Upload
krishna-wijaya
View
238
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
efwqeafvsfgwgwfwfafsfw
Citation preview
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah-Nya lah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan
menyusun laporan hasil diskusi ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Prima Belia
Fathana atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada para pakar serta teman-teman yang membantu kami
dalam proses tutorial ini.
Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-
kekurangan yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya
pengetahuan kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang
lebih baik lagi di kemudian hari.
Mataram, 22 November 2012
Penyusun
Kelompok VI
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.1
Daftar Isi ..2
Mind Map.3
Skenario....4
Learning Objective..5
Pembahasan
A. Aspek Perilaku Makan.6
B. Perilaku Makan.7
C. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Makan.12
D. Gangguan Perilaku Makan.14
E. Zat yang Mempengaruhi Perilaku Makan..26
Kesimpulan...31
Daftar Pustaka .32
3
MIND MAP
Perilaku
Makan danminum
faktor
Biologis Sosiopsikologis
Afektif Kognitif Konatif
Situasional
Gangguan
Jenis
Aditif
GejalaPatofisiol
ogis
AspekLapar dan
Haus
Fisiologis Penyebab
4
SKENARIO V
You Are What You Eat
Banyak orang mengidamkan bentuk badan ideal . Hal ini terbukti dari banyak sekali
ditawarkan dalam iklan minuman dan makanan yang pada pria dapat membentuk abdomen
six-pack dan lengan berotot. Sedangkan untuk wanita diiklankan pengganti makanan yang
dapat membuat badan dapat menyelinap diantara dua kursi yang berdekatan. Dorongan untuk
diterima oleh masyarakat sebagai orang cantik atau gagah bahkan dapat menyebabkan perliku
tertentu. Dunia memang penuh dengan kontradiksi. Banyak orang berjuang untuk mengatasi
malnutrisi akibat kelaparan. Namun disisi lain, banyak juga orang yang berjuang untuk
mengatasi obesitas akibat makan yang berlebih. Lakukan telaah terhadap gambar dan wacana
di atas.
5
Learning Objective
1. Aspek-aspek Perilaku Makan
2. Perilaku Makan (Fisiologi Makan dan Minum)
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku makan
4. Gangguan perilaku makan
5. Zat yang dapat mempengaruhi perilaku makan
6
PEMBAHASAN
A. Aspek Perilaku Makan
Perilaku makan adalah suatu tingkah laku yang dapat dilihat dan diamati, yang
dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan makannya. Menurut Levi dkk
(Witari,1997) aspek-aspek perilaku makan adalah sebagai berikut:
Keteraturan makan
Seperti memperlihatkan waktu makan (pagi, siang, dan malam)
Kebiasaan makan
Kebiasaan makan dalam hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya dari cara
makan, tempat makan dan beberapa aktivitas yang dilakukan ketika makan. Dilihat
dari cara makan seperti duduk, berdiri atau sambil berbaring ketika makan.
Alasan makan
Makan dilakukan karena menurut kebutuhan fisiologis (rasa lapar), kebutuhan
psikologis (mood, perasaan, suasana hati), dan kebutuhan sosial (konformitas antara
teman sebaya, gengsi).
Jenis makanan yang dimakan
Perkiraan terhadap kalori-kalori yang ada dalam makanan.
Menurut Notoatmodjo perilaku makan meliputi beberapa aspek, yaitu
pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek terhadap makanan serta unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya, pengelolaan makanan,dan sebagainya sehubungan dengan tubuh
kita.
Aspek-aspek perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makanan
juga meliputi sikap, kepercayaan, jenis makanan, frekuensi, cara pengolahan, dan
pemilihan makanan.
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek perilaku
makan adalah :
1. Praktek terhadap makan
2. alasan makan
3. jenis makanan yang dimakan,
4. pengetahuan mengenai gizi
7
B. Perilaku Makan
Mekanisme rasa lapar
Sensasi rasa lapar disebabkan oleh keinginan akan makanan dan beberapa
pengaruh fisiologi lainnya, yang menyebabkan seseorang mencari suplai makanan
yang adekuat. Jika proses pencarian makanan berhasil, rasa kenyang akan timbul.
Timbulnya rasa lapar dan kenyang diatur dalam hipotalamus. Beberapa pusat saraf di
hipotalamus ikut serta dalam pengaturan asupan makanan. Nukleus lateral
hipotalamus berfungsi dalam pusat makan. Pusat makan disini beroperasi dengan
membangkitkan dorongan motorik untuk mencari makan.Nukleus ventromedial
hipotalamus berperan sebagai pusat kenyang. Pusat ini dipercaya memberikan suatu
sensasi kepuasan makanan yang menghambat pusat makan. Nukleus paraventrikular,
dorsomedialis, dan arkuata juga berperan dalam pengaturan asupan makanan.
Hipotalamus menerima sinyal saraf dari saluran pencernaan yang memberikan
informasi sensorik mengenai isi lambung, sinyal kimia dari zat nutrisi dalam darah
yang menandakan rasa kenyang, sinyal dari hormon gastrointestinal, sinyal dari
hormon yang dilepaskan dari jaringan lemak, dan sinyal dari korteks serebri
(penglihatan, penciuman, dan pengecapan) yang mempengaruhi prilaku makan.
Pusat makan dan kenyang di hipotalamus memiliki kepadatan reseptor yang
tinggi untuk neurotransmiter dan hormon yang mempengaruhi prilaku
makan.Terdapat dua jenis zat yang dapat mengubah prilaku nafsu makan dan rasa
lapar yaitu, zat oreksigenik yang menstimulasi rasa lapar dan zat anoreksigenik yang
menghambat rasa lapar.
Menurunkan Nafsu Makan (anoreksigenik) Meningkatkan Nafsu Makan (Oreksigenik)
Melanocyte-stimulating hormon (-MSH)
Leptin
Serotonin
Norepinefrin
Hormon pelepas-kortikotropin
Insulin
Kolesitokinin (CCK)
Peptida mirip glukagon (GLP)
Neuropeptida Y (NPY)
Agout reelatid protein (AGRP)
Hormon pemekat melann (MCH)
Oreksin A,dan B
Endorfin
Galanin
Asam amino
Kortikol
8
Cocaine-and amphetamine-regulated trans-
cript (CART)
Peptida YY (PYY)
Gresgelin
Terdapat dua jenis neuron di nukleus arkuatus yang sangat penting dalam
pengaturan nafsu makan dan pengeluaran energi yaitu, neuron proopiomelanokortin
(POMC) yang memproduksi Melanocyte-stimulating hormon (-MSH) bersama
dengan Cocaine-and amphetamine-regulated transcript (CART), dan neuron yang
memproduksi zat oreksigenik neuropeptida Y (NPY) dan Agout reelatid protein
(AGRP). Aktivasi neuron POMC akan mengurangi asupan makanan dan
peningkatan pengeluaran energi. Sedangkan aktivasi neuron NPY-AGRP akan
meningkatkan asupan makanan dan mengurangi pengeluaran energi.
Neuron POMC melepaskan MSH, yang kemudian bekerja pada reseptor
melanokortin yang terutama ditemukan di neuron nukleus paraventrikular.
