30
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma Nefrotik, Sindroma Nefrotik Resisten Steroid Sindroma nefrotik ditandai dengan gangguan selektif permeabilitas kapiler glomerulus sehingga terjadi kehilangan protein melalui urin. Proteinuria pada anak SN relatif selektif yang terdiri atas albumin dengan kisaran nefrotik proteinuria mencapai 1000 mg/m 2 Kejadian proteinuria merupakan kelainan dasar pada SN. Sebagian besar proteinuria berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular). Filter kapiler glomerulus terdiri atas tiga lapisan, yaitu endotel, membran basalis, dan sel epitel (podosit) dengan foot processes serta slit diafragma. Glomerulus memiliki muatan negatif (charge selective barrier) akibat adanya residu asam sialat pada glikokaliks yang melapisi epitel dan endotel, serta adanya proteoglikan heparan sulfat pada membran basalis. Muatan negatif sangat berkurang pada penderita SN sehingga kemampuan menahan protein yang bermuatan negatif berkurang pula. Steroid dapat mengembalikan kandungan sialoprotein kembali normal sehingga penderita SN mengalami remisi. Selain gangguan pada muatan negatif, pendataran foot process (gangguan pada size selective barrier) juga diduga menjadi sebab terjadinya kebocoran protein (Haycock, 2003; per hari atau rasio protein kreatinin pada random (spot) urin mencapai 2 mg/mg (Bagga dan Mantan, 2005). Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

  • Upload
    buikiet

  • View
    270

  • Download
    12

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Sindroma Nefrotik, Sindroma Nefrotik Resisten Steroid

Sindroma nefrotik ditandai dengan gangguan selektif permeabilitas

kapiler glomerulus sehingga terjadi kehilangan protein melalui urin.

Proteinuria pada anak SN relatif selektif yang terdiri atas albumin dengan

kisaran nefrotik proteinuria mencapai 1000 mg/m2

Kejadian proteinuria merupakan kelainan dasar pada SN. Sebagian

besar proteinuria berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria

glomerular). Filter kapiler glomerulus terdiri atas tiga lapisan, yaitu endotel,

membran basalis, dan sel epitel (podosit) dengan foot processes serta slit

diafragma. Glomerulus memiliki muatan negatif (charge selective barrier)

akibat adanya residu asam sialat pada glikokaliks yang melapisi epitel dan

endotel, serta adanya proteoglikan heparan sulfat pada membran basalis.

Muatan negatif sangat berkurang pada penderita SN sehingga

kemampuan menahan protein yang bermuatan negatif berkurang pula.

Steroid dapat mengembalikan kandungan sialoprotein kembali normal

sehingga penderita SN mengalami remisi. Selain gangguan pada muatan

negatif, pendataran foot process (gangguan pada size selective barrier)

juga diduga menjadi sebab terjadinya kebocoran protein (Haycock, 2003;

per hari atau rasio

protein kreatinin pada random (spot) urin mencapai 2 mg/mg (Bagga dan

Mantan, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Jalanko, 2003). Sel ini diduga mengalami perubahan morfologi selama

kejadian proteinuria.

Berbagai penelitian jangka panjang menunjukkan respon terhadap

pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis

dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Klasifikasi SN lebih

didasarkan pada respon klinik, yaitu SNSS dan SNRS. SN pada anak

85%-90% merupakan SNSS, hanya 10%-15% merupakan SNRS

(Niaudet, 1999), hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar populasi

anak penderita SN dapat terhindar dari prosedur invasif.

Kelompok SNRS adalah penderita yang tidak mengalami remisi

setelah diberikan terapi steroid dalam waktu empat minggu. Kelompok ini

terbagi atas dua kategori, yaitu resisten steroid primer dan resisten steroid

sekunder (Niaudet, 1999; Fydryk dan Querfeld, 2002). Persentase

kelompok ini relatif kecil, tetapi dapat berkembang menjadi gagal ginjal

tahap akhir dalam waktu 1-4 tahun. Oleh karena itu prediksi terjadinya

resisten steroid menjadi isu yang penting (Niaudet, 1993).

Banyak hal yang berkaitan dengan prediksi resisten steroid pada

anak, walaupun demikian secara garis besar dibagi atas karakteristik klinis

dan histologis. Para klinisi cenderung menggunakan karakteristik klinis

untuk prediksi tersebut, misalnya umur saat presentasi pertama kali,

keberadaan hematuria dan atau hipertensi.

Umur saat presentasi pertama kali di bawah usia 1 tahun, setelah

usia 6 tahun atau setelah pubertas memiliki kemungkinan menjadi resisten

steroid. Kejadian SN tidak biasa terjadi pada tahun pertama kehidupan

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

dan sangat jarang terjadi di bawah 6 bulan (Haycock,2003). Puncak

insidens SNSS maupun SNRS adalah umur prasekolah, sebanyak 80%

berumur kurang dari 6 tahun dengan median umur 2,5 tahun untuk SNSS

dan 6 tahun untuk SNRS (Niaudet,1999).

Begitu juga faktor hematuria dan atau hipertensi dapat menjadi

prediksi resisten steroid, masing-masing 30% dan 50%. Keadaan

hipertensi ditemukan pada 13% hingga 20,7% pada SNSS dan meningkat

menjadi 27% sampai 51,4% (masing masing untuk tekanan darah diastolik

dan tekanan darah sistolik) pada SNRS (ISKDC.,1978). Hematuria

mikroskopik ditemukan pada 22,7% kasus SNSS dan meningkat menjadi

67% pada SNRS (Niaudet,1999).

Kadar rasio protein kreatinin urin menjadi dasar bagi klinisi dalam

menentukan respon atau tidak terhadap terapi steroid. Penelitian Partini,

(2007) menemukan pasien SNRS mengalami kadar rasio protein kreatinin

urin yang berbeda secara bermakna bila dibandingkan dengan anak

tanpa penyakit ginjal ataupun anak dengan SN remisi (p<0,0001). Hal ini

menunjukkan bahwa rasio protein kreatinin urin pada pasien SNRS dapat

digunakan sebagai pedoman klinis respon terapi steroid.

2.1.2 Hipertensi sebagai Luaran Klinis SNRS

Hipertensi merupakan salah satu karakteristik klinik sebagai

prediksi resistensi steroid. Kemungkinan terjadinya resistensi steroid pada

anak SN yang mengalami hipertensi adalah 50%-60% (ISKDC, 1981;

ISKDC, 1978).

