Upload
letu
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP
PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12
TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
DI POLRESTA SURAKARTA
(Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
SISWANTO E.1104198
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP
PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12
TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
DI POLRESTA SURAKARTA
(Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III)
Disusun oleh :
SISWANTO E.1104198
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
KRISTIYADI, S.H. M.Hum NIP. 19581225 198601 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12
TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI POLRESTA SURAKARTA
(Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III)
Disusun oleh :
SISWANTO NIM. E.1104198
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari : Selasa Tanggal : 18 Januari 2011
TIM PENGUJI 1. Edy Herdyanto, S.H.,M.H (…………………………….) NIP : 19570629 198503 1 002 2. Bambang Santoso, S.H.,M.Hum (…………………………….) NIP : 19620209 198903 1 001 3. Kristiyadi, S.H.,M.Hum (…………………………….) NIP : 19581225 198601 1 001
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, S.H. M.Hum NIP. 19610930 198601 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
M O T T O
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
(Q.S Alam Nasyrah: 6-8)
“Berhenti berusaha adalah tidak lebih baik dari pada seorang pengecut” ( Penulis )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan sebuah tulisan sederhana ini sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih kepada :
Allah SWT, Atas segala karunia rahmat dan nikmat yang telah
diberikan-Nya
Ibuku dan Bapakku, Trima kasih atas semua waktu dan semua
kasih sayang yang Kau curahkan padaku.
Keluarga besarku dan saudaraku atas Keceriaan dan Semangat
yang diberikan
Sahabat-sahabatku di civitas akademika FH UNS
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan, pembawa terang di alam nyata dan sumber
dari segala-Nya. Pemilik segala cinta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan
karunia kepada kita. Dengan terselesainya Penulisan Hukum (Skripsi) dengan
judul ”ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP
PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12
TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI POLRESTA
SURAKARTA (Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III)”.
Penulisan hukum ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu
persyaratan untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juga menambah wawasan atau
pengetahuan setiap pembaca karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa,
terselesainya penulisan hukum ini karena bantuan, bimbingan, petunjuk,
dukungan moral dan spiritual dari berbagai pihak yang selalu diberikan
kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.
Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Syamsulhadi, dr. Sp., KJ. Selaku Rektor Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Mohammad. Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan
kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Kristiyadi, S.H.,M.Hum, Selaku Dosen Hukum Acara Pidana,
sekaligus sebagai dosen pembimbing penulisan skripsi ini yang telah
menyediakan waktu dan pikiranya untuk memberikan bimbingan dan arahan
bagi tersusunya skripsi ini.
4. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H, Selaku Ketua Bagian Acara, atas nasehat
yang berguna bagi penulis selama belajar di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
5. Bapak Bambang Santoso, S.H.,M.Hum, Selaku Dosen Hukum Acara Pidana,
atas nasehat yang berguna bagi penulis selama belajar di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah
memberikan ilmu kepada penulis, sehingga dapat menjadi bekal dalam
penulisan skripsi ini.
7. Kompol Nana Sudjana selaku Kapolresta Surakarta yang telah memberikan
ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Polresta Surakarta.
8. Brigadir Herawan Prasetyo Budi, SH. selaku Penyidik Pembantu yang telah
memberikan bimbingan, bantuan, waktu, tenaga, pikiran dan pelayanan
terbaiknya, dalam memberikan informasi yang penulis butuhkan, sehingga
dapat mempermudah dalam penulisan skripsi ini.
9. AKP Sri Wahyuni selaku Kanit PPA yang telah meluangkan waktu dan
kesempatan kepada penulis untuk membimbing dan memberikan informasi
yang penulis butuhkan demi penyusunan skripsi ini.
10. Kedua orang tuaku yang telah mendidik, mengorbankan semuanya demi anak-
anaknya, doa, cinta, kasih sayang dan ridho kalian menjadi kekuatan dan bekal
dalam menjalankan kehidupan ini.
11. Keluarga besarku, terima kasih atas perhatian, nasehat, dukungan, doa, dan
pengorbanannya selama ini.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan penulisan
hukum ini, dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini belum sempurna, kritik dan
saran membangun atas penulisan hukum ini senantiasa penulis harapkan demi
perbaikan dan kemajuan penulis di masa datang. Penulis berharap penulisan
hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang membacanya.
Surakarta, Januari 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
MOTTO .............................................................................................................. iv
PERSEMBAHAN ............................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x
ABSTRAK .......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 6
E. Metode Penelitian........................................................................ 6
1. Jenis Penelitian .................................................................... 6
2. Sifat Penelitian ..................................................................... 6
3. Lokasi Penelitian ................................................................. 7
4. Data dan Sumber Data ......................................................... 7
5. Metode Pengumpulan Data.................................................. 8
6. Metode Analisis Data .......................................................... 9
F. Sistematika Skripsi...................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori............................................................................ 12
1. Tinjauan tentang Penyelidikan dan Penyidikan ..................... 12
a. Penyelidikan ...................................................................... 12
b. Tinjauan tentang Penyidikan .............................................. 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
c. Beberapa Upaya yang Dimiliki Penyidik dalam
Penyidikan .......................................................................... 15
d. Hubungan antara Penyelidikan dan Penyidikan ................ 17
e. Pejabat Penyidik ................................................................ 17
f. Kepangkatan Penyidik ....................................................... 19
g. Alasan-alasan Diadakannya Penyidikan ............................. 19
h. Tindakan Penyidikan .......................................................... 12
i. Tinjauan Tentang Penghentian Penyidikan ........................ 21
2. Tinjauan tentang Anak ........................................................... 25
a. Pengertian Anak ............................................................... 25
b. Pertanggungjawaban Pidana Anak ................................... 29
c. Tersangka Anak ................................................................. 34
3. Tinjauan tentang Undang-undang Darurat Nomor 12Tahun
1951........................................................................................ 36
B. Kerangka Pemikiran .................................................................... 39
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Tindak Pidana yang
Dilakukan Oleh Anak di Polresta Surakarta dalam Perkara No
Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III .............................................. 41
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Penghentian Penyidikan
terhadap Pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang Darurat No 12
Tahun 1951 yang Dilakukan Anak Kasus Perkara No Pol.
A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III...................................................... 56
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ..................................................................................... 59
B. Saran-saran .................................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
Hal.
1. Teknik Analisis Data ................................................................................. 9
2. Kerangka Berpikir ..................................................................................... 39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
ABSTRAK
SISWANTO. E. 1104198. ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 12 TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI POLRESTA SURAKARTA (Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum (Skripsi). 2011.
Penulisan Hukum ini bertujuan mengetahui pelaksanaan penyidikan dan penghentian penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Polresta Surakarta dalam perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III serta faktor-faktor penyebabnya.
Penelitian Hukum ini merupakan penelitian hukum empiris bersifat deskriptif. Lokasi penelitian di Polresta Surakarta. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui wawancara dan penelitian kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, internet dan sebagainya. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif dengan model interaktif.
Hasil pengujian terhadap dua permasalahan diketahui bahwa, Pertama, pelaksanaan penyidikan, terlebih dulu dilakukan penyelidikan guna menentukan kebenaran terhadap tindak pidana yang terjadi. Penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana didasarkan pada UU No. 3 Tahun 1997 dan KUHAP. Dalam kasus yang diangkat dalam penelitian ini telah melanggar Pasal 2 Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yaitu menyimpan, memiliki dan membawa senjata tajam jenis Pisau pemotong daging. Dengan demikian polisi telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Kedua, faktor yang menyebabkan penghentian penyidikan yaitu Faktor yang menyebabkan penghentian penyidikan yaitu meskipun tersangka kedapatan bukti yang sah, akan tetapi barang bukti yang berupa senjata tajam jenis pisau pemotong daging tersebut belum pernah dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Menurut penulis, sebenarnya perbuatan membawa senjata tajam jenis pisau pemotong daging tersebut merupakan suatu tindak pidana, akan tetapi dalam hal ini polisi menggunakan diskresi yaitu menyangkut kebijaksanaan untuk pengambilan suatu keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
ABSTRACT SISWANTO. E. 1104198. ANALYSIS OF INVESTIGATION AND TERMINATION OF INVESTIGATION ON VIOLATION OF ARTICLE 2 EMERGENCY ACT NUMBER 12 YEAR 1951 WHICH IS DONE BY CHILDREN IN POLRESTA SURAKARTA (Case study of Pol. Number A/LP/1933/XII/2009/SPL.III). FACULTY OF LAW SEBELAS MARET UNIVERSITY, Law Writing (Thesis). 2011.
This Law Writing has a purpose to know the carrying out of investigation and termination of investigation on crime is which done by children in Polresta Surakarta in case Pol. Number A/LP/1933/XII/2009/SPL.III and the cause of this. This Law Research is an empiric and descriptive law research. The Location of research is in Polresta Surakarta. Data collection technique which is used is by interview and literature research of books, legislation act rules, document, internet and so on. Analysis of data is used qualitative data analysis with interactive model. The results on two problems to be known that, Firstly, the carrying out of investigation, there is investigation conducted to determine the validity of related crime. Investigation on children which is accused in crime is based on UU No.3 Year 1997 and KUHAP. In the case which is taken in this research has been violated article 2 emergency act number 12 year 1951 that is, keeping, having and carrying a kind of blade which is butcher knife.So the police founded the adequate first prove to follow up to investigation. Secondly, the factor causing the termination of investigation is although the suspected have been proven, but the object of evidence which of the sharp knife for cutting meal never used to doing a crime.In my opinion, the act carry on the sharp knife for cutting meal is the crime but in these case the police consider.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Laju pertumbuhan penduduk yang pesat yang tidak sebanding dengan
peningkatan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan banyaknya pengangguran.
Sulitnya mencari pekerjaan dan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat
mengakibatkan penurunan kualitas hidup masyarakat, peningkatan jumlah
anak putus sekolah, hal-hal tersebut mendorong munculnya berbagai tindak
kriminalitas.
Terlebih adanya indikasi kurang efektif dan efisiennya
penanggulangan tindak pidana terutama tindak pidana-tindak pidana yang
dilakukan oleh anak-anak. Dari survei awal yang dilakukan penulis di wilayah
Polresta Surakarta bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak
cenderung meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Data sementara
menunjukkan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan berbagai
aktivitasnya menunjukkan perubahan yang cukup berarti pada 2006 jumlah
anak yang melakukan tindak pidana sebanyak 58 orang, 2007 sebanyak 87
orang, tahun 2007 mencapai 117 orang.
Jumlah anak-anak yang melakukan aktivitas di jalan cenderung
meningkat dengan pesat, indikasi tersebut terlihat dengan jelas dengan
meningkatnya aktivitas anak-anak dijalanan dengan bermacam-macam
varian, mengemis, mengamen di “Traffic Light”, meminta-minta, menjual
plastik di pasar dan lain-lain. Data Komisi Perlindungan Anak di Kota
Surakarta sepanjang 2008 terdapat 31 kasus anak yang berarti ada penurunan
dari 2007. Sedangkan di 2009 ada 28 kasus anak berhadapan dengan hukum
dengan ditambah 12 kasus yang belum terselesaikan di 2008 dan 39,9 % di
antaranya berakhir di penjara, sedangkan sisanya dikembalikan kepada orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
tua atau walinya untuk dibimbing dan dibina (Data Komisi Perlindungan Anak
di Kota Surakarta, 2010).
Salah satu perkara yang melibatkan anak-anak tersebut adalah yang
akan dikaji dalam penelitian ini yaitu hasil pemeriksaan terhadap seorang laki-
laki WAHYU ARIANTA als KENCHU dalam perkara tindak pidana
Menyimpan, memiliki dan membawa senjata tajam jenis Pisau pemotong
daging, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Darurat No. 12
Tahun 1951 yang dirumuskan:
Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
Hal-hal tersebut dapat memicu terjadinya tindak kriminal karena
kurangnya pembinaan, pengawasan dari orang tua, wali, maupun pengasuh.