Meskipun terdapat sedikitnya lima subtipe reseptor melanokortin (MCR), MCR-3
dan MCR-4 terutama penting dalam pengaturan asupan makanan dan keseimbangan
energi. Aktivasi reseptor-reseptor tersebut akan mengurangi asupan makanan dan
meningkatkan pengeluaran energi. Sebaliknya, inhibisi reseptor ini akan
meningkatkan asupan makanan dan mengurangi pengeluaran energi. Pengaruh
aktivasi MCR untuk meningkatkan pengeluaran energi kelihatannya diperantai juga
oleh aktivasi jaras saraf yang berjalan dari nukleus paraventrikel ke nukleus traktus
solitarius dan menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis.
AGRP yang dilepaskan dari neuron oreksigenik di hipotalamus merupakan
antagonis alamiah terhadap MCR-3 dan MCR-4, dan kemungkinan akan
meningkatkan prilaku makan dengan cara menghambap pengaruh MSH untuk
menstimulasi reseptor melanokortin. Meskipun peran AGRP dalam pengaturan
fisiologi asupan makanan belum jelas diketahui, namun hasil penelitian menemukan
peningkatan pembentukan AGRP menyebabkan prilaku makan yang berlebih.Ini
disebabkan karena adanya mutasi gen.
NPY juga dilepaskan dari neuton oreksigenik di nuklei arkuatus. Bila
simpanan energi tubuh rendah, neuron oksigenik akan teraktivasi untuk melepaskan
NPY yang akan merangsang nafsu makan. Pada saat yang sama, terjadi pengurangan
9
pemicu neuron POMC. Sehingga akan mengurangi aktivitas jaras melanokortin dan
merangsang nafsu makan lanjut.
Disisi lain, mekanika proses makan yang sesungguhnya diatur oleh pusat
saraf di batang otak. Dimana fungsi pusat makan ini ialah untuk mengatur jumlah
asupan makanan dan membangkitkan pusat-pusat makan tersebut agar kerja
mekanik proses makan dapat dilakukan. Pusat saraf yang lebih tinggi dari
hipotalamus juga berperan penting dalam pengaturan nafsu makan.Pusat-pusat ini
meliputi amigdala dan korteks prefrontal.
Hormon yang berperan dalam proses lapar dan kenyang ini adalah hormon
insulin, leptin, kolesitokinin, dan ghrelin. Insulin, leptin, dan CCK merupakan hormon
yang menghambat neuron-neuron AGRP-NPY dan merangsang neuron-neuron
POMC-CART yang berdekatan sehingga menurunkan asupan makanan.Ghrelin
merupakan hormon yang disekresikan dari lambung mengaktifkan neuron-neuron
AGRP-NPY dan merangsang asupan makanan.
Mekanisme rasa haus
Rasa haus adalah sensasi subyektif yang mendorong kita untuk menelan H2O.
Pusat haus terletak di hipotalamus lateral dekat dengan sel penghasil vasopresin.
Berikut ini adalah mekanisme pengaturan sekresi vasopresin dan rasa haus.
10
Sekresi vasopresin dan rasa haus umumnya dipicu secara bersamaan
Pusat-pusat kontrol hipotalamus yang mengatur sekresi vasopresin (dan
pengeluaran urin) serta rasa haus (dan minum) bekerja secra terpadu. Sekresi
vasopresin dan ras haus dirangsang oleh defisit H2O bebas dan ditekan oleh
kelebihan H2O bebas. Karena itu, keadaan yang mendorong terjadinya penurunan
pengeluaran urin untuk menghemat H2O tubuh juga menimbulkan rasa haus untuk
mengganti H2O tubuh.
Peran Osmoreseptor Hipotalamus
Sinyal eksitatorik utama untuk sekresi vasopresin dan rasa haus berasal dari
osmoreseptor hipotalamus yang terletak dekat sel penghasil vasopresin dan pusat
haus. Osmoreseptor-osmoreseptor ini memantau osmolaritas cairan di sekeliling
mereka, yang selanjtunya mencerminkan konsentrasi keseluruhan lingkungan
cairan internal. Seiring dengan peningkatan osmlaritas (H2O terlalu sedikit) dan
kebutuhan akan konservasi H2O bertambah, sekresi vasopresin dan rasa haus
diaktifkan. Akibatnya, reabsorpsi H2O di tubulus distal dan koligentes meningkat
sehingga pengeluaran urin berkurang dan H2O dihemat sementara asupan H2O
secara bersamaan dirangsang. Efek-efek ini memulihkan simpanan H2O yang
berkurang sehingga kondisi hipertonik mereda dengan pulihnya konsentrasi zat-
zat terlarut ke normal. Sebaliknya, kelebihan H2O, yang bermanifestasi sebagai
penurunan osmolaritas CES, mendorong peningkatan ekskresi urn (melalui
penurunan sekresi vasopresin) dan menekan rasa haus, yang sama-sama
mengurangi jumlah air di dalam tubuh.
Peran reseptor volume atrium kiri
Meskipun perangsangan utama sekresi vasopresin dan rasa haus adalah
peningkatan osmolaritas CES, namun sel penghasil vasopresin dan pusat haus
juga dipengaruhi dalam tingkat moderat oleh perubahan CES yang diperantarai
olehsinyal dari reseptor volume atrium kiri. Reseptor volume ini yang terletak di
atrium kiri, memantau tekanan darah yang mengalir ynag mencerminkan volume
CES. Sebagai respon terhadap penurnan mencolok volume CES dan tekanan
darah arteri, seperti ketika terjadi perdarahan, reseptor volume atrium kiri secara
refleks merangsang sekresi vasopresin dan rasa haus. Pengeluaran vasopresin dan
meningkatnya rasa haus masing-masing menurunkan pengeluaranurin dan
meningkatkan pemasukan cairan. Selain itu, vasopresin yang dipicu oleh
11
penurunan mencolok volume CES dan tekanan darah arteri, di sirkulasi
menimbulkan vasokontriksi pada arteriol. Dengan membantu memperbesar CES
dan volume plasma serta dengan meningkatkan resistensi perifer total, vasopresin
membantu mengatasi penurunan tekanan darah yang memicu sekresi vasopresin.
Sebaliknya, vasopresin dan rasa haus dihambat ketika volume CES/ plasma dan
tekanan darah arteri meningkat. Penekanan asupan H2O, disertai oleh eliminasi
kelebihan volume CES/ plasma melalui urin membantu memulihkan tekanan
darah ke normal.
12
C. Faktor yang mempengaruhi perilaku makan
1. Faktor Biologis
Nutrisi
Perilaku makan dapat dipengaruhi oleh faktor nutrisi dari dalam tubuh. Salah
komponen nutrisi yang berpengaruh terhadap perilaku makan adalah glukosa. Jika
kadar glukosa dalam darah turun maka akan menyebabkan rasa lapar. Teori ini
disebut dengan teori glukostatik. Dari sebuah penelitian didapatkan bahwa
peningkatan kadar glukosa darah dapat meningkatkan kecepatan peletupan neuron
glukoreseptor pada nucleus ventromedial hipotalamus yang merupakan pusat rasa
kenyang. Selain itu peningkatan kadar glukosa juga menurunkan kecepatan
peletupan neuron glukosensitif di pusat lapar yaitu nucleus lateral hipotalamus.
