TINJAUAN PUSTAKA

  • Upload
    idhub

  • View
    260

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asuhan Kefarmasian 2.1.1 Defenisi Asuhan Kefarmasian Asuhan kefarmasian adalah penyediaan pelayanan langsung dan bertanggung jawab yang berkaitan dengan obat, dengan maksud pencapaian hasil yang pasti dan meningkatkan mutu kehidupan pasien (Siregar, 2004). 2.1.2 Tujuan dan Unsur Utama dari Asuhan Kefarmasian Tujuan dari asuhan kefarmasian adalah mencapai hasil yang optimal guna meningkatkan mutu kehidupan penderita. Komponen penyusun dari asuhan

kefarmasian adalah berkaitan dengan obat; pelayanan yang langsung; hasil terapi yang pasti; mutu kehidupan; dan tanggung jawab apoteker (Siregar, 2004). A. Berkaitan dengan obat Asuhan kefarmasian melibatkan bukan saja terapi obat, melainkan

jugakeputusan tentang penggunaan obat untuk pasien individu. Jika perlu, hal inimencakup keputusan tidak menggunakan suatu terapi obat tertentu,

pertimbanganpemilihan obat, dosis, rute, dan metode pemberian, pemantauan terapi obat, pemilihan pelayanan informasi yang berkaitan dengan obat serta konseling untuk pasien individu.

B. Pelayanan langsung Inti konsep pelayanan adalah kepedulian, perhatian pribadi terhadap kesehatan orang lain. Pelayanan menyeluruh pasien terdiri dari berbagai bidang pelayanan terpadu, mencakup antara lain pelayanan medis, pelayanan keperawatan, dan

pelayanan farmasi. Profesional kesehatan dalam tiap disiplin ini, memiliki keahlian unik dan harus bekerjasama dalam pelayanan menyeluruh pasien. Dalam pelayanan farmasi, apoteker memberikan kontribusi pengetahuan dan keterampilan khas untuk memastikan hasil optimal dan penggunaan obat. Dalam pelayanan farmasi yang tidak dapat dikurangi adalah hubungan profesional apoteker langsung kepada pasien dan untuk kepentingan pasien. C. Hasil terapi yang pasti Sasaran kepedulian farmasi adalah meningkatkan mutu kehidupan individu pasien, melalui pencapaian hasil terapi yang pasti dan berkaitan dengan obat. Hasil terapi itu adalah : 1. Kesembuhan penyakit 2. Peniadaan / pengurangan gejala penyakit 3. Menghentikan / memperlambat proses penyakit 4. Pencegahan penyakit / gejala

D. Masalah yang berkaitan dengan obat Masalah yang berkaitan dengan obat adalah suatu kejadian atau keadaan yang melibatkan terapi obat dan nyata atau mungkin mempengaruhi hasil untuk pasien tertentu, contoh : 1. Indikasi yang tidak diobati. Pasien mengalami masalah medis yang memerlu kan terapi obat, tetapi tidak menerima obat untuk indikasi itu. 2. Seleksi obat yang tidak tepat. Pasien mempunyai indikasi pengobatan, tetapi menggunakan obat yang salah. 3. Dosis subterapi atau lewat dosis. Pasien mempunyai masalah medis dandiobati dengan obat yang benar tapi dosisnya terlalu kecil atau terlalu tinggi. 4. Menggunakan obat tanpa indikasi. Pasien menggunakan obat untuk indikasi yang tidak absah secara medis. 5. Interaksi obat. Pasien mempunyai masalah medis yang merupakan hasil dari reaksi obat-obat, obat-makanan, atau obat- uji laboratorium. 6. Reaksi obat yang tidak dikehendak. Pasien menderita suatu penyakit yang disebabkan karena terjadinya reaksi obat yang tidak dikehendaki. 7. Kepatuhan Penyebab: pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat, pasien tidak menuruti rekomendasi yang diberikan untuk pengobatan, pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal, pasien tidak optimal

mengambil beberapa obat yang diresepkan secara konsisten karena merasa sudah sehat E. Meningkatkan mutu kehidupan penderita Sasaran mutu kehidupan adalah mobilisasi fisik (perpindahan) yang baik seperti sudah dapat berdiri atau berjalan, tidak ada penyakit, mempunyai energi yang cukup, mampu untuk ikut serta dalam interaksi sosial yang normal. F. Langsung bertanggung jawab Hubungan yang mendasar dalam setiap jenis pelayanan pasien adalah pertukaran manfaat satu sama lain, pasien memberi kewenangan pada pelaku pelayanan kesehatan dan pelaku pelayanan kesehatan memberi kompetensi dan

keterlibatan pada pasien (memenuhi tanggung jawab). Dalam asuhan kefarmasian, hubungan langsung antara seorang apoteker dan seorang pasien adalah janji profesional yang keamanan dan kesehatan pasien dipercayakan kepada apoteker. Terikat

menghormati kepercayaan melalui tindakan profesional yang kompeten untuk hasil pasien (mutu pelayanan) yang terjadi dari tindakan dan keputusan apoteker. 2.1.3 Manfaat Asuhan Kefarmasian Beberapa penelitian melaporkan bahwa manfaat kepedulian asuhan kefarmasian antara lain adalah (Siregar, 2004) : 1. Mencegah terjadinya masalah yang berkaitan dengan obat. 2. Memperbaiki hasil klinis dari terapi obat.

