Upload
harris-murdianto
View
226
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
nph
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Neuralgia post hepertika adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian
tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri
merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan
saraf. Neuralgia post hepertika lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan
kekebalan tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes
zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak
terkena herpes zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya.
Neuralgia post hepertika ditandai gangguan fungsi saraf yang menyerang saraf
nosiseptif (penghantar rangsang nyeri) dan sensorik. Terbentuknya persambungan sel-
sel saraf yang abnormal dan ketidakseimbangan pengaturan otomatis pada sistem
penghambatan serta perangsangan saraf juga ditemukan dan berperan terhadap
timbulnya nyeri pada kasus ini. Tidak semua kasus herpes zoster diikuti dengan
postherpetic neuralgia. Kasus ini lebih sering ditemukan pada lansia, serangan herpes
zoster di wajah bagian atas dan lengan, nyeri hebat pada saat serangan herpes zoster,
dan ruam kulit yang sangat banyak pada saat serangan herpes zoster.
Pasien sudah pernah menderita herpes zoster sebelumnya, dan nyeri dirasakan di
tempat yang tadinya terdapat ruam kulit (lentingan). Nyeri demikian dapat
dikategorikan sebagai postherpetic neuralgia jika masih dirasakan sampai lebih dari 3
bulan sejak hilangnya ruam kulit. Sifat nyeri umumnya terasa seperti ditusuk-tusuk dan
dapat dicetuskan oleh sentuhan ringan (yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan
nyeri). Sejauh ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan untuk
mendiagnosis neuralgia post hepertika.
Jika penderita sudah terserang neuralgia post hepertika, dapat diberikan
antidepresan, antikonvulsan (obat epilepsi), analgesik (pereda nyeri), kortikosteroid; dan
terapi antiviral (misalnya dengan aciclovir).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Neuralgia post hepertika adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian
tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri
merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan
saraf.
Neuralgia post hepertika lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan
tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zoster yang
berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes
zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya.
Neuralgia post hepertika umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih
dari 3 bulan setelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya
diekspresikan sebagai sensasi terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau
gatal (itching). Nyeri ini juga dihubungkan dengan gejala yang lebih berat lagi seperti
disestesia, parestesia, hiperstesia, allodinia dan hiperalgesia. Pada pasien dengan
neuralgia post hepertika, biasanya terjadi perubahan fungsi sensorik pada area yang
terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh penderita memiliki area erupsi yang sangat
sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal terhadap sentuhan ringan, nyeri atau
temperature pada area kulit yang terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan
(allodinia mekanik) atau perubahan suhu (allodinia termal). Sementara pada penelitian
lainnya dinyatakan bahwa derajat defisit sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri.
Selain itu, pasien dengan neuralgia post hepertika lebih cenderung mengalami
perubahan sensorik dibanding penderita dengan zoster yang sembuh tanpa neuralgia.
B. Prevalensi
Di Amerika Serikat, frekuensi neuralgia post hepertika yang terjadi 1 bulan
setelah onset dilaporkan sebanyak 9-14,3 % dan 3 bulan setelah onset sebanyak 5 %,
sedangkan dalam waktu 1 tahun, 3 % akan mengalami nyeri yang lebih berat.
Insiden bervariasi berdasarkan umur dan status imunologis, dari range 0,4
hingga 1,6 kasus per 1.000 populasi normal pada usia dibawah 20 tahun, dan 4,5 hingga
2
11 kasus per 1.000 populasi normal pada usia 80 tahun atau lebih. Sebuah penelitian di
Islandia menunjukkan bahwa variasi resiko neuralgia post hepertika ini dihubungkan
dengan kelompok umur tertentu. Dari sampel penelitian didapatkan bahwa tidak ada
sampel yang berusia dibawah 50 tahun dilaporkan menderita nyeri hebat, dan pasien
yang berumur lebih dari 60 tahun dilaporkan mengalami nyeri yang lebih hebat : 6% 1
bulan setelah onset dan sebanyak 4% 3 bulan setelah onset.
Resiko serangan kedua sama tingginya dengan resiko yang terjadi pada serangan
yang pertama. Angka kejadiannya beberapa kali lebih tinggi pada orang dewasa
penderita infeksi HIV atau pada pasien penderita keganasan dan 50 hingga 100 kali
lebih tinggi pada anak-anak dengan Leukemia dibandingkan dengan orang-orang sehat
dengan usia yang sama. Resiko nyeri post herpetik meningkat sesuai pertambahan
umur..
C. Patofisiologi
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varicella atau cacar air.
Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh
melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan
menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit
yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal.
Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara
dorman selama bertahun-tahun.