Selain glukosa, asam amino dan lipid juga berperan terhadap perilaku makan. Jika
konsentrasi asam amino dalam darah menurun dan konsentrasi pemecahan lipid
juga menurun, maka akan menyebabkan rasa lapar. Hal ini memunculkan teori
aminostatik dan lipostatik. Beberapa asam amino dan zat lipid juga memiliki efek
yang sama seperti glukosa pada nucleus ventromedial dan nucleus lateral
hipotalamus yang merupakan pusat rasa kenyang dan lapar.
Hormonal
Terdapat beberapa hormon yang brpengaruh terhadap perilaku makan. Beberapa
diantaranya adalah kolesistokinin, glucagon dan insulin. Kolesistokinin
merupakan hormon gastrointestinal yang keluar sebagai respon terhadap
masuknya lemak pada duodenum. Kolesistokinin memiliki efek yang cukup kuat
terhadap pusat makan, sehingga dapat menghentikan keinginan untuk makan.
Hormon lainnya adalah glucagon dan insulin. Glucagon dan insulin dikeluarkan
oleh pancreas sebagai respon terhadap masuknya makanan pada lambung dan
duodenum. Baik glucagon maupun insulin dapat menekan keinginan untuk makan
dengan cara menekan sinyal makan neurogenik dari otak.
2. Faktor Sosiopsikologis
Selain faktor-faktor involunter yang dapat timbul secara otomatis di atas,
kebiasaan makanan seseorang juga dibentuk oleh faktor psikologi dan sosial. Seperti
makan tiga kali sehari bukan karena lapar, namun karena kebiasaan. Kenikmatan yang
13
diperoleh dari makan dapat memperkuat perilaku makan. Makan makanan dengan
rasa lezat, aroma menggugah selera, dan bentuk menarik dapat meningkatkan nafsu
makan dan pemasukan makanan. Hal ini dibuktikan dengan eksperimen pada tikus-
tikus yang ditawari berbagai makanan manusia yang lezat. Tikus-tikus itu makan
berlebihan sampai sebanyak 70%-80% dan mengalami kegemukan. Stres, rasa cemas,
depresi dan rasa bosan juga dibuktikan mengubah perilaku makan melalui cara-cara
yang tidak berkaitan dengan kebutuhan energi, baik pada hewan percobaan dan
manusia. Dengan demikian, setiap penjelasan menyeluruh mengenai bagaimana
pemasukan dikontrol harus memperhitungkan tindakan-tindakan mengkonsumsi
makanan secara volunter tersebut yang dapat memperkuat atau mengalahkan sinyal-
sinyal internal yang mengatur perilaku makan.
Kita dapat mengkalsifikasikannya ke dalam tiga komponen.
Komponen Afektif, merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis,
didahulukan karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya.
Komponen Kognitif, aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui
manusia.
Komponen Konatif, aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan
kemauan bertindak.
3. Faktor Situsional
Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku manusia adalah faktor
situasional. Menurut pendekatan ini, perilaku manusia dipengaruhi oleh
lingkungan/situasi. Faktor-faktor situasional ini berupa:
Tingkat perkembangan teknologi dan komunikasi
Perkembangan teknologi dan komunikasi yang pesat mempengaruhi jumlah dan
jenis pangan, sehingga individu dihadapkan beberapa alternatif pemilihan
makanan yang tentunya akan mempengaruhi perilaku makannya.
Penampilan makanan
Sebelum pemilihan berdasarkan gizi, remaja lebih tertarik pada warna, rasa,
tekstur, serta tidak lepas dari hedonisme atau mendapatkan kenikmatan semata-
mata. Perilaku makan sudah lebih rumit lagi, tidak hanya mengutamakan
kesegaran dan kelezatan, tetapi juga cara penampilan, penyajian, dan keeksotisan
tanpa mempertimbangkan nilai gizinya.
14
Tingkat ekonomi
Dari sudut pandang ekonomi, remaja menjadi pasar yang potensial untuk produk
makanan tertentu. Umumnya remaja mempunyai uang saku. Hal ini dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh pemasang iklan melalui berbagai media cetak maupun
elektronik.
Suasana dalam keluarga
Suasana dalam keluarga yang menyenangkan berpengaruh pada pola kebiasaan
makan. Suatu studi mengungkap bahwa pola makan pada remaja putri dari
keluarga bahagia cenderung lebih baik daripada mereka yang berasal dari keluarga
yang tidak harmonis. Hal ini mungkin dilandasi oleh ada atau tidak adanya
kebiasaan makan bersama. Pada era maju seperti saat ini, orang tua memang telah
menjadi manusia sibuk karena urusan di luar rumah tangga. Oleh karena itu
kebiasaan makan bersama akhirnya luntur karena tiadanya waktu saling
berkumpul, apalagi makan bersama.
Kemajuan industri makanan
Kehadiran fast food dalam industri makanan di Indonesia bisa mempengaruhi pola
makan kaum remaja di kota. Khususnya bagi remaja tingkat menengah ke atas,
restaurant fast food merupakan tempat yang tepat untuk bersantai. Makanan yang
ditawarkan pun relatif dengan harga yang terjangkau kantong mereka, servisnya
cepat, dan jenis makanannya memenuhi selera. Fast food adalah gaya hidup
remaja kota.
Faktor ekologis, misal kondisi alam atau iklim
Faktor rancangan dan arsitektural, misal penataan ruang
Faktor temporal, misal keadaan emosi
Suasana perilaku, misal cara berpakaian dan cara berbicara
Teknologi
Faktor sosial, mencakup sistem peran, struktur sosial dan karakteristik sosial
individu
lingkungan psikososial yaitu persepsi seseorang terhadap lingkungannya
Stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku
D. GANGGUAN PERILAKU MAKAN
1. Anoreksia Nervosa
15
Anoreksia nervosa merupakan sindroma yang amat khas mengenai gangguan
somatik yang penyebabnya berasal dari faktor psikis. Anoreksia nervosa merupakan
satu gangguan makan yang ditandai membatasi jumlah makanan dengan amat ketat.
Penderita cendrung menolak untuk makan meskipun dalam keadaan lapar karena
ketakutannya menjadi gemuk atau motivasinya tinggi untuk memiliki tubuh yang
sempurna.
Etiologi
Penyebab anoreksia sangat berkaitan dengan beberapa faktor, diantaranya :
a. Faktor biologi
Opiat endogen mungkin memberikan konstribusi pada penyangkaan dan
keadaan lapar pasien anoreksia nervosa. Penelitian sebelumnya menunjukkan
peningkatan berat badan yang berarti pada beberapa pasien yang diberi opiat
antagonis.
