24
BAB I PENDAHULUAN Neuralgia post hepertika adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf. Neuralgia post hepertika lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya. Neuralgia post hepertika ditandai gangguan fungsi saraf yang menyerang saraf nosiseptif (penghantar rangsang nyeri) dan sensorik. Terbentuknya persambungan sel-sel saraf yang abnormal dan ketidakseimbangan pengaturan otomatis pada sistem penghambatan serta perangsangan saraf juga ditemukan dan berperan terhadap timbulnya nyeri pada kasus ini. Tidak semua kasus herpes zoster diikuti dengan postherpetic neuralgia. Kasus ini lebih sering ditemukan pada lansia, serangan herpes zoster di wajah bagian atas dan lengan, nyeri hebat pada saat serangan herpes zoster, dan ruam kulit yang sangat banyak pada saat serangan herpes zoster. Pasien sudah pernah menderita herpes zoster sebelumnya, dan nyeri dirasakan di tempat yang tadinya 1

tinjauan pustaka

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nph

Citation preview

Page 1: tinjauan pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

Neuralgia post hepertika adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian

tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri

merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan

saraf. Neuralgia post hepertika lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan

kekebalan tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes

zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak

terkena herpes zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya.

Neuralgia post hepertika ditandai gangguan fungsi saraf yang menyerang saraf

nosiseptif (penghantar rangsang nyeri) dan sensorik. Terbentuknya persambungan sel-

sel saraf yang abnormal dan ketidakseimbangan pengaturan otomatis pada sistem

penghambatan serta perangsangan saraf juga ditemukan dan berperan terhadap

timbulnya nyeri pada kasus ini. Tidak semua kasus herpes zoster diikuti dengan

postherpetic neuralgia. Kasus ini lebih sering ditemukan pada lansia, serangan herpes

zoster di wajah bagian atas dan lengan, nyeri hebat pada saat serangan herpes zoster,

dan ruam kulit yang sangat banyak pada saat serangan herpes zoster.

Pasien sudah pernah menderita herpes zoster sebelumnya, dan nyeri dirasakan di

tempat yang tadinya terdapat ruam kulit (lentingan). Nyeri demikian dapat

dikategorikan sebagai postherpetic neuralgia jika masih dirasakan sampai lebih dari 3

bulan sejak hilangnya ruam kulit. Sifat nyeri umumnya terasa seperti ditusuk-tusuk dan

dapat dicetuskan oleh sentuhan ringan (yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan

nyeri). Sejauh ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan untuk

mendiagnosis neuralgia post hepertika.

Jika penderita sudah terserang neuralgia post hepertika, dapat diberikan

antidepresan, antikonvulsan (obat epilepsi), analgesik (pereda nyeri), kortikosteroid; dan

terapi antiviral (misalnya dengan aciclovir).

1

Page 2: tinjauan pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Neuralgia post hepertika adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian

tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri

merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan

saraf.

Neuralgia post hepertika lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan

tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zoster yang

berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes

zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya.

Neuralgia post hepertika umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih

dari 3 bulan setelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya

diekspresikan sebagai sensasi terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau

gatal (itching). Nyeri ini juga dihubungkan dengan gejala yang lebih berat lagi seperti

disestesia, parestesia, hiperstesia, allodinia dan hiperalgesia. Pada pasien dengan

neuralgia post hepertika, biasanya terjadi perubahan fungsi sensorik pada area yang

terkena. Pada satu penelitian, hampir seluruh penderita memiliki area erupsi yang sangat

sensitif terhadap nyeri, dengan sensasi abnormal terhadap sentuhan ringan, nyeri atau

temperature pada area kulit yang terkena. Nyeri umumnya dipresipitasi oleh gerakan

(allodinia mekanik) atau perubahan suhu (allodinia termal). Sementara pada penelitian

lainnya dinyatakan bahwa derajat defisit sensorik berhubungan dengan beratnya nyeri.

Selain itu, pasien dengan neuralgia post hepertika lebih cenderung mengalami

perubahan sensorik dibanding penderita dengan zoster yang sembuh tanpa neuralgia.

