Upload
niningkehi
View
312
Download
1
Embed Size (px)
M A K A L A H KEPERAWATAN NEUROBEHAVIOR
PHERIPHERAL NERVE INJURY
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Keperawatan Neurobehavior
Disusun oleh :
KELOMPOK VI
1 Gatra Satria 131311123047
2 Kristina Blandina Wea 131311123049
3 Maria Nining Kehi 131311123060
4 Andrian Pujo Prastowo 131311123061
5 Hamdan Hariawan 131311123062
6 Ikhwan Nursani 131311123063
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS
AIRLANGGA SURABAYA
2014
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan YME, yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
makalah asuhan keperawatan pada pasien dengan
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah banyak membantu penyusunan makalah ini:
1. Ibu Tintin Sukartini Skp, M.Kes selaku Fasilitator Mata Kuliah
Neurobihavior yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing
kami dalam penyusunan tugas ini
2. Bpk Abu Bakar,Ns., M.Kep, Sp.Kep.M.B selaku dosen PJMA Mata Kuliah
Keperawatan Neurobihavior yang banyak memberikan bimbingan kepada
kami
3. Teman-teman yang telah banyak memberikan motivasi dan inspirasi yang
membuat kami selalu ingin maju dan berusaha menjadi lebih baik lagi
Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini,
untuk itu kami kritik dan saran sangat Penulis harapkan untuk kesempurnaan
penyusunan makalah yang akan datang
Surabaya, 14 Mei 2014
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2.Tujuan Penulisan ................................................................................ 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar
2.1.........................................................................................................Mikr
oanatomi .........................................................................................
2.2.........................................................................................................Resp
on Saraf terhadap cedera.................................................................
2.3..................................................................................................................
...............................................................................................
2.4..................................................................................................................
...............................................................................................
2.5..................................................................................................................
...............................................................................................
2.6..................................................................................................................
...............................................................................................
iii
2.7..................................................................................................................
...............................................................................................
2.8..................................................................................................................
...............................................................................................
B. Proses Keperawatan
2.1.Pengkajian ............................................................................................ 13
2.2.Diagnosa............................................................................................... 14
2.3.Intervensi.............................................................................................. 15
BAB 3 PENUTUP
3.1.Kesimpulan........................................................................................... 27
3.2.Saran..................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 29
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cedera saraf sering dianggap sebagai cedera yang kompleks akibat perubahan
fisiologis yang terjadi, penatalaksanaan medis cedera tersebut, dan kemungkinan
rehabilitasi pasien yang lama serta sulit. Salah satu dari jenis cedera saraf adalah
cedera saraf perifer, dimana cedera atau trauma mengenai sistem saraf saraf perifer
mencakup saraf kranial tiga sampai dua belas, saraf spunal dan percabangannya.
Klasifikasi cedera perifer berdasarkan luas kerusakan lapisan jaringan ikat oleh
Seddon dan Sunderland. Penyebab dari cedera perifer berdasarkan mekanisme
cederanya meliputi kompresi saat pasien di atas meja bedah di Rumah sakit, traksi
atau peregangan yang berlebihan contohnya akibat kecelakaan lalu lintas atau saat
pembedahan yang memerlukan tarikan signifikan ekstremitas bawah, dan akibat luka
terbuka dimana disebabkan oleh luka tembus (senjata, kaca dan pisau) (Kneale,
2011).
Cedera saraf perifer merupakan salah satu jenis cedera saraf yang paling
banyak ditemukan dalam unit ortopedik atau trauma .Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh ditemukan data dari populasi trauma dari 5.777 pasien yang
diobati antara 1 Januari 1986, dan 30 November 1996, 162 pasien diidentifikasi
memiliki cedera setidaknya satu dari saraf perifer yang menarik, menghasilkan
prevalensi 2,8%. Dari total 200 pasien dengan cedera diperoleh 162 pasien menderita
cedera saraf perifer, 121 di antaranya berada di ekstremitas atas. Usia pasien rata-rata
adalah 34,6 tahun, dan 83% dari pasien adalah laki-laki dan panjang rata-rata tinggal
di rumah sakit adalah 28 hari. Kecelakaan kendaraan bermotor didominasi (46%)
1
sebagai penyebab cedera. Yang paling sering mengalami cedera saraf adalah saraf
radial (58 luka), dan pada ekstremitas bawah, saraf peroneal yang paling sering
terluka (39 luka).
Cedera saraf perifer banyak menimbulkan masalah kompleks berkaitan dengan
rehabilitas pada pasien tunadaya berat. Perubahan yang terjadi dapat bersifat jangka
pendek dan jangka panjang, dari perubahan sensasi ringan hingga nyeri kronis berat
tanpa gerakan yang terkendali. Perubahan citra tubuh mungkin bervariasi bergantung
pada kemampuan pasien untuk mengatasinya.
Sebagai salah satu tenaga medis perawat perlu mengetahui perubahan yang
terjadi pada pasien dan memampukan pasien untuk beradaptasi dengan gejala dan
perubahan dalam status fisik, psikologi, sosial dan ekonomi, melalui dukungan dan
asuhan rehabilitasi yang tepat, yang bertujuan membantu mereka agar sedapat
mungkin hidup secara mandiri.
1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pada
pasien dengan cedera saraf perifer (Peripheral Nerve Injury).
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan mikroanatomi dan fisiologi saraf perifer
b. Menjelaskan respon cedera pada saraf
c. Menjelaskan defenisi dan klasifikasi dari cedera saraf perifer
d. Menjelaskan etiologi dan patofisiologi dari cedera saraf perifer
e. Menjelaskan manifestasi klinis dan diagnosis dari cedera saraf perifer
2
f. Menjelaskan pemeriksaan penunjang dan jenis penatalaksanaan dari cedera
saraf perifer
g. Menjelaskan komplikasi dari cedera saraf perifer
h. Menjelaskan konsep proses keperawatan pada pasien dengan cedera saraf
perifer
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mikroanatomi
Mikroanatomi struktur saraf tampak rumit, namun dapat digambarkan sebagai suatu
rangkaian pipa yang masing – masing dikelilingi selubung. Setiap neuron tersusun
dari badan sel, dendrite multiple, dan biasanya satu akson.
Gambar 2.1 Struktur Sel Saraf
(Wiley&Canada, 1994)
Badan sel mengandung nucleus yang dikelilingi oleh sitoplasma. Dendrit
merupakan bagian penerima dari neuron, dendrite biasanya pendek, runcing dan
bercabang. Akson harus berhubungan dengan badan sel agar dapat berfungsi.
Proyeksi silindris yang tipis dan panjang ini memproses impuls saraf, dengan
4
mengirimkan impuls dari sinaps ke neuron yang lain, serabut otot, atau sel kelenjar.
Seluruh akson dikelilingi oleh sel Schwann. Sel Schwann mulai membentuk selubung
myelin disekitar akson selama pertumbuhan janin. Setiap sel Schwann berpilin
mengelilingi satu akson untuk membentuk lemak dan protein multilapis yang
melindungi yang disebut selubung myelin; intergritas selubung ini penting untuk
konduksi saraf. Ketika sel Schwann tunggal membungkus beberapa akson, sel ini
membentuk selubung tek bermielin (Tortora & Grabowski, 2003).
Gambar 2. 2 merupakan celah antara dua neuron (Wiley & Canada, 1994)
Di dalam akson terdapat benang – benang halus yang disebut neurofibril.
Bagian ini berfungsi menghantarkan impuls saraf. Akson dibungkus oleh selubung
myelin. Selubung myelin berfungsi sebagai pelindung sel saraf dari tekanan atau luka
serta mempercepat jalannya impuls saraf. Struktur selubung myelin beruas – ruas
sehingga membentuk banyak lekukan. Lekukan antarruas tersebut selaput
penyelubung sel saraf yang disebut neurolema. Ujung akson yang berbentuk kantung
berisi zat kimia asetilkolin (penghantar rangsang) dan kolinesterase (penetral
hubungan pada sinaps). Sinaps merupakan celah antara dua pertemuan sel saraf.
Pertemuan tersebut dapat terjadi antara dendrit – akson, akson – badan sel saraf,
akson – akson, dendrit – dendrit dan dendrit – badan sel saraf.
5
Gambar 2.3 Letak Epineurium, Perineurium, Endoneurium
(Kneale, 2011)
Akson tertentu dibungkus oleh kolagen, suatu selubung jaringan fibrosa yang
disebut endoneurium. Gugus akson tersusun dalam berkas atau fasikel, dikelilingi
dengan selubung fibrosa besar jaringan ikat yang disebut perineurium. Ruang
perineurium adalah area di antara lapisan endoneurium dan perineurium.
