, Malang, h.19-20.

17

Ibid, Menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Udang Nomor 10 Tahun 1998,

Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank

dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah.

Page 12: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

12

keunggulan. Tidak hanya akses pasar, UMKM juga lemah dari akses

permodalan. Peranan modal menjadi sangat besar ketika UMKM akan

ikut berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi sebagai dampak dari

kegiatan pariwisata. Disini terasa betapa sulitnya kelompok usaha ini

untuk mengembangkan usaha mereka karena adanya kendala dalam

penyediaan modal.

Kebutuhan dan pentingnya modal bagi UMKM dibidang usaha

pariwisata yang pada umumnya dilakoni oleh masyarakat lokal juga

diungkapkan oleh I Nyoman Madiun sebagai berikut :

Tidak dapat dihindari untuk melakukan diversifikasi produk

wisata, syarat utamanya adalah tersedianya cukup modal.

Demikian pula halnya, ketika masyarakat lokal harus

melakukan diversifikasi terhadap berbagai sumber daya yang

dimiliki sebagai dampak meningkatnya kebutuhan wisatawan

maupun masyarakat pendatang lainnya, peningkatan kebutuhan

modal tersebut tidak dapat dihindari.18

Tidak hanya sekedar terkendala modal, akibat derasnya aliran

modal dari luar, masyarakat lokal yang notabena usaha kecil tidak

mampu bersaing dengan pemilik modal dari luar tersebut yang tidak

hanya menekuni usaha-usaha besar, tetapi juga mengambil alih usaha-

usaha berskala kecil yang pada mulanya dilakukan oleh masyarakat

lokal.

Kurangnya permodalan dan terbatasnya akses permodalan

merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan unit

usaha UMKM.19

Akses UMKM untuk mendapatkan modal yang berupa

18 Madiun I Nyoman, 2010, Nusa Dua Model Pengembangan Kawasan

Wisata Modern, Udayana University Press, h. 170.

19

http : //usahamodalkecil31.blogspot.com/2012/08kendalausahakecil

menengah dan solusi.html, diakses tanggal 20 Juni 2013.

Page 13: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

13

kredit dari bank sangat sulit untuk didapat, mengingat adanya

persyaratan administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat

dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar adalah adanya

ketentuan mengenai agunan, karena tidak semua UMKM memiliki harta

yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.20

Sesungguhnya akses terhadap modal merupakan hak UMKM,

karena merupakan bagian dari hak azasi manusia (HAM), yaitu hak

ekonomi yang perlu diperjuangkan dalam konteks pembangunan

dibidang ekonomi. Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum

(rechtsstaat), sehingga jelas bahwa jaminan hukum terhadap hak azasi

manusia pasti dijunjung tinggi dan hak-hak azasi manusia, terutama

hak-hak ekonomi dihormati dan dilindungi.21

Pengertian hak-hak ekonomi cakupannya sangat luas, yang

pada dasarnya berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Menurut

A.A. Baramuli secara umum hak-hak ekonomi dapat dirumuskan

sebagai berikut;

Hak-hak azasi untuk hidup, hak memperoleh kehidupan yang layak, hak memperoleh pekerjaan dan upah yang wajar, hak memperoleh pendidikan, hak membangun atau turut dalam proses pembangunan negaranya, hak kaum lemah untuk dilindungi, hak persamaan akses dibidang ekonomi, hak persamaan kesempatan dalam tender/suplai kepada pemerintah, dan banyak lagi hak-hak

20 Ibid.

21

Dalam suatu negara hukum, salah satu unsurnya adalah adanya

pengakuan dan jaminan Hak Azasi Manusia (HAM). Seperti dikemukakan ahli

hukum Carl J. Frederick Jalius Starl, sebagaimana dikutip Moch. Mahfud MD,

mengemukakan ciri-ciri rechtstaat/negara hukum adalah; 1) Adanya pengakuan

hak-hak dasar manusia/hak-hak azasi manusia. 2) Adanya pembagian kekuasaan

untuk menjamin hak azasi manusia. 3) pemerintah berdasarkan peraturan -

peraturan. 4) Peradilan administrasi dalam perselisihan/ Adanya peradilan Tata

Usaha Negara. Lihat Moch. Mahfud MD, 2001, Demokrasi dan Konstitusi

Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan , PT.

Rineka Cipta, Jakarta, h. 28. (Selanjutnya disebut Moch. Mahfud MD. I)

Page 14: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

14

yang diatur dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan, merupakan hak-hak azasi manusia sekaligus hak-hak ekonomi.

22

Pembangunan ekonomi sesungguhnya bertujuan untuk memenuhi

hak-hak ekonomi dari setiap orang sesuai dengan prinsip persamaan,

pemerataan, dan berkeadilan. Oleh karenanya kecenderungan

pembangunan ekonomi yang hanya menguntungkan golongan kuat harus

dikoreksi. Keseimbangan golongan kuat dan lemah harus diupayakan

melalui penyediaan perangkat hukum yang memadai yang memberikan

peluang terhadap kelompok lemah untuk memenuhi hak-hak ekonominya.

Selanjutnya dari segi filosofis, problematik yang dihadapi adalah

apa yang sudah diatur dalam Konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945

ditingkat implementasi belum sepenuhnya dapat diwujudkan oleh para

pengambil kebijakan berkaitan pembangunan dibidang ekonomi dengan

prinsip demokrasi ekonomi. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang

Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial mengatur sebagai berikut;

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

22 Baramuli A.A., 1977, Hak-Hak Azasi Manusia Dalam Konteks Hak-

Hak Ekonomi, Dalam Hak Azasi Manusia Dalam Perspektif Budaya Indonesia ,

PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 129.

Page 15: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

15

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sendi utama

politik ekonomi Indonesia. Ketentuan pasal ini mestinya menjiwai para

penentu kebijakan dibidang ekonomi. Apa yang tertuang dalam pasal 33

Batang Tubuh dan Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945 tidak terurai secara substansial dan nyata dalam berbagai regulasi

dan kebijakan pemerintah.23

Sistem Ekonomi Kerakyatan hanya sebatas

wacana dan belum sepenuhnya berpihak pada Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (UMKM).

