Upload
harry-d-fauzi
View
121
Download
1
Embed Size (px)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI) merupakan salah satu program pemerintah yang akhir-
akhir ini mengundang banyak kontroversi. Ujung dari kontroversi tersebut
adalah gugatan masyarakat pengamat pendidikan atas substansi pasal 50
ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional kepada Mahkamah Konstitusi yang berakhir dengan dikabulkan-
nya gugatan tersebut. Dengan demikian, RSBI/SBI secara formal sudah
tidak dapat dilaksanakan lagi atau dibubarkan.
Di tengah kontroversi tersebut, tidak sedikit orang tetap membicara-
kan kelebihan dan kekurangan RSBI/SBI sebagai salah satu sekolah pilihan
yang (oleh sebagian besar masyarakat) dianggap sebagai legalisasi sekolah
favorit yang telah berkembang jauh sebelumnya.
Jika kita menyebut RSBI maka yang terbayang adalah sekolah
dengan ”standar” internasional, dan kebanyakan dari sekolah yang telah
ditetapkan menjadi RSBI/SBI, baik itu oleh Dinas Pendidikan Propinsi
ataupun Direktorat Jendral Mandikdasmen Departemen Pendidikan
Nasional, terjebak pada standar fasilitas semata sehingga kebanyakan
sekolah akan menyediakan ”fasilitas yang berstandar internasional” dan
1
dengan demikian beban masyarakat untuk mendapatkan pendidikan di
sekolah tersebut menjadi sangat tinggi sehingga wajar jika masyarakat
kemudian menjadi antipati terhadap program ini. Namun jika kita mengacu
pada tujuan program SBI maka yang diharapkan adalah bahwa peserta didik
dan lulusan harus mampu menguasai seluruh kompetensi ”berstandar
internasional” sehingga pada saatnya mereka mampu berkompetisi di
tingkat internasional. Itu adalah hakikat sejati dari amanat UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 3 yang menyatakan
bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan
untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Sejak dimulainya perintisan sekolah-sekolah bertaraf internasional
(RSBI) di beberapa daerah pada tahun 2006, dari tahun ke tahun sekolah
yang menyandang ”predikat” RSBI terus bertambah jumlahnya. Pada saat
dimulai perintisan tersebut, ada dua perangkat peraturan perundangan yang
menjadi acuan yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (khususnya Pasal 50 Ayat 3), dan Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(khususnya Pasal 61 Ayat 1). Kedua perangkat peraturan perundangan di
atas secara eksplisit mengamanatkan agar pemerintah (pusat) bersama-sama
pemerintah daerah menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada
jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan
2
pendidikan yang bertaraf internasional. Hingga tahun 2013 telah terdapat
1305 RSBI di seluruh Indonesia untuk semua jenjang dan jenis pendidikan
yang berada di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan Nasional.
Tabel 1. Pertumbuhan jumlah RSBI periode 2006 - 2010
Satuan Pendidikan
Tahun / Jumlah SekolahTotal
2006 2007 2008 2009 2010
SD - 38 66 66 33 203SMP 100 99 69 - 268SMA 100 100 - 122 - 322SMK 97 98 - 125 44 364
Total 197 336 165 382 77 1157(Sumber: Kemdikbud, 2012)
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah telah melakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan mutu sekolah-sekolah RSBI, karena
bagaimanapun tujuan utama dari program rintisan tersebut adalah segera
terwujud SBI (Sekolah Betaraf Internasional) sepenuhnya. Upaya-upaya
peningkatan mutu itu diantaranya adalah penyiapan instrumen penjaminan
mutu SBI, penerbitan Permendiknas No. 78 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
pemberian bantuan dana hibah (block grant) kepada rintisan-rintisan SBI
(RSBI) setiap tahun. Namun demikian dalam perkembangannya, perjalanan
mengembangkan sekolah bertaraf internasional tersebut tidak selalu berjalan
mulus seperti yang diharapkan. Berbagai permasalahan terutama dalam
waktu beberapa tahun terakhir ini muncul dan menjadi sorotan luas berbagai
lapisan masyarakat. Permasalahan utama yang diangkat antara lain berkisar
pada dua isu besar: (i) sejauh ini tidak terdapat peraturan dan standar mutu
3
yang secara tegas mengatur RSBI, dan (ii) perangkat peraturan dan standar
mutu yang ada (tentang SBI) dinilai memiliki berbagai bagian yang masih
belum jelas, multi tafsir, dan berpotensi bertentangan dengan beberapa
peraturan yang sudah lebih dulu berlaku.