Perlindungan kolagen superficial yang disebut sebagai epineurium, kemudian
mengelilingi kelompok fasikel dan menjadi struktur penyokong saraf yang paling
kuat. Susunan fasikel yang lebih kompleks terdapat pada area proksimal saraf perifer,
bukan pada ujung distal (Hems, 2000).
2.2. Respon Saraf terhadap Cedera
Umumnya, setiap bagian neuron yang terpisah dari nukleusnya akan mengalami
degenerasi dan dihancurkan oleh fagosit. Akan tetapi, akson bermielin mampu
memperbaiki diri bila badan sel utuh dan sel Schwann aktif.
6
Degenerasi bagian distal akson dan selubung myelin disebut degenerasi
Wallerian. Proses ini terjadi dalam beberapa tahap.
Dua sampai tiga hari setelah cedera, bagian distal saraf yang rusak akan pecah
menjadi fragmen dan selubung myelin menghilang
Gambar 2.3 Respon Saraf dan proses cedera pada saraf
(www.fbnote.com diakses pada tanggal 13 Mei 2014 pukul 13.30 WIB)
Pada hari ke- 7, sel Schwann berlipat ganda melalui mitosis dan fagositosis
debris myelin.
Pada hari ke 25 – 30, debris akson disingkirkan dan sel Schwann tetap berada
dalam pipa endoneurium. Saat Sel – sel Schwann tumbuh bersama, sel
tersebut membentuk pipa yang bergenerasi melintasi area cedera; pipa ini
mengatur setiap pertumbuhan potensial akson baru dari area proksimal hingga
distal. Regenerasi berjalan dengan lambat karena akson dipandu melewati area
7
yang rusak dengan laju pertumbuhan 1-2 mm per hari. Akhirnya sel Schwann
membentuk selubung myelin baru.
2.3. Defenisi
Peripheral Nerve Injury atau cedera saraf perifer adalah istilah umum yang
digunakan untuk menggambarkan kerusakan saraf di luar otak atau sumsum
tulang belakang (Kneale,2010)
Cedera saraf tepi merupakan suatu progresivitas proses dari tahap iskemia
pada saraf tepi menuju hingga kerusakan bahkan kematian pada sel saraf yang
merupakan kelainan menetap dari neuron sumsum tulang, neuron motorik
batang otak bagian bawah, sensorimotor primer, neuron susunan saraf
autonom perifer dengan kelainan klinis, elektroneurografik dan morfologik
(WHO, techical report series: 1980)
Jadi, cedera saraf merupakan suatu keadaan yang terjadi pada sel saraf tepi/perifer
yang diakibatkan oleh karena trauma dan nontrauma sehingga menyebabkan
reaksi cedera pada saraf dimulai dari tahap iskemia dan berlangsung progres
menuju pada kerusakan hingga kematian sel saraf yang bersifat menetap.
2.4. Klasifikasi
Cedera saraf diklasifikasikan berdasarkan luas kerusakan lapisan jaringan ikat.
Klasifikasi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi Seddon, Professor of
Orthopaedic Surgery, Royal National Orthopaedic Hospital, pada tahun 1942.
Klasifikasi ini membagi cedera saraf ke dalam tiga tipe peningkatan keparahan.
a. Neuropraksia: Saraf Non – Working
Tipe ini merupakan cedera yang cukup ringan, biasanya disebabkan oleh
mekanisme kompresi. Terjadi blok konduksi local yang disertai demielinisasi
local serabut saraf pada area yang rusak. Akson tetap dalam kontinuitas dan
8
konduksi distal ke lokasi cedera tetap normal. Elminasi penyebab kompresi
memungkinkan penyembuhan total saat sel Schwann memperbaiki
demielinisasi walaupun demielinisasi ini mungkin memerlukan waktu
beberapa hari, minggu, atau bulan untuk pulih.
b. Aksonotmesis: Akson Terpisah
Cedera ini biasanya disebabkan oleh pukulan hebat atau, biasanya diakibatkan
oleh traksi atau cedera regangan pada saraf. Akson dan selubung myelin
secara anatomi terganggu walaupun pipa endoneurium tetap utuh.degenerasi
Wallerian terjadi pada bagian distal yang cedera, yang menyebabkan
hilangnya konduksi saraf. Pemulihan terjadi melalui regenerasi akson dengan
laju 1-2 mm per hari di sepanjang pipa endoneurium yang sama. Prognosis
baik meskipun fungsi sensorik pulih lebih baik daripada fungsi motorik.
c. Neurotmesis: Seluruh Saraf Terpisah
Cedera ini biasanya disebabkan oleh luka tembus akibat cedera traksi energy –
tinggi atau tertusuk pisau atau kaca. Badan saraf rusak total disertai gangguan
pada akson dan struktur jaringan ikat, yang menyebabkan degenerasi
Wallerian. Tidak terjadi pemulihan kecuali perbaikan bedah, bila dianggap
tepat, akan dilakukan. Setelah pembedahan berhasil dilakukan, pemulihan
dapat terjadi dengan laju 1-2 mm per hari, walaupun kualitas pemulihan
meragukan. Saat pipa Endoneurium dan struktur lain terkena, serabut saraf
yang beregenerasi sering pulih dengan sejumlah “miswiring”,yang
menyebabkan penurunan atau gangguan transfer impuls yang selanjutnya
mengganggu inervasi otot dan organ (Hems, 2000).
9
Gambar 2.4. Jenis cedera saraf perifer menurut Seddon
Juga oleh Sunderland (1952a) telah membagi cedera saraf perifer dalam
klasifikasi sederhana dimana terbagi dalam lima derajat cedera yang berbeda.
Setiap derajat dari penyembuhan perubahan patologis berhubungan dengan
hasil klinis klien. Klasifikasi ini tidak tepat jika sebuah cedera terjadi akibat
traksi atau pada kasus iskemia yang telah menyebar luas (seperti pada
kontraktur Volkmann). Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:
Derajat 1 (first degree injury)
Pada cedera saraf derajat pertama ini berarti terjadi kehilangan
konduksi dari silinder – silinder aksis pada bagian yang mengalami
cedera tanpa adanya kerusakan yang terlalu Nampak jelas dalam
saluran dari struktur – struktur pada badan sel saraf. Cedera pada
derajat pertama ini dapat disebabkan oleh benturan keras yang terjadi
tiba – tiba (contohnya luka tembak atau fraktur) atau akibat tekanan
yang cukup lam (contohnya akibat penggunaan tongkat/krek) dan
akan dianggap sebagai penyebab terjadinya iskemia, perdarahan
10
ptekia dalam atau dekat dengan percabangan saraf dan atau deformasi
pada aksis silinder.
Gambar 2.5 keadaan saraf pada cedera derajat pertama
Disebut juga neuropraxia, berupa kerusakan pada serabut myelin,
hanya terjadi gangguan kondisi saraf tanpa terjadinya degenrasi
wallerian. Saraf akan sembuh dalam hitungan hari setelah cedera,
atau sampai dengan empat bulan.penyembuhan akan sempurna tanp
ada masalah motorik dan sensorik.
Derajat 2
Disebut juga axonotmesis, terjadi diskotinuitas myelin dan aksonal,
tidak melibatkan jaringan encapsulating, epineurium dan
perineurium, juga akan sembuh sempurna. Bagaimanapun,
penyembuhan akan terjadi lebih lambat daripada cedera tingkat
pertama.
11
Derajat 3
Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson dan endoneurium.
Cedera juga akan sembuh dengan lambat, tetapi penyembuhannya
hanya sebagian.penyembuhan akan tergantung pada beberapa faktor,
sepertisemakin rusak saraf, semakin lama pula penyembuhan terjadi.
Derajat 4
Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson, endoneurium dan
perineurium. Cedera derajat ini terjadi bila terdapat skar pada jaringan
saraf, yang menghalangi penyembuhan.
Derajat 5
Cedera ini melibatkan pemisahan sempurna dari saraf, seperti saraf
yang terpotong. Cedera saraf tingkat empat dan lima memerlukan
tindakan operasi untuk sembuh.