Hingga saat ini Indonesia menurut Bernhard Limbong justru

sangat giat mengembangkan ekonomi konglomerasi yang digerakkan

kapital global,24

yang berpihak pada usaha berskala besar yang

dipandang bisa memberikan kontribusi yang menguntungkan bagi

pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional. Akibat dari semua

itu, ekonomi kerakyatan yang didasarkan demokrasi ekonomi menjadi

terpinggirkan dan UMKM tidak dapat ikut menikmati kesempatan dan

peluang yang sama seperti usaha besar.

Demokrasi ekonomi yang berintikan keadilan belum

sepenuhnya dapat diwujudkan bila dikaitkan dengan hak UMKM untuk

mendapatkan akses modal (capital) maupun akses pasar. Peluang dan

kesempatan UMKM untuk mendapatkan akses modal maupun akses

23 Bernhard Limbong, tanpa tahun, Ekonomi Kerakyatan dan

Nasionalisme Ekonomi, Margaretha Pustaka, Jakarta, h. iii.

24

Ibid.h.ii. Kapital global dapat pula dikaitkan dengan Kapitalisme Pasar

Bebas. Kehadiran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan antisipasi

terhadap kapitalisme pasar bebas. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sangat

sejalan dengan dengan visi membangun negara Indonesia Merdeka yaitu

masyarakat adil dan makmur. Dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 itu

yang paling diutamakan adalah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini

sangat berbeda dengan visi kapitalisme pasar bebas. Lihat juga Mubyarto, 1987,

Ekonomi Pancasila; Gagasan dan Kemungkinan , Pustaka LP3ES, Jakarta, h. 57-

58.

Page 16: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

16

pasar sangat kecil bila dibandingkan usaha besar, sehingga

menimbulkan kesenjangan dan ketidakseimbangan dalam bidang

ekonomi.

Bila dikaitkan manfaat pembangunan dibidang ekonomi,

terutama akibat pengaruh pariwisata, hendaknya manfaat itu dapat

dinikmati secara merata dan dapat didistribusikan secara adil antara

usaha besar dan usaha kecil. Seperti dikemukakan oleh K. Sukardika

sebagai berikut;

Dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan, salah satunya

harus memenuhi kriteria equalitas, yaitu keadilan, dalam arti

pemerataan kesempatan untuk ambil bagian dalam berusaha,

atau menikmati berbagai manfaat pembangunan. Manfaat

pembangunan ekonomi harus didistribusikan secara adil, dan

mereka yang menderita (the needy) harus mendapat prioritas

lebih tinggi didalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan.25

Terkait dengan hak UMKM atas akses modal yang merupakan

bagian terpenting dari pemberdayaan UMKM, perlu kiranya dicermati

beberapa peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, guna

mengetahui problematik yuridis yang dihadapi dalam upaya

pemberdayaan UMKM. Adapun peraturan perundang-undangan yang

dimaksud diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009

Tentang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008

Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Undang-Undang Nomor 10

25 Sukardika K., 2004, Menata Bali ke Depan Kebijakan Kultural,

Pendidikan dan Agama, CV. Bali Media Adhikarsa, Denpasar, h. 78-79, Lebih

lanjut Sukardika juga menyatakan bahwa distribusi manfaat ekonomi yang

dibawa oleh pariwisata masih terlihat timpang, terutama antara masyarakat lokal

dengan kapitalis dari luar maupun antar golongan di masyarakat, Ibid., h . 84.

Page 17: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

17

Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 Tentang Perbankan, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

tentang Penanaman Modal.

Ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009

tentang Kepariwisataan mengatur tentang kewajiban Pemerintah dan

Pemerintah Daerah untuk mengembangkan dan melindungi UMKM dan

koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan membuat kebijakan

pencadangan usaha dan memfasilitasi kemitraan UMKM dengan usaha

skala besar.26

Selengkapnya ketentuan pasal 17 dimaksud adalah

sebagai berikut;

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan

melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dalam

bidang usaha pariwisata dengan cara :

a. Membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk

usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, dan

b. Memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil, menengah

dan koperasi dengan usaha skala besar.

Ketegasan tentang pemberdayaan UMKM ini juga dapat dilihat

pada penjelasan umum dari Undang-undang Nomor 10 tahun 2009

Tentang Kepariwisataan. Pembangunan kepariwisataan juga

berorientasi pada upaya pemberdayaan usaha mikro, kecil dan

menengah didalam dan disekitar destinasi pariwisata. Pada Undang-

Undang Pariwisata yang baru (Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009)

26 Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan

Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 67.

Page 18: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

18

tampak adanya upaya Pemerintah untuk mendorong usaha mikro, kecil

dan menengah agar dapat tumbuh dan berkembang sehubungan dengan

usaha yang dijalankan di bidang pariwisata.

Ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Kepariwisataan tidak

mengatur secara jelas tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah

Daerah dibidang permodalan UMKM. Ketentuan pasal ini hanya

mengatur kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk

membuat kebijakan pencadangan usaha dan kemitraan usaha bagi

UMKM. Dalam kerangka liberealisasi dibidang pariwisata tentu

sangat dibutuhkan adanya modal bagi UMKM agar dapat bersaing

dengan usaha besar.

Masalah yang berkaitan dengan modal yang dibutuhkan

UMKM dapat ditemui pengaturnya dalam ketentuan Pasal 61

Undang-Undang Kepariwisataan, yang menyatakan bahwa Pemerintah

dan Pemerintah Daerah memberikan peluang pendanaan bagi usaha

mikro dan kecil dibidang kepariwisataan. Apa yang diatur dalam Pasal

61 hanya diperuntukkan bagi usaha mikro dan kecil saja dan tidak untuk

usaha menengah. Selain itu tidak jelas dirumuskan tentang kewajiban

dari Pemerintan dan Pemerintah Daerah dibidang penyediaan dana bagi

UMKM. Apa bentuk dan bagaimana cara mendapatkan peluang

pendanaan tersebut juga tidak dijabarkan secara kongkrit.