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas
dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa yang
ber-Bhineka Tunggal Ika, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial
serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan
mereka di masa depan.
Semua jenis kejahatan atau tindak pidana untuk mengungkapnya perlu
dilakukan penyidikan, baik yang pelakunya orang dewasa maupun masih
tergolong anak. Dalam proses penyidikan kemungkinan tidak dapat ditemukan
bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa tersangka melakukan tindak
pidana, maka demi hukum tersangka, baik itu orang dewasa maupun masih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
tergolong anak harus dibebaskan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 109 ayat 2
KUHAP yang menegaskan adanya pemberian wewenang kepada penyidik
untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Undang-undang telah
menyebutkan secara limiatif alasan-alasan yang dapat dipergunakan penyidik
sebagai dasar penghentian penyidikan. Penyebutan atau penggarisan alasan-
alasan tersebut adalah penting, guna menghindari kecenderungan negatif pada
diri penyidik. Dengan penggarisan ini, undang-undang mengharapkan supaya
di dalam mempergunakan wewenang penghentian penyidikan, penyidik
mengujikannya kepada alasan-alasan yang telah ditentukan. Tidak semaunya
akan memberikan landasan perujukan bagi pihak yang merasa keberatan atas
sah tidaknya penghentian penyidikan menurut hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan
pengertian yang tersendiri mengenai penghentian penyidikan. Dalam Pasal
109 ayat (2) KUHAP dijelaskan tentang alasan penghentian penyidikan atau
penuntutan, berikut kutipan pasal tersebut
”Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan penyidik dihentikan demi hukum, maka penyelidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya” (Pasal 109 Ayat 2 KUHAP).
Dengan begitu undang-undang hanya menyebutkan tentang batasan alasan
yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan.
Menurut M Yahya Harahap (2000: 147-149) dari pasal tersebut dapat
dijelaskan bahwa alasan penghentian penyidikan terdiri dari:
a) Tidak diperoleh bukti yang cukup
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
b) Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana
Apabila hasil dari pemeriksaan dan penyidikan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran atau kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. Dan suatu keharusan bagi penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan.
c) Penghentian penyidikan demi hukum
Penghentian atas dasar ini pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hapusnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dalam dirumuskan dalam ketentuan Pasal 76, 77, 78, dan seterusnya.
Mencermati maraknya tanggapan masyarakat mengenai anak yang
melakukan tindak pidana, sehingga diundangkan undang-undang yang
memberikan proteksi dan perlindungan bagi anak yaitu Undang-Undang
Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan anak memiliki kaitan dengan permasalahan yang komplek dan
tidak bisa diselesaikan hanya sebatas secara perseorangan, tetapi harus
ditangani oleh semua pihak secara bersama-sama. Di dalam undang-undang
ini diatur tentang hukum pidana anak yang secara umum diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, dalam undang-undang ini mengatur
pula tentang perlindungan hak-hak anak yang menjadi tersangka dalam tindak
pidana, karena peradilan pidana untuk anak bukanlah semata sebagai
penghukum, tetapi untuk perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan
anak serta mencegah pengulangan tindakan dengan menggunakan pengadilan
yang konstruktif. Dalam hal anak yang melakukan tindak pidana terdapat
kebijakan kepolisian tersendiri dalam menanganinya, karena anak masih
menjadi tanggung jawab orang tua dalam hal bimbingan dan binaan. Sehingga
anak yang melakukan pidana yang diperkirakan tidak berat dan tidak
merugikan negara, maka dapat dilakukan penghentian penyidikan dengan
berbagai alasan dan pertimbangan.
Dalam hubungannya dengan prosedur penyidikan dan penghentian
penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak, maka judul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dalam Skripsi ini adalah ANALISIS TENTANG PENGHENTIAN
PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN PASAL 2 UNDANG-
UNDANG DARURAT NO 12 TAHUN 1951 YANG DILAKUKAN
ANAK (Studi Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III)
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Suatu penelitian diperlukan ketegasan mengenai obyek, materi, metode
dan tujuan penelitian dalam suatu pembatasan masalah untuk membimbing
peneliti mengumpulkan data dan menganalisis data, sehingga diperoleh
kesimpulan yang relevan dengan tujuan penelitian. Penelitian ini dibatasi pada
penyelesaian penyidikan dan penghentian penyidikan atas perkara tindakan
pidana yang dilakukan oleh anak.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan
pokok-pokok permasalahan penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak di Polresta Surakarta dalam perkara No Pol.
A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penghentian penyidikan
terhadap pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951
yang dilakukan anak dalam perkara No Pol. A/LP/1933/XII/
2009/SPK.III?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana
yang dilakukan oleh anak di Polresta Surakarta dalam perkara No Pol.
A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan penghentian
penyidikan terhadap pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang Darurat No
12 Tahun 1951 yang dilakukan anak dalam perkara No Pol.
A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
2. Tujuan Subyektif
Sebagai bahan untuk menyusun skripsi guna memenuhi persyaratan
memperoleh gelar sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hasil penelitian ini dimaksudkan
sebagai bahan masukan pemikiran pada Polresta Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a. Memberikan penjelasan kepada semua pihak tentang penyidikan dan
penghentian penyidikan terhadap pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang
Darurat No 12 Tahun 1951 yang dilakukan anak dalam perkara No
Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III di Polresta Surakarta.
b. Memberikan penjelasan kepada semua pihak tentang alasan mendasar
penghentian penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
anak.
2. Manfaat teoritis
Dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya
kesadaran dan kepatuhan terhadap pentingnya melaksanakan tertib hukum,
kewajiban, kepatuhan dan kesadaran hukum di bidang lalu lintas. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian
berikutnya yang sama atau hampir sama.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum
empiris atau sosiologis. Penelitian hukum sosiologis/empiris
mengungkapkan hukum yang hidup (law in action) dalam masyarakat
melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam memperoleh
data dari data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat
sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, baik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
dilakukan melalui pengamatan, wawancara ataupun penyebaran kuesioner
(Soerjono Soekanto, 1984).
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum deskriptif, penelitian
deskriptif adalah ”penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data
yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gajala lainya.
Dalam hal ini yaitu termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk mempertegas
hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori
lama, atau didalam kerangka menyusun teori baru” ( Soerjono Soekanto,
2005 : 10)
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Surakarta tepatnya pada Polresta
Surakarta, Pemilihan lokasi ini dipertimbangkan karena di Polresta
Surakarta terdapat data cukup lengkap termasuk kasus-kasus yang
berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Selain itu pula pihak Polresta
Surakarta telah memberikan ijin kepada penulis, untuk mengumpulkan
data guna menyusun skripsi ini.
4. Data dan Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah nara sumber yang diperoleh secara
langsung di lapangan. Dalam hal ini sumber data primernya atau nara
sumber adalah pihak yang terkait secara langsung dengan
permasalahan yang diteliti dan dapat memberikan sejumlah data atau
keterangan. Sumber data penelitian ini adalah anggota penyidik
Polresta Surakarta dan petugas Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA)
Polresta Surakarta.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah sejumlah
data yang meliputi keterangan yang diperoleh melalui studi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
kepustakaan. Dalam hal ini meliputi buku-buku, berbagai macam
peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan
dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini terdapat
materi penelitian yang dijadikan pokok pembahasan dan menentukan
identifikasi data. Adapun materi penelitian ini meliputi :
1) Bahan Hukum Primer
Adapun bahan hukum primer penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
c) Undang-undang Darurat No 12 Tahun 1951 tentang Mengubah
Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948
Nomor 17) dan Undang-undang Republik Indonesia Dahulu
Nomor 8 Tahun 1948
d) Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
e) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI
b. Bahan Hukum Sekunder
Adalah bahan hukum yang berkaitan tentang penyidikan dan
penghentian penyidikan atas perkara tindak pidana yang dilakukan
oleh anak dalam perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III
yang ditangani oleh Polresta Surakarta yang dapat berupa berkas
pemeriksaan, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil
Penyidikan (SP2HP).
c. Bahan Hukum Tertier
Adalah bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, yakni kamus hukum, kamus besar bahasa
Indonesia.
5. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
a. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan digunakan untuk mendapatkan data primer,
yakni dengan mengadakan penelitian langsung dilapangan terhadap
gejala-gejala dan pencatatan secara sistematik. Adapun teknik ini
dengan menggunakan teknik wawancara, yakni teknik pengumpulan
data dimana peneliti mengadakan wawancara yang terarah kepada
pelaku dan saksi perkara tindak pidana yang dilakukan anak dan juga
pada pihak penyidik Polresta Surakarta, kemudian mencatat jawaban
yang diberikan, baik lisan maupun tulisan, berpedoman pada daftar
pertanyaan yang telah dibuat peneliti.
b. Studi Kepustakaan (Library Research)
Disamping itu dalam penelitian ini juga diperlukan data
sekunder yakni data yang didapat dengan cara mempelajari buku-buku
referensi perpustakaan, yakni berupa dokumentasi dan hasil-hasil
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, namun bahannya
memiliki relevansi kuat dengan masalah yang penulis teliti saat ini.
6. Metode Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif. Pengertian analisis kualitatif adalah cara pemilihan yang
menghasilkan data-data deskriptif analisis, yakni “apa yang dinyatakan
responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti
dan dipelajari secara utuh” (Soerjono Soerkanto, 1984: 30).
Penulis memperoleh data-data dari responden secara tertulis
maupun lisan, kemudian dikumpulkan. Untuk selanjutnya dianalisis secara
kualitatif. Langkah berikutnya dicari hubungannya dengan data yang ada
dan disusun secara logis, sistematis dan yuridis.
Hal ini dapat dilihat melalui bagan berikut ini (H.B. Sutopo, 2000: 91-96):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Gambar 1. Teknik Analisis Data (HB. Sutopo, 2000 : 91-96)
F. Sistematika Skripsi
Dalam penulisan laporan penelitian dalam bentuk skripsi akan digunakan
sistimatika skripsi sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini akan disajikan latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II. LANDASAN TEORI
Dalam bab landasan teori ini akan disajikan beberapa teori yang
dijadikan acuan dalam penelitian ini diantaranya pengertian
penyidikan, alasan-alasan diadakannya penyidikan, tindakan
penyidikan, penghentian penyidikan, pengertian anak, tersangka
anak
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Dalam bab ini akan dibahas tentang hasil penelitian diantaranya
tentang pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak di Polresta Surakarta dalam perkara No Pol.
Pengumpulan Data
Kesimpulan atau Verifikasi
Sajian Data Reduksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III. Faktor-faktor yang menyebabkan
penghentian penyidikan terhadap pelanggaran Pasal 2 Undang-
Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang dilakukan anak kasus
perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III.
BAB IV PENUTUP
Bab terakhir dalam penelitian ini adalah berisi simpulan dan
beberapa saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Penyelidikan dan Penyidikan
a. Penyelidikan
Istilah penyelidikan telah dikenal dalam Undang-undang No
11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, namun tidak
dijelaskan artinya. Definisi mengenai penyelidikan dijelaskan oleh
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara
Pidana, Pasal (5): Yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan, penyelidikan
berfungsi untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang
sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta
laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan. Istilah
penyidikan dipakai sebagai istilah yuridis atau hukum pada tahun 2002
yaitu sejak dimuat dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara.
b. Tinjauan tentang Penyidikan
Dalam skripsi ini dikemukakan pengertian-pengertian penyidikan
secara gramatikal serta secara yuridis. Secara gramatikal dalam kamus
besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka cetakan kedua tahun 1989
halaman 837 dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undang-undang
untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata
penyidikan adalah sidik yang berarti periksa, menyidik, menyelidik atau
mengamat-amati. Secara yuridis dalam Pasal 1 butir (2) KUHAP
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
undang ini untuk mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pengertian penyidikan menurut para ahli hukum menyatakan
bahwa penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan
pengertian opsproring (Belanda), investigation (Inggris) atau penyiasatan
atau siasat (Malaysia). Menurut De Pinto sebagaimana dikutip oleh Andi
Hamzah, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh
pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka
dengan jalan apapun mendengat kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada
terjadi sesuatu pelanggaran hukum (Andi Hamzah, 1996).