Tabel 2.1 Bentuk pengaruh pada struktur saraf berdsarkan klasifikasi derajatnya
(Sanjeev, 2011)
Derajat cedera saraf Myelin Akson Endoneurium perineurium epineurium
1. Neuropraksia +/- Tidak tidak tidak tidak
1. AxonotmesisYa Ya tidak tidak Tidak
III Ya Ya ya tidak Tidak
12
IV Ya Ya ya ya Tidak
V. Neurotmesis Ya Ya ya ya Ya
2.5. Etiologi
Dapat dikatakan bahwa penyebab dari cedera saraf adalah beberapa mekanisme –
mekanisme sebagai berikut (Kneale, 2011):
a. Kompresi
Cedera saraf yang paling sering terjadi adalah cedera saraf yang disebabkan
oleh kompresi pada satu saraf atau lebih. Area yang umumnya terkena adalah
saraf median pada terowongan karpal dan saraf ulnar pada terowongan kubital.
Kadang – kadang cedera ini timbul saat di rumah sakit. Misalnya, posisi
pasien di meja bedah dapat menyebabkan kondisi berikut.
Saraf ulnar dapat rusak saat lengan bawah diekstensi dan pronasi atau
ketika siku melintang di dada dalam posisi sangat fleksi.
Saraf radial dapat terjepit di antara pinggir meja dan humerus.
Saraf skiatik dapat rusak bila pasien kurus dan meja tidak diberikan
bantalan yang memadai.
Saraf peronel komunis dapat terjepit oleh kaput fibula jika pasien
dalam posisi litotomi atau antara fibula dan meja bila pasien dalam
posisi lateral.
b. Traksi dan peregangan
Mekanisme ini ditandai dengan cedera pleksus brakialis saat terjadi pergeseran
hebat pada gelang bahu dan peregangan saraf skiatik dalam pembedahan yang
memerlukan penarikan yang signifikan pada ekstremitas bawah (sawyer et al,
13
2000). Cedera tersebut sulit ditangani karena keparahan cedera saraf mungkin
tidak jelas.
c. Luka terbuka
Bukti klinis cedera saraf harus diperhatikan ketika pasien datang dengan
fraktur majemuk, luka tembak atau luka tembus yang disebabkan oleh senjata
seperti kaca atau pisau.
Sedangkan menurut Funnel (2009) cedera saraf perifer dapat terjadi
akibat tekanan, kompresi, konstriksi atau traksi pada sebuah saraf, atau
sebagai akibat dari fraktur pada tulang, laserasi atau luka penetrasi. Cedera
saraf bisa juga disebabkan oleh suntikan racun atau metabolisme substansi
pada sel saraf.
Menurut Neal, 2010 penyebab dari cedera saraf perifer meliputi:
a. Causes: General
1. Compartment Syndrome
2. Reflex Sympathetic Dystrophy
3. Post-Herpetic Neuralgia
b. Causes: Face :Trigeminal Neuralgia
c. Causes: Upper Extremity, meliputi:
Cervical Spine and Cervicobrachial (Axilla)
1. Cervical Disc Disease
2. Brachial Plexus Buner
Shoulder
1. Shoulde Band Syndrome (Reflex Sympathetic Dystrophy)
2. Quadrilateral Space Syndrome (Axillary Nerve Injury)
3. Long Thoracic Nerve Injury
14
a. Injury: Direct blow to Shoulder or chronic repetitive overhead
Shoulder traction (e.g. tennis, swimming, baseball)
b. Symptoms: Diffuse Shoulder or Neck Pain with overhead
activity
c. Exam: Forward flexion weakness at Shoulder and Scapular
winging
4. Spinal Accessory Nerve Injury
Elbow and Forearm
1. Cubital Tunnel (Ulnar Nerve)
2. Radial Tunnel (and related Posterior Interosseus Nerve
Syndrome)
Wrist and Hand
1. See Overuse Syndromes of the Hand and Wrist
2. Carpal Tunnel Syndrome (Median Nerve)
3. Ulnar Tunnel Syndrome (Cyclist's Palsy)
4. Handcuff Neuropathy (Radial Nerve)
Causes: Lower Extremity
a. Lumbar spine and buttock
1. Lumbar Disc Disease
2. Piriformis Syndrome (Sciatica)
b. Anterior Pelvis and thigh
1. Ilioinguinal Nerve Compression
2. Meralgia Paresthetica
3. Obturator Nerve Compression
c. Ankle and Foot
15
1. Tarsal Tunnel
2. Morton's Neuroma
2.6. Patofisiologi
Sistem saraf meliputi saraf perifer di wajah, lengan, kaki, badan, dan beberapa saraf
kranial. Sistem Ini berkomunikasi antara saraf otak dan otot, kulit, organ internal dan
pembuluh darah. Apabila sel saraf perifer mengalami kerusakan terutama pada
selubung mielin, maka perjalanan impuls dari sistem saraf pusat akan terputus dan
tidak ada respon yang ditimbulkan oleh organ efektor. Kerusakan ini dapat
disebabkan oleh Demyelination yakni, kehancuran atau hilangnya selubung mielin.
Ketika myelin mengalami degradasi, konduksi sinyal di sepanjang saraf bisa
terganggu atau hilang dan saraf akhirnya layu. Sistem kekebalan mungkin memainkan
peran penting dalam hal ini terkait dengan penyakit yang diderita, termasuk
peradangan dapat menjadi penyebab karena produksi sitokin yang banyak melalui
regulasi faktor nekrosis tumor (TNF) atau interferon. Jika saraf perifer rusak
kemudian otot disuplai oleh saraf yang tidak menerima informasi dari otak, maka
organ yang hanya dipersarafi oleh saraf perifer menjadi lemah atau
lumpuh. Kerusakan saraf juga berarti bahwa otak tidak menerima informasi dari
tubuh. Hal ini menimbulkan bebrapa sensasi pada tubuh seperti mati rasa, kesemutan
dan nyeri. Tidak seperti tulang belakang, saraf perifer memiliki kemampuan untuk
disembuhkan. Menurut WHO, technical report series 645, 1980 : batasan neuropati
saraf tepi atau kematian saraf perifer adalah kelainan menetap (lebih dari beberapa
jam) dari neuron sumsum tulang, neuron motorik batang otak bagian bawah,
sensorimotor primer, neuron susunan saraf autonom perifer dengan kelainan klinis,
elektroneurografik dan morfologik.
16
2.7. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala dari jenis cedera saraf perifer ini berdasarkan karakteristik dari
lokasi saraf yang mengalami injuri. Karakteristik cedera saraf perifer meliputi
(Kneale, 2011) adalah sebagai berikut:
1. Sindrom Horner
Kondisi ini, pertama kali dideskripsikan pada tahun 1869 oleh Friedrich
Horner, ahli oftalmologi dari Swiss, terjadi akibat gangguan saraf simpatis
pada batang otak atau kerusakan trunkus simpatis di area servikal. Sindrom ini
biasanya dengan cedera pleksus brakialis, dengan pasien mengalami (Hems,
2000):
Miosis : kontriksi pupil
Ptosis: penurunan kelopak mata atas
Anhidrosis :wajah kering akibat kekurangan keringat
2. Tanda tinel
Ditemukan pada 1917 oleh ahli neurologi dari perancis, Jules Tinel, tanda ini
mengidentifikasi cedera pada trunkus saraf akibat kompresi atau perkusi.
Pasien melaporkan sensai kesemutan pada area kutaneus (distribusi sensorik)
saraf. Tanda ini sering digambarkan sebagai “syok elektrik” atau seperti
“semut merayap di kulit”. Sensasi deskriptif ini disebut sebagai formikasi.
Tanda Tinel progresif, tempat sensai kesemutan meningkat secara bertahap,
berarti baik tanda inimengindikasikan perkembangan regenerasi saraf, namun
tidak selalu berarti bahwa pemulihan total akibat cedera saraf akan terjadi.
17
3. Fungsi otonom
Ketika saraf perifer terkena, terjadi reaksi vasomotor dan hilangnya keringat
(anhidrosis). Awalnya, area yag terkena berwarna merah muda karena
vasodilatasi, sebelum menjadi pucat, dingin, dan tampak belang. Kondisi ini
dapat menyebar dari area yang masih dipersarafi, disertai atrofi jari dan kuku.
Jika masih berkeringat, kerusakan saraf mungkin tak lengkap.
4. Nyeri Cedera Saraf
Nyeri akut, normal dan nosiseptif disebabkan oleh stimulus intensitas tinggi
pada ujung saraf. Pesan nyeri dibawa via sistem saraf yang utuh, dengan
penyampaian pesan nyeri dari noiseptor melalui serabut C ke medulla spinalis
dan otak. Walaupun penyebab nyeri inflamasi berbeda, pesan dibawa melalui
cara yang sama via serabut C ke medulla spinalis dan otak (Pasero et al, 1999).