B. Prevalensi

Di Amerika Serikat, frekuensi neuralgia post hepertika yang terjadi 1 bulan

setelah onset dilaporkan sebanyak 9-14,3 % dan 3 bulan setelah onset sebanyak 5 %,

sedangkan dalam waktu 1 tahun, 3 % akan mengalami nyeri yang lebih berat.

Insiden bervariasi berdasarkan umur dan status imunologis, dari range 0,4

hingga 1,6 kasus per 1.000 populasi normal pada usia dibawah 20 tahun, dan 4,5 hingga

2

Page 3: tinjauan pustaka

11 kasus per 1.000 populasi normal pada usia 80 tahun atau lebih. Sebuah penelitian di

Islandia menunjukkan bahwa variasi resiko neuralgia post hepertika ini dihubungkan

dengan kelompok umur tertentu. Dari sampel penelitian didapatkan bahwa tidak ada

sampel yang berusia dibawah 50 tahun dilaporkan menderita nyeri hebat, dan pasien

yang berumur lebih dari 60 tahun dilaporkan mengalami nyeri yang lebih hebat : 6% 1

bulan setelah onset dan sebanyak 4% 3 bulan setelah onset.

Resiko serangan kedua sama tingginya dengan resiko yang terjadi pada serangan

yang pertama. Angka kejadiannya beberapa kali lebih tinggi pada orang dewasa

penderita infeksi HIV atau pada pasien penderita keganasan dan 50 hingga 100 kali

lebih tinggi pada anak-anak dengan Leukemia dibandingkan dengan orang-orang sehat

dengan usia yang sama. Resiko nyeri post herpetik meningkat sesuai pertambahan

umur..

C. Patofisiologi

Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varicella atau cacar air.

Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh

melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan

menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit

yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal.

Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara

dorman selama bertahun-tahun.

Neuralgia post hepertika memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri

herpes zoster akut. Neuralgia post hepertika sebagai komplikasi dari herpes zoster,

adalah sindrom nyeri neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan

kerusakan virus pada serat aferen primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer

varicella, virus tetap aktif di ganglia sensorik. Virus ini diaktifkan kembali,

bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan pada

ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah menunjukkan fibrosis

dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson

dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang

belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan

3

Page 4: tinjauan pustaka

akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan

peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer.

Patofisiologi neuralgia post hepertika adalah cedera neuron yang mengenai

sistem saraf baik perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan

perifer mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi

untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan

nyeri. Biopsi kulit menunjukkan hilangnya ujung saraf bebas epidermal pada daerah

yang terkena. Namun, reinervasi tidak dibutuhkan untuk resolusi nyeri.

Gambar 1. Model terjadinya NPH melalui Sensitisasi Sentral dan Perifer

Patogenesis terjadinya herpes zoster sendiri disebabkan oleh reaktivasi dari virus

varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam

pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak

diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau

status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi,

virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan

dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi

4

Page 5: tinjauan pustaka

menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini

terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ‘Lipschutz inclusion body’. Pada ganglion

kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel

saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa

bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis .

Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.

Skema. Patogenesis postherpetic neuralgia

D. Manifestasi Klinis

Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia

pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke

dalam tiga fase:

1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung

< 4 minggu

2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan

3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau

3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.

Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli

penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan

penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam

kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral

5

Page 6: tinjauan pustaka

mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.

Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga

sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah

3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit

biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu

sampai berminggu-minggu.

Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang

ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia

dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur

bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka

pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau

beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering

dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa

sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap

stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi

antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak

tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.

Pada masa gelembung–gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai

menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri

hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri

neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya

yaitu tiap serangan muncul secara tiba–tiba dan tiap serangan terdiri dari sekelompok

serangan– serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala di

belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita datang sebelum

gelembung–gelembung herpes timbul, untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul

herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya

gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari

neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat–tempat bekas herpes tetapi pada

timbulnya serangan neuralgia, justru tempat–tempat bekas herpes yang anestetik itu

yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi

di daerah perjalanan saraf, seperti pada gambar dibawah ini. Lesi sesuai dermatome

6

Page 7: tinjauan pustaka

penjalaran saraf. Bersifat unilateral. Pasien yang terkena neuralgia post hepertika akan

merasakan nyeri pada daerah lesi tersebut.

Gambar 2. Lesi Neuralgia Post Hepertika

Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal

rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan

dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit

kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi

makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat

berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas

bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri

yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya

lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk

lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan

durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan

pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.

Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat

mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh

rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang

dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood

sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka

7

Page 8: tinjauan pustaka

panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum

timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa

terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang

merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/

tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/

normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus

bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.

E. Diagnosis

a. Anamnesis

Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala tipikal

herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit, nyeri yang

timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenal sebagai nyeri post

herpetik. Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasa terbakar, tertusuk-tusuk,

gatal atau tersengat listrik.

b. Pemeriksaan Fisik

1. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia

2. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya

3. Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat skar kutaneus

4. Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadap sentuhan

maupun suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis, pleuritik, maupun

iskemia jantung, serta rasa gatal dan baal yang misdiagnosis sebagai

urtikaria

5. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggu

kemudian)

6. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri yang

muncul tidak hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4 minggu

setelahnya).

7. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti sentuhan

ringan

8

Page 9: tinjauan pustaka

Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat pada area yang terkena

nyeri ini.

F. Penatalaksanaan

Perawatan terhadap postherpetic neuralgia adalah dilakukan dengan obat-

obatan serta terapi selain dengan obat-obatan.

Farmakologi

1. Topikal

Terapi topikal berguna untuk pasien usia lanjut yang tidak dapat mentoleransi

pengobatan sistemik karena penyakit lain yang dideritanya. Sampai saat ini, terdapat

3 kategori pengobatan topikal yaitu :

a. Anestetik topikal

Formulasi topikal lidokain, lidokain dengan prilokain, eter dalam

kombinasi dengan antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin dan indometasin

dilaporkan juga bermanfaat dalam beberapa studi tanpa kontrol. Lidoderm

(lidokain 5% skin patch), tersusun dari bahan perekat yang mengandung

lidokain 5%, lidoderm menimbulkan analgesia dan memperbaiki alodinia

dengan cara difusi lidokain ke lapisan-lapisan epidermis-dermis dan terikat

pada kanal sodium saraf perifer. Untuk tiap aplikasi, efeknya berlangsung

selama 4 hingga 12 jam. Karena keamanannya, kini disarankan untuk

digunakan sebagai terapi awal post herpetic neuralgia dengan gejala

alodinia atau nyeri yang intermiten. Penggunaan lidoderm telah disetujui

oleh FDA.

b. Anestetik lokal

Hilangnya 50-90% nyeri dapat dicapai oleh anestesi infiltrasi subkutan,

yang efeknya berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa minggu.

Lidokain, prokain, dan mepivakain sering diberikan secara infiltrasi atau

intravena.

c. Kapsaisin

Kapsaisin (dolorax, capsin, zoztrix), trans-8-metil-N-vanilil-6-

nonenamida, ekstrak dari Capsicum frustecans, telah banyak digunakan

untuk terapi topikal pada keadaan yang melibatkan nyeri, pruritus dan

9

Page 10: tinjauan pustaka

inflamasi. Kapsaisin berperan dalam meningkatkan pelepasan lalu deplesi

substansi P, yang dianggap merupakan neurotransmiter peptida endogen

utama rangsangan nyeri serabut C dari perifer ke susunan saraf pusat.

Sehingga pada awalnya kapsaisin menyebabkan rasa terbakar dan

hiperalgesia terhadap panas atau tekanan. Setelah beberapa hari hingga

seminggu, efek ini digantikan oleh hipoalgesia. Analgesia baru timbul saat

terjadi deplesi substansi P.

2. Sistemik

a. Analgesik

i. Antiinflamasi nonsteroid (AINS)

Asetaminofen (tylenol), aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lain

umum digunakan untuk postherpetic neuralgia. AINS berguna untuk

potensiasi efek analgetik opioid pada nyeri parah.

ii. Opioid

Opioid memperbaiki nyeri melalui aktivasi reseptor spesifik di

system saraf pusat dan perifer. Karena efek adiksinya, opioid hanya

diindikasikan untuk penggunaan jangka pendek.