Menurut UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 1 butir
(2) menentukan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menentukan tersangkanya.
Pekerjaan penyidikan dimaksudkan sebagai suatu persiapan
kearah pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam taraf penyidikan
diharapkan segala kegiatan untuk memperoleh jawaban sementara atas
pertanyaan apakah telah terjadi suatu perbuatan pidana, dan jika demikian
siapa pelakunya, dimana dan dalam keadaan bagaimana perbuatan pidana
itu dilakukan. Apabila dalam penyidikan ini didapat hasil yang diharapkan
dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut di atas maka tindakan
dapat diteruskan dalam ujud penyidikan lanjutan. Penyidikan yang baik
yang hasilnya telah diuji dengan hukum pembuktian menurut undang-
undang, akan sangat membantu pada berhasilnya pekerjaan penuntutan.
Polisi dengan segala kelengkapannya penyidikan dan pengusutannya
diharapkan dapat memperlancar tugas penyelesaian pengajuan perkara
pidana ke pengadilan yang akan dilakukan oleh kejaksaan.
Tugas penyidikan dan tugas penuntutan dalam suatu proses
penyelesaian perkara pada hakekatnya juga menggambarkan bahwa tugas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
penyidikan adalah tidak lain daripada tindakan persiapan tugas penuntutan
(Soehardi, 1993).
Penyidikan dapat berupa pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan,
maupun penahanan orang, yang kesemuanya erat hubunganya dengan hak
asasi seseorang. Memang tidak dapat disangkal lagi, bahwa penyidikan itu
bersifat inquisiator, dalam pemeriksaan tidak dilakukan di muka umum
sebagaimana dalam sidang pengadilan. Sehubungan dengan sifat
inquisitoir dalam penyidikan ini, perlu adanya aturan-aturan untuk
menjaga agar jangan sampai timbul ekses-ekses selama pemeriksaan
dalam penyidikan.
Penyidikan mencakup penyelidikan tindak pidana atau
pengaduan, memanggil, dan memeriksa saksi-saksi termasuk merubah
status penahanan tersangka, menggeledah, menyita, memeriksa surat yang
dalam keadaan tertentu dapat meminta keterangan dari ahli, membuat
resume hasil penyidikan dan memberitahukan penyidikan kepada penuntut
umum.
Sebelum dilakukan kegiatan penyidikan akan dilakukan
penyelidikan, KUHAP memberi pengertian penyelidikan sebagai
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menentukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini. Tugas utama dari penyelidik adalah penerimaan laporan dan
pengaturan serta menghentikan orang yang dicurigai untuk dilakukan
pemeriksaan. Bermula dari pengertian penyelidikan sebagaimana
digariskan pada Pasal 1 angka 5 KUHAP tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa penyelidikan adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat
penyelidik dalam rangka mempersiapkan suatu penyelidikan terhadap
suatu tindak pidana.(Harun 1991)
Hal ini dilatarbelakangi bahwa tidak setiap peristiwa yang terjadi dan
diduga sebagai tindak pidana menampilkan bentuknya secara jelas sebagai
tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut melakukan
penyidikan dengan konsekuensi menggunakan upaya paksa, perlu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
ditentukan terlebih dahulu berdasarkan data atau keterangan yang didapat
dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa yang terjadi tersebut benar
merupakan suatu tindak pidana dan dapat dilanjutkan dengan tindakan
penyidikan. Oleh karena itu M. Yahya Harahap dalam Harun (1991)
mengatakan bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama
permulaan penyidikan, akan tetapi penyelidikan bukanlah suatu tindakan
atau fungsi yang berdiri sendiri terpisah dari penyidikan.
Semua tindakan yang dilakukan dalam rangka proses penyidikan
di atas dibuat secara tertulis yang untuk selanjutnya diberkaskan dalam
satu bendel berkas. Selanjutnya apabila penyidikan dianggap sudah selesai
barulah berkas perkara dikirimkan kepada penuntut umum, berikut
tersangka dan barang bukti. Jika oleh penuntut umum dianggap telah
cukup maka tugas dan wewenang penyidik telah selesai, Sedangkan jika
menurut penuntut umum masih terdapat kekurangan, maka penyidik harus
melengkapi kekurangan tersebut.
c. Beberapa Upaya yang Dimiliki Penyidik dalam Penyidikan
Dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai penyidik diberi
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :
1) Penangkapan
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam KUHAP. Polisi sebagai penyidik berwenang melakukan
penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang
diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pelaksanaan tugas
penangkapan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh penyidik dengan
memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan
menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta
uraian singkat perkara yang dipersangkakan. Tembusan surat perintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan
kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Sedangkan
dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik. Penangkapan dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari,
setelah habis waktu 1 hari (1x24 Jam) maka tersangka wajib
dilepaskan atau dilakukan penahanan. Masa penangkapan tersebut
nantinya dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.
2) Penahanan
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di
tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
KUHAP. Polisi sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan
penuntutan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan
terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau
menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.
Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan
paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama
90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan
daerah hukumnya. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud
habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat
diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan
HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Sedangkan untuk kepentingan
penuntutan penahanan juga dapat dilakukan paling lama 30 (tiga
puluh) hari. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dapat diperpanjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan
Negeri sesuai dengan daerah hukumnya.
3) Pengeledahan
Pengeledahan terdiri dari pengeldahan rumah dan
Pengeledahan Badan. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik
untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya
untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP,
sedangkan Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk
mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk
mencari benda yang didup keras ada pada badannya atau dibawanya
serta, untuk disita.
4) Penyitaan.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
d. Hubungan antara Penyelidikan dan Penyidikan
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa
penyelidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyelidikan (Pasal 1 butir 5). Dengan demikian
fungsi penyelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang
bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah
terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporan yang nantinya
merupakan dasar permulaan penyidikan.
e. Pejabat Penyidik
Penyidik menurut UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP pada
Pasal 1 ayat (1) adalah Pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan, maka yang melakukan tugas sebagai
penyidik adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Penyidik pejabat polisi negara tersebut diangkat oleh Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenang
tersebut kepada pejabat polisi lain. Sedangkan penyidik yang berasal dari
Pejabat Pegawai Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul
Departemen yang membawahi pegawai tersebut. Wewenang tersebut dapat
dilimpahkan pula oleh Menteri Kehakiman. Sebelum pengangkatan
Menteri Kehakiman harus terlebih dahulu meminta pertimbangan Jaksa
Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Andi Hamzah, 1996).
Pejabat polisi merupakan penyidik utama di dalam perkara-
perkara Pidana disamping penyidik dari Pejabat Pegawai Negeri Sipil, hal
ini telah diatur pada UU No. 8 Tahun 1981 Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b.
Dalam pada itu, untuk mendukung tugas Kepolisian sebagai penyidik,
maka diatur pula di dalam KUHAP kewajiban dan wewenang Pejabat
Polisi dalam kegiatan penyidikan. Hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara.
Dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, karena kewajibannya penyidik
meiliki wewenang:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindeak
pidana;
2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
9) Mengadakan penghentian penyidikan;
10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
f. Kepangkatan Penyidik
Berdasarkan Bab II Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 27 Tahun
1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
yang mengatur tentang Syarat Kepangkatan dan Pengangkatan Penyidik
yang merumuskan bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan
Dua Polisi atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-
kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan 11/b) atau
yang disamakan dengan itu. Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak
ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka
Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu
Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik.
Penyidik pembantu adalah pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua
Polisi. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur
Muda (Golongan 11/a) atau yang disamakan dengan itu.
g. Alasan-Alasan Diadakannya Penyidikan
Bila terjadi peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana,
alat negara atau penegak hukum (penyidik) wajib melakukan penyidikan.
Dalam melakukan tugas tersebut hukum acara pidana memberikan
wewenang kepada mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada
hakikatnya merupakan pengurangan terhadp hak azasi tersangka/terdakwa
sebagai manusia. Tujuan penyidikan adalah untuk menemukan siapa yang
telah melakukan tindak pidana dan mencari pembuktian kesalahan yang
telah dilakukannya.
Untuk mencapai maksud tertentu maka penyidik dalam
menghimpun keterangan-keterangan sehubungan dengan fakta-fakta atau
peristiwa tertentu mengenai :
1) Faktor tentang suatu tindak pidana;
2) Identitas suatu tindak pidana;
3) Tempat yang pasti tindak pidana itu dilakukan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
4) Waktu terjadinya tindak pidana;
5) Apa yang menjadi motif tujuan serta maksud mengadakan tindak
pidana;
6) Identitas pelaku tindak pidana (Bawengan, 1977 : 54).
Penyidikan dilakukan setelah terjadinya tindak pidana, tujuan
utamanya adalah untuk :
1) Mengetahui tindakan apa yang telah dilakukan.
2) Kapan tindak pidana itu dilakukan
3) Di mana tindak pidana itu dilakukan
4) Dengan apa tindak pidana itu dilakukan
5) Bagaimana tindak pidana itu dilakukan
6) Mengapa tindak pidana itu dilakukan
7) Siapa pelakunya.
h. Tindakan Penyidikan
1) Penanganan dan pengolahan tempat kejadian perkara (TKP)
Penanganan tempat kejadian perkara (TKP) adalah tindakan penyidik
atau penyidik pembantu yang dilakukan di TKP, yang
menyelenggarakan kegiatan dan tindakan kepolisian yang dilakukan di
TKP, terdiri dari: tindakan pertama, dan pengolahan TKP.
2) Pencarian dan pengumpulan barang bukti
Pengumpulan dan pengambilan barang bukti dilakukan dilakukan
dengan cara yang benar disesuaikan dengan bentuk atau macam barang
bukti yang dapat berupa benda padat, cair dan gas.
3) Penindakan
Penindakan setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang
maupun benda yang ada hubunganya dengan tindak pidana yang terjadi.
Beberapa tindakan yang dilakukan proses penyidikan dapat berupa
pemanggilan tersangka dan saksi, penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan.
4) Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan,
dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau b arang bukti maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga
kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam
tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam berita
acara pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara
interview, intergrasi, konfrontasi, rekonstruksi, dan sebagainya.
5) Penyelesaian dan penyerahan b erkas perkara
Para penyidik yang melaksanakan seluruh rangkaian proses penyidikan
kemudian menuangkan hasil penyidikan tersebut ke dalam berita acara
pemeriksaan (BAP) (Zulkarnaen, 2006:31-45).
i. Tinjauan tentang Penghentian Penyidikan
Untuk menegakkan prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat,
biaya ringan dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam
kehidupan masyarakat. Sebab apabila penyidik sudah berkesimpulan
bahwa berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau
alasan untuk menuntut tersangka di muka persidangan, untuk apa penyidik
harus berlarut-larut menangani dan memeriksa si tersangka. Lebih banik
penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan,
agar dengan demikian segera tercipta kepastian hukum baik dari bagi
penyidik itu sendiri terutama bagi tersangka dan masyarakat.
