View
164
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
manajemen kasus
Citation preview
BAB I
KASUS
I.1. Identitas
Nama : Ny. B
Umur : 77 tahun
Jenis kelamin : P
Alamat : Mojorejo, Jenar, Sragen
Agama : Islam
Suku : Jawa
Masuk RS : 17 September 2013
I.2. Keluhan Utama
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak napas
I.3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak napas sejak satu bulan SMRS. Sesak awalnya dirasakan hanya saat
beraktifitas berat, namun semakin lama sesak semakin parah. Sesak tidak disertai dengan bunyi.
Sesak juga terutama dirasakan saat pasien tidur. Agar sesak berkurang, pasien mengaku tidur
dengan dua bantal. Selain sesak, pasien juga mengeluh adanya bengkak di kaki.
Dua hari SMRS sesak menjadi semakin parah. Bahkan Pasien juga merasa bengkak di
kaki semakin lama semakin membesar. Selain itu pasien mengeluh lemas, lesu, nafsu makan
menurun, serta perut terasa sebah. Keluhan belum pernah diobati sebelumnya. Karena merasa
khawatir, suami pasien membawa pasien ke IGD rumah sakit.
Anamnesis sistem:
Cerebrovakuler : Nyeri kepala (-) pusing berputar (-)
Kardiorespirasi : Sesak napas (+) batuk (-) nyeri dada (-)
Digesti : Sebah (+) BAB (-) mual (-) muntah (-)
Urogenital : BAK normal, nyeri pinggang (-) nyeri suprapubik (-)
Muskuloskeletal: Nyeri sendi (-) keterbatasan gerak (-)
Integumentum : Gatal-gatal (-)
I.4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah merasakan keluhan serupa sebelumya. Riwayat mondok juga
disangkal. Riwayat DM dan hipertensi juga disangkal. Riwayat batuk lama disangkal. Riwayat
nyeri dada sebelumnya disangkal.
I.5. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien dan suami tidak mengetahui apakah terdapat riwayat keturunan keluarga yang
sakit serupa. Riwayat sakit asma di dalam keluarga juga tidak diketahui
I.6. Kebiasaan dan Lingkungan
Riwayat konsumsi makanan berlemak yang berlebih disangkal. Saat masih berusia
produktif, pasien bekerja di sawah. Namun karena usia yang sudah lanjut, pasien hanya di rumah
dan tidak beraktifitas fisik sama sekali. Pasien juga akhir-akhir mengaku sulit makan.
I.7. Pemeriksaan Fisik
I.7.1. Keadaan Umum : Sesak, kesadaran compos mentis
I.7.2. Tanda vital
Nadi : 92x / menit
Nafas : 28x / menit
Suhu : 36,6o C per axillar
Tekanan darah : 160/90 mmHg
I.7.3. Kepala
Mata : CA (+/+), SI (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir sianosis (-) mukosa bibir kering (-)
Leher : JVP meningkat (+) tidak ada pembesaran linfonodi dan kelenjar tiroid
I.7.4. Thorax
Pulmo
Inspeksi : bentuk dada normal, simetris, massa (-), retraksi otot bantu
pernafasan (-), pengembangan dada simetris
Palpasi : nyeri (-), fremitus taktil kanan dan kiri sama, pengembangan paru
simetris(-)
Perkusi : Paru kanan: sonor di seluruh lapang paru
Paru kiri : redup di SIC V
Auskultasi :suara dasar vesicular (+ normal/ menghilang) ronki (-/-), wheezing
(-/-)
Cor
Inspeksi : Denyut ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis (+), thrill (-)
Perkusi : - batas jantung kanan di linea sternalis dekstra,
- batas jantung kiri tidak dapat dinilai
- batas jantung atas di linea sternalis sinistra
- batas pinggang jantung di linea parasternalis sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, regular, bising (-)
I.7.5. Abdomen
I : Distensi (+)
Antara kuadran kanan dan kiri simetris
Tidak terlihat adanya masa
Tidak ada jaringan parut
A : Peristaltik 12x / menit di 4 kuadran
Tidak adanya bunyi bruit di abdomen
P : Tidak teraba adanya massa
Nyeri tekan epigastrium (+)
Tidak ada rigiditas
Hati tidak teraba
Limpa tidak teraba
P : timpani di 4 kuadran
I.7.6. Ekstremitas
Oedema di kedua tungkai (+) akral hangat
I.8. Hasil laboratorium
I.8.1. Darah Rutin
Hb : 2,1 g/dl
Hmt : 7,4 %
MCV : 78,4 fL
MCH : 22,1
MCHC : 28,4
AT : 211.000/µL
AL : 5.200 /µL
GDS : 104
SGOT : 29
SGPT : 21
Ureum : 34,9
Kreatinin : 0,95
I.8.2 Radiologis dan EKG
Radiologis : Kardiomegali dan oedem pulmo
EKG : Normal Sinus Rhythm
I.9. Diagnosis
Congestive Heart Failure NYHA klas fungsional II-`III
Anemia
I.10. Terapi
O2 2-3 lpm
Infus RL 8 tpm
Inj. Sohobion 1 amp/24 jam drip
Inj. Ondancentron 1amp/8 jam
Inj. Furosemid 1 amp/24 jam
KSR 1x1 tab
Digoxin 2x1 tab
Antasida syr 3x1 cth
Transfusi PRC 1 colv
I.11. Follow Up
