Upload
fitriamarizka
View
241
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tinjauan pustaka tentang PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bantuan Hidup Dasar
Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat
darurat medik yang berujuan mencegah berhentinya sirkulasi atau
berhentinya respirasi, serta memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi
dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas
melalui resusitasi jantung paru (RJP). Henti napas dan henti jantung dapat
terjadi pada keadaan seperti tenggelam, stroke, overdosis obat-obatan,
tersengat listrik, infark miokard, dan koma akibat berbagai macam kasus.
Resusitasi jantung paru terdiri dari dua tahap. Pertama, survei primer
yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Kedua, survei sekunder yang hanya
dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedic terlatih dan merupakan
lanjutan dari survei primer.
Dalam mini ptoject ini difokuskan hanya kepada survei primer saja,
terutama pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi. Untuk dapat dengan
mudah tindakan survey primer dirumuskan dengan abjad A (Airway), B
(Breathing), dan C (Circulation).
Sebelum melakukan tahapan A (Airway), harus terlebih dahulu
dilakukan prosedur awal pada korban, yaitu:
1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong.
2. Memastikan kesadaran korban.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak,
penolong harus melakukan upaya agar dapat memastikan
kesadaran korban, dapat dengan cara menyentuh atau
menggoyangkan bahu korban dengan lembut dan mantap untuk
mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil
namanya atau Pak !!/ Bu !!/ Mas !!/ Mbak !!
3. Meminta pertolongan
Jika ternyata korban tidak memberikan respon terhadap
panggilan, segera minta bantuan untuk mengakifkan system
pelayanan medis yang lebih lanjut.
4. Memperbaiki posisi korban
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban harus
dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata
dank eras. Jika korban ditemukan dalam posisi miring atau
tengkurap dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi
korban ke posisi terlentang. Yang harus diperhatikan adalah
penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan
antara kepala, leher dan bahu digerakkan bersama-sama. Jika
posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan pada
posisi horizontal dengan alas tidur yang keras dan kedua
tangan diletakkan di samping tubuh.
5. Mengatur posisi penolong
Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat
memberikan bantuan napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu
mengubah posisi (Purwoko, 2012).
2.1.1. A (Airway) : Jalan Napas
Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan
dengan melakukan tindakan:
1. Pemeriksaan Jalan Napas
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
sumbatan jalan napas oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan
harusharus dibersihkan terlebih dahulu, bila sumbatan berupa
cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk dan jari tengah
yang dilapisi dengan sepotong kain. Sedangkan bila sumbatan
oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari
telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik
cross finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari
telunjuk pada mulut korban.
2. Membuka Jalan Napas
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing
biasa pada korban tidak sadar tonus otot akan menghilang, lidah
dan epiglotis akan menutup faring dan laring, inilah salah satu
penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh
lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala topang dagu
(head tilt, chin lift) dan maneuver pendorongan mandibula (Jaw
thrust). Teknik membuka jalan napas yg direkomendasikan
adalah tengadah kepala topang dagu. Teknik Jaw Thrust hanya
dilakukan bila ada kecurigaan trauma cervical.
2.1.2. B (Breathing) : Bantuan Napas
Terdiri dari 2 tahap :
1. Memastikan korban tidak bernapas
Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya dada, mendengar
bunyi napas dan merasakan hembusan napas korban. Untuk itu
penolong harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung
korban, sambil tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka.
Prosedur ini dilakukan tidak bileh dilakukan melebihi 10 detik.
2. Memberikan bantuan napas
Jika korban tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan
melalui mulut ke mulut, atau mulut ke hidung dengan cara
memberikan hembusan napas 2 kali hembusan, waktu yang
dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 2 detik, sampai
dada korban terlihat mengembang. Penolong harus menarik
napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar
tercapai volume udara yang cukup.
- Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini
merupakan vara yang cepat dan efektif untuk memberikan
udara ke paru-paru korban. Pada saat dilakukan hembusan
dari mulut ke mulut, penolongharus mengambil napas dalam
terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup
seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi
kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong
harus menutup lubang hidung korbanm dengan ibu jari dan
jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari
hidung.
- Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut
korban tidak memungkinkan, misalnya pada trismus atau
mulut korban mengalami luka berat. Sebaliknya, jika
melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup mulut
korban.
