Upload
mira-sharaswati
View
285
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Tiga penyebab kematian ibu yang paling lazim adalah perdarahan, infeksi, dan
penyakit hipertensi. Perdarahan yang terjadi saat persalinan merupakan akibat banyaknya
darah yang keluar dari tempat perlekatan plasenta, trauma traktus genitalia maupun
keduanya. Meskipun demikian, perdarahan post partum merupakan gambaran suatu kejadian,
dan bukan suatu diagnosis. Setengah dari kematian ibu yang diakibatkan perdarahan
dikarenakan perdarahan post partum (Bonnar, 2000).
Secara global, lebih dari setengah juta wanita meninggal setiap tahunnya yang
disebabkan oleh kehamilan dan persalinan. Perdarahan menyebabkan 28% penyebab
kematian maternal langsung dan tetap merupakan penyebab yang tersering kematian maternal
secara global. Pada negara maju, perdarahan post partum menempati rangking ketiga teratas
penyebab mortalitas maternal, bersama-sama dengan embolisme dan hipertensi. Pada negara
berkembang, beberapa negara mempunyai rasio mortalitas maternal melebihi 1000 wanita per
100.000 kelahiran hidup, dan WHO statistik menggambarkan bahwa 25% kematian maternal
diakibatkan oleh perdarahan post partum, yang dihitung lebih dari 100.000 kematian maternal
per tahun.
Perdarahan pospartum dini oleh karena atonia uteri merupakan salah satu 3 penyebab
terbesar kematian maternal di negara berkembang dan maju. Pencegahan, diagnosis dini, dan
manajemen yang benar, merupakan kunci untuk mengurangi dampak tersebut. Perawatan
intrapartum harus selalu menyertakan perawatan pencegahan perdarahan pospartum dini,
identifikasi faktor risiko, dan ketersediaan fasilitas untuk mengatasi kejadian perdarahan
pospartum dini.(1)
Penyebab yang sering perdarahan pospartum dini adalah atonia uteri. Faktor risiko
terjadinya atonia uteri: paritas yang tinggi, overdistended uterus (kehamilan multiple,
polihidramnion), persalinan lama atau terlalu cepat, riwayat induksi, dan penggunaan
magnesium sulfat. Tonus uteri biasanya dinilai dengan palpasi abdomen setelah persalinan;
walaupun kontraksi uterus normal, tetap dilakukan terapi untuk mencegah terjadinya atonia
uteri.(2)
BAB II
33
PERDARAHAN POST PARTUM
2.1. Definisi
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama post partum disebut sebagai
perdarahan post partum primer dan perdarahan yang berlebihan setelah 24 jam postpartum
disebut sebagai perdarahan post partum sekunder.1,3 Definisi yang pasti dari perdarahan post
partum (Hemoragia Post Partum, HPP) masih merupakan suatu masalah.3 HPP primer
didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 ml setelah persalinan pervaginam dan
lebih dari 1000 ml setelah operasi sesar (SC).1,2,3,4 Bagaimanapun, hampir separuh dari semua
wanita yang melahirkan per vaginam mengeluarkan darah dalam jumlah tersebut atau lebih,
apabila diukur secara kuantitatif.4 Wanita hamil normalnya mengalami hipervolemia selama
hamil, biasanya akan mengalami peningkatan volume darah sebesar 30 sampai 60 persen,
yang untuk wanita berukuran tubuh rata-rata setara dengan 1 sampai 2 liter. Karenanya, ia
dapat mentoleransi—tanpa mengalami penurunan bermakna hematokrit pascapartum—
perdarahan saat melahirkan yang volumenya mendekati jumlah darah yang ia tambahkan
selama hamil. Pada satu penelitian, rerata hematokrit pascapartum menurun sebesar 2,6
sampai 4,3 persen volume; sepertiga wanita tidak memperlihatkan penurunan atau malah
mengalami peningkatan. Wanita yang menjalani seksio sesarea mengalami penurunan rerata
hematokrit 4,2 persen volume, tetapi 20 persen tidak memperlihatkan penurunan.4
Definisi lain dari The American College of Obstetricians and Gynecologist
(ACOG,1989) yaitu penurunan hematokrit peripartum lebih dari 10% atau perdarahan yang
memerlukan transfusi darah.2,3,5 HPP juga didefinisikan sebagai perdarahan yang
menyebabkan gangguan stabilitas hemodinamik.3,5 Secara umum, derajat gangguan
hemodinamik atau syok berhubungan langsung dengan jumlah darah yang hilang.
Setiap klinisi harus mewaspadai pada beberapa wanita dengan keadaan tertentu yang
kehilangan darah dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan gangguan hemodinamik
seperti pada preeklampsia, anemia dan wanita dengan tubuh yang pendek (small stature).3
Tabel 1. Temuan Klinis pada HPP
33
Dikutip dari Prevention and Management of PostPartum Haemorrhage, SOGC Clinical Practice Guidelines, April 2000
2.2. Faktor resiko
HPP yang bermakna merupakan komplikasi 2-4% persalinan pervaginam dan 6% dari
SC.5 Faktor risiko prenatal antara lain perdarahan sebelum persalinan, solusio plasenta,
plasenta previa, kehamilan ganda, preeklampsia, khorioamnionitis, hidramnion, IUFD,
anemia (Hb< 5,8), multiparitas, mioma dalam kehamilan, gangguan faktor pembekuan dan
riwayat perdarahan sebelumnya serta obesitas.6,7 Faktor risiko saat persalinan pervaginam
yaitu kala tiga yang memanjang, episiotomi, distosia, laserasi jaringan lunak, induksi atau
augmentasi persalinan dengan oksitosin, persalinan dengan bantuan alat (forseps atau
vakum), sisa plasenta, dan bayi besar (>4000 gram).5,6 Faktor risiko perdarahan setelah SC
adalah insisi uterus klasik, amnionitis, preeklampsia, persalinan abnormal, anesthesia umum,
partus preterm dan postterm.5
2.3. EtiologiHPP terjadi pada 5-15% dari persalinan, penyebabnya akibat dari abnormalitas salah
satu dari 4 proses dasar yaitu singkatan “4T” yang bereaksi secara individual atau dalam
kombinasi dari Tone (tonus uterus), Tissue (tertahannya sisa hasil konsepsi seperti plasenta,
atau bekuan darah), Trauma (pada genitalia) dan Thrombin (gangguan hemostasis).1,2,3
1. Tone (Tonus Uterus)
Kegagalan otot-otot miometrium untuk berkontraksi dan beretraksi setelah persalinan
dapat menyebabkan perdarahan yang sangat cepat dan hebat dan dapat terjadi syok
33
hipovolemik.2,4 Uterus yang overdistensi, baik absolut atau relatif merupakan faktor risiko
mayor untuk terjadinya atonia. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan
ganda, janin makrosomia, polihidramnion, kelainan pada janin (hidrosefalus), kelainan
struktur uterus (mioma uteri, uterus bikornus, dll), atau kegagalan untuk melahirkan
plasenta atau distensi akibat darah sebelum atau sesudah kelahiran plasenta.
