39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau. Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010, Indonesia ditetapkan sebagai negara terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 245 juta jiwa. Sejumlah 300 kelompok etnis yang ada di Indonesia. Bahkan dari data yang dihimpun BPS pada 2010 ada sebanyak 1.340 suku bangsa di Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia diakses pada 23 Oktober 2013). Selain itu, hampir semua agama besar yang ada di dunia seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, juga turut menyemarakkan kemajemukan komunitas Indonesia. Banyaknya jumlah suku bangsa di Indonesia, maka hal ini juga menambah kayanya jumlah kepercayaan asli Indonesia yang tumbuh di tengah- tengah masyarakat sesuai dengan latar belakang budaya masing- masing (Widiyatmadi dalam Susetyo, 2010: 2). Sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di negara dengan banyak suku bangsa, maka kita pun dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Proses komunikasi yang terjadi dalam masyarakat majemuk di Indonesia umumnya berkaitan dengan struktur, lapisan, ragam jenis budaya serta proses- proses sosial yang ada di masyarakat tersebut. Proses komunikasi tergantung pula pada adanya pengaruh dan khalayaknya. Hadirnya kemajemukan masyarakat Indonesia turut dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Biasanya proses komunikasi yang terjadi dalam masyarakat majemuk, dilakukan antara komunikator dan komunikan yang berbeda latar belakang kebudayaannya.

A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau.

Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010, Indonesia ditetapkan sebagai

negara terbesar ke-4 di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 245 juta jiwa. Sejumlah 300

kelompok etnis yang ada di Indonesia. Bahkan dari data yang dihimpun BPS pada 2010 ada

sebanyak 1.340 suku bangsa di Indonesia.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia diakses pada 23 Oktober 2013).

Selain itu, hampir semua agama besar yang ada di dunia seperti Islam, Kristen, Katolik,

Hindu, Buddha, Konghucu, juga turut menyemarakkan kemajemukan komunitas Indonesia.

Banyaknya jumlah suku bangsa di Indonesia, maka hal ini juga menambah kayanya jumlah

kepercayaan asli Indonesia yang tumbuh di tengah- tengah masyarakat sesuai dengan latar

belakang budaya masing- masing (Widiyatmadi dalam Susetyo, 2010: 2).

Sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di negara dengan banyak suku bangsa, maka

kita pun dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Proses komunikasi

yang terjadi dalam masyarakat majemuk di Indonesia umumnya berkaitan dengan struktur,

lapisan, ragam jenis budaya serta proses- proses sosial yang ada di masyarakat tersebut.

Proses komunikasi tergantung pula pada adanya pengaruh dan khalayaknya.

Hadirnya kemajemukan masyarakat Indonesia turut dilatarbelakangi oleh kebudayaan

yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. Biasanya proses komunikasi yang

terjadi dalam masyarakat majemuk, dilakukan antara komunikator dan komunikan yang

berbeda latar belakang kebudayaannya.

Page 2: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang terjadi tidak dapat dielakkan. Proses

interaksi dalam komunikasi antarbudaya memang sebagian besar dipengaruhi oleh perbedaan

kultur. Orang- orang dari kultur yang berbeda akan berinteraksi secara berbeda pula, namun

perbedaan ini diharpakan tidak akan menjadi penghambat proses interaksi.

Senada dengan itu, Samovar (2010: 13) mengungkapkan bahwa komunikasi antarbudaya

terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan tertentu pula kepada

anggota dari budaya yang lain pula. Jadi komunikasi antarbudaya merupakan sebuah proses

yang melibatkan interaksi antara orang- orang yang persepsi budaya maupun sistem

simbolnya berbeda dalam suatu komunikasi.

Seperti yang diungkapkan oleh Poespowardojo dalam (Liliweri, 2001: 159)

mengungkapkan bahwa dalam masyarakat Indonesia yang pluralistis dari segi ragam suku

bangsa, golongan, agama, hingga daerah itulah justru masalah integrasi bangsa adalah sebuah

hal krusial yang perlu dicari jalan keluarnya. Bahkan penanganan untuk masalah integrasi

bangsa ini harus senantiasa dicari, tanpa henti secara terus- menerus karena akan selalu ada

kemungkinan dan tantangan baru untuk ancaman perpecahan bangsa.

Bruner dalam Warnaen (2002) juga berpendapat bahwa salah satu masalah serius yang

dihadapi Indonesia sebagai bangsa multi etnis pada saat ini memang masalah integrasi

nasional. Ekspresi rasa kesukubangsaan tampak masih sering menimbulkan ketegangan

dalam hubungan antarsukubangsa. Jelas benar bahwa persepsi sosial, stereotip etnis, dan

sikap antargolongan etnis di Indonesia juga dapat memicu konflik dan mengancam integrasi

nasional.

Barna dalam Asante, dkk mengemukakan efektivitas komunikasi antarbudaya sangat

tergantung dari faktor- faktor luar yang mempengaruhinya. Misalnya faktor seperti bahasa,

pesan- pesan nonverbal, prasangka dan stereotip, kecenderungan untuk mengevaluasi, dan

tingginya kecemasan (Liliweri, 2001:174).

Page 3: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Prasangka merupakan penilaian yang tidak berdasar dan pengambilan sikap sebelum

menilai dengan cermat, sehingga terjadi bias dari kenyataan yang sesungguhnya, demikian

seperti dikutip menurut Sarwono dalam Susetyo (2010).

Prasangka dan stereotip kesukuan ini sebenarnya dapat menghambat komunikasi

antarbudaya yang ada. Apalagi Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak suku

budaya, hal ini tentu mempersulit keadaan untuk bisa menyatukan perbedaan yang ada.

Allport (1958) seperti ditulis dalam Liliweri (2001:175) mengungkapkan makna dari

prasangka dengan pernyataan yang hanya didasarkan pada pengalaman dan keputusan yang

tak diuji terlebih dahulu, stereotip evaluasinya bisa positif. Oleh karena itu, stereotip tidak

identik dengan prasangka. Stereotip dapat berubah- ubah sesuai dengan intensitas dan arah

prasangka.Orang yang sudah memiliki prasangka biasanya akan bersikap curiga di awal

pertemuan, dan menentang proses komunikasi yang terjadi. Prasangka memaksa kita untuk

menarik kesimpulan atas dasar syak wasangka tanpa menggunakan pikiran dan pandangan

kita terhadap fakta yang terjadi.

Stereotip adalah gambaran yang ada di kepala seseorang hasil dari rekonstruksi dari

keadaan lingkungan yang sebenarnya. Dengan demikian, gambaran kita tentang keadaan

lingkungan inilah yang menentukan apa yang akan kita lakukan. Sehingga tindakan seseorang

tidaklah didasarkan pada pengenalan langsung terhadap keadaan lingkungan sebenarnya

melainkan berdasarkan gambaran yang dibuatnya sendiri atau yang diberikan kepadanya oleh

orang lain.

Stereotip dengan demikian setidaknya menjadi salah satu sumber pemicu ketegangan

antarsuku bangsa di Indonesia. Di Indonesia yang memiliki banyak budaya dengan masing-

masing latar belakang lingkungan alam dan sosial budaya sendiri, stereotip telah menjadi

ancaman bagi kesatuan bangsa.

Page 4: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Dengan adanya stereotip demikian, maka perlu diwaspadai tumbuhnya stereotip negatif

yang melekat pada suku bangsa yang ada di Indonesia, karena seperti yang telah disebutkan

di atas, stereotip dapat memecah belah bangsa dan mengakibatkan disintegrasi nasional.

Suku Batak merupakan salah satu diantara ratusan suku bangsa yang ada di Indonesia.

Dari hasil sensus penduduk Indonesia yang dilakukan pada tahun 2010, suku Batak

menempati posisi ke-6 dalam jumlah populasi masyarakat Indonesia. Suku Batak sendiri

berdasarkan data tersebut memiliki populasi sebanyak 6,1 juta jiwa atau setara dengan 3%

jumlah total penduduk Indonesia saat itu.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia diakses pada 23 Oktober 2013).

Dari sensus tahun 2010 tersebut diperoleh 17 suku besar yang ada di Indonesia.

Sementara itu, untuk urutan dengan jumlah populasi terbesar adalah Jawa, Sunda, Tionghoa-

Indonesia, Melayu, dan Madura yang menempati posisi 5 besar.

Sama seperti suku lainnya di Indonesia, orang Batak pun hidup begitu erat dengan

budayanya. Meski sudah tidak tinggal di tanah asalnya, orang Batak kerap tidak melupakan

adat dan kebiasaan sepertidi kampung halamannya. Terkait kehidupan orang Batak ini,

Tinambunan dan L. Toruan (2010: 145) menyebutkan bahwa orang Batak memiliki 7 falsafah

utama hidup yang dipegangnya, yaitu:

1. Mardebata (punya Tuhan). Sebelum pertama masuknya agama Kristen ke tanah

Batak, orang Batak awalnya telah memiliki kepercayaan dari agama suku yang

dianutnya. Nenek moyang orang Batak telah memiliki kebiasan untuk martonggo

(berdoa) kepada yang disebut penguasa benua atas.

2. Marpinompar (punya keturunan). Marpinompar merupakan suatu falsafah hidup

orang Batak yang dipegang guna menjamin keberlangsungan generasi selanjutnya.

