lapkas Mata dedek terbaru hh.doc

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN Pterigium dikenal oleh sebagian orang sebagai daging tumbuh di selaput bening mata. Pterigium adalah munculnya suatu timbunan atau selaput pada mata yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada ke arah kornea mata. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap, hal ini dapat dibuktikan pterigium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.1 Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium ini lebih sering tumbuh di bagian nasal daripada dibagian temporal konjungtiva dan biasanya bilateral.2Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat garis khatulistiwa, yakni daerah yang berada diantara 37 LU dan 37 LS dari ekuator yang dikenal daerah sabuk pterigium.3 Daerah sabuk pterigium ini merupakan daerah dengan paparan radiasi matahari yang tinggi, sehingga membuat masyarakatnya lebih rentan untuk terkena paparan ultraviolet yang merupakan faktor resiko terjadinya pterigium. Suatu penelitian epidemiologi di Australia menemukan faktor risiko independen terjadinya pterigium berhubungan dengan umur, jenis kelamin (laki-laki), daerah tinggal (desa) dan paparan sinar matahari. 4Prevalensi penderita pterigium di daratan Amerika Serikat sebesar 22,5% dan akan terus menurun sampai 2% pada daerah 40 LU dan LS, hal ini terjadi peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.5 Insiden pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah garis khatulistiwa, yaitu 13,1%.6 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44 lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis.7

Pterigium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan.1 Prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata ditemui 3,2% sedangkan pterigium pada salah satu mata 1,9%. Prevalensi pterigium melalui Riset Kesehatan Dasar yang telah dilakukan pada tahun 2007 didapatkan pterigium pada kedua mata tertinggi di Provinsi Sumatera Barat (9,4%), terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Prevalensi pterigium pada salah salah satu mata tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara barat (4,1%), terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,2%).10 Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium diduga disebabkan oleh radiasi sinar UV (UVA dan UVB) serta iritasi kronis akibat debu, angin, dan udara panas.11,5 Pada tahap awal pterigium penderita sering matanya terasa panas, perasaan mengganjal seperti ada benda asing, sering merah sehingga dalam tahap ini penanganan medikamentosa dapat diberiksan sesuai gejala yang timbul seperti air mata buatan dan bila perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur. Bila telah mencapai sentral kornea dapat terjadi kebutaan. Pada saat itu tindakan intervensi melalui pembedahan berupa kombinasi autograph konjungtiva dan eksisi lesi pterigium harus dilakukan dan terbukti mengurangi resiko kekambuhan.12BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sclera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Kelenjar musin berfungsi membasahi bola mata terutama kornea.13Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

Konjungtiva palpebra yang menutupi tarsus, konjungtiva ini sukar digerakkan dari tarsus. Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horizontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui. Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera. Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.14

Lapisan epitel konjungtiva tediri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat,superfisial dan basal. Sel epitel superfisial mengandung sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundal). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa stratum germativum.Pembuluh darah yang ada di konjungtiva adalah a.siliaris anterior dan a. palpebralis. Konjungtiva mengandung banyak pembuluh limfe. Inervasi syaraf di palpebra oleh percabangan n. oftalmikus cabang N.V. Arteri- arteri konjungtiva berasal dari a.ciliaris anterior dan a. palpebralis yang keduanya beranastomosis. Yang berasal dari a. ciliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m. rectus menembus sclera dekat limbus untuk mencapai bagian dalam mata dan cabang- cabang yang mengelilingi kornea. Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan pertama n. trigeminus yang berakhir sebagai ujung- ujung yang lepas terutama di bagian palpebra.12,14Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva2.1.2 Anatomi kornea

Kornea merupakan selaput bening mata dan bagian terdepan dari sclera yang bersifat transparan dan avaskular sehingga memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata. Kornea berperan meneruskan dan memfokuskan cahaya ke dalam bola mata. Pembiasan terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea. Kornea terdiri dari beberapa lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan yaitu epitel, membran bowman, stroma, membran descement dan endotel. Kornea melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea dan sklera ini disebut limbus.13Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