Page 19: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

19

Liberalisasi pariwisata tentu menghadirkan pengusaha atau

pemasok jasa asing di Indonesia yang umumnya dapat diklasifikasikan

sebagai usaha berskala besar.27

Dengan lompatan teknologi yang

dimiliki, pendanaan (modal) yang tidak terbatas dan skill yang

mumpuni, tentu tidaklah adil jika mereka nantinya bersaing dengan

UMKM yang menjadi porsi terbesar dari bentuk usaha di Indonesia.28

Pemerintah sebagai representasi negara kesejahteraan (welfare

state) sudah barang tentu wajib melindungi keberadaan UMKM

sehingga tidak tereliminasi di negara mereka sendiri. Perlu diketahui,

yang dihadapi UMKM tidak saja pelaku usaha besar asing, tetapi juga

pelaku besar domestik yang bermodal kuat. Guna meningkatkan daya

saing, maka UMKM perlu diperkuat struktur permodalannya dengan

membuka peluang seluas-luasnya untuk mendapatkan akses permodalan

usaha.

Intervensi atau campur tangan pemerintah sangat diperlukan

dengan membuka akses untuk mendapatkan modal bagi UMKM,

sehingga ada permainan atau pertarungan yang seimbang dalam

mekanisme pasar. Pemerintah perlu mengambil kebijakan serta

membuat peraturan perundang-undangan yang mengarah pada

perlindungan pihak yang lemah.

27 Parikesit Widiatedja IGN., 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata,

Konstruksi Konsep Ragam Masalah dan Alternatif Solusi , Udayana University

Press, Denpasar, h. 99. (Selanjutnya disebut Parikesit Widiatedja IGN. I).

28

Ibid.

Page 20: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

20

Kondisi tidak seimbang ini tidak dapat dibiarkan terus tanpa

intervensi pemerintah. Strategi pembiaran dengan tingkat intervensi

yang amat minimal dapat menjadi bumerang karena tingkat ajang

pertarungan yang seimbang (level playing) dalam mekanisme pasar

masih belum tercipta.29

Apabila tidak ada akses bagi semua pihak untuk

dapat berperan serta dan punya kesempatan yang sama dalam kegiatan

ekonomi, maka pasar akan bermanifestasi sebagai alat perampasan

ekonomi. Kalau sudah seperti itu, maka disitulah ketimpangan

pendapatan dan kepincangan kesejahteraan dimulai.30

Dalam rangka pemberdayaan UMKM, maka disusunlah

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil

dan Menengah. Masalah yang menyangkut pembiayaan bagi UMKM

dengan melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dalam

Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 24,

yang selengkapnya menyatakan;

Pasal 21 ayat (1);

Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan

bagi usaha mikro dan kecil

Pasal 21 ayat (4);

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat

memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan

mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak

mengikat untuk usaha mikro dan kecil.

Pasal 22;

Dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro

dan Usaha Kecil, pemerintah melakukan upaya;

29 Bustanul Arifin, Didik KJ. Rachbini, 2001, Ekonomi Politik dan

Kebijakan Publik, PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta, h. 107.

30

Amartya Sen, Suara Kaum Jelata dari Tanah Damai, Tempo, 9

Desember 2001, h. 76 – 77. Lihat juga Parikesit Widiatedja IGN. I, Op.Cit, h. 12.

Page 21: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

21

a. Pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan

dan lembaga keuangan bukan bank.

b. Pengembangan lembaga modal ventura

c. Pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang,

d. Peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil

melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan

konvensional dan syariah, dan

e. Pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23 ayat (1);

Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap

sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud Pasal 22

Pemerintah dan Pemerintah Daerah ;

a. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan

lembaga keuangan bukan bank.

b. Menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas

jangkauan lembaga penjamin kredit, dan

c. Memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi

persyaratan untuk memperoleh pembiayaan.

Pasal 24;

Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan

usaha menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan

dengan;

a. Memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan

modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan

pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga

pembiayaan lainnya; dan

b. Mengembangkan lembaga penjamin kredit, dan

meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor.

Ketentuan Pasal 21 ayat (1) khusus ditujukan untuk usaha

mikro dan kecil yang memuat ketentuan bahwa Pemerintah dan

Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan untuk kelompok usaha

tersebut. Ketentuan pasal ini tidak jelas dan tegas menyatakan

penyediaan pembiayaan itu sebagai kewajiban dari Pemerintah dan

Pemerintah Daerah.

Page 22: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

22

Selanjutnya apa yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4), disamping

Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dunia usaha juga dapat

memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, serta

mengusahakan sumber pembiayaan lain bagi usaha mikro dan kecil.

Kata “dapat” yang dirumuskan dalam pasal ini mengandung arti ganda,

sehingga menimbulkan penafsiran, bahwa Pemerintah, Pemerintah

Daerah, dunia usaha, “dapat” dan bisa juga “tidak” memberikan hibah,

mengusahakan bantuan luar negeri, serta mengusahakan sumber

pembiayaan lain bagi usaha mikro dan kecil.

Kemudian ketentuan Pasal 22 mengatur tentang upaya untuk

meningkatkan sumber-sumber pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil

oleh Pemerintah. Sumber-sumber pembiayaan dimaksud meliputi kredit

perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, modal ventura, anjak

piutang, koperasi simpan pinjam dan pengembangan sumber

pembiayaan lainnya.

Guna meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap

pembiayaan, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah berdasarkan

Pasal 23 ayat 1 mengembangkan dan memperluas jaringan lembaga

keuangan bukan bank, memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit,

serta memberi kemudahan persyaratan dalam memperoleh pembiayaan.

Secara khusus ketentuan Pasal 24 mengatur pemberdayaan

terhadap usaha menengah. Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Page 23: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

23

melakukan pemberdayaan dalam bidang pembiayaan dan penjaminan

dengan meningkatkan pembiayaan modal kerja, akses pembiayaan

melalui pasar modal, lembaga pembiayaan lainnya serta

mengembangkan lembaga penjamin kredit.