Kontraksi miometium yang tidak baik dapat terjadi kelelahan akibat dari persalinan
yang lama atau partus presipitatus dan pada persalinan yang di induksi atau augmentasi
dengan oksitosin.2,4 Juga dapat terjadi akibat dari inhibisi kontraksi oleh obat-obatan
seperti obat anestesi halogen, nitrat, NSAID, mahnesium sulfat, beta-simpatomimetik,
dan nifedipine.2 Wanita dengan paritas yang tinggi juga mempunyai risiko yang tinggi
untuk terjadi atonia uteri.Babinszki dkk melaporkan insidens HPP terjadi pada 0,3% pada
wanita dengan paritas rendah sedangkan 1,9% terjadi pada wanita dengan paritas 4 atau
lebih.4
2. Tissue
Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan pelepasan dan pengeluaran plasenta.
Retensi dari bagian plasenta lebih sering terjadi jika plasenta dengan lobus suksenturia
atau aksesorius. Setelah kelahiran plasenta dan jika perdarahan minimal terjadi, plasenta
harus diinspeksi untuk melihat adanya pembuluh darah yang melewati ujung dari plasenta
dan berakhir pada robekan dari membran.1,2
Plasenta lebih sering tertinggal pada kehamilan preterm (khususnya < 24 minggu
kehamilan.2
Kegagalan pemisahan seluruhnya dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan
variannya. Pada kondisi ini plasenta berinvasi melewati bidang pembelahan desidua
basalis yang normal. Perdarahan yang bermakna dari area implantasi plasenta merupakan
tanda adanya plasenta akreta. Kondisi ini harus dipikirikan jika plasenta berimplantasi
pada skar uterus sebelumnya, khususnya jika dihubungkan dengan plasenta previa. Semua
pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan risiko untuk terjadinya HPP yang
berat, termasuk kemungkinan untuk transfusi sampai dengan histerektomi. Darah dapat
mendistensi uterus dan mencegah kontraksi uterus yang efektif (“bleeding bedget
bleeding”).2
3. Trauma
33
Kerusakan genitalia dapat terjadi secara spontan atau melalui manipulasi yang
digunakan untuk melahirkan bayi. SC menghasilkan 2 kali lipat kehilangan darah
dibandingkan dengan pervaginam.
Trauma dapat terjadi setelah persalinan yang sangat lama atau sulit, khususnya jika
pasien mempunyai relatif atau absolut CPD dan uterus telah distimulasi dengan oksitosin
atau prostaglandin.
Laserasi serviks lebih sering terjadi pada persalinan dengan forseps. Persalinan yang
diabntu dengan instrumen (forsep atau vakum) tidak boleh dilakukan pada serviks yang
belum berdilatasi lengkap. Laserasi serviks juga dapat terjadi spontan, jika ibu tidak kuat
menahan untuk tidak mengedan sebelum serviks berdilatasi lengkap.
4. Thrombin
Pada periode postpartum awal, gangguan koagulasi dan trombosit biasanya tidak
menyebabkan perdarahan yang hebat. Trombositopenia dihubungkan dengan penyakit
sebelumnya, seperti idiopatik trombositopenia purpura (ITP), atau akibat sekunder dari
sindrom HELLP, solusio plasenta, Disseminasi Intravaskulas Koagulasi (DIC) atau
sepsis.
2.3. Pencegahan
Bukti-bukti kuat merekomendasikan manajemen aktif kala III persalinan menurunkan
insidens dan derajat HPP. Manajemen aktif kala III adalah kombinasi dari pemberian
oksitosin segera setelah kelahiran bayi, menjepit dan memotong tali pusat secepatnya dan
peregangan tali pusat terkendali.1,2,3
Sintometrine telah memperlihatkan superioritasnya dibandingankan dengan
pemberian 5 atau 10 IU oksitosin untuk menurunkan HPP yang lebih dari 500 ml, tetapi harus
diingat bahwa sintometrine meningkatkan risiko hipertensi.1
Dua RCT telah memperlihatkan keefektifan dari misoprostol untuk profilaksis HPP.
Keduanya menjanjikan meskipun bukan merupakan penelitian yang double blind dan sampel
yang kurang besar untuk pembuktian secara statistik. Penelitian yang luas sekarang sedang
berlangsung. Jika ditemukan efektif, keuntungan dari misoprostol adalah karena biaya yang
rendah dan pemberian yang non parenteral dan juga misoprostol dapat disimpan dalam
jangka waktu yang lama pada temperatur ruangan.3
Tabel 2. Etiologi dan faktor risiko dari “4T”
33
Dikutip dari Ramanathan G, Arulkumaran S. Postpartum haemorrhage. Current obstetrics & Gynecology (2006) 16, 6 -13. www.elsevier.com/locate/curobgyn.
33
Analog sintetik terbaru dari oksitosin, carbetocin, sedang diteliti untuk menentukan
apakah dapat digunakan untuk pencegahan dan penatalaksanaan HPP. Ini merupakan obat
yang bereaksi lama mempunyai onset yang cepat dan T1/2 40 menit dibandingkan oksitosin
yang hanya 4 – 10 menit. Dua penelitian RCT double blind di Canada membandingkan bolus
IV tunggal carbetocin dengan oksitosin infus pada wanita dengan SC. Carbetocin ditoleransi
dengan baik dan cukup efektif atau lebih efektif dibandingkan oksitosin yang dinilai dari
kebutuhan oksitosin tambahan.3
2.4. Tatalaksana
Kunci penatalaksanaan HPP termasuk pengenalan cepat dan diagnosis kondisi,
restorasi volume darah dan secara simultan mencari penyebabnya.1 Diagnosis HPP
ditegakkan dengan mengobservasi jumlah perdarahan dan gejala klinis pasien.2 Meskipun
gambaran klinis dari HPP sering sangat dramatik, perdarahan dapat perlahan-lahan dan gejala
klinis dari hipovolemia dapat terjadi lebih lama, khususnya jika akibat dari jaringan plasenta
yang tertinggal atau trauma atau jika tersembunyi membentuk hematoma.1
Perdarahan bermakna yang mengancam jiwa dapat terjadi tanpa diprediksi
sebelumnya, langkah bertahap yang jelas dan logik merupakan hal yang esensial dalam
penatalaksanaan HPP. Algoritme penatalaksanaan HPP dengan mengunakan singkatan
“HAEMOSTASIS”1
1. Help (mencari bantuan)
HPP dapat menyebabkan kolaps sirkulasi sistemik dalam beberapa menit,
membutuhkan pendekatan multidisiplin yang sangat vital pada awal dari langkah
penatalaksanaan. Membutuhkan bantuan mulai dari tim obstetri, konsultan obstetri, bidan
yang bertugas, anestesi, staff ruang operasi, bank darah, hematologi dan ICU.1,2
2. Asses (menilai status hemodinamik & kehilangan darah) dan resusitasi
Penilaian tanda vital (tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah dan saturasi oksigen jika
tersedia) dan jumlah kehilangan darah harus dikerjakan saat awal dan berlanjut selama
resusitasi berlangsung. Pasang kanul IV terutama dengan kanul IV no 14 jika tersedia.