Gambar 2.2 Lapisan kornea1. Epitel

Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Epitel berasal dari ektoderm permukaan. 2. Membran Bowman

Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi. 3. Stroma

Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas yang terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. 4. Membran Descement

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Membran ini bersifat sangat elastik, berkembang terus menerus seumur hidup, dan memiliki tebal 40m.5. Endotel

Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, ukuran 20-40m. Endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. 132.2 Definisi PterigiumBerdasarkan American Academy of Ophtalmology, Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea lanjut.2Pterigium merupakan penyakit pada permukaan mata yang merupakan pertumbuhan berbentuk segitiga terdiri atas epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva yang mengalami hipertrofi, dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrane bowman.6 Pterigium dibagi menjadi 3 bagian yaitu body, apex (head), dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex, dan ke belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.5,2

Gambar 2.3 Mata dengan Pterigium2.3 Epidemiologi

Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis lintang 37 lintang utara dan 37 lintang selatan khatulistiwa sehingga dikenal daerah sabuk pterigium.3 Prevalensi penderita pterigium di daratan Amerika serikat sebesar 22,5% dan akan terus menurun sampai 2% pada daerah 40 LU dan LS, hal ini terjadi peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. 5Insiden pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah garis khatulistiwa, yaitu 13,1%.6 Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44 lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis.6,7 Penelitian ini dilakukan mulai 1 Januari31 Agustus 2009, penderita pterigium yang menjalani pemeriksaan di Bagian Mata RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo dan BKMM Makassar, dengan prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 52,9% dan < 40 tahun sebesar 47,1%.7 Prevalensi pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Dari segi jenis kelamin didapatkan pria 64,7% dan wanita 35,3%. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.2Pravelensi pterigium di Indonesia pada kedua mata ditemui 3,2% sedangkan pterigium pada salah satu mata sebanyak 1,9%. Pravelensi pterigium pada kedua mata tertinggi di Provinsi Sumatra Barat, yaitu sebanyak 9,4% dan pravelensi terendah pada provinsi DKI Jakarta sebanyak 0,4%. Pravelensi pterigium pada salah satu mata tertinggi pada daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebanyak 4,1% dan pravelensi terendah pada provinsi DKI jakarta sebanyak 0,2%.8

Pterigium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan.1 Prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata ditemui 3,2% sedangkan pterigium pada salah satu mata 1,9%. Prevalensi pterigium melalui Riset Kesehatan Dasar yang telah dilakukan pada tahun 2007 didapatkan pterigium pada kedua mata tertinggi di Provinsi Sumatera Barat (9,4%), terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Prevalensi pterigium pada salah salah satu mata tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara barat (4,1%), terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,2%).10,32.4 Etiologi

Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga suatu neoplasma, radang ataupun degenerasi. Ini dikarenakan pterigium menampilkan ciri-ciri seperti tumor seperti kecendrungan untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi, dan hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.13 Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi yang mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium : radiasi ultraviolet (UV), radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam pathogenesis pterigium. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papillomavirus dapat juga terlibat dalam pathogenesis pterigium. 16,82.5 Faktor ResikoFaktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter . 17,18, 31. Radiasi Ultraviolet. 3

Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.2. Faktor Genetik. 3

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.

3 . Faktor lain. 3

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Yang juga menunjukkan adanya pterigium angiogenesis factor dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterigium.

2.6 Patogenesis

Proses terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi dan paparan terhadap debu dan angin serta zat iritan lainnya. Radiasi sinar UV dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium. Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi degenerative, tetapi bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri pterigium, serta perusakan lapisan bowman dan invasi pterigium kedalam kornea. Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor tumor TP53 di sel basal limbal dan fibroblast elastic gene di epitel basal. Karena kerusakan pada program apoptosis p53 oleh sinar UV , mutasi juga terjadi pada gen lainnya. 15,19

