Upload
rohadi-wicaksono
View
8
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Penghapusan RSBI tentu banyak disambut gembira oleh masyarakat. Karena, selama ini, keberadaan RSBI banyak dipandang oleh masyarakat sebagai tempat untuk menarik danha orangtua murid saja. Tapi, apakah keputusan ini bisa dilaksanakan ?
Citation preview
( Bukan ) RSBI
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan Pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjadi dasar pembentukan Rintisan
Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI).
Artinya keberadaan RSBI dan SBI dihapuskan dalam penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia.
Bubarkan RSBI
Alasan MK mengabulkan gugatan terhadap status Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional ada dua hal. Pertama, status-
status kelas Reguler, RSBI dan SBI memunculkan diskriminasi dalam pendidikan dan
membuat sekat antara lembaga pendidikan. Sekat-sekat ini tidak hanya dalam hal status
semata, tetapi berdampak pada ketidak-adilan dalam menikmati anggaran pemerintah
yang diberikan kepada kelas-kelas RSBI.
Bagaimana reaksi sebagian pejabat kita menanggapi ‘pembreidelan’ tersebut ?
Salah satu pejabat yang terang-terangan menolak RSBI adalah Wali Kota Surabya, Tri
Rismaharini. Tri tetap bersikukuh akan meneruskan program Sekolah RSBI. Alasannya,
RSBI dianggap sebagai ikon kota Surabaya.
“Salah satu ikon Surabaya kan RSBI itu. Jadi, Surabaya tidak akan membubarkan program
RSBI yang sudah ada,” kata Tri Rismaharini seusai menghadiri rapat paripurna DPRD
Surabaya, Rabu (9/1/2013). ( Kompas, edisi 9 Januari 2013 ).
Selain itu, di harian yang sama, Tri mengutarakan bahwa seluruh anggaran RSBI di
Surabaya tidak dibebankan kepada wali murid. Tetapi sepenuhnya telah dibiayai dengan
menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surabaya.
Membaca alas an wali kota tersebut, saya ingin bertanya, bagaimana mungkin RSBI bisa
menjadi ikon kota Surabaya ? Apakah gagasan tentang ( R)SBI itu berasal dari kota
Surabaya ? Atau sekolah-sekolah bertitel ( R )SBI di Surabaya ini terbaik se Indonesia ?
Kalau tidak, lalu apa dasar klaim bahwa RSBI merupakan ikon kota Surabaya ?
Alasan yang kedua adalah biaya RSBI seluruhnya ditanggung oleh APBD. Di atas telah
dijelaskan bahwa salah satu dasar pembubaran ( R ) SBI adalah karena terjadi diskriminasi
di sekolah-sekolah ( R ) SBI. Mungkin Tri Rismaharini mengira kalau anggaran yang
dipakai untuk membiayai ( R ) SBI itu bukan anggaran dari pusat mau pun bukan anggaran
dari masyarakat secara langsung, maka tidak terjadi diskriminasi.
Yang ingin saya tanyakan, apakah dana APBD yang dipakai untuk biaya ( R ) SBI itu bukan
uang rakyat seluruh penduduk Surabaya ? Apakah bukan diskriminasi namanya kalu uang
seluruh rakyat Surabaya itu hanya bisa dinikmati segelintir murid-murid ( R ) SBI saja ?
Tentu beda kalau biaya biaya ( R ) SBI dikeluarkan dari uang pribadi beliau sendiri. Pasti
rakyat Surabaya akan mengapresiasinya.
Pejabat lain yang juga mengeluarkan statement menentang keputusan MK ini adalah Wali
Kota Malang, Peni Sparto.
“Esensi RSBI adalah peningkatan kualitas pendidikan, sehingga apa yang sudah dilakukan
dan dijalankan oleh sekolah RSBI tidak perlu dihentikan agar tetap menjadi sekolah
unggulan. Apapun namanya nanti, jangan sampai mengurangi kualitas pendidikan di kota
ini,” katanya. ( Kompas, edisi 10 Januari 2013 ).