Infus yang cepat dengan kristaloid atau koloid sampai tersedia darah. Berikan 100%
oksigen dengan masker sangat berguna. Ambil darah untuk pemeriksaan darah lengkap,
profil hemostasis, ureum-kreatinin dan elektrolit, dan juga darah untuk bank darah.1,2
Resusitasi cairan pada perdarahan obstetri kadang-kadang berlebihan. Alasan yang
memungkinkan termasuk akibat dari kurangnya penilaian dari volume dan kecepatan
33
kehilangan darah, keterlambatan timbulnya gejala hipovolemia pada wanita dengan
mekanisme kompensasi yang baik dan adanya hipervolemia saat kehamilan,
pertimbangan bahwa jika resusitasi berlebihan akan menyebabkan edema paru, dan
kegagalan pengenalan perpindahan cairan di dalam tubuh.1,2
3. Establish etiology, ensure avaibility of blood (mencari etiologi, memastikan ketersedian
darah)
Secara simultan mencari etiologi dari perdarahan selama resusitasi sedang
berlangsung.
Tone : nilai ukuran dan tonus uterus. Jika kontraksi uterus tidak baik, lakukan masase
uterus dan berikan uterotonik. Kosongkan kandung kemih dapat memfasilitasi
kontraksi uterus dan membantu penilaian selanjutnya.
Tissue : pastikan kelengkapan plasenta dan membran. Jika ragu, eksplorasi manual
sebaiknya dilakukan, idealnya dalam anestesia. Hati-hati terhadap risiko inversio uteri
pada uterus yang kontraksinya tidak baik. Berikan antibiotik spektrum luas setelah
eksplorasi manual atau instrumentasi uterus.
Trauma : trauma genitalia penyebab tersering jika perdarahan tetap berlangsung
meskipun uterus berkontraksi baik. Pemeriksaan dalam anestesia sebaiknya
dikerjakan, khususnya mencari laserasi pada serviks atau pada forniks vagina,
termasuk uterus atau hematoma pada liamentum latum dan retroperitoneal. USG
dapat dikerjakan untuk melihat adanya cairan bebas di abdomen pada persalinan yang
traumatik atau jika kondisi pasien memburuk dibandingkan yang diharapkan dari
kehilangan darah yang terlihat. Kateter folley untuk mencegah retensi urine dan
tampon vagina dapat berguna.
Thrombin : Jika pada eksplorasi telah menyingkirkan adanya jaringan yang tertinggal
atau trauma, perdarahan terus berlangsung pada uterus yang berkontraksi baik,
penyebab tersering adalah adanya gangguan hemostasis. Penggantian produk darah
sebaiknya diberikan secara tepat. Jika hasil tes hemostasis abnormal dari onset HPP,
pikirkan penyebab dasarnya (seperti solusio plasenta, sindrom HELLP, AFLP, IUFD,
emboli cairan ketuban atau septikemia).
Transfusi darah dan produk darah mungkin dibutuhkan jika perdarahan terus
berlangsung, jika lebih dari 30% volume darah telah hilang atau jika gejala klinis pasien
memperlihatkan syok. Tujuannya adalah untuk secara cepat mentransfusi 2-4 unit PRC
33
untuk mengembalikan kapasitas pengantar oksigen dan mengkoreksi ganggauan
koagulasi. Anestesi dan hematologi harus ikut serta untuk memastikan resusitasi yang
optimal.1
Pada wanita sehat sebelumnya, koagulopati dilusional terjadi jika kurang lebih 80%
dari volume darah asli telah diganti dan diseminasi intravaskular koagulasi dapat terjadi
jika syok sudah menyebabkan hipoperfusi yang bermakna pada jaringan perifer,
menyebabkan kerusakan dan pelepasan thromboplastin jaringan (peningkatan kadar d-
dimer, kadar fibrinogen yang rendah, dan PT & APTT yang memanjang). Produk darah
seperti fresh frozen plasma (FFP), cryopresipitate untuk menyediakan bentuk yang lebih
terkonsentrasi dari fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan yang lain dan transfusi
trombosit mungkin dibutuhkan. Rekomendasinya bahwa 1L FFP sebaiknya diberikan
setiap 6 unit transfusi darah.1
4. Massage the uterus (masase uterus)
Masase uterus tetap dikerjakan jika uterus tetap atonia, baik secara manual dengan
tangan di fundus atau bimanual dengan satu tangan di forniks anterior vagina dan tangan
yang lain di aspek posterior dari fundus. Kompresi ini mengeluarkan bekuan darah dan
menstimulasi kontraksi uterus. Masase bimanual mengurangi perdarahan, meskipun
uterus tetap relatif atonia, sementara resusitasi tetap berlangsung untuk mengejar
kehilangan darah yang terjadi.1
5. Oxytocin infusion/prostaglandin (iv/per rectal/ im/ intramyometrial)
Infus oksitosin(sintosinon 40 unit dalam 500ml 0,9% normal salin, infus dengan rate
125 ml/jam) dapat digunakan untuk mempertahankan kontraksi uterus.1 Oksitosin
merupakan hormon sintetik yang diproduksi di lobus posterior hipofisis. Obat ini
meyebabkan kontraksi uterus, yang efeknya meningkat dengan peningkatan usia
kehamilan karena berkembangnya reseptor oksitosin yang semakin banyak. Dapat
diberikan IV atau IM. Untuk pasien dengan perdarahan aktif, infus kontinyu dari NS atau
RL dengan 20 unit oksitosin per liter sebaiknya dikerjakan. Tidak ada kontraindikasi
penggunaan obat ini untuk mencegah dan tatalaksana HPP.3
Methylergonovine maleat adalah suatu alkaloid ergot yang menghasilkan kontraksi
tetanik uterus dalam 5 menit setelah injeksi IM. Diberikan secara IM dengan dosis 0,25
mg, yang dapat diulang setiap 5 menit sampai maksimal dosis 1,25 mg. Obat ini diketahui
33
menyebabkan vasospasme perifer dan dapat mengeksaserbasi hipertensi. Sebaiknya tidak
digunakan untuk pasien dengan hipertensi.3
Lini kedua untuk atonia uterus adalah carboprost (15-methyl prostaglandin F2α), 0,25
mg im dalam, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimal 2 mg.
