1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang lebih dari 500 ml yang
terjadi setelah janin lahir. Perdarahan hebat adalah penyebab paling utama dari
kematian ibu di seluruh dunia. Di berbagai negara, paling sedikit seperempat dari
seluruh kematian ibu disebabkan oleh perdarahan.1
Kehamilan dan persalinan menimbulkan resiko kesehatan yang besar
termasuk bagi perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya.
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa dalam tahun 1995
hampir 515.000 ibu hamil meninggal karena komplikasi kehamilan dan
persalinan. Perdarahan hebat adalah penyebab paling utama dari kematian ibu di
seluruh dunia. Di berbagai negara, paling sedikit seperempat dari seluruh
kematian ibu disebabkan oleh perdarahan. Proporsinya berkisar antara kurang dari
10% sampai hampir 60%. Walaupun seorang ibu hamil dapat bertahan hidup
setelah mengalami perdarahan pasca persalinan, namun dia dapat mengalami
anemia berat dan masalah kesehatan yang berkepanjangan. Saat setelah kelahiran
bayi dan jam-jam pertama pasca persalinan adalah sangat penting untuk
pencegahan, diagnosis dan penanganan perdarahan. Dibandingkan dengan resiko
lain pada ibu seperti infeksi, maka kasus perdarahan dengan cepat dapat
mengancam jiwa. Oleh karena itu post natal care sangat diperlukan selain ante
natal care yang baik.1-4
2
BAB II
PERDARAHAN POST PARTUM
2.1 DEFINISI
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang lebih dari 500 ml yang
terjadi setelah janin lahir. 1-3
Berdasarkan waktu terjadinya, perdarahan post partum dibagi menjadi dua
yaitu : 1-3
1. Perdarahan post partum dini atau primer yaitu perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam setelah persalinan.
2. Perdarahan post partum lambat atau sekunder yaitu perdarahan yang
terjadi setelah 24 jam persalinan.
Berdasarkan jumlah darah yang keluar berdasarkan perkiraan perdarahan
yang terjadi maka perdarahan post partum dibagi menjadi dua yaitu :1-3
1. Perdarahan sedang yaitu bila jumlah darah yang dikeluarkan lebih dari
500 ml.
2. Perdarahan berat yaitu bila jumlah darah yang dikeluarkan lebih dari
1000 ml.
2.2 FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Beberapa faktor dapat menjadi faktor predisposisi dan etiologi terjadinya
perdarahan post partum, antara lain dibagi menjadi :2
1. Trauma traktus genitalis
Episiotomi yang luas
Laserasi perineum, vagina, atau serviks
Ruptur uteri
2. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta
a. Perdarahan atonis
Anestesi umum
3
Overdistensi uterus- anak besar, kehamilan kembar,
hidramnion
Partus lama
Partus presipitatus
Induksi persalinan dengan oksitosin
Paritas tinggi
Riwayat atoni uteri pada kehamilan sebelumnya
Korioamnionitis
b. Retensi plasenta
Kotiledon tertinggal, plasenta suksenturiata
Plasenta akreta, inkreta, perkreta
c. Gangguan koagulopati
2.3 Manifestasi Klinis2
1. Perdarahan Pervaginam
2. Konsistensi Rahim Lunak
3. Fundus Uteri Naik
4. Tanda-tanda syok
2.4 Perdarahan Post Partum
2.4.1 Atonia Uteri1,4
Atonia uteri adalah suatu kegagalan uterus untuk berkontraksi lima belas
detik setelah dilakukan rangsangan taktil terhadap fundus uteri. Atonia uteri dapat
pula diartikan sebagai kelelahan pada otot uterus sehingga tidak mampu lagi
berkontraksi, padahal kontraksi uterus diperlukan untuk konstriksi pembuluh
darah besar yang terbuka akibat pelepasan plasenta.
Secara fisiologis, dalam beberapa menit setelah kelahiran bayi, timbul
kontraksi uterus yang kuat dan pengurangan permukaan intrauterin yang
mengarah pada pemisahan plasenta dari tempat implantasinya pada desidua
maternal. Kehilangan darah sebesar 200-400 ml disebabkan terbukanya sinus-
sinus plasenta. Pada keadaan normal, jumlah perdarahan dibatasi oleh kontraksi
4
dari serabut miometrium karena pembuluh-pembuluh darah yang menyuplai sinus
plasenta dikelilingi oleh serabut otot polos tersebut dan akan terkompresi bila
serabut otot berkontraksi sehingga suplai darah ke sinus menurun.
