23
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Makna dari hukum itu sendiri adalah sarana untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembaga melalui gagasan negara demokasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksud untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasakan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan bernegara Indonesia. 1 Karena hal itu hukum dijadikan sebagai panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan ekonomi, sosial maupun politik. E. Utrecht memberikan pengertian hukum sebagai himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan sudah sebagai suatu kewajiban untuk ditaati 1 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Gagasan Negara Hukum Indonesia, dalam Jurnal Hukum, hlm. 14.

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH democracy) …

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara

hukum. Makna dari hukum itu sendiri adalah sarana untuk mencapai tujuan

yang dicita-citakan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembaga

melalui gagasan negara demokasi (democracy) maupun yang diwujudkan

melalui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksud untuk meningkatkan

kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang

dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia

bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

berdasakan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara

hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat

tujuan bernegara Indonesia.1 Karena hal itu hukum dijadikan sebagai

panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan ekonomi, sosial

maupun politik.

E. Utrecht memberikan pengertian hukum sebagai himpunan petunjuk

hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib

dalam suatu masyarakat, dan sudah sebagai suatu kewajiban untuk ditaati

1 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Gagasan Negara Hukum Indonesia, dalam Jurnal Hukum,

hlm. 14.

2

oleh anggota masyarakat. Kemudian menurut Mochtar Kusumaatmadja,

hukum adalah keseluruhan kaedah-kaedah serta asas-asas yang mengatur

pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara

ketertiban yang meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna

mewujudkan berlakunya kaedah itu sebagai kenyataan dalam masyarakat.2

Dari beberapa pengertian diatas hukum diharapkan dapat menciptakan suatu

keteraturan yang memberikan kenyamanan, ketertiban dan keamanan tetapi

pada kenyataanya apa yang diharapkan belum terlaksana secara maksimal

karena masih banyaknya individu maupun kelompok masyarakat yang

mengabaikan nilai-nilai dan cita-cita hukum itu sendiri. Dimana perbuatan-

perbuatan yang melanggar hukum terus terjadi dari tahun ke tahun dengan

ikut berkembangnya pola kejahatan tersebut. Sejatinya setiap mereka yang

melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum atau melakukan

kejahatan akan mendapatkan penjatuhan pidana sebagaimana diatur dalam

Pasal 10 KUHP.

Salah satu bentuk pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP adalah

pidana berupa perampasan kemerdekaan manusia atau yang sering disebut

juga dengan pidana penjara. Bagi siapa saja yang dijatuhi pidana penjara

maka akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan putusan

hakim yang diterimanya.3 Penjatuhan pidana penjara ini perlu untuk ditinjau

ulang mengenai penerapannya. Karena Disisi lain pidana penjara juga

menyangkut martabat manusia yang menjadi narapidana serta masa depannya

2 Mokhammad Najih, S.H., M.Hum dan Soimin, S.H, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan

Ketiga, Setara Press, Jawa Timur, 2013, hlm. 9. 3 Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 24.

3

atau kedudukannya sebagai warga Negara Republik Indonesia setelah yang

bersangkutan selesai menjalankan hukumannya dan kembali ke tengah-tengah

kehidupan sosial masyarakat. Pada kenyataannya penjatuhan pidana penjara

ini ternyata tetap tidak memberikan dampak yang begitu berpengaruh karena

dari tahun ke tahun angka kriminalitas terus meningkat dan jenisnya beragam.

Pidana penjara juga cenderung tidak memberikan efek jera bagi para

narapidana karena banyak terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan

oleh residivis, sebagai salah satu contoh pengulangan tindak pidana di salah

satu Lembaga Pemasyarakatan di Yogyakarta, yang mana data dibawah

menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah residivis yang melakukan

pengulangan tindak pidana terus bertambah:

Tabel I. Data Narapidana Residivis di Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II A Yogyakarta Tahun 2012-20144

Bulan Tahun Narapidana Residivis

Oktober 2012 56 Residivis

Oktober 2013 63 Residivis

September 2014 69 esidivis

Ini salah satu contoh bahwa pidana penjara bukan menjadi jawaban atas

pertanyaan bagaimana mengurangi kejahatan di Indonesia.