Carboprost telah memperlihatkan 80-90% efektif dalam menghentikan HPP pada kasus
yang refrakter terhadap oksitosin dan ergometrine. Bagaimanapun, keefektifan dan efek
samping belum dapat dievaluasi, setelah ada laporan hipotensi berat dan henti jantung
setelah pemeberian sistemik. Pemberian per rektal misoprostol (800-1000 mcg), yang
merupakan suatu analog prostaglandin E1, telah berkembang sebagai suatu agen yang
bermakna dalam penatalaksanaan HPP, khususnya pada negara-negara yang sedang
berkembang karena biaya yang rendah dan penyimpanan yang relatif mudah.1,2
6. Shift to theatre-exclude retained products and trauma:bimanual compression (Pindahkan
ke ruang operasi – singkirkan akibat tertinggalnya sebagian plasenta dan trauma:
kompresi bimanual).
Perdarahan yang terus berlangsung membutuhkan evaluasi yang lebih mendetail di
ruang operasi. Nilai ulang tonus uterus, singkirkan inversio uterus dan periksa ulang
adanya jaringan yang tertinggal dan trauma. Kompresi bimanual dan tekanan langsung
pada laserasi dapat membantu mengkontrol perdarahan sementara menunggu persiapan
intervensi selanjutnya dan koreksi dari koagulopati.1,2,3
7. Tamponade (balloon) or uterine packing (tampon atau packing uterus)
Tampon uterus tidak digunakan lagi selama tahun 1960an karena tidak fisiologis,
kehilangan darah tersembunyi yang terus terjadi dan peningkatan risiko infeksi
merupakan alasannya. Tampon uterus yang sukses menggunakan alat balon yang
bermacam-macam, seperti Sengstaken-Blakemore esofgus kateter, balon hidrostatik
urologik Rusch dan balon “Bakri SOS”. Pemasukan balon merupakan teknik yang
sederhana dan volume sebesar 300-500 ml biasanya dibutuhkan untuk tekanan yang
cukup baik dan menghentikan perdarahan dari sinus-sinus uteri. Kemampuan tampon
untuk menghentikan perdarahan mempunyai nilai keefektifan sebesar 87% dalam
penatalaksanaan HPP tanpa kebutuhan untuk intervensi secara operatif. Jika tidak tersedia
balon, tampon uterus dengan kassa steril dapat dikerjakan.1,2,5
33
8. Apply compression sutures (jahitan kompresi uterus)
Penatalaksanaan operatif dibutuhkan jika tampon uterus gagal untuk menghentikan
perdarahan, atau perdarahan yang mengancam jiwa terus terjadi. Keterlambatan
laparatomi untuk mempertahankan fertilitas seharusnya seimbang dengan pencegahan
hasil yang fatal, dibutuhkan persetujuan dari pasien. Jika persetujuan dari pasien tidak
memungkinkan, selanjutnya diinformasikan kepada keluarga pasien kemungkinan untuk
sampai terjadi histerektomi. Selama laparatomi, keputusan harus dibuat apakah
penatalaksanaan konservatif dapat dicoba atau apakah penatalaksanaan radikal
dibutuhkan segera. Penilaian kehilangan darah total, status hemodinamik dan kemampuan
untuk bertahan selama perdarahan terus berlangsung sebaiknya dibuat bersama-sama
dengan anestesi.
Jika pasien stabil dan kompresi bimanual uterus berhasil menghentikan perdarahan,
maka jahitan kompresi uterus mungkin bermakna. B-Lynch (1998) menggambarkan
teknik untuk HPP sebagai alternatif untuk histerektomi atau ligasi arteri hipogastrika.
Dengan teknik ini, benang yang diabsorbsi lambat ditempatkan pada segmen uterus
bawah lalu ke arah fundus membentuk lingkaran sampai ke segmen bawah posterior pada
bagian sebaliknya. Dan jahitan kembali ke anterior uterus sampai dengan segmen bawah
anterior dan lalu diikat yang akan menghasilkan kompresi uterus kontinyu.1,5
9. Systematic pelvic devascularisasi (devaskularisasi pelvis sistematis)
Pertimbangan selanjutnya pada HPP yang tidak dapat diatasi adalah ligasi pembuluh
darah yang menyuplai darah ke uterus. Arteri uterina yang menyuplai kurang lebih 90%
darah ke uterus, arteri ovarika cabang tuba dan arteri iliaka interna.1
Ligasi arteri uterina pertama kali diperkenalkan oleh Waters pada tahun 1952 dan dan
mempunyai tingkat kesuksesan sebesar 80-90%.3 Ligasi arteri uterina dikerjakan dengan
menggunakan jarum tapper besar dan benang yang diserap ukuran no.0 atau no.1. Ligasi
dikerjakan disekitar arteri uterina asendens dan venanya pada level tepat di bawah dari
insisi standar uterus tranversa rendah. Jarum dimasukkan ke miometrium dari anterior ke
posterior kurang lebih 2 cm medial ke batas lateral dari uterus, kemudian dari posterior
miometrium ke anterior melalui ruang avaskular dari ligamentum latum sebelah lateral
dari pembuluh darah, lalu disimpul. Dilakukan pada kedua arteri uterina kanan dan kiri.
Cabang tuba dari kedua arteri ovarika dapat diligasi jika perdarahan masih terus berlanjut.