Patofisiologi dari mekanisme nyeri neuropatik tidak jelas, namun
meliputi perubahan pada sistem saraf yang menyebabkan produksi impuls
nyeri secara spontan di sepanjang serabut C. Kerusakan sistem saraf perifer
juga dapat menimbulkan perubahan fisiologis, saat sinyal nyeri pada saraf dan
neuron pusat diatur kembali. Serabut A dapat diperbaharui sehingga impuls
non-nyeri yang abnormal seperti tekanan dan sentuhan, menghasilkan
transmisi pesan nyeri ke otak (Birch et al, 1998; Wilson, 2002; Wood, 2003).
Nyeri Neuropatik (Tabel 2.1) merupakan fenomena kompleks, yang
menimbulkan distres pada pasien dan dapat menyulitkan tim pemberi layanan
kesehatan untuk menangani dengan baik.
Tabel 2.1 Istilah Nyeri Neuropatik
Istilah Defenisi
Alodinia Hipersensitivitas terhadap stimulus yang berasal dari
18
mekanis atau panas yang biasanya tidak
menimbulkan nyeri
Kausalgia Nyeri yang disebabkan oleh cedera pada saraf mayor
umumnya menimbulkan nyeri bakar hebat. Sering
disebut sindrom nyeri regional kompleks 2 (complex
regional pain syndrome 2, CRPS2)
Disaestesia Sensasi normal yang tidak menyenangkan
Hiperalgesia
(hiperpatia )
Respon nyeri yang berlebihan akibat stimulus nyeri
Hiperaestesia Sensitivitas yang berlebihan khususnya pada kulit
Neuralgia Nyeri pada area penyebaran saraf, yang
digambarkan pasien seperti terbakar, berdenyut,
syok elektrik, kesemutan, cepat dan tiba – tiba
meningkat, dan paroksimal saat nyeri memburuk
atau muncul kembali.
Distrofi refleks
simpatis (algodistropi)
Sering disebut sindrom nyeri regional kompleks 1
(complex regional pain syndrome 1, CRPS).
Sindrom ini mencakup siklus nyeri dan disfungsi
yang menyebabkan status hiperaktivitas simpatis
kronis dan pengenalan kondisi awal dan pemutusan
siklus harus dilakukan,
2.8. Diagnosis
Diagnosis akurat mengenai kemunculan dan derajat cedera saraf membutuhkan
pemahaman yang baik tentang anatomi dan fisiologi system saraf perifer. Diagnosis
berdasarkan pada:
19
Riwayat pasien saat ini, yang penting untuk mengetahui mekanisme cedera
Pemeriksaaan klinis yang mencakup temuan motorik dan sensorik
Pemeriksaan neurologis, misalnya uji konduksi saraf dan elektromiografi.
Uji konduksi saraf dilakukan untuk mengevaluasi respons sensorik dan
motorik saraf perifer disepanjang jalur saraf tersebut. Stimulasi saraf perifer
harus merangsang kontraksi otot yang dipersarafinya. Elektromiografi
digunakan untuk merekam aktivitas motorik saat istirahat dan ketika berupaya
menghasilkan kontraksi otot.
Tabel 2.2 Pengkajian Pemulihan fungsi otot setelah cedera saraf (Medical Research
Council yang dinyatakan oleh Birch et al, 1998)
Fungsi motorik
Mo: tidak ada kontraksi
M1: kembalinya kontraksi yang nyata pada otot proksimal
M2: kembalinya kontraksi yang nyata pada otot proksimal dan
distal
M3: pemulihan otot proksimal dan distal di seluruh otot mayor
utama dengan kekuatan yang cukup untuk bekerja m /elawan
tahanan
M4: kembalinya fungsi seperti pada tahap 3+ kemungkinan
gerakan sinergi dan bebas
M5: pulih total
Fungsi sensorik
S0: Tidak ada sensibilitas pada area otonom
S1: pemulihan nyeri kutaneus profunda pada area otonom saraf
S2: Pemulihan sedikit derajat nyeri dan sentuhan kutaneus
20
superfisial pada area otonom
S3: pemulihan sedikit derajat nyeri dan sentuhan kutaneus
superfisial pada area otonom dengan hilangnya reaksi berlebihan
sebelumnya.
2.9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostic untuk klien dengan cedera saraf perifer (Funnel, 2009),
meliputi :
1. Elektromiografi (EMG)
Elektromiografi dapat memberikan pemantauan secara berkesinambungan
fungsi saraf kranial dan perifer. Jika struktur saraf teriritasi saat manipulasi
operasi, aktivitas elektromiografi akan tampak pada otot yang diinervasi saraf
tersebut. Iritasi ringan menyebabkan aktivitas EMG transien sedangkan cedera
yang lebih serius menyebabkan aktivitas EMG yang lebih panjang.
Elektrokauter dan irigasi cairan salin merupakan etiologi mayor interferensi
EMG. Pemantauan intraoperatif melalui EMG dapat digunakan untuk (1)
mempreservasi fungsi nervus fasialis pada tindakan operatif basis cranii,
misalnya reseksi neuroma akustik, (2) memonitor fungsi nervus kranialis yang
menginervasi otot, yaitu nervus III, IV, VI, IX, X, XI, dan XII, (3) memonitor
fungsi medula spinalis dan akar saraf spinal saat operasi spinal. Elektroda
diletakkan pada otot yang diinervasi oleh saraf yang terancam cedera selama
operasi. Pada operasi stabilisasi vertebra, pedicle screw dapat distimulasi
langsung untuk menentukan ada tidaknya penetrasi ke kanalis spinalis.
Penggunaan agen pelemas otot yang memblok neuromuscular
junction sebaiknya dikontrol sehingga tidak mempengaruhi interpretasi.
Elektromiografi (EMG) studi memungkinkan lokalisasi cedera saraf tepi dan
memberikan informasi tentang prognosis. Tes EMG terdiri dari dua bagian:
studi konduksi saraf (baik motor dan sensorik) dan pemeriksaan jarum
elektroda. Studi ini idealnya harus dilakukan 3 minggu setelah cedera. EMG
Sebuah dilakukan jika pleksus saraf tepi atau cedera saraf akar diduga, untuk
mengkonfirmasi adanya cedera saraf, serta menilai keparahan dan lokasi.
Studi-studi ini biasanya dilakukan oleh ahli saraf.
2. Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP)
21
Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera pleksus
brakhial. Lesi tingkat akar yang terbatas didaerah preganglion dan tidak
meluas kedaerah postganglion berakibat hilangnya sensori distal lengkap dan
tetap mempertahankan konduksi sensori distal. Yang terakhir ini bertahan
karena kerusakan serabut sensori distal ganglion akar saraf tidak
berdegenerasi. Retensi konduksi sensori dari daerah anestetik dapat diperiksa
dengan merangsang jari pada distribusi C6 (jempol dan telunjuk), C6-7-8 (jari
tengah) dan C8-T1 (kelingking dan jari manis) dan pencatatan saraf median,
radial dan ulnar diproksimal. Adanya potensial aksi saraf sensori campuran
memastikan cedera pre-ganglionik pada distribusi satu akar atau lebih. Karena
distribusi sensori akar didistal tumpang tinduh dengan satu atau lebih akar
lain, sulit menentukan dengan pemeriksaan ini bahwa satu akar, misalnya C6,
adalah suatu cedera preganglionik. Stimulasi telunjuk (bahkan jempol) yang
anestetik dapat menimbulkan SNAP pada distribusi saraf median bila baik
akar C6 atau C7, atau C6 dan C7, rusak pada tingkat preganglionik. Ini
menjadikannya sulit untuk menentukan pada pemeriksaan SNAP apakah
cedera akar C6 terjadi preganglionik. Keadaan ini kurang jelas pada akar C5
karena tidak ada stimulasi noninvasif spesifik atau daerah
pencatatanuntukhantaranini: Penilaian teliti akar sebelah atas dengan
pencatatan SNAP tidak mungkin pada tingkat ini.