3. Menurunkan angka lamanya penderita dirawat. 4. Menurunkan biaya perawatan. 5. Perlindungan terhadap pasien dari kesalahan pemakaian obat. 2.2 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

2.2.1 Defenisi Evaluasi Penggunaan Obat Evaluasi penggunaan obat adalah suatu jaminan mutu yang terorganisir, jelas, bertujuan untuk menjamin

diakui, dengan wewenang dan struktur yang penggunaan obat secara tepat, aman dan efektif.

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) dilakukan oleh suatu tim yang anggotanya terdiri atas staf medik dan apotker, staf yang dianggap perlu dan relevan. Suatu program EPO yang berhasil memerlukan perencanaan, koordinasi dan ketertiban staf medik terutama dalam penetapan standar atau kriteria penggunaan suatu obat tertentu yang akan dievaluasi. Standar penggunaan obat itu digunakan oleh tim untuk menetapkan ketepatan atau ketidaktepatan penggunaan obat tersebut EPO merupakan bagian dari asuhan kefarmasian (Siregar, 2004). 2.2.2 Komponen Dasar Evaluasi Penggunaan Obat Komponen dasar program EPO adalah (Tood, 1992) : 1. Adanya wewenang Meskipun profesional, tetapi jika tidak ada wewenang untuk melakukan program EPO, proram ini juga tidak dapat dilaksanakan.

2. Pemilihan sistem EPO Sistem EPO dapat dilakukan dengan konkruen atau prospektif. 3. Fokus Program EPO Fokus program EPO dapat diambil dari obat, diagnosa atau dari pasien. 4. Kriteria dan standar EPO EPO harus mengukur dan membandingkan hasil yang dialami penderita menggunakan metoda retrospektif,

yang diberi obat atau tidak diberi obat, terhadap kesesuaian dengan kriteria atau pedoman yang telah disetujui . Kriteria ini harus literatur dan mewakili pengalaman staf medis. 5. Koleksi data Dilakukan terhadap data-data yang diperoleh dari resep- resep dan rekam medik serta informasi dari catatan kesehatan lain. 6. Dokumen Hasil Evaluasi hasil merupakan hasil dokumentasi dari program EPO yang dilakukan. 7. Evaluasi secara periodic EPO dilakukan secara periodik , sistematik, terencana, dan terus-menerus. 2.2.3 Kriteria Obat yang Dievaluasi Menurut American Society of Hospital Pharmacist (ASHP) obat-obatan yang dievaluasi memenuhi salah satu atau lebih alasan-alasan berikut (Todd, 1992) : terbaru, berdasarkan

1. Obat itu diketahui atau dicurigai menyebabkan reaksi yang merugikan atau berinteraksi dengan obat lain atau prosedur diagnosa sehingga dapat mengurangi hasil terapi yang bermakna. 2. Penderita yang menggunakan obat tersebut mempunyai resiko tinggi

terhadap munculnya efek obat yang merugikan. 3. Obat tersebut potensi toksik atau dosis penggunaan. 4. Obat tersebut termasuk atau harganya mahal. 5. Obat tersebut paling efektif digunakan dengan cara-cara tertentu. 6. Obat yang dalam penilaian formularium akan dimasukkan, dihapus atau tetap dimasukkan dalam formularium obat. 7. Obat-obat yang telah diseleksi melalui kebijakan organisasi untuk yang paling banyak digunakan di rumah sakit menimbulkan ketidaknyamanan pada

dievaluasi.Obat yang dievaluasi oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) akan ditempatkan pada salah satu kategori berikut (Siregar, 2004) : a. Obat formularium Obat formularium adalah obat yang telah tersedia secara komersial,

yang direkomendasikan PFT sebagai obat yang baik untuk perawatan penderita dengan penggunaan yang telah ditetapkan dengan baik. Setelah diterima sebagai obat formularium maka obat itu dapat ditulis oleh semua staf medik rumah sakit.

b. Obat yang disetujui dengan syarat periode percobaan Obat yang disetujui telah tersedia secara dengan syarat periode percobaan adalah obat yang yang direkomendasikan untuk penggunaan

komersial

dalam perawatan penderita yang dikhususkan. Obat ditempatkan dalam kategori ini oleh pengusul atau oleh PFT dan ditulis oleh dokter yang diberi wewenang. c. Obat khusus Obat khusus adalah obat yang direkomendasikan untuk penggunaan

dalam perawatan penderita yang hanya dapat ditulis diberi wewenang. d. Obat investigasi atau penelitian

oleh dokter khusus yang

Obat investigasi adalah obat yang tidak tersedia secara komersial tetapi telah disetujui oleh lembaga (pemerintah) yang berwenang untuk penggunaan khusus oleh peneliti utama. Penelitian obat ini di rumah sakit harus disetujui oleh komite etis dan PFT. Protokol dari penelitian ini harus diserahkan pada IFRS dan obat tersebut disimpan dan disiapkan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), jika diinginkan oleh peneliti utama. 2.2.4 Langkah-langkah Evaluasi Penggunaan Obat Proses EPO dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut (Todd, 1992): 1. Penetapan penanggung jawab