Dengan turunnya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pem-
batalan pasal 50 ayat (3) USPN, timbul permasalahan baru yang dihadapi
oleh sekolah-sekolah yang ’terlanjur’ menjadi RSBI/SBI, terutama dengan
penggunaan fasilitas yang sudah ’menginternasional’. Pengadaan dan
pemeliharaan fasilitas tersebut sudah barang tentu memakan biaya yang
sangat luar biasa, yang hampir tidak mungkin dapat dibiayai oleh sekolah
reguler. Hal ini terutama mempertimbangkan sekolah-sekolah yang semula
berstatus SBI/RSBI harus kembali menjadi sekolah reguler. Padahal,
persoalan utama yang menjadi sumber permasalahan adanya SBI/RSBI
adalah mahalnya biaya sekolah yang harus dikeluarkan orang tua siswa, dan
menjadi bahan ’kecemburuan’ kelompok masyarakat lain yang tidak
memiliki kesesmpatan untuk bersekolah di sekolah tersebut.
Berdasar kepada permasalahan tersebut, tulisan ini bermaksud
mengkaji beberapa alternatif pengalihan fungsi sekolah yang semula
berstatus SBI/RSBI menjadi bentuk sekolah lain yang tidak jauh berbeda
dengan status sebelumnya. Terutama berkaitan dengan pemanfaatan fasilitas
yang sudah terlanjur dimiliki agar tidak terbuang sia-sia.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena yang dikemukakan di atas, beberapa
permasalahan dalam tulisan ini dirumuskan sebagai berikut.
1. Apa sebenarnya pengertian RSBI/SBI?
2. Kelemahan apa saja yang menjadi sebab dibubarkannya
RSBI/SBI?
3. Alternatif apa saja yang dapat dijadikan pilihan pengembangan
bagi sekolah-sekolah bekas RSBI/SBI?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tulisan ini bertujuan untuk
medeskripsikan hal-hal sebagai berikut.
1. Pengertian RSBI/SBI.
2. Kelemahan-kelemahan yang menyebabkan dibubarkannya
RSBI/SBI.
3. Alternatif pengganti RSBI/SBI.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian RSBI/SBI
Seperti dijelaskan dalam kebijakan Depdiknas Tahun 2007 Tentang
”Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”, bahwa Sekolah/Madrasah
Bertaraf Internasional merupakan Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi
seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu
pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for
Economic Co-operation and Development dan/atau negara maju lainnya
yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga
memiliki daya saing di forum internasional. Hal ini sejalan dengan
pengertian SBI yang tertuang dalam Permendiknas No 78 Tahun 2009
Tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah, yaitu bahwa Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah yang
sudah memenuhi seluruh SNP yang diperkaya dengan keunggulan mutu
tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya.
Dengan konsep ini, SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi dan
melaksanakan standar nasional pendidikan yang meliputi: standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
6
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian. Selanjutnya komponen-komponen,
aspek-aspek, dan indicator-indikator SNP tersebut diperkaya, diperkuat,
dikembangkan, diperdalam, diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar
pendidikan dari salah satu atau lebih anggota OECD (Australia, Austria,
Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany,
Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg,
Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak
Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United
States dan negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia,
Slovenia, Singapore dan Hongkong), dan/atau negara maju lainnya yang
mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini
telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta
lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.
