Upload
zyad-kemal
View
65
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
KASUS
Identitas
Nama : Ny. M
TTL : 1970
Usia : 43 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Rawadas, jakarta timur
Tanggal masuk RS 23 Agustus 2013
Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan utama : sesak napas sejak 1 jam yang lalu
Keluhan tambahan : batuk
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan sesak napas sejak 1 jam yang
lalu. Sesak napas timbul saat pasien kontrol kehamilan diklinik. Dada pasien terasa
tertekan, tetapi tidak terasa nyeri, pasien harus duduk untuk mengurangi rasa sesak.
Pasien dari klinik diberikan oksigen, setelah pemberian oksigen pasien masih terasa
sesak napas dan dadanya masih terasa tertekan. Pasien sedang hamil tiga bulan, hamil
yang ketiga. Setiap kali hamil pasien merasakan hal yang sama. Pasien mempunyai
riwayat asma sejak SD. Sejak beberapa bulan yang lalu asma tidak pernah kambuh.
Batuk muncul saat pasien merasa mulai sesak, tidak ada dahak. Pasien mempunyai
alergi pada debu.
Riwayat penyakit dahulu :
Asma (+) sejak SD
Maag disangkal
Diabetes melitus disangkal
Hipertensi disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Asma disangkal
Maag disangkal
Diabetes melitus disangkal
Hipertensi disangkal
Riwayat pengobatan :
Oksigen diberikan dari klinik
Belum pernah diobati sejak keluhan sesak
Tidak mempunyai pegangan obat asma
Riwayat alergi :
Alergi makanan disangkal
Alergi obat-obatan disangkal
Alergi debu (+)
Riwayat psikososial :
Merokok (-)
Makan teratur
Asma timbul saat kena debu, dan asma timbul saat pasien hamil
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
TD : 120/70 mmHg
Suhu : 36,2oC
RR : 26 x/menit
HR : 100 x/menit, isi cukup, reguler, kuat
Antropometri
BB sekarang : 71 kg
TB : 176 cm
Kesimpulan : IMT = BB = 71 = 71 = 22,9 (gizi baik)
(TB)² (17,6)² 309
Status Generalis
Kepala :
Normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah rontok
Alis :
Tidak madarosis
Mata :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)
Hidung :
Sekret (-/-), nafas cuping hidung (-/-), septum deviasi (-), epistaksis (-/-)
Telinga :
Normotia, otore (-/-)
Mulut :
Bibir kering (-), bibir sianosis (+), lidah kotor (-), faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1)
tidak hiperemis, permukaan tidak berbenjol-benjol
Leher :
Pembesaran tyroid (-), pembesaran KGB(-)
Paru
Inspeksi : Normochest, simetris, retraksi (-)
Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, vocal premitus sama kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Nafas vesikuler (+/+), suara nafas tambahan ronkhi (-/-), wheezing
(+/+)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : batas kanan atas di ICS II linea parasternalis dextra, batas kanan
bawah di ICS IV linea parasternalis dextra, batas kiri atas di ICS II linea parasternalis
sinistra, batas kiri bawah di ICS IV linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, spider navy (-)
Auskultasi : Bising usus (+), 10 x/menit
Palpasi : Hepar tidak teraba, nyeri tekan epigastrim (-)
Perkusi : Tympani di 4 regio abdomen
Ekstremitas Atas
Akral dingin, CRT <2 detik, edema (-/-)
Ekstremitas Bawah
Akral dingin, CRT <2 detik, edema (-/-)
Resume
Ny. M 43 tahun datang ke IGD RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan dyspnoe sejak 1 jam yang
lalu. Sesak napas timbul saat pasien kontrol kehamilan diklinik. Dada pasien terasa tertekan,
pasien harus duduk untuk mengurangi rasa sesak. Pasien dari klinik diberikan oksigen,
setelah pemberian oksigen pasien masih terasa sesak napas dan dadanya masih terasa
tertekan. Pasien sedang hamil tiga bulan, hamil yang ketiga. Setiap kali hamil pasien
merasakan hal yang sama. Pasien mempunyai riwayat asma sejak SD. Sejak beberapa bulan
yang lalu asma tidak pernah kambuh. Batuk muncul saat pasien merasa mulai sesak. Pasien
mempunyai alergi pada debu.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan bibir sianosis, wheezing pada kedua lapang paru, dan akral
dingin pada keempat ektremitas.