Menurut Peni, jika model RSBI ini dihentikan, maka kualitas pendidikan di kota Malang
akan merosot. Yang ingin saya tanyakan, apa dasar Peni menyatakan kalau RSBI
dibubarkan dapat mengurangi kualitas pendidikan di kota Malang ? Apakah jumlah RSBI
yang segelintir itu lebih punya pengaruh signifikan disbanding dengan jumlah sekolah-
sekolah regular yang jumlahnya puluhan itu ? Kalau Peni ngeyel dan yakin memang RSBI
punya pengaruh signifikan, saya ingin bertanya lagi, memang yang dipakai Peni untuk
mengukur kualitas pendidikan di kota Malang ini patokannya apa ? Dan model pendidikan
yang berkualitas itu seperti apa ?
Di bawah ini saya mengutip tulisan J.Sumardianta, pendidik & penulis buku ‘Guru Gokil
Murid Unyu: Pendidik Hebat Zaman Lebay‘ (2013) yang beredar luas di internet. Judul
tulisannya adalah
RSBI dari kacamata seorang guru
RSBI bisa disebut sekolah robot. Inputnya santan. Outputnya ampas.
Paradigmanya masih beranggapan ada anak yang bodoh & tidak punya potensi
apapun. Kurikulum didominasi ranah kognitif sebagai simbol prestasi tertinggi.
Banyak bidang studi, standar isi sangat berat, dan menekankan pelajaran
matematika dan IPA. Proses belajar mengajarnya menegangkan hingga membuat
murid mengalami down-shifting
Metode mengajar guru bercorak indoktrinantif. Strateginya didominasi ceramah
dengan fokus mengerjakan soal-soal berpikir tingkat rendah guna mempersiapkan
UN. Kelas didominasi guru mengajar bukan murid belajar. Mengagungkan ends
values (hasil akhir) bersifat ambisius, materialistik, logis, dan individualistik.
Guru tak ubahnya gladiator pembunuh minat, bakat, dan kecerdasan majemuk
murid. Perkembangan murid direduksi dalam ranking. Murid dipertarungkan
dengan murid lain
Sekolah sebenarnya baru layak disebut unggulan bila paradigmanya
memperlakukan setiap murid sebagai anak berpotensi bukan mendegradasi
(membuat timpang) mensegragasi (perlkuannya tidak adil). Sekolah sebenarnya
baru layak disebut unggulan bila paradigmanya memperlakukan setiap murid
sebagai anak berpotensi bukan mendegradasi (membuat timpang) mensegragasi
(perlkuannya tidak adil).
Proses penerimaan murid memberi peluang anak ‘lho-lhak, lho-lhok’ dgn gaya
belajar lambat alias telat mikir (slow learner) dan sedang (normally learner).
Bukan hanya anak bergaya belajar cepat (fast learner) yang diterima.
Kurikulumnya menghargai kecerdasan majemuk. Bukan mendewakan kecerdasan
logic-matematic. Kurikulum esensial mengarah pada inti kecerdasan: problem
solving, character building, life-skill, dan pelbagai kegiatan yang membuat murid
bahagia belajar. Mengutamakan means values (proses nilai) seperti integritas,
kejujuran, tanggung jawab, kesetaraan, dan kepedulian. Para guru sabar melayani
murid dengan beragam gaya belajar. Metode mengajarnya multi-strategi. Pendidik
inspiratif yang lebih banyak melayani dan mendengarkan ketimbang
mengindoktrinasi dan menghakimi murid.
RSBI mereduksi kehidupan siswa yang kompleks dan kaya potensi menjadi
kumpulan skor, persentase, dan nilai. Menciptakan standar misterius yang
mengharuskan sekian persen siswa mengalami kegagalan. RSBI memperlakukan
murid secara seragam. Mendorong pembelajaran ekstrinsik. Belajar untuk
berlomba memperoleh skor tertinggi. Akselerasi memberlakukan batas waktu
yang membelenggu proses berpikir siswa. Memicu perbandingan antarmurid yang
sangat tidak bermanfaat.
Sekolah baru benar-benar disebut unggul bila proses evaluasinya mengakomodasi
seluruh akitivitas murid dan dampaknya menjadi acuan dasar penilaian
kemampuan. Menawarkan pengalaman menarik, aktif, hidup, dan
membahagiakan. Membangun lingkungan yang memberikan kesempatan sama
bagi setiap murid untuk berhasil. Memungkinkan guru mengembangkan
kurikulum bermakna dan melakukan penilaian dalam konteks program tersebut.
