42
BAB I KASUS I.1. Identitas Nama : Ny. B Umur : 77 tahun Jenis kelamin : P Alamat : Mojorejo, Jenar, Sragen Agama : Islam Suku : Jawa Masuk RS : 17 September 2013 I.2. Keluhan Utama Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak napas I.3. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh sesak napas sejak satu bulan SMRS. Sesak awalnya dirasakan hanya saat beraktifitas berat, namun semakin lama sesak semakin parah. Sesak tidak disertai dengan bunyi. Sesak juga terutama dirasakan saat pasien tidur. Agar sesak berkurang, pasien mengaku tidur dengan dua bantal. Selain sesak, pasien juga mengeluh adanya bengkak di kaki.

manajemen kasus CHF

Embed Size (px)

DESCRIPTION

manajemen kasus

Citation preview

Page 1: manajemen kasus CHF

BAB I

KASUS

I.1. Identitas

Nama : Ny. B

Umur : 77 tahun

Jenis kelamin : P

Alamat : Mojorejo, Jenar, Sragen

Agama : Islam

Suku : Jawa

Masuk RS : 17 September 2013

I.2. Keluhan Utama

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak napas

I.3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh sesak napas sejak satu bulan SMRS. Sesak awalnya dirasakan hanya saat

beraktifitas berat, namun semakin lama sesak semakin parah. Sesak tidak disertai dengan bunyi.

Sesak juga terutama dirasakan saat pasien tidur. Agar sesak berkurang, pasien mengaku tidur

dengan dua bantal. Selain sesak, pasien juga mengeluh adanya bengkak di kaki.

Dua hari SMRS sesak menjadi semakin parah. Bahkan Pasien juga merasa bengkak di

kaki semakin lama semakin membesar. Selain itu pasien mengeluh lemas, lesu, nafsu makan

menurun, serta perut terasa sebah. Keluhan belum pernah diobati sebelumnya. Karena merasa

khawatir, suami pasien membawa pasien ke IGD rumah sakit.

Page 2: manajemen kasus CHF

Anamnesis sistem:

Cerebrovakuler : Nyeri kepala (-) pusing berputar (-)

Kardiorespirasi : Sesak napas (+) batuk (-) nyeri dada (-)

Digesti : Sebah (+) BAB (-) mual (-) muntah (-)

Urogenital : BAK normal, nyeri pinggang (-) nyeri suprapubik (-)

Muskuloskeletal: Nyeri sendi (-) keterbatasan gerak (-)

Integumentum : Gatal-gatal (-)

I.4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah merasakan keluhan serupa sebelumya. Riwayat mondok juga

disangkal. Riwayat DM dan hipertensi juga disangkal. Riwayat batuk lama disangkal. Riwayat

nyeri dada sebelumnya disangkal.

I.5. Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien dan suami tidak mengetahui apakah terdapat riwayat keturunan keluarga yang

sakit serupa. Riwayat sakit asma di dalam keluarga juga tidak diketahui

I.6. Kebiasaan dan Lingkungan

Riwayat konsumsi makanan berlemak yang berlebih disangkal. Saat masih berusia

produktif, pasien bekerja di sawah. Namun karena usia yang sudah lanjut, pasien hanya di rumah

dan tidak beraktifitas fisik sama sekali. Pasien juga akhir-akhir mengaku sulit makan.

I.7. Pemeriksaan Fisik

I.7.1. Keadaan Umum : Sesak, kesadaran compos mentis

I.7.2. Tanda vital

Nadi : 92x / menit

Nafas : 28x / menit

Page 3: manajemen kasus CHF

Suhu : 36,6o C per axillar

Tekanan darah : 160/90 mmHg

I.7.3. Kepala

Mata : CA (+/+), SI (-/-)

Hidung : Nafas cuping hidung (-)

Mulut : bibir sianosis (-) mukosa bibir kering (-)

Leher : JVP meningkat (+) tidak ada pembesaran linfonodi dan kelenjar tiroid

I.7.4. Thorax

Pulmo

Inspeksi : bentuk dada normal, simetris, massa (-), retraksi otot bantu

pernafasan (-), pengembangan dada simetris

Palpasi : nyeri (-), fremitus taktil kanan dan kiri sama, pengembangan paru

simetris(-)

Perkusi : Paru kanan: sonor di seluruh lapang paru

Paru kiri : redup di SIC V

Auskultasi :suara dasar vesicular (+ normal/ menghilang) ronki (-/-), wheezing

(-/-)

Cor

Inspeksi : Denyut ictus kordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus kordis (+), thrill (-)

Perkusi : - batas jantung kanan di linea sternalis dekstra,

- batas jantung kiri tidak dapat dinilai

- batas jantung atas di linea sternalis sinistra

- batas pinggang jantung di linea parasternalis sinistra

Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, regular, bising (-)

I.7.5. Abdomen

I : Distensi (+)

Antara kuadran kanan dan kiri simetris

Page 4: manajemen kasus CHF

Tidak terlihat adanya masa

Tidak ada jaringan parut

A : Peristaltik 12x / menit di 4 kuadran

Tidak adanya bunyi bruit di abdomen

P : Tidak teraba adanya massa

Nyeri tekan epigastrium (+)

Tidak ada rigiditas

Hati tidak teraba

Limpa tidak teraba

P : timpani di 4 kuadran

I.7.6. Ekstremitas

Oedema di kedua tungkai (+) akral hangat

I.8. Hasil laboratorium

I.8.1. Darah Rutin

Hb : 2,1 g/dl

Hmt : 7,4 %

MCV : 78,4 fL

MCH : 22,1

MCHC : 28,4

AT : 211.000/µL

AL : 5.200 /µL

GDS : 104

SGOT : 29

SGPT : 21

Ureum : 34,9

Kreatinin : 0,95

Page 5: manajemen kasus CHF

I.8.2 Radiologis dan EKG

Radiologis : Kardiomegali dan oedem pulmo

EKG : Normal Sinus Rhythm

I.9. Diagnosis

Congestive Heart Failure NYHA klas fungsional II-`III

Anemia

I.10. Terapi

O2 2-3 lpm

Infus RL 8 tpm

Inj. Sohobion 1 amp/24 jam drip

Inj. Ondancentron 1amp/8 jam

Inj. Furosemid 1 amp/24 jam

KSR 1x1 tab

Digoxin 2x1 tab

Antasida syr 3x1 cth

Transfusi PRC 1 colv

I.11. Follow Up

Tanggal Perjalanan Penyakit Diagnosis Pengobatan

18/9/201

3

Hb: 2,1

Sesak napas,

Nyeri perut bagian uluh hati,

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,8OC

TD: 130/80mmHg

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

02 2-3 lpm

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Page 6: manajemen kasus CHF

R: 30x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Digoxin 2x1 tab

Transfusi PRC 1 colv

19/9/201

3

Hb: 2,4

Sesak napas,

Nyeri perut bagian uluh hati,

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 82x/menit

S: 36,8OC

TD: 130/70mmHg

R: 28x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

02 2-3 lpm

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

Transfusi PRC 1 colv

20/9/201

3

Hb: 4,8

Sesak napas,

Nyeri perut bagian uluh hati,

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 94x/menit

S: 36,8OC

TD: 110/60mmHg

R: 32x/menit

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

02 2-3 lpm

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

Page 7: manajemen kasus CHF

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Transfusi PRC 2 colv

21/9/201

3

Hb: 7,4

Sesak napas,

Nyeri perut bagian uluh hati,

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,8OC

TD: 120/80mmHg

R: 29x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

02 2-3 lpm

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

Transfusi PRC 1 colv

22/9/201

3

Sesak napas,

Nyeri perut bagian uluh hati,

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,6OC

TD: 130/80mmHg

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

02 2-3 lpm

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Page 8: manajemen kasus CHF

R: 30x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Digoxin 2x1 tab

23/9/201

3

Hb: 9,2

Sesak napas,

Nyeri perut bagian uluh hati,

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,6OC

TD: 100/70mmHg

R: 28x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

02 2-3 lpm

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

24/9/201

3

Sesak napas,

Nyeri perut bagian uluh hati,

Perut sebah,

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

02 2-3 lpm

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

Page 9: manajemen kasus CHF

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,6OC

TD: 140/80mmHg

R: 28x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

III amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

Transfusi PRC 1 colv

25/9/201

3

Hb: 10,7

Nyeri perut bagian uluh hati,

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,6OC

TD: 130/80mmHg

R: 24x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

26/9/201

3

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Page 10: manajemen kasus CHF

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,6OC

TD: 140/70mmHg

R: 30x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

III Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

27/9/201

3

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,6OC

TD: 140/80mmHg

R: 24x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

02 2-3 lpm

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

28/9/201

3

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,6OC

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

Page 11: manajemen kasus CHF

TD: 140/80mmHg

R: 24x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

29/92013 Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,9OC

TD: 140/80mmHg

R: 22x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

30/9/201

3

Perut sebah,

kaki bengkak,

Nafsu makan menurun

Ks: Compos Mentis

TV: N: 85x/menit

S: 36,6OC

TD: 130/70mmHg

R: 20x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

Page 12: manajemen kasus CHF

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

1/10/201

3

kaki bengkak,

Nafsu makan normal

Ks: Compos Mentis

TV: N: 82x/menit

S: 36,6OC

TD: 120/70mmHg

R: 24x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

2/10/201

3

kaki bengkak,

Nafsu makan normal

Ks: Compos Mentis

TV: N: 89x/menit

S: 36,6OC

TD: 120/70mmHg

R: 20x/menit

Kepala: mata CA (+/+)

Thorax: Cardiomegali

Abdomen: dbn

Rontgen thorax:

Cardiomegali, oedem pulmo

Anemia, CHF

NYHA klas

fungsional II-

III

Infus RL 8 tpm

Injeksi sohobion 1

amp/24 jam drip

Injeksi ondancentron

1 amp/ 8 jam

Injeksi Furosemid 1

amp/ 24 jam

Antasida sirup 3x1

Digoxin 2x1 tab

Page 13: manajemen kasus CHF

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anemia

2.1.1. Definisi

Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik

maupun di lapangan. Definisi anemia itu sendiri adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau

massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsi untuk menyediakan oksigen ke

seluruh jaringan tubuh.

Page 14: manajemen kasus CHF

2.1.2. Kriteria

Kadar hemoglobin (Hb) sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian

tempat tinggal dan keadaan fisiologis tertentu seperti hamil. Cut off point yang umum dipakai

untuk kriteria anemia menurut WHO tahun 1968 adalah

laki-laki dewasa hemoglobin < 13 g/dl,

perempuan dewasa tidak hamil hemoglobin < 12 g/dl,

perempuan hamil hemoglobin < 11 g/dl,

anak umur 6-14 tahun hemoglobin < 12 g/dl,

anak umur 6 bulan- 6 tahun hemoglobin < 11 g/dl.

Adapun klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah

ringan sekali Hb 10 g/dl-cut off point

ringan Hb 8 g/dl-Hb 9,9 g/dl

sedang Hb 6 g/dl-Hb 7,9 g/dl

berat Hb < 6 g/dl

2.1.3. Klasifikasi

Anemia dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari sudut mana kita

melihat dan tujuan kita melakukan klasifikasi tersebut. Klasifikasi yang paling sering dipakai

adalah klasifikasi menurut morfologiknya, yang berdasarkan morfologi eritrosit pada

pemeriksaan apusan darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit. Berikut adalah klasifikasi

anemia berdasarkan morfologi eritrosit:

A. Anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80 fl; MCH < 27 pg)

1. anemia defisiensi besi

2. thalassemia

3. anemia akibat penyakit kronik

4. anemia sideroblastik

B. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg)

1. anemia pascaperdarahan akut

2. anemia aplastik-hipoplastik

3. anemia hemolitik

Page 15: manajemen kasus CHF

4. anemia akibat penyakit kronik

5. anemia mieloptisik

6. anemia pada gagal ginjal kronik

7. anemia pada mielofibrosis

8. anemia pada sindrom mielodisplastik

9. anemia pada leukemia akut

C. Anemia makrositer (MCV > 95 fl)

1. megaloblastik: anemia defisiensi folat dan anemia defisiensi vitamin B12

2. nonmegaloblastik: anemia pada penyakit hati kronik, anemia pada hipotiroid, dan anemia

pada sindrom mielodisplastik

2.1.4. Patofisiologi Gejala Anemia

Pada dasarnya gejala anemia timbul karena:

1. anoksia organ target: karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh darah ke

jaringan.

2. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia.

Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala yang disebut sebagai sindrom anemia.

Gejala anemia biasanya timbul apabila hemoglobin menurun kurang dari 7 atau 8 g/dl. Berat

ringannya gejala tergantung pada:

1. Beratnya penurunan kadar hemoglobin

2. Kecepatan penurunan hemoglobin

3. Umur: adaptasi orang tua lebih jelek, gejala lebih cepat timbul

4. Adanya kelainan kardiovaskuler sebelumnya.

2.1.5. Gejala Anemia

Gejala anemia bervariasi, pada umunya dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

1. Gejala umum anemia

Gejala umum anemia disebut juga sindrom anemia yaitu gejala yang timbul pada semua jenis

anemia pada kadar yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini

timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan

Page 16: manajemen kasus CHF

hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah

sebagai berikut:

a. Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpatasi, takikardi sesak waktu kerja, angina

pectoris dan gagal jantung.

b. Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang,

kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas.

c. Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun

d. Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan

halus.

2. Gejala khas masing-masing anemia

a. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis

b. Anemia defisiensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)

c. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali

d. Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi

3. Gejala akibat penyakit dasar

Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemi. Gejala ini timbul karena penyakit-

penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan

oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejal seperti: pembesaran parotis dan

telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Kanker kolon dapat menimbulka gejala berupa

perubahan sifat defekasi, feses bercampur darah atau lendir.

2.1.6. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis

anemia.Pemeriksaan yang dilakukan, meliputi :

1. Tes penyaring

Tes ini dikerjakan pada tahap awal setiap kasus anemia. Dengan pemeriksaan ini,dapat

dipastikan adanya anemia dan bentuk morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi :

Kadar hemoglobin

Page 17: manajemen kasus CHF

Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)

Apusan darah tepi

2. Pemeriksaan rutin

Untuk mengetahui kelainan pada leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yangdikerjakan :

LED

Hitung diferensial

Hitung leukosit

3. Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan ini harus dikerjakan pada sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan

diagnosis definitif meskipun ada beberapa kasus yang diagnosisnyatidak memerlukan

pemeriksaan sumsum tulang.

4. Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya :

Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC (total iron binding capacity),saturasi transferin

dan feritin serum

Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12

Anemia hemolitik : hitung retikulosit, tes Coombs, elektroforesis Hb

Anemia pada leukimia akut : pemeriksaan sitokimia

Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang

5. Pemeriksaan non-hematologik

Pemeriksaan yang diperlukan adalah :

Faal ginjal

Faal endokrin

Asam urat

Faal hati

Biakan kuman, dll.

2.1.7. Terapi

Pada setiap terapi kasus anemia perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan

Page 18: manajemen kasus CHF

2. terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien

Jenis-jenis terapi yang diberikan adalah:

1. Terapi gawat-darurat

Untuk mengatasi kasus gawat darurat pada anemia seperti pada kasus anemia dengan payah

jantung atau ancaman payah jantung maka harus segera diberikan terapi darurat dengan transfusi

sel darah merah ( packet red cell).

2. Terapi khas untuk masing-masing anemia

Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai.

3. Terapi untuk mengobati penyakit dasar

Penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia harus diobati dengan baik. Jika tidak, anemia

akan kambuh kembali.

4. Terapi ex juvantivus

Terapi ini terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini berhasil berarti

diagnosis dapat dilakukan. Pada pemberian terapi jenis ini penderita harus diawasidengan ketat.

Jika terdapat respons yang baik terapi diteruskan,tetapi jika tidak terdapatrespons maka harus

dilakukan evaluasi kembali.

2.2 Congestive Heart Failure (CHF)

2.3 Definisi

Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis yang berasal dari ketidakmampuan jantung

untuk memompa darah yang cukup terorganisasi untuk memenuhi kebutuhan metabolism tubuh

(Nettina, 2002).

Page 19: manajemen kasus CHF

Gagal jantung adalah termin umum yang dipakai untuk menggambarkan keadaan secara

patofisologik dimana terjadi gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh ketidakmampuan

ventrikel memompa darah sesuai dengan venous return sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan

metabolism jaringan dari berbagai sistem organ di dalam tubuh.

2.4 Epidemiologi

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang sangat luas baik di negara maju

maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan jumlah penderita gagal jantung

mencapai beberapa juta, sedangkan di USA sekitar 4,8 juta dan rata-rata 400.000-700.000

penderita baru tiap tahunnya. Diperkirakan hampir 23 juta orang di dunia ini menderita gagal

jantung.

Angka kematian di rumah sakit akibat gagal jantung akut mencapai 5-8% dan angka

kematian 1 tahun setelah keluar dari rumah sakit mencapai 60%. Dari tahun 1990 sampai dengan

1999 jumlah penderita gagal jantung yang dirawat di rumah sakit meningkat dari sekitar 810.000

menjadi lebih dari 1 juta dimana gagal jantung sebagai diagnose primer dan dari 2,4 juta menjadi

3,6 juta baik sebagai diagnose primer atau sekunder (Cleland, 2001)

Jumlah kematian akibat gagal jantung baik primer maupun sekunder meningkat sampai 6

kalinya dalam kurun waktu 40 tahun belakangan ini, pada gagal jantung derajat ringan risiko

kematian setiap tahunnya meningkat menjadi derajat yang lebih tinggi dari 5%-10% menjadi

sektiar 30%-40% (Cleland, 2001).

2.5 Etiologi

Penyebab gagal jantung antara lain adalah infark miokardium, miopati jantung, defek

katup, malformasi congenital dan hipertensi kronik. Penyebab spesifik gagal jantung kanan

adalah gagal jantung kiri, hipertensi paru, dan PPOK (Corwin, 2001). Berikut adalah etiologi

gagal jantung akibat etiologi penyebabnya:

Pengisian volume yang abnormal:

Page 20: manajemen kasus CHF

Inkompetensi aorta

Inkompetensi mitral

Inkompetensi trikuspidal

Overtransfusi

Pirau kiri ke kanan

Hipervolemia sekunder

Tekanan pengisian yang abnormal:

Stenosis aorta

Hipertrofi Idiopatik

Stenosis Subaorta

Koarktasio aorta

Hipertensi

Disfunsi miokard:

Kardiomiopati

Miokarditis

Penyakit arteri koroner

Iskemik

Infark

Disritmia

Presbikardia

Gangguan pengisian

Stenosis mitral

Stenosis tricuspid

Tamponade jantung

2.6 Patofisiologi

Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolism dengan

menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankna cardiac output

(volume darah yang dipompa oleh ventrikel per menit). Cardiac output dipengaruhi oleh

perputaran denyut jantung dan pengaturan curah sekuncup. Mekanisme kompensai meliputi 1).

Respon sistem saraf simpatik terhadap baroreseptor atau kemoreseptor, 2) Pengencangan dan

Page 21: manajemen kasus CHF

pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume, 3) vasokontriksi arteri

renal dan aktivitas sistem rennin angiotensin, 4) respon-respon terdap serum sodium dan regulasi

ADH dari reabsorbsi cairan. Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya

volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk menentang peningkatan resistensi vaskuler oleh

pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dan arteri

koronaria, menurunkan cardiac output dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke

miokardium.

Peningkatan tekanan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen

dan pembesaran jantung (hipertropi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang

menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan. Dengan kata lain, apabila kebutuhan oksigen

tidak terpenuhi maka serat otot jantung semakin hipoksia, sehingga kontraktilitas berkurang.

Hipertensi sistemik yang kronik akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertropi

dan melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama akan menyebabkan ventrikel kanan

mengalami hipertropi dan melemah.

Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke atrium kiri, lalu ke sirkulasi

paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka darah akan mulai terkumpul di sistem vena perifer.

Hasil akhirnya adalah semakin berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya

tekanan darah serta perburukan siklus gagal jantung.

Kenaikan tekanan vena pulmo mengakibatkan terjadinya transudasi cairan dari kapiler ke

dalam jaringan alveoli dan hal ini menyebabkan sesak napas. Pegurangan curah jantung dan

volume darah arteri berakibat perubahan aliran darah ginjal. Pengaktifan sistem saraf simpatik

dan sistem angiotensin menyebabkan vasokonstriksi arteriola dan pemintasan aliran darah

menjauhi kortek perifer. Jadi kadar filtrasi glomeruli seiring dengan peningkatan reabsoprsi

tubuli proksimal dan keduanya menyebabkan retensi garam dan air.

Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, terjadi dilatasi dari ruang, peningkatan

volume dan tekanan pada diastolic akhir ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel dan

peningkatan tekanan ini sebaliknya memantulkan ke hulu vena kava dan dapat diketahui dengan

peningkatan pada tekanan vena jugularis.

Page 22: manajemen kasus CHF

Retensi natrium dan air dapat terakumulasi pada rongga abdominal akibat peningkatan

tekanan intravaskuler yang mendorong cairan keluar dari sirkulasi portal, yang dikenal sebagai

ascites. Hal ini menimbulkan manifestasi seperti mual, muntah, atau anoreksia.

2.7 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis

Tanda dan gejala gagal jantung kiri adalah adanya dispnea, ortopnea, dispnea nocturnal

paroksismal, batuk iritasi, oedema pulmonal akut, penurunan curah jantung, irama gallop, crakles

paru, disritmia, pernapasan cheyne stoke. Untuk gagal jantung kanan ditandai dengan curah

jantung rendah, distensi vena jugularis, edema, dependen disritmia, penurunan bunyi napas.

Pemeriksaan penunjang untuk CHF dapat bermacam-macam. Diantaranya adalah:

o EKG: Hipertropi atrial atau ventrikel, penyimpangan aksis dan iskemia

o Sonogram: Dapat menunjukkan dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam fungsi

struktur katup atau area penurunan kontraktilitas ventrikuler.

o Rontgen dada: dapat menunjukkan perbesaran jantung, bayangkan mencerminakan

dilatasi/hipertropi bilik

Page 23: manajemen kasus CHF

o Enzim hepar: meningkat dalam gagal/kongestif hepar

o Elektrolit: mungkin berubah karena penurunan fungsi ginjal

o Analisa gas darah: gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan atau

hiposemia

o BUN: peningkatan BUN menandakan penurunan fungsi ginjal

o Kreatinin: Peningkatan merupakan indikasi gagal jantung

Kriteria Framingham untuk diagnosis CHF adalah sebagai berikut:

Kriteria Mayor

Paroksismal nocturnal dispnea

Distensi vena leher

Kardiomegali pada gambaran radiologis

Edema paru akut

Ronki paru

Gallop S3

Refleks hepatojugular

Didapatkan edema paru, kongesti visceral, atau kardiomegali pada otopsi

Peninggian tekanan vena jugularis

Kriteria Minor

Edema tungkai bilateral

Batuk malam hari

Sesak napas saat beraktifitas normal

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Dispnea d’effort

Takikardia (>120/menit)

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan jika terdapat 2 gejala mayor atau 1 gejala

mayor dan ditambah dengan dua gejala minor. New York Heart Association (NYHA)

menetapkan klasifikasi sesak napas berdasarkan aktifitas:

Page 24: manajemen kasus CHF

Derajat I : Tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa

Derajat II : Timbul gejala bila melakukan aktifitas fisik biasa

Derajat III: Timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan

Derajat IV : Timbul gejala pada saat istirahat

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Terapi Medikamentosa

Obat yang mempengaruhi kerja angiotensin II

Gagal jantung fase kompensata terjadi akibat aktifitas baik sistem simpatis

maupun sistem rennin angiotensin aldosteron, disini angiotensin II dan aldosteron merupakan

respon neuro-humoral yang mengakibatkan gangguan pada jantung, sehingga sesudah

sewajarnya diperlukan agen yang mampu menghambat aktifitas keduanya. ACE adalah suatu zat

yang diperlukan dalam konversi dari angiotensin I menjadi angiotensin II di dalam sistem RAA.

Sistem ini juga berpengaruh terhadap hipertensi, namun yang lebih penting lagi adalah efek

remodeling pada target organ sehingga menimbulkan gangguan fungsi target organ.

Diuretika

Diuretika dianjurkan diberikan pada semua gagal jantung kongestif dimana agen

ini lebih bersifat simptomatis daripada proteksi di organ target. Pada gagal jantung kongestif

loop diuretika (furosemid) lebih dianjurkan dibandingkan golongan tiazid . Namun demikian

pemakaian lama diuretika jenis ini dapat mengakibatkan aritmia yang ganas. Sebaliknya

kombinasi furosemid dengan spironolakton (diuretic hemat kalium) tidak meningkatkan risiko

aritmia ganas. Bahkan spironolakton direkomendasikan untuk diberikan pada gagal jantung berat

(NYHA III-IV) guna memperbaiki baik angka kesakitan maupun angka kematian.

Penghambat Beta

Pada masa yang lalu penghambat beta merupakan kontraindikasi pada semua klas

fungsional gagal jantung dan telah dibuktikan dapat menurunkan baik angka kematian maupun

angka kesakitan pada gagal jantung. Pada penelitian CIBIS II, penambahan bisoprolol pada

terapi dengan diuretika dan penghambat ACE pada pengobatan penderita gagal jantung dapat

Page 25: manajemen kasus CHF

menurunkan angka kematian oleh sebab apapun sebesar 32%, kematian mendadak 45%, masuk

rumah sakit 29% dengan tanpa efek samping yang berarti. Namun demikian beberapa keadaan

seperti asma bronkiale dan bradikardi tidak dianjurkan pemberian penghambat beta.