3. Martutur (punya kekerabatan). Wujud dari kekerabatan ini adalah setiap orang

Batak diwajibkan untuk mengikuti aturan adat yang berhubungan dengan

Page 5: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan ini biasanya ada di seputar

keluarga dari pihak istri, keluarga ibu, dan juga keluarga dari pihak nenek. Tradisi

untuk menghormati orang- orang yang ada di dalam silsilah keluarga ini berlaku

di semua sub suku Batak dan semua marga Batak. Panggilan kekerabatan ini

berlaku bagi setiap orang Batka yang baru dikenal. Oleh karena itu, dalam

kebiasan berkerabat dan beradat, orang Batak pun memiliki falsafah yang disebut

Dalihan Na Tolu (Tungku Berpilar Tiga). Tungku ini diibaratkan sebagai orang

Batak secara pribadi, sementara tiga pilarnya adalah tiga golongan masyarakat

Batak yang saling menyokong berdirinya tungku tersebut. Tiga golongan ini

terdiri dari hula- hula (besan/ ipar), dongan tubu, dan boru

4. Maradat (beradat). Adat yang dimaksud disini adalah setiap orang Batak

diharuskan untuk mengikuti ketentuan adatnya. Hal ini diperkuat juga oleh

Dalihan Na Tolu

5. Marparkirimon (berpengharapan). Bagi orang Batak, seorang anak, apalagi anak

laki- laki merupakan sumber pengharapan terbesarnya dan juga harta yang tak

ternilai. Setelah menikah dan berkeluarga, orang Batak umumnya memiliki 3

pengharapan, yaitu: hagabeon (punya keturunan laki-laki dan perempuan),

hasangapon (terpandang dan dihormati), dan hamoraon (kekayaan).

6. Marpatik (punya aturan). Patik berarti aturan atau hukum yang sifatnya

membatasi kehidupan agar lebih tertib. Adat Batak terdiri atas patik dohot uhum

(aturan dan hukum) sehingga dapat menjadi aturan baku yang membatasi hidup

orang Batak agar lebih terarah.

7. Maruhum (mempunyai hukum). Sama seperti aturan, hukum yang ada dalam adat

Batak ini dibuat sebagai ketentuan yang mengikat bagi orang Batak, sehingga

lebih menaati setiap aturan yang berlaku.

Page 6: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

Dari ketujuh poin falsafah hidup orang Batak tadi memperlihatkan bahwa hidup orang

Batak begitu erat dengan segi adat dan budaya yang dipegangnya. Itulah mengapa bahkan

hingga di tanah perantauan pun, orang Batah masih kukuh memegang kekerabatan dan

menyelenggarakan acara- acara adat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Warnaen (2002: 185) terhadap tujuh

golongan etnis yang tinggal di luar Jakarta tentang orang Batak adalah menghasilkan

stereotip sebagai berikut: kasar, emosional, cepat marah, ikatan kelurga kuat, kepala batu, dan

agresif.

Berkaitan dengan stereotip tersebut, Litbang Kompas pada Minggu (3/2/2013) juga

pernah mengadakan jajak pendapat mengenai suku Batak. Dari jajak pendapat ini diperoleh

hasil bahwa stereotip yang melekat pada orang Batak adalah jujur dan terbuka, gigih dan

pandai bicara, serta memiliki solidaritas budaya yang kuat.

Media massa lokal memegang peranan penting dalam penyebaran informasi di Indonesia.

Terlebih sejak munculnya otonomi daerah, maka pemerintah daerah diperkuat

keberadaannya. Demikian pula hal nya dengan media- media di daerah, maka kebutuhan

informasi lokal seputar kedaerahan tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh media nasional.

Otoritas media lokal sejak era reformasi memungkinkan untuk memperbesar jumlah media

lokal di Indonesia, bahkan setiap kota atau kabupaten dimungkinkan untuk memiliki media

sendiri. Pers daerah saat ini telah bangkit hingga memiliki fungsi dan peran yang sama

dengan pers nasional, sama seperti masa kolonialisme dulu yang sempat muncul media-

media kedaerahan. Media lokal ini menjadi suatu memiliki nilai tambah karena produk

informasi utamanya merupakan muatan informasi lokal. Muatan lokal ini adalah dasar bagi

pengembangan isu- isu lokal daerah tertentu sehingga dapat menjadi kebutuhan informasi

lokal pada suatu daerah (Sutrisno, 2011: 87).

Page 7: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

Majalah HORAS merupakan salah satu media yang bersifat kedaerahan. Majalah Horas

yang pertama kali diterbitkan di Jakarta ini intens membahas orang Batak. Setelah berdiri

selama kurang lebih 11 tahun, majalah HORAS mampu bertahan sebagai salah satu media

yang khusus menuliskan berita dan informasi seputar orang Batak dan budaya Batak,

meskipun banyak diantara media- media sejenis yang justru malah tak mampu bertahan dan

akhirnya gulung tikar.

Meski mayoritas konten dalam majalah HORAS membahas mengenai suku Batak,

masyarakat Indonesia pada umumnya juga turut menjadi sasaran pembaca majalah ini.

Apalagi, majalah HORAS didirikan di Jakarta, ibukota Republik Indonesia yang memang

terkenal sebagai kota yang penuh dengan berbagai macam latar- belakang budaya orangnya.

Maka mau tak mau, majalah HORAS juga memiliki strategi tertentu untuk terus bertahan di

tengah pluralisme masyarakat Indonesia, namun tetap fokus membahas mengenai suku Batak

pada khususnya.

Sebagai salah satu budaya yang ada di Indonesia, budaya Batak tentu harus bisa hidup

berdampingan di antara suku bangsa lainnya di Indonesia. Tentulah hal ini bukan sesuatu

yang mudah, mengingat banyaknya hambatan dalam proses komunikasi antara orang yang

berbeda latar belakang budayanya. Apalagi dengan adanya stereotip yang melekat dalam

penilaian suku lainnya terhadap suku Batak.

Hal inilah yang kemudian memancing rasa keingintahuan penulis untuk meneliti

mengenai konten pemberitaan tentang orang Batak maupun suku Batak yang ada di majalah

HORAS. Dengan tujuan meneliti bagaimana cara orang Batak itu sendiri dalam membingkai

dirinya sendiri (sebagai orang Batak) dalam media cetak. Sebagai sebuah berita, tentulah

majalah HORAS juga harus memperhatikan kaidah- kaidah jurnalistik yang berlaku.

B. Rumusan Masalah

Page 8: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

Bagaimanakah Majalah HORAS periode April- Juni 2013 membingkai pemberitaan

seputar orang Batak?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan Rumusan Masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian

yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana Majalah HORAS membingkai pemberitaan mengenai

orang- orang Batak

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dijabarkan diatas maka dapat diperoleh manfaat

penelitian antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian seputar media dan juga

seputar budaya Batak melalui pemberitaan yang ada di Majalah HORAS

2. Manfaat Praktis

Dari penelitian ini dapat diperoleh latar belakang ideologi yang menjadi dasar sebuah

media untuk menuliskan beritanya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Teori Komunikasi Antarbudaya

Page 9: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Saat membahas komunikasi antarbudaya, maka ada dua aspek yang dipelajari secara

bersamaan, yaitu komunikasi dan budaya. Saat mempelajari budaya, maka seseorang akan

melalui komunikasi, begitupun sebaliknya, saat mempelajari komunikasi maka komunikasi

merupakan refleksi dari budaya itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan, dan dijelaskan

manakah yang menjadi topik utama dan yang mana hanya sekedar topik pengikutnya

(Samovar, 2010: 25).

Kebudayaan sendiri diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran,

struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi dan pengalihan pola- pola konvensi

pikiran, perkataan dan perbuatan atau tindakan. Keseluruhan unsur ini melalui proses

pembagian yang dibagikan kepada para anggota yang ada dalam suatu sistem sosial dan

kelompok sosial dalam suatu masyarakat (Liliweri, 2001: 4).

Budaya memiliki sebuah inti yang penting untuk dipelajari, yaitu sebuah pandangan yang

digunakan dalam mempermudah hidup. Budaya mengajarkan cara untuk beradaptasi dengan

lingkungannya. Triandis mengungkapkan bahwa sebuah budaya memiliki fungsi untuk dapat

memperbaiki cara anggota kelompok dari sebuah budaya untuk mampu beradaptasi dengan

ekologi tertentu. Adaptasi ini juga membutuhkan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-

masing individu sehingga dapat berperan aktif dalam lingkungan sosialnya (Samovar, 2010:

28).

Sementara itu, komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran

informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan manusia

dan lingkungannya. Proses inilah yang dilakukan dengan simbol-simbol bahasa verbal

maupun non verbal yang dapat dipahami bersama (Liliweri, 2001: 5).

Berlo dalam Liliweri (2001:1) menjelaskan bahwa komunikasi akan berhasil bila manusia

memperhatikan faktor- faktor SMCR, yaitu: sources, message, channel, receiver. Faktor-

faktor yang menentukan (source) dan penerima (receiver) ialah kemampuan berkomunikasi,

Page 10: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan kebudayaan. Pada pesan inilah perlu juga diperhatikan

isi, perlakuan pesan, dan perlambangan; sedangkan pada saluran (channel) faktor yang

perlu diperhatikan tergantung pada pilihan saluran yang sesuai. Semua tindakan komunikasi

yang diungkapkan Berlo tersebut berasal dari konsep kebudayaan. Dari kebudayaanlah, para

anggota masyarakat belajar untuk melaksanakan tindakan- tindakan tersebut.