3. Somatosensory-Evoked Potential (SSEP)
Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera, apakah praganglionik
atau postganglionik, pada lesi pleksus brakhial. Ia bernilai terbatas pada bulan-
bulan
pertama cedera. Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat operasi atas
cedera brakhial karena regangan atau kontusi. Bila cedera postganglionik,
stimulasi akar
proksimal dari tingkat cedera membangkitkan potensial somatosensori diatas
tulang belakang servikal (SSP) dan membangkitkan (evoked) respons kortikal
diatas kranium kontralateral (ECR). Bila cedera praganglionik atau pra dan
postganglionik, stimulasi terhadap akar, bahkan didalam atau dekat foramen
intervertebral,tidak akan membangkitkan respons apapun. Reparasi jarang
berhasil. Sayangnya, timbulnya SSP atau ECR mungkin hanya memerlukan
beberapa ratus serabut yang intak antara daerah yang distimulasi dan daerah
perekaman, hingga respons positif hanya memastikan keutuhan minimal saraf
atau akar spinal. ECR negatif lebih penting dari ECR positif.
22
4. Potensial Aksi Saraf Intrabedah (NAP)
Mencakup pemeriksaan NAP batang saraf pada setiap sisi lesi. Karena
pelacakan yang ideal untuk memutuskan apakah akan mereparasi saraf 8
minggu setelah cedera, NAP menjadi pemeriksaan definitif yang penting bila
dicurigai adanya neuroma yang parah pada kontinuitas dan otot sasaran
pertama berjarak lebih dari 3 inci di bawahnya. Hal penting pada perekaman
NAP adalah:
a) Tampilan neuroma yang parah pada kontinuitas tidak perlu
berhubungan dengan arsitektur internal.
b) Bila akson mempunyai kemampuan melintas lesi, sudah dapat direkam
oleh NAP jauh sebelum akson mampu mencapai target.
c) Tehnik ini terutama berguna pada lesi saraf ekstremitas bawah dimana
otot sasaran pertama terletak 6-8 inci dibawah lesi. Jadi stimulasi saraf
dan EMG tidak dapat memastikan hal ini untuk 6-8 bulan atau lebih,
jadi penting bahwa rencana reseksi diambil sebelum masa tersebut.
Perekaman NAP juga sangat membantu menentukan perluasan lesi pleksus
brakhial dan memberikan indeks atas berapa banyak puntung proksimal dari
lesi akan direseksi. Kebanyakan cedera pleksus brakhial yang dipilih untuk
operasi akan memiliki satu atau lebih elemen keutuhan, namun dengan
sejumlah variabel kerusakan intraneural. Perekaman NAP intrabedah
membantu menentukan akan perlunya reseksi. Disaat operasi, pengamatan
terpenting adalah merekam ada atau tidaknya respons, bukan bentuk atau
bahkan kecepatannya. Respons NAP regeneratif adalah kecil dan biasanya
lambat, sedang yang diakibatkan adanya sisa bagian yang utuh mungkin kecil
namun biasanya lebih cepat atau mempunyai hantaran pada jangkauan normal.
Bila cedera praganglionik tanpa cedera postganglionik, perekaman yang lebih
distal akan memperlihatkan penghantaran cepat, NAP besar, tepat seperti
mendiagnostik tiadanya SSP atau ECR bila akar distimulasi pada tingkat ini.
5. Pemeriksaan Radiologis
Sinar-X Tulang Belakang Servikal dll Fraktura tulang belakang servikal sering
berhubungan dengan cedera regang proksimal yang berat yang tidak dapat
direparasi, paling tidak pada tingkat akar ruas tulang belakang bersangkutan.
Fraktura tulang lain seperti humerus, klavikula, skapula dan/atau iga, bila
diamati memberikan perkiraan kasar atas kekuatan yang menghantam bahu,
lengan atau leher, namun tidak selalu membantu menentukan tingkat atau
luasnya cedera. Kerusakan pleksus biasanya lebih proksimal dibanding sisi
fraktura yang tampak, sering pada tingkat akar. Fraktura humerus tengah
23
terutama berkaitan dengan cedera saraf radial. Fraktura kominuta radius dan
ulna pada tingkat lengan bawah tengah juga berkaitan dengan cedera saraf
median dan ulner, dan terkadang dengan palsi saraf interosseus posterior.
Komponen peroneal saraf siatik sering, namun tidak selalu, terkena secara
khusus pada dislokasi atau cedera panggul. Fraktura femur bawah dan fraktura
tibial dan fibuler bisa mengenai saraf peroneal dan/atau tibial. Sekali lagi,
cedera saraf mungkin lebih proksimal dari daerah fraktura yang diperkirakan.
Fraktura femur tengah bisa berkaitan dengan cedera regang siatik lebih
keproksimal pada tingkat bokong. Radiograf dada bisa menampakkan elevasi
diafragma yang tidak berfungsi, yang berarti paralisis saraf frenik. Ini tanda
prognosis yang relatif buruk untuk reparasi akar saraf C5 setelah cedera
tertutup, karena biasanya berarti kerusakan proksimal pada tingkat leher.
6. Mielografi
Bisa menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera regang
pleksus brakhial berat. Biasanya tidak diindikasikan untuk lesi pleksus
ditingkat infra klavikuler atau aksiler (kebanyakan luka tembak pada pleksus),
kecuali ada bukti radiologis kerusakan tulang belakang servikal atau trayeknya
supraklavikuler medial. Meningosel pada tingkat bersangkutan menunjukkan
tenaga yang cukup telah terjadi pada tingkat akar proksimal yang merobek
arakhnoid dan menyebabkan bocornya agen kontras. Ini tidak harus berarti
bahwa akar mengalami avulsi dari kord spinal. Lebih sering adanya
meningosel menunjukkan walau akar mungkin secara kasar masih utuh,
terdapat kerusakan internal yang bermakna pada tingkat yang sangat
proksimal. Sejumlah pasien dengan kerusakan tingkat akar dimana tidak
terdapat meningosel (biasanya ditingkat akar yang lebih atas) dapat direparasi
dengan baik, walau terdapat meningosel pada akar lain (biasanya pada tingkat
yang lebih bawah). Walau demikian, bila terdapat meningosel, paling sering
kerusakan pada proksimal akar, karenanya tidak dapat direparasi. Temuan ini
juga menjadikan bahwa kerusakan pada tingkat lain yang tidak dengan adanya
meningosel adalah sangat proksimal lebih mungkin. Mielografi modern
dengan kontras larut air bisa menampilkan akar-akar pada ruang subarakhnoid,
dan membandingkan sisi terkena dan sisi sehat menentukan daerah disrupsi
akar. Mielografi tetap berguna membantu perencanaan pada cedera pleksus.
7. Tomografi Terkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
Pemaparan tomografi terkomputer dengan kontras intra-tekal dimanfaatkan
pada cedera regang walau terkadang abnormalitas tetap tidak dijumpai karena
irisan biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah akar pada
setiap tingkat. Akibatnya, mielografi tetap merupakan pemeriksaan radiologis
24
yang disukai. Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantu
menampilkan akar saraf. Pemeriksaan MRI ini hanya memperkuat mielogram
dan tidak menggantikannya. CSS didalam meningosel dapat tampak pada
MRI, namun biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi.
8. Tes konduksi saraf
9. Nerve biopsi
10. Spinal tekan
Tes lainnya yang dilakukan tergantung pada penyebab yang dicurigai kondisi,
dan dapat mencakup x-ray, imaging scan, dan tes darah.
2.10.Penatalaksanaan
Dalam mengelola pasien dengan peripheral nerve injury perlu mengetahui
mekanisme cedera, respons patologis, dan kapasitas regenerasi yang akan terjadi.