• Tanda-tanda vital :
TD : 120/70 mmHg
Suhu : 36,2oC
RR : 26 x/menit
HR : 100 x/menit, isi cukup, reguler, kuat
Daftar Masalah
1. Asma bronkial
Assessment
1. Asma bronkial
Berdasarkan anamnesis pasien sesak dan batuk. Sudah diberikan oksigen namun
pasien masih merasa sesak. Pasien mempunyai riwayat asma sejak SD.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan bibir sianosis, akral dingin pada keempat
ekstremitas, dan terdengar wheezing pada kedua lapang paru.
Rencana diagnosis : spirometri, pemeriksaan laboratorium
Rencana terapi : oksigen 3-6 L
nebulizer dengan ventolin, fumicot dan bisolvon
Rencana edukasi : hindari debu, teratur olahraga seperti renang dan jalan kaki
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30
tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan
terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-
baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien
asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat
setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih
jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA). Di
Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak
sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study
on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar
2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada
anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak
SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta
Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.
1.2. Definisi Asma
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri
klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering
disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-
ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh
keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan
adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran
napas. Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat
patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi
kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa
berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel
baik dengan atau tanpa pengobatan. Karena dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka
obat-obat antiinflamasi berguna untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas.
Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam
penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi maupun sistemik.
1.3. Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar,
golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada
permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE
orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang
melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai
macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien,
faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada
reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah
pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel
mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase
lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam,
bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel
T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam
patogenesis asma. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel
dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi
yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa
keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi
asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin
Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-
sel inflamasi. Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya
hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan
parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja,
inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.
1.4. Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.
Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan
asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh : susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh : penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh : parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala
asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih
sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya
yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa
asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).
i. Status ekonomi
1.5. Klasifikasi Asma
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat
berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau
serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.
- Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara
lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
- Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan
sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.
- Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah
kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada
asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit.
Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan
adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan
pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
- Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak
ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit,
pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit
menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma.
Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum
pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi b-2
agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma
(jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat
diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten
berat (Tabel 1). Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan
obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi
tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan
berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan
asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus
lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam
menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang
ada.
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gejala pada Orang Dewasa
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermitten Bulanan
Gejala <1x/minggu
tanpa gejala diluar
serangan
Serangan singkat
≤2 kali sebulan APE ≥80%
- VEP1 ≥80% nilai prediksi
APE ≥80% nilai terbaik
- Variabiliti APE <20%
Persisten
ringan
Mingguan
Gejala>1x/minggu
tetapi<1x/hari
Serangan dapat
mengganggu
aktivitas dan tidur
>2 sebulan APE >80%
- VEP1 >80% nilai prediksi
APE
>80% nilai terbaik.
- Variabiliti APE 20-30%
Persisten
sedang
Harian
Gejala setiap hari
Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
Bronkodilator
>2 kali sebulan APE 60-80%
- VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80% nilai
terbaik
- Variabiliti APE >30%
setiap hari
Persisten berat Kontinyu
Gejala terus
menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik
terbatas
APE ≤60%
- VEP1 ≤60% nilai prediksi
APE ≤60% nilai terbaik
- Variabiliti APE >30%
1.6. Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya
hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak.
Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk
dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat
keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur
status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala
konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis.
Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu.
Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang
kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta
pemeriksaan penunjang.
- Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung
ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis
alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu
berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan
beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada
malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam
keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang
lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan
apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di
kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh
serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan
kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.
Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam Tabel 2.