Biasanya yang bertanggung jawab dalam program EPO adalah Komite Farmasi dan Terapi (KFT). 2. Penilaian pola penggunaan obat Pola penggunaan obat dapat dilihat dari laporan penggunan obat kuantitatif di rumah sakit. secara

3. Identifikasi obat tertentu yang akan dievaluasi Obat yang akan dievaluasi memenuhi kriteria dasar berikut : a. Obat yang paling banyak digunakan atau membutuhkan biaya yang tinggi. b. Obat yang mempunyai resiko tinggi apabila penggunaan tidak tepat. c. Obat yang sebelumnya mempunyai masalah penggunaan. 4. Pengembangan kriteria penggunaan obat Kriteria digunakan untuk menilai kualitas penggunaan obat yang biasanya menjadi standar dalam praktek medis. Kriteria ini harus terbaru,

berdasarkan literatur-literatur dan mewakili pengalaman staf medis. 5. Pengumpulan dan pengorganisasian data. Pengumpulan data dapat dilakukan secara retrospektif, konkuren, dan retrospektif Resep-resep dan rekam medik merupakan sumber data yang paling banyak digunakan disamping data-data lain dari bagian administrasi rumah sakit,laporan adanya permintaan obat efek samping yang merugikan, adanya

diluar formularium dan lain-lain.

6. Evaluasi penggunaan obat dibandingkan dengan kriteria. Data yang telah terkumpul dibandingkan dengan kriteria penggunaan obat yang telah disusun. 7. Pengambilan tindakan untuk memecahkan masalah. Ketika ketidaktepatan ditemukan, ketua Komite Farmasi dan Terapi (KFT) mengirimkan surat kepada staf medis lain. Surat berisi data-data atau kasuskasus yang ditemukan yang membutuhkan perbaikan, siapa yang melakukan, apa yang perlu diubah dan bagaimana pelaksanaannya. Tindakan yang diambil dapat berupa pembuatan aturan perubahan kebijaksanaan organisasi pendidikan bagi staf medis dan sebagainya. 8. Penilaian tindakan yang diambi Setelah tindakan perbaikan dilakukan untuk memecahkan masalah, perlu dilaku kan penilaian apakah perbaikan mencapai tujuan yang diiginkan. 9. Penyampaian hasil temuan pada pihak terkait. Semua hasil EPO harus dikomunikasikan melalui kebijakan lembaga seperti KFT dan komite manajemen kualitas. Berbagai hal yang dipantau apoteker dalam pengkajian dan pemantauan Obat antara lain adalah (Siregar, 2004) : 1. Penyalahgunaan obat. 2. Penggunaan obat yang salah. 3. Pola penulisan resep yang abnormal. 4. Duplikasi resep. terapi

5. Interaksi obat-obat. 6. Interaksi obat-makanan. 7. Interaksi obat-uji laboratorium. 8. Reaksi obat merugikan 9. Inkompatibilitas pencampuran intravena. 10. Kondisi patologis penderita yang dapat mempengaruhi efek merugikan dari terapi obat yang ditulis. 11. Data laboratorium farmakokinetik klinik untuk mengevaluasi

kemanfaatan terapi obat dan mengantisipasi efek samping, toksisitas atau reaksi obat merugikan. 2.3. Penggunaan obat rasional dan tidak rasional 2.3.1. Penggunaan obat rasional a. Batasan/pengertian Penggunaan obat rasional bila: 1) Pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya. 2) Untuk periode waktu yang adekuat. 3) Dengan harga yang paling murah untuknya dan masyarakat.

Secara praktis penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria: a) Tepat diagnosis.

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru (Anonim, 2006). Ketepatan diagnosis diperolehmelalui anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Kekeliruan diagnosis akan mengakibatkan kekeliruan dalam memilih obat yang diperlukan (Sastramihardja, 1997) b) Tepat indikasi

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik (Anonim, 2006).Ketepatan indikasi berkaitan dengan penentuan perlu tidaknya suatu obat diberikanpada kasus tertentu (Sastramihardja, 1997) c) Tepat pemilihan obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar (Anonim , 2006). Ketepatan jenis obat berkaitan dengan pemilihan kelas terapi dan jenis obat berdasarkan pertimbangan maanfaat, keamanan, harga dan mutu. Sebagai acuannya bisa digunakan buku pedoman pengobatan (Sastramihardja, 1997) d) Tepat dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat ( Anonim , 2006). Ketepatan dosis, cara dan lama pemberian diperoleh dengan mempertimbangkan sifat farmakokinetik dan farmakodinamik obat, kondisi pasien, manifestasi respons individual, kepatuhan penderita, dan sifat penyakitnya

(Sastramihardja, 1997)

e)

Tepat cara pemberian

Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. f) Tepat interval waktu pemberian

Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari) semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. g) Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai dengan penyakitnya. h) Waspada efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. i) Penilaian terhadap kondisi pasien

Respons individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin, dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan karena resiko terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini meningkat secara bermakna. j) Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi.

k)

Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut

Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping dosis obat perlu ditinjau ulang atau mengganti obatnya. Obat yang efektif, aman dan mutu terjamin dan terjangkau Untuk efektif dan aman dan terjangkau digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar dibidang pengobatan dan klinis. l) Tepat penyerahan obat (Dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotik atau tempat penyerahan obat di pukesmas, apoteker/asisten apoteker/petugas penyerah obat akan melaksanakan perintah dokter /peresep yang ditulis pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. m) Pasien patuh

Ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada kejadian berikut: 1. Jenis dan atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak. 2. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering.