Merupakan prosedur yang sederhana; medial terhadap ligamentum ovarium, jarum
dimasukkan melalui area yang bersih dari pembuluh darah dari mesosalping pada kedua
33
sisi dari pembuluh darah, kemudian disimpul dan dilakukan pada kedua arteri
ovarika.1,3,4,5
Ligasi arteri iliaka interna pertama kali diperkenalkan oleh Kelly pada akhir abad ke
19 yang digunakan untuk mengkontrol perdarahan akibat karsinoma serviks.3,5 Sangat
efektif dalam mengurangi perdarahan dari semua sumber pada traktus genitalia. Tetapi
teknik ini lebih sulit untuk dikerjakan dan sering menyebabkan kerusakan struktur
disekitarnya, jadi harus dipertimbangkan keuntungannya dibandingkan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan ligasi ini. Syarat untuk prosedur ini antara lain pasien stabil,
ahli bedah yang berpengalaman dan familiar dengan prosedur ini dan keinginan untuk
mempertahankan fungsi reproduksi. Ruang retroperitoneal harus dibuka, identifikasi
bifurkasio arteri iliaka komunis dan identifikasi ureter yang melewatinya kemudian
diretraksi ke medial dan arteri diligasi 2,5 cm distal dari bifurkasio arteri iliaka komunis
dengan benang yang tidak diabsorbsi arteri iliaka interna diikat pada 2 tempat dengan
jarak 1,5 sampai 2 cm. Arteri ilika komunis tidak dipotong. Nadi arteri iliaka eksterna dan
femoralis harus diidentifikasi sebelum dan setelah ligasi.1,2,3,4,5
10. Interventional radiologist – if appropiate, “uterine artery embolization” (embolisasi
arteri uterina)
Embolisasi angiografi pada penatalaksanaan HPP pertama kali diperkenalkan lebih
dari 30 tahun yang lalu. Beberapa seri kasus menyarankan bahwa embolisasi arteri
selektif mungkin berguna pada situasi dimana fungsi reproduksi dipertahankan, dimana
perdarahan tidak terlalu berat atau pada perdarahan post operasi, pada tatalaksana
hematoma dan adanya koagulopati. Prosedur ini biasanya dikerjakan oleh seorang
radiologi intervensionist dengan bantuan fluoroskopi: kateter dimasukkan melalui arteri
femoralis untuk mencapai pembuluh darah target (arteri iliaka interna, uterina dan
ovarika) dan oklusi dikerjakan dengan material yang bermacam-macam termasuk spons
gelatin, busa poliurethane atau polivinil alkohol, yang biasanya diabsorbsi dalam 10 hari.
Tingkat kesuksesannya mencapai 85-95% dan keseluruhan prosedur membutuhkan waktu
sekitar 1 jam. Komplikasi termasuk perforasi pembuluh darah, hematoma, infeksi, efek
samping dari kontras dan nekrosis uterus. Embolisasi profilaksis dapat dikerjakan pada
SC elektif dengan plasenta akreta atau inkreta.1,3
33
11. Subtotal or total abdominal hysterectomy (histerektomi subtotal atau total)
Histerektomi merupakan tindakan kuratif dan pilihan terakhir dalam penatalaksanaan
HPP. Ini mungkin dapat dikerjakan lebih awal jika kondisi hemodinamik pasien tidak
stabil atau jika terdapat perdarahan yang tidak dapat dikontrol oleh terapi medik dan
intervensi operatif.1 Insidens emergensi histerektomi peripartum dilaporkan pada
beberapa literatur bervariasi antara 7 sampai 13 per 10.000 kelahiran dan lebih tinggi
setelah SC dibandingkan per vaginam. Karena prosedur ini dikerjakan dengan perdarahan
aktif yang terus berlangsung, hal ini lebih cepat dikerjakan dengan menjepit, mengikat
dan memotong pedikel tepat dibawah level dari arteri uterina. Untuk menghindari
kerusakan terhadap ureter, arteri uterrina sebaiknya dijepit dekat dengan uterus juga
dengan ligamentum kardinal dan sakrouterina. Dianjurkan untuk meninggalkan vagina
sebaiknya sebagian terbuka, dengan atau tanpa drain, setelah memastikan sudut vagina
dengan jahitan delapan dan jahitan pada ujung vagina.1,2,3,4,5
Histerektomi subtotal juga dianjurkan untuk mengurangi waktu operasi dan
kehilangan darah. Meninggalkan serviks merupakan pilihan yang terbaik jika perdarahan
terkontrol. Jika tempat perdarahan pada segmen bawah uterus atau serviks, pada plasenta
previa atau dengan abnormal plasentasi makan dilakukan histerektomi total.3
Keuntungan dari histerektomi emergensi pada situasi dengan perdarahan yang masif
adalah kemampuan untuk mengangkat sumber perdarahan dan pengalaman dari operator
dengan prosedur histerektomi. Kerugiannya termasuk kehilangan uterus pada wanita yang
masih ingin mempunyai anak.1,2,3,5
33
BAB III
MANAJEMEN ATONIA UTERI
3.1. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus
merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri
terjadi karena kegagalan mekanisme ini.(3,4)
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut
miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi
plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.(4)
Terjadinya atonia uteri biasanya disebabkan karena kondisi-kondisi yang
menyebabkan overdistention uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion, atau paritas
tinggi.(1)
Table 2. faktor risiko atonia uteri.(1)
33
3.2. Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan
kebutuhan transfusi darah.(1)
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat,
dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin.
Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala
III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10
unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV pdri 100-150 cc/jam.(1)
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika
untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-
acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-
10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV
dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih
efektif dibanding oksitosin.(1)
3.3. Manajemen Atonia Uteri
1. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan
oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan
monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk
persiapan transfusi darah.(1)
2. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan
perdarahan.(5)
3. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini
menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur
kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi
33
dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat
diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20
IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek
samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping
lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.(1)
Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani
uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5
menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika
diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme
perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh
diberikan pada pasien dengan hipertensi.(1)
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat
diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan
rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis
maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum
(5 tablet 200 μg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi
dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi
sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang
disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan
disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar
dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk
mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-
96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu
dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.(1,6)
Table 3. Jenis-jenis uterotonika.(1)
Jenis obat Dosis Efek samping Kontraindikasi Oksitosin 10 IU IM/IMM
5 IU IV bolus 10-20 IU/liter
- sakit nausea, vomitus, intoksikasi cairan
Alergi obat
33
Metilergonovin maleat
0,25 mg IM, 0,125 mg IV, dapat diulang setiap 5 menit, dosis maksimum 5 mg
Vasospasme perifer, hipertensi, nausea dan vomitus
Alergi obat Hipertensi
Prostaglandin 0,25 IM/IMM, dapat diulang setiap 15 menit maksimum 8 mg
Muka kemerahan, diare, nausea, vomitus, gelisah, desaturasi oksigen
Alergi obat, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit hepar, penyakit ginjal
4. Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam cavum uteri
mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C
langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh
menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.(2)
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah
hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.(2)
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimum
pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan
dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang
selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah masuk. Uterine
packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan
dilakukan operasi.(1,2)
5. Operatif
• Ligasi arteri Uterina Gambar 1. ligasi arteri uterina.(1)
33
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-
90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi
batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan
segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan
benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-
3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum
latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi
harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3
cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika
terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi
kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina
atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah
rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus
berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.(1)
• Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus
dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah
peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal
bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan
menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari
trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus
dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.(1)
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan.
Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.(1)
33
• Teknik B-Lynch
Gambar 2. teknik B-Lynch.(7)
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch
1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia
uteri.(7)
• Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan
pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000
kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.(1)
3.3.1. Manajemen Aktif Kala III8
Tujuan manajemen aktif kala III adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih
efektif sehingga dapat mempersingkat waktu, mencegah perdarahan, dan mengurangi kehilangan
darah kala tiga persalinan jika dibandingkan dengan penatalaksanaan fisiologis. Sebagian besar
kasus kesakitan dan kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarahan pasca persalinan
dimana sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri dan retensio plasenta yang sebenarnya dapat
dicegah dengan melakukan manajemen aktif kala III.