4 Armanda, Pelaksanaan Pembinaan Oleh Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Residivis

Dan Implikasinya Pada Pengulangan Tindak Pidana (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II

A Yogyakarta), Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, 2014.

4

Pidana penjara nyatanya juga menimbulkan dampak negatif lainnya

seperti kapasitas narapidana yang berlebih (over capacity), dehumanisasi,

pendidikan kejahatan oleh penjahat, penyebaran penyakit, perilaku seks

menyimpang, dan sebagainya. Saat ini lapas di Indonesia lebih mirip seperti

“universitas kejahatan” dimana para napi justru mendapatkan pendidikan

kejahatan oleh napi lainnya (transfer knowledge). Oleh sebab itu pemidanaan

di lapas, kadang justru membuat mereka terjebak dalam bentuk kejahatan

baru.

Fakta lainnya yang dapat kita lihat adalah beberapa narapidana yang

memiliki kekayaan serta akses kekuasaan dapat menyulap selnya menjadi

‘rumah pribadi’ dengan sejumlah fasilitas mewah. Kemudian ada juga

narapidana yang dapat keluar dari Lembaga Pemasyarakatan padahal masih

berstatus sebagai narapidana, hal ini terjadi karena lemahnya penegakkan

hukum di Indonesia dimana uang dapat menjadi alat pengontrol.

Dari uraian diatas, maka perlu adanya pembaharuan hukum pidana dari

segi sistem pemidanaannya, butuh suatu inovasi baru untuk diterapkankan

dalam menghadapi pelaku kejahatan di masa sekarang ini.

Menurut Barda Nawawi, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya

mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi

hukum pidana sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofi,

5

dan sosio kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,

kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.5

Dalam hal pembaharuan konsep ini penulis bermaksud untuk

menambahkan pidana kerja sosial sebagai pidana pemberat saat seseorang

dijatuhi hukuman pidana penjara atau disebut juga dengan hukuman

kumulatif. Pidana pemberat yang dimaksud bukan sebagai bentuk penyiksaan

atau penderitaan tambahan, melainkan sebagai bentuk pembelajaran yang

mengandung konsekuensi positif bagi yang menjalankannya, korban maupun

masyarakat. Kemudian jenis-jenis kegiatan sosial dalam R-KUHP sekarang

ini, seperti melakukan kerja sosial membersihkan toilet umum, membersihkan

parit atau selokan, menyapu jalanan, bertugas dipanti asuhan atau panti

jompo, dan yang berkenaan dengan pelayanan umum masyarakat dimana

konsep ini dirancang untuk digunakan sebagai alternatif pidana penjara

jangka pendek bagi yang melakukan kejahatan tindak pidana ringan.

Sedangkan dalam hal ini penulis bermaksud akan memberikan suatu model

pidana kerja sosial yang ideal yang diperuntukkan bagi pelaku kejahatan

serius tertentu.

Konsep pidana kerja sosial yang akan ditawarkan penulis ini tidak untuk

semua bentuk kejahatan melainkan hanya kejahatan serius tertentu saja,

seperti kejahatan korupsi, kejahatan ekonomi (pencucian uang) dan narkotika.

Menurut penulis ketiga kejahatan tersebut merupakan kejahatan luar biasa

5 Barda Nawawi Arief, Bungan Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 27.

6

yang memberikan dampak yang luas bagi negara karena yang dirugikan tidak

hanya satu orang melainkan seluruh masyarakat. Contohnya mengenai

korupsi, bagaimana bisa seseorang yang telah diberikan amanah oleh rakyat

malah menghianati rakyat dengan memperkaya diri dan keluarganya

sementara kemiskinan ada dimana-mana. Selanjutnya kejahatan pencucian

uang merupakan kejahatan lanjutan yang didahului dengan kejahatan

sebelumnya seperti korupsi, narkotika, penggelapan, pencurian, perpajakan

dll. Korupsi saja merupakan kejahatan luar biasa apalagi ditambah dengan

tindak pidana pencucian uang. Terakhir, narkotika yang mana korbannya

meluas ke semua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah

tangga, pedagang, polisi, anak jalanan, pejabat dan lain sebagainya. Dengan

demikian narkotika dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi

kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat

melemahkan ketahanan nasional.