2.1.3. C (Circulation) : Bantuan Sirkulasi
Terdiri dari dua tahap:
1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban
Ada tidaknya denyut jantung korban dapat ditentukan dengan
meraba arteri karotis di daerah leher korban, dengan dua atau
tiga jari tangan penolong. Jika teraba denyutan nadi, penolong
harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan
head tilt chin lift untuk menilai pernapasan korban. Jika tidak
bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas
pertahankan jalan napas.
2. Melakukan bantuan sirkulasi
Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat
diberikan bantuan sirkulasi atau yang disebut resusitasi jantung
paru, dilakukan dengan teknik sebagai berikut:
Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong
menelusuri tulang iga kanan atau kiri sehingga bertemu
dengan tulang dada (sternum).
Dari pertemuan tulang iga dan sternum, diukur 2 atau 3
jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk
meletakkan tangan penolong dalam memberikan bantuan
sirkulasi.
Letakkan tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk
satu telapak tangan di atas telapak tangan yang lainnya,
hindari jari-jari tangan menyentuh dinding dada korban.
Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan
dinding dada korban dengan tenaga berat badannya
secara teratur sebanyan 30 kali dengan kedalaman
penekanan berkisar 2 inci / 5 cm,
Tekanan pada dada harus dilepaskan seluruhnya dan
dada dibiarkan mengembang kembali ke posisi semula
setiap kali melakukan kompresi dada.
Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau
merubah posisi tangan pada saat melepaskan kompresi.
Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 :
2 dan kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit.
2.1.4. Penilaian Ulang
Sesudah 5 siklus ventilasi dan kompresi (± 2 menit) kemudian korban
dievaluasi kembali :
Jika tidak ada nadi, lakukan kembali kompresi dan bantuan napas
dengan rasio 30 : 2.
Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas
sebanyak 8-10 kali permenit dan monitor nadi setiap saat.
Jika ada napas dan denyut nadi teraba, jaga agar jalan napas tetap
terbuka kemudian letakkan korban pada posisi mantap (Purwoko,
2012).
2.2. Bebat Bidai
Pembebatan dan pembidaian memegang peranan penting dalam
manajemen awal dari trauma musculoskeletal, seperti fraktur ekstremitas,
dislokasi sendi dan sprain. Pemasangan bebat dan bidai yang adekuat akan
menstabilkan ekstremitas yang mengalami trauma, mengurangi
ketidaknyamanan pasien dan memfasilitasi proses penyembuhan jaringan.
Tergantung pada tipe trauma atau kerusakan, pembebatan atau pembidaian
dapat menjadi satu-satunya terapi atau menjadi tindakan pertolongan awal
sebelum dilakukan proses diagnostic atau intervensi bedah lebih lanjut
(Subandono, 2012).
2.2.1. Pembebatan
Derajat penekanan yang dihasilkan oleh suatu pembebatan
sangat penting untuk diperhatikan, penekanan yang diberikan tidak
boleh meningkatkan tekanan hidrostatik yang berakibat
meningkatkan edema jaringan, juga jangan sampai mengganggu
sirkulasi darah di daerah luka atau sekitar luka.
2.2.1.1. Tipe-Tipe Pembebat
1) Stretchable Roller Bandage
Pembebat ini biasanya terbuat dari kain, kasa,
flannel atau bahan panjang yang bersifat elastic.
Kebanyakan terbuat dari kasa karena menyerap air
dan darah serta tidak mudah longgar. Pembebat tipe
ini tersedia berbagai ukuran dengan kegunaannya
masing-masing.
2) Triangle Cloth
Pembebat ini berbentuk segitiga terbuat dari kain.
Digunakan untuk bagian-bagian tubuh yang
berbentuk melingkar atau untuk menyokong bagian
tubuh yang terluka.
3) Tie Shape
Meruoakan triangle cloth yang dilipat berulang kali.
Biasanya digunakan untuk membebat mata, semua
bagian kepala atau wajah, serta mandibula.
4) Plaster
Pembebat ini digunakan untuk menutup luka,
mengimobilisasi sendi yang cedera, serta
mengimobilisasi tulang yang patah.
5) Steril Gauze (kasa steril)
Digunakan untuk menutup luka yang kecil yang
telah diterapi dengan antiseptik dan antibiotic.
2.2.1.2. Putaran Dasar Dalam Pembebatan
1) Putaran Spiral (Spiral Turns)
Digunakan untuk membebat bagian tubuh yang
memiliki lingkaran sama, misalnya pada lengan
atas. Putaran dibuat dengan sudut yang kecil, dan
setiap putaran menutup 2/3 lebar bandage dari
putaran sebelumnya.