Keuntungan-keuntungan manajemen aktif kala III, antara lain yaitu persalinan kala III
yang lebih singkat, mengurangi jumlah kehilangan darah, mengurangi kejadian retensio
plasenta.
Manajemen aktif kala tiga terdiri dari tiga langkah utama, yaitu :
a. pemberian suntikan oksitosin dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir
b. melakukan peregangan tali pusat terkendali
33
c. masase fundus uteri
BAB IV
IKHTISAR KASUS
33
I. IDENTITASNama ibu : Ny. B Nama suami : Tn. AUmur : 38 th Umur : 40 thAgama : Islam Agama : IslamPendidikan : SMP Pendidikan : SMPSuku : Jawa Suku : JawaAlamat : Sawah Baru Alamat : IdemPekerjaan : Ibu rumah tangga Pekerjaan : Wiraswasta
No RM : 97049
II. ANAMNESA
Autoanamnesa tgl 21/ 01/ 2010, Pk 13.30 WIB
Keluhan Utama: : Pasien datang dengan keluhan mules – mules sejak 15 jam
SMRS
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengaku hamil 9 bulan, HPHT 15 April 2009 sesuai dengan usia
kehamilan 39 minggu, TP 27 Januari 2010. Pasien merasa mules dirasa dari jam
22.00 malam, keluar air-air (-), lendir (+), darah (+), gerak janin aktif (+), mual
(-), nyeri kepala (-), pandangan berkunang – kunang (-), nyeri ulu hati (-) . ANC
teratur 1X/bulan di PKM Kampung Sawah, tidak pernah USG sebelumnya.
Riwayat Menstruasi :
menarche 12 th, teratur, siklus 30 hari, 5 hari, 2-3x ganti pembalut/ hari.
Dismenorrea (-)
Riwayat pernikahan :
Usia pernikahan I : 2 th ( cerai )
Usia pernikahan II : 17 tahun ( sampai saat ini )
Riwayat kehamilan :
1. PS, laki-laki, usia 18 th, BB lahir 3200 gr, dukun, sehat.
2. PS, laki-laki, usia 15 th, BB lahir 3400 gr, dukun, sehat.
3. PS, perempuan, usia 12 th, BB lahir 4000 gr, bidan, sehat.
4. PS, laki-laki, usia 10 th, BB lahir 3500 gr, bidan, sehat.
33
5. PS, perempuan, usia 6 th, BB lahir 3500 gr, bidan, sehat.
6. PS, laki-laki, usia 3 th, BB lahir 3500 gr, dokter, RSF, sehat.
7. Kehamilan saat ini.
Riwayat KB : (-)
Riwayat Operasi : tidak ada riwayat operasi uterus sebelumnya.
RPD : Trauma panggul (-), HT (+), DM (-), Asma (-), Penyakit
jantung (-), Riwayat atonia uteri pada kehamilan ke 3.
RPK : HT (-), DM (-), Asma (-), Penyakit jantung (-)
Riwayat kebiasaan : Merokok (-), minum alkohol (-), minum jamu(-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Ku/ Kes : Baik / CM
TD : 130/60 mmHg
N : 100x/menit
R : 20x/menit
S : 36,2 ºC
Status generalisMata : konjungtiva tidak pucat, tidak ikterik
Leher : KGB tidak membesar
Mammae : ASI -/-, bengkak -/-, retraksi -/-
Jantung : S1-S2 regular, murmur(-), gallop(-)
Paru : Sn vesikuler, Rh-/- , wh-/-
Abdomen : lemas, tanda akut abdomen (-), bu (+) N
Ekstremitas : akral hangat, oedem -/- , pucat +/+
Status obstetrikus
Anogenital
Leopold I : TFU 29 cm
Leopold II : punggung kanan
Leopold III : bagian terbawah kepala
33
Leopold IV : 1/5
His= 1X/10’/25’’; letak anak memanjang; TBJ : 2635 gr
I : V/U tenang, perdarahan aktif (-)
Io : portio licin, ostium terbnka, fluor (-), fluxus (-)
VT : portio lunak, aksial, t = 2 cm, ostium terbuka 6 cm, sel ket (+), kepala H I-II,
UUK anterior
IV. LABORATORIUM
DPL : Hb : 10.2 g/dl VER : 77.8 fl
Ht : 32 vol% HER : 24.6 pg
Leukosit : 12.8 ribu/ul KHER : 31. 6 g/dl
Trombosit : 210000/ul RDW : 15.1 %
Gol.darah : B
GDS : 97 mg/dl
Jantung : LDH : 319 u/l
CTG :
frekuensi dasar : 150
Variabilitas : 5-15
Akselerasi : +
Deselerasi : -
His : -
Gerak janin : +, klinis
Kesan : Reassuring
Tgl 21/01/2010 ( 14.30 WIB )
A : G7P6A0H39mgg, JPKTH, Inersia PK I aktif
P: Induksi augmentasi dengan oksitosin 5 IU/ 500 cc RL mulai 8 tpm, naikkan 4 tetes/30
menit s/d tercapai his adekuat
15.00 Tercapai his adekuat dengan Oksitosin 5 IU/ 500 cc RL 8 tpm
15.10 S : Ibu ingin meneran
O: KU/KS : sakit sedang / cm
33
TD : 130/60 mmHg
FN : 120X/m
RR : 20X/m
Stat generalis : dbn
Stat Obs : His 4X/ 10’/40”; DJJ : 142 dpm
I : vulva dan anus membuka, perineum menonjol
VT : diameter lengkap, kepala H III-IV, sel ket (-)
A : G7P6H39mgg, JPKTH, PK II
P : Pimpin meneran
15.15 Lahir spontan bayi perempuan, BB/P 2000kg/50cm, A/s 9/10
Bayi dikeringkan dan diselimuti, tali pusat dijepit dan dipotong
Ibu disuntik oksitosin 10 IU im
Dilakukan peregangan tali pusat terkendali
15.25 Lahir spontan plasenta lengkap. Masase fundus, kontraksi baik.
Pada eksplorasi didapatkan perineum intak.
Perdarahan kala III-IV ± 700 cc. Pemberian uterotonika, misoprostol 1000 µg,
RL oksitosin 20 tts/mnt
Pengawasan 2 jam post partum di belakang partograf
20.00 S: pusing berkunang-kunang, keringat dingin .
O: KU/KS : sedang/CM
TD : 100/60 mmHg; N: 120x/m; RR: 18x/m; S: af
Stat generalis : konjungtiva anemis +/+
Stat Obs : TFU sepusat, kontraksi hilang timbul.