Kelaparan menghasilkan beberapa perubahan biokimia, yang sebagian juga ada
pada pasien depresi, seperti hiperkortikolemia dan non supresi dari
dexamethason. Fungsi tiroid juga tertekan, kelainan ini hanya bisa dikoreksi
dengan kaliminasi. Kelaparan juga menyebabkan amenorrhea yang
menunjukkan kadar hormon (luitenizing hormon, FSH, gonadotropin, realising
hormon). Meskipun begitu, beberapa pasien anoreksia nervosa menderita
amenorrhea sebelum kehilangan berat badan yang signifikan.
b. Faktor sosial
Pasien anoreksia nervosa menemukan dukungan atas perilaku mereka
dan pandangan masyarakat akan kekurusan tubuh dan olah raga. Tidak ada
gambaran keluarga yang spesifik untuk anoreksia nervosa. Walaupun begitu,
ditemukan bukti yang menunjukkan pasien-pasien anoreksia nervosa
mempunyai masalah hubungannya dengan keluarga dan penyakit mereka.
Pasien anoreksia nervosa mempunyai sejarah keluarga yang depresi,
ketergantungan alkohol, atau gangguan makan.
c. Faktor psikososial dan psikodinamik
Anoreksia nervosa adalah sebagai suatu reaksi dari tuntutan remaja
untuk kebebasan yang lebih dan peningkatan fungsi sosial dan sexual mereka.
Pasien anoreksia nervosa umumnya kurang percaya diri, banyak dari mereka
merasa tubuh mereka dibawah kontrol orang tua mereka. Melaporkan diri
16
sendiri mungkin merupakan usaha untuk mendapat pengakuan sebagai orang
yang spesial dan unik.
Klinis psikoanalitik yang mengobati pasien anoreksia nervosa umumnya
setuju bahwa pasien-pasien muda tidak dapat berpisah secara psikologi dengan
ibu mereka. Pasien-pasien anoreksia nervosa merasa keinginan makan adalah
suatu kerakusan dan tidak bisa diterima, oleh karena itu, keinginan tersebut
harus diabaikan. Orang tua merespon hal ini dengan ketakutan apakah anak
mereka akan makan dan pasien mengabaikan ketakutan orang tua mereka.
Diagnosa
Onset anoreksia nervosa biasanya umur 10 tahun dan 30 tahun. Pasien
diluar range ini tidak tipikal, jadi diagnosa untuk pasien ini masih dipertanyakan.
Setelah umur 13 tahun, onsetnya meningkat sangat cepat. Maksimum pada usia 17
tahun sampai 18 tahun sekitar 85 % dari pasien anoreksia nervosa, onsetnya antara
umur 13 tahun dan 20 tahun. Ciri khas gangguan adalah mengurangi berat badan
dengan sengaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita. Untuk suatu
diagnosis yang pasti, dibutuhkan hal-hal seperti dibawah ini :
a. Berat badan tetap dipertahankan 15 % dibawah yang seharusnya (baik yang
berkurang maupun yang tidak pernah dicapai) atau Quatelets body mass
index : adalah 17,5 atau kurang [Quatelets body mass index = berat (Kg) /
tinggi (M2)]. Pada penderita pria pubertas bisa saja gagal mencapai berat
badan yang diharapkan selama periode pertumbuhan.
b. Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan menghindarkan
makanan yang mengandung lemak dan salah satu atau lebih dari hal-hal
yang berikut ini : Merangsang muntah oleh diri sendiri. Menggunakan
pencahar.Olah raga berlebihan. Memakai obat penekan nafsu makan dan
atau diuretika.
c. Terdapat distorsi body image dalam bentuk psikopatologi yang spesifik
dimana ketakutan gemuk terus menerus menyerang penderita, penilaian
yang berlebihan terhadap berat badan yang rendah.
d. Adanya gangguan endokrin yang meluas, melibatkan hypothalmic-pituitary
ayis, dengan manifestasi pada wanita sebagai amenorrhea dan pada pria
sebagai kehilangan minat dan potensi seksual. (Suatu kecualian adalah
perdarahan vagina yang menetap pada wanita yang anoreksia yang
17
menerima terapi hormon, umumnya dalam bentuk pil, kontrasepsi), juga
dapat terjadi kenaikan hormon pertumbuhan, naiknya kadar kortisol,
perubahan metabolisme periperal dan hormon tiroid dan sekresi insulin
abnormal.
e. Jika onsetnya terjadi pada masa prepubertas, perkembangan puber tertunda
atau dapat juga tertahan (pertumbuhan berhenti, pada anak perempuan buah
dadanya tidak berkembang dan terdapat amenorrhea primer, pada anak laki-
laki genitalianya tetap kecil). Pada penyembuhan, pubertas kembali normal,
tetapi menarche terlambat.(2,3,4)
Prognosis
Perjalanan penyakit anoreksia nervosa bervariasi, tumbuh spontan tanpa
pengobatan sembuh setelah terapi yang bervariasi, berat badan yang turun naik
diikuti relaps, penyakit yang secara berangsur-angsur memburuk dan berakhir
dengan kematian akibat komplikasi dari kelaparan. Secara umum, prognosa tidak
bagus, penelitian menunjukkan tingkat mortalitas antara 5-18%.
Indikasi bahwa penyakit sudah membaik adalah pangakuan akan
kelaparan, berkurang penyangkalan, ketidakdewasaan yang berkurang dan
membuktikan penghargaan terhadap diri sendiri. 30 50 % dari pasien anoreksia
nervosa memiliki gejala bulimia nervosa, dan biasanya gejala bulimia terjadi
kurang dari 1 tahun setelah timbulnya anoreksia nervosa.
Penatalaksanaan
Terapi yang menyeluruh dibutuhkan untuk menangani kasus anoreksia
nervosa, termasuk didalamnya hospitalisasi jika dibutuhkan dan psikoterapi
terhadap individu dan keluarganya.
a. Hospitalisasi
Pertimbangan utama dalam penanganan anoreksia nervosa adalah
mengembalikan keadaan gizi pasien, sebab dehidrasi, kelaparan dan
gangguan keseimbangan elektrolit dapat menyebabkan masalah kesehatan
yang serius. Bahkan pada beberapa kasus, kematian, keputusan untuk
18
menghospitalisasi pasien didasarkan pada kondisi medis umum pasien dan
menjamin kerja sama pasien.
b. Psikoterapi
Mayoritas pasien anoreksia nervosa membutuhkan intervensi yang berlanjut
setelah keluar dari rumah sakit. Bahkan dalam kasus yang kurang parah.
Hospitalisasi bahkan tidak dibutuhkan karena kebanyakan pasien mengalami
gangguan pada masa remaja tetapi keluarga adalah bagian dari rencana
terapi. Meskipun psikodinamik terapi tidak dibutuhkan pada tingkatan awal
terapi, terutama jika pasien anoreksia nervosa dalam kelaparan.Psikoterapi
yang berorientasi pada insight hanya berguna pada pasien anoreksia nervosa
yang telah stabil.
c. Terapi biologis
Anti depresiva sering digunakan dan sering berguna. Siproheptadin
(periactin) mungkin membantu, karena khasiat samping yang menambah
berat badan. Anti depresiva sertonik seperti fluoxetine, sertraline dan
paroksetin mungkin dapat membantu. Beberapa bukti juga menunjukkan
elektrokonvulsiva terapi (ECT) berguna bagi kasus-kasus tertentu anoreksia
nervosa dan gangguan depresi mayor.