Tanggal Perjalanan Penyakit Diagnosis Pengobatan
18/9/201
3
Hb: 2,1
Sesak napas,
Nyeri perut bagian uluh hati,
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,8OC
TD: 130/80mmHg
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
02 2-3 lpm
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
R: 30x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Digoxin 2x1 tab
Transfusi PRC 1 colv
19/9/201
3
Hb: 2,4
Sesak napas,
Nyeri perut bagian uluh hati,
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 82x/menit
S: 36,8OC
TD: 130/70mmHg
R: 28x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
02 2-3 lpm
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
Transfusi PRC 1 colv
20/9/201
3
Hb: 4,8
Sesak napas,
Nyeri perut bagian uluh hati,
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 94x/menit
S: 36,8OC
TD: 110/60mmHg
R: 32x/menit
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
02 2-3 lpm
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Transfusi PRC 2 colv
21/9/201
3
Hb: 7,4
Sesak napas,
Nyeri perut bagian uluh hati,
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,8OC
TD: 120/80mmHg
R: 29x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
02 2-3 lpm
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
Transfusi PRC 1 colv
22/9/201
3
Sesak napas,
Nyeri perut bagian uluh hati,
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,6OC
TD: 130/80mmHg
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
02 2-3 lpm
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
R: 30x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Digoxin 2x1 tab
23/9/201
3
Hb: 9,2
Sesak napas,
Nyeri perut bagian uluh hati,
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,6OC
TD: 100/70mmHg
R: 28x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
02 2-3 lpm
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
24/9/201
3
Sesak napas,
Nyeri perut bagian uluh hati,
Perut sebah,
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
02 2-3 lpm
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,6OC
TD: 140/80mmHg
R: 28x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
III amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
Transfusi PRC 1 colv
25/9/201
3
Hb: 10,7
Nyeri perut bagian uluh hati,
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,6OC
TD: 130/80mmHg
R: 24x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
26/9/201
3
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,6OC
TD: 140/70mmHg
R: 30x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
III Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
27/9/201
3
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,6OC
TD: 140/80mmHg
R: 24x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
02 2-3 lpm
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
28/9/201
3
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,6OC
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
TD: 140/80mmHg
R: 24x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
29/92013 Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,9OC
TD: 140/80mmHg
R: 22x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
30/9/201
3
Perut sebah,
kaki bengkak,
Nafsu makan menurun
Ks: Compos Mentis
TV: N: 85x/menit
S: 36,6OC
TD: 130/70mmHg
R: 20x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
1/10/201
3
kaki bengkak,
Nafsu makan normal
Ks: Compos Mentis
TV: N: 82x/menit
S: 36,6OC
TD: 120/70mmHg
R: 24x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
2/10/201
3
kaki bengkak,
Nafsu makan normal
Ks: Compos Mentis
TV: N: 89x/menit
S: 36,6OC
TD: 120/70mmHg
R: 20x/menit
Kepala: mata CA (+/+)
Thorax: Cardiomegali
Abdomen: dbn
Rontgen thorax:
Cardiomegali, oedem pulmo
Anemia, CHF
NYHA klas
fungsional II-
III
Infus RL 8 tpm
Injeksi sohobion 1
amp/24 jam drip
Injeksi ondancentron
1 amp/ 8 jam
Injeksi Furosemid 1
amp/ 24 jam
Antasida sirup 3x1
Digoxin 2x1 tab
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anemia
2.1.1. Definisi
Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik
maupun di lapangan. Definisi anemia itu sendiri adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau
massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsi untuk menyediakan oksigen ke
seluruh jaringan tubuh.