Apa yang diatur dalam beberapa pasal dari Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah

tersebut diatas tidak mengatur secara jelas dan eksplisit peran

Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyediaan modal bagi

UMKM. Seharusnya masalah akses pendanaan atau modal merupakan

bagian dari pengembangan usaha perlu diatur secara jelas dan

operasional. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 belum menjawab

secara riil bagaimana UMKM mendapatkan akses modal atau

pembiayaan dengan mudah dengan mempertimbangkan karakteristik

dari UMKM itu sendiri.

Selain itu, kejelasan mengenai agunan dan bentuk jaminan yang

menjadi persoalan utama tidak dijabarkan secara kongkrit dalam

Undang-Undang ini. Seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya

bahwa salah satu kendala UMKM untuk mendapatkan akses kredit atau

pembiayaan dari lembaga perbankan disebabkan karena ketiadaan

agunan sebagai salah satu persyaratan yang ditetapkan untuk

mendapatkan kucuran kredit atau pembiayaan.

Bila dikaitkan dengan pengembangan usaha dan juga

mengemban misi pelestarian predikat ketangguhan, UMKM

Page 24: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

24

mengharapkan kemudahan-kemudahan yang berkenaan dengan

peningkatan modal. Untuk maksud ini akses ke lembaga perbankan

sebagai sumber utama pembiayaan bagi UMKM seharusnya dibuka

selebar-lebarnya.31

Namun sayang harapan ini belum terakomodir

pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008.

Selain itu, khusus dalam kontek penjaminan kredit bagi usaha

mikro dan kecil diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang

UMKM dan untuk usaha menengah diatur dalam Pasal 24 huruf b

Undang-Undang UMKM. Kedua ketentuan pasal tersebut memberikan

peluang terbentuknya lembaga penjaminan kredit dengan Pemerintah

Daerah bertindak sebagai penjamin kredit. Dengan adanya penjaminan

kredit ini maka terbuka peluang bagi UMKM untuk mendapatkan akses

modal melalui fasilitas kredit dari perbankan.

Bila dicermati apa yang diatur dalam ketentuan pasal 23 ayat

(1) huruf b dan pasal 24 huruf b Undang-Undang UMKM tersebut

bertentangan dan tidak sinkron dengan ketentuan pasal 55 ayat 1

Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang menyatakan

Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman

31 Yohanes Usfunan, et. al., 2007, Kajian Penggunaan Dana Pemerintah

Daerah Untuk Penjaminan Kredit UMKM, Bank Indonesia – Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar, h. 2. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ketangguhan

usaha yang telah dibuktikan, sehingga rata-rata masih tetap eksis hingga saat ini

merupakan sifat yang paling karakteristik atau sudah menjadi jati diri UMKM.

Karakter tersebut memang dibangun dari tekad untuk bersungguh-sungguh dan

kemandirian dalam berusaha. Ketidakmampuan menyediakan agunan atau

jaminan pada akhirnya menjadi masalah yang paling mendasar bagi UMKM, dan

oleh karena itu sangat diperlukan kebijaksanaan pembinaan dari pemerintah.

Page 25: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

25

pihak lain. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa Pemerintah

Daerah tidak dapat bertindak sebagai penjamin kredit UMKM. Tidak

diperbolehkannya Pemerintah Daerah sebagai penjamin atas pinjaman

pihak lain juga diatur dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah.

Pengembangan UMKM didaerah memerlukan Lembaga

Penjaminan Kredit (LKP) dalam memperoleh akses permodalan dari

perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya.32

Saat ini sudah banyak

Pemerintah Daerah menjalankan bisnis penjaminan kredit UMKM di

daerah yang bekerjasama dengan LPK, namun perkembangannya relati f

lambat dan belum optimal menjamin kredit UMKM. Salah satu

permasalahannya adalah masih adanya keraguan Pemerintah Daerah

untuk bertindak sebagai penjamin karena adanya ketentuan yang

bertentangan (konflik) dan tidak harmonis tersebut, yaitu antara

ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf b dan Pasal 24 huruf b Undang-

Undang UMKM disatu pihak dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 30 tahun 2011 di pihak lain.

32 Pengembangan Lembaga Penjaminan Kredit di daerah ini juga diatur

dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2007. Melalui Inpres ini diinstruksikan kepada

sejumlah institusi dan lembaga terkait, termasuk Pemerintah Daerah untuk

melakukan Penguatan Permodalan bagi UMKM. Kebijakan tersebut

mengharuskan peningkatan peran Lembaga Penjaminan Kredit bagi UMKM,

seperti Perum sarana Pengembangan Usaha (SPU) dan PT Asuransi Kredit

Indonesia (Askrindo). Beberapa Daerah merespon kebijakan tersebut dengan cara

mendirikan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) dan menyertakan

permodalannya.

Page 26: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

26

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 angka 2 Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup

rakyat banyak. Terkait dengan peningkatan taraf hidup rakyat dan guna

mengembangkan sektor koperasi dan golongan ekonomi lemah atau

usaha kecil, maka ketentuan Pasal 12 dan Penjelasannya dari Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengaturnya sebagai berikut :

Pasal 12

(1) Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf

hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha

kecil dan menengah, Pemerintah bersama Bank Indonesia

dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum.

(2) Ketentuan mengenai kerjasama dengan Bank Umum

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan Pasal 12 ayat (2);

Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah memuat antara lain;

a. Kewajiban Bank Umum untuk menyalurkan kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada koperasi,

usaha kecil dan menengah dengan prosedur dan persyaratan

yang mudah dan lunak.

b. Program peningkatan taraf hidup rakyat banyak yang berupa

penyediaan kredit dengan bunga rendah atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah dengan tingkat bagi hasil yang

rendah.

c. Subsidi bunga atau bagi hasil yang menjadi beban Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara

Perkembangan layanan pemberian kredit yang beraneka ragam

coraknya memberikan peluang kepada siapa saja pelaku usaha untuk

mendapatkan tambahan modal melalui pinjaman yang disediakan

Page 27: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

27

bank.33

Pihak perbankan tanpa diskriminasi memberi kesempatan

kepada pelaku usaha besar maupun pelaku usaha kecil untuk

mendapatkan fasilitas kredit, dan bahkan memprioritaskan bagi

pengusaha kecil dan menengah. Hal mana ditegaskan dalam penjelasan

umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai berikut ;

Peranan perbankan nasional perlu ditingkatkan sesuai dengan

fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana

masyarakat dengan lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan

sektor perekonomian nasional dengan prioritas kepada koperasi,

pengusaha kecil dan menengah, serta berbagai lapisan

masyarakat tanpa diskriminasi sehingga akan memperkuat

struktur perekonomian nasional.