2) Putaran Sirkuler (Circular Turns)
Biasanya digunakan untuk mengunci bebat sebelum
mulai memutar bebat, mengakhiri pembebatan, dan
untuk menutup bagian tubuh yang berbentuk
silinder/tabung misalnya pada bagian proksimal dari
jari. Biasanya tidak digunakan untuk menutup
daerah luka karena menimbulkan ketidaknyamanan.
3) Putaran Spiral Terbalik (Spiral Reverse Turns)
Digunakan untuk membebat bagian tubuh dengan
bentuk silinder yang panjang kelilingnya tidak
sama, misalnya pada tungkai bawah kaki yang
berotot. Bebat diarahkan ke atas dengan sudut 30°,
kemudian letakkan ibu jari dari tangan yang bebas
di sudut bagian atas dari bebat. Bebat diputarkan
membalik, sehingga bebat menekuk di atas bebat
tersebut lanjutkan putaran seperti sebelumnya.
4) Putaran Berulang (Recurrent Turns)
Digunakan untuk menutup bagian bawah dari tubuh
misalnya jari atau pada bagian tubuh yang
diamputasi. Bebat diputar secara sirkuler di bagian
proksimal, kemudian ditekuk membalik dan dibawa
kearah proksimal menutup semua bagian distal.
Pola ini dilanjutkan bergantian kea rah kanan dan
kiri saling tumpang tindih. Bebat kemudian diakhiri
dengan dua putaran sirkuler yang bersatu di sudut
lekukan dari bebat.
5) Putaran Seperti Angka Delapan (Figure of Eight
Turns)
Biasanya digunakan untuk membebat siku, lutut,
atau tumit. Bebat diawali dengan dua putaran
sirkuler, kemudian dibawa menuju ke atas
persendian, mengelilinginya, dan menuju ke bawah
persendian, membuat putaran seperti angka delapan.
Setiap putaran dilakukan ke atas dank e bawah dari
persendian dengan menutup putaran sebelumnya
dengan 2/3 lebar bebat. Lalu diakhiri dengan dua
putaran sirkuler di atas persendian.
2.2.1.3. Prosedur Pembebatan
1) Perhatikan hal-hal berikut: lokasi/tempat cedera, luka
terbuka atau tertutup, perkiraan lebar atau diameter luka, dan
gangguan terhadap pergerakan sendi akibat luka.
2) Pilihlan pembebat yang benar, dan dapat memakai
kombinasi lebih dari satu jenis pembebat.
3) Jika terdapat luka dibersihkan dahulu dengan disinfektan,
jika terdapat dislokasi sendi diposisikan seanatomis
mungkin.
4) Tentukan posisi pembebat dengan benar berdasarkan:
a) Pembatasan semua gerakan sendi yang perlu
diimobilisasi
b) Tidak boleh mengganggu pergerakan sendi yang
normal
c) Buatlah pasien senyaman mungkin pada saat
pembebatan
d) Jangan sampai mengganggu peredaran darah
e) Pastikan pembebat tidak mudah lepas
2.2.2. Pembidaian
Bidai adalah alat yang terbuat dari kayu, logam atau bahan
lain yang kuat tetapi ringan untuk imobilisasi tulang yang patah
dengan tujuan mengistirahatkan tulang tersebut dan mencegah
timbulnya rasa nyeri.
2.2.2.1. Prinsip Pembidaian
1) Pembidaian menggunakan prinsip melalui dua sendi,
sendi di sebelah proksimal dan distal fraktur.
2) Pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai
cedera dilepas, periksa adanya luka terbuka atau tanda-
tanda patah atau dislokasi.
3) Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan
neurologis pada bagian distal yang mengalami cedera
sebelum dan sesudah pembidaian.
4) Tutup luka dengan kassa steril.
5) Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan
pembidaian kecuali ada di tempat bahaya.
6) Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang
kaku.
2.2.2.2. Contoh Penggunaan Bidai
1) Fraktur Humerus (Patah Tulang Lengan Atas)
Letakkan lengan bawah di dada dengan
telapak tangan menghadap ke dalam.
Pasang bidau dari siku sampai bahu.
Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang
yang patah.
Lengan bawah digendong dengan triangle
cloth.
Jika siku juga patah dan tangan tak dapat
dilipat, pasang bidai ke lengan bawah dan
biarkan tangan tergantung tak usah di
gendong.
Bawa korban ke rumah sakit.