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut
tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk
membuktikan kesalahan tersangka apabila diajukan ke depan sidang
pengadilan. Atas dasar kesimpulan ketidakcukupan bukti inilah penyidik
berwewenang menghentikan penyidikan. Apabila ditinjau dari satu segi,
pemberian wewenang ini akan membina sikap mental dari penyidik untuk
tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan
yang telah dilakukannya. Penyidik diharapkan akan lebih selektif
mengajukan setiap kasus yang diperiksa, apakah cukup bukti atau tidak
sebelum perkara dilimpahkan ke tangan penuntut umum untuk diteruskan
ke pengadilan sekalipun. Ada atau tidak ada bukti, penyidik tidak peduli,
sekali tindak pidana diperiksa, ajukan terus ke pihak penuntut umum untuk
diteruskan ke pengadilan sekalipun sering sekali dijumpai tidak ada bukti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
yang dapat diperpegangi. Penyidik tidak mungkin untuk menyidik dan
memeriksa suatu tindak pidana yang tidak pernah dihentikan
penyidikannya atas alasan tidak cukup bukti. Penghentian penyidikan atas
alasan tidak cukup bukti, sama sekali tidak membawa akibat hapusnya
wewenang penyidik untuk menyidik dan memeriksa kembali kasus
tersebut. Apabila ternyata di kemudian hari penyidik dapat mengumpulkan
bukti-bukti yang cukup dan memadai untuk menuntut tersangka,
penyidikan dapat dimulai lagi. Penyelidikan dapat dimulai lagi karena
ditinjau dari segi hukum formil, penghentian penyidikan tidak termasuk
kategori “nebis ini idem”. Sebab penghentian penyidikan bukan termasuk
ruang lingkup putusan peradilan, penyidik baru bertarap kebijaksanaan
yang diambil pada tarap penyidikan.
1) Alasan Penghentian Penyidikan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak
memberikan pengertian yang tersendiri mengenai penghentian
penyidikan. Dalam Pasal 109 Ayat 2 KUHAP dijelaskan tentang
alasan penghentian penyidikan atau penuntutan, berikut kutipan pasal
tersebut ”Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana atau penyidikan penyidik dihentikan demi hukum, maka
penyelidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka
atau keluarganya”. (Pasal 109 Ayat 2 KUHAP)
Dengan begitu undang-undang hanya menyebutkan tentang
batasan alasan yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar
penghentian penyidikan. Menurut M Yahya Harahap (2000: 147-149)
dari pasal tersebut dapat dijelaskan bah wa alasan p enghentian
penyidikan terdiri dari:
a. Tidak diperoleh bukti yang cukup
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk
menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke
depan sidang pengadilan.
Bukti yang tidak cukup berarti barang bukti yang tidak
memenuhi kualitas dan tingkat kepercayaan yang memadai.
Sedangkan bukti cukup yang diperoleh harus memenuhi kwalitas
dan mempunyai tingkat kepercayaan yang memadai, untuk itu
harus selalu memperhatikan empat unsur (Hari Sasangka, 2005:
12):
1) Relevan, Bukti harus mempunyai hubungan dengan
permasalahan yang sedang diperiksa.
2) Kompeten, Bukti diperoleh dari sumber yang independen yang
dapat dipercaya.
3) Cukup, Bukti yang dikumpulkan dinilai cukup memadai
berdasarkan pertimbangan profesional untuk mendukung
kesimpulan pemeriksa.
4) Material, Bukti harus mempunyai nilai yang cukup berarti
dalam mempengarui tingkat pertimbangan informasi yang
bersangkutan.
b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana
Apabila hasil dari pemeriksaan dan penyidikan, penyidik
berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan
merupakan perbuatan pelanggaran atau kejahatan, dalam hal ini
berwenang menghentikan penyidikan. Dan suatu keharusan bagi
penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan.
c. Penghentian penyidikan demi hukum
Penghentian atas dasar ini pada pokoknya sesuai dengan alasan-
alasan hapusnya hak menuntut dan hapusnya hak menjalankan
pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dalam
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 76, 77, 78, dan seterusnya,
antara lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
1) Nebis in idem
Seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas
dasar perbuatan yang yan g sama, terhadap mana atas perbuatan
itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah
diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang
berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2) Tersangka meninggal dunia
Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan
harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yanng
berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahan tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung
jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan.
3) Kedaluwarsa
Apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang
diatur Pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi
dilakukan. Tenggang waktu itu, menurut KUHP:
a) Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan
bagi kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan.
b) Lewat masa 6 tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum
dengan pidana denda, kurungan atau penjara, yang tidak lebih
dari hukuman penjara selama tiga tahun.
c) Lewat tenggang waktu 12 tahun bagi semua kejahatan yang
diancam dengan hukuman penjara lebih dari 3 tahun.
d) Lewat 18 tahun bagi semua kejahatan yang dapat diancam
dengan hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup.
e) Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana
belum mencapai umur 18 tahun, tenggang waktu kadaluarsa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
yang disebut pada poin 1 sampai 4, dikurangi sehingga
menjadi sepertiganya.
2) Prosedur penghentian penyidikan
Prosedur penghentian penyidikan adalah dengan mengeluarkan
Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3). Surat tersebut harus
diberitahukan kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya
(Pasal 109 Ayat (3) KUHAP. Prosedur tersebut merupakan senjata
ampuh bagi penyidik untuk membantah penghentian penyidikan di
dalam sidang praperadilan. Penyidik beralasan bahwa belum
mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan (SP3).
Menurut Hari Sasangka penghentian penyidikan sudah terjadi secara
material (semu) apabila penyidikan telah berlangsung lama, tanpa
jelas kapan akan dilimpahkan ke penuntut umum (Hari Sasangka,
2007: 220)
2. Tinjauan tentang Anak
a. Pengertian Anak
Pengertian anak menurut Hassan (1983: 518) adalah muda-mudi/
remaja yang masih dianggap anak-anak, yang masih memerlukan
bimbingan dari orang tua/keluarga serta masih harus belajar banyak baik
melalui pendidikan orang tua maupun menimba pengalaman-pengalaman
dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengertian anak-anak/remaja berdasarkan pendapat masyarakat
secara umum adalah mereka yang masih berusia antara 13 (tiga belas)
sampai dengan 15 (lima belas) tahun dan belum kawin, umumnya masih
tinggal bersama orang tua (Ruslan, 2004 : 2354).
Sedangkan pengertian anak yang belum dewasa menurut udang-
undang adalah sebagai berikut :
Menurut KUH Perdata pasal 330, menerangkan bahwa yang
dikategorikan belum dewasa adalah bagi mereka yang belum genap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin (Subekti, 1983
: 93).
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-
Undang Pokok Perkawinan makna dewasa tersirat dalam pasal 7 yakni
“perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan
belas ) tahun dan wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Pengertian Anak menurut Pasal 1 sub 2 UU No. 4 tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak, Anak adalah Seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh ssatu) tahun dan belum kawin. Pengertian Anak
menurut Pasal 1 sub 1 UU No. 2 tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan
Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah, Anak adalah Anak yang
antara lain tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak
yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak
cacat.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
memberikan definisi tentang anak sebagai berikut : setiap manusia yang
berusia di bawah 18 tahun dan belum pernah menikah termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak memberikan batasan mengenai siapa yang dimaksud dengan anak yaitu
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Dengan demikian pengertian menurut kedua
peraturan ini luas sekali, karena termasuk anak dalam kandunganpun diakui
sebagai seorang anak. Tentunya jika kepentingan hukum itu menghendaki.
Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak. Dalam pasal 1 angka (1) merumuskan bahwa anak dalam perkara
anak nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.
Pengertian anak dalam Konvensi Hak Anak diartikan sebagai :
“For purpose of present Convention, a child means every human being
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
below the age eighteen years, under the law applicable to the child;
majority is attained earlier”. (Yang dimaksud dalam Konvensi ini, adalah
setiap orang yang berusia di bawah delapan belas tahun, kecuali
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak, ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal). Dengan demikian batasan usia dewasa
menurut Konvensi Hak-Hak Anak adalah 18 tahun dengan pengecualian
bahwa kedewasaan tersebut dicapai lebih cepat.
Dari segi lain seperti agama maupun segi adat pada umumnya yang
disebutkan sudah dewasa adalah mereka yang jika wanita sudah pernah
haid dan jika laki-laki sudah pernah mengeluarkan sperma dalam keadaan
tidak sadar. (Hassan, 1983: 519)
Sedemikian banyaknya pendapat-pendapat yang saling berbeda-
beda satu sama lain, adalah suatu bukti bahwa betapa pentingnya untuk
memahami pengertian tentang anak-anak / remaja. Hal ini sangat berkaitan
erat nantinya dengan proses peradilan atau penanggulangan tindak pidana
yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Dari uraian tersebut penulis
dapat menarik suatu pengertian bahwa anak adalah seorang yang belum
mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin jadi
walaupun anak belum mencapai usia delapan belas tahun tetapi sudah
menikah maka sudah dapat dikategorikan dewasa.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak
asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam
Undang-undang dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
entang Hak-hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak
adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber
daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial. Untuk
melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak
diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun
perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai oleh karena itu
terhadap anak yang melakukan tindak pidana diperlukan pengadilan anak
secara khusus.
Meskipun Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan
kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih
memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai
landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut.
Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya
merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam
memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk
menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang
dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan
perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab
menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam
menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan terarah.
Undang-undang ini menegaskan bahwa pertangung jawaban orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-
hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah
guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan
kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang
potensial, tungguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai leh akhlak mulia
dan nilai Pancasila, sertaberkemauan keras menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa dan negara.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin,
yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan
komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan
perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut : non
diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup,
kelangsungan hidup dan perkembangan dan penghargaan terhadap
pendapat anak.
Indonesia, sudah memiliki sederet aturan untuk melindungi,
mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak. Indonesia telah
mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak. Seharusnya sudah dapat menjadi rujukan dalam pengambilan
kebijakan terhadap perlindungan anak. Indonesia mengesahkan undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
b. Pertanggungjawaban Pidana Anak
Berbicara mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana bagi
anak pelaku tindak pidana, tentunya ini terkait dengan batas usia minimal
seorang anak untuk dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Untuk itu penting sekali diatur mengenai batas usia minimum bagi anak
dalam perlindungan anak di bidang hukum pidana. Artinya kapan seorang
anak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut. United
Nation Departemen of Public Information (1984: 4) mengatakan bahwa :
“Usia minimum pertanggungjawaban kriminal berbeda secara luas oleh karena sejarah dan budaya. Pendekatan modem akan mempertimbangkan apakah seorang anak dapat berbuat sesuai dengan komponen-komponen moral dan psikologis dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
pertanggungjawaban kriminal; artinya apakah seorang anak berdasarkan atas kejernihan pikiran dan pemahaman individu dapat dianggap bertanggungjawab jawab atas perilaku yang pada dasarnya anti sosial. Jika usia pertanggungjawaban kriminal ditetapkan terlalu rendah atau jika tidak ada batas usia yang lebih rendah sama sekali, pengertian tanggungjawab tidak akan memiliki arti. Pada umumnya terdapat suatu hubungan yang dekat antara pengertian tanggungjawab terhadap perilaku kriminalitas atau yang melanggar hukum pidana dengan hak-hak serta tanggungjawab sosial lainnya. Beijing Rules tidak menyebutkan secara pasti tentang kapan
seorang anak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Pengaturan
mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana seorang anak pelaku
tindak pidana diatur dalam Rule 4.1 : in those legal systems recognising
the concept of the age of criminal responsibility for juveniles , the
beginning og the age shall not be fixed at too low an age level, bearing in
mind the facta of emotional, mental and intelectual maturi. (dalam sistem
hukum yang mengakui konsep batas usia pertanggungjawaban pidana
untuk anak pelaku tindak pidana, permulaan batas usia
pertanggungjawaban itu janganlah ditetapkan terlalu rendah, dengan
menyangkut faktor kematangan emosional anak, mental dan intelektualitas
anak. Dengan demikian Beijing Rules ini memberikan kebebasan bagi
tiap-tiap Negara untuk menentukan sendiri mengenai batas usia
pertanggungjawaban seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan,
namun harus melihat kenyataan emosional dari anak, mental dan
pikirannya tersebut. Dalam commentary rule 2.2 Beijing Rules ini
disebutkan bahwa batas usia anak adalah usia 7 sampai 18 tahun, artinya
mulai usia 7 tahun seorang anak itu dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya namun tidak lebih dari 18 tahun.