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Pengaturan tekanan darah amat dipengaruhi oleh pengaturan

volume cairan ekstrasel. Peningkatan volume cairan ekstrasel akan

meningkatkan volume darah dan tekanan darah sehingga pemantauan

jumlah cairan ekstrasel dilakukan dengan pemantauan tekanan darah.

Hipertensi pada SN ini diakibatkan perubahan aktivitas vasopresor atau

volume intravaskular, sedangkan aktivitas plasma renin dapat menurun

atau meningkat. Pada penurunan aktivitas plasma renin biasanya terjadi

retensi natrium, peningkatan volume ekstraselular, penurunan laju filtrasi

glomerulus dan normotensi. Pada penderita dengan peningkatan aktivitas

plasma renin memunyai volume arteri plasma efektif yang rendah dan laju

filtrasi glomerulus yang normal. Edema intrarenal menyebabkan

penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat menyebabkan ekspansi

volume plasma. Terapi kortikosteroid merupakan penyebab utama

hipertensi kronik karena kortikosteroid dapat meningkatkan respon

vaskular terhadap norepinefrin dan angiotensin II. Penderita hipervolemia

yang mengalami penurunan aktivitas plasma renin, lebih sering

mengalami hipertensi akibat terapi kortikosteroid (Gruskin et al., 1999).

Sebaliknya pada penderita hipovolemia dapat juga terjadi hipertensi akibat

respon vasokonstriksi yang diperantarai oleh angiotensin (Gambar 1).

Respon peningkatan tekanan darah akibat angiotensin II ini dapat

diukur dengan kadar angiotensin II di plasma. Penelitian Vollard, et al.

(1999) menemukan bahwa solid phase immobilized epitope immunoassay

merupakan cara yang sensitif dan spesifik dalam pengukuran angiotensin

II plasma (r=0,9).

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Gambar 1. Hubungan Glomerulopati dengan Hipertensi. Hipertensi dapat disebabkan oleh hipervolemia akibat retensi garam/air (perubahan volume) atau perubahan vasopresor oleh angiotensin II sekunder dari iskemia.

2.1.3 Genotip MIF dan Respon Terhadap Glukokortikoid

Perkembangan studi tentang biologi sel dan molekular berperan

dalam membantu klinisi menentukan respon terapi. Gen ataupun petanda

protein menjadi tujuan studi-studi respon terhadap steroid (Yi dan He,

2006). Faktor yang berpengaruh terhadap respon terapi steroid adalah

vasokonstriksi

Glomerulopati

iskemia Ekskresi air dan garam menurun

Pengeluaran renin oleh jukstaglomerular app

Angiotensinogen Angiotensin I

Angiotensin II

Aldosteron ADH Hipervolemia

Peningkatan tonus otot polos

Penghambatan Na K ATP ase peningkatan intrasel Na

Cardiac output meningkat

HIPERTENSI

Kerusakan arteriol

Peningkatan afterload

Kerusakan vaskular

Nefrosklerosis

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

jumlah dan afinitas reseptor glukokortikoid yang rendah (Haack et al.,

1999)

Efek biologis glukokortikoid terjadi melalui ikatan glukokortikoid

dengan reseptor glukokortikoid di membran sel. Ekspresi reseptor

glukokortikoid dijumpai pada berbagai jenis sel, termasuk di podosit (Yan

et al.,1999). Konfigurasi kompleks glukokortikoid dengan reseptor

berfungsi mempertahankan reseptor glukokortikoid punya afinitas tinggi

terhadap glukokortikoid (Barnes,2010).

Perubahan protein atau perubahan kuantitas reseptor

glukokortikoid menyebabkan resisten terhadap glukokortikoid.

Kebanyakan pasien anak dengan SN idiopatik memiliki jumlah reseptor

glukokortikoid yang banyak sehingga sensitif terhadap steroid, sedangkan

mereka yang mengalami nefritik nefrosis memiliki jumlah reseptor yang

sedikit sehingga resisten terhadap steroid (Yi dan He, 2006). Kandidat gen

di bawah ini umumnya bekerja dengan cara perubahan protein ataupun

perubahan kuantitas reseptor glukokortikoid (Tabel 1).

Apabila jumlah reseptor glukokortikoid berkurang ataupun afinitas

terhadap reseptor berkurang, respon individu terhadap steroid akan

berkurang. Begitu juga bila ada fosforilasi reseptor yang memengaruhi

sensitivitas terhadap glukokortikoid ataupun adanya peningkatan isoform

reseptor β glukokortikoid (Pujols et al., 2002) yang menyebabkan

terhambatnya pengikatan glukokortikoid oleh reseptor α glukokortikoid dan

menurunnya respon terhadap terapi steroid (Wikstrom, 2003;Towers et al.,

2005).

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Tabel 1. Faktor Risiko Genetik Resisten Steroid pada SN

Gen Peneliti Jumlah peserta

ACE insersi dan delesi

Sasongko, et al., 2005 85 kasus/ 68 kontrol

IL-4 Tripathi, et al., 2008

Acharya, et al., 2005

35 kasus/115 kontrol

84 kasus/ 61 kontrol

IL-12 B Jan, et al., 2008 79 kasus/ 87 kontrol

IL-13 Wei, et al., 2005 72 kasus/78 kontrol

Paraoxonase-1 Biyikli, et al., 2006 55 kasus/ 30 kontrol

MIF Berdelli, et al., 2005

Vivarelli, et al., 2008

214 kasus/103 kontrol

257 kasus/353 kontrol

Apolipoprotein E Kim, et al., 2003

Bruschi, et al.,2003

190 kasus/132 kontrol

139 kasus/70 kontrol

MDR-1 Funaki, et al., 2008

Stachowski, et al., 2000

14 pasien

39 pasien

NR3C1 Cho, et al., 2009 190 kasus/100 kontrol

Hal ini menunjukkan bahwa respon individu terhadap glukokortikoid

banyak dipengaruhi oleh kontrol gen atau perubahan struktur molekular

reseptor glukokortikoid. Pemberian glukokortikoid pada individu dengan

respon yang rendah akan meningkatkan efek samping pemakaian obat ini

bahkan risiko keparahan penyakit akan meningkat.

Posisi 5’ dari gen macrophage migration inhibitory factor (MIF)

mengandung elemen pengatur respon glukokortikoid (glucocorticoid

responsive element). Gen MIF pada genom manusia (Gambar 2) berlokasi

pada bagian long arm dari kromosom 22 (Arenberg dan Bucala, 2003;

Calandra dan Roger, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Gambar 2. Struktur Gen MIF Manusia. Gen MIF mengandung tiga ekson pendek (107, 172, dan 66 pasangan basa) dan dua intron (188 dan 94 pasangan basa). Regio 5’ mempunyai dua polimorfisme yaitu pada posisi -794 dan -173 (Calandra dan Roger, 2003).