2.1.2. Kriteria
Kadar hemoglobin (Hb) sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian
tempat tinggal dan keadaan fisiologis tertentu seperti hamil. Cut off point yang umum dipakai
untuk kriteria anemia menurut WHO tahun 1968 adalah
laki-laki dewasa hemoglobin < 13 g/dl,
perempuan dewasa tidak hamil hemoglobin < 12 g/dl,
perempuan hamil hemoglobin < 11 g/dl,
anak umur 6-14 tahun hemoglobin < 12 g/dl,
anak umur 6 bulan- 6 tahun hemoglobin < 11 g/dl.
Adapun klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah
ringan sekali Hb 10 g/dl-cut off point
ringan Hb 8 g/dl-Hb 9,9 g/dl
sedang Hb 6 g/dl-Hb 7,9 g/dl
berat Hb < 6 g/dl
2.1.3. Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari sudut mana kita
melihat dan tujuan kita melakukan klasifikasi tersebut. Klasifikasi yang paling sering dipakai
adalah klasifikasi menurut morfologiknya, yang berdasarkan morfologi eritrosit pada
pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit. Berikut adalah klasifikasi
anemia berdasarkan morfologi eritrosit:
A. Anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80 fl; MCH < 27 pg)
1. anemia defisiensi besi
2. thalassemia
3. anemia akibat penyakit kronik
4. anemia sideroblastik
B. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg)
1. anemia pascaperdarahan akut
2. anemia aplastik-hipoplastik
3. anemia hemolitik
4. anemia akibat penyakit kronik
5. anemia mieloptisik
6. anemia pada gagal ginjal kronik
7. anemia pada mielofibrosis
8. anemia pada sindrom mielodisplastik
9. anemia pada leukemia akut
C. Anemia makrositer (MCV > 95 fl)
1. megaloblastik: anemia defisiensi folat dan anemia defisiensi vitamin B12
2. nonmegaloblastik: anemia pada penyakit hati kronik, anemia pada hipotiroid, dan anemia
pada sindrom mielodisplastik
2.1.4. Patofisiologi Gejala Anemia
Pada dasarnya gejala anemia timbul karena:
1. anoksia organ target: karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh darah ke
jaringan.
2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia.
Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala yang disebut sebagai sindrom anemia.
Gejala anemia biasanya timbul apabila hemoglobin menurun kurang dari 7 atau 8 g/dl. Berat
ringannya gejala tergantung pada:
1. Beratnya penurunan kadar hemoglobin
2. Kecepatan penurunan hemoglobin
3. Umur: adaptasi orang tua lebih jelek, gejala lebih cepat timbul
4. Adanya kelainan kardiovaskuler sebelumnya.
2.1.5. Gejala Anemia
Gejala anemia bervariasi, pada umunya dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sindrom anemia yaitu gejala yang timbul pada semua jenis
anemia pada kadar yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini
timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah
sebagai berikut:
a. Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpatasi, takikardi sesak waktu kerja, angina
pectoris dan gagal jantung.
b. Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang,
kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas.
c. Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun
d. Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan
halus.
2. Gejala khas masing-masing anemia
a. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis
b. Anemia defisiensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali
d. Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala akibat penyakit dasar
Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini timbul karena penyakit-
penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan
oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejal seperti: pembesaran parotis dan
telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Kanker kolon dapat menimbulka gejala berupa
perubahan sifat defekasi, feses bercampur darah atau lendir.