Merujuk kepada ketentuan Pasal 12 ayat (2) dan Penjelasannya

dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, sesungguhnya merupakan

kewajiban dari bank umum untuk menyediakan atau menyalurkan

kredit/pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah dengan prosedur

dan persyaratan yang mudah dan lunak. Hanya saja persoalannya

Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ketentuan pasal 12

ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum diterbitkan.

Meskipun Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal

12 ayat (2) hingga kini belum terbentuk, namun Bank Indonesia telah

menerbitkan Peraturan BI Nomor 14/22/PBI/2012, yang dalam

ketentuan Pasal 2 ayat (1) dari Peraturan tersebut dinyatakan bahwa

Bank Umum wajib memberikan kredit atau pembiayaan UMKM. Yang

menjadi pertanyaan kenapa kewajiban Bank Umum itu tidak diatur

dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan Pasal 12

ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

33 Suhariningsih, Op.Cit. h.1

Page 28: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

28

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan menunjukkan adanya norma kabur, karena tidak memberikan

kejelasan tentang akses UMKM untuk mendapatkan modal melalui

fasilitas kredit yang disalurkan perbankan kepada masyarakat. Melalui

ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

hanya mengatur tentang kemungkinan Pemerintah bersama BI

melakukan kerjasama dengan Bank Umum dalam rangka pemberdayaan

UMKM, dan apa bentuk dari kerjasama itu tidak disebutkan secara

jelas.

Dalam upaya mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan

dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemerintah melalui

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga

memberikan perhatian terhadap bidang usaha yang dijalankan oleh

UMKM. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan

persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu

perlindungan sumber daya alam, perlindungan pengembangan UMKM

dan Koperasi.34

Terkait dengan pengembangan penanaman modal bagi

UMKM dan Koperasi dalam Pasal 13 Undang-Undang Penanaman

Modal diatur hal-hal sebagai berikut :

(1) Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang

dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah dan

koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar

34 Lihat ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf g dan huruf h Undang-Undang

Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Page 29: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

29

dengan syarat harus bekerjasama dengan usaha mikro, kecil,

menengah dan koperasi.

(2) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha

mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui program

kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan

inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi

yang seluas-luasnya.

Apa yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang

Penanaman Modal hampir mirip dengan apa yang diatur dalam pasal 17

Undang-Undang Kepariwisataan berkaitan dengan upaya pemberdayaan

UMKM. Undang-Undang Penanaman Modal hanya mengatur tentang

kewajiban pemerintah untuk menetapkan bidang usaha yang

dicadangkan untuk UMKM, dan bidang usaha yang terbuka untuk usaha

besar dengan syarat harus bekerjasama dengan UMKM. Selain itu,

pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan UMKM melalui

Program Kemitraan dan perluasan pasar.

Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Penanaman Modal tidak

mengatur tentang peran Pemerintah dalam penyediaan modal bagi

UMKM, padahal modal adalah merupakan asset dalam bentuk uang,

barang, atau hak-hak yang sangat dibutuhkan oleh UMKM dalam

merintis usahanya. Selain itu, dalam rangka mendorong pengembangan

ekonomi kerakyatan (ekonomi UMKM), sudah menjadi kewajiban

pemerintah untuk menyediakan atau memfasilitasi UMKM untuk

mendapatkan akses permodalan.

Sebetulnya kebutuhan hukum yang dapat membantu

kepentingan UMKM dibidang akses modal tidak sepenuhnya terletak

dibidang kekurangan peraturan perundang-undangan. Penelusuran

Page 30: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

30

terhadap beberapa peraturan, seperti; Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2009 Tentang Kepariwisataan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008

tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 Tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007

tentang Penanaman Modal, tidak diragukan tentang adanya niat

Pemerintah dalam pemberdayaan terhadap UMKM. Hanya saja dari

peraturan perundang-undangan tersebut tampak adanya problem norma

yang menjadi salah satu kendalanya, dimana rumusan normanya ada

yang tidak jelas, mengandung arti ganda (ambigu), maupun konflik

norma, dalam arti rumusan normanya tidak sinkron karena bertentangan

antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya.

Secara teoritis peraturan perundang-undangan merupakan suatu

sistem yang tidak menghendaki dan tidak membenarkan adanya

pertentangan antara unsur-unsur atau bagian-bagian didalamnya.35

Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas,

harmonis dan terintegrasi menjadi sangat diperlukan untuk mewujudkan

ketertiban, menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum

terhadap UMKM.

Selain itu bila melihat karakteristik UMKM, maka problem

umum UMKM, termasuk mereka yang bergerak di sektor pariwisata

adalah rendahnya kapasitas produksi, lemahnya daya saing, terbatasnya

35 Kusno Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum Mewujudkan

Tata Pemerintahan Yang Baik, Nasa Media, Malang. h.7

Page 31: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

31

akses pasar, dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang

bergerak dalam bidang ini. Masalah tersebut bersumber dari berbagai

sebab yang terus berkembang, mulai dari masalah pemarginalan melalui

kebijakan pemerintah sampai pada masalah keterbatasan akses modal

dan keterbatasan kapasitas mengelola modal.

Sebab-sebab masalah sebagaimana dimaksud telah diatasi

dengan berbagai regulasi dan kebijakan baik yang sifatnya internasional

maupun domestik masing-masing negara. Seperti misalnya untuk

Indonesia telah diterbitkan berbagai Peraturan Perundang-Undangan,

seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-

Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan

Mikro, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah.

Ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentnag

Penanaman Modal mengatur tentang kewajiban Pemerintah dan

Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan tentang pencadangan

usaha dan program kemitraan bagi UMKM. Sementara ketentuan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Page 32: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

32

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-

Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM, Undang-Undang Nomor

1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, dan Undang-Undang

Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, mengatur

tentang akses UMKM untuk mendapatkan pembiayaan atau modal.

Akses untuk mendapatkan modal bagi UMKM sudah diatur

dalam peraturan perundang-undangan, namun UMKM tetap tidak

berdaya karena tidak dapat mengelola modal dengan baik, sehingga

tidak mampu menjaga keberlanjutan usaha. Ketidakberdayaan UMKM

yang telah mendapat penguatan modal disebabkan karena kelemahan

pengetahuan, teknologi, akses pasar, jaringan usaha, jaringan informasi,

sistem kelembagaan usaha, Sumber Daya Manusia, yang merupakan

bentuk lain dari modal selain uang, atau modal dalam pengertian yang

luas.

Peraturan perundang-undangan memang telah mengatur akses

UMKM atas modal, namun akses itu belum mencakup modal dalam

pengertian yang luas. Kebijakan akses modal menggunakan konsep

modal dalam arti sempit, yaitu terbatas pada modal dalam bentuk uang,

sehingga kebijakan akses modal UMKM sepenuhnya berorientasi pada

pengaturan atas akses modal dan realisasi modal, tetapi tidak mencakup

pengaturan terhadap upaya-upaya penguatan UMKM dalam mengelola

modal dan memelihara keberlanjutan usaha.

Page 33: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

33

Menyikapi fenomena pengaturan UMKM seperti itu, maka

perlu diteliti lebih jauh mengenai sebab-sebab mengapa UMKM dalam

kondisi tidak berdaya dan masih sulit untuk untuk mendapatkan modal,

padahal akses untuk mendapatkan modal sudah diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan di

atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah penelitian

sebagai berikut :

1. Mengapa peraturan perundang-undangan yang ada belum menjamin

dapat terwujudnya hak UMKM atas akses modal dibidang usaha

pariwisata ?

2. Bagaimana formulasi Pengaturan dalam rangka mewujudkan hak

UMKM atas akses modal dibidang usaha pariwisata?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan

penelusuan guna menemukan, menganalisis secara mendalam

dan komprehensif tentang pengaturan hak Usaha Mikro, Kecil

dan Menengah (UMKM) atas akses modal dalam

penyelenggaraan usaha dibidang pariwisata.

Page 34: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

34

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus atau tujuan spesifik dari penelitian ini

adalah;

1. Untuk menemukan dan menganalisis secara mendalam

tentang kondisi peraturan perundang-undangan yang ada

dalam rangka menjamin diwujudkannya hak UMKM atas

akses modal dibidang usaha pariwiata.

2. Untuk menemukan, menganalisis dan memformulasikan

pengaturan dalam rangka mewujudkan hak UMKM atas akses

modal dibidang usaha pariwisata.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian dalam rangka penulisan disertasi ini mempunyai

manfaat teoritis maupun manfaat praktis. Secara teoritis penelitian ini

bermanfaat untuk pengembangan keilmuan, khususnya pengembangan

ilmu hukum dalam kaitannya dengan hak UMKM atas akses mereka

terhadap modal dalam penyelenggaraan usaha dibidang pariwisata.

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi

pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam

merumuskan dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan hak UMKM atas akses modal dibidang usaha dibidang

pariwisata.

Page 35: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

35

1.5 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang dilakukan ada

beberapa hasil penelitian disertasi yang telah dilakukan oleh peneliti

terdahulu berkaitan dengan penulisan disertasi ini, namun berbeda baik

dari segi substansi maupun permasalahan pokok yang dikaji.

Sebagai sumber informasi dan referensi dalam melakukan

penelitian, sehingga nantinya hasil penelitian disertasi ini dapat

dipertanggungjawabkan tingkat keasliannya (orisinalitasnya), maka

berikut ini dipaparkan beberapa hasil penelitian disertasi terdahulu

sebagai berikut;

1. Penelitian Disertasi tentang Politik Hukum Integratif Pengembangan

Daya Saing Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Era

Liberalisasi Ekonomi Serta Implementasinya di Indonesia Ditinjau

dari Perspektif Teori Negara Kesejahteraan Berdasarkan Pancasila,

oleh Ade Komarudin dengan tiga permasalahan pokok yang dikaji

yaitu; 1) Bagaimana pengembangan daya saing UMKM pada era

liberalisasi dikaitkan dengan politik hukum integrati f bidang

UMKM, 2) Bagaimana akibat hukum peraturan perundang-undangan

bidang UMKM yang tidak terintegrasi terhadap keadilan bagi semua

pelaku usaha, 3) Bagaimana konsep politik hukum integratif

pengembangan daya saing UMKM pada era liberalisasi berdasarkan

keadilan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Page 36: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

36

2. Penelitian Disertasi tentang "Membangun Kapabilitas Inovasi

UMKM, Peranan Kualitas Kemitraan antara Usaha Kecil dan

Menengah dengan Usaha Besar pada Industri Otomotif di Indonesia ,

oleh Widodo, tahun 2010, yang hasil penelitiannya menyimpulkan ;

(1) partner first, willingness to share UB dan absortive capacity

UKM berpengaruh positif terhadap kualitas kemitraan, dan temuan

ini sesuai dengan sebagian besar temuan penelitian sebelumnya, (2)

kapabilitas inovasi UKM lebih ditentukan oleh absortive capacity

UKM, tidak ditentukan oleh kualitas kemitraan dan willingness to

share UB. Namun demikian, tingkat absortive capacity UKM yang

cukup tinggi adalah sebagian dari proses pembelajaran selama

menjadi mitra binaan UB, dan (3) kinerja kemitraan antara UKM

subkontraktor dengan UB terbukti lebih baik dibandingkan antara

UKM non subkontraktor dengan UB karena kemitraan antara UKM

subkontraktor dengan UB memiliki tingkat keterkaitan dan mutual

benefits yang lebih tinggi.