3. Jenis sediaan obat terlalu beragam (misal pada saat yang bersamaan pasien mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhalasi). 4. Pemberian obat dalam jangka panjang (misalnya pada penderita tuberkulosis, diabetes melitus, hipertensi, dan artritis).

5. Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara minum/menggunakan obat. 6. Timbul efek samping (misal ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) (Anonim , 2006) Proses pengobatan rasional secara umum terdiri dari enam tahap yaitu: a. b. Menentukan masalah yang dihadapi penderita ( define the patients problem ). Menentukan tujuan terapi (specify the therapeutic objective).

c. Mengevaluasi kecocokan pengobatan secara individual (verify the suitability ofyour personal treatment). d. Memulai pengobatan (start the treatment). e. (Memberikan informasi, instruksi dan kewaspadaan (give information,instructions and warnings). f. Memonitor/hentikan pengobatan (monitor/stop treatment) (Sastramihardja,1997) 2.3.2. Penggunaan obat yang tidak rasional Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampaknegatif yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding manfaatnya. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Peresepan berlebih (over prescribing) yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan.

b. Peresepan kurang (under prescribing) yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. c. Peresepan majemuk (multiple prescribing) yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. d. Peresepan salah (incorrect prescribing) Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan risiko efek samping yang lebih besar, pemberian infomasi yang keliru mengenai obat yang diberikan kepada pasien dan sebagainya (Anonim, 2006). e. Peresepan yang boros (extravagant prescribing) Keadaan ini ditemukan pada pemberian obat yang harganya mahal (biasanyaobat baru), padahal masih ada obat lama yang harganya lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama. Penggunaan obat yang tidak rasional mempunyai beberapa dampak negative sebagai berikut: 1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan, yaitu menghambat upaya penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit, serta mencerminkan bahwa mutu pengobatan masih kurang. 2. Dampak terhadap biaya pengobatan, yaitu pemberian obat tanpa indikasi, pada keadaan tidak memerlukan obat atau penggunaan obat yang mahal, menyebabkan pemborosan biaya obat.

3. Dampak terhadap efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan, yaitu makin banyak obat yang digunakan makin besar risiko terjadinya efek samping atau kemungkinan terjadinya penularan penyakit/terjadinya syok anafilaktik. 4. Dampak psikosial, yaitu ketergantungan pasien terhadap intervensi obat atau persepsi yang keliru terhadap pengobatan, misalnya kebiasaan menyuntik atau pemberian obat nafsu makan (Sastramihardja, 1997) 2.3 Nyeri 2.3.1 Defenisi Nyeri

Menurut International Association for the Study o f Pain ( IASP ) nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang

berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan. 2.3.2 Mekanisme Nyeri

Langkah pertama terjadinya nyeri adalah rangsangan terhadap reseptor yang dikenal sebagai nosireseptor. Nosireseptor merupakan ujung-ujung syaraf yang bebas, ditemukan pada kulit, pembuluh darah, jaringan subkutan, periosteum, otot, sendi dan berbagai jaringan lain. Rangsangan terhadap nosireseptor aksi yang ditransmisikan sepanjang sel syaraf dikenal sebagai substansia gelatinosa pada menyebabkan potensial

aferen sampai pada daerah yang syaraf spinalis yang langsung

berhubungan dengan otak terutama thalamus (Baumann, 1997). Dua fenomena yang terjadi jika nosireseptor terangsang : 1. Aktivasi reseptor oleh senyawa kimia, suhu, atau energi mekanik dan dihantarkan

ke syaraf. 2. Transmisi impuls berupa sinyal elektrokimia yang kemudian disampaikan ke sistem saraf pusat, yang kemudian diterjemahkan sebagai nyeri oleh otak. Beberapa senyawa kimia yang aktif pada transduksi nosiseptif (Reisner, 2000) : 1. Senyawa yang dapat mengaktivasi nosireseptor Senyawa Histamin Kalium Bradikinin 2. Sumber dilepaskan oleh sel mast dilepaskan oleh sel mast protein plasma Mediator Kallikrein

Senyawa yang dapat meningkatkan kesensitifan nosireseptor Senyawa Prostaglandin Sumber asam arakidonat dilepaskan oleh sel yang rusak Leukotrien asam arakidonat dilepaskan oleh sel yang rusak senyawa P sel syaraf aferen primer lipooksigenase Mediator siklooksigenase

2.3.3

Penggolongan Nyeri

Secara garis besar nyeri dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, antara lain (Guyton, 2004) : 1. Nyeri tipe cepat Nyeri tipe cepat juga dikenal sebagai nyeri akut atau nyeri trauma. Nyeri tipe cepat dapat dirasakan dalam waktu 0,1 detik setelah terjadi rangsangan nyeri (Guyton, 2004). Nyeri tipe ini berkaitan dengan trauma atau penyakit dan dapat ditentukan lokasi, karakter dan waktunya dengan jelas. Nyeri tipe cepat diikuti oleh gejala peningkatan aktivitas syaraf otonom seperti takikardia, hipertensi, berkeringat dan midriasis (Parfitt, 1999). Nyeri akut atau nyeri trauma merupakan proses fisiologis yang bermanfaat untuk memperingatkan seseorang tentang adanya penyakit atau situasi yang membahayakan. Dalam keadaan normal, nyeri ini dapat segera digantikan oleh proses penyembuhan alami yang menurunkan rangsangan nyeri (Baumann, 1997). 2. Nyeri tipe lambat Nyeri tipe lambat juga dikenal sebagai nyeri kronik. Nyeri tipe lambat dapat dirasakan setelah 1 detik atau lebih, kemudian secara perlahan meningkat intensitasnya selama beberapa detik bahkan selama beberapa menit (Guyton, 2004).