2. Bulimia Nervosa
Bulimia nervosa (BN) ditandai dengan episode berulang makan berlebihan
(binge eating) dan kemudian dengan perlakuan kompensatori (muntah, berpuasa,
beriadah, atau kombinasinya). Makan berlebihan disertai dengan perasaan subjektif
kehilangan kawalan ketika makan. Muntah yang dilakukan secara sengaja, dan
beraktifitas secara berlebihan, serta penyalahgunaan pencahar, diuretik, amfetamin
dan tiroksin juga boleh terjadi (NCCMH, 2004).
DSM-IV mengklasifikasikan BN kepada dua bentuk yaitu purging dan
nonpurging. Pada tipe purging, individu tersebut memuntahkan kembali makanan
secara sengaja atau menyalahgunakan obat pencahar, diuretik atau enema. Pada tipe
nonpurging, individu tersebut menggunakan cara lain selain cara yang digunakan
pada tipe purging, seperti berpuasa atau beriadah secara berlebihan (APA, 1994).
Etiologi dan Faktor Resiko
19
Faktor risiko untuk terjadinya BN antara lain ialah faktor familial seperti
obesitas pada orang tua, gangguan afek, dan kritikan dari keluarga tentang berat
badan atau kebiasaan makan. Terdapat juga kerentanan genetik pada anak kembar
untuk mengalami BN tetapi bagaimana hal ini terjadi tidak begitu jelas (Abraham
dan Stafford, 2004).
Gambaran klinis
Komplikasi fisik BN termasuk kelelahan sebagai akibat dehidrasi,
gangguan pencernaan yang disebabkan oleh muntah dan penyalahgunaan
pencahar, menstruasi yang tidak teratur dan masalah gangguan kesuburan, dan
masalah jantung yang diakibatkan oleh penyalahgunan ipecac (Abraham dan
Stafford, 2004). Perlu diberi perhatian jika terdapat pembengkakan kelenjar liur
yang disebakan oleh muntah-muntah dan erosi enamel yang diakibatkan oleh
regurgitasi asam lambung (Tsuboi, 2005).
Disebabkan oleh perbuatan muntah yang berulang, individu tersebut
mengalami ketidakseimbangan elektrolit seperti, hipokalemia, hipokloremia,
danhiponatremia, dan juga boleh menyebabkan alkalosis. Penggunaan pencahar
yang berulang boleh menyebabkan asidosis metabolik yang ringan (Walsh, 2008).
Gangguan mood adalah sering pada pasien dengan BN. Kecemasan
(anxiety) dan tegang (tension) sering dialami (NCCMH, 2004). Kebanyakan
pasien dengan BN mengalami depresi ringan dana sesetengah mengalami
gangguan mood dan perilaku yang serius seperti cobaan membunuh diri dan
penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Biasanya, pasien dengan BN
merasa malu dengan perbuatannya sendiri dan cenderung untuk merahasiakannya
daripada keluarga dan teman-teman. (Walsh, 2008).
Diagnosis
Diagnosis BN menggunakan kriteria diagnostik yang dikemukakan oleh DSM-IV.
Kriteria diagnostik BN ialah;
1. Episode makan berlebihan yang berulang yang dikarakteristikkan dengan
konsumsi sejumlah besar makanan dalam waktu yang singkat (selalunya
kurang daripada 2 jam) dan perasaan untuk makan tidak terkontrol.
20
2. Perilaku kompensasi makan berlebihan yang berulang, seperti
memuntahkan kembali, penggunaan pencahar, berdiet keras atau berpuasa
secara berlebihan sebagai melawan perbuatan makan berlebihan.
3. Perbuatan 1 dan 2 telah berlangsung sebanyak sekurang-kurangnya 2
kali/minggu selama sekurang-kurangnya 3 bulan.
4. Perhatian yang berlebihan terhadap bentuk dan berat badan.
Terapi
Untuk mengurangi dan mengeliminasi perilaku makan/muntah, individu
tersebut perlu menjalani kaunseling gizi dan psikoterapi, terutama terapi perilaku
kognitif (cognitive behavioral therapy (CBT)) atau diberi pengobatan seperti
antidepresan seperti fluoksetin, yang merupakan satu-satunya obat
yangdibenarkan oleh Food and Drug Administration untuk mengobati BN
(NCCMH, 2004).
CBT merupakan pengobatan psikologis jangka pendek (4-6 bulan) yang
berfokus pada perhatian berlebihan pada bentuk dan berat badan, diet yang
persisten dan perilaku makan/muntah yang menggambarkan gangguan ini (Walsh,
2008).
Prognosis
Prognosis BN lebih baik daripada prognosis AN (Anoreksia Nervosa).
Mortalitas yang rendah, dan penyembuhan sempurna bisa terjadi pada 50% dalam
masa 10 tahun. Kira-kira 25% pasien mengalami simptom BN yang persisten dan
ada yang beralih dari BN menjadi AN.
3. Kaheksia
Kaheksia kanker berasal dari bahasa Yunani kakos dan hexis yang berarti
keadaan yang buruk. Kaheksia kanker merupakan suatu kelainan yang berat dan
sangat kompleks, ditandai dengan penurunan berat badan, yang berkaitan dengan
anoreksia, astenia (lemah dan kurang tenaga atau energi), anemia dan perubahan
fungsi imun. Astenia merupakan gejala yang menonjol dengan gambaran kelemahan
secara umum, baik fisik maupun mental. Pada astenia dijumpai kehilangan massa
otot, yang tidak hanya terjadi diotot skelet tetapi juga pada otot jantung, sehingga
dapat mengakibatkan gangguan kerja jantung.
21
Selain gejala-gejala kaheksia yang telah disebutkan di atas, juga terjadi gangguan
metabolisme, yaitu resistensi insulin, peningkatan lipolisis dan kehilangan massa
lemak dengan atau tanpa disertai peningkatan oksidasi lipid,peningkatan pergantian
(turnover) protein yang disertai kehilangan massa otot dan terjadi peningkatan
produksi protein fase akut (acute phase protein).
Kaheksia kanker ditemukan pada lebih dari 80% pasien yang menderita keganasan
tahap lanjut dan menjadi penyebab kematian pada lebih dari 20% kasus. Masing-
masing jenis tumor akan memberikan akibat kaheksia yang berbeda-beda, misalnya
kaheksia yang lebih berat ditemukan pada kanker gastrointestinal, paru dan prostat.
Hal yang sebaliknya ditemukan pada kanker darah dan payudara. Pada pasien dengan
tumor batang otak, massa sangat mudah menekan pusat muntah serta menimbulkan
disfungsi motorik gastrointestinal, tentusaja hal ini sangat berperan pada timbulnya
kaheksia. Kehilangan berat badan pada kanker berdampak pada kualitas hidup dan
usia harapan hidup pasien.Penurunan berat badan sebanyak 30% berisiko fatal.
Pasien kaheksia, jika mendapatkan terapi kemo akan memberikan respon yang
kurang dan efek toksik yang lebih tinggi. Mekanisme kaheksia kanker tidak
sesederhana seperti pada kelaparan (starvation) yaitu asupan kalori yanglebih
rendah dibandingkan kebutuhan saja, melainkan terjadi juga kekacauan
metabolisme. Gangguan metabolisme yang terjadi pada kaheksia kanker dipengaruhi
keluarnya sitokin dan faktor pemicu kaheksia lain yang dihasilkan oleh tumor dan
tubuh sendiri.