Individu dengan perubahan gen macrophage migration inhibitory

factor (MIF) nukleotida tunggal G ke C (single nucleotide G to C

polymorphism) pada posisi -173 memunyai risiko untuk resisten terhadap

terapi steroid. Hal ini menyebabkan individu dengan polimorfisme G ke C

rentan terhadap penyakit inflamasi yang seharusnya dapat ditata laksana

dengan steroid. Individu alel C dengan penyakit SN berisiko terjadinya

hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon terhadap

glukokortikoid eksogen oleh MIF (Vivarelli et al.,2008). Peningkatan kadar

MIF menghalangi efek glukokortikoid (Gambar 3) sehingga proses

antiinflamasi glukokokortikoid tidak bekerja (Aeberli et al., 2006a).

Gen MIF diekspresikan pada berbagai tipe sel dan diatur oleh

berbagai stimuli. Genotip MIF individual akan mengatur respons fisiologis

MIF dan selanjutnya, mengatur kemampuan MIF dalam antagonistik efek

glukokortikoid. Skrining genotif MIF pada saat awitan penyakit penting

Hal ini

memengaruhi perkembangan penyakit SN menjadi resisten steroid dan

penurunan fungsi ginjal dalam beberapa tahun (Vivarelli et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

dalam mengidentifikasi pasien yang membutuhkan terapi agresif selain

steroid (Vivarelli et al., 2008).

1 2 3

Gambar 3. Hubungan antara MIF, Glukokortikoid dan Inflamasi. Gambar 3.1. Sitokin MIF mempengaruhi inflamasi begitu juga sebaliknya. 3.2. Glukokortikoid yang berasal dari adrenal maupun eksogen bekerja menghambat inflamasi, namun di sisi lain bekerja menginduksi MIF. 3.3. Efek MIF terhadap induksi glukokortikoid bekerja antagonis sehingga inflamasi terus berlangsung.

Aksi MIF dan efek terhadap glukokortikoid memberikan ide pada

berbagai penelitian untuk mencari variasi genetik MIF yang dapat

mempengaruhi ekspresi dan kegunaan fungsional. Glukokortikoid

endogen atau eksogen bekerja menghambat inflamasi, tetapi menginduksi

MIF, yang selanjutnya menghambat efek glukokortikoid. Antagonisme MIF

menghambat efek langsung MIF terhadap inflamasi dan kemudian,

menetralisasi antagonis glukokortikoid terhadap inflamasi (Morand, 2005).

Konsekuensinya adalah aktivitas MIF ini menjadi target potensial dalam

mengobati penyakit tersebut. Efek antagonis terhadap aksi glukokortikoid

memberikan efek yang menguntungkan terhadap netralisasi MIF bersama

dengan aktivitas antiinflamasi glukokortikoid.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Promoter MIF mengandung polimorfisme nukleotida tunggal G ke C

(single nucleotide G to C polymorphism) pada posisi -173. Studi Berdeli et

al., 2005 di Turki menemukan peran alel C merupakan faktor risiko terjadi

resisten steroid (OR= 3,6; 95 CI% 2,2 sampai 6,0). Penderita dengan

genotip CC menunjukkan umur yang lebih muda saat awitan proteinuria

dan berisiko lebih tinggi mengalami gangguan fungsi ginjal menetap

(OR=5,43, p=0,013). Penelitian lain oleh Vivarelli et al., 2008 menemukan

hubungan polimorfisme MIF dengan progresivitas menuju PGK tahap

akhir, ditunjukkan dengan analisis survival dalam 5 tahun sejak awitan

penyakit. Penderita SN dengan alel C mengalami luaran klinis yang lebih

jelek dibandingkan penderita SN dengan alel G .

Kedua penelitian tersebut di atas belum jelas menerangkan apakah

polimorfisme -173 G ke C gen MIF sebagai faktor risiko SNRS

berhubungan dengan level MIF serum. Polimorfisme secara fungsional

berhubungan dengan ekspresi MIF yang lebih tinggi secara in vitro dan

peningkatan level MIF serum secara in vivo (Donn et al., 2002). Penelitian

lain oleh De Benedetti,et al.(2003) pada penderita juvenil arthritis

menemukan kadar MIF serum lebih tinggi pada subjek yang memiliki alel

C (median 20,8 ng/ml) dibandingkan genotip GG (median 10,8 ng/ml)

(p=0.017), namun belum ada penelitian pada penderita SNRS.

2.1.4 Peran Angiotensin II Regulasi Tekanan Darah

Pengaturan tekanan darah di dalam tubuh dapat dibagi tiga bagian,

yaitu mekanisme cepat, jangka menengah, dan jangka panjang.

Mekanisme kontrol tekanan darah secara cepat diatur oleh mekanisme

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

umpan balik baroreseptor, respons iskemik SSP, dan kemoreseptor.

Kombinasi ketiga mekanisme ini bekerja sangat kuat dan cepat dalam

mengatur tekanan darah. Selanjutnya, terdapat mekanisme kontrol

tekanan darah yang bersifat jangka menengah (dalam 30 menit sampai

dengan beberapa jam setelah pengaturan akut) yang diperankan oleh

mekanisme vasokonstriktor renin angiotensin; stres dan relaksasi

pembuluh darah; dan pergeseran cairan melalui dinding kapiler untuk

mengatur volume darah. Mekanisme kontrol tekanan darah yang bersifat

jangka panjang diperankan ginjal melalui mekanisme pengaturan volume

darah dan sistem renin angiotensin aldosteron (Guyton, 1991).

Dua hal utama yang mempengaruhi tekanan darah adalah curah

jantung dan tahanan sistemik vaskular. Keduanya diatur oleh kombinasi

mekanisme jangka pendek (termasuk intermediet) ataupun jangka

panjang. Mekanisme jangka pendek mengatur tahanan sistemik vaskular,

kapasitansi kardiovaskular, dan penampilan kardiak (frekuensi jantung

dan kontraksi). Pada mekanisme jangka panjang curah jantung diatur oleh

alir balik vena. Alir balik vena diatur oleh volume darah dan amat berkaitan

dengan volume cairan ekstrasel serta keseimbangan sodium (Navar dan

Hamm, 1999).