Dengan demikian, diharapkan SBI harus mampu memberikan
jaminan bahwa baik dalam penyelenggaraan maupun hasil-hasil pendidik-
annya lebih tinggi standarnya daripada SNP. Penjaminan ini dapat ditunjuk-
kan kepada masyarakat nasional maupun internasional melalui berbagai
strategi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sesuai dengan konsep di atas,
maka dalam upaya mempermudah sekolah dalam memahami dan menjabar-
kan secara operasional dalam penyelenggraan pendidikan yang mampu
menjamin mutunya bertaraf internasional, maka dapat dirumuskan bahwa
SBI pada dasarnya merupakan pelaksanaan dan pemenuhan delapan (8)
7
unsur SNP yang disebut sebagai indikator kinerja kunci minimal (disingkat
IKKM) dan diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan kompo-
nen, aspek, atau indikator kompetensi yang isinya merupakan penambahan
atau pengayaan/pemdalaman/penguatan/perluasan dari delapan SNP
tersebut sebagai indikator kinerja kunci tambahan (disingkat IKKT) dan
berstandar internasional dari salah satu anggota OECD dan/atau negara
maju lainnya. Untuk dapat memenuhi karakteristik dari konsepsi SBI
tersebut, maka sekolah dapat melakukan antara lain dengan dua cara, yaitu:
(1) adaptasi, yaitu pengayaan/pemdalaman/penguatan/perluasan/penyesuai-
an unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu
(setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu negara anggota OECD
dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam
bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui
secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing
internasional; dan (2) adopsi, yaitu penambahan dari unsur-unsur tertentu
yang belum ada diantara delapan unsur SNP dengan tetap mengacu pada
standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya
yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini
telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta
lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.
Selanjutnya, apakah yang disebut dengan RSBI atau Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional? Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa
satuan pendidikan yang dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf
8
internasional disebut juga dengan rintisan SBI. Dikatakan sebagai rintisan
adalah sekolah-sekolah tersebut dipersiapkan secara bertahap melalui
pembinaan oleh pemerintah dan stakeholders, dalam jangka waktu tertentu
yaitu empat tahun diharapkan sekolah tersebut mampu dan memenuhi
kriteria untuk menjadi SBI.
Selama masa rintisan, sekolah melakukan upaya-upaya baik melalui
adaptasi atau adopsi mengembangkan delapan SNP dan lainnya dalam
kerangka pemenuhan IKKT. Dalam hal ini peran semua pihak, khususnya
pemerintah daerah provinsi dan masyarakat diharapkan dapat terlibat
sepenuhnya, di samping peran pemerintah pusat juga tinggi, termasuk di
dalamnya pemerintah daerah kab/kota. Bentuk tanggung jawab
masingmasing pihak tersebut adalah sesuai kewenangannya sebagaimana
diatur dalam Permendiknas No 78 Tahun 2009.
Selama masa rintisan, penyelenggaraan RSBI tersebut pada setiap
tahunnya dilakukan supervisi, monitoring, dan evaluasi untuk membina dan
sekaligus mengetahui sejauh mana tercapainya pemenuhan IKKT. Sehingga
pada saatnya nanti sekolah tersebut dikatakan sebagai SBI atau tidak lagi
menjadi rintisan. Bagi sekolah yang ternyata belum atau tidak memenuhi
kriteria sebagai SBI, maka akan diupayakan tetap sebagai rintisan secara
mandiri di bawah kewenangan pemerintah daerah provinsi. Dan tidak
menutup kemungkinan sekolah tersebut justru kembali menjadi SSN.
Atas dasar rumusan-rumusan tersebut, tujuan penyelenggaraan
RSBI/SBI adalah sebagai berikut.
9
1. Untuk membina sekolah yang secara bertahap ditingkatkan dan
dikembangkan komponen, aspek, dan indikator SNP dan sekaligus
keinternasionalannya.
2. Untuk menghasilkan suatu sekolah yang memenuhi IKKM (SNP) dan
memenuhi IKKT sekaligus, sehingga dapat menjadi SBI.
3. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memiliki
kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan
standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara
anggota OECD atau negara maju lainnya.
4. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memiliki daya
saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan me-
nampilkan keunggulan lokal ditingkat internasional.
5. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memiliki ke-
mampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibukti-
kan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk
penghargaan internasional lainnya.
6. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memiliki ke-
mampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah
menengah kejuruan.
7. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memiliki ke-
mampuan berperan aktif secara internasional dalam menjaga
10
kelangsungan hidup dan perkembangan dunia dari perspektif ekonomi,
sosio-kultural, dan lingkungan hidup.
8. Sekolah merintis dapat menghasilkan lulusan yang memiliki
kemampuan menggunakan dan mengembangkan teknologi komunikasi
dan informasi secara professional.
B. Kelemahan-kelemahan yang Menyebabkan Dibubarkannya
RSBI/SBI
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 50 ayat (3) berbunyi: ”Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan
pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional.” Istilah ‘satuan pendidikan yang
bertaraf internasional’ itu kemudian diterjemahkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal 1 No 35 menjadi: “Pendidikan
bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah
memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar
pendidikan negara maju.”