Pada keadaan tertentu, terdapat gangguan terhadap mekanisme tersebut
yang mengarah pada terjadinya atonia uteri. Beberapa faktor predisposisi yang
dapat menyebabkan atonia uteri adalah: 1,4
A. Berasal dari kehamilan sebelumnya:
1. Paritas tinggi
2. Perdarahan post partum sebelumnya yang disebabkan oleh atonia uteri
3. Uterine fibroid
4. Luka parut pada uterus
5. Anomali pada uterus
6. Diskrasia darah
B. Berasal dari kehamilan sekarang:
1. Uterus terlalu teregang (overdistention)
2. Kelainan persalinan
3. Tindakan anestetik
4. Kelainan plasenta
5. Infeksi uterus
6. Pembedahan Caesar
7. Laserasi traktus genitalia
Kriteria diagnosis dari atonia uteri adalah :1
Kontraksi rahim buruk
Perdarahan banyak
Tidak ada perlukaan jalan lahir
Tidak ada sisa plasenta
Gangguan pembekuan darah
5
6
Gambar 1 Bagan penatalaksanaan Atoni Uteri5
Penatalaksanaan Atonia Uteri
Sebaiknya disuntikkan 10 unit Oksitosin segera setelah anak lahir sebagai
profilaksis pada semua pasien dengan kemungkinan atonia uteri. Berikut ini
adalah beberapa cara pemberian obat uterotonika : 1
Tabel 1 Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
7
Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara
pemberian awal
IV: infus 20 unit dalam 1 L larutan
garam fisiologis 60 gtt/menit
IM : 10 unit
IM atau IV (secara
perlahan) 0,2 mg
Oral 700 mcg atau
rektal 400 mcg
Dosis lanjutan IV: Infus 20 unit dalam 1L larutan
garam fisiologis 40 gtt/menit
Ulangi 0,2 mg IM setelah
15 menit. Jika masih
diper-lukan beri IM atau
IV setiap 2-4 jam
400 mcg 2-4 jam
setelah dosis awal
Dosis Maksimal per
hari
Tidak lebih dari 3 L larutan dengan
oksitosin
Total 1 mg atau 5 dosis Total 1200 mcg atau 3
dosis
Kontraindikasi Tidak boleh memberi IV secara
cepat atau bolus
Preeklampsia, vitium
kordis, hiper-tensi
Nyeri kontraksi, asma
Gambar 2 Atoni Uteri dan Massase Uterus7
2.4.2 Perlukaan Jalan Lahir
a. Vagina4
Perlukaan pada dinding depan vagina sering terjadi di sekitar
orifisium urethrae eksternum dan klitoris. Perlukaan pada klitoris dapat
menimbulkan perdarahan banyak. Terkadang perdarahan tidak cukup
dijahit tetapi perlu dicunam dalam beberapa hari. Robekan vagina sepertiga
bagian atas umumnya merupakan lanjutan robekan serviks uteri. Robekan
8
vagina umumnya terjadi sebagai akibat regangan jalan lahir yang
berlebihan dan tiba-tiba ketika janin dilahirkan.
Secara klinis akan terdapat darah dari jalan lahir setelah melahirkan
dan diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan langsung menggunakan
spekulum. 4
Penjahitan secara simpul dilakukan dengan benang katgut kromik
No.0 atau 00, dimulai dari ujung luka terus sampai luka terjahit rapi.
b. Perineum4
Merupakan tempat perlukaan tersering. Tingkat perlukaan pada
perineum dapat dibagi dalam :
Tk I : bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina
atau kulit perineum.
Tk II : perlukaan lebih dalam dan luas ke vagina dan
perineum dengan melukai fasia serta otot-otot
diafragma urogenitale.
Tk III : perlukaan yang lebih luas dan dalam hingga
muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan.
Penanganannya tergantung tingkat perlukaan:
Tk I : Tidak diperlukan penjahitan.