I : v/u tenang, perdarahan aktif (-)
Io :tampak darah merembes dari dalam uterus.
A: P7Post Partum spontan 5 jam
Anemia ec. Perdarahan post partum
Takikardia ec anemia
P: Rdx/ : obs tanda vital, kontraksi, perdarahan tiap 15 menit s/d keadaan umum stabil.
Rth/ : RL oksitosin 20 IU/500cc RL 12 tts/menit pertahankan selama 12 jam PP
Transfusi PRC s/d Hb ≥ 8 gr/dl
Pasang condom catheter intra uterine 120 cc
Ceftriaxon 1X 2gr IV lanjut oral
33
V. RESUME
Autoanamnesa tgl 21/ 01/ 2010, Pk 13.30 WIB didapatkan :
Keluhan Utama: : Pasien datang dengan keluhan mules – mules sejak 15 jam
SMRS
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengaku hamil 9 bulan, HPHT 15 April 2009 sesuai dengan usia
kehamilan 39 minggu, TP 27 Januari 2010. Pasien merasa mules dirasa dari jam
22.00 malam, keluar air-air (-), lendir (+), darah (+), gerak janin aktif (+), mual
(-), nyeri kepala (-), pandangan berkunang – kunang (-), nyeri ulu hati (-). ANC
teratur 1X/bulan di PKM Kampung Sawah, tidak pernah USG sebelumnya.
Riwayat pernikahan :
Usia pernikahan I : 2 th ( cerai )
Usia pernikahan II : 17 tahun ( sampai saat ini )
Riwayat kehamilan :
8. PS, laki-laki, usia 18 th, BB lahir 3200 gr, dukun, sehat.
9. PS, laki-laki, usia 15 th, BB lahir 3400 gr, dukun, sehat.
10. PS, perempuan, usia 12 th, BB lahir 4000 gr, bidan, sehat.
11. PS, laki-laki, usia 10 th, BB lahir 3500 gr, bidan, sehat.
12. PS, perempuan, usia 6 th, BB lahir 3500 gr, bidan, sehat.
13. PS, laki-laki, usia 3 th, BB lahir 3500 gr, dokter, RSF, sehat.
14. Kehamilan saat ini.
Riwayat KB : (-)
RPD : Trauma panggul (-), HT (+), DM (-), Asma (-), Penyakit
jantung (-), Riwayat atonia uteri pada kehamilan ke 3.
RPK : HT (-), DM (-), Asma (-), Penyakit jantung (-)
Riwayat kebiasaan : Merokok (-), minum alkohol (-), minum jamu(-)
Dari pemeriksaan fisik didapat :
Ku/ Kes : Baik / CM
33
TD : 130/60 mmHg
N : 100x/menit
R : 20x/menit
S : 36,2 ºC
Status generalis : dbn Status obstetrikus
Anogenital
Leopold I : TFU 29 cm
Leopold II : punggung kanan
Leopold III : bagian terbawah kepala
Leopold IV : 1/5
His= 1X/10’/25’’; letak anak memanjang; TBJ : 2635 gr
I : V/U tenang, perdarahan aktif (-)
Io : portio licin, ostium terbnka 4 cm, fluor (-), fluxus (-)
VT : portio lunak, aksial, t = 2 cm, ostium terbuka 6 cm, sel ket (+), kepala H I-II,
UUK anterior
Laboratorium
DPL : Hb : 10.2 g/dl VER : 77.8 fl
Ht : 32 vol% HER : 24.6 pg
Leukosit : 12.8 ribu/ul KHER : 31. 6 g/dl
Trombosit : 210000/ul RDW : 15.1 %
Gol.darah : B
GDS : 97 mg/dl
Jantung : LDH : 319 u/l
CTG :
frekuensi dasar : 150
Variabilitas : 5-15
Akselerasi : +
Deselerasi : -
His : -
Gerak janin : +, klinis
5 jam post partum pada pukul 20.00 WIB
33
S: pusing berkunang-kunang, keringat dingin
O: KU/KS : sedang/CM
TD : 100/60 mmHg; N: 124x/m; RR: 18x/m; S: af
Stat generalis : konjungtiva anemis +/+
Stat Obs : TFU sepusat, kontraksi hilang timbul.
I : v/u tenang, perdarahan aktif (-)
Io :tampak darah merembes dari dalam uterus.
Lab 22/01/2010
Hb 7.0 g/dl
Ht 23 %
Lekosit 9.7 ribu/ul
Trombosit 149 ribu/ul
Eritrosit 2.81 juta/ul
A: P7Post Partum spontan 5 jam
Anemia ec. Perdarahan post partum
Takikardia ec anemia
P: Rdx/ : obs tanda vital, kontraksi, perdarahan tiap 15 menit s/d keadaan umum stabil.
Rth/ : RL oksitosin 20 IU/500cc RL 12 tts/menit pertahankan selama 12 jam PP
Transfusi PRC s/d Hb ≥ 8 gr/dl
VI. DIAGNOSA
Perdarahan post partum primer ec hipotoni uteri pada P7 post partum spontan
dengan anemia e.c HPP
VII. PENATALAKSANAAN
Rdx :
obsv. TN: AmSP, kontraksi dan perdarahan.