Regulasi jangka panjang tekanan darah berhubungan erat dengan

kemampuan ginjal dalam mengekskresikan sodium klorida untuk

mempertahankan balans sodium yang normal, volume cairan ekstrasel,

dan volume darah. Oleh karena itu, penyakit ginjal merupakan penyebab

paling sering dari hipertensi sekunder. Apabila hipertensi tidak diobati,

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

akan terjadi interaksi umpan balik positif yang menyebabkan terjadinya

hipertensi progresif dan kerusakan ginjal lebih lanjut.

Peningkatan asupan sodium klorida pada orang normal

menyebabkan pengaturan mekanisme humoral, neural, dan parakrin

yang memengaruhi hemodinamik renal dan sistemik serta peningkatan

ekskresi sodium tanpa peningkatan tekanan darah. Apabila terjadi

penurunan ekskresi sodium, dapat menyebabkan peningkatan kronik

volume cairan ekstrasel dan volume darah sehingga terjadi hipertensi

(Navar dan Hamm,1999). Pengaturan ekskresi sodium dan air diperantarai

secara langsung dan tidak langsung oleh angiotensin II.

Pembentukan angiotensin II dimulai dari rangsangan terhadap

aktivasi pengeluaran renin yaitu apabila terjadi penurunan asupan sodium,

penurunan tekanan arterial, dan penurunan volume cairan ekstrasel

(Navar dan Hamm, 1999). Enzim renin ini akan memecah

angiotensinogen menjadi bentuk dekapeptida yang inaktif yaitu

angiotensin I selanjutnya diperantarai Angiotensin converting enzyme

(ACE) akan memecah angiotensin I menjadi angiotensin II suatu

oktapeptida yang aktif. Semua komponen SRAA tersebut membentuk

sistem endokrin bersirkulasi yang mengatur keseimbangan sodium dan

tekanan darah (Atlas et al., 2007; Carey et al., 2003).

Aksi angiotensin II dalam pengaturan cepat tekanan darah

diperankan oleh sifat vasokonstriksi langsung terhadap arteriol/vena

ataupun melalui aktivitas saraf simpatis (Hildebrant, 2007). Angiotensin II

menyebabkan penurunan ekskresi sodium dan air di tubulus ginjal dan

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

menstimulasi sekresi hormon aldosteron oleh korteks adrenal yang juga

bekerja menurunkan ekskresi sodium dan air. Kedua efek ini cenderung

meningkatkan volume darah dan berperan penting dalam pengaturan

lambat tekanan darah (Victor, 2005). Angiotensin II juga memfasilitasi

aksi simpatis, yaitu melalui peningkatan norepinefrin dan katekolamin. Hal

ini menyebabkan peningkatan tahanan sistemik vaskular dan tekanan

darah (Paradis dan Schiffrin, 2009).

Efek peningkatan tekanan darah oleh angiotensin II ini, pada

jangka pendek berguna untuk proteksi kapilar renal dari kerusakan.

Sebaliknya, pada jangka panjang, keadaan ini menyebabkan

terganggunya aliran darah renal (renal blood flow), retensi garam dan air,

proteinuria dan penurunan laju filtrasi glomerulus (Kaplan, 2006).

2.1.5 Angiotensin II sebagai Regulator MIF

Angiotensin II merupakan suatu peptida dan dapat mencapai

/bekerja pada ginjal melalui tiga jalur, yaitu 1) melalui sirkulasi darah; 2)

melalui konversi angiotensin I menjadi angiotensin II dari aliran darah

yang terjadi pada sel endotelial ginjal, dan 3) melalui pembentukan lokal

angiotensin II di dalam ginjal. Organ target angiotensin II terletak di

adrenal, ginjal, otak, pituitary gland, otot polos vaskular, dan sistem nervus

simpatis (Gasparo et al., 2000) sehingga angiotensin II selain bekerja

pada organnya sendiri (autocrine hormone) dan organ yang berdekatan

(paracrine hormone) juga bekerja pada organ-organ yang jauh melalui

sirkulasi darah (endocrine hormone).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Efek angiotensin II pada keadaan SNRS sering dihubungkan

dengan keadaan hipertensi. Hipertensi merupakan salah satu luaran klinis

yang berhubungan secara bermakna dengan PGK (Kaplan dan

Lieberman,1990), termasuk juga pada penderita SNRS (Otukesh et

al.,2009). Regulasi tekanan darah oleh angiotensin II sistemik pada

penderita SN diatur bukan hanya di perifer (renal), tetapi juga di susunan

saraf pusat (DiBona,2001;Camici,2007).

Vasokonstriksi arteriol aferen dan eferen (terutama arteriol eferen)

menyebabkan terjadi peningkatan tekanan kapiler glomerulus.

Peningkatan tekanan kapiler intraglomerular menyebabkan kerusakan

mekanis pada ketiga tipe sel glomerulus (podosit, sel endotel, dan sel

mesangial), yang akan meningkatkan ukuran radius pori membran

glomerulus. Hal ini mengganggu fungsi selektif membran glomerulus dan

meningkatkan protein pada filtrat glomerulus. Protein ini akan

diendositosis oleh sel epitel tubulus. Sebaliknya, peningkatan reabsorbsi

albumin di tubulus akan mengaktivasi angiotensin, sehingga terjadi suatu

vicious circle. Apabila hal ini berkepanjangan,akan terjadi kerusakan

nefron bahkan terjadi kerusakan ginjal/ glomerulosklerosis (Kaplan,2006;

Meer et al., 2010).

Infus angiotensin II secara kronik pada binatang percobaan dengan

nefrosis berat menunjukkan terjadi hipertensi, peningkatan permeabilitas

kapiler glomerulus, dan peningkatan albuminuria (Herizi et al., 1998).

Reabsorbsi albumin menginduksi sitokin proinflamasi dan profibrogenik.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, induksi infiltrasi

lekosit, dan hipertensi sistemik.

Selain sebagai mediator hemodinamik yang menyebabkan

hipertensi, angiotensin II juga menyebabkan pengambilan/rekrutmen dan

proliferasi sel mononuklear. Pengambilan dan proliferasi sel monosit

bersirkulasi menyebabkan penumpukan makrofag di jaringan. Pengaturan

akumulasi makrofag di jaringan ini diperankan oleh sitokin MIF (Lan,

2008). Hal ini menstimulasi migrasi sel sel imunokompeten (limfosit dan

makrofag) ke dalam interstisial ginjal (Ruster dan Wolf, 2006). Penarikan

sel-sel inflamasi ke glomerulus dan tubulointerstisium berperan penting

dalam proteinuria persisten dan hipertensi. Peningkatan level angiotensin

II dapat menyebabkan hipertensi dan berkontribusi terhadap progresivitas

penyakit ginjal dengan cara menstimulasi inflamasi dan fibrosis ginjal

(Wolf et al., 2003).