Mutasi pada gen TP53 pada sel basal limbal juga menyebabkan terjadinya produksi berlebihan dari TGF- melalui jalur p53-Rb-TGF- yang dapat menjelaskan macam-macam perubahan jaringan dan eskpresi dari MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama sel pterigium menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP yang menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium akan bermigrasi secara sentrifungal ke segala arah menuju ke limbal kornea, limbus, dan membrane konjungtiva. Selanjutnya, setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini dan terjadi migrasi sel ke kornea diikuti oleh epitel konjungtiva yang mengekspresikan 6 jenis MMP dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowmen pada kornea. TGF- yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan stroma kornea.19

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisisensi limbal stem cell, terjadi konjungtivitalisasi pada permukaan kornea dengan gejala pertumbuhan konjungtiva kearah kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini banyak ditemukan pada pterigium dan banyak penelitian menunjukkan pterigium merupakan hasil dari defisiensi atau disfungsi localized interplapebral limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel.15,182.7 Manifestasi Klinis dan Klassifikasi

Pada fase awal pterigium biasanya ringan bahkan sama sekali tanpa keluhan (asimptomatik), hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika pterygium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigmatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata. 10Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Pterigium lebih sering tumbuh di bagian nasal daripada dibagian temporal. Sekitar 90% pterigium terletak didaerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal jarang ditemukan dan jarang pada satu mata. Pterigium dapat terjadi pertumbuhan nasal dan temporal pada satu mata yang disebut double pterigium. Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.1,5,11Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

mata sering berair dan tampak merah

merasa seperti ada benda asing

timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium pada pterigium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan.

Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.13,2Pterigium dapat dibagi atas beberapa tipe, diantaranya : (1)Gambar 2.4. Tipe-tipe pterigium

a. Tipe 1 : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stokers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimtomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan yang lebih cepat.

b. Tipe 2 : menutupi kornea sampai 4 mm dapat primer atau rekuren setelah operasi dan berpengaruh dengan air mata serta menimbulkan gejala astigmatisme.

c. Tipe 3 : mengenai kornea lebih dari 4 mm dan mengganggu aksis visual.

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium yaitu :

1. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

2. Derajat 2 : Jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

3. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)

4. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan. 2,15

Gambar 2.5 Pterigium grade I Gambar 2.6 Pterigium Grade IGambar 2.7 Pterigium Grade III Gambar 2.8 Pterigium Grade IV 2.8 Penegakan Diagnosis2.8.1 Anamnesis 12,18,20Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien yang diantaranya:a. Peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua matab. Mata sering berair dan tampak merah dan terkadang juga timbul rasa gatal c. Merasa seperti ada benda asing dan merasa tidak nyaman.d. Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasie. Timbul gangguan penglihatan berupa astigmatisme akibat tertariknya kornea oleh pertumbuhan pterigium

f. Pada pterigium dengan derajat yang lanjut, dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.

g. Riwayat sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari yang tinggi atau partikel debu2.8.2 Pemeriksaan Fisik

Pada inspeksi terlihat pterigium sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva. Pterigium memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga sebagian pterigium yang avaskular dan flat. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea dan juga tidak menutup kemungkinan kejadian pterigium dari arah temporal. 2.9 Diagnosis Banding 1. PinguekulaBentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.13,15

Gambar 2.9 Mata dengan pinguekula2. PseudopterigiumPertumbuhannya mirip dengan pterigium karena membentuk sudut miring atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan pterigium, pseudopterigium merupakan akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus, sedangkan pada pterigium tak dapat dilakukan. Pada pseudopterigium tidak didapat bagian head, cap dan body serta pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterigium. 13

Gambar 2.10 Mata dengan pseudopterigium2.10 Tatalaksanaa. Medikamentosa

Pengobatan medikamentosa dari pterigium lebih bersifat simptomatik. Pengobatan yang biasa diberikan berupa penggunaan tetes mata seperti obat tetes mata, dekongestan tetes mata, vasokontriktor dan kortokosteroid. Proteksi mata yang sakit dengan penggunaan kacamata juga bisa mengurangi perasaan tidak nyaman pada mata dan menghindari paparan sinar matahari, debu dan asap. (8,12)b. PembedahanIndikasi eksisi pterigium sangat bervariasi. Indikasi untuk eksisi pterigum termasuk : Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus

Kosmetik, terutama untuk penderita wanita Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil Pterigium yang menjalar ke korne sampai lebih 3 mm dari limbus. 20,18Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal, gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering dilakukan untuk mengangkat pterigium menggunalan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium kearah limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera kearah limbus lebih disukai, namun ini tidak penting untuk memisahkan jaringan tenon secara berlebihan didaerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan. Oleh karena itu, trauma tidak sengaja didaerah jaringan otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.12Beberapa pilihan untuk menutup luka pterigium, diantaranya :17,20,211. Bare Sclera : tidak ada jahitan atau benang absorbable digunakan untuk meletakkan konjungtiva ke superfisial sclera didepan insersi rektus.

2. Simple closure : pinggir dari konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek kecil dikojungtiva)

3. Sliding flap : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap konjungtiva, untuk menutup luka.

4. Rotational Flap : Insisi berbentuk U dibuat disekitar luka untuk membentuk lidah dari konjungtiva yang diputar untuk menutup luka.

5. Conjungtiva Graft : suatu free graft yang biasanya dari konjungtiva superior dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.

6. Amnion Menbran Tranplantasi : mengurangi fkeuensi rekuren pterigium, mengurangu fibrosis atau scar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF- pada konjungtiva dan fibroblas pterigium. Pemberian mytomicin C dan -irridiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren.

7. Lamellar keratoplasty excimer laser phototheraupetic keratectomi dan terbaru dengan menggunakan gabungan angiostatic steroid.

Gambar 2.11 Pembedahan Pterigium2.11 PrognosisPenglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi. 22Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari. 2.12 Komplikasi

Komplikasi pterigium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel di atas pterigium yang ada 8Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterigium post operasi. 15,2Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan yang dilaporkan beberapa studi antara 1-2 bulan setelah pengangkatan. Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Tingkat kekambuhan pasca pembedahan pterigium di RSCM dilaporkan mencapai 65,1% pada penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % di atas 40 tahun. Hal ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membrane amnion pada saat eksisi. 17,21.BAB IIILAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : NurhabibiUmur : 42 tahun

Alamat : lambhuekCM : 0-91-37-31Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Tanggal Pemeriksaan : 5 juni 2015II. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Mata sebelah kiri terasa seperti ada yang mengganjalRPS: Pasien datang ke Poli Mata RSUZA dengan keluhan mata kiri tumbuh selaput berbentuk segitiga yang terasa mengganjal sejak + 1 tahun ini. Selain itu pasien juga mengeluh mata berair, tampak merah, silau bila terkena cahaya dan juga kadang merasa matanya perih. Pasien juga mengeluhkan adanya pandangan kabur pada mata kedua mata. Sebelumnya pasien berobat di poliklinik jantung dan dikonsulkan ke poliklinik mata.RPO: Disangkal RPD: Riwayat diabetes melitus disangkal, pasien juga memiliki riwayat hipertensi, sakit jantung dan pernah mendapatkan terapi pemasangan kateterisasi jantung.

RPK: DisangkalRKS : pasien sering terpapar sinar matahari saat keluar dari rumah tanpa memakai alat pelindung mata terutama saat bepergianIII. STATUS OFTALMOLOGITabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Status OftalmologisODPemeriksaanOS

5/10Visus5/24

-Tonometri-

OrthophoriaPosisi Bola MataOrthophoria

Hirschberg

//Gerakan Bola Mata ///

Dalam batas normalPalpebraDalam batas normal

Hiperemis (-)Konjungtiva BulbiHiperemis (-)

Hiperemis (-)Konjungtiva TarsalHiperemis (-)

JernihKorneaKeruh

NormalCOANormal

Bulat, isokor, RCL (+), RCTL (+)Iris/ PupilIsokor, RCL (+), RCTL (+),

Keruh (+)LensaKeruh (+)

2.1 Diagnosis :

Pterigium Grade II OS2.2 Penatalaksanaan :Medikamentosa :