Pengertian komunikasi antarbudaya secara keseluruhan dapat diartikan dengan

pembagian pesan yang berbentuk informasi dari seorang yang berkebudayaan tertentu kepada

seorang yang berkebudayaan lain melalui saluran tertentu dan menghasilkan efek tertentu

(Liliweri, 2003: 9).

Dari pengertian komunikasi antarbudaya tersebut menerangkan bahwa ada penekanan

pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses

komunikasi antarbudaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi

permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar

pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi

individu-individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk

melakukan interaksi.

Seperti dikutip dalam Liliweri (2001: 160), Porter dan Samovar menuliskan perlunya

memahami hubungan antara kebudayaan dengan komunikasi untuk dapat mengkaji

komunikasi antarbudaya. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik yang

tak dapat dipisahkan. Tidak ada batasan antara budaya dan komunikasi, seperti yang

dinyatakan Hall, “Budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya”. Dengan kata

lain, saat membahas budaya dan komunikasi sulit untuk memutuskan mana yang menjadi

suara dan mana yang menjadi gemanya. Alasannya adalah ketika kita mempelajari budaya

anda melalui komunikasi dan pada saat yang sama komunikasi merupakan refleksi budaya

anda.

Page 11: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Dengan pengaruh budaya yang ada inilah manusia dapat belajar untuk berkomunikasi

serta memandang dunia dengan kategori- kategori, konsep- konsep, dan label- label yang

dihasilkan budayanya.

Komunikasi manusia terikat oleh budaya, sebagaimana budaya berbeda antara yang satu

dengan yang lainnya maka praktek dan perilaku komunikasi individu- individu yang diasuh

dalam budaya- budaya tersebut pun akan berbeda pula (Liliweri, 2001: 160).

Unsur- unsur proses komunikasi antarbudaya, antara lain:

A. Komunikator

Komunikator dalam proses komunikasi antarbudaya adalah pihak yang

memprakarsai terjadinya komunikasi, dimana ia mengawali pengiriman pesan tertentu

kepada pihak lain yang disebut dengan komunikan. Dalam komunikasi antarbudaya,

biasanya yang terjadi adalah si komunikator berasal dari latar belakang kebudayaan

tertentu, misalnya kebudayaan A yang berbeda dengan komunikan yang berasal dari

kebudayaan.

B. Komunikan

Komunikan dalam proses komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima pesan

tertentu, ia menjadi tujuan atau sasaran komunikasi dari pihak lain (komunikator). Dalam

komunikasi antarbudaya, seorang komunikan berasal dari latar belakang sebuah

kebudayaan tertentu. Dalam proses komunikasi antarbudaya, komunikan diharapkan

mempunyai perhatian penuh untuk merespon dan menerjemahkan pesan agar tujuan

komunikasinya dapat tercapai.

C. Pesan atau Simbol

Pesan yang dimaksudkan berisi pikiran, ide atau gagasan, perasaan yang dikirim

komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Simbol adalah sesuatu yang

digunakan untuk mewakili maksud- maksud tertentu, misalnya dalam hal yang

Page 12: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

diucapkan atau ditulis, atau bisa juga simbol non verbal yang diperagakan melalui gerak-

gerak tubuh atau anggota tubuh, warna, artefak, gambar, pakaian dan lain- lain yang

semuanya harus dipahami secara konotatif. Sebuah pesan juga perlu mendapat perlakuan

berkaitan dengan penjelasan atau penataan isi pesan oleh komunikator.

D. Media

Media merupakan tempat, saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim

melalui media tertulis juga media massa (cetak) seperti majalah, surat kabar dan buku,

juga media massa elektronik. Namun terkadang dalam komunikasi antarbudaya biasanya

pesan- pesan tersebut dikirim tidak melalui media, biasanya komunikasi terjadi melalui

tatap muka.

E. Efek atau Umpan Balik

Umpan balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas

pesan- pesan yang telah dikirimkan kepadanya. Tanpa adanya umpan balik atas pesan

tersebut, maka komunikator dan komunikan tidak dapat saling memahami ide, pikiran,

dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.

F. Suasana (Setting dan Context)

Setting of communication yakni tempat atau ruang, dan waktu serta suasana (sosial,

psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung. Suasana itu berkaitan dengan

waktu yang tepat untuk bertamu atau berkomunikasi, sedangkan tempat untuk

berkomunikasi, kualitas relasi (formalitas, informalitas) yang berpengaruh terhadap

komunikasi antar budaya.

G. Gangguan (Noise atau interference)

Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi

penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, atau hal

yang paling fatal adalah mengurangi makn yang ada dalam pesan antarbudaya.

Page 13: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

Gangguan komunikasi yang bersumber dari komunikator dan komunikan misalnya

karena adanya perbedaan status sosial dan budaya, latar belakang pendidikan dan

pengetahuan terhadap tema yang dibicarakan, dan juga ketrampilan berkomunikasi

(kemampuan untuk memanipulasi pesan). Gangguan yang berasal dari pesan misalnya

perbedaan pemberian makna atas pesan yang disampaikan secara verbal, perbedaan tafsir

pesan nonverbal. Sementara itu gangguan dari media atau saluran diakibatkan karena

salah memilih media yang tidak sesuai dengan konteks komunikasi.

Sementara itu De Vito (dalam Liliweri 2003; 25) menggolongkan tiga macam gangguan,

yaitu:

- Fisik, berupa interfensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya desingan

mobil yang lewat, dengungan komputer, dll.

- Psikologis, interfensi kognitif atau mental, misalnya prasangka dan bias pada sumber-

penerima-pikiran yang sempit; dan

- Semantik, berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan, misalnya orang

berbicara dengan bahasa yang berbeda, dan menggunakan istilah yang terlalu rumit untuk

dipahami pendengarnya.

Ada 4 pokok bahasan dari komunikasi antarbudaya, yaitu: keunikan dari setiap individu,

bahaya stereotip, perlunya objektivitas, dan komunikasi tidak selalu dapat mengatasi masalah

(Samovar, 2010: 49).

1. Keunikan Individu

Di dunia ini, tidak pernah ada seorangpun yang benar- benar mirip dengan seorang

lainnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh karena tingkah laku seseorang terbentuk dari

banyak sumber dan budaya. Kedua faktor inilah yang juga membentuk kepribadian

seseorang. Ada hubungan yang saling mempengaruhi antara kepribadian dan budaya,

namun jika hanya bergantung pada budaya, ada pula permasalahannya. Hooker (dalam

Page 14: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

Samovar, 2010: 50) menyebutkan bahwa kepribadian didapat dari pengaruh kuat sebuah

budaya. Meski demikian, kepribadian itu hampir dapat bertumbuh dalam budaya bawaan

yang bahyanya jika terlalu ditekan pada karakter nasional.

2. Stereotip

Stereotip adalah sejumlah asumsi yang tidak tepat mengenai sekelompok orang dalam

sebuah budaya yang dibuat oleh orang yang berbeda latar kebudayaannya. Stereotip

muncul saat mulai ada penyamarataan sekelompok orang saat menjelaskan budayanya.

Pemahaman sederhana mengenai konsep stereotip adalah stereotip berasal dari kata

Yunani, stereos artinya kaku dan tupos yang berarti jejak (Susetyo, 2010: 20). Verdeber

(1986) menjelaskan definis stereotip sebagai sikap dan karakter yang dimiliki oleh

seseorang untuk menilai orang lain semata- mata berdasarkan pengelompokan kelas atau

pengelompokan yang dibuatnya sendiri (Liliweri 2001: 176).

Sementara itu, Gerungen (1988) menjelaskan stereotip yaitu merupakan suatu

gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat- sifat dan watak pribadi orang

golongan lain yang umumnya bercorak negatif. Stereotip tentang orang lain sudah

terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk

bergaul sewajarnya dengan orang- orang lain yang dikenakan prasangka itu (Liliweri,

2001: 177).

Stereotip merupakan sebuah gambaran yang digeneralisasi atas golongan lain

berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh orang tersebut. Baron dan Paulus (dalam

Anugrah, 2008: 156) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan

stereotip. Pertama, dikarenakan manusia cenderung membagi dunia ini ke dalam dua

kategori yaitu „kita dan mereka‟. Karena kekurangan informasi mengenai „mereka‟,

maka kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan menganggap mereka sebagai

homogen. Kedua, stereotip bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja

Page 15: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

kognitif sedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotip

menyebabkan persepsi selektif tentang orang- orang dan segala sesuatu di sekitar kita.

Konsep dasar stereotip yang diajukan Lippmann adalah konsep pseudo environment

(lingkungan palsu) yaitu bahwa stereotip merupakan gambaran yang hanya ada di benak

kepala kita tentang dunia sekitarnya. Dalam diri tiap orang terdapat cetakan kognitif

untuk mereproduksi gambaran mengenai orang- orang atau kejadian dalam pikirannya.