4. Obesitas
Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial yang terjadi akibat akumulasi
aringan lemak yang berlebihan sehinga dapat mengangu kesehatan.obesitas dapat
dapat digolongkan menjadi 3 jenis ada obesitas ringan,obesitas sedang dan obesitas
berat. Obesitas ringan kelebihan berat badan 20-40% , obesitas sedang(kelebihan
berat badan dari 41% -100% dan obesitas berat (lebih dari 100 % berat ideal).
Dari penelitian ibu desiana erawati dalam jurnal IPTEK olahraga no. 3 september
2003 yang mengambil sampel siswa smpyang obesitas ternyata didapatkan bahwa
pola prilaku makan remaja yang mengalami obesitas berkisar 3-4 kali dalam sehari
22
namun remaja obesitas memilki kebiasaan menambahporsi makan pada saat makan
dan makanan kesukaan adalah makanan yang tinggi kalori, tinggi lemak serta rendah
serat. Remaja tersebut juga memiliki kebiasaan jajan dan ngemil.dan kebiasaan
tersebut dilakukan bersama teman-teman dan orang tua baik dirumah maupun di luar
rumah.
Ada 3 faktor yang mempengaruhi prilaku makan pada orang obesitas yaitu faktor
fisiologi dan ada faktor psikologinya dan faktor lingkungannnya.
Faktor fisiologis
1. Hiperfagia
Adanya kerusakan atau lesi pada hipotalaus bagian ventromedial
hipotalamus sehingga orang tersebut cenderung terus makan tanpa adanya
rasa kenyang. Karenadaerah terebut berfungsi sebagai tempat kenyang. Selain
itu lesi pada nukeus paraventrikular juga dapat menimbulkan proses man yang
berlebihan.
2. Hipotesis Lipostatik
Leptin yang terdapat di jaringan adiposa akan menghitung atau mengukur
persentase lemak dalam sel lemak di tubuh, apabila jumlah lemak tersebut
rendah, maka akan membuat hipotalamus menstimulasi kita untuk merasa
lapar dan makan.
3. Hipotesis Hormon Peptida pada Organ Pencernaan
Makanan yang ada di dalam saluran gastrointestinal akan merangsang
munculnya satu atau lebih peptida, contohnya kolesitokinin. Kolesitokinin
berperan dalam menyerap nutrisi makanan. Apabila jumlah kolesitokinin
dalam GI rendah, maka hipotalamus akan menstimulasi kita untuk memulai
pemasukan makanan ke dalam tubuh.
4. Hipotesis Glukostatik
Rasa lapar pun dapat ditimbulkan karena kurangnya glukosa dalam darah.
Makanan yang kita makan akan diserap tubuh dan sari-sarinya (salah satunya
glukosa)akan dibawa oleh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh, jika dalam
darah kekurangan glukosa,maka tubuh kita akan memerintahkan otak untuk
memunculkan rasa lapar dan biasanya ditandai dengan pengeluaran asam
lambung.
5. Hipotesis Termostatik
23
Apabila suhu dingin atau suhu tubuh kita di bawah set point, maka
hipotalamus akan meningkatkan nafsu makan kita. Teori produksi panas yang
dikemukakan oleh Brobeck menyatakan bahwa manusia lapar saat suhu
badannya turun, dan ketika naik lagi, rasa lapar berkurang. Inilah salah satu
yang bisa menerangkan mengapa kita cenderung lebih banyak makan di
waktu musim hujan/dingin.
6. Neurotransmitter
Neurotransmitter ada banyak macam, dan mereka berpengaruh terhadap
nafsu makan. Misalnya saja, adanya norepinephrine dan neuropeptida Y akan
membuat kita mengkonsumsi karbohidrat. Apabila adanya dopamine dan
serotonine, maka kita tidak mengkonsumsi karbohidrat.
7. Kontraksi di Duodenum dan Lambung
Kontraksi yaitu kontraksi yang terjadi bila lambung telah kosong selama
beberapa jam atau lebih. Kontraksi ini merupakan kontraksi peristaltik yang
ritmis di dalam korpus lambung. Ketika kontraksi sangat kuat, kontraksi ini.
Faktor Psikologis
Rasa lapar tidak dapat sepenuhnya hanya dijelaskan melalui komponen biologis.
Sebagai manusia, kita tidak dapat mengesampingkan bagian prikologis kita,
komponen belajar dan kognitif (pengetahuan) dari lapar. Tak seperti makhluk
lainnya, manusia menggunakan jam dalam rutinitas kesehariannya, termasuk saat
tidur dan makan.
Bau, rasa, dan tekstur makanan juga memicu rasa lapar. Warna makanan juga
memperngaruhi rasa lapar. Stres juga dapat berpengaruh terhadap nafsu makan, tetapi
ini bergantung pada masing-masing individu.
Kebiasaan juga mempengaruhi rasa lapar. Seperti orang normal yang biasa makan
3 kali sehari bila kehilangan 1 waktu makan, akan merasa lapar pada waktunya
makan walaupun sudah cukup cadangan zat gizi dalam jaringan-jaringannya
Faktor lingkungan
1. Bisa disebabkan oleh faktor orang tua yang selalu menyediakna makan pada
anak-anaknya dan memberi uang jajan yang berlebihan bisa menyebabkan
orang tersebut menjadi obesitas.
24
2. bisa disebabkan karena lingkungan yang menantang orang tersebut untuk terus
makan misalnya hidup di kalangan orang-orang yang obesitas
5. Adiksi
Penelitian-penelitian di bidang adiksi dan mind-sciences (neurosciences) dalam
kurang lebih 10 tahun terakhir ini telah mendapatkan temuan-temuan nyata tentang
peran dan mekanisme otak dalam perilaku kecanduan. Bila jiwa dan perilaku
manusia dipandang sebagai otak yang dioperasionalkan maka semua perilaku
manusia, termasuk perilaku adiksi (kecanduan) harus dipandang faktor di otaklah
yang bertanggungjawab.
Apakah kecanduan (adiksi) itu didapat dari pengaruh lingkungan dan teman
dekat, atau diturunkan (diwariskan)? Sebuah hipotesis klasik mengatakan bahwa
ada ragam genetik tertentu di otak yang menyebabkan seseorang, mau tidak mau,
menjadi pecandu (heroin, amfetamin, nikotin, alkohol, dan lain-lain). Pada sepuluh
anak yang diajari menyuntik heroin tiap hari sampai lima hari, hanya 2 atau 3 yang
lanjut menjadi pecandu, lainnya sama sekali tidak menjadi pecandu. Demikian pula
halnya dengan rokok. Hanya 2 atau 3 dari sepuluh anak yang menjadi perokok berat
(lebih dari 10 batang perhari).
Dengan menggunakan peralatan medis canggih seperti MRI, CT
Scan,Brainmapping, dan lain-lain.Penelitian-penelitian adiksi bisa menunjukkan
bahwa faktor-faktor di otak yang bertanggungjawab pada terjadinya adiksi adalah
senyawa neurokimiawi di celah sinaptik yang disebut dopamin. Celah sinaptik
terdapat antara ujung satu sel syaraf (neuron) dengan ujung sel syaraf yang lain.