Tabel 2. Gejala-gejala Kunci Diagnosis Asma
Gejala
Gambaran gejala
Faktor presipitasi
Batuk, mengi dan sesak atau frekuensi napas
cepat, produksi sputum, sering waktu malam,
respons terhadap bronkodilator
Perenial, musiman atau keduanya; terus-
menerus, episodik, atau keduanya; awitan,
lama, frekuensi
(jumlah hari/malam/minggu/bulan), variasi
diurnal terutama nokturnal dan waktu bangun
pagi hari
Infeksi virus. Alergen lingkungan, dalam
rumah (jamur, tungau debu rumah, kecoa,
serpih hewan atau
produk sekretorinya) dan outdoor (serbuk
sari/pollen)
· Ciri-ciri rumah (usia, lokasi, sistem
pendingin/pemanas, membakar kayu,
pelembab, karpet, jamur, hewan
piaraan, mebel dibungkus kain)
· Latihan jasmani, kimiawi/alergen lingkungan
kerja
· Perubahan lingkungan
· Iritan (asap rokok, bau menyengat, polutan
udara, debu, partikulat, uap, gas)
· Stres
· Obat (aspirin, antiinflamasi, b-bloker
termasuk tetes mata)
· Makanan, aditif, pengawet
· Perubahan udara, udara dingin
· Faktor endokrin (haid, hamil, penyakit tiroid)
Perkembangan penyakit
Riwayat keluarga
Riwayat sosial
Riwayat eksaserbasi
Efek asma terhadap penderita
dan keluarga
Persepsi penderita dan
keluarga terhadap penyakit
Usia awitan dan diagnosis
· Riwayat cedera saluran napas
· Progres penyakit
· Penanganan sekarang dan respons, antara lain
rencana penanganan eksaserbasi
· Frekuensi menggunakan SABA
· Keperluan oral steroid dan frekuensi
penggunaannya
Riwayat asma, alergi, sinusitis, rinitis, eksim
atau polip nasal pada anggota keluarga dekat
Perawatan/daycare, tempat kerja, sekolah
· Faktor sosial yang berpengaruh
· Derajat pendidikan
· Pekerjaan
Tanda prodromal dan gejala
· Cepatnya awitan, lama, frekuensi, derajat
berat· Jumlah eksaserbasi dan beratnya/tahun
· Penanganan biasanya
- Episode perawatan di luar jadwal (gawat
darurat, dirawat di RS)
- Keterbatasan aktivitas terutama latihan
jasmani· Riwayat bangun malam
- Efek terhadap perilaku, sekolah, pekerjaan,
pola hidup dan efek ekonomi
- Pengetahuan mengenai asma: penderita, orang
tua, istri/suami atau teman dan mengetahui
kronisitas asma
- Persepsi penderita mengenai penggunaan obat
pengontrol jangka lama
- Kemampuan penderita, orang tua,
istri/suami/teman untuk menolong penderita
- Sumber ekonomi dan sosiokultural
- Pemeriksaan Fisik
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan
fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan
bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan
bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi
dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.
- Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis
juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari
paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM).
Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu
sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat
melakukan pemeriksaan FEV1.
c. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.
d. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent
test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
e. Petanda Inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian
semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang
dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan
antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi
dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
f. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial
dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan
obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis
yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran
alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel
dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes
kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan
latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.
1.7. Konsep Baru Pengobatan Awal – Penilaian Derajat
Banyak penderita asma tidak diobati menurut pedoman mutakhir, menimbulkan
asma tidak terkontrol dan merupakan beban bagi penderita, keluarga serta seluruh sistem
perawatan kesehatan. Pemantauan dan penilaian secara terus menerus penting untuk
keberhasilan penanganan klinis. Menurut konsep baru, penanganan asma dibuat dalam 3
golongan umur yaitu 0-4 tahun, 4-12 tahun dan diatas 12 tahun, serta menggunakan 2
domain dalam evaluasi derajat berat dan kontrol asma, yaitu gangguan dan risiko. Bila
diagnosis asma sudah ditegakkan, setiap penderita dilakukan penilaian derajat berat
asma, Derajat berat adalah intensitas intrinsik proses penyakit yang diukur praterapi, dan
dapat memberikan informasi kepada dokter untuk mengembangkan rencana pengobatan
awal. Pengobatan awal diberikan sesuai dengan regimen (tahap) pengobatan.