Menilai berdasarkan proses berkesinambungan sehingga menghasilkan gambaran
akurat tentang prestasi murid. Memberlakukan murid sebagai pribadi unik.
Mementingkan proses sekaligus hasil akhir. Mencakup kecakapan berpikir tingkat
tinggi. Memotivasi pembelajaran sebagai sesuatu yang memang substansial.
Mendorong pembelajaran melalui kerja sama kelompok. Membandingkan siswa
hanya dengan pencapaian mereka sendiri dari masa sebelumnya.
RSBI mengklaim dirinya sekolah favorit semata karena inputnya calon murid
bergaya belajar cepat, bayarnya mahal, memperoleh subsidi besar dari
pemerintah, memiliki kelas percepatan, menggunakan dwi bahasa (bilingual),
kelasnya dilengkapi LCD proyektor dan internet. Status akreditasi A+ dari Dinas
Pendidikan sebenarnya belum membuktikan RSBI unggul karena akreditasi hanya
menilai kesiapan dokumen dan instrumen pendidikan. Banyaknya guru senior dan
bersertifikat pendidik belum menunjukkan RSBI unggul mengingat sertifikasi
hanya menilai portofolio atau hasil diklat, belum mencerminkan profesionalisme
guru.
RSBI belum bisa disebut unggul hanya karena mengirimkan muridnya menang di
ajang olimpiade matematika dan fisika. Soalnya, hanya murid yang cakap
matematika dan IPA saja yang ikut olimpiade. Fasilitas lengkap, standar ISO dan
sertifikat IB (International Bachelor) belum cukup membuat RSBI disebut
unggulan. ISO dan IB hanyalah sarana penunjang pendidikan. Ada anekdot bagus
buat memahami pembredelan RSBI oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Batu melambangkan nilai-nilai fundamental pendidikan. Kerikil, simbol proses
dan tujuan akhir pendidikan. Pasir maknanya anggaran dan sarana pendidikan.
RSBI terlalu gandrung mengurusi perkara tersier seperti anggaran sehingga
mengabaikan asas dan dasar pendidikan. Tak heran bila terkesan elitis, arogan,
tujuan menghalalkan cara, rawan penyelewengan, menimbulkan sinisme dan
antipati—karena menabrak prinsip trust, respect, caring, dan fairness yang
diamanatkan UUD 1945. Sudah layak dan sepantasnya bila RSBI dimakzulkan MK.
*******
Hal lain yang perlu dicermati dari pernyataan Peni di atas adalah kalimat ‘Apapun
namanya nanti, jangan sampai mengurangi kualitas pendidikan di kota ini….’. Artinya,
meski pun MK telah menutup sekolah-sekolah ( R ) SBI, namun Peni tetap akan
melanjutkan sekolah-sekolah ( R ) SBI, namun dengan nama lain, misalkan memakai nama
Sekolah Unggulan.
Sebenarnya jalan pikiran Peni ini tidak asing bagi kita. Karena, sebelum MK memutuskan
untuk membubarkan sekloah-sekolah sekolah-sekolah ( R ) SBI, wakil mendiknas telah
mengeluarkan pernyataan serupa.
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ngotot akan tetap meneruskan
pola pendidikan yang terdapat dalam Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) meski
nantinya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan RSB harus dihentikan.
RSBI tetap akan dilanjutkan, tentunya dengan nama yang berbeda.”
( JPNN)
Rupanya para pejabat kita ini terinspirasi gaya Thukul Arwana. Dulu, sebelum acara
Thukul bernama ( Bukan ) Empat Mata adalah Empat Mata. Karena sempat
menayangkan tayangan yang dianggap tidak layak, maka KPI menghentikan acara Empat
Mata. Untuk beberapa saat hosting fenomenal tersebut tiarap. Namun, tidak beberapa
lama acara yang diasuh Thukul tersebut muncul lagi dengan nama ( Bukan ) Empat
Mata. Model acaranya tetap sama dengan acara Empat Mata. Yang bermetamorfosis
hanyalah namanya saja. Akankah pejabat-pejabat kita, terutama di lingkungan
kemendiknas akan mengganti RSBI dengan ( Bukan ) RSBI ? Mari kita tunggu.
Sumber : http://rohadieducation.wordpress.com/2013/01/15/bukan-rsbi/#more-228
Diposting ileh Rohadi Wicaksono pada 14 Januari 2013