13
DHF (Dengue Hemorrhagic fever)

Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

afaahsjhsj

Citation preview

Page 1: Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)

DHF (Dengue Hemorrhagic fever)

Page 2: Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)

DSS (Dengue Shock Syndrome)

Patogenesis

Infeksi dengue bisa disebabkan oleh beberapa jenis serotipe virus DEN, setelah terinfeksi oleh salah satu serotipe virus, tubuh akan membentuk kekebalan terhadap serotipe tersebut, namun tidak terhadap jenis serotipe lain, sehingga jika tubuh terinfeksi lagi oleh jenis serotipe lain (secondary infection), bisa menimbulkan infeksi yang lebih berat. Hal ini disebabkan adanya antibody dependent enhancement, dimana tubuh akan menghancurkan serotipe pertama disamping membentuk antibodi non netralisasi yang justru akan mempermudah sel terinfeksi oleh virus, sehingga melepaskan sitokin yang bersifat vasoaktif atau prokoagulasi, seperti IL-1 IL-6, TNF α dan Platelet Activating Factor (PAF). Bahan- bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan. Namun demikian, hanya 2-4% penderita secondary infection akan mengalami infeksi yang berat, belum diketahui kenapa hal ini bisa terjadi.Setelah virus masuk kedalam tubuh, virus akan berkembang biak dalam sel makrofag, monosit dan sel B, virus juga bisa menginfeksi sel mast, sel dendritik dan sel endotel. Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Viremia terjadi selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala demam mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi Antigen Presenting Cell (APC) . (Harikushartono, 2002)

Page 3: Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)

Daftar Pustaka : 1.Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W,Soegijanto S, (2002), Demam Berdarah Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan, Jakarta, Penerbit Salemba Medika.

Patofisiologi Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan viremia. Hal tersebut menyebabkan pengaktifan complement sehingga terjadi komplek imun Antibodi – virus pengaktifan tersebut akan membetuk dan melepaskan zat (C3a, C5a, bradikinin, serotinin, trombin, Histamin), yang akan merangsang PGE2 di Hipotalamus sehingga terjadi termoregulasi instabil yaitu hipertermia yang akan meningkatkan reabsorbsi Na+ dan air sehingga terjadi hipovolemi. Hipovolemi juga dapat disebabkan peningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran palsma. Adanya komplek imun antibodi – virus juga menimbulkan Agregasi trombosit sehingga terjadi gangguan fungsi trombosit, trombositopeni, coagulopati. Ketiga hal tersebut menyebabkan perdarahan berlebihan yang jika berlanjut terjadi shock dan jika shock tidak teratasi terjadi Hipoxia jaringan dan akhirnya terjadi Asidosis metabolik. Asidosis metabolik juga disebabkan karena kebocoran plasma yang akhirnya tejadi perlemahan sirkulasi sistemik sehingga perfusi jaringan menurun jika tidak teratasi terjadi hipoxia jaringan.

Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus hanya dapat hidup dalam sel yang hidup, sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan tubuh manusia.sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1) aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin yang menyebabkan peningkatan permiabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke ekstravaskular, (2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibatnya akan terjadi mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan merangsang atau mengaktivasi faktor pembekuan.

Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan (1) peningkatan permiabilitas kapiler; (2) kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati; trombositopenia; dan kuagulopati. (Arief Mansjoer & Suprohaita, 2000).

Daftar Pustaka :1. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas Kedokteran UI : Media

Aescullapius. Jakarta.

KORTIKOSTEROID1. Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku1. (Dorland, 2002)

Page 4: Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.

Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450.

Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki kerja mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.

Page 5: Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)
Page 6: Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)

2. Penggunaan KlinisKortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia

kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis, systemic lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya ondansetron)2. (B. G. Katzung, 1997)

Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.

Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom chusing, atau aldosteronisme.

Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom chusing. Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral pada jam 11 malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal, konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5 µg/dl, sedangkan pada sindrom chusing kadarnya biasanya lebih besar daripada 10 µg/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya pada keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.

Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu dengan pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden sindrom gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur.

Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses penyakitnya2. (B. G. Katzung, 1997)

Page 7: Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)

3. Farmakodinamik kortikosteroidPada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel

membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.

Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi3. (Goodman & Gilman, 2006)

Page 8: Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)

4. Efek Samping KortikosteroidManfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus

dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik.

Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi.Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti inflamasi.

Iatrogenic Cushing’s syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat, bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushing’s syndrome terkait dengan dosis steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.

Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke dalam sel melewati membran s?l dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan uptake glukosa3. (Goodman & Gilman, 2006)

Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus dan kelinci.

Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi limfosit-T daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu: migrasi

Page 9: Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)

hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer. Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah 24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.

Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran makrofag. Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar suprafarmakologik.

Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang menggunakan 35–70 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil. Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi. Di samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi. Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid pada makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada penggunaan kortikosteroid setiap hari2. (B. G. Katzung, 1997)

Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit mempengaruhi stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik.

Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen. Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN. Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini telah dibuktikan secara invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb. Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.

Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan psikologik dan hipertensi.

Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon berhubungan

Page 10: Rizky Referat Dr. Idil (DHF & Kortikosteroid)

dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada beberapa penderita4. (R. Werner, 2005)

Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak.

Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.

5. Penanganan Efek Samping KortikosteroidPenanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek

samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan5.

(M.W. Schwaz, 2005)

DAFTAR PUSTAKA1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta.2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.3. Goodman & Gilman. (2006) The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed. McGraw-Hill,

New York.4. Werner, R. (2005). A massage therapist’s guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott Williams &

Wilkins, Pennsylvania, USA.5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta.