32
KASUS Identitas Nama : Ny. M TTL : 1970 Usia : 43 tahun Pekerjaan : Ibu rumah tangga Alamat : Jl. Rawadas, jakarta timur Tanggal masuk RS 23 Agustus 2013 Anamnesis (Alloanamnesis) Keluhan utama : sesak napas sejak 1 jam yang lalu Keluhan tambahan : batuk Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan sesak napas sejak 1 jam yang lalu. Sesak napas timbul saat pasien kontrol kehamilan diklinik. Dada pasien terasa tertekan, tetapi tidak terasa nyeri, pasien harus duduk untuk mengurangi rasa sesak. Pasien dari klinik diberikan oksigen, setelah pemberian oksigen pasien masih terasa sesak napas dan dadanya masih terasa tertekan. Pasien sedang hamil tiga bulan, hamil yang ketiga. Setiap kali hamil pasien merasakan hal yang sama. Pasien mempunyai riwayat asma sejak SD. Sejak beberapa bulan yang lalu asma tidak pernah kambuh. Batuk muncul saat pasien merasa mulai sesak, tidak ada dahak. Pasien mempunyai alergi pada debu. Riwayat penyakit dahulu : Asma (+) sejak SD

Lapkas Asma Dr. Sanoesi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

KASUS

Identitas

Nama : Ny. M

TTL : 1970

Usia : 43 tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Jl. Rawadas, jakarta timur

Tanggal masuk RS 23 Agustus 2013

Anamnesis (Alloanamnesis)

Keluhan utama : sesak napas sejak 1 jam yang lalu

Keluhan tambahan : batuk

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke IGD RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan sesak napas sejak 1 jam yang

lalu. Sesak napas timbul saat pasien kontrol kehamilan diklinik. Dada pasien terasa

tertekan, tetapi tidak terasa nyeri, pasien harus duduk untuk mengurangi rasa sesak.

Pasien dari klinik diberikan oksigen, setelah pemberian oksigen pasien masih terasa

sesak napas dan dadanya masih terasa tertekan. Pasien sedang hamil tiga bulan, hamil

yang ketiga. Setiap kali hamil pasien merasakan hal yang sama. Pasien mempunyai

riwayat asma sejak SD. Sejak beberapa bulan yang lalu asma tidak pernah kambuh.

Batuk muncul saat pasien merasa mulai sesak, tidak ada dahak. Pasien mempunyai

alergi pada debu.

Riwayat penyakit dahulu :

Asma (+) sejak SD

Maag disangkal

Diabetes melitus disangkal

Hipertensi disangkal

Riwayat penyakit keluarga :

Asma disangkal

Maag disangkal

Diabetes melitus disangkal

Hipertensi disangkal

Page 2: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

Riwayat pengobatan :

Oksigen diberikan dari klinik

Belum pernah diobati sejak keluhan sesak

Tidak mempunyai pegangan obat asma

Riwayat alergi :

Alergi makanan disangkal

Alergi obat-obatan disangkal

Alergi debu (+)

Riwayat psikososial :

Merokok (-)

Makan teratur

Asma timbul saat kena debu, dan asma timbul saat pasien hamil

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

TD : 120/70 mmHg

Suhu : 36,2oC

RR : 26 x/menit

HR : 100 x/menit, isi cukup, reguler, kuat

Antropometri

BB sekarang : 71 kg

TB : 176 cm

Kesimpulan : IMT = BB = 71 = 71 = 22,9 (gizi baik)

(TB)² (17,6)² 309

Status Generalis

Kepala :

Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah rontok

Alis :

Tidak madarosis

Mata :

Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)

Page 3: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

Hidung :

Sekret (-/-), nafas cuping hidung (-/-), septum deviasi (-), epistaksis (-/-)

Telinga :

Normotia, otore (-/-)

Mulut :

Bibir kering (-), bibir sianosis (+), lidah kotor (-), faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1)

tidak hiperemis, permukaan tidak berbenjol-benjol

Leher :

Pembesaran tyroid (-), pembesaran KGB(-)

Paru

Inspeksi : Normochest, simetris, retraksi (-)

Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, vocal premitus sama kanan dan kiri

Perkusi : Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi : Nafas vesikuler (+/+), suara nafas tambahan ronkhi (-/-), wheezing

(+/+)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba

Perkusi : batas kanan atas di ICS II linea parasternalis dextra, batas kanan

bawah di ICS IV linea parasternalis dextra, batas kiri atas di ICS II linea parasternalis

sinistra, batas kiri bawah di ICS IV linea midclavicularis sinistra

Auskultasi : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, spider navy (-)

Auskultasi : Bising usus (+), 10 x/menit

Palpasi : Hepar tidak teraba, nyeri tekan epigastrim (-)

Perkusi : Tympani di 4 regio abdomen

Ekstremitas Atas

Akral dingin, CRT <2 detik, edema (-/-)

Ekstremitas Bawah

Akral dingin, CRT <2 detik, edema (-/-)

Resume

Page 4: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

Ny. M 43 tahun datang ke IGD RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan dyspnoe sejak 1 jam yang

lalu. Sesak napas timbul saat pasien kontrol kehamilan diklinik. Dada pasien terasa tertekan,

pasien harus duduk untuk mengurangi rasa sesak. Pasien dari klinik diberikan oksigen,

setelah pemberian oksigen pasien masih terasa sesak napas dan dadanya masih terasa

tertekan. Pasien sedang hamil tiga bulan, hamil yang ketiga. Setiap kali hamil pasien

merasakan hal yang sama. Pasien mempunyai riwayat asma sejak SD. Sejak beberapa bulan

yang lalu asma tidak pernah kambuh. Batuk muncul saat pasien merasa mulai sesak. Pasien

mempunyai alergi pada debu.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan bibir sianosis, wheezing pada kedua lapang paru, dan akral

dingin pada keempat ektremitas.

• Tanda-tanda vital :

TD : 120/70 mmHg

Suhu : 36,2oC

RR : 26 x/menit

HR : 100 x/menit, isi cukup, reguler, kuat

Daftar Masalah

1. Asma bronkial

Assessment

1. Asma bronkial

Berdasarkan anamnesis pasien sesak dan batuk. Sudah diberikan oksigen namun

pasien masih merasa sesak. Pasien mempunyai riwayat asma sejak SD.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan bibir sianosis, akral dingin pada keempat

ekstremitas, dan terdengar wheezing pada kedua lapang paru.

Rencana diagnosis : spirometri, pemeriksaan laboratorium

Rencana terapi : oksigen 3-6 L

nebulizer dengan ventolin, fumicot dan bisolvon

Rencana edukasi : hindari debu, teratur olahraga seperti renang dan jalan kaki

Page 5: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Epidemiologi

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan

mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30

tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan

terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-

baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien

asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat

setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih

jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA). Di

Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak

sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study

on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar

2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada

anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,

Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak

SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta

Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi

masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.

1.2. Definisi Asma

Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri

klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering

disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-

ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh

keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan

adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran

napas. Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat

patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi

kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai

rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa

Page 6: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel

baik dengan atau tanpa pengobatan. Karena dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka

obat-obat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas.

Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam

penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi maupun sistemik.

1.3. Patofisiologi Asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain

alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat

terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis

didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),

terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan

kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar,

golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada

permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan

bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE

orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang

melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai

macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien,

faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal

pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan

spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada

reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah

pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel

mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase

lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam,

bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel

T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam

patogenesis asma. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast

intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.

Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang

dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel

dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi

yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa

Page 7: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada

hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi

asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa

menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin

Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya

bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-

sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya

hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan

parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk

mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja,

inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.

1.4. Faktor Risiko Asma

Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor

lingkungan.

Faktor Genetik

a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui

bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya

mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,

penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan

faktor pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus

Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.

c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,

prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak

perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang

sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.

d. Ras/etnik

e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko

asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran

napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun

Page 8: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan

asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

Faktor lingkungan

a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan

kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).

b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

Faktor lain

a. Alergen makanan

Contoh : susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,

jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

b. Alergen obat-obatan tertentu

Contoh : penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,

tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.

c. Bahan yang mengiritasi

Contoh : parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih

Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu

juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala

asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami

stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah

pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih

sulit diobati.

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap

rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya

yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa

asma pada usia dini.

f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

g. Exercise-induced asthma

Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga

tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika

melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling

mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas

biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.

Page 9: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

h. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi

asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya

serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,

seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari

beterbangan).

i. Status ekonomi

1.5. Klasifikasi Asma

Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat

berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau

serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.

- Klasifikasi Menurut Etiologi

Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama

dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara

lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.

- Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma

Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang

diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan

sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.

- Klasifikasi Menurut Kontrol Asma

Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah

kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada

asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit.

Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan

adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan

pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.

- Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala

Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak

ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit,

pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit

menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma.

Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum

pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi b-2

Page 10: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma

(jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat

diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten

berat (Tabel 1). Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan

obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya

serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat

serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan

laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi

tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan

berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan

asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus

lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam

menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang

ada.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gejala pada Orang Dewasa

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru

Intermitten Bulanan

Gejala <1x/minggu

tanpa gejala diluar

serangan

Serangan singkat

≤2 kali sebulan APE ≥80%

- VEP1 ≥80% nilai prediksi

APE ≥80% nilai terbaik

- Variabiliti APE <20%

Persisten

ringan

Mingguan

Gejala>1x/minggu

tetapi<1x/hari

Serangan dapat

mengganggu

aktivitas dan tidur

>2 sebulan APE >80%

- VEP1 >80% nilai prediksi

APE

>80% nilai terbaik.

- Variabiliti APE 20-30%

Persisten

sedang

Harian

Gejala setiap hari

Serangan

mengganggu

aktivitas dan tidur

Bronkodilator

>2 kali sebulan APE 60-80%

- VEP1 60-80% nilai

prediksi APE 60-80% nilai

terbaik

- Variabiliti APE >30%

Page 11: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

setiap hari

Persisten berat Kontinyu

Gejala terus

menerus

Sering kambuh

Aktivitas fisik

terbatas

APE ≤60%

- VEP1 ≤60% nilai prediksi

APE ≤60% nilai terbaik

- Variabiliti APE >30%

1.6. Diagnosis Asma

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat

ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang

merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya

hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak.

Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk

dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat

keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur

status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala

konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis.

Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu.

Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang

kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta

pemeriksaan penunjang.

- Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung

ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis

alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu

berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan

beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada

malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam

keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang

lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan

apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di

kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh

Page 12: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan

kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.

Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Gejala-gejala Kunci Diagnosis Asma

Gejala

Gambaran gejala

Faktor presipitasi

Batuk, mengi dan sesak atau frekuensi napas

cepat, produksi sputum, sering waktu malam,

respons terhadap bronkodilator

Perenial, musiman atau keduanya; terus-

menerus, episodik, atau keduanya; awitan,

lama, frekuensi

(jumlah hari/malam/minggu/bulan), variasi

diurnal terutama nokturnal dan waktu bangun

pagi hari

Infeksi virus. Alergen lingkungan, dalam

rumah (jamur, tungau debu rumah, kecoa,

serpih hewan atau

produk sekretorinya) dan outdoor (serbuk

sari/pollen)

· Ciri-ciri rumah (usia, lokasi, sistem

pendingin/pemanas, membakar kayu,

pelembab, karpet, jamur, hewan

piaraan, mebel dibungkus kain)

· Latihan jasmani, kimiawi/alergen lingkungan

kerja

· Perubahan lingkungan

· Iritan (asap rokok, bau menyengat, polutan

udara, debu, partikulat, uap, gas)

· Stres

· Obat (aspirin, antiinflamasi, b-bloker

termasuk tetes mata)

· Makanan, aditif, pengawet

· Perubahan udara, udara dingin

· Faktor endokrin (haid, hamil, penyakit tiroid)

Page 13: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

Perkembangan penyakit

Riwayat keluarga

Riwayat sosial

Riwayat eksaserbasi

Efek asma terhadap penderita

dan keluarga

Persepsi penderita dan

keluarga terhadap penyakit

Usia awitan dan diagnosis

· Riwayat cedera saluran napas

· Progres penyakit

· Penanganan sekarang dan respons, antara lain

rencana penanganan eksaserbasi

· Frekuensi menggunakan SABA

· Keperluan oral steroid dan frekuensi

penggunaannya

Riwayat asma, alergi, sinusitis, rinitis, eksim

atau polip nasal pada anggota keluarga dekat

Perawatan/daycare, tempat kerja, sekolah

· Faktor sosial yang berpengaruh

· Derajat pendidikan

· Pekerjaan

Tanda prodromal dan gejala

· Cepatnya awitan, lama, frekuensi, derajat

berat· Jumlah eksaserbasi dan beratnya/tahun

· Penanganan biasanya

- Episode perawatan di luar jadwal (gawat

darurat, dirawat di RS)

- Keterbatasan aktivitas terutama latihan

jasmani· Riwayat bangun malam

- Efek terhadap perilaku, sekolah, pekerjaan,

pola hidup dan efek ekonomi

- Pengetahuan mengenai asma: penderita, orang

tua, istri/suami atau teman dan mengetahui

kronisitas asma

- Persepsi penderita mengenai penggunaan obat

pengontrol jangka lama

- Kemampuan penderita, orang tua,

istri/suami/teman untuk menolong penderita

- Sumber ekonomi dan sosiokultural

- Pemeriksaan Fisik

Page 14: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,

menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan

fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan

bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan

bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi

dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.

- Pemeriksaan Penunjang

a. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis

juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

b. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru

sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari

paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan

diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM).

Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu

sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur

terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat

diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat

melakukan pemeriksaan FEV1.

c. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak

disebabkan asma.

d. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya

antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan

mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab

asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent

test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).

e. Petanda Inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik

sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.

Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian

semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,

pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang

dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan

antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi

dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan

gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

Page 15: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

f. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1

>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial

dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan

obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis

yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran

alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel

dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes

provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes

kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan

latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.

1.7. Konsep Baru Pengobatan Awal – Penilaian Derajat

Banyak penderita asma tidak diobati menurut pedoman mutakhir, menimbulkan

asma tidak terkontrol dan merupakan beban bagi penderita, keluarga serta seluruh sistem

perawatan kesehatan. Pemantauan dan penilaian secara terus menerus penting untuk

keberhasilan penanganan klinis. Menurut konsep baru, penanganan asma dibuat dalam 3

golongan umur yaitu 0-4 tahun, 4-12 tahun dan diatas 12 tahun, serta menggunakan 2

domain dalam evaluasi derajat berat dan kontrol asma, yaitu gangguan dan risiko. Bila

diagnosis asma sudah ditegakkan, setiap penderita dilakukan penilaian derajat berat

asma, Derajat berat adalah intensitas intrinsik proses penyakit yang diukur praterapi, dan

dapat memberikan informasi kepada dokter untuk mengembangkan rencana pengobatan

awal. Pengobatan awal diberikan sesuai dengan regimen (tahap) pengobatan.

1.8. Penilaian Kontrol Asma: Memantau dan Mempertahankan dengan Pendekatan

Bertahap

Evaluasi kontrol dalam 2-6 minggu (tergantung derajat berat awal atau kontrol).

PFM digunakan pada penderita 6 tahun. Bila hasil spirometri menunjukkan kontrol buruk

dibanding tanda kontrol lainnya, pertimbangkan obstruksi yang menetap dan nilai ukuran

lainnya. Bila obstruksi yang menetap tidak menerangkan kontrol yang kurang, lakukan

step up, karena FEV1 yang buruk merupakan prediktor eksaserbasi. Bila riwayat

eksaserbasi menunjukkan kontrol buruk, nilai derajat gangguan paru dan pertimbangkan

stepup, penanganan eksaserbasi dan menggunakan kortikosteroid/KS oral terutama untuk

penderita dengan riwayat eksaserbasi berat. Bila kontrol asma tidak didapat dengan cara

tersebut, evaluasi kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat, teknik inhalasi, kontrol

Page 16: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

lingkungan (pajanan baru) dan penanganan komorbid. Bila asma sudah terkontrol,

pemantauan seterusnya adalah penting agar kontrol asma dapat dipertahankan serta

menentukan tahap dan dosis obat terendah. Pendekatan bertahap (stepping up dan

stepping down) dianjurkan untuk memperoleh dan mempertahankan kontrol asma.

Pendekatan pengobatan bertahap menggabungkan kelima komponen yang diperlukan

dalam penanganan asma. Jenis, jumlah dan jadwal obat ditentukan oleh ambang berat

asma atau kontrol asma. Pengobatan ditingkatkan (stepping up) bila diperlukan, dan

diturunkan (stepping down) bila mungkin. Oleh karena asma adalah penyakit kronis,

asma persisten dapat dikontrol terbaik dengan pemberian obat pengontrol jangka lama

untuk menekan inflamasi setiap hari. Kortikosteroid inhalasi merupakan obat anti-

inflamasi yang efektif untuk semua usia pada semua tahap perawatan asma persisten.

Seleksi terapi alternatif berdasarkan atas pertimbangan pengobatan yang efektif untuk

penderita (gangguan, risiko atau keduanya) dan riwayat penderita mengenai respons

sebelumnya (sensitivitas dan respons terhadap berbagai obat asma dapat berbeda di

antara penderita) serta kesediaan dan kemampuan penderita ataupun keluarga untuk

menggunakan obat-obatan. Bila asma sudah terkontrol, pemantauan adalah esensial, oleh

karena asma dapat berbeda dengan waktu. Stepping up mungkin diperlukan, atau bila

mungkin stepping down, identifikasi obat minimal diperlukan dalam mempertahankan

kontrol asma.

1.9. Pengobatan Bertahap pada Berbagai Usia

Penilaian derajat berat dan kontrol dilakukan menurut 2 domain yang sama yaitu

gangguan (gejala, tidur, dan aktivitas) dan risiko eksaserbasi yang memerlukan steroid

oral. Derajat berat asma ditentukan oleh domain gangguan dan risiko terberat.

Pendekatan stepwise adalah untuk menolong, bukan untuk menggantikan. Ambang

derajat berat ditentukan oleh domain gangguan terberat (nilai dari 2-4 minggu yang

akhir, dapat menggunakan PFM) dan risiko. Keputusan berdasarkan data klinis untuk

memenuhi kebutuhan penderita. Dewasa ini tidak cukup bukti hubungan antara frekuensi

eksaserbasi dengan berbagai ambang derajat berat asma. Bila perbaikan tidak dicapai

dalam 4-6 minggu walaupun teknik pengobatan dan ketaatan cukup baik, pertimbangkan

terapi penyesuaian atau alternatif. Penderita dengan dua atau lebih eksaserbasi,

memerlukan steroid oral dalam 6 bulan akhir atau empat episode mengi dalam satu tahun

terakhir, dianggap sebagai penderita asma persisten, meskipun tidak disertai ambang

gangguan yang konsisten dengan asma persisten. Sebelum step up, perlu dievaluasi

Page 17: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

kepatuhan penderita minum obat, teknik penggunaan inhaler, kontrol lingkungan dan

komorbiditas. Bila diberikan pengobatan alternatif, hentikan penggunaannya sebelum

step up.

1.10. Eksaserbasi Asma

Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang memburuk

secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-

gejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus napas yang dapat diukur

secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang lebih dapat

dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol dengan steroid inhaler, memiliki

risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun, penderita tersebut masih dapat

mengalami eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus saluran napas. Penanganan

eksaserbasi yang efektif juga melibatkan keempat komponen penanganan asma jangka

panjang, yaitu pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak

ada keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga

keuntungan pemberian intravena dibanding oral. Jumlah pemberian steroid sistemik

untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat darurat dapat berlangsung 3-

10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu

kurang dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10 hari) juga mungkin tidak

perlu tapering off bila penderita juga mendapat kortikosteroid inhaler.

1.11. Pencegahan

A. Mencegah Sensititasi

Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya

atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan

terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan

asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat

mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun

bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan

hipotesis.

B. Mencegah Eksaserbasi

Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen

(indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor

seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita

Page 18: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok,

lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki

kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap

banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan.

Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan

dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.

Penatalaksanaan Asma Bertujuan

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat

2. Mencegah eksaserbasi akut

3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya

5. Menghindari efek samping obat

6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel

7. Meminimalkan kunjngan ke gawat darurat

Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien adalah hal yang penting

sebagai dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter selalu bersedia mendengarkan

keluhan pasien, itu merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Komponen yang dapat

diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu mengembangkan hubungan dokter

pasien, identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko, penilaian,

pengobatan dan monitor asma serta penatalaksanaan asma eksaserbasi akut. Pada

prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu :

1. Penatalaksanaan Asma Akut

Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera,

Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat.

Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting,

agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke

dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala,

pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat

diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan

pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat menyebabkan keter-lambatan

dalam pengobatan/tindakan.

2. Penatalaksanaan Asma Kronik

Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan asma

secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan

Page 19: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang yang bertujuan

mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol,

Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi

eksaserbasi/serangan, dikenal pelega.

Ciri-ciri asma terkontrol :

1. Tanpa gejala harian atau d” 2x/minggu

2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian

3. Tanpa gejala asma malam

4. Tanpa pengobatan pelega atau d” 2x/minggu

5. Fungsi paru normal atau hampir normal

6. Tanpa eksaserbasi

Ciri-ciri asma tidak terkontrol :

1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)

2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut

3. Kebutuhan obat pelega meningkat.

Pengendalian asma bertujuan untuk :

1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma

2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma

3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma

4. Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai

standar/kriteria

5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma

6. Menurunnya angka kematian akibat asma

Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara dapat dilakukan dengan

Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang meliputi :

1. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan

asma

2. Meningkatkan pengetahuan, motivasi dan partisipasi pasien dalam

pengendalian asma

3. Untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian asma

4. Meningkatkan kemandirian pasien dalam ketrampilan penggunaan obat/alat

inhalasi

Pelaksanaan KIE tentang asma dan faktor risikonya dapat dilakukan melalui

berbagai media penyuluhan, seperti penyuluhan tatap muka, radio, televisi dan

Page 20: Lapkas Asma Dr. Sanoesi

media elektronik lainnya, poster, leaflet, pamflet, surat kabar, majalah dan media

cetak lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ilmu Penyakit Dalam. FKUI 2006

Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3. Hal 1311-1318

indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/.../597