Tk II, : Lapisan otot dijahit simpul dengan katgut kronik no.0 atau
00, dengan mencegah adanya ruang mati. Karena ruang mati dapat
memudahkan tertimbunnya darah beku dan terjadi radang. Lalu lapisan
kulit dijahit dengan katgut atau sutera secara simpul. Jahitan sebaiknya
tidak terlalu ketat, sebab beberapa jam kemudian di tempat perlukaan
akan timbul edema.
Tk III : Pertemukan kedua ujung muskulus sfingter ani eksternus,
lalu ujung otot dijepit dengan cunam Allis, kemudian dijahit dengan
benang katgut kromik no.0 atau 00, sehingga kontinuitas sfingter
terbentuk kembali. Simpul jahitan pada ujung-ujung otot sfingter
9
hendaknya dibenamkan ke arah mukosa rektum. Selanjutnya,
penjahitan jaringan dilakukan seperti pada penjahitan luka Tk. II.
c. Serviks uteri2,4
Robekan serviks bisa menimbulkan perdarahan banyak, khususnya
bila jauh ke lateral sebab tempat itu terdapat ramus desendens dari arteria
uterina. Perlukaan ini dapat terjadi pada persalinan normal, tetapi tersering
pada tindakan persalinan buatan dengan pembukaan yang belum lengkap
serta pada partus presipitatus dimana pembukaan juga belum lengkap
tetapi kontraksi rahim telah kuat dan sering.
Diagnosis dengan pemeriksaan in spekulo. Bibir serviks dijepit
dengan cunam atraumaik, kemudian diperiksa secara cermat. Bila sifat
robekan memanjang, maka luka dijahit dari ujung yang paling atas, terus
ke bawah. Pada robekan serviks bentuk melingkar, periksa jika sebagian
besar serviks telah lepas maka bagian tersebut dipotong. Jika hanya
sebagian kecil yang terlepas maka cukup dijahit. Lalu perlukaan dirawat
untuk menghentikan perdarahan. 2,4
d. Korpus uteri (Ruptur Uteri)2,4
Merupakan robekan yang paling berat dan biasa terjadi saat
persalinan. Mekanismenya dapat spontan atau karena ruda
paksa(persalinan buatan). Lokasi dapat di korpus uteri atau segmen bawah
uterus. Robekan dapat terjadi pula di luka parut yang lemah bekas seksio
sesarea. Robekan dapat pula terjadi tanpa didahului luka parut, jika
memang segmen bawah uterus tipis sekali dan renggang karena janin
mengalami kesulitan untuk melalui jalan lahir. 3
Ruptur uteri dapat dibagi sebagai berikut :
1. Spontan
a. Dinding rahim lemah, seperti pada luka SC dan hiplasi uteri
10
b. Dinding rahim baik, tetapi robekan terjadi karena bagian depan tidak
maju, misalnya pada panggul sempit atau kelainan letak.
2. Rudapaksa / Violent
Karena trauma, pertolongan versi dan ekstraksi
Gejala-gejala ruptur uteri :
1. Sewaktu kontraksi yang kuat, pasien tiba-tiba merasa nyeri yang
menyayat di perut bagain bawah
2. Segmen bawah rahim nyeri sekali pada saat dilakukan palpasi
3. His berhenti/hilang
4. Ada perdarahan pervaginam
Penanganannya ialah dengan pemberian transfusi darah segera, lalu
laparotomi. Jenis operasi yang dilakukan ialah penjahitan luka pada
dinding uterus atau pengangkatan uterus.
2.4.3 Retensi plasenta1,3,6
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga
atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan
pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus.
Jenis – jenis retensio plasenta
Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki
sebagian lapisan myometrium.
Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai atau
memasuki myometrium.
Plasenta perkreta adalah implntasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri yang
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.
11
Gejala Separasi/akreta
parsial
Plasenta
inkarserata
Plasenta akreta
Konsistensi uterus Kenyal keras cukup
Tinggi fundus Sepusat 2 jari di bwh pusat sepusat
Bentuk uterus Diskoid agak globuler diskoid
Perdarahan sedang-banyak sedang sedikit/ tidak ada
Tali pusat terjulur sebagian terjulur tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka konstriksi terbuka
Separasi plasenta lepas sebagian sudah lepas melekat
seluruhnya
Syok Sering jarang jarang sekali,
kecuali akibat
inversion oleh
tarikan kuat pd
tali
pusat
Penanganan
Jika plasenta terlihat dalam vagina, minta ibu untuk mengedan sehingga dapat
merasakan plasenta dalam vagina lalu keluarkan.