Angiotensin II memperantarai akumulasi makrofag dan sel T

melalui MIF (Rice et al., 2003). Model tikus percobaan dengan hipertensi

menunjukkan peningkatan ekspresi MIF (44,9% ± 22,6%) dan sebaliknya,

blokade angiotensin II dengan antagonis AT1R (Irbesartan) menunjukkan

penurunan ekspresi MIF pada glomerulus dan tubulus (2,8% ± 2,4%). Efek

angiotensin II pada AT2R umumnya bekerja kontradiksi dibandingkan efek

pada AT1R (Carey dan Siragy, 2003). Peningkatan ekspresi MIF

berkorelasi dengan peningkatan makrofag atau sel T. Hal ini mendukung

peran angiotensin II dalam menstimulasi kerusakan ginjal melalui MIF.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Produksi sistemik ataupun lokal angiotensin II dan MIF penting

dalam perkembangan kerusakan ginjal. Pembentukan lokal angiotensin II

oleh sel mesangial ataupun makrofag setelah suatu kerusakan ginjal

menyebabkan sekresi MIF dari sel epitel tubulus kemudian meningkatkan

aktivasi makrofag dan sel T yang akan meningkatkan kerusakan ginjal

lebih lanjut, sedangkan, angiotensin II sistemik lebih berperan dalam hal

kerusakan ginjal melalui efek hipertensi seperti yang ditunjukkan dalam

binatang coba dengan hipertensi (one clip Goldblatt hypertension). Hal ini

menyebabkan ekspresi MIF meningkat pada ginjal (Rice et al., 2003).

Walaupun studi genetik belum menemukan kaitan kausalitas antara

plasma angiotensin II dan sekuens asam amino pada model tikus

hipertensi (Hubner et al., 1999), namun angiotensin II berkaitan dengan

peningkatan aktivasi NFkB dan AP-1(Ruiz-Ortega et al., 2001). Kedua

kompleks protein yang merupakan faktor transkripsi ini, menjadi dasar

bagi para ilmuwan menerangkan peranan angiotensin II pada ekspresi

gen sitokin.

Ekspresi gen MIF pada manusia diatur oleh angiotensin II melalui

regio promoter. Lokasi ini mempunyai sekuensial ikatan DNA untuk faktor

transkripsi seperti NFkB dan AP-1. Induksi angiotensin II terhadap faktor

transkripsi menyebabkan peningkatan ekspresi MIF (Sun et al., 2004) dan

berperan pada perkembangan hipertensi (Busche et al.,2001).

Konsekuensi klinis hal ini adalah peningkatan angiotensin II memengaruhi

peningkatan tekanan darah dan memengaruhi peningkatan MIF.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

2.1.6 MIF dan Sensitivitas Glukokortikoid

Dekade terakhir ini para ahli menemukan peranan MIF sebagai

sitokin dalam kerusakan ginjal (Lan, 2008). Sumber utama MIF berasal

dari sel imun (limfosit, makrofag, monosit, eosinofil, netrofil dan sel mast)

dan sel nonimun (ginjal, kelenjar pituitary, liver, ovarium, testis, dan

keratinosit). Pada tahun 1989, MIF untuk pertama kalinya berhasil

dikloning dari limfosit T manusia dan berfungsi untuk mengatur fungsi

makrofag, imunitas limfosit, dan fungsi endokrin.

Efek biologis utama MIF adalah immobilisasi sel sel fagosit

mononuklear (makrofag) sehingga makrofag menetap di jaringan

(Arenberg dan Bucala, 2003) dan memicu makrofag untuk pengaturan

sitokin pada sel-sel endotel (Cvetkovic dan Stosic, 2006). Selain memiliki

aktivitas sitokin (Rosengren et al.,1996;Aeberli, Leech dan Morand, 2006),

MIF juga memiliki aktivitas enzim yaitu tautomerase dan oksidoreduktase

(Gambar 4).

Gambar 4. Struktur tiga dimensi MIF manusia (nomor identifikasi model molekul: 15670). Struktur terdiri dari 3 monomer, dimana setiap monomer terdiri dari dua rantai α yang dipisahkan oleh tiga rantai β. Terminal monomer terdiri dari terminal NH3 (satu rantai β) dan terminal COOH (dua rantai β). Jadi konfigurasi setiap monomer adalah βαβββαββ (Arenberg dan Bucala,2003)

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Efek lain MIF adalah mengatur kesensitivan terhadap

glukokortikoid. Hal ini menjadi dasar penelitian tentang MIF pada penyakit-

penyakit kronik dengan glukokortikoid sebagai terapi utama (Aeberli et al.,

2006; Arenberg dan Bucala, 2003). Glukokortikoid menginduksi sekresi

MIF pada dosis rendah/fisiologis. Sebaliknya, pada dosis tinggi

(konsentrasi glukokortikoid > 10-8

Peranan glukokortikoid terhadap respons imun selular

menyebabkan penghambatan efek MIF sehingga makrofag dilepaskan

dari jeratan di sekitar tempat pelepasan MIF dan jaringan setempat

terhindar dari kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Sebaliknya,

apabila telah dilepaskan dari sitoplasma makrofag/monosit atau sel-sel

intrinsik nonimun maka MIF bekerja antagonis terhadap efek

glukokortikoid dalam menekan pembentukan sitokin makrofag in vitro,

misal TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 (Oppenheim, Ruscetti, dan Faltynek,2001).

Keseluruhan sitokin ini akan memperantarai aktivasi dan pengambilan

lekosit dari sirkulasi ke jaringan sehingga terjadi kerusakan ginjal (Lan,

2008). Respons inflamasi dan pengaturan sitokin diatur bersama MIF dan

glukokortikoid (Calandra dan Roger, 2003; Aeberli et al., 2006).

M) sekresi MIF dihambat sehingga

mengikuti kurva bell shaped dose response (Lan, 2008).