2.1.6. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis
anemia.Pemeriksaan yang dilakukan, meliputi :
1. Tes penyaring
Tes ini dikerjakan pada tahap awal setiap kasus anemia. Dengan pemeriksaan ini,dapat
dipastikan adanya anemia dan bentuk morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi :
Kadar hemoglobin
Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
Apusan darah tepi
2. Pemeriksaan rutin
Untuk mengetahui kelainan pada leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yangdikerjakan :
LED
Hitung diferensial
Hitung leukosit
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan
diagnosis definitif meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnyatidak memerlukan
pemeriksaan sumsum tulang.
4. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya :
Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (total iron binding capacity),saturasi transferin
dan feritin serum
Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12
Anemia hemolitik : hitung retikulosit, tes Coombs, elektroforesis Hb
Anemia pada leukimia akut : pemeriksaan sitokimia
Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang
5. Pemeriksaan non-hematologik
Pemeriksaan yang diperlukan adalah :
Faal ginjal
Faal endokrin
Asam urat
Faal hati
Biakan kuman, dll.
2.1.7. Terapi
Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan
2. terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien
Jenis-jenis terapi yang diberikan adalah:
1. Terapi gawat-darurat
Untuk mengatasi kasus gawat darurat pada anemia seperti pada kasus anemia dengan payah
jantung atau ancaman payah jantung maka harus segera diberikan terapi darurat dengan transfusi
sel darah merah ( packet red cell).
2. Terapi khas untuk masing-masing anemia
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai.
3. Terapi untuk mengobati penyakit dasar
Penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia harus diobati dengan baik. Jika tidak, anemia
akan kambuh kembali.
4. Terapi ex juvantivus
Terapi ini terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini berhasil berarti
diagnosis dapat dilakukan. Pada pemberian terapi jenis ini penderita harus diawasidengan ketat.
Jika terdapat respons yang baik terapi diteruskan,tetapi jika tidak terdapatrespons maka harus
dilakukan evaluasi kembali.
2.2 Congestive Heart Failure (CHF)
2.3 Definisi
Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis yang berasal dari ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah yang cukup terorganisasi untuk memenuhi kebutuhan metabolism tubuh
(Nettina, 2002).
Gagal jantung adalah termin umum yang dipakai untuk menggambarkan keadaan secara
patofisologik dimana terjadi gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh ketidakmampuan
ventrikel memompa darah sesuai dengan venous return sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan
metabolism jaringan dari berbagai sistem organ di dalam tubuh.
2.4 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang sangat luas baik di negara maju
maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan jumlah penderita gagal jantung
mencapai beberapa juta, sedangkan di USA sekitar 4,8 juta dan rata-rata 400.000-700.000
penderita baru tiap tahunnya. Diperkirakan hampir 23 juta orang di dunia ini menderita gagal
jantung.
Angka kematian di rumah sakit akibat gagal jantung akut mencapai 5-8% dan angka
kematian 1 tahun setelah keluar dari rumah sakit mencapai 60%. Dari tahun 1990 sampai dengan
1999 jumlah penderita gagal jantung yang dirawat di rumah sakit meningkat dari sekitar 810.000
menjadi lebih dari 1 juta dimana gagal jantung sebagai diagnose primer dan dari 2,4 juta menjadi
3,6 juta baik sebagai diagnose primer atau sekunder (Cleland, 2001)
Jumlah kematian akibat gagal jantung baik primer maupun sekunder meningkat sampai 6
kalinya dalam kurun waktu 40 tahun belakangan ini, pada gagal jantung derajat ringan risiko
kematian setiap tahunnya meningkat menjadi derajat yang lebih tinggi dari 5%-10% menjadi
sektiar 30%-40% (Cleland, 2001).