b. Agen neuroaktif

i. Psikotropik

Antidepresan trisiklik (AT) merupakan terapi yang penting pada

Postherpetic Neuralgia. Mekanisme kerja AT dalam menghilangkan

nyeri adalah dengan memblokade reuptake neurotransmitter norepinefrin

dan serotonin, serta meningkatkan inhibisi neuron spinalis yang terlibat

dalam persepsi nyeri seperti terbakar dan nyeri tajam atau menusuk,

AT yang banyak digunakan pada Postherpetic Neuralgia adalah

amitriptilin (elavil), nortriptilin (pamelor), imipramin (tofranil), desipramin

(norpramin), dan maprotilin.

ii. Antikonvulsan

Antikonvulsan dapat mengurangi nyeri tajam atau menusuk pada

Postherpetic Neuralgia. Pada studi buta ganda dengan kontrol,

10

Page 11: tinjauan pustaka

karbamazepin mengurangi nyeri tajam atau menusuk namun tidak

efektik untuk nyeri yang terus-menerus.

Mekanisme kerja antikonvulsan dalam menghilangkan nyeri adalah

dengan memblokade kanal natrium dan berperan sebagai membran

stabilizing agent sehingga mencegah impuls ektopik yang dapat

mencetuskan nyeri. Antikonvulsan yang sering yang digunakan adalah

karbamazepin (tegretol), fenitoin (dilantin), asam valproat (depakene),

dan gabapentin (neurontin).

Dosis yang dibutuhkan untuk analgesia lebih rendah dari dosis untuk

epilepsi. Pemberian gabapentin untuk terapi post herpetic neuralgia

dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikkan bertahap hingga efek yang

diinginkan tercapai atau timbul efek samping yang serius.

iii. Neuroleptik

Golongan fenotiazin seperti flupenazin (prolixin), perpenazin

(trilafon), dan tioridazin, telah lama digunakan untuk terapi postherpetic

neuralgia dalam kombinasi dengan AT.

iv. Metikobal

Metikobal adalah derivate vitamin B12 yang bersifat koenzim,

menjadi aktif di tubuh, mempunyai afinitas yang besar terhadap jaringan

saraf, dan dilaporkan efektif untuk neuralgia dan neuritis perifer. Selain

itu metikobal dianggap mempunyai efek bila disuntikkan pada area

saraf setempat, tetapi tidak efektif bila digunakan secara sistemik.

Bersama dengan vitamin B1 dan B6 sering dipakai untuk membantu

regenerasi saraf.

Nonfarmakologi

1. Pendekatan neuroaugmentif

Beberapa pendekatan neuroaugmentif yang banyak digunakan antara lain

counterirritation, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS),

akupuntur dan deep brain stimulation. Penggunaan teknik lain, seperti aplikasi

ultrasound pada dermatom yang terkena dan stimuli korda dorsalis dikatakan tidak

bermanfaat.

11

Page 12: tinjauan pustaka

a. Counterirritation

Counterirritation (menggosok area yang terkena) dilaporkan dapat

memperbaiki postherpetic neuralgia dengan meningkatkan inhibisi normal

serabut saraf kecil di medulla spinalis.

b. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)

TENS dapat memberikan perbaikan nyeri sebagian hingga sempurna

pada beberapa pasien post herpetic neuralgia.

c. Stimulasi deep brain

Stimulasi di nucleus ventrobasal thalamus pada pasien Postherpetic

Neuralgia memberikan perbaikan nyeri yang bermakna dan berlangsung

selama 7 hingga 17 bulan.

d. Akupuntur

Akupuntur tidak efektif untuk postherpetic neuralgia..

2. Prosedur neurosurgikal

Prosedur neurosurgikal merupakan pilihan terakhir untuk postherpetic

neuralgia yang refrakter. Neuroktomi, rizotomi, avulasi saraf, simpatektomi,

trakotomi trigeminal pernah disarankan pada beberapa tahun yang lalu, namun

tidak satupun yang menguntungkan untuk pengobatan postherpetic neuralgia.

3. Terapi Psikososial

Manajemen stress dan berbagai tehnik kognitif-perilaku, termasuk latihan

relaksasi, biofeedback dan hypnosis dapat bermanfaat sebagai terapi

penunjang. Pasien perlu diberi penjelasan mengenai perjalanan penyakitnya, dibuat

strategi untuk mengikatkan kepatuhan pasien dan mempercepat kembali ke

aktivitas sebelum sakit.

4. Terapi Penunjang

Allodinia taktil dapat diatasi dengan penggunaan artificial skin seperti

kolodion spray atau penggunaan pakaian dengan bahan serat natural. Aplikasi

cold packs juga bermanfaat sebagai terapi penunjang.