3. Penelitian Disertasi tentang "Fungsi Hukum Dalam Pengaturan

Pariwisata Sebagai Bentuk Perdagangan Jasa : Inkonsistensi Konsep

Dalam Kebijakan Pariwisata dan Penyerapan General Agreement On

Trade In Services Dalam Pengaturan Perdagangan Jasa Pariwisata

Internasional Indonesia", yang dilakukan oleh I.B. Wyasa Putra

pada tahun 2010, dengan 3 (tiga) permasalahan pokok yang dikaji

Page 37: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

37

yaitu; 1) Bagaimana kerangka teoritik fungsi hukum dalam

mengendalikan cara kerja idiologi dalam kontek penyerapan suatu

instrumen Hukum Ekonomi Internasional yang merupakan bentuk

tranformasi idiologi liberal. 2) Bagaimana kerangka konsep

penyerapan GATS, yang merupakan bentuk transformasi idiologi

liberal, kedalam suatu sistem pengaturan perdagangan jasa

pariwisata internasional Indonesia yang tunduk pada idiologi

Pancasila. 3) Bagaimana konstruksi substansi norma Undang-

undang Kepariwisataan dalam pengaturan pariwisata sebagai bentuk

perdagangan jasa, agar kontruksi tersebut dapat menyerap

substansi GATS secara utuh.

4. Penelitian Disertasi tentang Perjanjian Kemitraan Usaha Antara

Usaha Kecil Menengah (UMKM) dengan Usaha Besar Sebagai

Upaya Memperoleh Struktur Ekonomi Nasional Menurut Peraturan

Perundang-Undangan Indonesia yang dilakukan oleh Tatang

Astarudin pada tahun 2008, dengan 4 (empat) permasalahan pokok

yang dikaji yaitu ; 1) Bagaimana Perkembangan Pelaksanaan

Perjanjian Kemitraan Usaha antara Usaha Kecil Menengah (UKM)

dengan Usaha Besar dewasa ini dihubungkan dengan upaya

menciptakan kondisi saling memperkuat antara Usaha Kecil

Menengah (UKM) dan Usaha Besar di Indonesia. 2) Bagaimana

Tanggung jawab Usaha Besar terhadap Pengembangan Usaha Kecil

Page 38: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

38

Menengah (UKM) di Indonesia agar semua kelompok usaha dapat

mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama. 3) Bagaimana

Sistem Pengawasan Kemitraan antara Usaha Kecil Menengah

(UKM) dengan Usaha Besar untuk menghindari tindakan eksploitasi

kelompok usaha besar terhadap kelompok usaha yang lebih kecil. 4)

Bagaimana pengembangan perjanjian kemitraan Usaha Kecil

Menengah (UKM) dan usaha besar agar dapat memperkokoh

struktur ekonomi Indonesia dimasa depan.

Penelitian disertasi dari Ade Komarudin lebih menekankan pada

politik hukum yang diperlukan dalam pengembangan daya saing

UMKM dalam perspektif negara kesejahteraan. Sementara disertasi dari

Widodo memfokuskan kajian pada aspek kemitraan (partnership) antara

UMKM dengan usaha besar pada industri otomotif. Begitu juga

penelitian disertasi dari Tatang Asfarudin menyangkut kemitraan

(partnership), hanya saja fokus kajiannya lebih menekankan pada aspek

perjanjian dari kemitraan antara UMKM dengan usaha besar menurut

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sementara penelitian

disertasi dari Ida Bagus Wyasa Putra memfokuskan pada fungsi hukum

dalam pengaturan pariwisata sebagai bentuk perdagangan jasa dalam

konteks penyerapan General Agreement On Trade in Services dalam

pengaturan perdagangan jasa pariwisata Indonesia.

Page 39: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

39

Berdasarkan pemaparan beberapa hasil penelitian disertasi

terdahulu seperti diuraikan di atas, maka penelitian disertasi saya lebih

memfokuskan pada aspek pengaturan hak UMKM atas akses modal

dibidang usaha pariwisata. Bila dilihat dari segi judul maupun rumusan

masalah yang diteliti, maka penelitian saya berbeda dan tidak

mengandung unsur kesamaan dengan penelitian-penelitian sejenis yang

sudah dilakukan sebelumnya.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian ilmiah termasuk dalam

penulisan Disertasi ini didukung oleh metode tertentu, sehingga

penelitian tersebut dapat berlangsung secara terencana dan

teratur. Van Peursen menterjemahkan pengertian metode secara

harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang

harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian,

berlangsung menurut suatu rencana tertentu.36

Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

berkaitan dengan analisa dan kontruksi yang dilakukan secara

metodologis, sistematis, dan konsisten.37

Sementara penelitian

hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna

36 Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif ,

Bayu Publishing, Malang, h. 26. (Selanjutnya disebut Johnny Ibrahim I).

37

Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,

Jakarta, h. 42 (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I)

Page 40: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

40

menjawab isu hukum yang dihadapi, sehingga penelitian hukum

dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep

baru sebagai preskripsi dalam penyelesaian masalah yang

dihadapi.38

Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan

disertasi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang

didasarkan pada data sekunder.39

Dengan demikian dapat dipahami bahwa penelitian hukum

normatif memfokuskan obyek kajian pada ketentuan-ketentuan

hukum positif, lalu mengarah pada makna dari azas hukum.

Penelitian hukum normatif terhadap pengkajian (analisis)

dimulai dari perangkat-perangkat pasal-pasal hukum positif

terkandung konsep-konsep eksplanasi dan sifat dari

permasalahan penelitian. Selanjutnya mendalami lapisan ilmu

hukum (dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum).40

1.6.2 Pendekatan Masalah

Dalam rangka memperoleh kebenaran ilmiah atas jawaban

isu hukum yang dikaji, maka dalam penelitian dipergunakan

38 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,

h.35. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I).