Rencana atas apakah akan dilakukan operasi, bila akan dioperasi, dan apa yang
dilakukan bila lesi terbuka berdasar pada tidak hanya atas pengertian akan patologi
pemulihan, namun juga akan beberapa hal yang membatasi regenerasi neural dalam
arti pemulihan fungsional praktis. Pemeriksaan klinis, pemeriksaan elektrodiagnostik,
dan pemeriksaan radiologis akan membantu dalam membuat keputusan. Penilaian
Klinis meliputi:
a. Pemeriksaan Motor
Penekanan atas pemeriksaan motor secara klinis untuk cedera saraf spesifik
adalah tahap terpenting dalam mengelola semua cedera saraf, adalah
pemeriksaan teliti anggota, dengan perhatian besar pada semua fungsi motor
dan sensori. Pemeriksaan harus menentukan apakah kehilangan distal sisi
cedera lengkap atau tidak. Hanya ini yang akan menjelaskan pada
pemeriksaan selanjutnya terjadi perubahan atau tidak. Pemeriksaan motor
adalah cukup sebagai bukti regenerasi bila pemulihan jelas. Pengamatan
klinis fungsi motor volunter dapat juga ditentukan dengan respons motor
25
terhadap stimulasi. Stimulasi saraf terutama berguna dalam pengenalan awal
adanya pemulihan peroneal memadai dan mencegah perlunya operasi. Pasien
dengan cedera saraf peroneal tidak mampu memulai aksi volunter pada otot
peroneal dan tibial anterior (eversi dan dorsifleksi kaki). Ini berlangsung
beberapa minggu setelah perbaikan elektrofisiologis yang ditunjukkan oleh
kontraksi otot yang kuat pada stimulasi saraf peroneal:
1) Tepat dibelakang kepala fibula, atau
2) Tepat didalam hamstring lateral, dimana batang saraf mudah
dipalpasi.Penting pertama-tama memastikan bahwa otot yang diamati
berkontraksi pada distribusi dari saraf yang diharapkan untuk
distimulasi.
b. Tanda Tinel
Melakukan penekanan pada pertengahan ligamentum carpi transversum
(volare). Positif jika timbul nyeri, yang berarti terdapat. penjepitan saraf
(entrapment). Tanda Tinel positif hanya menunjukkan regenerasi serabut halus
dan tidak menunjukkan apapun tentang kuantitas dan kualitas yang sebenarnya
dari serabut yang baru. Di sisi lain, interupsi saraf total ditunjukkan oleh
tiadanya respons sensori distal (tanda Tinel negatif) setelah waktu yang
memadai telah berlalu untuk terjadinya regenerasi serabut halus (4-6 minggu).
Tanda Tinel negatif lebih bernilai dalam penilaian klinis dibanding tanda Tinel
positif (Ginsberg, 2008)
c. Berkeringat
Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi serabut
simpatis bermakna. Pemulihan ini mungkin mendahului pemulihan motori
atau sensori dalam beberapa minggu atau bulan, karena serabut otonom pulih
26
dengan cepat. Pemulihan berkeringat tidak selalu berarti akan diikuti fungsi
motori atau sensori.
d. Pemulihan Sensori
Pemulihan sensori sejati adalah tanda yang berguna, terutama bila terjadi
didaerah otonom dimana tumpang tindih saraf berdekatan minimal. Daerah
otonom saraf median adalah permukaan volar dan dorsal telunjuk dan
permukaan volar jempol. Saraf radial tidak mempunyai daerah otonom yang
tegas. Bila terjadi kehilangan sensori pada distribusi ini, biasanya mengenai
sejumput daerah anatomis tertentu. Daerah otonom saraf ulnar adalah
permukaan palmar 11 falang distal kelingking. Daerah otonom saraf tibial
adalah tumit dan sebagian telapak kaki, sedang saraf peroneal adalah tengah
dorsal kaki. Sayangnya pemulihan sensori, bahkan pada daerah otonom, tidak
pasti diikuti pemulihan motori. Sehingga setelah kita ketahui perjalanannya
serta jenis nyeri yang klien alami maka penatalaksanaan tersebut dapat
berdasarkan jenis nyeri yang dirasakan klien. Setelah mengetahui hasil
pemeriksaan klinis maka dapat ditentukan tindakan apa yang harus dijalankan
oleh klien.
Penatalaksanaan medis dan asuhan keperawatan akan berbeda – beda, bergantung
pada penyebab dan jenis cedera. Cedera tertutup berhubungan dengan neuropraksia dan
aksonotmesis; cedera tersebut seharusnya pulih secara spontan karena perbaikan bedah
hanya diperlukan setelah neurotmesis. Bila cedera terbuka, eksplorasi bedah yang cepat
sangat penting disertai dengan perbaikan awal saraf yang terpisah jika memungkinkan;
perbaikan vaskular secara simultan juga juga mungkin diperlukan. Pasien yang ditangani
secara konservatif harus ditindaklanjuti dengan ketat pada beberapa bulan pertama dan
eksplorasi bedah dipertimbangkan hanya bila tidak ada bukti jelas terkait pemulihan saat ini.
27
1. Penatalaksanaan nyeri neuropatik. Ashbun & Staats (1999) mendefinisikan tujuan
terapi sebagai pengendali nyeri yang dikombinasikan dengan rehabilitasi, yang
memampukan pasien untuk berfungsi sebaik mungkin. Terdapat berbagai model
penanganan, yang dokelompokan menjadi penanganan farmakologis dan non-
farmakologis (Wood, 2003).
Penatalaksanaan farmakologis meliputi penggunaan obat-obat utama dalam
penatalaksanaan nyeri. Banyak pasien menyadari bahwa variasi atau kombinasi obat-
obatan diperlukan untuk situasi yang berbeda.
1. Analgesia sederhana, misalnya parasetamol dan ko-proksamol, memiliki
manfaat terbatas pada nyeri neuropatik.
2. NSAID COX-1 dan COX-2, misalnya ibuprofen, diklofenak, dan rofekoksib,
namun dapat digunakan selama fase inflamasi akut
3. Opioid, misalnya morfin, tramadol, dan dihidrokodein, lebih berguna untuk
nyeri viseral dan kanker, walaupun efek analgesik diperoleh melalui dosis
tinggi.
4. Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin dan lofepramin,
umumnya menyebabkan perbaikan pola tidur, alam perasaan, dan ansietas,
namun pemantauan dosis secara cermat sangatlah penting.
5. Antikonvulsan, contohnya karbamazepin, fenitoin, dan gabapentin, tidak
diizinkan di semua negara untuk nyeri neuropatik,namun bermanfaat untuk
jenis syok elektrik.
6. Anestesia lokal, terutama lidokain (lignokain), berguna untuk disastea terus
menerus.
7. Relaksan otot, seperti baklofen dan diazepam, biasanya digunakan untuk nyeri
muskuluskeletal.
28
8. Blok topikal yang me nggunakan EMLA dan kapsaisin dapat berguna untuk
alodinia.
9. Blok saraf memiliki kualitas yang berbeda-beda dengan data yang tidak
konsisten, yang menunjukkan bahwa efek analgesik sangat sedikit. Blok
tersebut biasanya tidak efektif untuk nyeri neuropatik, namun dapat
digunnakan pada sindrom nyeri regional kompleks (CRPS).
Metode non-farmakologis tidak menggantikan obat-obatan, namun sebagai
penunjang yang meningkatkan penatalaksanaan nyeri pasien secara keseluruhan.
Banyak pasien akan mencoba terapi yang berbeda, dengan mengaksesnya melalui
tim penyedia layanan kesehatan atau secara pribadi.
1. Stimulasi saraf listrik transkutan (transcutaneous electrical nerve stimulation,
TENS) adalah terapi non-invasif dikontrol pasien.
2. Krioanalgesia memberikan pereda nyeri melalui aplikasi dingin. Analgesia ini
harus digunakan dengan hati-hati jika pasien mengalami alodinia termal.
3. Terapi perilaku biasanya melalui program penatalaksanaan nyeri, yang
meliputi fisioterapi, psikoterapi, dan metode edukasi. Terapi ini sering
mencakup penggunaan penatalaksanaan stres, teknin relaksasi, dan modulasi
nyeri seperti imajinasi terbimbing.
4. Ahli terapi alternatif yang menggunakan teknik akupuntur, kiropraktik,
osteopati, homeopati, hipnoterapi, dan refleksologi bertujuan menangangani
pasien secara holistik. Cara ini berguna bagi beberapa pasien, namun tidak
seluruhnya.
29
Perawat perlu memastikan bahwa nyeri pasien ditangani dengan benar
karena nyeri tersebut dapat menimbulkan perubahan besar pada kualitas hidup
pasien. Penanganan nyeri yang terus-menerus dan buruk menimbulkan beban
sosial yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari yang dijalani pasien
dan beban finansial bai layanan kesehatan serta masyarakat.
2. Pilihan bedah/ Operasi
Pada setiap bedah saraf, pemulihan sempurna ujung saraf di dalam lapisan jaringan yang
sehat dan tanpa tekanan harus dicapai. Terdapat sejumlah pilihan bedah untuk menangani
cedera pleksus, yang bergantung pada diagnosis saraf tertentu. Penatalaksanaan bedah ini
diperlukan setelah terjadi cedera Neurotmesis dengan penyebab seperti fraktur
majemuk, luka tembak atau luka tembus yang disebabkan oleh senjata, seperti kaca dan
pisau (Kneale, 2011).