2) Fraktur Antebrachii (Patah Tulang Lengan Bawah)
Letakkan tangan pada dada.
Pasang bidai dari siku sampai punggung
tangan.
Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang
yang patah.
Lengan di gendong dengan triangle cloth.
Bawa korban ke rumah sakit.
3) Fraktur Clavicula (Patah Tulang Selangka)
Dipasang ransel perban.
Bagian yang patah diberi alas terlebih dahulu.
Pembalut dipasang dari pundak kiri
disilangkan melalui punggung ke ketiak
kanan.
Dari ketiak kanan ke depan dan atas pundak
kanan, dari pundak kanan disilangkan ke
ketiak kiri, lalu ke pundak kiri, kemudian
diberi peniti/diikat.
Bawa korban ke rumah sakit.
4) Fraktur Femur (Patah Tulang Paha)
Pasang 2 bidai, yang pertama dari ketiak
sampai sedikit melewati mata kaki, kemudian
yang kedua dari lipat paha sampai sedikit
melewati mata kaki.
Beri bantalan kapas atau kain antara bidai
dengan tungkai yang patah.
Bila perlu ikat kedua kaki di atas lutut untuk
mengurangi pergerakan.
Bawa korban ke rumah sakit.
5) Fraktur Cruris (Patah Tulang Tungkai Bawah)
Pasang dua bidai sebelah dalam dan sebelah
luar tungkai kaki yang patah.
Di antara bidai dan tungkai beri kapas atau
kain sebagai alas.
Bidai di pasang antara mata kaki sampai
beberapa cm di atas lutut.
Bawa korban ke rumah sakit.
2.2.2.3. Observasi Setelah Tindakan
Tanyakan kepada pasien apakah sudah merasa nyaman
dengan bebat dan bidai yang dipasang, apakah nyerinya
sudah berkurang, apakah terlalu ketat atau terlalu longgar.
Lakukan re-evaluasi terhadap ekstremitas di sebelah
distal segera setelah memasang bebat dan bidai, meliputi:
Warna kulit, Fungsi sensorik dan motorik ekstremitas,
pulsasi arteri, serta pengisisan kapiler (Subandono, 2012).
2.3. Perdarahan
Jika terjadi trauma sangat mungkin terjadi perdarahan, maka tindakan
mengontrol perdarahan merupakan prioritas pada pertolongan pertama. Tipe
perdarahan dapat kita kelompokkan sebagai berikut:
Perdarahan yang bertitik-titik dan menyebar merupakan perdarahan
kapiler.
Darah yang mengalir berwarna merah gelap merupakan perdarahan
vena.
Darah yang memancar atau mengalir deras, berwarna merah segar
merupakan perdarahan arteri.
2.3.1. Penatalaksanaan Perdarahan Masif
1) Baringkan penderita, perhatikan jika ada darah yang mengalir ke
jalan nafas jangan sampai menyumbat jalan nafas.
2) Angkat bagian tubuh yang mengalami perdarahan untuk
mengurangi derasnya aliran.
3) Singkirkan pakaian yang menghalangi darah tersebut.
4) Lindungi luka dengan perban tekan yang bersih.
5) Untuk perdarahan arteri, diberikan tekanan pada daerah proksimal
luka atau bila tidak bisa, boleh menggunakan tourniquet (jika
darurat bisa menggunakan sapu tangan, dasi, seutas tali atau
sepotong pakaian). Tourniquet diikat selama 15 menit dan
dikendorkan 1 menit, selang seling demikian seterusnya. Hati-hati
tourniquet bisa menimbulkan penimbul ganggren sehingga hanya
dipakai bila perdarahan masif (Yarsa, 2012).
2.4. Tersedak
Tersedak adalah sumbatan mekanik dari jalan nafas dari udara menuju
paru-paru. Tersedak menyebabkan terganggunya pernafasan yang dapat
terjadi sebagian atau total. Bila sumbatan sebagian , penderita masih dapat
bernafas walaupun tidak mencukupi aliran udara ke paru. Tersedak yang
terlalu lama atau onstruksi total akan menyebabkan asfiksia, hipoksia, dan
berakibat fatal.
Tersedak secara umum diketahui karena adanya benda asing yang
tersangkut pada jalan nafas. Ini sering dialami oleh anak kecil yang belum
mengerti bahaya memasukkan benda kecil ke dalam mulut atau hidung.