2.5 Etiologi
Penyebab gagal jantung antara lain adalah infark miokardium, miopati jantung, defek
katup, malformasi congenital dan hipertensi kronik. Penyebab spesifik gagal jantung kanan
adalah gagal jantung kiri, hipertensi paru, dan PPOK (Corwin, 2001). Berikut adalah etiologi
gagal jantung akibat etiologi penyebabnya:
Pengisian volume yang abnormal:
Inkompetensi aorta
Inkompetensi mitral
Inkompetensi trikuspidal
Overtransfusi
Pirau kiri ke kanan
Hipervolemia sekunder
Tekanan pengisian yang abnormal:
Stenosis aorta
Hipertrofi Idiopatik
Stenosis Subaorta
Koarktasio aorta
Hipertensi
Disfunsi miokard:
Kardiomiopati
Miokarditis
Penyakit arteri koroner
Iskemik
Infark
Disritmia
Presbikardia
Gangguan pengisian
Stenosis mitral
Stenosis tricuspid
Tamponade jantung
2.6 Patofisiologi
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolism dengan
menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankna cardiac output
(volume darah yang dipompa oleh ventrikel per menit). Cardiac output dipengaruhi oleh
perputaran denyut jantung dan pengaturan curah sekuncup. Mekanisme kompensai meliputi 1).
Respon sistem saraf simpatik terhadap baroreseptor atau kemoreseptor, 2) Pengencangan dan
pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume, 3) vasokontriksi arteri
renal dan aktivitas sistem rennin angiotensin, 4) respon-respon terdap serum sodium dan regulasi
ADH dari reabsorbsi cairan. Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya
volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk menentang peningkatan resistensi vaskuler oleh
pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dan arteri
koronaria, menurunkan cardiac output dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke
miokardium.
Peningkatan tekanan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen
dan pembesaran jantung (hipertropi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang
menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan. Dengan kata lain, apabila kebutuhan oksigen
tidak terpenuhi maka serat otot jantung semakin hipoksia, sehingga kontraktilitas berkurang.
Hipertensi sistemik yang kronik akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertropi
dan melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama akan menyebabkan ventrikel kanan
mengalami hipertropi dan melemah.
Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke atrium kiri, lalu ke sirkulasi
paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka darah akan mulai terkumpul di sistem vena perifer.
Hasil akhirnya adalah semakin berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya
tekanan darah serta perburukan siklus gagal jantung.
Kenaikan tekanan vena pulmo mengakibatkan terjadinya transudasi cairan dari kapiler ke
dalam jaringan alveoli dan hal ini menyebabkan sesak napas. Pegurangan curah jantung dan
volume darah arteri berakibat perubahan aliran darah ginjal. Pengaktifan sistem saraf simpatik
dan sistem angiotensin menyebabkan vasokonstriksi arteriola dan pemintasan aliran darah
menjauhi kortek perifer. Jadi kadar filtrasi glomeruli seiring dengan peningkatan reabsoprsi
tubuli proksimal dan keduanya menyebabkan retensi garam dan air.
Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, terjadi dilatasi dari ruang, peningkatan
volume dan tekanan pada diastolic akhir ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel dan
peningkatan tekanan ini sebaliknya memantulkan ke hulu vena kava dan dapat diketahui dengan
peningkatan pada tekanan vena jugularis.
Retensi natrium dan air dapat terakumulasi pada rongga abdominal akibat peningkatan
tekanan intravaskuler yang mendorong cairan keluar dari sirkulasi portal, yang dikenal sebagai
ascites. Hal ini menimbulkan manifestasi seperti mual, muntah, atau anoreksia.
2.7 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis
Tanda dan gejala gagal jantung kiri adalah adanya dispnea, ortopnea, dispnea nocturnal
paroksismal, batuk iritasi, oedema pulmonal akut, penurunan curah jantung, irama gallop, crakles
paru, disritmia, pernapasan cheyne stoke. Untuk gagal jantung kanan ditandai dengan curah
jantung rendah, distensi vena jugularis, edema, dependen disritmia, penurunan bunyi napas.