C. Lyters ED 4 gtt 1 OSNon medikamentosa :

Pembedahan2.3Prognosis

Quo ad Vital : Dubia ad Bonam

Quo ad functionam : Dubia ad Bonam

Quo ad sanactionam : Dubia ad Bonam

Quo ad Kosmetik : Dubia ad BonamBAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poli Mata RSUZA dengan keluhan mata kiri terdapat selaput berbentuk segitiga yang terasa mengganjal sejak + 1 tahun ini. Selain itu pasien juga mengeluh mata berair, tampak merah, silau bila terkena cahaya dan juga kadang merasa matanya perih. Pasien juga mengeluhkan adanya pandangan kabur pada mata kedua mata. Penglihatan ganda dan kesulitan menggerakkan bola mata di sangkal. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien ini di diagnosis sebagai suatu pterigium.

Mata seperti ada yang mengganjal

Mata yang mengganjal bisa diakibatkan adanya peradangan di palpebra, adneksa,ataupun segmen anterior. Pada pasien tidak ditemukan adanya edema pada palpebradan adneksa, ataupun peradangan pada konjungtiva. Tidak ditemukan adanya secret yang berlebih. Pada pasien ditemukan adanya penebalan konjungtiva bulbi hingga kornea dimana hal ini dapat mengakibatkan ada rasa ganjalan pada mata saat berkedip.

Pertumbuhan jaringan pada konjungtiva bulbi bisa diakibatkan oleh suatu penyakit akibat pinguekula, pseudopterygium, dan pterygium. Pinguekula dapat disingkirkan karena pinguekula tidak bisa tumbuh hingga kornea, sedangkan pada pasien ditemukan pertumbuhan jaringan hingga kornea. Sedangkan pseudopterygium terjadi akibat adanya tukak kornea. Pterygium merupakan diagnosis yang tepat pada pasien ini karena Tampak penebalan pada konjungtiva bulbi dari arah nasal yang berbentuk segitiga dengan bagian puncak pterygium hampir melewati pinggir pupil. Tampakan klinis ini merupakan gambaran khas dari Pterygium, yang pertumbuhannya biasanya dari arah nasal (paling sering) dan dari arah temporal dengan apex atau puncaknya tumbuh ke arah sentral (ke arah kornea.Mata perih dan berair

Mata perih dan nyeri hal ini dapat terjadi karena iritasi pada permukaan mata akibat terpapar oleh benda asing dari lingkungan seperti asap, debu, atau angin kencang. Pasien juga mengeluhkan kadang matanya merah, sama halnya dengan terjadinya mata berair, terjadi iritasi karena paparan benda asing dari lingkungan luar.Penglihatan kabur

Mata kabur dapat disebabkan oleh kelainan yang timbul mulai dari bagian mata anterior, mata posterior, dan jaras visual neurologik. Jadi, harus dipertimbangkan terjadinya pengeruhan atau gangguan pada media, perdarahan dalam vitreus, gangguan fungsi retina, nervus optikus atau jaras visual intrakranial atau pembentukan fibrovaskular. Pada pasien ditemukan lensa yang keruh dan adanya pembentukan fibrovaskular. Disini dapat dilihat bahwa pasien ini mengalami pterygium dimana penyakit ini bisa membuat penglihatan kabur apabila pertumbuhan fibrovaskularnya sudah mencapai kornea (zona optik).Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat lesi pterigium sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura interpalpebralis, berwarna putih kekuningan. Bedakan lesi pterigium dengan pinguekula dan pseudopterigium. Derajat pterigium dapat dinilai dengan melihat luas pterigium. Penentuan derajat pterigium sangat penting untuk penatalaksanaan selanjutnya. Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi derajat 2.BAB IV

KESIMPULAN

Pada fase awal pterigium biasanya ringan bahkan sama sekali tanpa keluhan (asimptomatik), hanya keluhan kosmetik. Keluhan yang sering dikeluhkan pasien seperti mata mengganjal, mata seperti ada benda asing, mata merah, mata berair yang kondisi ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Gangguan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigmatisme.

Etiologi dari pterigium belum dapat di ketahui secara pasti tetapi riwayat terpajan sinar UV, serta iritasi kronis akibat debu, angin, udara panas serta faktor genetik memainkan peranan untuk terjadinya pterigium.