Cek DPL, UL, GDS, BT/CT, APTT/PTT, fibrinogen
Cross cek sedia darah
Rth/ : RL oksitosin 20 IU/500cc RL 12 tts/menit pertahankan selama 12 jam PP
Transfusi PRC s/d Hb ≥ 8 gr/dl
Pasang condom catheter intra uterine 120 cc
Ceftriaxon 1X 2gr IV lanjut oral
VIII. PROGNOSIS
33
Ad vitam: dubia ad bonam
Ad functionam: bonam
Ad sanationam: bonam
FOLLOW UP
22/01/2010 07.00 WIB
S : perdarahan aktif (-)
O : KU baik, kes : CM
TD : 110/80 mmHg
N : 88 X/m
S : af
RR : 16x/m
Stat generalis : konjungtiva anemis +/+
Stat Obs : TFU 1 jari dibawah pusat, kontraksi baik,
terpasang condom catheter intrautetrine
I : v/u tenang, perdarahan aktif (-)
A : P7 PP spontan 18 jam
Anemia e.c perdarahan post partum primer ec hipotoni uteri
P : Rdx/ Obs tanda vital, kontraksi, perdarahan./jam
Rth/ terpasang condom catheter intrauterine 120ml
AB : Amoxycillin 3X500mg po
Asam mefenamat 3X1 tab
SF 2X 1 tab
Transfusi PRC s.d Hb ≥8 gr/dl
Lab 22/01/2010
Hb 7.0 g/dl
Ht 23 %
Lekosit 9.7 ribu/ul
Trombosit 149 ribu/ul
Eritrosit 2.81 juta/ul
23/01/2010
S : perdarahan aktif ( - )
33
O : KU/KS : baik/CM
TD : 110/60 mmHg, ND : 88x/m, S: af, RR: 18x/m
Stat generalis : dbn
Stat obstetri : TFU 2 jbpst, kontraksi baik,
I : v/u tenang, perdarahan aktif ( - )
A : NH2 P7 PPspt
Riw HPP
Anemia e.c perdarahan post partum primer ec hipotoni uteri
P : Rdx/ Observasi tanda vital, kontraksi, perdarahan
DPL post transfusi
Rth/ Uterotonika oksitosin 20 IU / 500 cc/ RL/ 12 jam
Ceftriaxon 1X2 gr
Metronidazol 3 x 500 mg
Asam mefenamat 3 x 500 mg
SF 2x1 tab
24/01/2010
S : perdarahan aktif ( - )
O : KU/KS : baik/CM
TD : 110/60 mmHg, ND : 88x/m, S: af, RR: 18x/m
Stat generalis : konjungtiva anemis -/-
Stat obstetri : TFU 2 jbpst, kontraksi baik,
I : v/u tenang, perdarahan aktif ( - )
A : NH2 P7 PPspt
Riw HPP
Anemia e.c perdarahan post partum primer ec hipotoni uteri
P : Rdx/ Observasi tanda vital, kontraksi, perdarahan
Rth/ Uterotonika oksitosin 20 IU / 500 cc/ RL/ 12 jam
Ceftriaxon 1X2 gr
Metronidazol 3 x 500 mg
Asam mefenamat 3 x 500 mg
SF 2x1 tab
Lab 24/01/2010
Hb 9.1 g/dl
33
29/01/2010
S : perdarahan aktif (-)
O : KU baik, kes : CM
TD : 120/80 mmHg
N : 88 X/m
S : af
RR : 16x/m
Stat generalis : konjungtiva anemis -/-
Stat Obs : TFU tidak teraba
I : v/u tenang, perdarahan aktif (-)
A : NH8P8 post partus spontan
P : Rdx/ Obs tanda vital, kontraksi, perdarahan./jam
Rth/ Asam mefenamat 3X1 tab
Hemobion 3 X 1 tab
Rencana pulang hari ini.
BAB V
33
ANALISA KASUS
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya perdarahan lebih dari 500 ml
dalam 24 jam pertama post partum menandakan telah terjadi perdarahan post partum primer.
Definisi lain juga mendefinisikan HPP sebagai perdarahan yang memerlukan transfusi darah
dan menyebabkan gangguan stabilitas hemodinamik. Pada pasien ini berdasarkan
pemeriksaan klinis didapatkan derajat syok yang masih terkompensasi dengan blood loss 700
ml, dan adanya gejala jantung berdebar – debar/ palpitasi, pusing berkunang-kunang dengan
frekuensi nadi 124x/menit, konjungtiva anemis menandakan adanya anemia diakibatkan
karena perdarahan post partum tersebut yang didukung hasil lab yaitu Hb 7.1 gr/dl.
Faktor resiko prenatal yang dapat menyebabkan HPP pada pasien ini yang didapatkan
dari anamnesa dan pemeriksaan fisik maupun penunjang, adanya faktor multiparitas, riwayat
HPP sebelumnya. Sedangkan, faktor resiko prenatal lainnya seperti, perdarahan sebelum
persalinan, solusio plasenta, plasenta previa, kehamilan ganda, preeklampsia,
khorioamnionitis, hidramnion, IUFD, anemia ( Hb< 5.8 ), mioma dalam kehamilan,
gangguan faktor pembekuan tidak ditemukan pada pasien ini.
Faktor resiko saat persalinan pervaginam yaitu kala III yang memanjang, episiotomi,
distosia, laserasi jaringan lunak, induksi atau augmentasi persalinan dengan augmentasi
persalinan dengan oksitosin, persalinan dengan bantuan alat ( forceps atau vakum ), sisa
plasenta, dan bayi besar (>4000 gram) tidak ditemukan pada pasien ini.
Pada kasus ini didapatkan salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya HPP
dari empat proses dasar yang dikutip dari tabel.2 Current obstetrics & gynecology (2006)
yaitu Tone ( tonus uterus ) yang disebabkan kelelahan otot uterus didasarkan pada faktor
resiko yang ada yaitu multiparitas ( 20 kali lipat meningkatkan resiko HPP ), riwayat HPP
pada kehamilan sebelumnya. Tidak ditemukan adanya kelainan trombin ( kelainan faktor
pembekuan darah (hipofibrinogenemia)), trauma ( laserasi atau robekan jalan lahir ), dan
tissue ( retensio plasenta atau sisa plasenta ) yang juga dapat menjadi penyebab terjadinya
perdarahan post partum.
BAB VI
KESIMPULAN
33
1. Perdarahan pospartum dini oleh karena atonia uteri merupakan salah satu dari 3 penyebab
terbesar kematian maternal di negara berkembang dan maju. Pencegahan, diagnosis dini,
dan manajemen yang benar, merupakan kunci untuk mengurangi dampak tersebut.
2. Perawatan intrapartum harus selalu menyertakan perawatan pencegahan perdarahan
pospartum dini, identifikasi faktor risiko, dan ketersediaan fasilitas untuk mengatasi
kejadian perdarahan pospartum dini.
3. Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi peripartum.
4. Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum
lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia,
dan kebutuhan transfusi darah.
5. Manajemen atonia uteri terdiri dari tindakan konservatif dan operatif.
DAFTAR PUSTAKA
33
1. Schuurmans, et al, 2000, SOGC Clinical Practice Guidelines, Prevention and
Management of postpartum Haemorrhage, no. 88, April 2000.
2. BiblioMed Textbook Clinical Obstetrics. Operatif Obstetrics. Management Pospartum
Haemorrhage. vol 2. Part 7.
3. Available from: www.rashaduniversity.com/. Rashad/dsutaattreat.html-7k, chat 10 Maret
2004
4. DeCherney.A, Pernoll.M, 1994, Current Obstetrics and Gynaecologist Diagnosis and
Treatment, Primary Post Partum Haemorrhage, 8th Editions, Appleton & Lange.
5. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic481.htm, chat 10 Maret 2004
6. Available from: http://wwww.gfmer.ch/Endo/lectures_09/primary_postpartum
_haemorrhage.htm, chat 10 Mei 2004.
7. Suhadi. A, Hakimi. M, The B-Lynch surgical technique for the control of uterine atony
after cesarean section: Four cases reported, Department of Obstetrics and Gynecology,
Wonosobo General Hospital, Central Java, Indonesia., Department of Obstetrics and
Gynecology, Gadjah Mada University Faculty of Medicine, Yogyakarta, Indonesia.
33
33