Dopamin yang dikeluarkan ke celah sinaptik dari ujung sel syaraf akan ditarik dan
ditangkap oleh reseptor-reseptor dopamin pada dinding ujung sel syaraf lain pada
celah itu.
Keluarnya dopamin yang cukup, dalam kondisi normal, akan menimbulkan rasa
nyaman secara fisik dan mental pada individu. Bila suatu saat pengluaran dopamin
menurun, maka sirkuit otak yang didukung neurotransmiter lain, GABA, akan
bereaksi meningkatkan dan akibatnya akan tercapai respons kenikmatan lagi. Opiat
seperti heroin dan kokain yang disuntikkan dalam darah akan mendorong pengluaran
25
dopamin ke celah sinaptik lebih banyak dan akibatnya tercapai respons rasa nyaman
atau nikmat yang tinggi.
Bila kemudian efek opiat yang mendorong dopamin ini menurun individu merasa
tidak nyaman bahkan kesakitan, maka ia harus mengkonsumsi opiat lagi, secara
dibakar dan disedot ataupun disuntikkan untuk meningkatkan pengluaran dopamin
lagi yang menimbulkan rasa nikmat lagi. Ternyata untuk memperoleh rasa nikmat
yang sama dibutuhkan zat adiktif yang makin lama semakin banyak kadarnya.
Terjadilah toleransi zat dan pengulangan-pengulangan terus yang disebut kecanduan
(adiksi).
Opiat (heroin, kokain) ternyata juga merusakkan sistem neurotransmiter GABA
yang berfungsi sebagai pengerem atau penghambat reseptor-reseptor dopamin yang
akan meningkatkan kadar dopamin terus menerus. Sistem GABA yang membentuk
sirkuit keseimbangan otak ini dihancurkan oleh zat adiktif heroin atau kokain. Maka
individu secara tak terkendali menyuntikkan heroin terus sampai sehari sepuluh kali
untuk meningkatkan dopamin yang menghasilkan rasa nikmat napza.
Para peneliti menemukan adanya predisposisi genetik pada para pecandu berat
opiat dan alkohol, yaitu tingginya jumlah A1 allele dari gen reseptor DRD2
(dopamin) dan rendahnya jumlah gen reseptor serotonin di otak mereka sebelum
mereka menjadi pecandu. Tingginya jumlah allele gen repetor dopamin ini
menyebabkan dopamin yang tercurah pada mereka memang banyak dan dibutuhkan
zat adiktif opiat atau alkohol untuk mempercepat peningkatannya bila suatu ketika
menurun.
Jadi mereka cenderung mencari zat-zat yang bisa secara cepat dan hebat
meningkatkan lagi dopamin mereka. Sedang rendahnya jumlah reseptor serotonin
menyebabkan selalu menurunnya serotonin di celah sinaptik yang menyebabkan
depresi dan bunuh diri. Pemakaian heroin, amfetamin atau alkohol akan mendorong
pelepasan neurotransmiter serotonin ini yang bila meningkat kadarnya akan
menghilangkan depresi dan memberikan rasa nyaman dan bahagia.
Mekanisme adiksi digambarkan sebagai berikut
Penggunaan secara berulang dan kompulsif dari bahan-bahan tertentu, walaupun
dengan konsekuensi kesehatan yang negatif.
26
Dihubungkan dengan sistem ganjaran, dan secara khusus dengan nukleus
accumbens, juga melibatkan neuron dopaminergik mesokortikal yang berproyeksi
dari midbrain ke nukleus accumbens dan korteks frontal.
Obat-obat dengan efek adiksi mempengaruhi otak dengan berbagai cara,
kesamaannya adalah bahwa obat-obat ini meningkatkan jumlah dopamin yang
berikatan dengan reseptor D3 di nukleus Accumbens.
Secara akut obat-obat ini menginduksi sistem ganjaran di otak.
Salah satu karakter adiksi adalah kecenderungan untuk kembalinya adiksi setelah
terapi, biasanya dibangkitkan oleh suasana yang berhubungan dengan saat
penggunaan obat-obat tersebut. Kemungkinan pengulangan ini dihubungkan dengan
walau pada dosis tunggal, obat-obat dengan efek adiksi membuat pelepasan
neurotransmitter di area yang berhubungan dengan memori.
Korteks frontal medial, hippocampus, dan amigdala, semuanya berhubungan
dengan memori, dan semuanya berproyeksi ke nukleus accumbens melalui jalur
glutamat eksitasi.
E. Zat yang mempengaruhi perilaku makan
Dewasa ini banyak sekali produk pelangsing (antiobesitas) yang dijual dipasaran yang
memiliki efek terhadap bagaimana perilaku makan seseorang. Mekanisme kerja dari zat
antiobesitas pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
1. Menekan nafsu makan.
2. Meningkatkan metabolisme tubuh
3. Menurunkan kemampuan tubuh untuk mengabsorpsi nutrien tertentu dari makanan,
utamanya lemak, misalnya dengan cara menghambat peruraian lemak sehingga tidak
dapat diserap oleh tubuh.
Beberapa contoh obat antiobesitas antara lain:
1. Orlistat (Xenical)
Obat ini menggurangi penyerapan lemak di usus dengan cara menghambat enzim
lipase dari pankreas. Lipase adalah enzim yang bertugas menguraikan lemak. Obat ini
27
bisa menyebabkan feses menjadi berlemak, perut kembung, dan kontrol BAB
terganggu. Tapi efek samping ini bisa dikurangi jika asupan makanan berlemak di
kurangi.
2. Sibutramin (Meridia, Reductil)
Obat ini bekerja secara sentral menekan nafsu makan, dengan mengatur
ketersediaan neurotransmiter di otak, yaitu menghambat re-uptake serotonin dan
norepinefrin. Namun obat ini harus digunakan secara hati-hati karena dapat
meningkatkan tekanan darah, menyebabkan mulut kering, konstipasi, sakit kepala dan
insomnia. Sibutramin inilah yang sering ditambahkan oleh produsen jamu pelangsing.
Padahal untuk mereka yang memiliki gangguan penyakit kardiovaskuler tentu sangat
riskan menggunakan jamu ini karena dapat meningkatkan tekanan darah dan mungkin
risiko terjadinya stroke.
Cara kerjanya hampir mirip seperti obat-obat golongan katekolamin dan
turunannya. Ini mengingatkan pada salah satu obat yang cukup terkenal dan
menghebohkan, yaitu fenilpropanolamin (PPA), yang juga banyak dijumpai pada
komposisi obat flu. PPA banyak dipakai sebagai pelangsing dengan dosis jauh lebih
tinggi dari dosis yang dipakai untuk efek pelega hidung tersumbat. Dan ternyata, PPA
ini meningkatkan risiko kejadian stroke hemoragik. Saat ini PPA tidak lagi dipakai
sebagai obat pelangsing di sana.
3. Amphetamine
Obat ini tergolong dalam stimulantia yang mempunyai efek dapat menekan nafsu
makan sehingga dapat dipakai untuk tujuan mengurangi berat badan dengan jalan
menghilangkan nafsu makan, sehingga lama-lama berat badan akan turun. Mekanisme
adalah amfetamin mengaktifkan reseptor serotonin yakni suatu hormon yang berperan
saat kita merasa kenyang. Jadi dengan mengkonsumsi amphetamin, maka kita akan
merasa kenyang terus-menerus akibat aktifnya serotonin.