Menurut Dubuisson (1992) dalam Jurnal artikelnya berjudul indication for peripheral
nerve and brachial plexus surgery bahwa indikasi penangan bedah dari cedera saraf
adalah (1) jika saraf telah tajam dan benar-benar transeksi, harus diperbaiki akut,
terutama jika berada di bagian proksimal.(2) Jika saraf telah nyata terbagi dan tunggul
yang ditemukan memar, maka harus ditempelkan ke bidang yang berdekatan. Sebuah
perbaikan sekunder pada 2 sampai 4 minggu kemudian direkomendasikan. (3) Jika tidak
ada perbaikan pada cedera tertutup di mana saraf kemungkinan besar masih dalam
kontinuitas 2 - 5 bulan, dari bagian proksimal dari defisit neurologis pada saat itu,
eksplorasi bedah harus dilakukan. (4). Nyeri tidak responsif terhadap perawatan medis
mungkin juga menjadi indikasi untuk operasi pada saraf perifer, terutama jika saraf
terluka perlu diperbaiki karena kehilangan neurologis persisten. (5) Luka Missile
biasanya meninggalkan saraf dalam kontinuitas. Manajemen awal pembedahan
30
konservatif. Meskipun demikian, banyak dari lesi ini akan nantinya akan membutuhkan
reseksi berdasarkan rekaman NAP.
a. Penjahitan saraf langsung
Ujung saraf harus diletakkan dalam pola kesejajaran yang tepat untuk meminimalkan
crossover atau miswiring selama proses pemulihan dan penyembuhan.panduan dalam
pengaturan posisi saraf diberikan oleh vasikel saraf dan pembuluh darah permukaan;
jahitan dibuat pada lapisan epineurium.
b. Penanduran saraf
Penanduran ini dilakukan bila penjahitan saraf langsung tidak memungkinkan. Bagian
trunkus saraf yang dianggap tidak penting dipotong dan dibuang. Tindakan ini
memungkinkan berbagai pilinan digunakan, yang membentuk ketebalan yang serupa
dengan trunkus saraf yang sedang diperbaiki. Saraf yang biasa dibuang adalah saraf
sural pada tungkai dan saraf kutaneus medial pada lengan bawah. Saraf sural dibentuk
oleh cabang sural kutaneus medial dan lateral dari saraf peroneal komunis. Saraf
tersebut memberikan sensasi pada kulit di belakang dan sisi tungkai bawah yang
berputar mengelilingi belakang sisi lateral pergelangan kaki dan sisi lateral kaki. Saraf
kutaneus medial berasal dari radiks C8 dan T1 dan menyuplai kulit bagian tengah dan
posterior lengan bawah.
c. Transfer saraf
Tindakan ini memungkinkan saraf dipindahkan bersama dengan ikatannya ke medula
spinalis dan diletakkan ke ujung saraf yang kehilangan sambungan medula spinalis.
Setelah menjalani semua prosedur bedah di atas, ekstremitas dimobilisasi untuk
mengurangi tekanan pada gars jahitan. Lama imobilisasi bergantung pada keparahan cedera
dan luasnya pembedahan. Setelah imobilisasi, latihan fisioterapi dimulai untuk
31
mempertahankan rentang gerak pasif pada semua sendi. Pemantauan klinis akan
mengindikasikan apakah saraf pulih dengan laju yang diharapkan dengan tanda tinel
progresif yang menunjukkan peningkatan sensasi yang bertambah sekitar 1 mm per hari,
yang menandakan kemunculan regenerasi aksonal (Hems, 2000). Mungkin butuh 2 -3 tahun
untuk melihat hasil akhir rekonstruksi pleksus brakialis. Tujuan utama penanganan ini adalah
memulihkan fungsi motorik ke tingkat pemulihan M4 (pada pengkajian pemulihan fungsi
otot tabel 2.2), terutama meningkatkan fleksi siku dan untuk memungkinkannya beragam
intervensi bedah dapat dilakukan.
Transfer tendon. Bermacam – macam otot dapat berfungsi sebagai fleksor siku.
Saraf yang menyuplai otot – otot tersebut harus tetap utuh, namun fungsi otot yang asli
dikorbankan untuk mengganti atau memperbaiki otot yang lain.
Transfer atau transplantasi otot bebas. Prosedur ini dilakukan secara rutin untuk
pemulihan fleksor siku dan ekstensor pergelangan tangan. Bermacam – macam otot yang
digunakan yang meliputi latisimus dorsi, rektus femoris, dan grasilis. Kemudian dua atau tiga
saraf interkosta digunakan untuk mempersarafi otot tersebut.
Atrodesis bahu. Tindakan ini disiapkan untuk bahu yang goyah atau nyeri, posisi
disesuaikan untuk setiap individu.
2.11. Komplikasi
a. Remisi spontan
b. Distrofi reflex simpatik
Penyakit ini diyakini sebagai reaksi berantai abnormal dari sistem saraf
simpatik, yakni sistem tubuh yang mengatur aliran darah di kulit. Penyakit ini
secara spontan bisa hilang dengan sendirinya tapi kalau sudah timbul luar
biasa sakitnya.
32
c. Kontraktur miogen akibat paralisis otot sebagai akibat keterlambatan
timbulnya kontraktur atrogen
d. Penyakit kaki diabetic akibat anesthesia dan gangguan saraf otonom.
2.12. Proses Keperawatan
a. Pengkajian (Doenges, 2000)
Dasar Data pengkajian pasien:
1) Aktivitas/ Istirahat:
a. Gejala: adanya kelemahan dan paralisis sepanjang trunkus dari
saraf yang mengalami cedera secara progresif.
b. Tanda: kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris)
2) Sirkulasi :
a. Gejala :Perubahan tekanan darah (hipertensi atau hipotensi)
b. Tanda : Hilangnya sensasi kutaneus, sensasi dalam (deep
sensation)
dan sensasi posisi (position sense). Kulit di daerah yang
diinervasi saraf terjadi pengurangan keringat dan juga
vasodilatasi temporer dengan perabaan hangat dan
kemudian diikuti vasokonstruksi sehingga kulit menjadi
dingin
3) Intregitas Ego:
a. Gejala :perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada
masalah yang dihadapi, perubahan pada tubuhnya
b. Tanda :tampak gelisah dan bingung
4) Elminasi:
33
a. Gejala : tidak ada perubahan pola elminasi
b. Tanda :pasien dapat BAK/BAB dengan baik namun tidak
dapat melakukannya sendiri karena kelemahan otot ekstremitas
5) Makanan/ Cairan:
a. Gejala :tidak ada masalah pada pola makan dan minum,
b. Tanda :klien dapat menghabiskan porsi makannya.
6) Neurosensori:
a. Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari –
jari kaki dan selnjutnya terus naik (distribusi berdasarkan
trunkus saraf yang cedera. Misalnya cedera pleksus brakialis-
hilangnya sensasi mulai dari tangan dan lengan luar, cedera
saraf ekstremitas atas - (radial, median, ulnar, aksilar,
muskulokutaneus) dan cedera saraf ekstremitas bawah – saraf
skiati, peroneal komunis)
b. Tanda :hilangnya/ menurunnya refleks dan sensasi pada saraf
yang cedera, hilangnya tonus otot pada area cedera, adanya
kelemahan pada otot – otot wajah, terjadi miosis (kontriksi
pupil mata), ptosis (penurunan kelopak mata atas), dan
anhidrosis (wajah kering karena kekurangan keringat).
7) Nyeri/ kenyamanan:
Nyeri nonsepsis dan neuropatik.
8) Pernapasan: tidak mengalami masalah
9) Keamanan: penrunan kekuatan/ tonus otot, paralisis atau paratesia
10) Interaksi Sosial: tidak bermasalah
34
b. Diagnosa Keperawatan
1) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan paralisis ekstremitas.
2) Nyeri berhubungan dengan perubahan pada system saraf; stimulus intensitas tinggi
pada ujung saraf.
3) Ansietas berhubungan dengan .krisis situasional; perubahan status kesehatan
c. Intervensi Keperawatan
1) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan paralisis
ekstremitas.
Tujuan :Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi
bagian tubuh yang sakit atau kompensasi
Kriteria hasil :Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang memungkinkan
dilkukannya kembali aktivitas.
Intervensi :
1. Letakkan pasien pada posisi tertentu, untuk menghindari kerusakan karena tekanan
R/ Perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebaran terhadap berat badan dan
meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagia tubuh
2. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi antara waktu
perubahan posisi tersebut
R/ Jika ada paralisis atau keterbatasan kognitif pasien harus diubah posisinya secara
teratur dan posisi dari daerah yang sakit hanya dalam jangka waktu yang sangat
terbatas
35
3. Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab, ganti pakaian
yang basah, dan pertahankan pakaian tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan.