Glukokortikoid mampu menghambat sitokin pro-inflamasi, kemokin,

molekul adhesi, dan enzim-enzim (Longui, 2007) melalui dua mekanisme

utama yaitu genomik dan nongenomik (Elie et al., 2012). Efek intrasel

glukokortikoid dimulai ketika glukokortikoid berdifusi pasif melalui

membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid intrasel.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Kompleks glukokortikoid-reseptor bertranslokasi ke intisel dalam

membentuk interaksi dengan sekuens DNA spesifik. Apabila MIF

menghambat ikatan kompleks glukokortikoid dengan reseptor

glukokortikoid pada elemen respon glukokortikoid di intisel, kerja

glukokortikoid akan terhambat pula.

Sitokin MIF berperan dalam regulasi aktivitas imunosupresif dan

antiinflamasi glukokortikoid melalui inhibisi jalur NF-kB. Pada ketiadaan

MIF, glukokortikoid mencegah aktivasi NF-κB dengan cara meningkatkan

ekspresi IκB yang mempertahankan NF-κB agar tetap inaktif di dalam

sitosol (Ito,Chung dan Adcock,2006; Elly et al.,2012). Ekspresi berbagai

gen respon inflamasi diatur oleh NF-κB sehingga menyebabkan respon

abnormal sel T (Zhao et al., 2005). Penggunaan glukokortikoid menekan

aktivasi NF-κB sehingga terjadi keseimbangan respon sel T (Grimbert et

al., 2003).

Selanjutnya, aksi antagonis MIF terhadap efek antiinflamasi

glukokortikoid diperantarai dengan cara menghambat enzim mitogen

activated protein kinase (MAPK) phosphatase (Aeberli & Yang et al.,

2006). Enzim ini berperan dalam inaktivasi MAPK yang bertanggungjawab

dalam proliferasi sel dan merupakan target kerja dari glukokortikoid.

Mitogen activated protein kinase (MAPK) memunyai dua isoenzym, yaitu

ERK (extracelluler signal regulated kinase) 1 / 2 dan aktivitas biologis

pengaturan resistensi terhadap kortikosteroid (Aeberli et al., 2006; Lan,

2008; Cvetcovic & Stosic, 2006; Flaster et al., 2007). Defosforilasi dan

inaktivasi MAPK diatur oleh angiotensin II. Studi in vitro menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

bahwa stimulasi terhadap angiotensin II akan menekan inaktivasi MAPK

(Gasparo et al., 2000). Mekanisme ini memengaruhi sensitifitas

glukokortikoid pada penderita resisten steroid.

Aksi MIF sebagai antagonis aktivitas imunosupresif glukokortikoid

secara lengkap dapat dilihat pada gambar 5 di bawah ini. Keseluruhan

mekanisme MIF dalam efek antagonis terhadap glukokortikoid merupakan

mekanisme utama MIF memperantarai kerusakan ginjal (Lan, 2008).

Gambar 5. Target Kerja Glukokortikoid dan MIF. Ikatan glukokortikoid dan reseptornya bekerja di intisel dengan berikatan pada glukokortikoid respon elemen. Penghambatan glukokortikoid terjadi apabila dijumpai 2 molekul utama di sitosol/inti yaitu NF-kB dan AP-1. Keduanya diaktivasi oleh MIF.

Peranan MIF mengatur produksi glukokortikoid ditunjukkan dengan

pemberian antibodi anti-MIF pada hewan percobaan. Antibodi anti-MIF

merupakan antibodi yang menetralkan efek MIF secara imunologis. Pada

model tikus percobaan yang diberikan pengobatan dengan antibodi anti-

Glukokortikoid

Ikatan reseptor glukokortikoid

Glukokortikoid respon elemen

MIF

MAPK

AP-1 NF-kB IkB

MIF

Sitosol

Inti sel

cPLA2

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

MIF menunjukkan peningkatan kadar serum kortikosteron endogen yang

lebih tinggi (sekitar 75 ng/mL) bila dibandingkan dengan kontrol (25

ng/mL) (p<0,05). Hal ini berkorelasi pula dengan perbaikan proteinuria,

serum kreatinin, dan perbaikan kerusakan histologis (Yang et al., 1998).

Konsentrasi basal serum MIF pada manusia berkisar antara 2-6

ng/mL. Hubungan sirkadian antara MIF dan kortisol pada subjek yang

normal menunjukkan bahwa level MIF mencapai puncak sewaktu pagi

(sekitar jam 08.00), sedangkan sitokin lain mencapai puncak sewaktu

malam hari. Apabila diberikan oral kortison asetat (25 mg), akan terjadi

peningkatan plasma MIF dalam jangka waktu 1-2 jam.

Hal ini menunjukkan glukokortikoid menginduksi sekresi MIF pada

dosis rendah. Sebaliknya, pada kondisi pemberian glukokortikoid dosis

tinggi (injeksi deksametason 1 mg/jam selama 4 jam) maka level plasma

MIF rendah dan bertahan tetap rendah selama 24 jam (Petrovsky et al.,

2003). Penelitian lain membandingkan level MIF serum pada pasien

penderita penyakit ginjal kronis dan pada orang dewasa normal (kontrol).

Hasilnya ditemukan bahwa median dan kisaran MIF serum pada pasien

penyakit ginjal kronis lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (676 [118-

8275] versus 433 [ 414-4707] pg/mL) (Bruchfeld et al., 2009).

Berbagai metode untuk terapi target MIF akan dan telah ditemukan,

walaupun demikian kegunaannya pada klinis terutama untuk penderita SN

masih terbatas. Walaupun struktur MIF telah lama dikenal, namun konsep

sitokin dan fungsi enzimatik MIF masih terus dikembangkan secara in vitro

/ in vivo untuk memperoleh strategi target MIF (Morand,Leech dan

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Bernhagen,2006). Hal ini menunjukkan masih sulit memperoleh anti-MIF

yang murni.

Antibodi monoklonal maupun protein reseptor permukaan terhadap

MIF telah dibuat secara biokimiawi sebagai anti-MIF (Leng et al.,2003).

Oleh karena pendekatan metode untuk membuat anti MIF ini berbiaya

tinggi dan hanya dapat diberi secara parenteral maka dikembangkan juga

fungsi enzimatik MIF.

Metode penghambatan enzim tautomerase dan enzim

oksidoreduktase sebagai fungsi katalis MIF merupakan pilihan target

terapi antiinflamasi MIF (Dios et al., 2002;Philo et al., 2004). Struktur

homotrimer MIF memiliki kemiripan dengan enzim tautomerase yang

mengubah dopachrome (2 carboxy 2,3 dihydroindole 5,6 quinone) menjadi

5,6 dihydroxyindole 2 carboxylic acid (Rosengren et al., 1996). Enzim ini

dihambat menggunakan isothiocyanat (sulforaphane), yang juga

menyebabkan penghambatan aktivitas MIF. Selain itu, MIF juga

menunjukkan aktivitas enzim thiol-protein oksidoreduktase (Kleemann et

al., 1998). Struktur molekul sebagai inhibitor enzim redoks ini juga menjadi

alternatif terapi inhibisi MIF. Penemuan obat dengan menghambat enzim

tersebut, memiliki harga yang lebih murah, antigenisitas rendah dan dapat

diberi secara enteral maupun parenteral.