1.8. Penilaian Kontrol Asma: Memantau dan Mempertahankan dengan Pendekatan
Bertahap
Evaluasi kontrol dalam 2-6 minggu (tergantung derajat berat awal atau kontrol).
PFM digunakan pada penderita 6 tahun. Bila hasil spirometri menunjukkan kontrol buruk
dibanding tanda kontrol lainnya, pertimbangkan obstruksi yang menetap dan nilai ukuran
lainnya. Bila obstruksi yang menetap tidak menerangkan kontrol yang kurang, lakukan
step up, karena FEV1 yang buruk merupakan prediktor eksaserbasi. Bila riwayat
eksaserbasi menunjukkan kontrol buruk, nilai derajat gangguan paru dan pertimbangkan
stepup, penanganan eksaserbasi dan menggunakan kortikosteroid/KS oral terutama untuk
penderita dengan riwayat eksaserbasi berat. Bila kontrol asma tidak didapat dengan cara
tersebut, evaluasi kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat, teknik inhalasi, kontrol
lingkungan (pajanan baru) dan penanganan komorbid. Bila asma sudah terkontrol,
pemantauan seterusnya adalah penting agar kontrol asma dapat dipertahankan serta
menentukan tahap dan dosis obat terendah. Pendekatan bertahap (stepping up dan
stepping down) dianjurkan untuk memperoleh dan mempertahankan kontrol asma.
Pendekatan pengobatan bertahap menggabungkan kelima komponen yang diperlukan
dalam penanganan asma. Jenis, jumlah dan jadwal obat ditentukan oleh ambang berat
asma atau kontrol asma. Pengobatan ditingkatkan (stepping up) bila diperlukan, dan
diturunkan (stepping down) bila mungkin. Oleh karena asma adalah penyakit kronis,
asma persisten dapat dikontrol terbaik dengan pemberian obat pengontrol jangka lama
untuk menekan inflamasi setiap hari. Kortikosteroid inhalasi merupakan obat anti-
inflamasi yang efektif untuk semua usia pada semua tahap perawatan asma persisten.
Seleksi terapi alternatif berdasarkan atas pertimbangan pengobatan yang efektif untuk
penderita (gangguan, risiko atau keduanya) dan riwayat penderita mengenai respons
sebelumnya (sensitivitas dan respons terhadap berbagai obat asma dapat berbeda di
antara penderita) serta kesediaan dan kemampuan penderita ataupun keluarga untuk
menggunakan obat-obatan. Bila asma sudah terkontrol, pemantauan adalah esensial, oleh
karena asma dapat berbeda dengan waktu. Stepping up mungkin diperlukan, atau bila
mungkin stepping down, identifikasi obat minimal diperlukan dalam mempertahankan
kontrol asma.
1.9. Pengobatan Bertahap pada Berbagai Usia
Penilaian derajat berat dan kontrol dilakukan menurut 2 domain yang sama yaitu
gangguan (gejala, tidur, dan aktivitas) dan risiko eksaserbasi yang memerlukan steroid
oral. Derajat berat asma ditentukan oleh domain gangguan dan risiko terberat.