Batas usia pertanggungjawaban pidana bagi anak dalam Undang-
Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah mulai 8 tahun
sampai dengan 18 tahun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 1,
yang mengatur mengenai batas usia minimum bagi anak pelaku tindak
pidana adalah 8 tahun. Batas usia minimum ini menunjukkan bahwa mulai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
kapan seorang anak pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya. Sedangkan usia 18 tahun menunjukkan batas usia
maksimumnya, artinya perkara anak tersebut akan disidangkan pada
Pengadilan anak atau Pengadilan dewasa.
Dalam Peraturan PBB lainnya yaitu United Nations Rules for The
Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty disebutkan bahwa : a
juvenile is every person under the age of 18. The age limit below which it
should not be permitted to deprive a child of his or her liberty should be
determined by law; (Seorang anak adalah seseorang yang berusia di bawah
18 tahun.
Batas usia di bawah mana tidak diijinkan untuk menghilangkan
kebebasan seorang anak harus ditentukan oleh Undang-Undang). Jadi
terhadap seorang anak yang umurnya kurang dari 18 tahun sebetulnya
tidak dapat dijatuhi hukuman pidana perampasan kemerdekaan, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia dalam Pasal 45 dikatakan bahwa :
“Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum berumur enam belas tahun, maka Hakim dapat menentukan: Memerintahkan yang bersalah supaya dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa dijatuhi pidana apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah tanpa pidana apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, 541 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah karena kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana”.
Dengan demikian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak
diatur tentang batasan umur seorang anak pelaku tindak pidana mulai
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Mengenai kepastian
tentang hal ini tidak disebutkan dalam pasal 45 tersebut. Semuanya
diserahkan kepada keyakinan Hakim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Terkait dengan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tersebut menurut pendapat SR. Sianturi (1996: 157): bahwa sistem
pertanggungjawaban pidana anak yang dianut oleh KUHP (yang berlaku
sekarang ini) adalah sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa
semua anak (berusia 1 tahun sampai dengan 16 tahun), anak yang jiwanya
sehat, dianggap mampu bertanggungjawab dan dituntut.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
menyebutkan secara eksplisit mengenai batas usia anak, akan tetapi dalam
Pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada Hakim untuk melarang
"anak yang belum mencapai usia 17 tahun" untuk menghadiri sidang.
Sedangkan Pasal 171 a menentukan bahwa anak yang belum berusia 15
tahun dan belum pernah kawin dapat memberi keterangan tanpa sumpah.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur juga
mengenai batas usia pertanggungjawaban anak pelaku tindak pidana yaitu,
pada Pasal 113 disebutkan bahwa :
(1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana.
Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak yang melakukan
tindak pidana. Penentuan batas usia 12 (dua belas) tahun didasarkan pada
pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual dan
mental anak. Seorang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penyelesaian
kasusnya harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan lainnya.
ini Adanya batasan umur 12 -18 tahun bagi pelaku tindak pidana anak ini,
memberi konsekuensi bahwa untuk seorang anak pelaku tindak pidana
yang berumur kurang dari 12 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini memberikan kemajuan tersendiri dalam perkembangan hukum
pidana Indonesia, yaitu dengan tidak menetapkan batas usia yang terlalu
rendah bagi anak pelaku tindak pidana untuk mempertanggungjawabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
perbuatannya. Dengan demikian menurut konsep KUHP, yang menjadi
subjek hukum adalah anak yang berumur 12 tahun sampai 18 tahun, yang
dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya.
Menurut Rupert Cross (1953: 129), yang dimaksud dengan anak
adalah setiap orang yang berumur kurang dari 14 tahun; seorang remaja
adalah setiap orang yang berumur 14 tahun tetapi belum mencapai umur
17 tahun (a child is any person under the age of fourteen years; a young
person is any person who has attained the age of fourteen years but has
not attained the age of seventeen years).
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dalam pasal 4 menyebutkan bahwa : Batas umur anak nakal yang dapat
diajukan ke sidang anak sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin. Paulus
Hadisuprapto (2008: 10) mengemukakan : “Batasan usia terhadap seorang
anak yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap perbuatannya tersebut
tidak ada keseragaman. Hal ini juga dijumpai dalam perumusan batasan
tentang pertanggungjawaban pidana anak di berbagai negara. Di Amerika
Serikat, 27 negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 18 tahun,
sementara 6 negara bagian menentukan batas umur antara 8 – 17 tahun,
ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8 – 16
tahun. Sementara itu, Inggris menentukan batas umur antara 12 – 16 tahun.
Sebagian besar negara bagian Australia menentukan batas umur antara 8 –
16 tahun.
Dari apa yang dikemukakan di atas mengenai batas usia
pertanggungjawabkan pidana bagi anak pelaku tindak pidana ini memang
tidak ada keseragaman. Hal ini tergantung dari masing-masing negara
dalam melihat kematangan mental, intelektual dan emosional seorang anak
yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun semuanya sudah mengacu dan
sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan oleh The Beijing Rules, bahwa
batasan usia seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
perbuatannya diserahkan kepada masing-masing negara dengan
mempertimbangkan keadaan emosional, mental dan pikirannya. Begitu
juga dengan peraturan di Indonesia yaitu adanya Undang-Undang No. 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah mengacu pada The Beijing
Rules dalam menentukan batasan usia seorang anak yang dapat
dipertanggungjawabkan, walaupun masih ada kekurangannya.
c. Tersangka Anak
Anak yang melakukan tindak pidana menurut defenisi hukum
Nasional adalah ”orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin. ”Anak Nakal” Anak yang melakukan
perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup
dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Anak yang melakukan tindak pidana atau dalam praktek sehari-hari
di pengadilan disebut sebagai anak yang sedang berhadapan dengan
hukum, harus diperlakukan secara manusiawi, didampingi, disediakan
sarana dan prasarana khusus, sanksi yang diberikan kepada anak sesuai
dengan prinsip kepentingan terbaik anak, hubungan keluarga tetap
dipertahankan artinya anak yang berhadapan dengan hukum kalau bisa
tidak ditahan/dipenjarakan kalaupun dipenjarakan/ditahan, ia dimasukkan
dalam ruang tahanan khusus anak dan tidak bersama orang dewasa.
Untuk menjamin Perlindungan terhadap anak-anak yang
berhadapan dengan hukum ditetapkan sebagai kelompok anak yang
membutuhkan ”Perlindungan Khusus”. Menurut Undang-undang
Perlindungan Anak Pasal 64 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum
dan anak korban tindak pidana. Bentuk perlindungan khusus tersebut
meliputi :
1) perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
2) penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini; 3) penyediaan sarana dan prasarana khusus; 4) penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak; 5) pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak
yang berhadapan dengan hukum; 6) pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua
atau keluarga 7) perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Persoalan hukum tidak hanya menimpa orang-orang dewasa.
Anak-anak juga seringkali terbentur dengan persoalan hukum. Dan seperti
halnya orang dewasa, anak-anak juga berhak mendapat perlindungan
secara hukum. Perlindungan hukum ini tidak hanya diberikan kepada anak
yang menjadi korban dalam suatu maasalah hukum, tapi juga kepada anak-
anak yang menjadi pelakunya
Berdasarkan penjelasan Pasal 10 undang-undang no 14 tahun 1970
peradilan anak itu berada di bawah peradilan umum, yang diatur secara
istimewa dan undang-undang pengadilan anak hanyalan masalah acara
sidangnya yang berbeda dengan acara siding bagi orang dewasa.
Pengadilan anak ada pada badan peradilan umum (Pasal 2 UU No. 3 tahun
1997).
Undang-undang pengadilan anak dalam Pasal-Pasalnya mengaut
beberapa asas yang membedakannya dengan siding pidana untuk orang
dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut :
a. Pembatasan umum (Pasal 1 butir 1 jo Pasal 4 ayat (1))
Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak
ditentukan secara limitative, yaitu minimum berumur 8 (delapan)
tahun dan maksumum 18 (delapan belas tahun) dan belum pernah
kawin
b. Ruang lingkup masalah di batasi (Pasal 1 ayat 2), masalah yang dapat
diperiksa dalam siding pengadilan anak hanyalah terbatas menyangkur
perkara anak nakal.
c. Ditangani pejbat khusus (Pasal 1 ayat 5, 6, dan 7)
Undang-undang no 3 tahun 1997 menentukan perakra anak nakal
harus ditangani oleh pejbat-pejabat khusus seperti :
1) di tingkat penyidikan oleh penyidik anak
2) di tingkat penuntutan oleh penutut umum
3) di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak, & hakim
kasasi anak.
d. Peran pembimbing kemasyarakatan (Pasal 1 ayat 11)
Undang-undang pengadilan anak mengakui peranan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
1) pembimbing kemsyrakatan
2) pekerja sosial dan
3) pekerja sosial sukarela
e. Suasana pemeriksaan kekeluargaan
Pemeriksaan perkara di pengadilan dilakkan dalam suasana
kekeluargaan. Oleh karena itu hakim, penuntut umum dan penasihat
hokum tidak memakai toga.
f. Keharusan splitsing (Pasal 7)
Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang
berstatus sipil maupun militer, kalau terjadi anak melakukan tindak
pidana bersama orang dewasa, maka si anak diadili dalam siding
pengadilan anak, sementara orang dewasa diadilan dalam siding biasa,
atau apabila ia berstatus militer di peradilan militer.
g. Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat (1))
Acara pemeriksaan di siding pengadilan anak dilakukan secara
tertutup . ini demi kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan
harus diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum.
h. Diperiksa hakim tunggal (Pasal 11, 14, dan 18)
Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat pengadilan
negeri, banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.
i. Masa penahanan lebih singkat (Pasal 44 -49)
Masa penahanan terhadap anak lebih singkat disbanding masa
penahanan menurut KUHAP
j. Hukuman lebih ringan (Pasal 22 – 32)
Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal lebih ringan daripada
ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak
nakal adalah sepuluh tahun.
3. Tinjauan tentang Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 merupakan undang
undang yang mengubah ordonansi sementara ketentuan pidana yang berlaku
di Indonesia, hal ini dilakukan berhubungan dengan keadaan yang mendesak
dan untuk kepentingan pemerintah. Undang-undang ini berisi 6 pasal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
disahkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 1 September 1951 bersama
perdana mentri RI Sukiman Wirjosandjojo, dengan lembaran negara RI No 78
tahun 1951.
Pasal 1
(1) Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.
(2) Yang dimaksudkan dengan pengertian senjata api dan amunisi termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam pasal 1 ayat 1 dari Peraturan Senjata Api (Vuurwapenregeling : in-, uit-, doorvoer en lossing) 1936 (Stbl. 1937 No. 170), yang telah diubah dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Stbl. No. 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senjata-senjata yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib (merkwaardigheid), dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipergunakan.
(3) Yang dimaksudkan dengan pengertian bahan-bahan peledak termasuk semua barang yang dapat meledak, yang dimaksudkan dalam Ordonnantie tanggal 18 September 1893 (Stbl. 234), yang telah diubah terkemudian sekali dengan Ordonnantie tanggal 9 Mei 1931 (Stbl. No. 168), semua jenis mesin, bom-bom, bom-bom pembakar, ranjau-ranjau (mijnen), granat-granat tangan dan pada umumnya semua bahan peledak baik yang merupakan luluhan kimia tunggal (enkelvoudige chemischeverbindingen) maupun yang merupakan adukan bahan-bahan peledak (explosievemengsels) atau bahan-bahan peledak pemasuk (inleidende explosieven), yang dipergunakan untuk meledakkan lain-lain barang peledak, sekedar belum termasuk dalam pengertian amunisi.