Neuralgia post hepertika memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri
herpes zoster akut. Neuralgia post hepertika sebagai komplikasi dari herpes zoster,
adalah sindrom nyeri neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan
kerusakan virus pada serat aferen primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer
varicella, virus tetap aktif di ganglia sensorik. Virus ini diaktifkan kembali,
bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan pada
ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah menunjukkan fibrosis
dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson
dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang
belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan
3
akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan
peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer.
Patofisiologi neuralgia post hepertika adalah cedera neuron yang mengenai
sistem saraf baik perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan
perifer mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi
untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan
nyeri. Biopsi kulit menunjukkan hilangnya ujung saraf bebas epidermal pada daerah
yang terkena. Namun, reinervasi tidak dibutuhkan untuk resolusi nyeri.
Gambar 1. Model terjadinya NPH melalui Sensitisasi Sentral dan Perifer
Patogenesis terjadinya herpes zoster sendiri disebabkan oleh reaktivasi dari virus
varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam
pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak
diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau
status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi,
virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan
dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi
4
menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini
terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ‘Lipschutz inclusion body’. Pada ganglion
kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel
saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa
bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis .
Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
Skema. Patogenesis postherpetic neuralgia
D. Manifestasi Klinis
Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia
pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke
dalam tiga fase:
1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung
< 4 minggu
2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau
3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.
Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli
penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan
penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam
kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral
5
mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga
sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah
3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit
biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu
sampai berminggu-minggu.
Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang
ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia
dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur
bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka
pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau
beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering
dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa
sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap
stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi
antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak
tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.
Pada masa gelembung–gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai
menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri
hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri
neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya
yaitu tiap serangan muncul secara tiba–tiba dan tiap serangan terdiri dari sekelompok
serangan– serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala di
belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita datang sebelum
gelembung–gelembung herpes timbul, untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul
herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya
gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari
neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat–tempat bekas herpes tetapi pada
timbulnya serangan neuralgia, justru tempat–tempat bekas herpes yang anestetik itu
yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi
di daerah perjalanan saraf, seperti pada gambar dibawah ini. Lesi sesuai dermatome
6
penjalaran saraf. Bersifat unilateral. Pasien yang terkena neuralgia post hepertika akan
merasakan nyeri pada daerah lesi tersebut.
Gambar 2. Lesi Neuralgia Post Hepertika
Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal
rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan
dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit
kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi
makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat
berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas
bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri
yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya
lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk
lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan
durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan
pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.
Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh
rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang
dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood
sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka
7
panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum
timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa
terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang
merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/
tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/
normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus
bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.
E. Diagnosis
a. Anamnesis
Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala tipikal
herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit, nyeri yang
timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenal sebagai nyeri post
herpetik. Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasa terbakar, tertusuk-tusuk,
gatal atau tersengat listrik.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia
2. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya
3. Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat skar kutaneus
4. Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadap sentuhan
maupun suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis, pleuritik, maupun
iskemia jantung, serta rasa gatal dan baal yang misdiagnosis sebagai
urtikaria
5. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggu
kemudian)
6. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri yang
muncul tidak hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4 minggu
setelahnya).
7. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti sentuhan
ringan
8
Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat pada area yang terkena
nyeri ini.
F. Penatalaksanaan
Perawatan terhadap postherpetic neuralgia adalah dilakukan dengan obat-
obatan serta terapi selain dengan obat-obatan.
Farmakologi
1. Topikal
Terapi topikal berguna untuk pasien usia lanjut yang tidak dapat mentoleransi
pengobatan sistemik karena penyakit lain yang dideritanya. Sampai saat ini, terdapat
3 kategori pengobatan topikal yaitu :
a. Anestetik topikal
Formulasi topikal lidokain, lidokain dengan prilokain, eter dalam
kombinasi dengan antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin dan indometasin
dilaporkan juga bermanfaat dalam beberapa studi tanpa kontrol. Lidoderm
(lidokain 5% skin patch), tersusun dari bahan perekat yang mengandung
lidokain 5%, lidoderm menimbulkan analgesia dan memperbaiki alodinia
dengan cara difusi lidokain ke lapisan-lapisan epidermis-dermis dan terikat
pada kanal sodium saraf perifer. Untuk tiap aplikasi, efeknya berlangsung
selama 4 hingga 12 jam. Karena keamanannya, kini disarankan untuk
digunakan sebagai terapi awal post herpetic neuralgia dengan gejala
alodinia atau nyeri yang intermiten. Penggunaan lidoderm telah disetujui
oleh FDA.
b. Anestetik lokal
Hilangnya 50-90% nyeri dapat dicapai oleh anestesi infiltrasi subkutan,
yang efeknya berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa minggu.
Lidokain, prokain, dan mepivakain sering diberikan secara infiltrasi atau
intravena.
c. Kapsaisin
Kapsaisin (dolorax, capsin, zoztrix), trans-8-metil-N-vanilil-6-
nonenamida, ekstrak dari Capsicum frustecans, telah banyak digunakan
untuk terapi topikal pada keadaan yang melibatkan nyeri, pruritus dan
9
inflamasi. Kapsaisin berperan dalam meningkatkan pelepasan lalu deplesi
substansi P, yang dianggap merupakan neurotransmiter peptida endogen
utama rangsangan nyeri serabut C dari perifer ke susunan saraf pusat.
Sehingga pada awalnya kapsaisin menyebabkan rasa terbakar dan
hiperalgesia terhadap panas atau tekanan. Setelah beberapa hari hingga
seminggu, efek ini digantikan oleh hipoalgesia. Analgesia baru timbul saat
terjadi deplesi substansi P.
2. Sistemik
a. Analgesik
i. Antiinflamasi nonsteroid (AINS)
Asetaminofen (tylenol), aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lain
umum digunakan untuk postherpetic neuralgia. AINS berguna untuk
potensiasi efek analgetik opioid pada nyeri parah.
ii. Opioid
Opioid memperbaiki nyeri melalui aktivasi reseptor spesifik di
system saraf pusat dan perifer. Karena efek adiksinya, opioid hanya
diindikasikan untuk penggunaan jangka pendek.
b. Agen neuroaktif
i. Psikotropik
Antidepresan trisiklik (AT) merupakan terapi yang penting pada
Postherpetic Neuralgia. Mekanisme kerja AT dalam menghilangkan
nyeri adalah dengan memblokade reuptake neurotransmitter norepinefrin
dan serotonin, serta meningkatkan inhibisi neuron spinalis yang terlibat
dalam persepsi nyeri seperti terbakar dan nyeri tajam atau menusuk,
AT yang banyak digunakan pada Postherpetic Neuralgia adalah
amitriptilin (elavil), nortriptilin (pamelor), imipramin (tofranil), desipramin
(norpramin), dan maprotilin.
ii. Antikonvulsan
Antikonvulsan dapat mengurangi nyeri tajam atau menusuk pada
Postherpetic Neuralgia. Pada studi buta ganda dengan kontrol,
10
karbamazepin mengurangi nyeri tajam atau menusuk namun tidak
efektik untuk nyeri yang terus-menerus.
Mekanisme kerja antikonvulsan dalam menghilangkan nyeri adalah
dengan memblokade kanal natrium dan berperan sebagai membran
stabilizing agent sehingga mencegah impuls ektopik yang dapat
mencetuskan nyeri. Antikonvulsan yang sering yang digunakan adalah
karbamazepin (tegretol), fenitoin (dilantin), asam valproat (depakene),
dan gabapentin (neurontin).
Dosis yang dibutuhkan untuk analgesia lebih rendah dari dosis untuk
epilepsi. Pemberian gabapentin untuk terapi post herpetic neuralgia
dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikkan bertahap hingga efek yang
diinginkan tercapai atau timbul efek samping yang serius.
iii. Neuroleptik
Golongan fenotiazin seperti flupenazin (prolixin), perpenazin
(trilafon), dan tioridazin, telah lama digunakan untuk terapi postherpetic
neuralgia dalam kombinasi dengan AT.
iv. Metikobal
Metikobal adalah derivate vitamin B12 yang bersifat koenzim,
menjadi aktif di tubuh, mempunyai afinitas yang besar terhadap jaringan
saraf, dan dilaporkan efektif untuk neuralgia dan neuritis perifer. Selain
itu metikobal dianggap mempunyai efek bila disuntikkan pada area
saraf setempat, tetapi tidak efektif bila digunakan secara sistemik.
Bersama dengan vitamin B1 dan B6 sering dipakai untuk membantu
regenerasi saraf.
Nonfarmakologi
1. Pendekatan neuroaugmentif
Beberapa pendekatan neuroaugmentif yang banyak digunakan antara lain
counterirritation, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS),
akupuntur dan deep brain stimulation. Penggunaan teknik lain, seperti aplikasi
ultrasound pada dermatom yang terkena dan stimuli korda dorsalis dikatakan tidak
bermanfaat.