12

Page 13: tinjauan pustaka

G. Prognosis

Sindrom nyeri yang timbul pada PNH ini cenderung beresolusi denagn lambat.

Pada pasien-pasien dengan PNH, kebanyakan berespon dengan baik terhadap obat-

obatan analgesik, seperti pada antidepressan trisiklik, namun pada sebagian kasus, nyeri

yang dirasakan semakin memburuk dan tidak berespon terhadap terapi yang diberikan.

Umumnya prognosisnya baik, di mana ini bergantung pada tindakan perawatan

sejak dini. pada umumnya pasien dengan neuralgia post herpetika respon terhadap

analgesik seperti antidepressan trisiklik. Jika terdapat pasien dengan nyeri yang menetap

dan lama dan tidak respon terhadap terapi medikasi maka diperlukan pencarian lanjutan

untuk mencari terapi yang sesuai.

Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak

menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu

fungsi sensorik. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi

didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.

Prognosis ad sanactionam bonam karena walaupun risiko berulangnya HZ masih

mungkin terjadi sebagaimana disebutkan dari literatur, selama pasien mempunyai daya

tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.

13

Page 14: tinjauan pustaka

BAB III

PENUTUP

Neuralgia Post Herpetika adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian

tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster. Herpes zoster sendiri merupakan

suatu reaktivasi virus Varicella yang berdiam di dalam jaringan saraf. Neuralgia Post

Herpetika  dapat  diklasifikasikan  menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah

timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari

setelah timbulnya  ruam  pada  kulit)  dan  neuralgia post hepertika (rasa sakit yang

terjadi setidaknya 120 hari setelah timbul ruam pada kulit).

Neuralgia Post Herpetika lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan

kekebalan tubuh yang rendah. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 60 tahun ke

atas, atau dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami

reaktivasi.

Neuralgia Post Herpetika terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai

sistem saraf baik perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan

perifer mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi

untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan

nyeri.

Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar,

parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan

respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik.

Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non

farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup

dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa penyakit ini sudah dapat ditegakkan.

Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh dengan terapi yang teratur.

14

Page 15: tinjauan pustaka

DAFTAR PUSTAKA

1. Rabey M, M. Manip. Post-herpetic Neuralgia: Possible Mechanisms for Pain

Relief with Manual Therapy. 2003. London: Science Direct. p180-184.

2. Turk D, Ronald M. Handbook of Pain Assessment. Edisi 2. 2001. London: The

Guilford Press.

3. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of

Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada: Elsevier.

p654-674.

4. Dubinsky R, et al. Practice Parameter: Treatment of Postherpetic Neuralgia. 2004.

American Academy of Neurology. p959-965.

5. Alvin W. Postherpetic Neuralgia; dalam Medscape Reference. Editor: Robert A.

2012.

6. Kost R, Stephen E. Postherpetic Neuralgia: Pathogenesis, Treatment, and

Prevention. 1996. The New England Journal of Medicine. p32-40.

7. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic

Considerations. Volume 11. 2006. Alternative Medicine Review. p102-111.

8. Jericho B. Postherpetic Neuralgia: A Review. Volume 16. 2010. Chicago: The

Internet Journal of Orthopedic Surgery.

9. Panlilio L, Paul J, Srinivasa N. Current Management of Postherpetic Neuralgia;

dalam The Neurologist. Volume 8. 2002. Baltimore. p339-350.

10. Regina, Lorettha W. Neuralgia Pascaherpetika. Volume 39. 2012. Jakarta. p416-

419.

11. Gharibo C, Carolyn K. Neuropathic Pain of Postherpetic Neuralgia. 2011. New

York: Pain Medicine News. p84-91.

12. Bowsher D. The Management of Postherpetic Neuralgia. 1997. Liverpool: The

Fellowship of Postgraduate Medicine. p623-629.

13. Scadding J. Neuropathic Pain. Volume 3. 2003. ACNR. p8-14.

14. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Clinical Presentation; dalam Medscape

Reference. Editor: Robert A. 2012.

15. Alvin W. Postherpetic Neuralgia Workup; dalam Medscape Reference. Editor:

Robert A. 2012.

15