Manusia tidak memberikan tanggapan langsung terhadap realitas objektif tetapi

mengolahnya terlebih dahulu di dalam pikiran, karena dunia nyata terlalu besar dan

kompleks untuk dapat dikenali. Oleh karena itu, mengenal dunia nyata tersebut

diperlukan gambaran yang lebih sederhana di dalam pikiran seseorang. Gambaran

tersebut bisa benar atau salah atau gabungan antara benar dan salah. Jadi stereotip

merupakan beberapa kebiasaan tertentu dalam kognisi yang mengklasifikasikan dan

mengabstraksi fakta secara tidak benar (Susetyo, 2010: 20-21).

Susetyo (2002) menjelaskan stereotip terjadi karena ketidakmampuan manusia

mempersepsikan atau menangkap heterogenitas kelompok lain. Meski demikian ,seiring

dengan meningkatnya mobilitas serta peningkatan interaksi antarkelompok etnis di

Indonesia, maka stereotip yang merupakan generalisasi yang tidak akurat tentang sifat-

sifat kelompok lain dapat lebih dikoreksi. Pada kenyataannya, semakin tajam

permusuhan antarkelompok, stereotip akan semakin berkembang dalam intensitas negatif

yang semakin menguat (Susetyo, 2010:14).

Ada empat alasan alasan mengapa stereotip dapat menghambat proses komunikasi

antarbudaya, yaitu:

a. Stereotip merupakan sejenis penyaring yang dapat menyediakan informasi yang

konsisten dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang. dengan ini, suatu hal

yang benar tidak memiliki kesempatan untuk diketahui.

Page 16: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

b. Pengelompokan tersebut bukanlah yang menjadi penyebab masalah antarbudaya

melainkan asumsi bahwa semua informasi spesifik mengenai suatu budaya

diterapkan pada semua orang dari kelompok tertentu.

c. Stereotip dapat menghalangi keberhasilan seseorang sebagai komunikator karena

stereotip biasanya berlebih- lebihan, terlalu sederhana, dan terlalu

menyamaratakan.

d. Stereotip jarang berubah, karena stereotip biasanya berkembang sejak awal

kehidupan dan terus berulang dan diperkuat dalam suatu kelompok, stereotip

berkembang setiap waktu. (Samovar, 2010: 205, Edisi Indonesia)

3. Objektivitas

Kata objektif berarti adil, tidak berprasangka buruk, tidak dipengaruhi emosi juga

prasangka pribadi Dalam proses komunikasi dengan orang lain, tentu sulit untuk

menyingkirkan prasangka pribadi. Apalagi dalam proses komunikasi antarbudaya kita

mendekati dan menanggapi budaya lain. Biasanya yang menjadi tolok ukur dalam

percakapan antarbudaya ini adalah budaya yang kita anut sendiri. Hal inilah yang

dinamakan etnosentrime, yaitu menjadikan budaya sendiri sebagai tolok ukur penilaian

terhadap budaya lain.

4. Komunikasi tidak selalu dapat memecahkan masalah

Proses komunikasi seringkali dianggap mampu menyelesaikan persoalan

ketidakenakan dalam perasaan dengan jalan klarifikasi atau mengadakan dialog antar

keduabelah pihak. Kenyataannya, komunikasi tak selalu dapat menyelesaikan semua

permasalahan dalam ranah interpersonal. Tak jarang pula, justru mula permasalahan ada

karena komunikasi.

Page 17: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

Dalam kebudayaan, media memainkan peranan penting. Media dapat menjadi salah satu

sumber informasi akan fakta- fakta yang diterima oleh khalayaknya. Dalam jurnal

Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011 - Januari 2012, Analisis Framing

Sebuah Konflik Antarbudaya di Media (Widiastuti, 2011) disampaikan bahwa:

Dalam masyarakat yang semakin individual dan heterogen ini, media memainkan

peranan penting sebagai salah satu atau bahkan satu- satunya sumber sosialisasi dan

realitas sosial di masyarakat. Sementara realitas yang disampaikan oleh media berasal

dari sumber- sumber komunikasi yang secara nyata mengedepankan realitas

subyektifnya. Alih- alih membentuk realitas obyektif di masyarakat, media malahan

memelihara dan menginstitusionalkan kenyataan subyektif berdasarkan stereotip yang

berkembang di masyarakat, dan bukan yang obyektif; kenyataan sebagaimana yang

dipahami dalam kesadaran individu dan bukan kenyataan sebagaimana yang ditentukan

kelembagaan (masyarakat).

Selain hal yang telah disebutkan diatas, peranan penting media dalam komunikasi

kehidupan masyarakat multietnis juga berfungsi untuk menghasilkan konstruksi yang

melibatkan hal- hal seperti etnis atau suku bangsa. Hal ini seperti disebutkan oleh Pawito

pada Media Massa dalam Masyarakat Pluralis dalam jurnal Ilmu Komunikasi vol. 6 no. 1

tahun 2008, bahwa:

Media massa dalam masyarakat pluralis (secara etnis dan budaya) menghadapi

beberapa tantangan, baik dalam hal penyebarluasan informasi kepada khalayak (berita)

maupun dalam hal penumbuhan citra (image building). Dengan kedua muatan ini

(informasi dan citra) media massa bekerja dan mengembangkan wacana. Dalam

hubungan ini pengembangan wacana oleh media massa dapat diamati melalui cara- cara

bagaimana bentuk- bentuk isi media seperti berita, film, soap opera, musik, sinetron, dan

laporan perjalanan dikemas ke dalam konstruksi tertentu yang dalam konteks masyarakat

pluralis melibatkan berbagai persoalan penting seperti suku bangsa, budaya, dan agama.

Media massa memegang kendali atas informasi yang diperoleh khalayak. Media massa

melalui kontennya pun mengemas sebuah konstruksi tentang budaya yang berperan penting

untuk menyebarluaskan pesan serta menumbuhkan gambaran tertentu. Media massa di

Indonesia, selayaknya mampu membantu usaha- usaha persatuan dan kesatuan di Indonesia.

2. Jurnalistik

Page 18: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Jurnalistik merupakan salah satu hal yang berkaitan erat dengan profesi kewartawanan.

Jurnalistik dapat diartikan sebagai sebuah pengetahuan mengenai dunia berita serta

mempelajari segala hal tentang suatu kejadian, peristiwa, hingga sebuah gagasan yang

bertujuan untuk dapat diterima oleh khalayak umum dan heterogen (Barus, 2010:1).

Kata „jurnalistik‟ ataupun „jurnalisme‟ berasal dari kata journal dari bahasa Inggris, atau

du jour dari bahasa Prancis. Arti kedua kata tersebut adalah catatan harian atau catatan

tentang kegiatan sehari- hari. Kedua kata dari Inggris dan Prancis tersebut sebenarnya berakar

dari bahasa Latin diurnalis yang bermakna tiap hari atau harian. Maka tidak salah jika

menyebut surat kabar harian sebagai salah satu produk jurnalistik yang tepat melihat dari

definisi tersebut (Barus, 2010: 2).

Sementara itu, Sumadiria (2006: 3) menyebutkan bahwa jurnalistik adalah kegiatan yang

mempersiapkan, mencari, mengolah, menyajikan serta mengabarkan sebuah berita kepada

khalayak ramai dengan menggunakan media dalam waktu secepat mungkin segera setelah

peristiwa tersebut terjadi.

Dalam sebuah negara demokratis, hadirnya jurnalisme sangat diperlukan. Mengutip

pernyataan MacDougall dalam bukunya Interpretative Reporting menyebutkan jika

jurnalisme bermakna kegiatan mengumpulkan berita, mencari fakta- fakta yang ada di

lapangan, hingga sampai ke tahap pelaporan peristiwa (Kusumaningrat, 2009: 15).

Setiap perubahan yang terjadi dalam suatu negara memerlukan jurnalisme. Baik dalam

segi ekonomi, politik, sosial, ataupun budaya haruslah ada orang yang mencari kebenaran

tentang sebuah peristiwa, menyusunnya menjadi sebuah berita, dan kemudian

menyampaikannya ke hadapan masyarakat melalui media.

Orang- orang yang menyampaikan berita tersebut kepada khalayak disebut pers. Agar

apa yang disampaikan oleh pers tersebut benar- benar dapat dipertanggungjawabkan, maka

Page 19: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

pada tahun 1956 disusunlah The Hutchins Commision di Amerika Serikat. Kelima poin The

Hutchins Commision yang dikutip dari Kusumaningrat (2009: 3) adalah:

1. Media harus menyampaikan sebuah berita yang cerdas dalam hal konteksnya

mampu memberikan makna serta menyajikan peristiwa sehari- hari yang dapat

dipercaya dan dituturkan secara lengkap.

2. Media memegang posisi sebagai forum pertukaran komentar dan kritik di tengah-

tengah khalayaknya.

3. Media harus mampu menghadirkan gambaran yang benar guna mewakili kelompok

konstituen yang ada di masyarakat.

4. Media harus menyajikan serta mampu mendeskripsikan nilai dan tujuan yang

dianut oleh masyarakat.

5. Media harus punya akses penuh terhadap informasi yang sewaktu- waktu bisa

menjadi tersembunyi.

Menurut Sumadiria (2006: 4) jurnalistik dapat dibagi ke dalam 3 bagian besar

bedasarkan bentuk dan tata cara kelolanya, yaitu:

1. Jurnalistik Media Cetak

Jurnalistik media cetak ini dibutuhkan dua faktor yaitu verbal dan visual. Faktor

verbal meliputi kemampuan seseorang dalam menyusun dan memilih kalimat untuk

dirangkai menjadi sebuah berita. Sementara faktor visual memerlukan kemampuan

untuk mengatur tata letak, menata, dan merancang desain dari bentuk perwajahan

sebuah terbitan.