Nyeri tipe lambat atau nyeri kronik dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Baumann, 1997) : 1. Nyeri selama masa penyembuhan normal pada cedera akut. 2. Nyeri yang berkaitan dengan penyakit kronis. 3. Nyeri tanpa sebab yang jelas. 4. Nyeri yang berkaitan dengan penyakit kanker. Pasien yang menderita nyeri kronis mengalami gangguan psikologi yang berat disebabkan oleh rasa takut dan ingatan akan nyeri yang dialam

sebelumnya. Secara kualitatif nyeri juga dikelompokan berdasarkan derajat nyeri yang dirasakan oleh pasien, yaitu (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2002) : 1. 2. 3. Nyeri ringan : tidak mengganggu kegiatan sehari-hari dan pasien dapat tidur. Nyeri sedang : menggangu kegiatan sehari-hari tetapi penderita dapat tidur. Nyeri berat : mengganggu kegiatan sehari-hari dan pasien tidak dapat tidur . Aspek Klinis Nyeri

2.3.4

Rasa nyeri merupakan sesuatu yang subjektif, misalnya nyeri merupakan apa yang dirasakan sakit oleh pasien. Oleh karena itu diperlukan penjelasan terhadap rasa nyeri yang dirasakan. Evaluasi terhadap rasa nyeri meliputi (Keys, 1997):

1. Apakah ada rasa nyeri? Pasien dengan nyeri akut biasanya terlihat jelas bahwa ia sedang merasakan nyeri dan sering juga dalam keadaan pucat, berkeringan, takikardia atau bradikardia, hipotensi atau hipertensi. Pasien dengan nyeri kronik agak jarang yang menunjukkan tanda-tanda sistem syaraf otonom yang berhubungan dengan nyeri akut, dan untuk observer, mungkin agak kurang jelas terlihat bahwa pasien sedang dalam keadaan nyeri. Percayalah kepada perkiraan rasa nyeri yang disampaikan oleh pasien. Di satu sisi klinisi perlu untuk menerimanya, sedangkan di sisi lain klinisi harus objektif terhadap penilaian. 2. Menjelaskan Nyeri Pendekatan PQRST merupakan pendekatan yang sangat berguna, yaitu: Palliative factor Provocative factor Quality apa yang membuat nyeri menjadi lebih baik? apa yang membuatnya menjadi lebih buruk? seperti apa nyeri yang dirasakan? Biarkan penderita menggunakan kata-katanya sendiri, tapi persiapkan juga beberapa kata yang dapat digunakan, misalnya: seperti teriris pisau, terbakar, tertembak Radiation apakah nyeri tersebut menjalar ke bagian tubuh yang lain? Karena rasa nyeri biasanya mempunyai karakter, sehingga hal itu dapat memberikan petunjuk terhadap penyebab dan tipe nyeri

Severity

seberapa parahkah nyeri yang anda rasakan? Di sini, mungkin akan berguna untuk memberikan skala analog 0 5, dimana 5 merupakan perasaan nyeri yang paling parah

Timing

apakah nyeri tersebut terus dirasakan? Apakah nyeri itu muncul kemudian hilang? Apa yang menyebabkannya muncul lagi?

3. Membuat chart rasa nyeri Untuk manajemen nyeri jangka lama, pembuatan chart merupakan suatu hal yang sangat membantu tentang dimana perasaan nyeri tersebut muncul. Visual analog scale membuat pasien mampu untuk memberikan tanda pada suatu garis untuk mengindikasikan tingkat keparahan nyeri yang sedang mereka rasakan. Sedangkan anak-anak dapat menggunakan skala piktorial. 4. Penentuan tipe nyeri Dengan menentukan penyebab dan karakteristik kliniknya, maka rasa nyeri dapat dibedakan menjadi beberapa tipe utama, misalnya: nocicetive, neurogenic, atau psychogenic. Perbedaan ini sangat penting karena akan berhubungan dengan pengobatannya yang juga bervariasi.