Pemeriksaan penunjang untuk CHF dapat bermacam-macam. Diantaranya adalah:
o EKG: Hipertropi atrial atau ventrikel, penyimpangan aksis dan iskemia
o Sonogram: Dapat menunjukkan dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam fungsi
struktur katup atau area penurunan kontraktilitas ventrikuler.
o Rontgen dada: dapat menunjukkan perbesaran jantung, bayangkan mencerminakan
dilatasi/hipertropi bilik
o Enzim hepar: meningkat dalam gagal/kongestif hepar
o Elektrolit: mungkin berubah karena penurunan fungsi ginjal
o Analisa gas darah: gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan atau
hiposemia
o BUN: peningkatan BUN menandakan penurunan fungsi ginjal
o Kreatinin: Peningkatan merupakan indikasi gagal jantung
Kriteria Framingham untuk diagnosis CHF adalah sebagai berikut:
Kriteria Mayor
Paroksismal nocturnal dispnea
Distensi vena leher
Kardiomegali pada gambaran radiologis
Edema paru akut
Ronki paru
Gallop S3
Refleks hepatojugular
Didapatkan edema paru, kongesti visceral, atau kardiomegali pada otopsi
Peninggian tekanan vena jugularis
Kriteria Minor
Edema tungkai bilateral
Batuk malam hari
Sesak napas saat beraktifitas normal
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Dispnea d’effort
Takikardia (>120/menit)
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan jika terdapat 2 gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan ditambah dengan dua gejala minor. New York Heart Association (NYHA)
menetapkan klasifikasi sesak napas berdasarkan aktifitas:
Derajat I : Tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa
Derajat II : Timbul gejala bila melakukan aktifitas fisik biasa
Derajat III: Timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan
Derajat IV : Timbul gejala pada saat istirahat
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Terapi Medikamentosa
Obat yang mempengaruhi kerja angiotensin II
Gagal jantung fase kompensata terjadi akibat aktifitas baik sistem simpatis
maupun sistem rennin angiotensin aldosteron, disini angiotensin II dan aldosteron merupakan
respon neuro-humoral yang mengakibatkan gangguan pada jantung, sehingga sesudah
sewajarnya diperlukan agen yang mampu menghambat aktifitas keduanya. ACE adalah suatu zat
yang diperlukan dalam konversi dari angiotensin I menjadi angiotensin II di dalam sistem RAA.
Sistem ini juga berpengaruh terhadap hipertensi, namun yang lebih penting lagi adalah efek
remodeling pada target organ sehingga menimbulkan gangguan fungsi target organ.
Diuretika
Diuretika dianjurkan diberikan pada semua gagal jantung kongestif dimana agen
ini lebih bersifat simptomatis daripada proteksi di organ target. Pada gagal jantung kongestif
loop diuretika (furosemid) lebih dianjurkan dibandingkan golongan tiazid . Namun demikian
pemakaian lama diuretika jenis ini dapat mengakibatkan aritmia yang ganas. Sebaliknya
kombinasi furosemid dengan spironolakton (diuretic hemat kalium) tidak meningkatkan risiko
aritmia ganas. Bahkan spironolakton direkomendasikan untuk diberikan pada gagal jantung berat
(NYHA III-IV) guna memperbaiki baik angka kesakitan maupun angka kematian.
Penghambat Beta
Pada masa yang lalu penghambat beta merupakan kontraindikasi pada semua klas
fungsional gagal jantung dan telah dibuktikan dapat menurunkan baik angka kematian maupun
angka kesakitan pada gagal jantung. Pada penelitian CIBIS II, penambahan bisoprolol pada
terapi dengan diuretika dan penghambat ACE pada pengobatan penderita gagal jantung dapat
menurunkan angka kematian oleh sebab apapun sebesar 32%, kematian mendadak 45%, masuk
rumah sakit 29% dengan tanpa efek samping yang berarti. Namun demikian beberapa keadaan
seperti asma bronkiale dan bradikardi tidak dianjurkan pemberian penghambat beta.
Digitalis
Dahulu digitalis merupakan indikasi utama pada pengobatan gagal jantung, akan
tetapi akhir-akhir ini sudah tidak merupakan indikasi utama walaupun masih bisa digunakan
sebagai tambahan terapi pada penderita gagal jantung yang dengan pemberian obat
konvensional masih belum membaik. Saat ini digitalis lebih dipakai untuk tujuan mengontrol
frekuensi ventrikel yang terlalu cepat baik pada atrial takikardi, flutter, maupun fibrilasi.