Kedua faktor tersebut sangat menunjang konten berita yang akan kita sampaikan

kepada pembaca. Dalam jurnalistik, informasi yang disampaikan tidak hanya harus

benar, akurat, dan tepat namun juga harus mampu menarik perhatian pembaca.

2. Jurnalistik Media Elektronik Auditif

Page 20: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Jenis jurnalistik ini disebut juga jurnalistik radio siaran. Jurnalistik media

elektronik auditif dipengaruhi oleh faktor verbal, teknologikal dan fisikal. Faktor verbal

berkaitan dengan cara menyusun dan merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang

padu sehingga mampu dipahami dengan baik oleh pembaca. Teknologikal terkait

dengan hal- hal yang bersifat teknologi yang menunjsng sinyal radio sehingga

siarannya dapat didengar dengan baik dan jelas oleh pendengarnya. Fisikal

berhubungan dengan kondisi fisik dan kemampuan khalayak untuk bisa menangkap

makna dari siaran dan informasi yang disampaikan.

3. Jurnalistik Media Elektronik Audiovisual

Jurnalistik media elektronik audiovisual disebut juga sebagai jurnalistik televisi

siaran. Jurnalistik jenis ini meliputi keseluruhan faktor dari verbal, teknologikal,

dramatikal, dan visual. Segi verbal yaitu cara merangkai kata- kata sehingga mampu

dicerna maknanya dengan baik oleh pembaca. Segi teknologikal meliputi kemampuan

pancaran sinyal siaran serta kualitas tayangan televisi. Segi visual berkaitan dnegan

gambar yang ditayangkan pada televisi yang mampu menarik perhatian penonton. Serta

segi dramatikal yaitu meliputi hal- hal yang bersifat dramatis dari gambar- gambar yang

disajikan dengan simultan.

Andreas Harsono (2010: 16) merangkum sembilan elemen jurnalisme yang

diambilnya dari buku he Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and

The Public should Expect (2011) karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Kesembilan

elemen jurnalisme ini adalah:

a. Kebenaran. Kebenaran bisa dipandang berbeda oleh setiap orang. Maka kebenaran

yang dimaksud dalam hal ini adalah kebenaran fungsional, bukan kebenaran secara

filosofis. Kebenaran fungsional inilah yang ingin dicapai oleh masyarakat luas

dengan memperhatikan sebuah prosedur. Kebenaran ini terbentuk perlahan- lahan

Page 21: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

dan sehari demi sehari, hingga akhirnya terbentuklah kebenaran yang lebih lengkap

lagi.

b. Loyalitas wartawan. Sejak tahun 1980, wartawan di Amerika mulai banyak yang

bergabung dengan dunia bisnis. Hal ini bisa menggoyahkan kepentingan mereka di

dunia bisnis ketimbang tetap bergelut dalam jurnalisme. Hal ini mengkhawatirkan

mengingat jika semakin banyaknya wartawan berbisnis maka hal ini akan semakin

menghapus kepentingan mereka untuk melayani masyarakat melalui medianya.

c. Disiplin dalam verifikasi. Dengan sikap disiplin ini seorang wartawan dapat

melakukan penyaringan terhadap berbagai isu ataupun manipulasi sehongga

mampu mendapatkan data yang benar- benar akurat.

d. Independensi wartawan. Seorang wartawan diperbolehkan mengemukakan

pendapatnya jika ditunagkan dalam rubrik opini, bukan dalam sebuah berita.

e. Memantau kekuasaan dengan melakukan investigasi. Dengan investigasi yang

dilakukan ini, maka seorang wartawan akan dapat menemukan asal muasal

terjadinya sebuah kasus dan dapat menguak sebuah rahasia yang sebelumnya masi

htersimpan dari ranah publik. Memantau kekuasaan ini dilakukan untuk turut

menegakkan demokrasi.

f. Jurnalisme sebagai forum publik. Dengan adanya media, maka sedikit demi sedikit

rasa keingintahuan masyarakat akan suatu informasi bisa terpenuhi. Pemenuhan

rasa ingin tahu ini terkadang memunculkan pertanyaan baru lagi di benak

masyarakat atau mereka ingin ikut memberikan saran maupun kritik terhadap

fenomena baru yan gsedang berkembang. Dari sinilah media hadir sebagai sarana

penampung aspirasi rakyat.

g. Jurnalisme harus menarik dan relevan. Tulisan jurnalistik yang mampu memikat

serta relevan ini seringkali bertolak belakang satu dengan lainnya. Tulisan yang

Page 22: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

menarik terkadang sudah tak relevan lagi untuk diangkat, sementara tulisan yang

relevan seringkali justru tak menarik untuk dibaca, dan tidak melibatkan emosi

pembaca. Menulis sebuah narasi yang mendalam namun sekaligus memikat

sebenarnya butuh waktu yang lama, sementara waktu tak bisa diulur terlalu lama

dalam sebuah bisnis media.

h. Berita harus proporsional dan komprehensif. Banyak sekali harian yang memuat

berita dengan judul yang berlebihan hanya demi menarik pembaca. Sayangnya,

judul yang bombastis ini seringkali tak proporsional dalam pengemasan beritanya.

Cara seleksi berita yang tepat bisa menghasilkan sebuah pemberitaan yang

proporsional dan komprehensif.

i. Wartawan harus mau mendengarkan kata hatinya. Dari hal ini diharapkan

wartawan bisa menerapkan kode etik bagi dirinya sendiri. Seorang wartawan

baiknya mempunyai pertimbangan sendiri akan berita ataupun kegiatan jurnalistik

yang ia lakukan apakah sudah memenuhi etika dan juga bertanggung jawab.

Dalam profesinya, seorang wartawan harus melakukan tahap pengecekan mandiri

terhadap tulisannya sendiri. Dalam proses penulisan berita, wartawan harus menyeleksi hal-

hal tertentu yang akan ditulisnya. Seleksi konten ini dapat disesuaikan bergantung pada

beberapa hal. Ross Tapsell menuliskan dalam Asian Studies Review sebagai berikut:

An examination of the precise features of self-censorship and its historical legacy in

Indonesia is crucial for understanding contemporary Indonesian journalism. To some

extent, all journalists self- censor their reports. A crucial part of journalistic practice is

to provide some details and omit others. This can depend on limitations of time, space,

clarity, editorial demands and views on audience or reader interests.

Tapsell menyebutkan bahwa sistem jurnalisme kontemporer di Indonesia mayoritas telah

melakukan self-censorship pada berita- berita yang mereka tulis. Bahkan dalam jurnalistik,

self-censorship ini merupakan sebuah hal yang krusial mengingat dalam menulis berita,

Page 23: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

seorang jurnalis dibatasi oleh beberapa hal, seperti waktu, ruang, kejelasan, tuntutan editorial

serta minat dari khalayaknya.

3. Berita

Berita adalah salah satu unsur utama dalam sebuah dunia jurnalisme. Dengan adanya

berita, maka kehidupan jurnalisme bisa berdenyut. Bahkan banyak yang menyimpulkan

bahwa kehidupan jurnalisme adalah dari hasil proses transaksi jual beli berita.

Berita merupakan sebuah laporan yang ditayangkan dalam waktu yang cepat. Isinya

seputar fakta ataupun ide-ide berupa inovasi yang disajikan dengan benar, menarik, dan

dianggap penting oleh mayoritas khalayaknya. Berita ini biasanya ditayangkan dengan

menggunakan media massa seperti koran, televisi, radio, atau internet (Sumadiria, 2006: 65).

Berita dapat diartikan sebagai peristiwa, kejadian, gagasan, atau fakta yang bersifat

terkini, menarik serta memiliki nilai kepentingan tinggi yang disampaikan kepada khalayak

umum. Oleh karena itu, sebuah fakta yang menarik itu tidaklah termasuk berita jika hanya

dibiarkan terjadi begitu saja tanpa disampaikan kepada masyarakat (Barus, 2010: 27).

Untuk bisa ditayangkan sebagai berita, sebuah tulisan haruslah memiliki nilai berita. Oleh

karena itu, tidak sembarangan tulisan yang dibuat dapat dikategorikan sebagai berita. Tulisan

tersebut tentu harus mengikuti patokan sehingga dalam menulis berita, reporter dapat

memperhatikan nilai berita yang ditulisnya. Nilai berita juga dapat mempermudah kerja

redaksi untuk menyeleksi berita mana yang layak ditampilkan maupun yang harus

disingkirkan (Sumadiria, 2006: 80).

Unsur- unsur yang disebut dengan nilai berita tersebut antara lain (Barus, 2010:33):

a. Penting (significance)

Page 24: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

Penting diartikan sebagai berpengaruh bagi kehidupan khalayak ramai. Artinya

kejadian yang diangkat dalam berita haruslah memiliki dampak luas yang dirasakan oleh

banyak orang.

b. Besaran (magnitude)

Artinya sebuah berita haruslah berjumlah besar dan banyak. Besarnya ini bisa dari

nilai, jumlah, angka, atau hitungan yang ada di dalam berita. Besaran ini nantinya juga

menyangkut banyaknya jumlah orang yang mengetahui peristiwa tersebut, sehingga

menarik sebagian besar orang untuk membacanya.

c. Kebaruan (timeliness)

Kebaruan ini berarti berita harus memuat sebuah peristiwa yang benar- benar baru

terjadi atau aktual. Soal waktu adalah hal yang sangat mengikat dalam sebuah berita.

Unsur aktual inilah yang nantinya akan memancing masyarakat umum untuk mencari

berita tersebut, sehingga peristiwa itu masih menjadi topik pembicaraan terbaru di

masyarakat.

d. Kedekatan (proximity)

Kedekatan secara lokasi geografis atau bahkan secara emosional terhadap khalayak

merupakan salah satu nilai berita lainnya. Kedekatan inilah yang akan mudah menarik

perhatian pembaca, apalagi jika berita tersebut memuat hal- hal yang menyangkut

dirinya.

e. Ketermukaan (prominence)

Ketermukaan ini merupakan sebuah hal yang menarik dan mencuat dari sebuah

peristiwa, tempat, atau seseorang. Hal yang terjadi jika menyangkut seseorang yang

Page 25: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

termuka atau terjadi di tempat yang sedang menjadi sorotan publik menjadi sebuah berita

yang penting untuk ditulis.

f. Sentuhan manusiawi (human interest)

Hal- hal yang memiliki daya tarik bersifat kemanusiaan juga semakin menambah

tinggi nilai dari sebuah berita. Suatu peristiwa yang sangat menyentuh atau menggugah

perasaan merupakan sebuah berita yang mampu menarik pembaca.

Dalam menulis sebuah berita dibutuhkan pedoman penulisan. Beberapa pakar

menyebutkan teori 5W+1H sebagai rumus penulisan berita. Rumus 5W+1H ini sering pula

disebut sebagai syarat kelengkapan dalam sebuah berita.

Unsur 5W+1H ini meliputi Who, What, Where, When, Why, How (Barus, 2010: 36).

1. Who

Who atau siapa dalam sebuah berita berarti sebuah berita harus mempunyai

unsur „siapa‟. Unsur siapa ini merujuk kepada pelaku atau sumber berita dan bisa

berupa individu, kelompok, atau sebuah institusi.

2. What

Apa yang dikatakan oleh sumber berita merupakan sebuah hal yang penting.

Oleh karena itu, ketika sudah mengetahui siapa orang yang telibat dalam sebuah

peristiwa, sebuah berita harus mampu mengetahui topik yang diberitakannya dari

unsur „apa‟ yang dikatakan oleh narasumbernya.

3. When

Kapan terjadinya sebuah peristiwa juga tak boleh luput untuk dituliskan dalam

sebuah berita. Dari unsur ini dapat diketahui apakah sebuah berita masih hangat atau

tidaknya. Dan unsur waktu itu memenuhi salah satu nilai berita yaitu kebaruan.

4. Where

Page 26: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Tempat berlangsungnya sebuah peristiwa harus dimuat dalam sebuah berita.

Tempat kejadian ini nantinya akan terkait dengan nilai berita kedekatan (proximity)

karena jarak geografis yang dekat akan memancing rasa keingintahuan penduduk

sekitar untuk mengetahui peristiwa tersebut.

5. Why

Mengapa sebuah peristiwa bisa terjadi, merupakan salah satu pertanyaan yang

juga harus dimuat dalam sebuah berita. Unsur yang satu ini melengkapi sebuah

tulisan dengan runtutan kejadian yang menjadi sebab akibat dari sebuah peristiwa.

6. How

How merupakan unsur yang menceritakan detail sebuah peristiwa, bagian

yang bercerita bagaimana terjadinya peristiwa tersebut.

4. Framing Sebagai Sebuah Teknik Analisis

Analisis framing adalah hasil perkembangan terbaru dari analisis wacana, terutama dalam

hal menganalisis teks media. Framing muncul karena adanya elaborasi berkelanjutan dari

analisis wacana, sehingga munculnya analisis framing yang dianggap lebih mutakhir untuk

mengupas fenomena terkini dari media. Di awal kemunculannya pada tahun 1955 oleh sang

penemu, Beterson, framing dilihat sebagai struktur konseptual atau disebut juga perangkat

kepercayaan yang dapat mengatur sebuah pandangan politik, kebijakan, wacana.

Setelah itu, konsep framing dikembangkan kembali oleh Goffman pada tahun 1974,

seperti disebutkan dalam Journal Of Visual Literacy: The levels of visual framing (Dimitrova

dan Rodriguez, 2011: 48) sebagai sebagai “The idea of framing first appeared in Goffman's

seminal work in 1974, which postulated that the context and organization of messages affect

audiences' subsequent thoughts and actions about those messages.”.

Page 27: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

Selain itu awalnya framing juga menjadi penyedia patokan kategori standar untuk

menilai sebuah realitas. Sementara mulai belakangan ini, dalam penerapannya di ilmu

komunikasi, analisis framing digunakan dalam proses penyeleksian berita dan juga pemilihan

bagian- bagian khusus dari sebuah realita. Framing merupakan analisis yang digunakan untuk

membedah perspektif atau cara yang dipilih wartawan saat menyeleksi isu yang diangkat

menjadi berita. Dari cara pandang tersebut akan diketahui nantinya fakta apa yang ditekan

dan yang mana yang lebih menonjol. Dari situ pula akan terlihat kemana arah berita akan

dibawa oleh si wartawan (Sobur 2006: 162).

Menurut Deddy Mulyana, framing digunakan sebagai cara menganalisis konteks sosial-

budaya yang hadir dalam sebuah wacana, terutama di dalam relasi antara berita dan ideologi.

Relasi antara berita dan ideologi yaitu proses ataupun mekanisme tentang bagaimana cara

berita mampu membangun, merancang, mereproduksi, mengubah, hingga bahkan sampai ke

taraf meruntuhkan sebuah ideologi.

Selain itu, Dedy Mulyana juga mengungkapkan bahwa framing dapat melihat siapa

dalang dibalik sebuah hierarki kekuasaan, pihak yang diuntungkan maupun yang dirugikan,

siapa yang ditindas atau yang tertindas, tindakan politik yang konstitusional maupun

inkonstitusional, hingga kebijakan publik yang seperti apa yang harus didukung atau

sebaliknya (Eriyanto, 2002: xiv).

Scheufele dan Tewksbury (2007:11) dalam Journal of Communication yang berjudul

Framing, Agenda Setting, and Priming: The Evolution of Three Media Effects Models

mengungkapkan bahwa framing ada berdasarkan asumsi dari hasil sebuah isu yang diberi

sebuah penekanan dalam sebuah berita dan dipahami serta berpengaruh bagi khalayaknya.

Pernyataan Scheufele (2009) seperti dikutip Scheufele dan Tewksbury (2007: 12) dalam

tulisan yang sama, yaitu:

Framing therefore is both a macrolevel and a microlevel construct. As a

macroconstruct, the term „„framing‟‟ refers to modes of presentation that journalists and

Page 28: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

other communicators use to present information in a way that resonates with existing

underlying schemas among their audience (Shoemaker & Reese, 1996). This does not

mean, of course, that most journalists try to spin a story or deceive their audiences. In

fact, framing, for them, is a necessary tool to reduce the complexity of an issue, given the

constraints of their respective media related to news holes and airtime (Gans, 1979).

Frames, in other words, become invaluable tools for presenting relatively complex

issues, such as stem cell research, efficiently and in a way that makes them accessible to

lay audiences because they play to existing cognitive schemas. As a microconstruct,

framing describes how people use information and presentation features regarding

issues as they form impressions.

Framing memiliki mikrolevel dan makrolevel. Pada level mikro, framing menjelaskan

bagaimana orang menggunakan informasi dan isu yang berkesan. Sementara pada tataran

makro, framing menyajikan informasi yang bisa bergema atau menjadi bahan perbincangan

di antara khalayaknya. Scheufele dan Tewksbury menilai framing merupakan sebuah alat

yang tepat untuk menyajikan masalah yang kompleks sehingga mudah diakses oleh khalayak

umum.

Dalam analisis framing, langkah pertama yang dilakukan adalah melihat bagaimana cara

media mengkontruksi realitas. Sebenarnya, wartawan dan media lah orang yang nyata dan

aktif membentuk realitas. Letak realitas tersebut ada dalam konsepsi wartawan, artinya semua

fakta peristiwa yang terjadi diabstraksikan oleh sang wartawan menjadi sebuah peristiwa

yang kemudian ditampilkan kembali kepada khalayaknya (Eriyanto, 2002: 7).

Dengan metode yang digunakan dalam analisis framing, peneliti melihat bagaimana cara

media memahami, memberikan makna, dan membingkai sebuah berita. Dengan demikian,

framing berusaha untuk mengerti, dan memahami makna sebuah teks berita dengan cara

menguraikan bagaimana cara media tersebut membingkai isu (Eriyanto, 2002: 9).

F. METODE PENELITIAN

Metode penelitian digunakan oleh peneliti untuk memberikan kerangka kerja agar dapat

memahami objek yang akan menjadi sasaran penelitian. Dalam penelitian ini metode yang

Page 29: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

digunakan ditunjukkan untuk mengetahui bagaimana cara majalah HORAS membingkai

pemberitan seputar orang Batak adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif tidak digunakan

untuk menjelaskan, mengontrol gejala- gejala komunikasi, mengemukakan prediksi atau

untuk menguji teori tertentu, melainkan untuk memberikan pemahaman mengenai

bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi (Pawito, 2007: 35).