5. Penentuaan asosiasi nyeri Pertimbangkan bagian tubuh apa saja yang dipengaruhi oleh nyeri, dan apa maksudnya Bagaimana nyeri tersebut mempengaruhi kapasistas fisik, emosi, sikap, gaya hidup dan hubungan dengan manusia yang lain Nyeri akut harus dibedakan dengan nyeri kronik

6. Pemantauan nyeri secara rutin Efektivitas pengobatan analgesik harus dievaluasi secara rutin. 2.4 Analgetik 2.4.1 Defenisi Analgetik

Analgetik adalah golongan obat-obat yang dapat menekan atau meniadakan rasa nyeri (Duncan, 1982). 2.4.2 Pembagian Analgetik

Secara garis besar analgetik dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu : 1. Analgetik Opioid Istilah opioid mengacu kepada semua obat, baik alami ataupun hasil sintesa, yang memiliki efek seperti morfin (Jaffe & Dick, 2001). Obat golongan opioid bekerja pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Pada sistem saraf pusat, opioid bekerja

pada berbagai area, diantaranya neuron aferen primer, otak tengah dan hipotalamus. Pada sistem saraf tepi, opioid submukosa dalam saluran cerna. Obat golongan opioid memiliki efek pada neuron dengan jalan mempengaruhi reseptor yang terletak pada membran sel neuron. Reseptor opioid terdiri dari tiga bekerja pada pleksus mienterikus dan pleksus

jenis, antara lain (Chahl, 1996) : * Reseptor mu ( ) * Reseptor delta ( ) * Reseptor kappa ( ) Obat golongan opioid akan menghasilkan efek analgesia jika terikat reseptor opioid tersebut. Pada neuron, opioid bekerja pada dua (Chahl, 1996) : Daerah pre-sinap Pada daerah pre-sinap, opioid menghambat pelepasan neurotransmiter. Daerah post-sinap Pada daerah post-synap, opioid memiliki efek inhibisi. Efek opioid dalam menghambat pelepasan neurotransmiter pada daerah pada reseptor-

daerah, antara lain

pre- synap merupakan mekanisme kerja utama dari opioid.

Penghambatan pelepasan neurotransmiter pada neuron dapat terjadi melalui tiga proses, antara lain (Chahl, 1996) : Menurunkan pemasukan ion Ca++.

Pelepasan neurotransmiter dari neuron diawali oleh proses depolarisasi yang dapat terjadi melalui proses masuknya ion Ca++ melalui saluran ion Ca++. Opioid bekerja secara langsung pada saluran ion Ca++ dengan jalan menurunkan jumlah ion Ca++ yang masuk kedalam sel neuron, sehingga dapat menghambat pelepasan

neurotransmiter. Meningkatkan pengeluaran ion K+.

Opioid bekerja secara tidak langsung dengan jalan meningkatkan jumlah ion K+ yang keluar sel neuron, sehingga dapat mempersingkat waktu potensial aksi. Menghambat Adenilat Siklase. siklase adalah enzim yang dapat mengubah adenosine trifosfat ( ATP ) adenosine monophosphat ( cAMP ), yang merupakan tempat repolarisasi dan

Adenilat

menjadi siklik

terikatnya ketiga reseptor opioid. Dengan dihambatnya enzim adenilat siklase dapat menghambat pelepasan neurotransmiter (Chahl, 1996).

Secara

farmakologis, opioid

dapat dibagi menjadi 5 golongan, antaralain

(Baumann, 1997) : A. Agonis Morfin dan opioid agonis lainnya terutama bekerja pada reseptor , dan sebagian bekerja pada reseptor delta dan kappa. pada sistem saraf dan efek seperti opioid endogen ( contoh : b endorphin, memberi

leu-enkephalin, met-

enkephalin dan dinorphin). Opioid agonis memberikan berbagai efek terhadap tubuh, antara lain efek

analgesia, perubahan tingkah laku, depresi pernafasan, menurunkan motilitas saluran percernaan, mual, pusing dan peningkatan endokrin serta sistem saraf otonom. Berdasarkan struktur kimia opioid agonis, terdiri dari (Reisner, 2000) : a. Turunan fenantre, Contoh : morfin, kodein, hirdromorfon,

levorphanol, oksimorfon dihidro kodein dan opium. b. Turunan fenil piperidin, Contoh : meperidin ( petidin ),

fentanil, sufentanil, alfentanil dan remifentanil. c. Turunan difenil heptana, Contoh : metadon, levometadin dan propoksifen. Opioid agonis bukan turunan morfin (Kaye, 2004) Tramadol adalah analgetik yang bekerja sentral. Struktur kimia tramadol tidak menyerupai opioid, namun tramadol memiliki beberapa karakteristik seperti

opioid. Seperti opioid, tramadol lebih banyak terikat pada

reseptor , walaupun

afinitasnya sangat lemah ( afinitas tramadol 6000 kali lebih kecil dibanding codein ). Selain terikat pada reseptor , tramadol memiliki mekanisme kerja

tambahan. Tramadol dapat mengahambat dimana hal

reuptake dari serotonin dan noradrenalin efektif untuk

ini dapat menghasilkan efek analgetik. Tramadol

mengobati nyeri tingkat luar biasa.

menengah dan pada beberapa kasus dapat mengobati nyeri

Tramadol dapat meningkatkan resiko terjadinya kejang pada pasien mengkonsumsi obat penyakat MAO ( Mono Amin Oksidase ) dan

yang dapat

meningkatkan sedasi atau depresi pernafasan jika digunakan bersama sistem saraf pusat seperti alkohol, opioid lain, fenothiazin, dan sedatif(Baumann, 1997). B. Agonis parsial Kelompok obat ini efektivitasnya dengan golongan opioid agonis. lebih kecil obat

depresan dan hipnotik

bila dibandingkan ini adalah untuk

Penggunaan

penanganan nyeri operasi dan nyeri akut pasca trauma (Reisner, 2000). Contoh : bufenorfin dan dezosin. C. Campuran Agonis-Antagonis Kelompok obat ini memiliki efek yang bervariasi pada masing- masing reseptor opioid, dan afinitasnya terhadap reseptor tergantung dosis yang diberikan (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2002).

