21
STEP 6 : BELAJAR MANDIRI STEP 7 : PEMBAHASAN 1. Etiologi dan Faktor Resiko Etiologi Sekitar 95% dari kasus yang ada, secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Terdapat penyebab lain seperti adenovirus, virus influenza, virus parainfluenza-3, rhinovirus, dan mikoplasma. Meskipun demikian, belum ada bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri. (1) Faktor Resiko a. Bayi yang tidak diberikan ASI, karena colostrum dapat meningkatkan sistem imun pada bayi (1) b. Bayi dengan kelahiran prematur (1) c. Adanya anggota keluarga yang terkena penyakit pernafasan yang menular. Pada kasus ini, ibu tersebut menderita penyakit pernafasan. Padahal bayi tersebut sering berinteraksi dengan ibunya, hal ini memungkinkan penularan penyakit dari ibu ke bayinya. (1) 2. Patogenesis dan Patofisiologi Bronkiolitis RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan

bronkiolitis laptut

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bronkiolitis

Citation preview

Page 1: bronkiolitis laptut

STEP 6 : BELAJAR MANDIRI

STEP 7 : PEMBAHASAN

1. Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi

Sekitar 95% dari kasus yang ada, secara serologis terbukti disebabkan oleh

invasi RSV. Terdapat penyebab lain seperti adenovirus, virus influenza, virus

parainfluenza-3, rhinovirus, dan mikoplasma. Meskipun demikian, belum ada

bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri. (1)

Faktor Resiko

a. Bayi yang tidak diberikan ASI, karena colostrum dapat meningkatkan sistem

imun pada bayi(1)

b. Bayi dengan kelahiran prematur(1)

c. Adanya anggota keluarga yang terkena penyakit pernafasan yang menular.

Pada kasus ini, ibu tersebut menderita penyakit pernafasan. Padahal bayi tersebut

sering berinteraksi dengan ibunya, hal ini memungkinkan penularan penyakit dari

ibu ke bayinya.(1)

2. Patogenesis dan Patofisiologi Bronkiolitis

RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-

350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang

merupakan bagian penting dari RSV untuk mengineksi sel, yaitu protein G

(attachment yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang

menghubungkan partikel virus dengan sel target dan tetangganya. Kedua protein

ini merangsang antibody neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam

strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pernapasan

yang lebih berat dan menimbulkan sekuele(2).

Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring

kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui

penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi

Page 2: bronkiolitis laptut

nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan

replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran

patologi awal berupa berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran

napas menyebabkan terjadinya edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin

ke dalam lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu

gerakan mukosilier, mucus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel sel

epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap

allergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance

P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya

kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion

Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-

sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses

inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mucus serta spasme

otot polos saluran napas(2).

Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,

menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta

meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan

kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi,

atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolic sampai gagal napas. Karena

resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik dengan diameter saluran

napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah

memberian akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas

bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran napas meningkat

pada fase inspirasi maupun pada ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat

mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi

dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal.

Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total(2).

Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang

infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih

besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi

Page 3: bronkiolitis laptut

terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada

saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat

infeksi yan berulang-ulang, terjadi cumulative immunity sehingga pada anak yang

lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitits

dan pneumonia karena RSV(2).

Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus

dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat

sampai 15 hari(2).

Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus

saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak

kevil seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai

dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus

saluran napas pada saat bayi/usia muda(2).

Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon

antibody sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun local. Bayi usia muda

mempunyai respon imun yang lebih buruk. Glezen dkk mendapatkan bahwa

terjadi hubungan terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi.

Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV

memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34

hari. IgE-RSV ditemuka dalam secret nasofaring 45% anak yang terifeksi RSV

dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitits yang disebabkan

RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik

RSV. (2)

3. Manifestasi klinis

Mula-mula bayi menderita gejala infeksi saluran napas atas yang ringan

berupa pilek yang encer, batuk, dan bersin, kadang-kadang disertai demam yang

tidak terlalu tinggi (subfebrile) dan nafsu makan berkurang. Gejala ini

berlangsung beberapa hari. Kemudian timbul distres respirasi yang ditandai oleh

Page 4: bronkiolitis laptut

batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah

serta sulit makan dan minum.2 Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas

cepat sehingga menghalangi proses menelan dan menghisap. Pada kasus ringan,

gejala menghilang 1–3 hari. Pada kasus berat, gejalanya dapat timbul beberapa

hari dan perjalanannya sangat cepat. (2)

Kadang-kadang, bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama

sekali, bahkan ada yang mengalami hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan

frekuensi napas >60 x/menit, terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot

pernapasan tambahan, retraksi, dan kadang-kadang disertai sianosis. Karena bayi

mempunyai dinding dada yang lentur, retraksi suprasternal dan kosta tampak jelas

dan tepi kosta terlihat melebar pada setiap pernafasan untuk menambah volume

tidalnya. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru

(terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena terdorong

diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar ronki pada akhir inspirasi

dan awal ekpirasi. Terdapat ekpirasi yang memanjang dan wheezing kadang-

kadang terdengar dengan jelas. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen

<92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan

konjungtivitis ringan, otitis media dan faringitis. (2)

Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena

adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitrit acid, sulfur dioxide).

Karakteristiknya : gambaran klinis dan radiologis hilang timbul dalam beberapa

minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang

berulang. Proses penyembuhan mengarah pada penyakit paru kronis.

Histopatologi : hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi

dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus

tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis(2)

Page 5: bronkiolitis laptut

4. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anak usia di bawah 2 tahun, dari anamnesis didapatkan adanya gejala

infeksi saluran napas atas ringan akibat virus, seperti pilek ringan disertai rinorea,

batuk, dan demam. Demam biasanya tidak ada, namun jika ada, biasanya berkisar

antara 38,5oC sampai 39oC atau subfebris. Satu hingga dua hari kemudian timbul

batuk yang disertai dengan sesak napas yang makin hebat, yaitu bernapas dangkal

dan cepat. Kemudian dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting),

napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan sulit makan karena terganggu

oleh takinea yang dialami oleh pasien.7,8,9 (3)

2. Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dispnea dengan expiratory effort,

takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Usaha-usaha

pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan

napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Menangis dan makan dapat

memperberat tanda ini. Dapat ditemukan juga konjungtivitis ringan dan faringitis.

Adanya obstruksi pada saluran napas bawah akibat respon inflamasi akut akan

menimbulkan gejala ekpirasi memanjang hingga wheezing.7,8,9

Wheezing lebih dominan, namun tidak terdengarnya wheezing bukan berarti tidak

ada obstruksi. Wheezing dan crackles dapat atau tidak dapat muncul, bergantung

pada derajat obstruksi saluran napas. Pada bayi dengan obstruksi saluran napas

berat, wheezing berkurang seiring dengan berkurangnya aliran udara. Biasanya

fase kritis dari penyakit ini terjadi pada 48 sampai 72 jam. Jika obstruksi hebat,

suara napas nyaris tidak terdengar. Selain itu, dapat juga ditemukan rhonki pada

auskultasi paru, yaitu rhonki basah halus nyaring pada akhir atau awal ekspirasi.

Sianosis sekitar hidung dan mulut dapat terjadi, dan apabila gejala memberat,

dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6 minggu.7,8,9 (3)

Page 6: bronkiolitis laptut

Tanda-tanda distress pernapasan dan impending respiratory failure pada bayi

dan anak yang masih kecil:6

1. peningkatan signifikan dari usaha bernapas, termasuk retraksi berat atau

grunting, penurunan gerakan dada.