Di samping itu amphetamine juga dipakai untuk pengobatan bagi penderita
depresi (sebagai obat anti depresan) dengan jalan merangsang saraf pusat, sebagai
obat penderita epilepsy jenis petitmal, parkinsonisme, dan pengobatan intoxicaso
obat-obat penekan susunan saraf pusat. Efek amphetamine sebagai anti obesitas ini
28
sebenarnya hanya merupakan efek samping, dan bukan merupakan tujuan dari
penggunaan obat tersebut sebagai obat antidepressan.
Apabila diamati lebih lanjut dari pemakaian obat ini, maka tidak seperti apa yang
dikehendaki, sebab jenis obat ini mempunyai sifat addiksi, yang artinya untuk
memperoleh efek yang sama kita harus menaikkan dosis obat sesuai dengan efek yang
kita kehendaki. Contoh: Misal pada minggu pertama cukup menggunakan
amphetamine satu tablet perhari, tapi pada minggu-minggu berikutnya harus
menggunakan dosis yang lebih tinggi, misalnya 2-3 tablet perhari untuk memperoleh
hasil yang sama seperti saat minggu pertama. Sehingga lama-lama orang tersebut
tidak merasakan bahwa tubuhnya telah kecanduan amphetamine, yang justru
akibatnya lebih berat dari pada kecanduan narkotik.
Hal ini memang tidak pernah diduga, sebab amphetamine bukan golongan
narkotik dan memang tujuan untuk minum amphetamine bukan untuk kecanduan,
tetapi hanya sekedar untuk menurunkan berat badan. Hal yang tidak terduga ini
banyak terjadi dalam masyarakat sehingga mereka menjadi penderita ketergantungan
obat, menjadi amphetamine.
Efek amphetamine:
a. Dengan dosis rendah
penderita merasa badannya lebih segar, baik fisik maupun mental
semangat naik, kepercayaan pada diri sendiri bertambah
perasaan hati jadi gembira.
b. Dengan dosis tinggi
Efek stimulasi timbul dengan cepat dan hebat mencapai suatu keadaan
kicks, high dan flash suatu keadaan exite, kekuatan dan energi. Penderita merasa
dirinya paling hebat, paling tinggi, merasa kuat dan sanggup melakukan apa saja.
Pada waktu efek obat mulai menurun penderita sangat gelisah, irritable, timbul
berbagai ilusi dan halusinasi serta bermacam-macam waham, dia merasa diancam,
dikejar-kejar dan pada saat ini dia mungkin:
Menyakiti diri sendiri, merusak lingkungan, dapat bunuh diri, atau bahkan
membunuh orang lain ataupun criminal activity yang lain.
29
Dia akan berusaha kembali mendapatkan obat setiap kali merasakan
penurunan efek obat sehingga terjadilah run yang dapat berlangsung
berhari-hari.
4. Obat-obat laksatif
Selain obat-obat di atas, obat-obat lain yang sering dipakai untuk mengurangi
berat badan adalah golongan laksatif atau pencahar. Dengan melancarkan BAB
(buang air besar) diharapkan berat badan juga relatif terkontrol. Banyak sediaan
suplemen yang mengandung high-fiber yang diindikasikan untuk melangsingkan
tubuh dan dapat diperoleh secara bebas. Serat tinggi tadi diharapkan mengembang di
saluran cerna dan memicu gerakan peristaltik usus sehingga akan memudahkan BAB.
Walaupun mungkin berhasil, tetapi efeknya umumnya tidak terlalu signifikan. Selain
sejenis fiber ini, beberapa pencahar lain juga sering dipakai sebagai pelangsing.
Penggunaan pencahar sebagai pelangsing dalam waktu lama tidak disarankan karena
usus akan menjadi malas, akan bekerja jika ada pemicunya, dan hal ini akan
menjadikan semacam ketergantungan.
5. Diuretik
Obat-obat diuretik (pelancar air seni) juga sering dipakai sebagai obat
pelangsing. Tapi sebenarnya efeknya tidaklah signifikan dalam mengurangi berat
badan. Justru penggunaannya harus diperhatikan karena dapat mengganggu
keseimbangan elektrolit dalam tubuh karena banyak ion-ion tubuh yang mungkin
akan terbawa melalui urin. Jika berat badannya disebabkan karena timbunan cairan,
maka diuretik memang pilihan yang tepat, tetapi jika karena timbunan lemak, tentu
diuretik tidak akan berefek signifikan. Umumnya teh-teh pelangsing mengandung
senyawa alam yang bersifat diuretik sehingga memberikan efek kesan melangsingkan.
6. Obat-obat herbal pelangsing
Sekarang banyak sekali ditawarkan berbagai produk herbal yang diklaim
memiliki efek pelangsing. Ada yang dikatakan bekerja melarutkan lemak, atau
mengurangi penyerapan lemak di usus. Salah satu herbal yang terkenal sebagai
pelangsing adalah Jati Belanda. Senyawa tanin yang banyak terkandung di bagian
30
daun, mampu mengurangi penyerapan makanan dengan cara mengendapkan mukosa
protein yang ada dalam permukaan usus. Sementara itu, musilago yang berbentuk
lendir bersifat sebagai pelicin. Dengan adanya musilago, absorbsi usus terhadap
makanan dapat dikurangi. Hal ini yang yang menjadi alasan banyaknya daun jati
belanda yang dimanfaatkan sebagai obat susut perut dan pelangsing. Obat-obat herbal
pelangsing memang lebih aman, tetapi efikasinya tentu perlu bukti-bukti penelitian
lebih lanjut. Mungkin ada yang berhasil, mungkin pula tidak.
31
Kesimpulan
Berdasarkan skenario, dapat diketahui bahwa salah satu perilaku yang diamati dan
dilihat yaitu perilaku makan dan minum. Perilaku makan dan minum diatur oleh system saraf
pusat yaitu hipotalamus yang dapat menginduksi terjadinya mekanisme lapar dan haus yang
mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas makan dan minum. Perilaku makan sendiri
terdiri dari beberapa aspek dan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor biologis,
sosio-psikologis, serta faktor eksternal. Selain bagaimana normalnya perilaku makan,
diketahui juga bahwa perilaku makan dapat terganggu, baik itu disebabkan oleh faktor
internal maupun faktor eksternal. Adapun gangguan perilaku makan seperti anorexia
nervosa, bulimia nervosa, obesitas, kaheksia, adiksi, dll.
32
Daftar Pustaka
Departemen Farmakologi FK UI. 2009. Farmakologi dan Terapi. 5th
. Jakarta: Balai Penerbit
FK Universitas Indonesia
Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . 11th
. Jakarta : EGC.
Kenneth S. Saladin. 2007. Anatomy & Physiology, the Unity of Form and Function. 4th
. New
York : The McGrawHill Companies,
Maramis, Willy. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. . 2nd
. Surabaya : Airlangga University
Press.
Sherwood, Lauralee. 2002. Fisiologi : Dari Sel Ke Sistem. . 2nd
. Jakarta EGC.