Upload
guruh-perkasa
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TONSILEKTOMI
Definisi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring
yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.
Indikasi
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif
dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk
terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yanglebih utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil.
Untuk keadaan emergensi seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi
sudahtidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada
keadaan non emergensi dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan.
Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan
tonsilektomi.
Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkanobstruksi saluran napas, disfagia berat,gangguan
tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
b. Abses peritonsil yang tidak membaik denganpengobatan medis dan drainase.
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat.
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis.
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik β-laktamase resistenPada keadaan tertentu seperti pada
absesperitonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapatdilaksanakan bersamaan dengan insisi
abses.
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah
mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanyasebagai kandidat. Dugaan keganasan
dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya
sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,kebanyakan karena
infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat
sederhana seperti halitosis, debriskriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada keadaan
yang lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak
ditenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan
beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan
sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas
hidup walaupun tidak mengancam nyawa.
Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang
“manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat.
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi oleh
Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Selama bertahun-tahun, berbagai
teknik dan instrumen untuk tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat ini teknik
tonsilektomi yang optimal dengan morbiditas yang rendah masih menjadi kontroversi, masing-
masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak seperti kebanyakan operasi dimana
luka sembuh perprimam, penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.
Diskusi terkini dalam memilih jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti
nyeri, perdarahan perioperatif dan pascaoperatif serta durasi operasi. Selain itu juga ditentukan
oleh kemampuan dan pengalaman ahli bedah serta ketersediaan teknologi yang mendukung.
Beberapa teknik dan peralatan baru ditemukan dan dikembangkan di samping teknik
tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luassejak akhir abad ke 19, dan dikenal
sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil.Namun tidak ada literatur
yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotomi modern atau
guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah alat yang
dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk memotong
uvula yang edematosa atau elongasi.
Laporan operasi tonsilektomi pertama dilakukan oleh Celcus pada abad ke-1, kemudian
Albucassis diCordova membuat sebuah buku yang mengulas mengenai operasi dan
pengobatan secara lengkap dengan teknik tonsilektomi yang menggunakan pisau seperti
guillotine. Greenfield Sluder padasekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
merupakan seorang ahli yang sangat merekomendasikan teknik Guillotine dalam
tonsilektomi. Beliau mempopulerkan alat Sluder yang merupakan modifikasi alat
Guillotin.
Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak digunakan. Hingga
dikatakan bahwa teknik Guillotine merupakan teknik tonsilketomi tertua yang masih
aman untuk digunakan hingga sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang
melakukan cara ini, namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia,
terutama didaerah masih lazim dilakukan cara ini dibandingkan cara diseksi.
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat,
komplikasi anestesi kecil, biaya kecil.
2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya sedikit
ahli THT yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder. Di negara-
negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan
endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka
lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Car aini juga banyak
digunakan pada pasien anak.
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain
yang lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah.
Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal anesthesia ). Teknik operas
imeliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa,
mencari kapsultonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatny adari fossa dengan
manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan.
Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin.
Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan benar
dengan mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli bedah dan harus
diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan dimulai. Mouth gag diselipkan dan
bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal terfiksasi aman diantara lidah dan bilah.
Mouth gag
paling baik ditempatkan dengan caramembuka mulut menggunakan jempol dan 2
jaripertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipaendotrakeal tetap di garis tengah
lidah.
Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung bilah tidak
mengenai palatum superior sampai tonsil karena dapat menyebabkan perdarahan. Saat
bilah telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail untuk
gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka. Tindakan ini harus dilakukan dengan
visualisasi langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa orofaringeal akibat ujung
bilah. Setelah mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan secara hati-hati untuk
mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak terjepit,sebagian
besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dankutub superior dan inferior tonsil terlihat. Kepala
diekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum memulai operasi, harus dilakukan
inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan molle. Mouth gag yang dipakai
sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur garis tengah untuk tempat pipa endotrakeal
( ring blade ). Bilah mouth gag tersedia dalam beberapa ukuran. Anak dan dewasa
(khususnya wanita) menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no.
4. Bilah no. 2 jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil. Intubasi nasal trakea lebih
tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli bedah bila tidak dilakukan
adenoidektomi.
Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan disamping teknik
diseksi standar,yaitu:
1. Electrosurgery (Bedah listrik)
Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum, karena mudah
memicu terjadinya ledakan. Namun, dengan makin berkembangnya zat anestetik yang
nonflammable dan perbaikan peralatan operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik
makin meluas. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik
(energi radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang
digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi
saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas
dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini.
Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur
listrik (electrical pathway). Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah
monopolar blade, monopolar suction,bipolar dan prosedur dengan bantuan
mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40W untuk memotong,
menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang
dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat pula
digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.
2. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan. Densitas baru
di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan bagian jaringan
melalui pembentukan panas.Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yangrusak
mengecil dan total volume jaringanberkurang. Pengurangan jaringan juga dapat
terjadibila energi radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar seperti larutan
salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk
memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu rendah (400C-
700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed Surgitron
system (bekerjapada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty system (bekerja
pada 460 kHz), the Arthro Carecoblation system dan Argon plasma coagulators.
Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian atau
berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat menurunkan
morbiditas tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi yang lebih besar dengan
desain yang baik untuk mengevaluasi keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini.
3. Skalpel harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini
menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan
elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup
tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 1500C-4000C),
sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih
rendah (biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110
Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki. Alatnya
memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang bergetar dengan
frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 µm (paling penting), dan hasil dari
pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung pemotong saat kontak dengan
jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan tekanan jaringan internal,
sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan. Koagulasi
muncul ketika energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier
menjadi protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi jaringan
internal akibat vibrasi frekuensi tinggi. Skalpel harmonik memiliki beberapa
keuntungan dibanding teknik bedah lain, yaitu:
Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan akibat panas minimal
karena prosesp emotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan
charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga lebihsedikit. Tidak seperti
elektrokauter, scalpel harmonik tidak memiliki energi listrik yang ditransfer ke atau
melalui pasien, sehingga tidak ada stray energi (energi yang tersasar) yangdapat
menyebabkan shock atau luka bakar.Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah
terlihat jelas karena lebih sedikit perdarahan, perdarahan pasca operasi juga minimal.
Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini mengurangi
nyeri pascaoperasi.Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak
bisa mentolerans ikehilangan darah seperti pada anak-anak,pasien dengan anemia
atau defisiensi faktor VIII dan pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan.
4. Coblation
Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma- mediated tonsillar ablation,
ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation;
bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation. Teknik ini menggunakan
bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency
electrical ) baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan
aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe memanaskan
jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar (suhu 600C (45-
850C) dibanding lebih dari1000C).
National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi teknik coblation
sama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa
nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan.
5. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan
menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat
lainyang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya. Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul
tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi
dan memberikan lapisan “pelindung biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini akan
mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya peradangan lokal
yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat
waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang tersisa akan meningkatkan insiden tonsillar
regrowth. Tonsillar regrowth dan tonsilitis kronis merupakan hal yang perlu
mendapatperhatian khusus dalam teknik tonsilektomiintrakapsuler.
Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini. Keuntungan teknik ini
angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca operasi lebih rendah disbanding
tonsilektomi standar. Tetapi masih diperlukan studi dengan desain yang baik untuk
menilai keuntungan teknik ini.
6. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl
Phospote ) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini
mengurangi volume tonsil. LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan
di poliklinik dengan anestesi lokal. Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal,
morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia pascaoperasi berkurang. Tekhnik ini
direkomendasikan untuk tonsilitis kronik dan rekuren, sore throat kronik, halitosis
berat atau obstruksi jalan nafas yang disebabkan pembesaran tonsil.
Penyulit
Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam melakukan
tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa:
1. Kelainan anatomi:
o Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)
o Kelainan maksilofasial dan dentofasial
2. Kelainan pada komponen darah:
o Hemoglobin < 10 g/100 dl
o Hematokrit < 30 g%
o Kelainan perdarahan dan pembekuan(Hemofilia)
3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain
4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
5. Multiple Allergy
6. Penyakit lain, seperti
o Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
o Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
o Obesitas, kejang demam, epilepsi