2. Sianosis yang tidak membaik dengan pemberian oksigen.

3. HR ≥150 kali per menit.

4. bernapas sangat cepat, yaitu >60 kali per menit pada bayi baru lahir sampai usia

6 bulan; atau lebih dari 30 kali per menit pada anak usia 6 bulan sampai 2

tahun.

5. Depresi napas berat, yaitu ≤20 kali per menit.

6. Retraksi pada area supraklavikula, sternum, epigastrium, dan interkostal.

Retraksi lebih terlihat pada anak dibandingkan dewasa karena anak memiliki

dada yang lebih compliant?

7. Cemas dan agitasi yang ekstrim.

8. Penurunan kesadaran. (4)

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk bronkiolitis adalah :

1. Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan predominan

polimorfonuklear atau dapat ditemukan leukopenia yang menandakan

prognosis buruk, dapat ditemukan anemia ringan atau sedang. Hitung

darah lengkap menunjukkan kenaikan tingkat sedang dan hitung leukosit

biasanya normal dengan atau tanpa pergeseran ke kiri. Pada pasien dengan

peningkatan leukosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang.

2. Pada pemeriksaan laboratorium : Untuk menentukan penyebab

bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring.

Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang

lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain

yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan

Page 7: bronkiolitis laptut

cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-

90%.

3. Pemeriksaan radiologis : Gambaran radiologik mungkin masih normal bila

bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang

(hiperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar,

mungkin atelektasis (patchy atelectasis) atau pneumonia (patchy

infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah

dan diafragma tertekan kebawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan

hyperaerated apabila kita mendapatkan : siluet jantung yang menyempit,

jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter

anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga

horizontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.

4. Analisa gas darah : Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia

akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi. Pada

keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan menunjukkan

kenaikan PCO2 (hiperkapnia), karena karbondioksida tidak dapat

dikeluarkan, akibat edema dan hipersekresi bronkiolus (4)

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory

Distress Assesment Instrumen (RDAI) yang menilai distres napas

berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor

lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan

dalam kategori ringan. (4)

Tabel . Respiratory Distress Assesment Instrument (RDAI)

SKOR Skor

maksimal0 1 2 3 4

WHEEZING

–       Ekspirasi

(-)

(-)

Akhir

Sebagian

½

Semua

¾

 

Semua

 

4

2

Page 8: bronkiolitis laptut

–       Inspirasi

–       Lokasi

(-) ≤2 dari 4

lap.paru

≥3 dari 4

lap.paru

2

RETRAKSI

–      

Supraklavikular

–       Interkostal

–       Subkostal

(-)

(-)

(-)

Ringan

Ringan

Ringan

Sedang

Sedang

Sedang

Berat

Berat

Berat

3

3

3

TOTAL 17

5. Diagnosis Banding

Asma

Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya.

Berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale

merupakan diagnosis banding yang tersering

1. Bronkitis

2. Congestive heart failure

3. Miokarditis

4. Udema pulmonum

5. Pneumonia (virus atau bakteri) à Lymphoid interstitial pneumonia

6. Aspirasi benda asing atau terpapar zat beracun (zat kimia, asap,toksin)

7. Broncomalasia

8. Cystic fibrosis

9. Gastroesophageal reflux (GER)

Page 9: bronkiolitis laptut

DIAGNOSIS TandaAsma –          Riwayat mengi berulang, beberapa

diantaranya tidak berkaitan dengan serangan

batuk dan pilek

–          Hiperinflasi dada

–          Ekspirasi memanjang

–          Pengurangan pemasukan udara (jika berat

terjadi obstruksi udara)

–          Respon baik terhadap bronkhodilator

Bronkhiolitis –          episode pertama mengi pada anak umur <

2 tahun

–          Hiperinflasi dada

–          Ekspirasi memanjang

–          Pengurangan pemasukan udara (jika berat

terjadi obstruksi udara)

–          Kurang / tidak respon terhadap

bronkhodilator

Mengi yang berkaitan

dengan batuk dan pilek

–          mengi selalu berhubungan dengan

disertainya batuk dan pilek

–          tidak ada riwayat keluarga yang menderita

asma

Page 10: bronkiolitis laptut

–          ekspirasi memanjang

–          Pengurangan pemasukan udara (jika berat

terjadi obstruksi udara)

–          Respon baik terhadap bronkhodilator

–          Mengi cenderung lebih ringan dari pada

asma

Aspirasi benda asing –          riwayat onset penyumbatan saluran nafas

dan mengi secara tiba-tiba.