Pasal 2
(1) Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
(2) Dalam pengertian senjata pemukul, senjata penikam atau senjata penusuk dalam pasal ini, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dimaksudkan untuk dipergunakan guna pertanian, atau untuk pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau untuk kepentingan melakukan dengan syah pekerjaan atau yang nyata-nyata mempunyai tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid).
Pasal 3
Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum Undang-undang Darurat ini dipandang sebagai kejahatan. Pasal 4
(1) Bilamana sesuatu perbuatan yang dapat dihukum menurut Undang-undang Darurat ini dilakukan oleh atau atas kekuasaan suatu badan hukum, maka penuntutan dapat dilakukan dan hukuman dapat dijatuhkan kepada pengurus atau kepada wakilnya setempat.
(2) Ketentuan pada ayat 1 di muka berlaku juga terhadap badan-badan hukum, yang bertindak selaku pengurus atau wakil dari suatu badan hukum lain.
Pasal 5
(1) Barang-barang atau bahan-bahan dengan mana terhadap mana sesuatu perbuatan yang terancam hukuman pada pasal 1 atau 2, dapat dirampas, juga bilamana barang-barang itu tidak kepunyaan si-tertuduh.
(2) Barang-barang atau bahan-bahan yang dirampas menurut ketentuan ayat 1, harus di rusak, kecuali apabila terhadap barang-barang itu oleh atau dari pihak Menteri Pertahanan untuk kepentingan Negara diberikan suatu tujuan lain.
Pasal 6
(1) Yang diserahi untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum berdasarkan pasal 1 dan 2 selain dari orang-orang yang pada umumnya telah ditunjuk untuk mengusut perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, juga orang-orang, yang dengan peraturan Undang-undang telah atau akan ditunjuk untuk mengusut kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang bersangkutan dengan senjata api, amunisi dan bahan-bahan peledak.
(2) Pegawai-pegawai pengusut serta orang-orang yang mengikutinya senantiasa berhak memasuki tempat-tempat, yang mereka anggap perlu dimasukinya, untuk kepentingan menjalankan dengan saksama tugas mereka Apabila mereka dihalangi memasuknya, mereka jika perlu dapat meminta bantuan dari alat kekuasaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan Undang-undang No 23 Th 2002, Undang-undang Darurat
No 12 Th 1951, undang-undang kepolisian, kewenangan kepolisian
menyangkut kebijaksanaan untuk pengambilan suatu keputusan pada situasi
dan kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang
dalam hal ini polisi sering disebut diskresi. Kewenangan polisi pada saat
penyidikan pada hakekatnya bertentangan dengan negara yang berdasarkan
atas hukum, karena ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan
terjadi, salah satunya adalah penghentian penyidikan. Dalam penghentian
penyidikan dapat dikarenakan oleh tidak cukup bukti, perkara yang dilaporkan
apabila diteruskan akan berakibat tidak baik bagi perkembangan anak,
penghentian penyidikan juga dapat dilakukan demi hukum.
Pelaksanaan penyidikan pada pelaku pidana anak sama halnya dengan
penyidikan pada orang dewasa, yang membedakan adalah sifat pemeriksaanya
tertutup, terdapat tim penyidik khusus yang menangani anak, dilakukan secara
kekeluargaan, dengan melakukan pendekatan psikologis. Dan penyelesaian
- Undang-undang No 23 Th 2002 - Undang-undang Darurat No 12 Th
1951
Penyidikan
Tersangka Anak
Kewenangan Penyidik Menghentikan Penyidikan (Ps. 109 KUHAP)
SP2HP
Pelaksanaan Penyidikan
Penyelesaian Penyidikan dan Penghentian Penyidikan Hambatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
penyidikan dapat dilakukan dengan menghentikan penyidikan karena alasan
alasan yang kuat yang sebelumnya diterbitkan surat pemberitahan
perkembangan hasil penyidikan. Berdasarkan SP2HP tersebut pihak penyidik
dapat menggunakan kewenangannya untuk menghentikan penyidikan. Akan
tetapi dalam pelaksanaanya penyidikan pasti terdapat kendala atau hambatan
yang dapat memperlambat penyelesaian perkara. Seperti kurangnya
partisipatif tersangka anak dalam memberikan keterangan, orangtua anak tidak
mempercayai kalau anaknya melakukan tindak pidana, sehingga tidak mau
mendampingi anak tersebut selama penyidikan. Hal ini akan menjadi
penghambat dalam proses penyidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh
Anak di Polresta Surakarta dalam Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/
2009/SPK.III
Dalam sub bab ini penulis akan memberikan gambaran-gambaran
mengenai salah satu kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang
terjadi dalam ruang lingkup Polresta Surakarta. Penulis hanya akan melakukan
pembahasan-pembahasan terhadap kasus yang terjadi pada wilayah tersebut,
dilihat dari proses pelaksanaan penyidikannya dan upaya penyelesaiannya
dengan mempertimbangkan tersangka yang masih kategori anak. Berdasarkan
penelitian yang peneliti lakukan dapat dikemukakan hasil penelitian sebagai
berikut:
1. Identitas Tersangka
Nama : WAHYU ARIANTA als KENCHU
Tempat/tgl lahir : Klaten/26 Februari 1993
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Pajang Rt. 02/03, Pajang, Laweyan, Surakarta atau
Dsn. Sayangan, Ds. Melikan, Kec. Wedi, Kab. Klaten.
2. Kasus Posisi
Pada hari ini Rabu tanggal 23 bulan Desember tahun 2009 sekira
jam 22.20 Wib, telah tertangkap tangan Sdr. WAHYU ARIANTA als
KENCHU, ketika sedang minum-minuman keras jenis ciu di depan pintu
masuk dekat air mancur Stadion Manahan Jl. Adi Sucipto Surakarta
bersama kurang lebih 15 orang temannya sedang duduk-duduk sambil
minum-minuman keras jenis ciu tidak lama kemudian datang Polisi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
teman-temannya semua melarikan diri, tinggal dirinya yang masih disitu
karena mabuk kebanyakan minuman dan tidak bisa ikut lari, lalu
diamankan ke Kantor Polresta Surakarta karena kedapatan mabuk dan
membawa senjata tajam pemotong daging yang saya simpan di dalam tas.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan didengar sebagai saksi dalam
perkara tindak pidana menyimpan, memiliki dan membawa senjata tajam
jenis Pisau pemotong daging, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-undang Darurat No. 12 Tahun 1951, sehubungan dengan Laporan
Polisi No. Pol: A/LP/1933/XII/SPK.III, tanggal 23 Desember 2009. Dan
menerangkan bahwa senjata tajam jenis pisau pemotong daging dan rantai
besi sepanjang kurang lebih 1,5 m tersebut adalah milik temannya
bernama BIMO dan dipergunakan untuk keamanan dirinya sendiri dan
belum pernah menggunakan untuk kejahatan. Pada waktu membawa
senjata tajam jenis pisau pemotong daging tersebut tidak dilengkapi
dengan surat ijin membawa senjata tajam.
3. Pelaksanaan Penyidikan
Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-undang nomor 3 tahun 1997
bahwa penyidikan terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat
dilakukan apabila pelaku tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, tarhadap anak
dibawah umur delapan tahun yang melakukan tindak pidana akan
mendapat pembinaan dan dikembalikan pada orang tua/wali. Untuk
mengetahui bahwa telah terjadi tindak pidana polisi dapat memperoleh
informasi melalui beberapa hal diantaranya : adanya laporan, pengaduan,
tertangkap tangan dan diketahui langsung oleh petugas Polisi Republik
Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
a. Dalam hal adanya laporan atau pengaduan yang diajukan baik secara
tertulis maupun tidak tertulis (lisan) dalam penelitian ini dalam perkara
No Pol. A/LP/1933/XII/2009/SPK.III, dicatat terlebih dahulu oleh
penyidik atau oleh penyidik pembantu. Kemudian kepada pelapor atau
pengadu diberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan.
Setelah itu petugas Polisi Republik Indonesia yang dalam hal ini
adalah penyidik segera melakukan penyelidikan untuk mengetahui
bahwa benar-benar telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana dan agar
tidak salah. Apabila suatu tindak pidana diketahui oleh kepolisian
berdasarkan hasil pelaporan, hal ini akan mempermudah pihak
berwajib dalam melakukan penyidikan dalam hal pelaku tindak pidana
masih anak-anak maka penyelidikan dilakukan berdasarkan ketentuan
perundangan yang berlaku yaitu Undang-undang No. 3 Tahun 1997
dan KUHAP.
b. Dalam hal tertangkap tangan petugas kepolisian atau penyelidik dapat
segera melakukan tindakan penangkapan, penggeledahan, penyitaan
dan melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
c. Dalam hal suatu tindak pidana diketahui langsung oleh petugas
kepolisian, maka wajib segera melakukan tindakan-tindakan sesuai
dengan kewenangan masing-masing, kemudian polisi membuat berita
acara penangkapan atas tindakan-tindakan yang dilakukannya, guna
penyelesaian selanjutnya.
Setelah memperoleh informasi tentang adanya suatu tindak pidana maka
Pejabat Kepolisian Negera Republik Indonesia segera melakukan
penyelidikan. Adapun yang berwenang melakukan penyelidikan adalah
setiap Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang khusus
ditugaskan untuk itu (Pasal 4 KUHAP), yang karena kewajibannya
mempunyai wewenang :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Mencari keterangan dan barang bukti;
c. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
d. Melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Dan atas perintah penyidik dapat melakukan :
a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahaan dan
penyitaan;
b. Pemeriksaan dan penyitaan surat.
c. Mengambil sidik jari dan memotret seorang ;
d. Membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik.
Setelah penyelidik selesai melakukan penyelidikan, maka penyelidik
segera membuat dan menyampaikan laporan hasil penyelidikan kepada
penyidik.
Dengan diketahuinya bahwa telah terjadi suatu peristiwa tindak
pidana berdasarkan laporan dari penyelidik, maka penyidik segera
melakukan penyidikan guna mencari serta mengumpulkan barang bukti,
yang dengan barang bukti itu membuat terang tentang suatu tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam hal melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana anak Polresta Surakarta berpedoman
pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 dan KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) bahwa ketentuan dalam
UU No. 3 Tahun 1997 dalam hal tertentu juga menunjuk KUHAP
misalnya dalam hal penangkapan dalam ketentuan Pasal 43 angka (1) UU
No. 3 Tahun 1997 menyebutkan “Penangkapan anak nakal dilakukan
sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana“.
Bagi tersangka mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa oleh
penyidik, meskipun seorang tersangka diduga telah melakukan suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
perbuatan yang cenderung sebagai perbuatan negatif dan bahkan suatu
tindak pidana yang melanggar hukum bukan berarti seorang tersangka
dapat dilakukan semena-mena dan di langgar hak-haknya baik itu hak-hak
hukumnya,sehingga hak-hak tesebut harus dipenuhi oleh penyidik.