Agen anti aritmia
Pada umumnya anti aritmia dipakai pada gagal jantung dengan atrial fibrilasi
dimana respon ventrikelnya sangat cepat. Disini fungsi anti aritmia hanyalah mengontrol
frekuensi ventrikel sehingga masa diastolnya lebih panjang oleh karenanya isi ventrikel saat
diastole makin besar dan strok volume akan meningkat. Anti aritmia yang paling sering dipakai
adalah amiodaron, namun amiodaron ini punya efek toksik pada paru, hepar, dan tiroid dan
juga mempunyai efek inotropik negative sehingga tidak tepat untuk gagal jantung berat.
Anti koagulan
Pemberian anti koagulan warfarin pada pasien gagal jantung berat dengan irama
sinus masih merupakan kontroversi. Oleh karena itu perlu pertimbangan masak terapi anti
koagulan pada gagal jantung, dan mesti sangat dipertimbangkan efek dan risikonya. Pada
gagal jantung dengan atrial fibrilasi, warfarin dapat member manfaat menurunkan risiko
terjadinya trombo-emboli maupun stroke. Tidak semua pusat rumah sakit yang menangani
gagal jantung memakai anti koagulan secara rutin untuk semua pasiennya dengan gangguan
fungsi ventrikel sedang sampai berat dimana tidak ada kontraindikasinya.
2.8.2 Terapi lainnya
Ada banyak terapi tambahan yang lain dan biasanya dilakukan di negara maju maupun
yang sedang berkembang termasuk di Indonesia, diantaranya pemasangan defibriliator secara
implant, biventricular pacing, ventricular assist devices. Demikian juga tindakan bedah
seperti transplantasi jantung, Coronary Artery Bypass Grafting (CABG), rekonstruksi katup
mitral pada disfungsi ventrikel kiri, Ventricular Reduction Surgery.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien adalah seorang wanita usia 77 tahun datang dengan keluhan utama
sesak napas. Dari keluhan utama ini, masih terdapat banyak diagnosis banding yang dapat
dipikirkan oleh seorang dokter, sehingga diperlukan anamnesis lebih lanjut. Anamnesis lebih
lanjut diharapkan dapat mengarahkan diagnosis, apakah sesak napas tersebut merupakan gejala
utama dari kelainan paru, jantung, metabolik, atau sebab lainnya.
Setelah dilakukan anamnesis kepada pasien, keluhan tersebut mengarah kepada diagnosis
gagal jantung. Ini terlihat dari sesak napas pasien yang perjalanannya kronis, dan sering
dirasakan ketika pasien tidur malam. Selain itu, kebiasaan pasien yang tidur menggunakan dua
bantal dan keluhan kaki bengkak juga mendukung ke arah diagnosis gagal jantung. Meski
demikian, diagnosis pasti dapat ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Di samping keluhan utama, pasien mengalami keluhan lain berupa perut sebah, nafsu
makan menurun, serta lemas dan lesu. Keluhan ini tergolong tidak khas, terutama jika terdapat
pada pasien berusia lanjut.
Dari riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga, tidak didapatkan informasi
yang cukup untuk mendukung diagnosis. Keluhan pasien berupa lemas dan lesu dapat diarahkan
ke diagnosis anemia, mengingat pasien memiliki kebiasaan sulit makan, sehingga intake kurang.
Faktor risiko seperti riwayat penyakit jantung, DM, dan hipertensi juga tidak didapatkan dalam
kasus ini.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan konjungtiva anemis, di mana hasil ini mendukung
data dari riwayat anamnesis bahwa pasien memiliki anemia. Namun perlu pemeriksaan
penunjang berupa darah rutin untuk melihat jenis anemia, dan mencari kemungkinan penyebab
anemia. Selain itu, dari pemeriksaan fisik juga ditemukan perut pasien yang distensi. Pasien
mengaku belum BAB selama beberapa hari namun mengaku masih bisa kentut. Anamnesis
lanjutan ini dilakukan saat follow up saat pasien dirawat di bangsal. Sementara dari pemeriksaan
fisik thorax tidak didapatkan kelainan. Sedangkan di ekstremitas, ditemukan edema tungkai
bilateral.
Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil hemoglobin 2,1 gr/dl,
hematokrit 7,4% MCV 78,4 fL dan MCH 22,1. Dari hasil tersebut didapatkan kesimpulan pasien
mengalami anemia mikrositik hipokromik. Dari hasil pemeriksaan EKG dan radiologis juga
didapatkan hasil yang mendukung ke arah diagnosis CHF, yaitu adanya kardiomegali, oedem
pulmo, dan hipertrofi ventrikel kiri.
Jika disesuaikan dengan kriteria diagnosis menurut Framingham, maka pasien ini dapat
didiagnosis dengan CHF karena telah memiliki 2 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Di mana
untuk menegakkan diagnosis, hanya diperlukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2
kriteria minor. Adapun jika digolongkan menurut New York Heart Association (NYHA), maka
pasien ini dapat digolongkan menjadi CHF dengan kelas fungsional II-III. Yaitu pasien
mengalami sesak saat beraktifitas, baik ringan maupun berat.
Untuk pengobatan pada pasien ini, telah diberikan transfuse 6 kantong darah, hal ini
dilakukan mengingat kadar Hb pasien yang sangat rendah saat masuk ke rumah sakit, yaitu 2,1
gr/dl sehingga diperlukan pengobatan yang cepat untuk mengembalikan Hb ke kadar normal,
sehingga dipilih cara yaitu melalui transfusi. Selama perawatan di RS, pasien mengalami
perbaikan keluhan yang berhubungan dengan anemia.
Adapun untuk pengobatan yang terkait dengan diagnosis CHF, pada pasien ini diberikan
diuretic berupa furosemid, inotropik golongan digitalis yaitu digoxin, dan KSR sebagai obat
untuk mencegah terjadinya hipokalemia. Selain itu juga diberikan ondancentron dan ranitidine
untuk mengobati keluhan pasien berupa rasa tidak nyaman di perut. Pemilihan jenis pengobatan
ini termasuk rasional dan tepat pada pasien, sesuai dengan penatalaksanaan pada kasus pasien
CHF.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai. Anemia adalah
keadaan dimana massa eritrosit dan atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat
memenuhi fungsi untuk menyediakan oksigen ke seluruh jaringan tubuh.
2. Pada kasus ini, pasien didiagnosis anemia dari gejala klinis yang timbul berupa lemas dan
lesu, serta didukung dari pemeriksaan fisik berupa konjunctiva anemis, dan hasil
laboratorium: hemoglobin 2,1 gr/dl, hematokrit 7,4% MCV 78,4 fL dan MCH 22,1
sehingga tergolong anemia mikrositik hipokromik
3. Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis yang berasal dari ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah yang cukup terorganisasi untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh.
4. Pada kasus ini, CHF ditegakkan dari gejala klinis yang timbul berupa sesak napas saat
aktifitas dan tidur di malam hari, perjalanan sesak yang kronis, dan kebiasaan tidur
menggunakan dua bantal. Pemeriksaan fisik yang mendukung adalah edema tungkai
bilateral, serta pemeriksaan penunjang berupa EKG: LVH, dan radiologis ditemukan
kardiomegali dan oedema pulmo
5. Sesuai kriteria Framingham, pada kasus ini terdapat 2 gejala mayor dan 2 minor berupa
paroksismal nokturnal dispnea, kardiomegali dari gambaran radiologis, edema tungkai
bilateral, serta sesak napas saat beraktifitas normal
6. Kasus ini tergolong CHF NYHA klas fungsional II-III
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
ACC/AHA. Task Force on Practice. Guidelines. 2005. Guideline updates for diagnosis and
management chronic heart failure in adult. J Am Coll Cardioll 46:111
Bakta, I Made. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Cleland JG, Khand A, Clark A. 2001. The heart failure epidemic: exactly how big isit?. Eur
Heart Jurnal 22:623-6.
Ghanie, Ali.. Gagal Jantung Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor: Aru W.
Sudoyo., Bambang Setiyohadi., Idrus Alwi., Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati.
Interna Publishing. Jilid II Edisi V. 2010:169-183
Tjokroprawiro, A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga: Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.