–          Mengi bisa unilateral

–          Perangkap udara dengan hiperresonan dan

pergeseran mediastinum

–          Tanda kolaps paru : pengurangan masukan

udara dan perkusi tumpul (dull percussion)

–          tidak respon terhadap bronkhodilator

Pneumonia –          batuk dengan nafas cepat

–          retraksi dinding dada bawah

–          demam

–          suara nafas kasar

–          napas cuping hidung

–          stridor

Page 11: bronkiolitis laptut

6. Tatalaksana

Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif yaitu

pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena, dan kecukupan

cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan

respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti

inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan

vaksin RSV, RSV immunoglobulin ( polyclonal ) atau Humanis RSV monoclonal

antibody ( palivizumab ).

Terapi oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk

kasus-kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan

afinitas haemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan

melalui nasal prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head

box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse

oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada

saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan

di rumah sakit.

Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infuse

dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan,

kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah

dan tidak dapat minum, panas, distress napas untuk mencegah terjadinya

dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan,

untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of

Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi

terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.

Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan

leukosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur

darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang

Page 12: bronkiolitis laptut

memiliki spectrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan

pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam

mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan

menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi

sekunder dapat menjadi alasan diberikan antibiotika.

Ribavirin adalah purin nucleoside derivate guanosine sintetik, bekerja

mempengaruhi pengeluaran messenger RNA (mRNA). Ribavirin menghambat

translasi mRNA virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase

RNA. Titer RSV bisa meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau

sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat

replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih

bermanfaat pada fase awal infeksi.

Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama

diperdebatkan selama hampir 40 tahun.Terapi farmakologis yang paling sering

diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortiko steroid.

Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari)

diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.

Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, metilprrednisolon,

hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata

dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dengan ekuivalen

mg/kgBB prednison. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6-6,3 mg/kgBB,

dan rata-rata total paparan antara 3,0-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah

secara oral, intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek merugikan yang

dilaporkan. (6)

7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada bronkiolitis antara lain :

a) Apneu

b) Pneumonia

Page 13: bronkiolitis laptut

c) Sindrom Aspirasi

d) Pneumothoraks

e) Obstruksi berat

8. Edukasi

1. Hindari bahan-bahan sedatif karena dapat menimbulkan depresi napas.

2. Pemberian nutrisi yang cukup

3. Mematuhi anjuran dokter untuk minum obat secara teratur

4. Menjaga kebersihan lingkungan

5. Kalau ibunya batuk pakai masker supaya tidak menular ke anaknya

6. Jangan membawa bayi berumur kurang dari 6 bulan ke tempat umum. (5)

Page 14: bronkiolitis laptut

Daftar Pustaka

(1)Zain MS. Bronkiolitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar

Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012.

h.333-47

(2)Setiawati, Landia. Tata Laksana Bronkiolitis (Treatment of Bronchiolitis).

Surabaya: FK Universitas Airlangga; 2005

(3)Porth CM, Matfin G. Pathophysiology concepts of altered health states. Eight

edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009. (4)Rahajoe, N. Nastiti dkk. Respirologi Anak, IDAI, Jakarta, 2008

(5)Zain MS. Bronkiolitis. Dalam:Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku

Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,

2012

(6)Zain, Magdalena Sidhartani.2010.Bronkiolitis. Buku Ajar Respirologi Anak.

Jakarta:Ikatan Dokter Anak Indonesia.