Konsep dasar dari penelitian kualitatif ini adalah penelitian yang menghasilkan

prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara

kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif berdasarkan upaya untuk membangun

pandangan yang lebih diteliti rinci dan dibentuk dari rangkaian kata- kata (Moleong,

2010: 6).

Karakteristik penelitian kualitatif menurut Pawito yaitu:

Tabel 1

Karakter Penelitian Kualititatif

Orientasi Orientasi pada kasus dan konteks, seperti sifat unik, lain,

urgent, menakjubkan, atau memilukan.

Tujuan Memberikan gambaran atau pemahaman mengenai gejala

dan membuat teori

Penggunaan

Bukti Empirik

Menekankan pada materi diskursif serta konversi ke

dalam materi diskursif dari materi nondiskursif.

Sifat Analisis Bersifat siklis dan fleksibel dan sangat memperhatikan

konteks yang ada berkenaan dengan kategori yang

dipakai.

Prosedur Bersifat eklektif, subjektif (atau intersbujektif), cenderung

interpretif namun tetap memakai triangulasi

Sumber: Pawito (2007 : 44)

Page 30: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

2. Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Majalah Horas yang

diterbitkan oleh PT Rupaloan. Pemilihan Majalah Horas sebagai objek penelitian

dikarenakan Majalah Horas merupakan media yang bersifat lokal dan kedaerahan.

Penelitian seputar media- media lokal pun sampai saat ini belum terlalu banyak, sehingga

peneliti menganggap karakteristik Majalah Horas ini menarik untuk diteliti.

Pernyataan Siebert & Peterson seperti dikutip oleh Titus Febrianto (2011) dalam

When Local Fights Global: A Case Study of the Survival of Javanese Local-Language

Magazine in Indonesia, menyatakan bahwa terkait bahasa daerah dan budaya merupakan

tanggung jawab sosial yang harus diemban oleh media lokal.

As mentioned the numbers of publications even have been increasing

significantly after reformation. Nevertheless, almost all are merely inclined to

industry and profit oriented businesses. So few, if anything, which are still

withholding what so-called social responsibility of the press ( Siebert&

Peterson, 1956). Language and culture preservation is one of those social

responsibilities that media could undertake. In order to compromise with

market competition, they uphold strategies of maintaining relations with

readers, embracing intervention from outside sources, keeping innovating, and

avoiding speculation. Nevertheless, in the increasingly competitive media

industry, idealism solely is not enough. Further negligence towards those

magazines is an ironic tragedy. Indonesia is prominently rich not only for its

resources, but also cultures. It requires public concerns and collective efforts,

and government support especially, to preserve it.

Konten dari Majalah Horas sebagian besar berisi seputar suku Batak, mulai dari adat,

pelestarian budaya, politik, hingga berita seputar orang- orang Batak. Media lokal seperti

Majalah Horas ini menarik untuk diteliti mengingat unsur budaya dan lokal yang

diangkatnya. Majalah Horas menjawab kebutuhan informasi akan suku Batak di daerah,

juga tidak lepas dari konteks sosial dan budaya seperti yang diharapkan pula oleh

pembacanya.

Page 31: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

3. Teknik Sampling

Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling.

Penggunaan jenis sampling ini karena sampel dipilih sesuai dengan karakteristik tertentu

yang dianggap mempunyai kaitan dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui

sebelumnya (Ruslan, 2006: 157).

Pemilihan teknik sampling ini dikarenakan hanya dibutuhkan sebagian teks berita

yang berkaitan dengan tema penelitian dari keseluruhan teks yang ada dalam periode

terbit majalah tersebut. Pemilihan sampel ini dilakukan untuk memperoleh berita- berita

seputar suku Batak dan yang memiliki tema beragam, sehingga dapat menghasilkan

representasi yang berbeda dari hasil analisis terhadap beragam tema yang muncul.

Pemilihan sampel dilakukan pada Majalah Horas periode April- Juni 2013, dan

kemudian menyeleksi berita- berita seputar suku Batak. Setelah itu berita yang sudah

diseleksi dipilih dan dikategorikan sesuai dengan tema masing- masing berita. Dari hasil

seleksi berita tersebut, maka muncullah sampel berita sebanyak 16 dan terbagi ke dalam

5 kategori tema.

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis,yaitu:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Majalah Horas

edisi April- Juni 2013. Pemilihan edisi ini dikarenakan dianggap peneliti cukup

representatif menggambarkan berita keseluruhan Majalah dan objektif. Selain itu,

pada edisi April- Juni 2013 terdapat cukup banyak berita seputar suku Batak dengan

tema yang beragam dan sesuai dengan kriteria seleksi penelitian ini.

Page 32: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kajian

kepustakaan dan wawancara. Untuk kajian pustaka, peneliti menggunakan beragam

buku dan jurnal yang sesuai dengan penelitian ini sebagai acuan dan data penelitian.

Sementara wawancara, dilakukan terhadap pemimpin redaksi Majalah Horas guna

mendapat gambaran umum seputar Majalah Horas.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif digunakan bila data- data yang terkumpul dalam riset adalah

data kualitatif, dan riset kualitatif adalah riset yang menggunakan cara berpikir induktif

yakni cara berpikir yang berangkat dari hal- hal yang khusus (fakta empiris) menuju hal-

hal yang umum (tataran umum). Pada dasarnya, analisis data dalam penelitian

komunikasi kualitatif dikembangkan dengan maksud hendak memberikan makna

terhadap data dengan cara menafsirkan, atau mentransformasikan data ke dalam bentuk-

bentuk narasi yang kemudian mengarah pada temuan yang bernuansakan proposisi-

proposisi ilmiah yang akhirnya sampai pada kesimpulan- kesimpulan final (Pawito,

2007: 101).

Analisis framing merupakan sebuah analisis yang difokuskan pada komentar-

komentar yang bersifat menginterpretasi sebuah konten sebuah teks komunikasi.

Komentar interpretatif tersebut biasanya muncul di sekeliling isi manifes dari sebuah

teks komunikasi (Sobur, 2006: 3).

Konsep dari analisis framing yaitu cara memilih dan meniadakan berita yang akan

ditampilkan. Jadi, ada unsur pemilihan mana berita yang akan ditampilkan, dan berita

mana yang tidak akan ditulis. Oleh karena itu, media sebenarnya tidaklah bebas dalam

memberitakan realitas. Media justru mengkonstruksi kejadian yang ada dengan

Page 33: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

sedemikian rupa, hingga tak heran jika ada media yang mengorek sebuah berita

berulang-ulang. Satu realitas bisa dijadikan beragam sudut pandang oleh seluruh media.

Media memilih peristiwa mana yang layak diberitakan, dan peristiwa mana yang tak

layak diangkat jadi berita (Eriyanto, 2002: 2).

Framing digunakan untuk mengetahui bagaimana kontruksi realitas sosial yang

dibingkai oleh media. Pengkonstruksian tersebut juga sekaligus pemberian makna

tertentu pada realitas sosial yang terjadi. Inti dari konsep analisis framing adalah

bagaimana cara sebuah media dalam memahami dan menampilkan realitas serta

memaknainya, dan juga dengan cara seperti apa realitas tersebut dihadirkan kepada

khalayak (Eriyanto, 2002: 3).

Seperti yang diutarakan Gamson dalam konsep framingnya yang diambil dari Sudibyo

(1999a:24-27), ada dua pendekatan yang terbagi menjadi pendekatan kultural dan

pendekatan psikologis. Pendekatan kultural merupakan konsep framing yang ada dalam

level kultural dimana frame merupakan batasan wacana dan elemen konstitutif yang

menyebar dalam konstruksi wacana. Sementara pendekatan psikologis ada pada level

individu dengan dasar bahwa setiap individu mampu berpikir dan mengambil keputusan

berdasarkan pertimbangan yang dipikirkan dengan sadar juga mampu berpikir rasional

dan intensional (Sobur, 2006: 172).

Model analisis framing yang digunakan adalah dari Zhongdan Pan dan Gerald M.

Kosicki (selanjutnya disebut dengan Pan dan Kosicki). Model framing dari Pan dan

Kosicki ini mereka definisikan sebagai sebuah proses untuk membuat sebuah pesan

menjadi lebih menonjol dengan memposisikan informasi sedemikian rupa sehingga

perhatian khalayak lebih tertuju pada informasi tersebut.

Page 34: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

Dalam konsep Pan dan Kosicki, framing terbagi ke dalam empat struktur besar yaitu

sintaksis, skrip, tematik, dan retoris (Eriyanto, 2002: 255).

