Upload
malaikat-pencabut-nyawa
View
13
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bronkiolitis
Citation preview
STEP 6 : BELAJAR MANDIRI
STEP 7 : PEMBAHASAN
1. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi
Sekitar 95% dari kasus yang ada, secara serologis terbukti disebabkan oleh
invasi RSV. Terdapat penyebab lain seperti adenovirus, virus influenza, virus
parainfluenza-3, rhinovirus, dan mikoplasma. Meskipun demikian, belum ada
bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri. (1)
Faktor Resiko
a. Bayi yang tidak diberikan ASI, karena colostrum dapat meningkatkan sistem
imun pada bayi(1)
b. Bayi dengan kelahiran prematur(1)
c. Adanya anggota keluarga yang terkena penyakit pernafasan yang menular.
Pada kasus ini, ibu tersebut menderita penyakit pernafasan. Padahal bayi tersebut
sering berinteraksi dengan ibunya, hal ini memungkinkan penularan penyakit dari
ibu ke bayinya.(1)
2. Patogenesis dan Patofisiologi Bronkiolitis
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-
350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang
merupakan bagian penting dari RSV untuk mengineksi sel, yaitu protein G
(attachment yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang
menghubungkan partikel virus dengan sel target dan tetangganya. Kedua protein
ini merangsang antibody neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam
strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pernapasan
yang lebih berat dan menimbulkan sekuele(2).
Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring
kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui
penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi
nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan
replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran
patologi awal berupa berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran
napas menyebabkan terjadinya edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin
ke dalam lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu
gerakan mukosilier, mucus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel sel
epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap
allergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance
P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya
kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion
Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-
sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses
inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mucus serta spasme
otot polos saluran napas(2).
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan
kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi,
atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolic sampai gagal napas. Karena
resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik dengan diameter saluran
napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah
memberian akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas
bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran napas meningkat
pada fase inspirasi maupun pada ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat
mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi
dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal.
Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total(2).
Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang
infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih
besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi
terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada
saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat
infeksi yan berulang-ulang, terjadi cumulative immunity sehingga pada anak yang
lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitits
dan pneumonia karena RSV(2).
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus
dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat
sampai 15 hari(2).
Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus
saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak
kevil seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai
dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus
saluran napas pada saat bayi/usia muda(2).
Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon
antibody sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun local. Bayi usia muda
mempunyai respon imun yang lebih buruk. Glezen dkk mendapatkan bahwa
terjadi hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi.
Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV
memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34
hari. IgE-RSV ditemuka dalam secret nasofaring 45% anak yang terifeksi RSV
dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitits yang disebabkan
RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik
RSV. (2)
3. Manifestasi klinis
Mula-mula bayi menderita gejala infeksi saluran napas atas yang ringan
berupa pilek yang encer, batuk, dan bersin, kadang-kadang disertai demam yang
tidak terlalu tinggi (subfebrile) dan nafsu makan berkurang. Gejala ini
berlangsung beberapa hari. Kemudian timbul distres respirasi yang ditandai oleh
batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah
serta sulit makan dan minum.2 Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas
cepat sehingga menghalangi proses menelan dan menghisap. Pada kasus ringan,
gejala menghilang 1–3 hari. Pada kasus berat, gejalanya dapat timbul beberapa
hari dan perjalanannya sangat cepat. (2)
Kadang-kadang, bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama
sekali, bahkan ada yang mengalami hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan
frekuensi napas >60 x/menit, terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot
pernapasan tambahan, retraksi, dan kadang-kadang disertai sianosis. Karena bayi
mempunyai dinding dada yang lentur, retraksi suprasternal dan kosta tampak jelas
dan tepi kosta terlihat melebar pada setiap pernafasan untuk menambah volume
tidalnya. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena terdorong
diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar ronki pada akhir inspirasi
dan awal ekpirasi. Terdapat ekpirasi yang memanjang dan wheezing kadang-
kadang terdengar dengan jelas. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen
<92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan
konjungtivitis ringan, otitis media dan faringitis. (2)
Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena
adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitrit acid, sulfur dioxide).
Karakteristiknya : gambaran klinis dan radiologis hilang timbul dalam beberapa
minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang
berulang. Proses penyembuhan mengarah pada penyakit paru kronis.