Pendekatan stepwise adalah untuk menolong, bukan untuk menggantikan. Ambang
derajat berat ditentukan oleh domain gangguan terberat (nilai dari 2-4 minggu yang
akhir, dapat menggunakan PFM) dan risiko. Keputusan berdasarkan data klinis untuk
memenuhi kebutuhan penderita. Dewasa ini tidak cukup bukti hubungan antara frekuensi
eksaserbasi dengan berbagai ambang derajat berat asma. Bila perbaikan tidak dicapai
dalam 4-6 minggu walaupun teknik pengobatan dan ketaatan cukup baik, pertimbangkan
terapi penyesuaian atau alternatif. Penderita dengan dua atau lebih eksaserbasi,
memerlukan steroid oral dalam 6 bulan akhir atau empat episode mengi dalam satu tahun
terakhir, dianggap sebagai penderita asma persisten, meskipun tidak disertai ambang
gangguan yang konsisten dengan asma persisten. Sebelum step up, perlu dievaluasi
kepatuhan penderita minum obat, teknik penggunaan inhaler, kontrol lingkungan dan
komorbiditas. Bila diberikan pengobatan alternatif, hentikan penggunaannya sebelum
step up.
1.10. Eksaserbasi Asma
Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang memburuk
secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-
gejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus napas yang dapat diukur
secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang lebih dapat
dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol dengan steroid inhaler, memiliki
risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun, penderita tersebut masih dapat
mengalami eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus saluran napas. Penanganan
eksaserbasi yang efektif juga melibatkan keempat komponen penanganan asma jangka
panjang, yaitu pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak
ada keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga
keuntungan pemberian intravena dibanding oral. Jumlah pemberian steroid sistemik
untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat darurat dapat berlangsung 3-
10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu
kurang dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10 hari) juga mungkin tidak
perlu tapering off bila penderita juga mendapat kortikosteroid inhaler.
1.11. Pencegahan
A. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya
atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan
terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan
asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat
mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun
bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan
hipotesis.
B. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen
(indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor
seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita
dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok,
lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki
kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap
banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan.
Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan
dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.
Penatalaksanaan Asma Bertujuan
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel
7. Meminimalkan kunjngan ke gawat darurat
Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien adalah hal yang penting
sebagai dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter selalu bersedia mendengarkan
keluhan pasien, itu merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Komponen yang dapat
diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu mengembangkan hubungan dokter
pasien, identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko, penilaian,
pengobatan dan monitor asma serta penatalaksanaan asma eksaserbasi akut. Pada
prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu :
1. Penatalaksanaan Asma Akut
Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera,
Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat.
Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting,
agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke
dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala,
pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat
diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan
pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat menyebabkan keter-lambatan
dalam pengobatan/tindakan.
2. Penatalaksanaan Asma Kronik
Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan asma
secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan
asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang yang bertujuan
mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol,
Bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi
eksaserbasi/serangan, dikenal pelega.
Ciri-ciri asma terkontrol :
1. Tanpa gejala harian atau d” 2x/minggu
2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian
3. Tanpa gejala asma malam
4. Tanpa pengobatan pelega atau d” 2x/minggu
5. Fungsi paru normal atau hampir normal
6. Tanpa eksaserbasi
Ciri-ciri asma tidak terkontrol :
1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)
2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut
3. Kebutuhan obat pelega meningkat.
Pengendalian asma bertujuan untuk :
1. Meningkatkan kemandirian pasien dalam upaya pencegahan asma
2. Menurunkan jumlah kelompok masyarakat yang terpajan faktor risiko asma
3. Terlaksananya deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko asma
4. Terlaksananya penegakan diagnosis dan tatalaksana pasien asma sesuai
standar/kriteria
5. Menurunnya angka kesakitan akibat asma
6. Menurunnya angka kematian akibat asma
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara dapat dilakukan dengan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang meliputi :
1. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan
asma
2. Meningkatkan pengetahuan, motivasi dan partisipasi pasien dalam
pengendalian asma
3. Untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian asma
4. Meningkatkan kemandirian pasien dalam ketrampilan penggunaan obat/alat
inhalasi
Pelaksanaan KIE tentang asma dan faktor risikonya dapat dilakukan melalui
berbagai media penyuluhan, seperti penyuluhan tatap muka, radio, televisi dan
media elektronik lainnya, poster, leaflet, pamflet, surat kabar, majalah dan media
cetak lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ilmu Penyakit Dalam. FKUI 2006
Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3. Hal 1311-1318
indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/.../597