Karena kejahatan diatas merupakan kejahatan luar biasa maka perlu cara

yang khusus juga untuk menanganinya. Pidana kerja sosial hadir sebagai

pemberat pidana penjara dalam konsep penulis bertujuan untuk penjeraan dan

memicu munculnya rasa malu dari dalam dirinya guna membangun sisi

kemanusiaan bagi para narapidana dan juga memunculkan rasa bersalah.

Pidana kerja sosial juga mengandung unsur perlindungan masyarakat

karena sudah ada tindakan pemidanaan yang nyata dari pemerintah, sesuai

dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan budaya bangasa

Indonesia yaitu nilai bertanggung jawab, nilai gotong royong, nilai bekerja,

7

budaya malu dan termasuk perbuatan yang bernilai sosial karena dilakukan di

masyarakat yang tidak mengutamakan keuntungan. Selama menjalankan

pidana, narapidana akan dibina dan dibimbing dari sisi pembentukan sikap

dan tingkah lakunya. Hal tersebut juga mebuat terpidana mudah untuk

kembali ke masyarakat karena pada pelaksanaannya akan mempertemukan

narapidana langsung dengan masyarakat sehingga terciptanya interaksi sosial

antara kedua belah pihak. Interaksi sosial yang terjadi diharapkan dapat

menimbulkan perasaan bersalah bagi narapidana atas apa yang telah

dilakukannya dan akan memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi

kejahatannya kembali. Hal tersebut sesuai dengan tujuan pemidanaan yang

ada dalam Undang-undang No 12 Tahun 1995 yaitu, warga binaan

pemasyarakatan dapat menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat

diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab.

Pada saat ini pidana kerja sosial sudah diterapkan sebagai alternatif

pengganti pidana penjara jangka pendek di beberapa negara kawasan Eropa,

misalnya Denmark, Jerman, Inggris, Perancis, Belanda, Norwegia, dan

Portugal. Selain itu, Swiss dan Italia juga memberlakukan pidana kerja sosial.

Dalam penerapan pidana kerja sosial masing-masing negara memiliki

pengaturan yang berbeda. Di Belanda, pidana kerja sosial dapat digunakan

sebagai pengganti pidana penjara dengan ancaman pidana penjara kurang dari

8

6 bulan, di Denmark menggantikan pidana penjara dengan ancaman pidana

penjara antara 6-8 bulan.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka perlu dilakukan kajian

terhadap masalah tersebut. Penulis akan melakukan penelitian dengan

mengangkat judul “PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL SEBAGAI

SANKSI PIDANA BAGI PELAKU KEJAHATAN SERIUS TERTENTU

DALAM PEMBAHARUAN KUHP INDONESIA”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, penulis

mencoba untuk merumuskan dan kemudian mencoba mengkaji lebih lanjut

dengan rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana prospek pengancaman pidana kerja sosial sebagai sanksi

pidana terhadap pelaku kejahatan serius tertentu (serious crime) dalam

pembaharuan KUHP Indonesia ?

2. Apa praktek pidana kerja sosial yang ideal untuk diterapkan dan

bagaimana mekanisme penerapan pidana kerja sosial tersebut ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini untuk menjawab pokok permasalahan

sebagaimana yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, yaitu:

1. Untuk mengetahui prospek pengancaman pidana kerja sosial sebagai

sanksi terhadap pelaku kejahatan serius tertentu (serious crime) dalam

pembaharuan KUHP Indonesia.

9

2. Untuk mengetahui praktek pidana kerja sosial yang ideal untuk diterapkan

dan bagaimana mekanisme penerapan konsep pidana kerja sosial bagi

pelaku kejahatan serius tertentu.

D. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pidana dan Pemidanaan

1. Konsep Pidana

Menurut Moeljatno istilah “hukuman” yang berasal dari kata

“straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “wordt

gestraf”, merupakan istilah-istilah yang konvensional sebab sejak dari

dahulu kala sudah dipakai. Beliau menggunakan istilah-istilah yang

inkonvensional yaitu “pidana” dan “diancam dengan pidana” untuk

menggantikan kata Belanda “straft” dan “wordt gestraf”. Perubahan ini

terjadi karena istilah “Hukum Pidana” (strafrecht) telah diterima secara

umum.6

Soedarto menyatakan pidana didefinisikan sebagai nestapa yang

dikenakan negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran

terhadap ketentuan undang-undang, sengaja akan dirasakan sebagai

nestapa.7 Roeslan Saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan

ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada

pembuat delik itu. Nestapa bukanlah suatu tujuan akhir yang dicita-

6 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Cetakan Pertama,

Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 5. 7 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986, hlm. 109-110

10

citakan masyarakat tetapi nestapa adalah bentuk untuk mencapai suatu

tujuan lain dalam menjatuhkan pidana.8

Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara , yang mengadakan

dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :9

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi

pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.

2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah

melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi

pidana sebagaimana yang telah dicantumkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan

tersebut.

2. Tujuan Penjatuhan Pidana

Penjatuhan pidana atau pemidanaan adalah proses penetapan jenis

hukuman terhadap suatu peristiwa atau perbuatan yang telah dilakukan

oleh seseorang, dalam hal ini pola penjatuhan pidana dilakukan oleh

hakim. Tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan

masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup

dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan

masyarakat/negara, korban dan pelaku.

8 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana..., Op.Cit., hlm. 6-7.

9 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,

hlm. 1-2.

11

Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung

unsur-unsur yang bersifat :10

1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung

tinggi harkat dan martabat seseorang;

2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang

sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan

ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha

penanggulangan kejahatan;

3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil,

baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.

Tujuan pemidanaan lainnya yang masih bersifat teoritis terdapat

dalam R-KUHP Indonesia, yang terdapat pada Pasal 54, yaitu :11

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat;

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat;

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

10

Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan

Pidana Penjara, Cetakan Keempat, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 83. 11

Pasal 55 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2015.

12

Pemidanaan dalam pandangan (perspektif) Pancasila yang dianut

oleh hukum Indonesia, haruslah sesuai dengan budaya yang dianut di

masyarakat.

Dalam sejarah perkembangan hukum pidana terdapat 3 macam

teori yang mengemukakan tujuan pemidanaan, yaitu teori absolut

(vergelding theorien), teori relatif (doel theorien), dan teori gabungan

(vernengings theorien). Ketiga teori itu mengkaji tentang alasan

pembenar penjatuhan pidana.

a. Teori Absolut (vergelding theorien/retributif).

Penjatuhan pidana pada teori absolut ini adalah sebagai bentuk

pembalasan yang setimpal kepada penjahat atas apa yang

dilakukannya, karena itu teori ini disebut juga sebagai teori

pembalasan. Siapa saja yang berbuat jahat harus dipidana tanpa

melihat akibat-akibat apa saja yang timbul setelah penjatuhan

pidana, baik terhadap terpidana maupun masyarakat. Tujuan

pemidanaan adalah menjadikan si penjahat menderita dengan jalan

menjatuhkan pidana sebagai pembalasan.

b. Teori Relatif (doel theorien/deterrence/utilitarian).

Penjatuhan pidana pada teori relatif ini setidaknya harus

berorientasi pada upaya pencegahan terpidana (special prevention)

dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang,

serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general

prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti

13

kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainnya.12 Pidana

bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi

mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat oleh sebab itu

teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).

Dalam teori relatif terdapat 2 model pencegahan, yaitu :

a. Pencegahan Umum (general preventie)

Teori ini bersifat menakut-nakuti, pidana yang dijatuhkan

pada penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk

berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi ini dijadikan contoh

oleh masyarakat, agar masyarakat umum tidak meniru dan

melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu.

Menurut teori pencegahan umum ini untuk mencapai dan

mempertahankan tata tertib masyarakat melalui pemidanaan,

maka pelaksanaan pidana harus dilakuka secara kejam dan

dimuka umum.

b. Pencegahan Khusus (special preventie)

Teori pencegahan khusus ini menyatakan bahwa tujuan

pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana

agar ia tidak mengulangi lagi melakukan kejahatan, dan

mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak

mewujudkan niatnya menjadi nyata. Tujuan tersebut dapat

12

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum..., Op.Cit., hlm. 190.

14

dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang bersifat

menakut-nakuti, memperbaiki dan membuatnya menjadi tidak

berdaya.

c. Teori Gabungan (vernengings theorien).