Digitalis

Dahulu digitalis merupakan indikasi utama pada pengobatan gagal jantung, akan

tetapi akhir-akhir ini sudah tidak merupakan indikasi utama walaupun masih bisa digunakan

sebagai tambahan terapi pada penderita gagal jantung yang dengan pemberian obat

konvensional masih belum membaik. Saat ini digitalis lebih dipakai untuk tujuan mengontrol

frekuensi ventrikel yang terlalu cepat baik pada atrial takikardi, flutter, maupun fibrilasi.

Agen anti aritmia

Pada umumnya anti aritmia dipakai pada gagal jantung dengan atrial fibrilasi

dimana respon ventrikelnya sangat cepat. Disini fungsi anti aritmia hanyalah mengontrol

frekuensi ventrikel sehingga masa diastolnya lebih panjang oleh karenanya isi ventrikel saat

diastole makin besar dan strok volume akan meningkat. Anti aritmia yang paling sering dipakai

adalah amiodaron, namun amiodaron ini punya efek toksik pada paru, hepar, dan tiroid dan

juga mempunyai efek inotropik negative sehingga tidak tepat untuk gagal jantung berat.

Anti koagulan

Pemberian anti koagulan warfarin pada pasien gagal jantung berat dengan irama

sinus masih merupakan kontroversi. Oleh karena itu perlu pertimbangan masak terapi anti

koagulan pada gagal jantung, dan mesti sangat dipertimbangkan efek dan risikonya. Pada

gagal jantung dengan atrial fibrilasi, warfarin dapat member manfaat menurunkan risiko

terjadinya trombo-emboli maupun stroke. Tidak semua pusat rumah sakit yang menangani

gagal jantung memakai anti koagulan secara rutin untuk semua pasiennya dengan gangguan

fungsi ventrikel sedang sampai berat dimana tidak ada kontraindikasinya.

2.8.2 Terapi lainnya

Ada banyak terapi tambahan yang lain dan biasanya dilakukan di negara maju maupun

yang sedang berkembang termasuk di Indonesia, diantaranya pemasangan defibriliator secara

Page 26: manajemen kasus CHF

implant, biventricular pacing, ventricular assist devices. Demikian juga tindakan bedah

seperti transplantasi jantung, Coronary Artery Bypass Grafting (CABG), rekonstruksi katup

mitral pada disfungsi ventrikel kiri, Ventricular Reduction Surgery.

BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien adalah seorang wanita usia 77 tahun datang dengan keluhan utama

sesak napas. Dari keluhan utama ini, masih terdapat banyak diagnosis banding yang dapat

dipikirkan oleh seorang dokter, sehingga diperlukan anamnesis lebih lanjut. Anamnesis lebih

Page 27: manajemen kasus CHF

lanjut diharapkan dapat mengarahkan diagnosis, apakah sesak napas tersebut merupakan gejala

utama dari kelainan paru, jantung, metabolik, atau sebab lainnya.

Setelah dilakukan anamnesis kepada pasien, keluhan tersebut mengarah kepada diagnosis

gagal jantung. Ini terlihat dari sesak napas pasien yang perjalanannya kronis, dan sering

dirasakan ketika pasien tidur malam. Selain itu, kebiasaan pasien yang tidur menggunakan dua

bantal dan keluhan kaki bengkak juga mendukung ke arah diagnosis gagal jantung. Meski

demikian, diagnosis pasti dapat ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Di samping keluhan utama, pasien mengalami keluhan lain berupa perut sebah, nafsu

makan menurun, serta lemas dan lesu. Keluhan ini tergolong tidak khas, terutama jika terdapat

pada pasien berusia lanjut.

Dari riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga, tidak didapatkan informasi

yang cukup untuk mendukung diagnosis. Keluhan pasien berupa lemas dan lesu dapat diarahkan

ke diagnosis anemia, mengingat pasien memiliki kebiasaan sulit makan, sehingga intake kurang.

Faktor risiko seperti riwayat penyakit jantung, DM, dan hipertensi juga tidak didapatkan dalam

kasus ini.

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan konjungtiva anemis, di mana hasil ini mendukung

data dari riwayat anamnesis bahwa pasien memiliki anemia. Namun perlu pemeriksaan

penunjang berupa darah rutin untuk melihat jenis anemia, dan mencari kemungkinan penyebab

anemia. Selain itu, dari pemeriksaan fisik juga ditemukan perut pasien yang distensi. Pasien

mengaku belum BAB selama beberapa hari namun mengaku masih bisa kentut. Anamnesis

lanjutan ini dilakukan saat follow up saat pasien dirawat di bangsal. Sementara dari pemeriksaan

fisik thorax tidak didapatkan kelainan. Sedangkan di ekstremitas, ditemukan edema tungkai

bilateral.

Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil hemoglobin 2,1 gr/dl,

hematokrit 7,4% MCV 78,4 fL dan MCH 22,1. Dari hasil tersebut didapatkan kesimpulan pasien

mengalami anemia mikrositik hipokromik. Dari hasil pemeriksaan EKG dan radiologis juga

didapatkan hasil yang mendukung ke arah diagnosis CHF, yaitu adanya kardiomegali, oedem

pulmo, dan hipertrofi ventrikel kiri.

Page 28: manajemen kasus CHF

Jika disesuaikan dengan kriteria diagnosis menurut Framingham, maka pasien ini dapat

didiagnosis dengan CHF karena telah memiliki 2 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Di mana

untuk menegakkan diagnosis, hanya diperlukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2

kriteria minor. Adapun jika digolongkan menurut New York Heart Association (NYHA), maka

pasien ini dapat digolongkan menjadi CHF dengan kelas fungsional II-III. Yaitu pasien

mengalami sesak saat beraktifitas, baik ringan maupun berat.

Untuk pengobatan pada pasien ini, telah diberikan transfuse 6 kantong darah, hal ini

dilakukan mengingat kadar Hb pasien yang sangat rendah saat masuk ke rumah sakit, yaitu 2,1

gr/dl sehingga diperlukan pengobatan yang cepat untuk mengembalikan Hb ke kadar normal,

sehingga dipilih cara yaitu melalui transfusi. Selama perawatan di RS, pasien mengalami

perbaikan keluhan yang berhubungan dengan anemia.

Adapun untuk pengobatan yang terkait dengan diagnosis CHF, pada pasien ini diberikan

diuretic berupa furosemid, inotropik golongan digitalis yaitu digoxin, dan KSR sebagai obat

untuk mencegah terjadinya hipokalemia. Selain itu juga diberikan ondancentron dan ranitidine

untuk mengobati keluhan pasien berupa rasa tidak nyaman di perut. Pemilihan jenis pengobatan

ini termasuk rasional dan tepat pada pasien, sesuai dengan penatalaksanaan pada kasus pasien

CHF.

BAB IV

KESIMPULAN

Page 29: manajemen kasus CHF

1. Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai. Anemia adalah

keadaan dimana massa eritrosit dan atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat

memenuhi fungsi untuk menyediakan oksigen ke seluruh jaringan tubuh.

2. Pada kasus ini, pasien didiagnosis anemia dari gejala klinis yang timbul berupa lemas dan

lesu, serta didukung dari pemeriksaan fisik berupa konjunctiva anemis, dan hasil

laboratorium: hemoglobin 2,1 gr/dl, hematokrit 7,4% MCV 78,4 fL dan MCH 22,1

sehingga tergolong anemia mikrositik hipokromik

3. Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis yang berasal dari ketidakmampuan jantung

untuk memompa darah yang cukup terorganisasi untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme tubuh.

4. Pada kasus ini, CHF ditegakkan dari gejala klinis yang timbul berupa sesak napas saat

aktifitas dan tidur di malam hari, perjalanan sesak yang kronis, dan kebiasaan tidur

menggunakan dua bantal. Pemeriksaan fisik yang mendukung adalah edema tungkai

bilateral, serta pemeriksaan penunjang berupa EKG: LVH, dan radiologis ditemukan

kardiomegali dan oedema pulmo

5. Sesuai kriteria Framingham, pada kasus ini terdapat 2 gejala mayor dan 2 minor berupa

paroksismal nokturnal dispnea, kardiomegali dari gambaran radiologis, edema tungkai

bilateral, serta sesak napas saat beraktifitas normal

6. Kasus ini tergolong CHF NYHA klas fungsional II-III

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Page 30: manajemen kasus CHF

ACC/AHA. Task Force on Practice. Guidelines. 2005. Guideline updates for diagnosis and

management chronic heart failure in adult. J Am Coll Cardioll 46:111

Bakta, I Made. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.

Cleland JG, Khand A, Clark A. 2001. The heart failure epidemic: exactly how big isit?. Eur

Heart Jurnal 22:623-6.

Ghanie, Ali.. Gagal Jantung Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor: Aru W.

Sudoyo., Bambang Setiyohadi., Idrus Alwi., Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati.

Interna Publishing. Jilid II Edisi V. 2010:169-183

Tjokroprawiro, A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga: Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.