Tersangka diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP dari mulai Pasal
50 sampai dengan Pasal 68, hak-hak tersebut antara lain meliputi:
a. Hak untuk segera diperiksa , diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal
50 ayat (1), (2), (3).
b. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan
(Pasal 51 butir a dan b).
c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan
hakim (Pasal 52)
d. Hak untuk dapat mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat
pemeriksaan (Pasal 54)
e. Hak untuk mendapat nasehat hukum dari penasehat hukum yang
ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati
dengan biaya cuma-cuma
f. Hak tersangka atau terdakwa mengajukan saksi atau ahli yang
memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya. (Pasal 65)
Selain terdapat hak-hak tersangka tersebut, bila tersangkanya atau
terdakwanya adalah anak-anak maka berlakulah hak-hak tersangka khusus
untuk anak di bawah umur.Pengaturan mengenai hak-hak tersangka atau
terdakwa anak terdapat dalam Undang-undang Pengadilan Anak Pasal 45
ayat (4), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (3). Adapun hak-hak tersangka atau
terdakwa anak adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
a. Setiap anak nakal sejak saat tertangkap atau ditahan berhak mendapat
bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasehat hukum selama
dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.
b. Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan
langsung dengan penasehat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh
pejabat yang berwenang.
c. Tersangka anak berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik
dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
d. Tersangka anak berhak segera di adili oleh pengadilan.
e. Untuk mempersiapkan pembelaan tersangka anak berhak untuk
diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan
dimulai.
f. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka
anak berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik
atau hakim.
g. Tersangka atau terdakwa anak berhak untuk mengusahakan dan
mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlihan khusus
guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.Dll.
Dengan diaturnya hak-hak diatas walaupun tersangka masih anak-anak,
petugas pemeriksa tidak boleh menghalang-halangi penggunaannya, dan
sebaiknya sejak awal pemeriksaan hak-hak tersebut diberitahukan (Gatot
Supramono, 2000 :27).
Pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan
oleh anak di Polresta Surakarta dalam Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/
2009/SPK.III secara terperinci berupa tindakan hukum yang dilakukan
yang berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan anak. Tindakan
hukum tersebut berupa pemanggilan tersangka dan saksi, penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
a. Pemanggilan Tersangka dan Saksi
Setelah penyidik memperoleh keterangan-keterangan yang
jelas tentang tindak pidana yang terjadi dan siapa tersangkanya, maka
penyidik segera melakukan pemanggilan terhadap tersangka dan saksi
untuk didengar keterangannya. Penyidik mendengarkan keterangan
tersangka dan saksi dengan bertimbangan :
1) Bahwa seorang mempunyai peranan sebagai tersangka atau saksi
dalam suatu tindak pidana yang telah terjadi;
2) Untuk melengkapi keterangan-keterangan, petunjuk-petunjuk dan
bukti-bukti yang sudah didapat, akan tetapi dalam beberapa hal
masih terdapat kekurangan.
Untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya penulis
melakukan wawancara singkat dengan anak yang pernah melakukan
tindak pidana, kenyataan tersebut dapat kita lihat dalam pemanggilan
berdasarkan Surat Keputusan Kapolda Jateng No. Pol.:
Skep/813X/2006 tanggal 05 Oktober 2006, telah melakukan
pemeriksaan terhadap seorang laki-laki yang sudah saya kenal
bernama: WAHYU ARIANTA als KENCHU tempat/tgl lahir : Klaten/
26 Februari 1993, Agama: Islam, Kewarganegaraan: Indonesia,
Pekerjaan: Swasta, Alamat: Pajang Rt. 02/03, Pajang, Laweyan,
Surakarta atau Dsn. Sayangan, Ds. Melikan, Kec. Wedi, Kab. Klaten.
b. Penangkapan
Yang dimaksud dengan penangkapan adalah pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti
guna kepentingan penyidikan. Dalam hal melakukan penangkapan
terhadap tindak pidana yang dilakukan anak perlu diperhatikan hal-hal
yang berkaitan dengan kondisi kemasyarakatan (UU No. 3 Tahun
1997). Akan tetapi penyidik juga mempertimbangkan jenis tindak
pidana yang dilakukan oleh anak sehingga dalam melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
penangkapan penyidik tetap memperhatikan dan berpedoman pada
ketentuan Undang-Undang yang berlaku baik KUHAP maupun
peraturan yang mengatur secara khusus yaitu Undang-Undang nomer 3
tahun 1997. Pada dasarnya dalam melakukan penangkapan terhadap
anak yang melakukan tindak pidana, petugas polisi dalam hal ini
penyidik tidak mengalami banyak kesulitan, terlebih-lebih terhadap
anak yang baru pertama kali melakukan tindak pidana, karena
kebanyakan dari mereka masih polos dan jujur.
Setelah tersangka (anak yang melakukan tindak pidana) maka
terhadapnya dilakukan pemeriksaan, berdasarkan ketentuan Pasal 42
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 pemeriksaan dapat dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan;
2) Dalam melakukan penyidikan terhadap anak yang melakukan
tindak pidana penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran
dari pembimbing masyarakat, dan apabila perlu juga dapat
meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli
kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.
3) Proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan.
Pemeriksaan dimaksudkan untuk dapat menentukan perlu
tidaknya diadakan penahanan, mengingat jangka waktu
Penangkapan yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana hanya 1 x 24 jam.
Kasus penangkapan WAHYU ARIANTA als KENCHU
dilakukan saat anak tersebut beserta anak-anak lain sedang melakukan
pesta miras di depan pintu air mancur Stadion Manahan, karena
kondisi tersangka saat itu sedang mabuk berat sehingga tidak bisa
melarikan diri seperti yang dilakukan teman-teman. Dalam keadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
mabuk WAHYU ARIANTA als KENCHU digelandang ke Polresta
Surakarta untuk di mintai keterangan.
c. Penahanan.
Kemudian apabila dipandang perlu untuk dilakukan penahanan,
maka penyidik dapat menahan anak yang melakukan tindak pidana
tersebut guna kepentingan penyidikan. Maksud dari penahanan itu
adalah agar supaya anak tersebut tidak melarikan diri (alasan subjek),
tidak akan merusak dan menghilangkan barang bukti, dan atau akan
mengulangi tindak pidana lagi. Oleh karena itu pihak orang tua/wali
harus diberi tahu dan diberi pengertian tentang sebab-sebab kenapa
anaknya ditahan.
Penahanan dilaksanakan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari
berdasarkan ketentuan Pasal 44 angka (2) UU No. 3 tahun 1997.
Mengenai rumah tahanan sedapat mungkin merupakan panti
pengawasan (Observation/Remand-Home). Dalam melakukan
penahanan anak yang melakukan tindak pidana Polresta Surakarta
tidak memiliki fasilitas yang begitu memadai tetapi tetap diusahakan
dalam suatu ruangan yang terpisah dengan tahanan orang dewasa, dan
diberikan perhatian baik dari segi kesehatan jiwa dan mentalnya
maupun dari segi kerohanian. Pada keadaan tertentu didatangkan
seorang ahli dengan tujuan untuk dapat menggali dan mengetahui
sebab-sebab atau alasan-alasan anak melakukan tindak pidana
sekaligus melakukan pembinaan terhadap anak tersebut.
Di samping itu anak diberi pelatihan ketrampilan yang berguna
dan mudah dilaksanakan, jika anak tersebut masih sekolah pada
kesempatan tertentu diberikan pelajaran dengan harapan anak tersebut
masih memiliki minat dan kemauan untuk tetap belajar. Pada
kenyataan anak yang pernah ditahan di Polresta Surakarta memang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
dipisahkan dari tahanan orang dewasa tetapi jarang atau bahkan tidak
pernah mendapatkan pendidikan dari tenaga ahli, pendidikan yang
diberikan hanya berupa pendisiplinan diri misalnya membantu
mengepel, membersihkan taman dan lain-lain.
Dalam kasus WAHYU ARIANTA als KENCHU ini tidak
dilakukan penahanan, karena tersangka setelah selesai pemeriksaan
dan terbukti tidak cukup bukti, maka dikembalikan kepada orang
tuanya untuk mendapatkan bimbingan dan arahan agar menjadi anak
yang lebih baik.
d. Penggeledahan.
Penggeledahan dilakukan berdasarkan hasil laporan
penyelidikan yang dibuat oleh petugas penyidik/penyidik pembantu.
Untuk penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan untuk kepentingan
penyidikan. Guna menjamin hak azasi manusia atau seorang atas
rumah kediamannya, maka dalam melakukan penggeledahan harus
dengan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri dan surat perintah
penggeledahan. Dalam melakukan penggeledahan harus disaksikan
oleh Ketua Lingkungan/Kepala Desa bersama 2 (dua) orang saksi bila
penghuni rumah tidak memberikan izin untuk digeledah (Pasal 33
angka (4) KUHAP) dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi bila
pemilik rumah memberikan izin untuk digeledah (Pasal 33 angka 3
KUHAP).
Jikalau dalam melakukan penggeledahan terdapat atau
ditemukan barang bukti, maka barang bukti tersebut dapat disita untuk
kepentingan penyidikan lebih lanjut dan anak yang melakukan tindak
pidana tersebut dapat ditahan untuk kepentingan pengusutan, kalau
memang terbukti anak tersebut dapat diajukan sebagai terdakwa.
Dalam hal ini penggeledahan terhadap tersangka WAHYU
ARIANTA als KENCHU dilakukan ditempat kejadian dan ditemukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
telah menyimpan, memiliki dan membawa senjata tajam jenis pisau
pemotong daging dan rantai besi sepanjang kurang lebih 1,5 m yang
menyatakan bahwa milik temannya dan dipergunakan untuk keamanan
diri saya. Dan tersangka menerangkan bahwa waktu membawa senjata
tajam jenis pisau pemotong daging tersebut tidak dilengkapi dengan
surat ijin membawa senjata tajam. Dan diterangkan bahwa tersangka
belum pernah menggunakan senjara tajam tersebut.
e. Penyitaan
Penyitaan adalah serangakaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih atau menyimpan untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan. Dalam hal tertangkap tangan
oleh petugas polisi maka barang bukti langsung dapat disita, misalnya
alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana. Dalam hal
penggeledahan rumah penyitaan harus dilakukan dengan izin Ketua
Pengadilan Negeri. Disamping itu menurut Pasal 39 KUHAP
ditentukan bahwa yang dapat dikenakan penyitaan :
1) Benda atau tagihan tersangka yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari hasil tindak pidana;
2) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana;
4) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana;
5) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang dilakukan;
6) Benda yang berada dalam sitaan perkara perdata atau pailit
sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut pada point
sebelumnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Sedangkan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997, dalam perkara anak melakukan tindak pidana barang
yang dapat disita adalah sebagai berikut :
1) Barang-barang yang didapat karena pidana yang dilakukan;
2) Barang-barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan
tindak pidana.
Dalam kasus tersangka WAHYU ARIANTA als KENCHU telah disita
senjata tajam jenis pisau pemotong daging dan rantai besi sepanjang
kurang lebih 1,5 m.
Berdasarkan pada berita acara pemeriksaan penulis juga telah
melakukan wawancara dengan penyidik yang memeriksa perkara tersebut.
Dari hasil wawancara tersebut penyidik mengatakan telah melakukan
prosedur berdasarkan Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23
Tahun 2002 dan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dalam melakukan
penyidikan karena tersangkanya termasuk anak di bawah umur. Dari
wawancara dengan Kanit PPA AKP Sri Wahyuni yang menjelaskan
bahwa langkah-langkah penyidik yang diambil dalam penyidikan yang
berbeda dengan penyidikan orang dewasa. Langkah-langkah itu antara
lain:
a. Diberitahukan terlebih dahulu tentang apa yang disangkakan
kepadanya.
b. Penyidik menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak
tersebut dan melakukan pemeriksaannya dilakukan dengan
mengajaknya sembari bermain dengan suasana kekeluargaan.
c. Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang khusus dan berbeda dengan
ruangan tempat pemeriksaan tersangka dewasa pada umumnya.
d. Pada saat melakukan penyidikan penyidik menggunakan seragam
bebas, tidak menggunakan seragam polisi pada umumnya agar
tersangka lebih nyaman dan tidak merasa tertekan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
e. Penyidik mempersilahkan keluarganya untuk mendampinginya pada
saat dilakukan penyidikan karena tersangka menolak didampingi oleh
penasehat hukum dalam penyidikan tersebut.
f. Penyidik telah merahasiakan proses penyidikan terhadap perkara ini
agar tidak diketahui oleh media massa.
g. Penyidik juga menghadirkan anggota Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
untuk melakukan pemeriksaan terhadap tersangka karena tersangka
merupakan anak dibawah umur.