Teori gabungan dalam hal ini menggabungkan pemikiran yang

terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif. Teori gabungan

merupakan respon terhadap kritik yang ada baik terhadap teori

absolut maupun teori relatif. Menurut teori ini, dalam konsepsi

pemidanaan perlu adanya pemilahan antara tahap-tahap

pemidanaan yang berbeda-beda, misalnya pada ancaman pidana di

dalam undang-undang, proses penuntutan, proses peradilan, serta

pelaksanaan pidana. Dalam setiap tahap perlu ada asas-asas tertentu

yang diprioritaskan, misalnya jaksa dalam mengemukakan tuntutan

pidana (requisitoir) berkategori berat dapat mengutamakan unsur

pembalasan dan prevensi umum. Pada tahap pelaksanaan pidana

perlu pula memperhatikan prevensi khusus, yaitu aspek

resosialisasi terpidana. Untuk tindak pidana berkategori ringan,

tujuan pidana lebih difokuskan pada pribadi si pelaku, dan

pemberian kesempatan kepada si pelaku untuk di resosialisasi.13

Muladi, Guru Besar Hukum Pidana UNDIP di dalam disertasinya

untuk memperoleh gelar Doktor yang berjudul “Lembaga Pidana

13

Widodo, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, Cetakan Pertama, Laksbang

Mediatama, Yogyakarta, 2009, hlm. 76.

15

Bersyarat Sebagai Faktor yang Mempengaruhi Proses Hukum Pidana

yang Berperikemanusiaan” memperkenalkan teori tujuan pemidanaan

yang Integratif (Kemanusiaan dalam Sistem Pancasila) yang tepat untuk

diterapkan di Indonesia.14

Teori integratif memungkinkan untuk mengadakan artikulasi

terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi

sekaligus, yang secara terpadu diarahkan untuk mengatasi dampak

individual dan sosial yang ditimbulkan oleh tindak pidana atas dasar

kemanusiaan dalam sistem Pancasila. Kombinasi tersebut mencakup

seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi oleh setiap

penjatuhan sanksi pidana. Ini selaras dengan kondisi filosofi, sosiologis,

dan ideologi masyarakat Indonesia.15

Ada 4 tujuan pemidanaan dalam teori integratif, yaitu :16

1. Memberikan Perlindungan Masyarakat;

2. Pemeliharaan Solidaritasi Masyarakat;

3. Sarana Pencegahan Umum dan Pencegahan Khusus;

4. Pengimbalan/Pengimbangan.

Selain dari ketiga teori tersebut ditambah dengan hadirnya teori

intergratif oleh Muladi, ada beberapa teori lainnya yang mengemukakan

mengenai tujuan pemidanaan, yaitu teori treatment, teori social defence

(perlindungan sosial) dan teori restorative justice. Ketiga teori tersebut

mengemukakan tujuan pemidanaan sebagai berikut :

14 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana..., Op.Cit., hlm. 27.

15 Widodo, Sistem Pemidanaan Dalam..., Op.Cit., hlm. 80-81.

16 Ibid., hlm. 81.

16

a. Teori Treatment

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh

aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas

diarahkan pada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya.

Pemidanaan yang dimaksud pada aliran ini adalah untuk memberi

tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation)

kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan

tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).17

b. Teori Social Defence (perlindungan sosial)

Menurut F. Gramatika, hukum perlindungan masyarakat (law

of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada.

Tujuan utama hukum perlindungan masyarakat adalah

mengintegrasikan individu kedalam tata tertib sosial dan bukan

pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan

masyarakat menghapus pertanggungjawaban pidana (kesalahan)

dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti

sosial.18

c. Teori Restorative Justice

Restorative justice merupakan proses penyelesaian terhadap

tindak pidana dengan cara bersama-sama bermusyawarah antara

17

Mahmud Mulyadi, Revitalisasi Alas Filosofi Tujuan Pemidanaan Dalam Penegakkan

Hukum Pidana Indonesia, karya ilmiah, 2006, hlm 8-9. 18

F.Gramatika dalam Tongat, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Di

Indonesia, UMM Pres, Malang, 2004, hlm.65.