2.1.7 Hubungan Peningkatan MIF dan Angiotensin II dengan Kerusakan Ginjal.

Peningkatan kadar MIF memunyai efek antagonis terhadap respons

glukokortikoid. Selanjutnya, MIF memicu sitokin sitokin proinflamasi lain

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

seperti TNF-α dan IL-1 sehingga terjadi penarikan dan aktivasi leukosit ke

sel-sel intrinsik ginjal (Lan, 2008).Keseluruhan keadaan ini menyebabkan

terjadinya kerusakan ginjal (Gambar 6).

Pada individu dengan resisten steroid belum terdapat data

mengenai kadar serum MIF. Namun, penelitian yang menggunakan sel

kultur diperkirakan berhubungan dengan peningkatan angiotensin II. Lebih

50% protein MIF dilepas sel kultur apabila terdapat peningkatan

angiotensin II (Rice et al., 2003).

Gambar 6. Hubungan Peningkatan MIF dengan Kerusakan Ginjal. Peningkatan MIF mempunyai efek antagonis terhadap respons glukokortikoid. Selanjutnya MIF memicu sitokin lain dan penarikan/aktivasi leukosit/makrofag ke sel-sel intrinsik ginjal.

Kerusakan awal di ginjal Steroid

Peningkatan MIF

TNF-α IL-1

Penarikan dan aktifasi lekosit

Kerusakan ginjal lebih lanjut

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Hipertensi dan proteinuria menetap pada penderita resisten steroid

berperan penting dalam progresivitas kerusakan ginjal (Zandi-Nejad et

al.,2004;Meer et al,2010). Penderita SNRS memunyai risiko lebih besar

mengalami PGK tahap akhir. Kebanyakan penyakit ginjal ditandai dengan

adanya kerusakan awal, diikuti dengan progresivitas lesi ginjal menuju

kerusakan parenkim ginjal yang menyeluruh dan akhirnya terjadi gagal

ginjal (Djau et al., 2006). Hal ini mirip dengan penyakit kardiovaskular

pada umumnya (Gambar 7).

Gambar 7. Peranan Angiotensin II dalam Kerusakan Ginjal. Angiotensin II memperantarai setiap tahap kerusakan ginjal yaitu peningkatan tekanan darah, disfungsi endotel, mikro-makroalbuminuria dan PGK tahap akhir. Keadaan ini juga mirip dengan kejadian pada penyakit kardiovaskular umumnya.

2.2 Kerangka Pemikiran dan Premis

Hubungan polimorfisme -173 G ke C gen MIF, dengan kadar

angiotensin II plasma dan MIF serum pada penderita SN resisten steroid

belum pernah diteliti. Oleh karena itu, peneliti mencoba melakukan

penelitian tersebut dengan kerangka pemikiran di bawah ini.

Gen MIF yang dikode untuk memproses protein MIF berperan

penting dalam mengatur respon terhadap terapi steroid. Hubungan

ANGIOTENSIN II

Disfungsi endotel

Mikroalbuminuria

Makroalbuminuria

Nefrotik proteinuria

PGK

LVH

Infark myocard

Remodelling Dilatasi ventrikel Payah

jantung

Peny.jantung tahap akhir

Hipertensi

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

peningkatan kadar MIF serum dengan polimorfisme gen MIF tidak

dipengaruhi oleh kadar CRP (De Benedetti et al.,2003). Hal ini

menunjukkan hubungan peningkatan kadar MIF dan polimorfisme gen MIF

tidak dipengaruhi aktivitas inflamasi penyakit. Konsekuensi klinisnya

adalah terjadi luaran klinis penyakit tersebut menjadi lebih jelek (Berdelli et

al., 2005; Vivarelli et al., 2008).

Pada anak penderita SN yang memiliki alel C gen MIF berisiko

terjadinya hambatan glukokortikoid endogen dan penurunan respon

terhadap glukokortikoid eksogen oleh MIF (Aeberli et al., 2006;.Vivarelli et

al.,2008).

Peningkatan angiotensin II secara kronik pada keadaan nefrotik

menyebabkan hipertensi, peningkatan permeabilitas glomerulus, dan

peningkatan albuminuria (Herizi et al.,1998). Reabsorbsi albumin

menginduksi sitokin proinflamasi dan profibrogenik. Hal ini menyebabkan

peningkatan permeabilitas vaskular, induksi infiltrasi leukosit, dan

hipertensi sistemik (Ruster dan Wolf, 2006).

Respon ini diatur oleh angiotensin II yang menyebabkan

peningkatan MIF (Sun et al., 2004).

MIF berperan sebagai sitokin proinflamasi dan sekaligus bekerja

sebagai kontraregulasi steroid. Sitokin-sitokin proinflamasi biasanya

dihambat oleh glukokortikoid, sedangkan MIF dipicu oleh glukokortikoid

dan bekerja sebagai antagonis glukokortikoid di dalam sistem imun.

Induksi kerusakan ginjal oleh MIF berkaitan dengan aksi antagonistik

glukokortikoid (Morand, 2005; Flaster et al., 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Peningkatan kadar angiotensin II akan memicu peningkatan MIF

(Rice et al., 2003) dan hal ini menimbulkan risiko hipertensi. Peningkatan

MIF menyebabkan terapi steroid tidak bekerja maksimal sehingga

menimbulkan risiko proteinuria menetap (Lan, 2008). Hipertensi dan

proteinuria menetap pada penderita resisten steroid berhubungan dengan

luaran klinis yang lebih buruk dibandingkan dengan penderita sensitif

steroid.

Pada penderita resisten steroid, hipertensi,dan proteinuria persisten

berperan penting di dalam kerusakan ginjal lebih lanjut (Zandi-Nejad et

al., 2004; Meer et al., 2010). Keduanya menyebabkan terjadi sklerosis

pada glomerulus dan tubulus. Kerusakan awal dari sel-sel intrinsik ginjal

akan diikuti dengan progresivitas lesi ginjal menuju kerusakan parenkim

ginjal yang menyeluruh dan akhirnya terjadi gagal ginjal.