Obat campuran agonis-antagonis

memiliki sifat keterbatasan efek

terhadap depresi pernafasan dan efek analgesia. Keterbatasan efek dapat diartikan bahwa dengan peningkatan dosis tidak akan menyebabkan peningkatan kerusakan pada efek

analgesia ataupun menyebabkan

saluran pernafasan. Contoh :

Pentazosin, nalbufin dan butorphanol (Isselbache, et al, 2000) D. Antagonis Obat golongan antagonis digunakan sebagai antidotum keracunan

opioid yang disertai depresi pernafasan. Contoh : naloxon dan naltrexon (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2002). 2. Analgetik Non Opioid Analgetik Non Opioid selain memiliki efek analgetik juga memiliki anti inflamasi dan antipiretik. Kelompok besar obat ini efek adalah

Asetaminofen dan Non Steroid AntInflamatory Drug (NSAID). Analgetik ini berkhasiat lemah sampai sedang, obat ini bekerja perifer. Obat ini tidak mempengaruhi SSP, tidak berefek menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Analgetik Non Opioid yang diakui oleh Food and Drug Administration ( FDA), antara lain (Baumann, 1997) : a. Turunan asam salisilat Contoh : Asam asetil salisilat (aspirin), Mg Salisilat, dan Na Salisilat.

b. Turunan Para amino fenol Contoh : Asetaminofen. c. Turunan Fenamat Contoh : Asam mefenamat dan Meklofenamat. d. Turunan Asam asetat Contoh : Kalium diklofenak. e. Turunan Asam propionate Contoh : Ibuprofen, Fenoprofen, Ketoprofen, Naproksen, Na Naproksen dan Ketorolac. Mekanisme kerja analgetik ini adalah mempengaruhi sintesa prostaglandin, dengan jalan menghambat arakidonat tidak dapat enzim siklooksigenase yang menyebabkan asam

membentuk endoperosida yang merupakan prazat dari

prostaglandin , seperti terlihat pada gambar berikut (Peter, 2000).

Rangsangan

Gangguan pada membran selenzim fosfolipase

Fosfolipid

As. Arakidonat

enzim lipooksigenase

enzim siklooksigenase

COX-1

COX-2 dihambat

Hidroperosida

dihambat

oleh NSAID

oleh NSAID dan

Leukotrien Prostaglandin Prostasiklin

COX-2 Inhibitor

Prostaglandin Prostasiklin

Gambar 1. Skema biosintesa prostaglandin.

Enzim siklooksigenase (COX) merupakan target dari NSAID. Terdapat dua isoenzim dari COX, yaitu COX-1 dan COX-2. Penemuan terbaru mengemukakan

bahwa terdapat isoenzim ketiga, yang merupakan varian dari COX-1 mRNA dan diberi nama COX-3, COX-1b, atau COX-1v (Ichwan, 2006) . Obat NSAID berdasarkan selektivitas kerjanya terhadap enzim siklooksigenase ( COX ) (Ichwan, 2006 ) : a. Selektif COX-1 Contoh : aspirin, flurbiprofen, suprofen, ketoprofen, dan ketorolak. b. Selektif parsial COX-1 Contoh : tolmetin, dan naproxen. c. Non selektif COX Contoh : ibu profen, ketoprofen, fenoprofen, diflunisal dan na salisilat, d. Selektif COX-2 Contoh : lumiracoxib, rofecoxib,etoricoxib dan valdecoxib. e. Selektif parsial COX-2 Contoh : etodolac, meloxicam dan nimesulide. f. COX-3 Contoh : asetaminofen dan diclofenac.

Penghambatan produksi prostaglandin yang merupakan salah satu senyawa yang dapat menurunkan kesensitifan nosireseptor,dapat menurunkan jumlah impuls nyeri yang diterima oleh sistem saraf pusat. Turunan asam salisilat seperti aspirin merupakan analgetik yang bekerja di perifer dan merupakan analgetik yang paling banyak digunakan. Hal ini disebabkan karena analgetik ini selain memiliki efek analgetik juga memiliki efek antipiretik dan anti inflamasi. Tetapi penggunaannya mulai nyaterhadap saluran juga menyebabkan untuk mengobati pencernaan yaitu reaksi nyeri hipersensitif yang dapat pada berkurang karena efek samping

menyebabkan tukak lambung dan pasien asma. NSAID digunakan

disebabkan

oleh trauma, pembedahan, rematik,

kanker, terutama digunakan untuk mengobati nyeri pada otak (Isselbache, et al, 2000). Penatalaksanaan nyeri jika dimungkinkan dimulai dengan analgetik non

opioid yang kemudian jika diperlukan dapat ditambahkan pemberian opioid dan obat pembantu ( adjuvan ). Garis besar strategi farmakologis mengikuti WHO Three Steps Analgesic Ladder diantaranya : a. Langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgetik non

opioid, baru bila nyeri belum hilang atau menetap, b. Langkah kedua, bila masih nyeri, dapat ditambahkan analgetik

opioid lemah. c. Langkah ketiga, bila ternyata nyeri masih belum hilang atau

menetap, maka sebagai langkah ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid kuat