Pastikan kandung kemih sudah kosong, bila perlu lakukan pemasangan
kateterisasi kandung kemih.
Jika plasenta belum keluar berikan oksitosin 10 unit im (jika belum dilakukan
pada penanganan aktif kala 3).
Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus
terasa kontraksi lakukan penarikan tali pusat terkendali.
Jika traksi tali pusat belum berhasil, coba untuk melakukan pengeluaran
plasenta secara manual.
12
Untuk melepaskan plasenta yang melekat kuat mungkin merupakan plasenta
akreta, sehingga usaha pelepasan plasenta dapat menyebabkan perdarahan berat
atau perforasi uterus yang biasanya membutuhkan tindakan histerektomi.
Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji pembekuan darah sederahana,
bila terjadi kegagalan pembentukkan pembekuan darah setelah 7 menit atau
adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya
koagulopati.
2.4.3.1 Sisa plasenta
Perdarahan postpartum yang dini maupun yang lanjut dapat terjadi karena
tidak keluar dengan komplitnya plasenta setelah janin lahir sehingga inspeksi
plasenta setelah persalinan harus dilakukan secara rutin.
Pada sebagian besar kasus plasenta terlepas secara spontan dari tempat
implantasinya dalam waktu beberapa menit setelah janin lahir. Dengan
terlepasnya plasenta, arteri-arteri dan vena-vena uteri yang mengangkut dari dan
ke plasenta terputus secara tiba-tiba. Di tempat implantasi plasenta, yang paling
penting untuk hemostasis adalah kontraksi dan retraksi miometrium untuk
menekan pembuluh dan menutup lumennya. Potongan plasenta atau bekuan darah
besar yang melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi miometrium yang
efektif sehingga hemostasis di tempat implantasi terganggu.
Manifestasi klinik
Pendarahan
Kontraksi tidak baik
Pada pemeriksaan dalam teraba sisa plasenta
Penatalaksanaan sisa plasenta adalah dengan pengeluaran secara digital atau
kuretase.
2.4.4 Gangguan Pembekuan Darah
13
Gangguan pembekuan darah dapat diderita oleh wanita hamil dan
kadang-kadang menyebabkan perdarahan postpartum.
Manifestasi klinis
Kontraksi baik
Tidak ada perlukaan jalan lahir
Tidak ada sisa jaringan
Terdapat gangguan faktor perdarahan
Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin, hematokrit
Faktor pembekuan darah
Waktu perdarahan
Masa pembekuan
Trombosit
Fibrinogen4
Penatalaksanaan :
Heparin
Pemberian infus heparin akan menghambat DIC baik oleh abruptio
placenta maupun penyebab lain dengan syarat keadaan vaskularisasi tidak
terganggu
.
Epsilon-Aminocaproic Acid
Pemberian asam epsilon-aminocaproic telah digunakan untuk mengontrol
fibrinolisis melalui penghambatan konversi plasminogen menjadi plasmin
14
dan aktifitas proteolitik dari plasmin terhadap fibrinogen, monomer fibrin,
dan polimer fibrin (bekuan darah). Kegagalan untuk membersihkan
polimer fibrin dari sirkulasi mikro dapat menyebabkan iskemi organ dan
infark, seperti nekrosis corteks ginjal. Pemberian terapi ini tidak
direkomendasikan pada hampir semua tipe koagulopati obstetris.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Bandung. Pedoman Diagnosis dan Terapi dan Ginekologi RS. DR. Hasan
sadikin, Bagian Pertama Bandung: 2005
2. Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., Wirakusumah, FF. Obstetri Patologi
Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005
3. Craigo SD, Kapermick PS. Postpartum hemorrhage & the abnormal
puerperium. In: DeCherney AH, Pernoll ML, editors. Current obstetric &
gynecologic diagnosis & treatment. 10th ed. United States: Lange; 2007.
4. Cunningham FG, editor. Williams obstetrics. 24th edition. New York:
McGraw-Hill Medical; 2014.
5. Ilmu kandungan, yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo, jakarta, 2005
6. Prawirohardjo, S. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2006..
7. Saifudin, AB. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2004.
8. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage’. Diunduh dari
www.American Family Physician.com/htm/Prevention and Management of
Postpartum Hemorrhage’.
Recommended