Histopatologi : hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi
dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus
tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis(2)
4. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anak usia di bawah 2 tahun, dari anamnesis didapatkan adanya gejala
infeksi saluran napas atas ringan akibat virus, seperti pilek ringan disertai rinorea,
batuk, dan demam. Demam biasanya tidak ada, namun jika ada, biasanya berkisar
antara 38,5oC sampai 39oC atau subfebris. Satu hingga dua hari kemudian timbul
batuk yang disertai dengan sesak napas yang makin hebat, yaitu bernapas dangkal
dan cepat. Kemudian dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting),
napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan sulit makan karena terganggu
oleh takinea yang dialami oleh pasien.7,8,9 (3)
2. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dispnea dengan expiratory effort,
takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Usaha-usaha
pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan
napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Menangis dan makan dapat
memperberat tanda ini. Dapat ditemukan juga konjungtivitis ringan dan faringitis.
Adanya obstruksi pada saluran napas bawah akibat respon inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekpirasi memanjang hingga wheezing.7,8,9
Wheezing lebih dominan, namun tidak terdengarnya wheezing bukan berarti tidak
ada obstruksi. Wheezing dan crackles dapat atau tidak dapat muncul, bergantung
pada derajat obstruksi saluran napas. Pada bayi dengan obstruksi saluran napas
berat, wheezing berkurang seiring dengan berkurangnya aliran udara. Biasanya
fase kritis dari penyakit ini terjadi pada 48 sampai 72 jam. Jika obstruksi hebat,
suara napas nyaris tidak terdengar. Selain itu, dapat juga ditemukan rhonki pada
auskultasi paru, yaitu rhonki basah halus nyaring pada akhir atau awal ekspirasi.
Sianosis sekitar hidung dan mulut dapat terjadi, dan apabila gejala memberat,
dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6 minggu.7,8,9 (3)
Tanda-tanda distress pernapasan dan impending respiratory failure pada bayi
dan anak yang masih kecil:6
1. peningkatan signifikan dari usaha bernapas, termasuk retraksi berat atau
grunting, penurunan gerakan dada.
2. Sianosis yang tidak membaik dengan pemberian oksigen.
3. HR ≥150 kali per menit.
4. bernapas sangat cepat, yaitu >60 kali per menit pada bayi baru lahir sampai usia
6 bulan; atau lebih dari 30 kali per menit pada anak usia 6 bulan sampai 2
tahun.
5. Depresi napas berat, yaitu ≤20 kali per menit.
6. Retraksi pada area supraklavikula, sternum, epigastrium, dan interkostal.
Retraksi lebih terlihat pada anak dibandingkan dewasa karena anak memiliki
dada yang lebih compliant?
7. Cemas dan agitasi yang ekstrim.
8. Penurunan kesadaran. (4)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk bronkiolitis adalah :
1. Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan predominan
polimorfonuklear atau dapat ditemukan leukopenia yang menandakan
prognosis buruk, dapat ditemukan anemia ringan atau sedang. Hitung
darah lengkap menunjukkan kenaikan tingkat sedang dan hitung leukosit
biasanya normal dengan atau tanpa pergeseran ke kiri. Pada pasien dengan
peningkatan leukosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang.
2. Pada pemeriksaan laboratorium : Untuk menentukan penyebab
bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring.
Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang
lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain
yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan
cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-
90%.
3. Pemeriksaan radiologis : Gambaran radiologik mungkin masih normal bila
bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang
(hiperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar,
mungkin atelektasis (patchy atelectasis) atau pneumonia (patchy
infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah
dan diafragma tertekan kebawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan
hyperaerated apabila kita mendapatkan : siluet jantung yang menyempit,
jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter
anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga
horizontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.
4. Analisa gas darah : Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia
akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi. Pada
keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan menunjukkan
kenaikan PCO2 (hiperkapnia), karena karbondioksida tidak dapat
dikeluarkan, akibat edema dan hipersekresi bronkiolus (4)
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory
Distress Assesment Instrumen (RDAI) yang menilai distres napas
berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor
lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan
dalam kategori ringan. (4)
Tabel . Respiratory Distress Assesment Instrument (RDAI)
SKOR Skor
maksimal0 1 2 3 4
WHEEZING
– Ekspirasi
(-)
(-)
Akhir
Sebagian
½
Semua
¾
Semua
4
2
– Inspirasi
– Lokasi
(-) ≤2 dari 4
lap.paru
≥3 dari 4
lap.paru
2
RETRAKSI
–
Supraklavikular
– Interkostal
– Subkostal
(-)
(-)
(-)
Ringan
Ringan
Ringan
Sedang
Sedang
Sedang
Berat
Berat
Berat
3
3
3
TOTAL 17
5. Diagnosis Banding
Asma
Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya.
Berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale
merupakan diagnosis banding yang tersering
1. Bronkitis
2. Congestive heart failure
3. Miokarditis
4. Udema pulmonum
5. Pneumonia (virus atau bakteri) à Lymphoid interstitial pneumonia
6. Aspirasi benda asing atau terpapar zat beracun (zat kimia, asap,toksin)
7. Broncomalasia
8. Cystic fibrosis
9. Gastroesophageal reflux (GER)
DIAGNOSIS TandaAsma – Riwayat mengi berulang, beberapa
diantaranya tidak berkaitan dengan serangan
batuk dan pilek
– Hiperinflasi dada
– Ekspirasi memanjang
– Pengurangan pemasukan udara (jika berat
terjadi obstruksi udara)
– Respon baik terhadap bronkhodilator
Bronkhiolitis – episode pertama mengi pada anak umur <
2 tahun
– Hiperinflasi dada
– Ekspirasi memanjang
– Pengurangan pemasukan udara (jika berat
terjadi obstruksi udara)
– Kurang / tidak respon terhadap
bronkhodilator
Mengi yang berkaitan
dengan batuk dan pilek
– mengi selalu berhubungan dengan
disertainya batuk dan pilek
– tidak ada riwayat keluarga yang menderita
asma
– ekspirasi memanjang
– Pengurangan pemasukan udara (jika berat
terjadi obstruksi udara)
– Respon baik terhadap bronkhodilator
– Mengi cenderung lebih ringan dari pada
asma
Aspirasi benda asing – riwayat onset penyumbatan saluran nafas
dan mengi secara tiba-tiba.
– Mengi bisa unilateral
– Perangkap udara dengan hiperresonan dan
pergeseran mediastinum
– Tanda kolaps paru : pengurangan masukan
udara dan perkusi tumpul (dull percussion)
– tidak respon terhadap bronkhodilator
Pneumonia – batuk dengan nafas cepat
– retraksi dinding dada bawah
– demam
– suara nafas kasar
– napas cuping hidung
– stridor
6. Tatalaksana
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif yaitu
pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena, dan kecukupan
cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan
respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti
inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan
vaksin RSV, RSV immunoglobulin ( polyclonal ) atau Humanis RSV monoclonal
antibody ( palivizumab ).
Terapi oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk
kasus-kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan
afinitas haemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan
melalui nasal prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head
box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse
oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada
saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan
di rumah sakit.
Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infuse
dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan,
kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah
dan tidak dapat minum, panas, distress napas untuk mencegah terjadinya
dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan,
untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of
Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi
terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan
leukosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur
darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang
memiliki spectrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan
pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam
mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan
menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi
sekunder dapat menjadi alasan diberikan antibiotika.
Ribavirin adalah purin nucleoside derivate guanosine sintetik, bekerja
mempengaruhi pengeluaran messenger RNA (mRNA). Ribavirin menghambat
translasi mRNA virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase
RNA. Titer RSV bisa meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau
sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat
replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih
bermanfaat pada fase awal infeksi.
Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama
diperdebatkan selama hampir 40 tahun.Terapi farmakologis yang paling sering
diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortiko steroid.
Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari)
diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, metilprrednisolon,
hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata
dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dengan ekuivalen
mg/kgBB prednison. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6-6,3 mg/kgBB,
dan rata-rata total paparan antara 3,0-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah
secara oral, intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek merugikan yang
dilaporkan. (6)
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada bronkiolitis antara lain :
a) Apneu
b) Pneumonia
c) Sindrom Aspirasi
d) Pneumothoraks
e) Obstruksi berat
8. Edukasi
1. Hindari bahan-bahan sedatif karena dapat menimbulkan depresi napas.
2. Pemberian nutrisi yang cukup
3. Mematuhi anjuran dokter untuk minum obat secara teratur
4. Menjaga kebersihan lingkungan
5. Kalau ibunya batuk pakai masker supaya tidak menular ke anaknya
6. Jangan membawa bayi berumur kurang dari 6 bulan ke tempat umum. (5)
Daftar Pustaka
(1)Zain MS. Bronkiolitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012.
h.333-47
(2)Setiawati, Landia. Tata Laksana Bronkiolitis (Treatment of Bronchiolitis).
Surabaya: FK Universitas Airlangga; 2005
(3)Porth CM, Matfin G. Pathophysiology concepts of altered health states. Eight
edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009. (4)Rahajoe, N. Nastiti dkk. Respirologi Anak, IDAI, Jakarta, 2008
(5)Zain MS. Bronkiolitis. Dalam:Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku
Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,
2012
(6)Zain, Magdalena Sidhartani.2010.Bronkiolitis. Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta:Ikatan Dokter Anak Indonesia.