11
a. Counterirritation
Counterirritation (menggosok area yang terkena) dilaporkan dapat
memperbaiki postherpetic neuralgia dengan meningkatkan inhibisi normal
serabut saraf kecil di medulla spinalis.
b. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
TENS dapat memberikan perbaikan nyeri sebagian hingga sempurna
pada beberapa pasien post herpetic neuralgia.
c. Stimulasi deep brain
Stimulasi di nucleus ventrobasal thalamus pada pasien Postherpetic
Neuralgia memberikan perbaikan nyeri yang bermakna dan berlangsung
selama 7 hingga 17 bulan.
d. Akupuntur
Akupuntur tidak efektif untuk postherpetic neuralgia..
2. Prosedur neurosurgikal
Prosedur neurosurgikal merupakan pilihan terakhir untuk postherpetic
neuralgia yang refrakter. Neuroktomi, rizotomi, avulasi saraf, simpatektomi,
trakotomi trigeminal pernah disarankan pada beberapa tahun yang lalu, namun
tidak satupun yang menguntungkan untuk pengobatan postherpetic neuralgia.
3. Terapi Psikososial
Manajemen stress dan berbagai tehnik kognitif-perilaku, termasuk latihan
relaksasi, biofeedback dan hypnosis dapat bermanfaat sebagai terapi
penunjang. Pasien perlu diberi penjelasan mengenai perjalanan penyakitnya, dibuat
strategi untuk mengikatkan kepatuhan pasien dan mempercepat kembali ke
aktivitas sebelum sakit.
4. Terapi Penunjang
Allodinia taktil dapat diatasi dengan penggunaan artificial skin seperti
kolodion spray atau penggunaan pakaian dengan bahan serat natural. Aplikasi
cold packs juga bermanfaat sebagai terapi penunjang.
12
G. Prognosis
Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn lambat.
Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obat-
obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus, nyeri
yang dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang diberikan.
Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan
sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap
analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap
dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan pencarian lanjutan
untuk mencari terapi yang sesuai.
Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak
menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu
fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi
didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.
Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih
mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya
tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.
13
BAB III
PENUTUP
Neuralgia Post Herpetika adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian
tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster. Herpes zoster sendiri merupakan
suatu reaktivasi virus Varicella yang berdiam di dalam jaringan saraf. Neuralgia Post
Herpetika dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah
timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari
setelah timbulnya ruam pada kulit) dan neuralgia post hepertika (rasa sakit yang
terjadi setidaknya 120 hari setelah timbul ruam pada kulit).
Neuralgia Post Herpetika lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan
kekebalan tubuh yang rendah. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 60 tahun ke
atas, atau dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami
reaktivasi.
Neuralgia Post Herpetika terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai
sistem saraf baik perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan
perifer mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi
untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan
nyeri.
Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar,
parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan
respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.
Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non
farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa penyakit ini sudah dapat ditegakkan.
Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh dengan terapi yang teratur.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Rabey M, M. Manip. Post-herpetic Neuralgia: Possible Mechanisms for Pain
Relief with Manual Therapy. 2003. London: Science Direct. p180-184.
2. Turk D, Ronald M. Handbook of Pain Assessment. Edisi 2. 2001. London: The
Guilford Press.
3. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of
Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada: Elsevier.
p654-674.
4. Dubinsky R, et al. Practice Parameter: Treatment of Postherpetic Neuralgia. 2004.
American Academy of Neurology. p959-965.
5. Alvin W. Postherpetic Neuralgia; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A.
2012.
6. Kost R, Stephen E. Postherpetic Neuralgia: Pathogenesis, Treatment, and
Prevention. 1996. The New England Journal of Medicine. p32-40.
7. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic
Considerations. Volume 11. 2006. Alternative Medicine Review. p102-111.
8. Jericho B. Postherpetic Neuralgia: A Review. Volume 16. 2010. Chicago: The
Internet Journal of Orthopedic Surgery.
9. Panlilio L, Paul J, Srinivasa N. Current Management of Postherpetic Neuralgia;
dalam The Neurologist. Volume 8. 2002. Baltimore. p339-350.
10. Regina, Lorettha W. Neuralgia Pascaherpetika. Volume 39. 2012. Jakarta. p416-
419.
11. Gharibo C, Carolyn K. Neuropathic Pain of Postherpetic Neuralgia. 2011. New
York: Pain Medicine News. p84-91.
12. Bowsher D. The Management of Postherpetic Neuralgia. 1997. Liverpool: The
Fellowship of Postgraduate Medicine. p623-629.
13. Scadding J. Neuropathic Pain. Volume 3. 2003. ACNR. p8-14.
14. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Clinical Presentation; dalam Medscape
Reference. Editor: Robert A. 2012.
15. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Workup; dalam Medscape Reference. Editor:
Robert A. 2012.
15