39

Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, CV. Rajawali, h. 15. (Selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II). Lihat

juga Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h. 83-103. Menurut Bambang Sunggono bahwa penelitian

hukum normatif adalah penelitian hukum yang didasarkan atau hanya menelaah

data sekunder (data kepustakaan).

40

Hadin Mudjad HM. dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum

Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 10.

Page 41: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

41

beberapa pendekatan.41

Menurut Johny Ibrahim, ada 7 (tujuh)

pendekatan, yaitu ;

1. Pendekatan perundang-undangan (statue approach)

2. Pendekatan konsep (conceptual approach)

3. Pendekatan analitis (analytical approach)

4. Pendekatan perbandingan (comparative approach)

5. Pendekatan historis

6. Pendekatan filsafat

7. Pendekatan kasus.42

Berkaitan dengan penelitian disertasi ini dipergunakan

beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan

(statue approach), pendekatan konsep (conceptual approach),

pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan

historis (historical approaci). Penggunaan pendekatan-

pendekatan sebagaimana dimaksud dapat dijelaskan sebagai

berikut;

1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) yang

dipilih mengingat yang akan diteliti adalah berbagai peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan eksistensi Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Melalui pendekatan ini

akan dilakukan penelitian terhadap peraturan perundang-

41 Philipus M. Hadjon, 1999, Menulis Laporan Penelitian Hukum,

UNAIR, Surabaya, h. 2.

42

Johnny Ibrahim I, Op.Cit, h. 246.

Page 42: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

42

undangan yang ada dari sisi bentuk maupun isinya43

, terutama

yang memuat norma-norma hukum tentang akses UMKM

untuk mendapatkan modal usaha.

2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach), juga dipilih guna

melakukan penelusuran terhadap makna suatu konsep

(pengertian) yang terdapat pada peraturan perundang-

undangan, pandangan ahli hukum, putusan pengadilan.

Pendekatan konseptual itu sendiri merupakan pendekatan

yang dipergunakan untuk memperoleh kejelasan dan

pembenaran ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang

bersumber dari prinsip-prinsip hukum.44

3. Pendekatan Analitis (Analitical Approach), yaitu pendekatan

dengan melakukan analisis terhadap bahan-bahan hukum

untuk mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah

yang dipergunakan dalam peraturan perundang-undangan,

secara konseptual dan sekaligus untuk mengetahui penerapan

dalam praktek dan putusan-putusan hukum.

43 Seperti dijelaskan oleh Haryono bahwa untuk pendekatan perundang-

undangan, peneliti harus melihat hukum sebagai suatu sistem yang mempunyai

sifat;

1. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait

antara yang satu dengan yang lain secara logis.

2. All-Inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu

menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan kekurangan

hukum.

3. Systemic, bahwa disamping bertautan antara yang satu dengan yang lain,

norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hirarkhis. Johnny Ibrahim

I Op.Cit, h. 303.

44

Hadin Mudjad HM., Nunuk Nuswardani, Op.Cit.h.47

Page 43: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

43

4. Pendekatan Historis (Historical Approach), yaitu pendekatan

dengan melakukan analisis terhadap politik hukum pengaturan

UMKM di Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto (masa

Orde Baru) dan masa pemerintahan reformasi.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian hukum normatif, bahan hukum mencakup,

pertama; bahan hukum primer, kedua; bahan hukum sekunder,

dan ketiga; bahan hukum tertier. Bahan hukum yang

dipergunakan dalam penulisan disertasi ini adalah bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Adapun bahan-bahan hukum dimaksud adalah

sebagai berikut;

a. Bahan hukum primer; yaitu bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas, yang terdiri

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.45

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah;

1) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 (Pasal 33,

Pasal 34).

2) Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang

Kepariwisataan (Pasal 17, Pasal 26 huruf f, dan Pasal

61).

45 Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, h. 141.(Selanjutnya disebut Peter Mahmud

Marzuki II).

Page 44: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

44

3) Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga

Keuangan Mikro (Pasal 3 Huruf a, b, c dan Pasal 11 ayat

(1), (2)).

4) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan

Usaha Milik Negara (Pasal 2 ayat (1) huruf e dan Pasal

88).

5) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang

Perbankan (Pasal 12 ayat (1), (2)).

6) Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah (Pasal 21, Pasal 23, dan

Pasal 24).

7) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman

Modal (Pasal 13 ayat (1), (2)).

b. Bahan hukum sekunder; yaitu bahan hukum yang berupa

semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas putusan

pengadilan. 46

c. Bahan hukum tertier; yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks

komulatif, dan seterusnya.47

1.6.4 Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan terhadap beberapa

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan UMKM.

46 Ibid.

47

Soerjono Soekanto II, Loc.Cit.

Page 45: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

45

Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen

dengan melakukan inventarisasi terhadap bahan-bahan hukum

yang ada. Bahan hukum yang berhasil diinventarisir kemudian

diidentifikasi serta diklasifikasikan dengan melakukan

pencatatan secara cermat dan sistematis sesuai dengan tujuan dan

kebutuhan penelitian. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah

untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat,

penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan

penelitian,48

dalam hal ini mengenai pemberdayaan UMKM

dibidang akses modal.

1.6.5 Tehnik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam

penelitian ini, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, maupun bahan hukum tertier, dianalisis dengan

menggunakan teknik analisis deskripsi, interprestasi, evaluasi

dan argumentasi. Pengertian dari masing-masing teknik analisis

dimaksud dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:

a. Tehnik deskripsi, adalah berupa uraian apa adanya

terhadap suatu kondisi atau proposisi-proposisi hukum

maupun non hukum.

48 Rony Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan

Yurimetri, Ghalia, Indonesia, Jakarta, h. 98.

Page 46: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Landasan

46

b. Tehnik interpretasi, adalah menggunakan jenis-jenis

penafsiran dalam hukum, terutama penafsiran menurut tata

bahasa (gramatikal).

c. Tehnik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat, benar

atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan atau

proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang

tertera dalam hukum primer maupun sekunder.

d. Tehnik argumentasi, yaitu penilaian yang didasarkan pada

alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.


Recommended