1. Sintaksis

Sintaksis berarti susunan kata atau frasa dalam sebuah kalimat.Pada sebuah

berita, sintaksis ini merujuk pada bagian- bagian berita. Struktur yang paling umum

yang dkenal dalam sebuah berita ialah yang terdiri dari judul headline, lead, episode,

latar dan penutup atau yang biasa dikenal dengan susunan piramida terbalik.

a. Headline. Dalam sintaksis, headline memegang peranan yang amat penting

karena dalam headline lah terlihat kecenderungan sebuah berita. Headline

memegang kendali atas framing sebuah berita, karena dari situlah ia mampu

memengaruhi sebuah cerita hingga bisa dimengerti. Wartawan menggunakan

headline untuk mengkonstruksi isu dengan cara menonjolkan makna tertentu

melalui pemakaian tanda tanya untuk mengetahui adanya perubahan dan tanda

seru untuk memperlihatkan adanya jarak perbedaan.

b. Lead. Lead biasanya memuat sudut pandang dari sebuah berita sehingga pembaca

dapat mengerti perspektif media dari peristiwa yang diliput.

c. Latar. Pada bagian ini, wartawan dapar mempengaruhi pembaca melalui makna

yang ingin ditampilkannya. Latar yang dipilih dan kemudian dituliskan wartawan

akan menggiring khalayak ke arah mana sesuai yang diinginkan sang wartawan.

d. Kutipan. Cara mengutip dari sumber berita dibangun dengaan objektivitas dimana

ada prinsip keseimbangan dan tidak memihak kepada pihak manapun yang

terlibat dari sebuah peristiwa. Dari cara pengutipan ini, semakin menguatkan

bahwa berita yang dimuat bukan hanya berdasarkan pendapat sang wartawan

saja, melainkan juga dari pihak lain yang mempunyai otoritas dalam kasus

tersebut.

Page 35: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

1. Skrip

Skrip merupakan cara wartawan dalam menceritakan fakta- fakta yang

dirangkainya menjadi sebuah berita. Fakta yang ada diambil wartawan dan

kemudian ditempatkan pada bagan berita. Bentuk umum dari struktur skrip

mengandung 5W+1H yaitu who, what, when, where, dan why. Unsur kelengkapan

berita ini menjadi penting dalam framing. Dengan cara bercerita tertentu maka

khalayak diberikan informasi sesuai dengan salah satu unsur 5W+1H yang

diangkat, misalnya ketika unsur who yang dibahas, maka wartawan

menginginkan khalayaknya untuk mengetahui siapa dalang dibalik peristiwa

tersebut.

2. Tematik

Struktur tematik ini dapat dicermati dari gaya menulis wartawan, dengan cara

bagaimanakah sebuah peristiwa dibahas oleh seorang wartawan, dan bagaimana

seorang wartawan menuliskan fakta- fakta yang ada.

3. Retoris

Retoris menggambarkan pilihan gaya atau kata yang digunakan oleh wartawan

untuk menuliskan berita dengan menonjolkan sebuah makna. Biasanya, perangkat

retoris ini dipakai oleh wartawan untuk membentuk citra, dan meningkatkan sisi

tertentu yang ingin ditonjolkan serta meningkatkan gambaran dari sebuah berita.

Struktur retoris ini juga dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan

sebuah berita adalah fakta dan benar, dan tidak hanya sekedar kalimat yang

persuasif.

Page 36: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

Dalam struktur retoris, unit- unit yang diamati meliputi leksikon, metafor, dan

grafis.

- Leksikon melihat cara pemilihan dan pemakaian kata yang digunakan

wartawan dalam menyampaikan fakta.

- Penggunaan kata kiasan ini disebut juga dengan metafor. Dengan

menggunakan pemilihan kata- kata ini secara ideologis menunjukkan

pemaknaan wartaean terhadap fakta tersebut. Sering pula metafor ini

menggunakan kata- kata yang diperhalus, yang biasanya disebut

eufemisme.

- Grafis yaitu unsur yang ada dalam bagian tulisan yang terlihat dibedakan dari

tulisan lainnya. Misalnya dengan penggunaan tulisan cetak miring, huruf

tebal, penambahan gambar ataupun grafik. Penggunaan jenis huruf yang

dibedakan tadi beserta penambahan unsur penjelas lainnya biasanya

digunakan untuk menekankan pentingnya bagian tersebut kepada khalayak.

Kerangka Framing model Pan dan Kosicki tadi dapat disimpulkan dalam tabel

berikut (Eriyanto, 2002: 256) :

Tabel 2

Kerangka Framing Model Pan dan Kosicki

STRUKTUR PERANGKAT

FRAMING

UNIT YANG

DIAMATI

SINTAKSIS

Cara wartawan menyusun

1. Skema berita Headline, lead, latar

informasi, kutipan,

Page 37: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

fakta sumber, pernyataan,

penutup.

SKRIP

Cara wartawan

mengisahkan fakta

2. Kelengkapan berita 5W+ 1H

TEMATIK

Cara wartawan

menuliskan fakta

3. Detail

4. Koherensi

5. Bentuk Kalimat

6. Kata Ganti

Paragraf, proposisi

RETORIS

Cara wartawan

menekankan fakta

7. Leksikon

8. Grafis

9. Metafor

Kata, idiom, gambar/

foto, grafik

Sumber: Sobur, 2001:176

6. Teknik Pengumpulan Data

Pawito (2007: 96) menuliskan bahwa data penelitian komunikasi kualitatif secara

umum berbentuk informasi kategori substantif yang sulit untuk dinumerasikan.

Umumnya data penelitian komunikasi kualitatif ini dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis

yakni: a). Data dari hasil interview, b). Data hasil observasi, c). Data dari dokumen, teks,

atau karya seni yang dinarasikan.

Sementara Moleong (2010: 157) mengungkapkan ada 4 jenis data yaitu: a). Kata- kata

dan tindakan orang yang diamati, b). Sumber data tertulis, c) foto, d). Statistik.

Berdasarkan kajian- kajian tersebut, peneliti mengumpulkan data penelitian, maka

peneliti ini menggunakan teknik sebagai berikut:

a. Dokumen

Page 38: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Mengumpulkan seluruh teks berita Majalah Horas yang terbit pada periode April

hingga Juni 2013. Periode April- Juni 2013 ini merupakan salah satu periode yang

representatif akan kesuluruhan berita- berita di Majalah Horas dan juga terdapat

banyak berita seputar suku Batak yang sesuai dengan kriteria penelitian.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap pemimpin redaksi sekaligus perintis Majalah

Horas yaitu Ampuan Situmeang.

7. Validitas Data

Lexy J. Moleong (2010: 320) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif sejak

awal telah ada dasar untuk meningkatkan kepercayaan pada hasil data, dalam hal ini

dinamakan keabsahan data. Pemeriksaan terhadap keabsahan data (validitas) ini

dilakukan untuk mengembalikan sanggahan yang diarahkan pada penelitian kualitatif

yang dianggap tidak ilmiah. Selain itu, pemeriksaan keabsahan data ini merupakan salah

satu unsur yang melekat dalam kesatuan tubuh penelitian kualitatif. Dapat diartikan pula

bahwa jika peneliti melakukan pemeriksaan keabsahan data ini dengan cermat sesuai

dengan teknik yang tepat, maka hasil penelitiannya dapat benar- benar

dipertanggungjawabkan dari berbagai aspek.

Salah satu cara validasi data adalah dengan teknik triangulasi data. Triangulasi

merupakan teknik validitas data ini menggunakan sesuatu yang ada di luar data

penelitian untuk pengecekan atau sebagai bahan pembanding terhadap data penelitian.

Denzin dalam Moleong (2010: 330) menyebutkan ada 4 macam triangulasi, yaitu dengan

menggunakan sumber, metode, penyidik, dan teori.

- Triangulasi sumber yaitu triangulasi data yang membandingkan dan mengecek

kembali derajat kepercayaan informasi yang didapatkan dengan alat dan dalam waktu

Page 39: A. Latar Belakang - digilib.uns.ac.id fileperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kultur. Orang Bruner nasional. commit to user 16 Dengan demikian, proses interaksi antarbudaya yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

yang berbeda. Teknik ini dapat dilakukan dengan cara: 1) Membandingkan data hasil

pengamatan dengan hasil wawancara, 2) Membandingkan yang dikatakan orang di depan

umum dengan yang dikatakan secara pribadi, 3) Membandingkan apa yang dikatakan

orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikomentari mengenai keseluruhan

waktu, 4) Membandingkan keadaan dan persepektif melalui orang yang berbeda- beda,

5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan dengan

penelitian.

- Triangulasi dengan metode. Sistem ini dilakukan dengan cara: 1) Mengecek derajat

kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan 2)

Mengecek beberapa sumber data menggunakan metode yang sama.

- Triangulasi dengan peneliti yang berbeda. Cara ini menggunakan peneliti lainnya

untuk mengecek kembali derajat kepercayaan data sedang diteliti. Menggunakan peneliti

yang berbeda ini setidaknya dapat meminimalisir kesalahan atau melesetnya

pengumpulan data.

- Triangulasi teori yaitu dengan menggunakan usaha pencarian cara yang lain untuk

dapat mengusahakan organisasi data yang bisa saja mengarahkan kepada penemuan

penelitian lainnya. Hal ini disebut dengan penjelasan banding atau rival explanation.

Dapat pula memikirkan kemungkinan logis yang lain dan melihat apakah kemungkinan

yang dihasilkan tersebut dapat ditunjang dengan data.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis triangulasi sumber. Peneliti

menggunakan beragam sumber data sehingga memperoleh data sehubungan dengan hal

yang sama. Sehingga data yang diperoleh dari satu sumber dapat diuji atau dibandingkan

dengan data lainnya. Peneliti menggunakan kajian pustaka dari buku-buku dan juga

mencocokkan data yang diperoleh dengan jurnal yang terkini. Selain itu peneliti pun