Penelusuran kerangka pemikiran di atas dapat dideduksi dalam

rangkuman premis sebagai berikut:

Premis 1. Polimorfisme -173 G ke C gen MIF berhubungan dengan faktor

risiko terjadi SNRS (Berdelli et al., 2005; Vivarelli et al., 2008).

Premis 2. Ekspresi gen MIF pada manusia dapat dikontrol oleh

angiotensin II (Sun et al., 2004).

Premis 3. Angiotensin II memicu peningkatan tekanan kapilar glomerulus

dan peningkatan permeabilitas membran basal glomerulus sehingga

terjadi hipertensi dan proteinuria (Herizi et al.,1998; Ruster dan Wolf,2006)

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Premis 4. MIF merupakan sitokin proinflamasi yang bekerja paling atas

pada kaskade inflamasi dan sekaligus bersifat antagonis steroid (Morand,

2005; Flaster et al., 2007).

Premis 5. Peningkatan kadar angiotensin II dan MIF menyebabkan terjadi

hipertensi dan proteinuria (Rice et al., 2003; Lan, 2008).

Premis 6. Hipertensi dan proteinuria menetap merupakan penyebab

terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut pada penderita SNRS (Zandi-Nejad

et al., 2004; Djau et al., 2006; Meer et al., 2010) sehingga luaran klinis

lebih jelek daripada SNSS..

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Risiko seorang anak penderita SN menjadi resistan steroid

dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya faktor genetik, keberadaan

infeksi/inflamasi gambaran patologi anatomi, usia, ada/tidaknya hematuria,

dan keberadaan hipertensi. Faktor faktor tersebut saling berhubungan

sehingga tata laksana SNRS yang adekuat agar anak terhindar dari PGK

stadium akhir, masih terus dikembangkan.

Glukokortikoid masih menjadi pengobatan utama SN dan

keberadaan resistensi terhadap obat ini telah lama dikenal. Subjek

penderita SN yang memiliki alel C gen -173 MIF berisiko menjadi resisten

steroid dibandingkan dengan alel G homozigot. Hal ini dikaitkan dengan

efek MIF sebagai antagonis glukokortikoid di dalam sel. Walaupun jumlah

dosis steroid cukup besar, manfaat untuk mengatasi proteinuria terbatas.

Individu dengan alel C gen MIF menghasilkan kadar sitokin MIF

yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu alel G homozigot.

Sepanjang pengetahuan peneliti, pada penderita SNRS belum ada data

mengenai kadar sitokin MIF serum. Padahal, kadar ini penting karena

konsentrasi yang tinggi dapat menghambat kerja glukokortikoid di dalam

sel. Keberadaan MIF menurunkan sensitivitas glukokortikoid, sedangkan

ketiadaan MIF meningkatkan sensitivitas terhadap glukokortikoid. Hal ini

terjadi pada binatang percobaan, tetapi pada manusia belum diketahui.

Secara in vitro lebih dari 50% protein MIF akan dilepas pada sel

kultur apabila terdapat peningkatan kadar angiotensin II. Artinya,

angiotensin II berhubungan terhadap pengeluaran sitokin MIF dari dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

sel ke luar sel. Pada tingkat yang lebih tinggi (tingkat ekspresi gen)

angiotensin II mengatur regulasi gen MIF dan perkembangan hipertensi.

Penderita SNRS yang mengalami hipertensi akan terjadi

peningkatan tekanan filtrasi kapiler glomerulus dan proteinuria menetap.

Proteinuria menetap dan hipertensi memengaruhi perjalanan penderita

SNRS (tubuloglomerular sklerosis) hingga menuju tahap akhir PGK

(Gambar 8).

Keberadaan plasma angiotensin II dan serum MIF di sirkulasi

berkorelasi dengan hipertensi dan proteinuria menetap pada penderita

SNRS. Kejadian ini telah dibuktikan pada hewan percobaan, tetapi pada

subjek manusia belum ada dilakukan penelitian.

2.4 Hipotesis Penelitian

2.4.1 Frekuensi alel C -173 gen MIF lebih tinggi pada anak SNRS

daripada SNSS dan anak sehat (Premis 1,2).

2.4.2 Kadar angiotensin II plasma lebih tinggi pada anak SNRS daripada

anak SNSS dan anak sehat (Premis 3,4,5).

2.4.3 Kadar MIF serum lebih tinggi pada anak SNRS daripada anak

SNSS dan anak sehat (Premis 5,6).

2.4.4 Terdapat korelasi positif antara kadar MIF serum dan angiotensin

II plasma (Premis 5,6).

2.4.5 Polimorfisme -173 G ke C gen MIF, peningkatan kadar angiotensin

II plasma, dan peningkatan kadar MIF serum secara bersama-

sama dengan hipertensi merupakan faktor risiko SNRS (premis

1,2,5,6).

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sindroma

Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian. Alel C merupakan faktor genetik pada individu yang dihubungkan dengan peningkatan kadar sitokin MIF di sirkulasi dan reaksi antagonis pada glukokortikoid. Hal ini berkorelasi dengan kadar angiotensin II sistemik dan persistensinya menimbulkan hiperfiltrasi/hipertensi glomerular serta peningkatan tekanan filtrasi kapilar. Peranan angiotensin II sistemik terhadap mekanisme pressure-diuresis-natriuresis dan peningkatan tekanan filtrasi kapilar di samping kontrol saraf, merupakan faktor risiko resisten steroid sehingga terjadi proteinuria menetap. Faktor lain yang perlu diwaspadai juga adalah infeksi/inflamasi, gambaran patologi anatomi, usia, dan keberadaan hematuria. Hipertensi dan proteinuria menetap menimbulkan gangguan struktur dan fungsi ginjal (tubuloglomerular sklerosis) dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan setelah awitan proteinuria. Keterangan: = kerangka kerja penelitian; = hubungan langsung; = hubungan tidak langsung

SN RESISTEN STEROID Usia

Gambaran patologi anatomi

Hematuria

Hipertensi

Gangguan struktur dan fungsi ginjal

Proteinuria menetap

Faktor genetik

Kadar MIF meningkat

Polimorfisme alel C -173 gen MIF

Angiotensin II meningkat

Kontrol syaraf

Norepinefrin Vasopressin

Mekanisme pressure –diuresis -

natriuresis

Infeksi/inflamasi

Peningkatan tekanan filtrasi

kapilar

Efek antagonis glukokortikoid

Universitas Sumatera Utara