17

korban, pelaku, keluarga korban, keluarga pelaku dan masyarakat

untuk menacari bentuk penyelesaian yang terbaik guna

memulihkan kerugian yang di derita semua pihak.19

Tony F. Marshall (ahli kriminologi Inggris) mengemukakan

bahwa definisi dari restorative justice adalah sebuah proses

dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran

tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari

pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.20

Adapun teori restorative justice menurut Muladi, yaitu :21

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain, dan diakui sebagai konflik;

2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;

3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi; 4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan

restorasi sebagai tujuan utama; 5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak dinilai

atas dasar hasil; 6. Sasaran perhatian pada perbaikan keadilan sosial; 7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif; 8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam

masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab;

9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;

10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis;

11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

19

Eva Norita, Pidana Kerja Sosial Dalam Kebijakan Kriminal Hukum Pidana Indonesia

Skripsi. Medan: Fakultas Hukum, Universitas Sumatra Utara, 2009. 20

Marlina, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia, Disertasi, Medan, 2007, hlm. 170. 21

M. Sholehhuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System

dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 65-66.

18

B. Pidana Kerja Sosial

Secara etimologis “pidana kerja sosial” berasal dari dua kata yaitu

“pidana” dan “kerja sosial”. Secara sederhana “pidana kerja sosial” dapat

diartikan sebagai pidana yang berupa kerja sosial. Pidana kerja sosial

merupakan bentuk pidana dimana pidana tersebut dijalani oleh terpidana

dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Istilah pidana kerja

sosial jika diterjemahkan ke dalam bahasa inggris menjadi Community

Service Order. Pidana kerja sosial merupakan jenis pidana yang dijalankan

oleh narapidana diluar lembaga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan

sosial seperti membersihkan toilet umum, membersihkan parit atau

selokan, menyapu jalanan, bertugas dipanti asuhan atau panti jompo, dan

yang berkenaan dengan pelayanan umum lainnya, pidana kerja sosial ini

tidak dibayar karena sifatnya sebagai pidana (work as a penalty).

Di Indonesia pidana kerja sosial ini masih berupa rancangan dalam

R-KUHP Indonesia bagi terdakwa yang akan dijatuhi pidana penjara yang

lamanya tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari

denda Kategori I (denda kategori I adalah maksimal Rp. 6.000.000,-).22

E. DEFINISI OPERASIONAL

Untuk menghindari kerancuan istilah dan memperjelas cakupan

penelitian ini, akan dikemukakan beberapa konsep mendasar yang

dioperasionalisasikan sebagai berikut:

1. Pidana Kerja Sosial

22

Pasal 82 ayat (3) Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana 2015.

19

Pidana kerja sosial adalah sebuah bentuk sanksi atau hukuman

kerja sosial seperti, membersihkan toilet umum, membersihkan parit

atau selokan, menyapu jalanan, bertugas dipanti asuhan atau panti

jompo, dan yang berkenaan dengan pelayanan umum masyarakat.

Dalam R-KUHP pidana kerja sosial merupakan alternatif pidana

jangka pendek, tetapi dalam penelitian kali ini penulis bermaksud

untuk memberikan sebuah gagasan baru yang menjadikan pidana kerja

sosial sebagai pidana pemberat pidana penjara (hukuman kumulatif).

Dalam konsep penulis tidak semua jenis kejahatan dapat dijatuhi

hukuman seperti diatas, tetapi hanya diterapkan untuk jenis kejahatan

serius tertentu yang termasuk ke dalam kategori yang ditentukan

penulis.

2. Kejahatan Serius Tertentu (serious crime)

Yang dimaksud dengan kejahatan (tindak pidana) adalah perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut.23

Dalam penulisan skripsi ini untuk menetukan kejahatan serius

tertentu (serious crime) yang dimaksud kita dapat mengacu kepada

beberapa aturan tertulis, seperti :

Berikut ini adalah kualifikasi yang ditentukan penulis dalam

menentukan kejahatan serius tertentu yang dimaksud, yaitu :

23

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 54.