R/ Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan resiko terjadinya
ekskoriasi kulit
4. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang
terjadi
R/ Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengarruhi
pilihan intervensi yang akan dilakukan
5. Ajarkan dan motivasi klien untuk latihan rentang gerak pasif. Hindari latihan gerak
aktif selama fase akut.
R/ menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi
sendi. Catatan : Latihan yang dipaksakan dapat menimbulkan eksaserbasi gejala
yang menyebabkan regresi fisiologis dan emosi. Persendian juga dapat mengalami
flaksid secara total. Memaksimalkan tenaga dan mencegah kelelahan yang
berlebihan.
6. Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode istirahat tanpa gangguan
R/ pengguanaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan
untuk remielinisasi, karenanya dapat memperpanjang waktu penyembuhan
7. Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada
toleransi secara individual, seperti duduk di sisi tempat tidur dengan sokongan,
bangkit dari kursi dan kemudian ambulasi sesuai kemampuan.
R/ kegiatan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap/
terprogram, meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis
yang positif.
Kolaborasi:
36
8. Konfirmasi dengan/ rujuk ke bagian terapi fisik/ terapi okupasi
R/ Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual/ latihan
terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu/ brace untuk
mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aaktivitas sehari –
hari.
2) Nyeri berhubungan dengan kerusakan pada neuron
Tujuan : nyeri berkurang
Kriteria hasil :pasien melaporkan nyeri berkurang, mengungkapkan metode
untuk meredakan nyeri, mendemostrasikan penggunaan keterampilan,
relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi:
Mandiri:
1. Anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan
R/ Menurunkan perasaan terisolasi, marah dan cemas yang dapat meningkatkan nyeri
tersebut
2. Lakukan perubahan posisi secara teratur. Berikan sokongan dengan bantal, busa, atau
dengan selimut
R/ Membantu menghilangkkan kelelahan dan tegangan otot
3. Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau
sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual
R/ Membantu pasien mendapatkan control perasaan tidak nyaman secara konstan yang
disebabkan oleh parestesia dan menurunkan kekakuan/ nyeri pada otot
Kolaborasi:
4. Berikan obat analgetik sesuai dengan kebutuhan. Hindari penggunaan narkotika
37
R/ Berguna untuk meninggalkan rasa nyeri ketika merode lain yang telah dicoba tidak
memerikan hasil yang memuaskan
5. Bantu dengan terapi terapi alternatif seperti ultrason, diatermia, dan menggunakan unit
TENS
R/ Bermanfaat dalam menghilangkan ketidaknyuamanan pada otot
3) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional; perubahna status kesehatan
Tujuan : Menerima dan mendiskusikan rasa cemas
Kriteria hasil :
Mengungkapkan pengetahuan yang akurat tentang situasinya
Mendemonstrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya takut
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi
Intervensi :
1. Tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur. Kaji kembali
kemampuan pasien menggunakan alat penggil lampu secra reguler
R/ memberikan keyakinan bahwa bantuan segera dapat diberikan jika pasien secara
tiba – tiba menjadi tidak memiliki kemampuan
2. Berikan perawatan primer/ hubungna staf perawat yang konsisten
R/ meningkatkan rasa saling percaya pasien dan membantu menurunkan kecemasan
3. Berikan bentuk komunikasi alternatif jika diperlukan
R/ menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi
38
4. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan yang
menetap, kehilangan fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan penyembuhan/
perbaikan
R/ membawa perasaan takut secara terbuka, memberikan kesempatan untuk mengkaji
persepsi/ informasi yang salah dari pasien dan memberikan jalan keluar dalam
pemecahan masalah pada keadaan yang diharapkan.
5. Berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan pasien
termasuk orang terdekat
R/ pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan
akan melakukan aktivitas. Pelibatan pasien dan orang terdekat dalam perencanaan
asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol terhadap diri atas
kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan harga diri.
d. Implementasi Keperawatan
e. Evaluasi
1) Klien dapat mempertahankan kekuatan dan fungsi tubuh yang sakit
2) Klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang dirasakan dan Skala nyeri 0
3) Klien dapat mengontrol kecemasannya
39
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Cedera saraf tepi merupakan suatu keadaan yang terjadi pada sel saraf
tepi/perifer yang diakibatkan oleh karena trauma dan nontrauma sehingga
menyebabkan reaksi cedera pada saraf dimulai dari tahap iskemia dan berlangsung
progres menuju pada kerusakan hingga kematian sel saraf yang bersifat menetap.
Klasifikasi berdasarkan seddon terbagi atas 3 jenis yakni Neuropraksia: Saraf Non –
Working, Aksonotmesis: Akson Terpisah dan Neurotmesis: Seluruh Saraf Terpisah
sedangkan berdasarkan sunderland terbagi atas derajat 1 – 5. Penyebab dari cedera
saraf perifer adalah Kompresi, Traksi dan peregangan dan Luka terbuka sedangkan
menurut Neal, 2010 penyebab cedera adalah general (Compartment Syndrome,
Reflex Sympathetic Dystrophy dan Post-Herpetic Neuralgia), Face :Trigeminal
Neuralgia Upper Extremity dan Lower Extremity. Sistem saraf meliputi saraf perifer
di wajah, lengan, kaki, badan, dan beberapa saraf kranial. Sistem Ini berkomunikasi
antara saraf otak dan otot, kulit, organ internal dan pembuluh darah. Apabila sel saraf
perifer mengalami kerusakan terutama pada selubung mielin, maka perjalanan impuls
dari sistem saraf pusat akan terputus dan tidak ada respon yang ditimbulkan oleh
organ efektor. Tanda dan gejala dari jenis cedera saraf perifer ini berdasarkan
karakteristik dari lokasi saraf yang mengalami injuri. Diagnosis akurat mengenai
kemunculan dan derajat cedera saraf membutuhkan pemahaman yang baik tentang
40
anatomi dan fisiologi system saraf perifer. Pemeriksaan penunjang cedera saraf ini
meliputi Elektromiografi (EMG), Potensial Aksi Saraf Sensori
(SNAP),Somatosensory-Evoked Potential (SSEP), Potensial Aksi Saraf Intrabedah
(NAP), Pemeriksaan Radiologis Mielografi, Tomografi Terkomputer (CT) dan
Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI), dan Tes lainnya yang dilakukan tergantung
pada penyebab yang dicurigai kondisi, dan dapat mencakup x-ray, imaging scan, dan
tes darah. Penatalaksanaan cedera saraf perifer biasanya berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis pada pasien dimana penatalaksanaan medis dan asuhan
keperawatan akan berbeda – beda, bergantung pada penyebab dan jenis ceder, dapat
secara farmakologi, nonfarmakologi serta tata laksana bedah. Operasi dengan
pertimbangan – pertimbangan tertentu. Komplikasi yang dapat timbul akibat cedera
adalah remisi spontan, distrofi reflex simpatik, kontraktur miogen dan penyakit kaki
diabetic. Pengakajian khusus cedera ini difokuskan pada neurobehavior pasien, nyeri/
kenyamanan, dan psikologi pasien sebab akibat dari cedera ini mampu memberi
pengaruh multidimensi yang patut diperhatikan betul oleh seorang perawat. Diagnosa
keperwatan prioritas yang dapat muncul dari jenis cedera saraf ini adalah kerusakan
mobilitas fisik, nyeri kronik dan ansietas dengan intervensi tergantung kepada
kemampuan pasien untuk mencapai tujuan setiap implementasi yang perawat berikan.
3.2. Saran 1. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa
keperawatan.
2. Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan.
3. Semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan
forum terbuka
41
DAFTAR PUSTAKA
Apley, AG and Solomon, M. (1993). System of Orthopaedics and Fractures, Seventh edit. Butterworth - Heinemann Ltd. Oxford
Russell, Stephen M.(2006). Examination of Peripheral Nerve: An Anatomical Appproach. New York: Thieme medical Publisher
Haymaker, Webb & Barnes Woodhall.(1953). Peripheral Nerve Injury. Principle of Diagnosis. New York: Thieme
Lumenta, Christianto B. (2010). Neurosurgery. London: Spinger
www. Fbnotebook.com
Dubuisson A , Kline DG.( 1992). Journal Article Neurologis Klinik. Departemen Bedah Saraf, Louisiana State University Medical Center, Rumah Sakit Amal, New Orleans.
42
43