Brigradir Herawan Prasetyo Budi, SH selaku penyidik yang
menangani perkara anak No. Pol. A/LP/1933/XII/SPK.III, yang
memeriksa perkara tersebut dengan di dampingi oleh Kepala Unit bidang
perempuan dan anak. Penyidik mengatakan bahwa tersangka dalam
memberi keterangan secara lancar, kooperatif dan tidak berbelit-belit dan
tanpa didampingi siapapun baik keluarga, atau penasehat hukum dan
pelaku mengakui segala perbuatannya tanpa adanya unsur paksaan dan
intimidasi dari pihak penyidik.
Pada umumnya setelah selesai diperiksa oleh penyidik maka
dilakukan pemberkasan perkara atau berkas perkara, yang kemudian
berkas perkara tersebut diserahkan ke Polres dimana tersangka berdomisili
diwilayahnya. Setelah diperiksa di Reskrim Polres, apabila sudah benar
kemudian diberi cap label POLRI dan apabila belum lengkap maka
dikembalikan untuk diperbaiki. Akan tetapi dalan kasus tersangka
WAHYU ARIANTA als KENCHU tidak sampai dalam pemberkasan
perkara, karena dalam kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan dengan
pertimbangan tidak cukup bukti, faktor usia tersangka yang masih
memerlukan bimbing dan arahan dari orang tua. Pihak kepolisian Polresta
Surakarta kemudian menerbitkan Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara
(SP3) terhadap kasus tersangka WAHYU ARIANTA als KENCHU.
Dengan diterbitkannya surat tersebut maka kasus ini otomatis tidak dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
dilanjutkan ke pengadilan karena perkaranya tersebut tidak cukup bukti
dan tersangka masih termasuk kategori anak yang masih memerlukan
binaan orang tua, maka untuk memberikan kepastian hukum dihentikan
penyidikannya. Hal ini diterangkan oleh Kanit PPA AKP Sri Wahyuni,
selain SP3 pihaknya juga akan memberikan Surat pemberitahuan
perkembangan hasil penyidikan (SP2HP). Surat ini disampaikan kepada
pihak korban bersamaan dengan SP3 tersebut. Hal itu memang mekanisme
dalam penanganan sebuah perkara, dan wajib bagi polisi untuk
melaksanakannya.
Disinggung soal SP2HP, Kanit PPA Polresta Surakarta AKP Sri
Wahyuni menjelaskan bahwa dengan diterbitkannya SP2HP, bukan berarti
korban belum diberi informasi mengenai perkembangan kasusnnya. Ia
juga sudah menginformasikannya kepada keluarganya.
Bila seorang anak dilaporkan melakukan pelanggaran pidana atau
tertangkap telah melakukan pelanggaran pidanan, yang perlu dilakukan
adalah mengupayakan penelaahan yang baik oleh beberapa pihak dan
profesi agar anak mendapatkan diversi (pengalihan cara penanganan
kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses
formal dengan atau tanpa syarat kepada suatu proses informal) dengan
maksud memberikan perlindungan hukum.
Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dalam Pasal 64 Ayat 1 yang menyatakan bahwa anak yang
berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana merupakan
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Pada Pasal 64
Ayat 2 disebutkan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan
dengan hukum dilaksanakan melalui:
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi dengan martabat dan hak-hak
anak
Dalam penanganan kasus perkara No Pol. A/LP/1933/XII/
2009/SPK.III ini tersangka mendapatkan perlakukan yang baik dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
manusia, sesuai dengan kondisinya yang masih tergolong anak.
Walaupun kondisi pelaku saat di tanggkap masih dalam keadaan
mabuk berat, tetapi penyidik tetap memberikan perlakukan yang baik
dan manusiawi, tanpa ada tekanan dan paksaan. Tersangka anak
ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat martabat
diri harus dinilai sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Yang diperiksa
bukan pelaku tetapi perbuatan yang dilakukannyalah yang menjadi
obyek pemeriksaan.
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini
Dalam penanganan kasus perkara No Pol. A/LP/1933/XII/
2009/SPK.III ini tersangka juga ditawarkan jasa penasehat hukum,
tetapi tersangka tidak memakai jasa penasehat hukum tersebut.
c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus
Dalam pelaksanaan penyidikan pada umumnya dilakukan di
tempat penyidikan umum, tetapi khusus penanganan anak atau
perempuan baik korban atau tersangka dilakukan di Ruang Pelayanan
Khusus. Ruang pemeriksaan ini dipergunakan untuk pemeriksaan baik
pelaku maupun korban pidana adalah perempuan maupun anak.
Demikian halnya dalam penanganan perkara No Pol. A/LP/1933/XII/
2009/SPK.III juga dilakukan pemeriksaan atau penyidikan di RPK
Polresta Surakarta.
d. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orangtua
atau keluarga, dan
Dalam hal pemberian jaminan untuk mempertahankan
hubungan dengan orang tua atau keluarga, di Polrestas Surakarta
khususnya dalam penanganan kasus anak, selalu melibatkan keluarga
atau orang tua pelaku. Hal ini dilakukan guna membantu
mempermudah memperjalas duduk perkara sehingga dapat cepat
segera teratasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
e. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
Meskipun Undang-undang Perlindungan Anak belum
tersosialisasi ke seluruh kalangan, kesadaran masyarakat untuk
memenuhi hak-hak anak cukup tinggi. Masyarakat tidak rela jika
identitas anaknya yang berhadapan dengan hukum diungkap di media
massa, karena sadar akan menimbulkan dampak negatif bagi anak-
anak. Demikian halnya Polresta Surakarta juga memberikan
perlindungan terhadap persangka anak dari pemberitaan identitas
media massa ataupun labelisasi.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hal
perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, pihak
Polresta Surakarta telah memenuhi ketentuan Undang-undang nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 64 Ayat (1) dan (2)
yang menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum dan anak
korban tindak pidana merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Penghentian Penyidikan terhadap
Pelanggaran Pasal 2 Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang
Dilakukan Anak Kasus Perkara No Pol. A/LP/1933/XII/ 2009/SPK.III
Menurut undang-undang, penyidikan oleh kepolisian dapat dihentikan.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab penghentian penyidikan secara umum
antara lain:
1. Tidak diperoleh bukti yang cukup.
Artinya penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka
atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan
kesalahan tersangka jika diajukan ke depan pengadilan. Atas dasar inilah
kemudian penyidik berwenang menghentikan penyidikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berkesimpulan
bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan
perbuatan yang melanggar hukum atau tindak kejahatan maka penyidik
berwenang menghentikan penyidikan.
3. Penghentian penyidikan demi hukum.
Penghentian atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan
alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana.
a. Asas nebis in idem. Yaitu seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua
kalinya atas dasar perbuatan yang sama, dimana atas perbuatan itu
telah diputus oleh pengadilan yang berwenang untuk itu dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Apabila tersangkanya meninggal dunia.
c. Karena kadaluarsa. Tenggang waktu itu, menurut KUHP:
1) Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi
kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan.
2) Lewat masa 6 tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum
dengan pidana denda, kurungan atau penjara, yang tidak lebih dari
hukuman penjara selama tiga tahun.
3) Lewat tenggang waktu 12 tahun bagi semua kejahatan yang
diancam dengan hukuman penjara lebih dari 3 tahun.
4) Lewat 18 tahun bagi semua kejahatan yang dapat diancam dengan
hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup.
5) Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana belum
mencapai umur 18 tahun, tenggang waktu kadaluarsa yang disebut
pada poin 1 sampai 4, dikurangi sehingga menjadi sepertiganya.
Adapun dalam kasus Sdr. WAHYU ARIANTA als KENCHU yang
telah dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka dan hasil pemeriksaan
kedapatan menyimpan, memiliki dan membawa senjata tajam jenis Pisau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
pemotong daging, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang
Darurat No. 12 Tahun 1951, sehubungan dengan Laporan Polisi No. Pol:
A/LP/1933/XII/SPK.III, tanggal 23 Desember 2009. Dan tersangka
menerangkan bahwa senjata tajam jenis pisau pemotong daging dan rantai besi
sepanjang kurang lebih 1,5 m tersebut adalah milik temannya bernama BIMO
dan dipergunakan untuk keamanan dirinya sendiri dan belum pernah
menggunakan untuk kejahatan. Pada waktu membawa senjata tajam jenis
pisau pemotong daging tersebut tidak dilengkapi dengan surat ijin membawa
senjata tajam.
Berdasarkan keterangan di atas dengan berbagai pertimbangan dan
faktor, melihat kondisi tersangka masih tergolong anak yang masih
memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua. Berdasar kesepakatan dan
pernyataan dari pihak tersangka dan keluarga, maka penyidik menyatakan
menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti dan masih kategori anak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan atas beberapa uraian yang telah penulisan berikan pada
bab terdahulu, maka dapatlah ditarik suatu simpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan penyidikan, terlebih dulu dilakukan penyelidikan, untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
Dengan diketahuinya bahwa telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana
berdasarkan laporan dari penyelidik, maka penyidik segera melakukan
penyidikan guna mencari serta mengumpulkan barang bukti, yang dengan
barang bukti itu membuat terang tentang suatu tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan terhadap anak yang
melakukan tindak pidana didasarkan pada UU No. 3 Tahun 1997 dan
KUHAP. Dalam kasus yang diangkat dalam penelitian ini telah melanggar
Pasal 2 Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yaitu menyimpan,
memiliki dan membawa senjata tajam jenis Pisau pemotong daging.
Dengan demikian polisi telah menemukan bukti permulaan yang cukup
untuk dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
2. Faktor yang menyebabkan penghentian penyidikan yaitu meskipun
tersangka kedapatan bukti yang sah, akan tetapi barang bukti yang berupa
senjata tajam jenis pisau pemotong daging tersebut belum pernah
dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Menurut penulis, sebenarnya
perbuatan membawa senjata tajam jenis pisau pemotong daging tersebut
merupakan suatu tindak pidana, akan tetapi dalam hal ini polisi
menggunakan diskresi yaitu menyangkut kebijaksanaan untuk
pengambilan suatu keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar
pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
B. Saran
1. Bagi Polisi melakukan pemeriksaan terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dibawah umur, hendaknya Polisi sebagai penegak
hukum melakukan pendekatan secara kekeluargaan dan anak selama
dalam tahanan diberikan pengarahan dan bimbingan yang bermanfaat bagi
anak dikemudian hari.
2. Bagi orang tua, setelah mengetahui anaknya berperkara dengan hukum
hendaknya jangan langsung menyalahkan anak semata, akan tetapi
mengintropeksi diri berkenaan dengan pembinaan keluarga sehingga
nantinya menghasilkan jalan keluar yang terbaik bagi anak.
3. Masyarakat hendaknya turut berpartisipasi secara aktif untuk mendidik
generasi muda, misalnya dengan jalan turut serta membantu
pengembangan organisasi kepemudaan di daerah tempat tinggalnya.
4. Kepada anak yang telah atau sedang berperkara dengan hukum hendaknya
hal tersebut dijadikan pengalaman untuk melangkah dan menatap masa
depan yang lebih baik dan hendaknya jangan malu-malu untuk tetap
berpartisipasi dalam organisasi kepemudaan di daerah tempat tinggalnya.