Pada dasarnya prinsip Three Steps Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu : a. b. Pada nyeri kronik mengikuti langkah 1-2-3. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah 3-2-1. Pada tiap langkah bila dianggap perlu dapat ditambahkan adjuvan. Berbagai obat pembantu ( adjuvan ) dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf penanggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgetik, meniadakan gejala yang menyertai dan bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu (Direktorat Jendral Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2002).Beberapa obat pembantu ( adjuvan ) diantaranya (Reisner, 2000) : A. Anti-depresan Terdapat tiga kategori antidepresan, diantaranya (Reisner, 2000) : a. TCA (Tri Cyclic Antiepresant ) TCA dapat menghambat reuptake dan penyimpanan amin neurogenik,memiliki efek analgetik dan dapat meningkatkan toleransi nyeri . TCA memiliki efek anastesi lokal dan memiliki efek antinosiseptik yang besar, dan terbukti dapat bermanfaat sebagai obat pembantu dalam penanganan nyeri neurogenis dan nyeri kronis. b. MAO ( MAO digunakan untuk penanganan nyeri pada pasien yang mengalami

depresi pernafasan jika mengkonsumsi TCA. Obat ini sering digunakan untuk penanganan nyeri kepala.

c. Senyawa Non Tri Siklik terbaru. Dalam kelompok senyawa ini termasuk SSRI ( Serotoin Selective Reuptake Inhibitor ). SSRI digunakan untuk penanganan nyeri pada depresi pernafasan jika mengkonsumsi TCA. B. Anti-konvulsan Beberapa obat Antikonvulsan diantaranya : (1)Carbamazepin (2)Valproat dan (3) Gabapentin. Obat anti konvulsan dapat menstabilkan membran dan bermanfaat untuk menghilangkan nyeri neurogenik, dan pencegahan nyeri yang disebabkan pasien yang mengalami

migren(Parfitt, 1999). Mekanisme kerja Carbamazepin dan Valproat adalah rangsangan saraf spontan. Obat ini sangat cocok untuk penekanan cetusan

mengobati

nyeri yang

disebabkan oleh luka bakar, karena efek kerja jangka panjangnya. Dosis pemakaian sama dengan dosis yang diberikan sebagai antikonvulsi. Gabapentin secara luas digunakan untuk mengobati nyeri neuropati, dan nyeri kepala. C. Neuroleptik Beberapa obat Neuroleptik diantaranya : (1)Fluphenazin dan (2)Metotrimeperazin. Salah satu obat analgetik NSAID yang paling banyak digunakan di SMF bedah rumah sakit DR. Achmad Mochtar mendapatkan perhatian adalah ketorolak. Bukit tinggi yang penggunaannya harus

2.5. Ketorolak

Ketorolak merupakan prototipikal agen nonsteroid anti-inflamasi (NSAIA) yang menunjukkan efek atau aktivitas analgetik dan antipiretik (Gerald, 2008). - Penggunaan Ketorolak digunakan untuk manajemen terapi jangka pendek ( tidak lebih dari lima hari) pada keadaan nyeri sedang dan nyeri akut. Obat ini tidak diindikasikan digunakan untuk kondisi nyeri yang kronis. Keuntungan dan resiko dari terapi ketorolak sebagai terapi alternatif harus dipertimbangkan, dosis efektif terendah dan waktu terapi yang pendek tetap harus menjadi perhatian dalam pengobatan pasien. Ketorolak telah digunakan sebagai pengobatan simptomatik terhadap nyeri postoperatif sedang, termasuk operasi dengan perut, ginekologis, oral, mata, ortopedik, urologis atau operasi otolaringologis. Ketorolak sebaiknya tidak digunakan pada pasien obstetris sebagai pengobatan pra operasi atau untuk analgesi selama operasi, karena inhibitor sintesis prostaglandin berefek kontraksi uterin dan sirkulasi fetal. Sebagai tambahan, ketorolak dapat digunakan sebagai pengobatan pra operasi untuk meningkatka anastesi, obat tidak mempunyai efek sedatif atau anxiolitik tetapi mungkin dapat menghambat agregasi platelet dan memperpanjang waktu pendarahan. Ketorolak

juga digunakan untuk kolik renal akut, nyeri yang disertai trauma, dan nyeri viseral disertai dengan kanker (Gerald, 2008). - Penggunaan lain Ketorolak 0,5 % juga digunakan dalam tetes mata untuk meredakan mata merah/ gatal yang berhubungan dengan konjungtivitis alergi musiman. Penggunaannya secara topical juga dipakai pada udem macular sistoid dan pada pencegahan dan pengurangan inflamasi yang berhubungan dengan bedah mata (Krueger, 2007). - Dosis dan lama penggunaan 1. Di Inggris: untuk rute parenteral diberikan 10 mg diikuti dengan 10 30 mg setiap 4 sampai 6 jam sesuai dengan yang dibutuhkan. Meskipun demikian ketorolak bisa diberikan setiap 2 jam setelah operasi. Dosis maksimum sehari adalah 90 mg (60 mg pada pasien lanjut usia, gangguan ginjal, dan berat