Pada orang dewasa ini sering terjadi pada saat makan. Gejalanya dapat
berupa:
o Penderita tidak dapat berbicara atau menangis
o Penderita menjadi biru karena kekurangan oksigen
o Penderita memegangi tenggorokannya
o Penderita batuk-batuk lemah dan nafas sulit menyebabkan suara
nafas berisik dengan nada tinggi
o Penderita akhirnya tidak sadar
2.4.1. Penatalaksanaan Tersedak
Tersedak dapat ditolong dengan beberapa prosedur, yang dapat
dilakukan baik oleh orang awam ataupun petugas kesehatan.
1) Menepuk Punggung (Back Blow)
Sebagian besar protokol saat ini menganjurkan dengan
memukul punggung penderita bagian atas dengan menggunakan
tumit tangan secara keras, sekitar 5 sampai 20 kali pukulan.
Tepukan pada punggung ini dirancang dengan
menggunakan pukulan di belakang sumbatan, yang akan
membantu pasien untuk melepaskan benda asing tersebut. Pada
beberapa kasus, getaran ini bisa menggerakkan benda asing yang
menyumbat jalan napas sehingga cukup untuk membuka jalan
napas. Kebanyakan protocol memberikan pukulan punggung
sebagai teknik yang pertama digunakan sebelum teknik penekanan
abdomen yang dipertimbangkan dapat mencederai saat penolong
melakukan penekanan pada abdomen pada penderita yang
tersedak.
2) Dorongan Abdomen (Heimlich Manuver)
Dorongan abdomen juga dikenal sebagai Heimlich
Manuver. Melakukan dorongan abdomen melibatkan penolong
berdiri di belakang oenderita dengan menggunakan tangan mereka
untuk menekan dasar diafragma. Tangan melingkar pada
pinggang penderita, letakkan kepalan tangan pertama di antara
pusar dan iga. Genggam kepalan pertama menggunakan tangan
yang lain. Tarik kepalan tangan tadi ke belakang tas di bawah
rongga dada. Ini akan menekan paru-paru dan dapat mendorong
benda yang menyangkut di trakea sehingga membantu penderita
mengeluarkan benda asing.
Karena sifat dari prosedur ini yang memberikan daya
dorong yang kuat, walaupun dilakukan dengan benar ini dapat
mencederai penderita. Memar pada abdomen sering terjadi dan
cedera yang lebih berat dapat terjadi seperti termasuk fraktur pada
prosesus xyphoideus atau fraktur tulang iga. Pada kasus dengan
penderita yang gemuk atau hamil gunakan tekanan pada dada
(Yarsa, 2012).
2.5. Gigitan Ular Berbisa
Gejala paling mudah mengenali gigitan ular berbisa adalah rasa sakit
yang hebat. Terdapat satu atau dua bekas taring dengan ekimosis, bengkak
dan perlunakan jaringan sekitarnya. Jika tidak terjadi pembengkakan setelah
30 menit gigitan mungkin tidak ada bisa yang disuntikkan. Setelah 8 jam
mungkin timbul bula, vesikel hemiragik atau peteki. Gejala sistemik
termasuk fasikulasi otot, hipotensi, badan lemas, berkeringat, pusing, mual
dan muntah (Yarsa, 2012).
2.5.1. Pertolongan Pertama Keracunan Akibat Gigitan Ular
Pertolongan pertama harus dilaksanakan secepatnya setelah
terjadi gigitan ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini
dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di
tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk
menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan
menghindari komplikasi sebelum mendapat perawatan medis di
rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan.
1) Tenangkan korban yang cemas, imobilisasi bagian tubuh yang
tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar
tidak terjadi kontraksi otot. Karena kontraksi dapat meningkatkan
penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening.
2) Bersihkan luka dengan air mengalir, dan hindari manipulasi
berlebih terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan
penyerapan dan menimbulkan perdarahan local.
3) Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan
gigitan ular. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat
mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat
menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
4) Insisi, pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit
juga harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya. Insisi /
fasciotomi baru dilakukan bila ada edema yang makin luas dan
terjadi compartment syndrome.
5) Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang
aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk
mencegah peningkatan penyerapan bisa (Nia, 2010).
Niasari, Nia. 2010. Sari Pediatri: Gigitan Ular Berbisa. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Purwoko. 2012. Bantuan Hidup Dasar dan Triage. Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret: Surakarta.
Yarsa, Kristianto Yuli. 2012. Accident & Emergency. Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret: Surakarta
Subandono, Jarot. 2012. Bebat bidai. Fakultas Kedokteran Sebelas Maret:
Surakarta.