Penanganan dari pterigium terdiri dari penanganan medikamentosa, yang diberikan bila gejala yang ditimbulkan pterigium masih ringan dan tidak mengganggu penglihatan. Sedangkan, untuk terapi pembedahan dilakukan bila gejala dari pterigium sudah semakin progresif yang dapat mengganggu penglihatan, menyebabkan penglihatan ganda dan menimbulkan keluhan kosmetik.

DAFTAR PUSTAKA1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, David Liang, MD. 2010. Management of Pterygium Opthalmic Pearls.2. American Academy of Ophthalmology. 2008. Clinical Approach to Depositions andDegenerations of the Conjunctiva, Cornea, and Sclera chapter 17. In External Disease

and Cornea. Singapore: Lifelong Education Ophthalmologist. pp 366.3. Donald TT, 2005. Pterygium, Clinical Opthalmology; An Asian Perspektive, Chapter 3.2. Singapore : Saunders Elsevier.4. Liu L, Wu J, Geng J, Yuan Z, Huang D.2013. Geographical prevalence and risk factorsfor pterygium: a systematic review and meta-analysis. BMJ Open. 3(11):00387.

5. Gazzard S, Saw SM, Farook M, Koh D, Widjaja D, Chia SE, et al. Pterygium in Indonesia :prevalence, severity and risk factors. British Journal Opthalmology. 2022 July; 86: p. 1341-1346.6. Tan Donald, 2004. Strategies for Successful Pterygium Surgery. Current Concept in Ophthalmology, Jakarta:January 2004,132.7.Waller GS, Adams PA. 2004. Pterygium in Duaness Clinical Opthalmology, Chapter 35, Vol 6. Lippincot Williams and Wilkind,:1-10

8. Djajakusli Shintya, Rukiah Syawal, Junaedi Sirajuddin, Noor Syamsu. 2010. The Profile of Tear Mucin Layer and Impression Cytology in Pterygium Patients. Journal Oftalmologi Indonesia.Vol 7No.4 Des. Department of Ophthalmology, Faculty of Medicine, Hasanuddin University/Dr. Wahidin Sudirohusodo General Hospital, Makassar.9. Mc Carty C, 2000. Epidemiology of pterygium in Victoria Australia http://www.ncbi.nlm.nih.gov.>Journal List>BrJ Ophthalmol>v.84(3); Mar 2000. (Dikutip tanggal 8 Januari 2015.10. Erry, Ully Adhie Mulyani dan Dwi susilowati.2009. Distribusi dan Kateristik Pterigium di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Jakarta.11. Voughan dan Asbury. 2010. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:EGC12. Kaufman SC, Jacobs DS, Lee WB, Deng SX, Rosenblatt MI, Shtein RM. 2013. Options and adjuvants in surgery for pterygium: a report by the American Academy of Ophthalmology. Ophthalmology. 120(1):201-8.13. Ilyas, H.Sidrata, dr. Sri Rahayu Yulianti, Sp.M. 2011. Ilmu Penyakit Mata, Ed.4. Jakarta. Badan Penerbit FK UI.14. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM. 2007.15. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Thesis. Medan : Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran; 2009.16. Ang KPL, Chua LLJ, dan HTD . 2006. Current Concepts and Technique in Pterigium Treatment. Curr Opin Opthalmology. 18:308-313.

17. Leonard PK, Jocelyn LL, Donald THT. Current Concepts abd Technique in Pterygium Teratment. Current Opinion in Opthalmology. 2007; 18: p. 308-313.18. Pendergrast D. Pterygia and Pinguecula. Continuing Medical Education. 2006 December; 33(6).19. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. 2001. Pterygium Pathogenesis; Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal Epithelial Basal Cells. Arch Opthamol. 119:695-706

20. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management Of Pterygium. Ophthalmic Pearls. 2010 November;: p. 37-38.21. Hossain P. Pterygium Surgery. Focus : The Royal College Of Opthalmologist. 2011.22. Jerome p fisher. 2009. Pterigium. http://emedicine.medscape.com/article/1192527. overview

26