20

a. Kejahatan dengan pengancaman pidana perampasan

kemerdekaan (pidana penjara) minimal 4;

b. Kejahatan yang berlangsung secara sistematis dan meluas;

c. Tindak Pidana yang memberikan dampak kerugian secara luas,

maksudnya adalah kerugian yang ditimbulkan tidak hanya

berakibat pada satu orang saja tetapi juga berdampak pada

masyarakat luas;

d. Merusak nilai-nilai moral dan budaya bangsa;

e. Menghambat pembangunan ekonomi, sosial, politik dan

budaya bangsa.

Berdasarkan kualifikasi diatas, maka segala bentuk kejahatan yang

termasuk dalam kualifikasi tersebut dapat dikenakan pidana pemberat

berupa pidana kerja sosial.

F. METODE PENELITIAN

Setiap ilmu pengetahuan mempunyai identitas sendiri-sendiri sehingga

selalu akan terdapat berbagai perbedaan. Metode pemikiran yang diterapkan

dalam setiap ilmu selalu disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi

induknya.24

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmu yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisisnya dan didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran

tertentu:

24

Rony Hanitidjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,

cetakan IV yang disempurnakan, Jakarta, 1966, hlm. 9.

21

1. Fokus Penelitian.

Fokus penelitian dalam penulisan ini adalah :

a. Prospek pengancaman pidana kerja sosial bagi pelaku kejahatan serius

tertentu (serious crime) dalam pembaharuan KUHP Indonesia.

b. Model pidana kerja sosial yang ideal untuk diterapkan dan mekanisme

penerapan konsep pidana kerja sosial bagi pelaku kejahatan serius

tertentu.

2. Narasumber

Dalam penelitian ini penulis akan melakukan tanya jawab dengan

memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan

diteliti. Wawancara akan dilakukan dengan narasumber yaitu Prof. Dr.

Barda Nawawi Arief., S.H.

3. Bahan Hukum.

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat berhubungan dengan fokus

penelitian, yaitu KUHP, peraturan baik itu undang-undang maupun

peraturan lain selain undang-undang yang lebih rendah tingkatnya dan

buku-buku yang berkaitan dengan penerapan pidana kerja sosial, buku-

buku mengenai pidana dan tujuan pemidanaan, serta buku-buku lainnya

yang memiliki penjelasan keterkaitan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang berfungsi untuk menjelaskan terhadap bahan

hukum primer, seperti R-KUHP, makalah-makalah, jurnal, laporan hasil

22

penelitian, internet, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan

penelitian.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan hukum yang berfungsi untuk menjelaskan terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari:

a) Kamus Istilah Hukum ;

b) Kamus Bahasa ;

c) Ensikolopedia.

d. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

a. Studi Pustaka

Peneliti mencari bahan hukum dengan cara studi kepustakaan,

yaitu studi dengan cara mengumpulkan, mempelajari, dan

mengutip data dari berbagai sumber seperti berbagai Peraturan

Perundang-undangan, buku, literatur, jurnal, artikel, makalah. Studi

ini dimaksud untuk mendapatkan landasan teori yang cukup kuat

untuk mendukung analisis dalam penelitian ini.

b. Wawancara

Proses tanya jawab langsung dari orang atau pihak yang dipilih

dengan memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan obyek yang

akan diteliti.

e. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis normatif dimana dalam mencari data yang digunakan

23

dengan berpegang pada segi yuridis yang bertumpu pada data sekunder.

Pendekatan normatif yang dilakukan didasari oleh pertimbangan bahwa

penelitian ini bertujuan untuk membahas dan mengkaji berbagai peraturan

yang berkaitan dengan gagasan penerapan pidana kerja sosial sebagai

pidana pemberat bagi pelaku kejahatan serius tertentu. Merumuskan suatu

kebijakan yang dilandasi suatu latar belakang, nilai-nilai, kultur, konsepsi-

konsepsi, atau teori-teori tertentu.

f. Pengolahan dan Analisis Bahan-bahan Hukum

Dalam proses penulisan menggunakan analisis metode deskriptif-

kualitatif. Data yang diperoleh dikualifikasikan sesuai dengan

permasalahan penelitian kemudian diuraikan dengan cara menganalisis

data yang diperoleh dari hasil penelitian. Analisis terhadap data tersebut

disusun secara sistematis sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang

jelas dan lengkap dan dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang

menjawab rumusan masalah yang ada dalam penelitian.