Pada PP no 17 tahun 2010 ini frase ‘satuan pendidikan yang bertaraf
internasiona’l dalam UU sisdiknas telah berubah menjadi ‘Pendidikan
bertaraf internasional’ dan kemudian dijelaskan dengan tambahan
keterangan Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang
diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan
diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
11
Masalah pertama yang muncul adalah ambiguitas dari istilah
‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah’ pada pasal tersebut. Teks dalam
UU yang menyatakan bahwa penyelengggara pendidikan ini adalah
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah jelas menimbulkan kerancuan
dalam operasionalnya. Frase pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah
menimbulkan ketidakjelasan otoritas siapa sebenarnya yang bertanggung
jawab atas program SBI ini, apakah cukup pemerintah pusat saja ataukah
pemerintah daerah ataukah kedua-duanya! Penafsiran kata dan/atau ini bisa
ditafsirkan sebagai bersama atau salah satu. Jadi program ini bisa dijalankan
bersama atau salah satu di antara keduanya.
Masalah kedua adalah tidak jelasnya istilah ‘satuan pendidikan yang
bertaraf internasional’. itu sendiri. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan
‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ tersebut. Definisi tentang
‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ yang ada dalam UU
Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) tersebut yang kemudian diterjemahkan
dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal 1 No 35 menjadi:
“Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Jadi frase ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ dalam UU
Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) kemudian dalam PP no 17 tahun 2010 ini
telah berubah menjadi pendidikan bertaraf internasional dan kemudian
dijelaskan dengan tambahan keterangan ”pendidikan bertaraf internasional
adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar
12
Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara
maju.”
Pada tahap ini saja telah terjadi penyimpangan definisi di mana pada
awalnya pernyataan dalam UU Sisdiknas adalah merujuk kepada sebuah
tingkatan keunggulan kualitas yang harus dicapai (yang diberi istilah
‘bertaraf internasional”) sedangkan pada PP no 17 tahun 2010 telah berubah
makna menjadi sebuah sistem pendidikan yang terpisah dan kemudian
berkembang dalam sebuah Peraturan Menteri (Permen 78 Tahun 2009).
Sistem ini bertentangan dengan amanat yang ada dalam Sistem Pendidikan
Nasional yang dinyatakan dalam pertimbangan sebagai berikut.
”bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;
Definisi yang dimunculkan dalam PP No 17 tahun 2010 ini sendiri
tidak jelas acuan, kriteria dan rujukan akademik dan empiriknya. Istilah ini
tidak pernah dikenal sebelumnya dan seolah muncul begitu saja dari langit
dan berbeda dengan apa yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas itu sendiri.
Karena istilah ini tidak memiliki rujukan yang jelas maka istilah ini
kemudian diinterpretasikan secara bebas oleh Kemdiknas sehingga
menimbulkan berbagai problem dan konsekuensi serius sampai sekarang
dan masih belum dapat dipecahkan. Padahal sampai saat ini lebih dari
seribu sekolah telah di RSBI-kan. (SD= 195, SMP= 313, SMA=320,
SMK=247).
13
Karena konsep ‘sekolah bertaraf internasional’ ini tidak memiliki
landasan akademik dan empirik yang memadai, dan hanya berpijak pada
landasan hukum, maka konsep dasar yang dirumuskan menimbulkan
berbagai masalah yang mendasar. Beberapa di antaranya adalah sebagai
berikut.
1. Penetapan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam
mengajarkan beberapa mata pelajaran tertentu menimbulkan banyak
masalah dan kontroversi. Kontroversinya adalah bahwa secara empirik
ternyata kebijakan ini justru dapat menyebabkan merosotnya nilai dan
kompetensi siswa di mata pelajaran yang diajarkan. Banyak hasil kajian
dan juga pengalaman negara Malaysia selama hampir 8 tahun ternyata
menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Inggris (asing) untuk mata
pelajaran IPA dan matematika justru menurunkan mutu siswa.
2. Penetapan bahasa Inggris untuk digunakan sebagai bahasa pengantar
untuk mata pelajaran IPA dan Matematika adalah kebijakan yang
sembrono dan tidak didasarkan pada studi empiris samasekali. Ide
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam
pembelajaran juga digunakan secara serampangan dan benar-benar di
luar kaidah sehingga justru mengakibatkan kekacauan dan kemerosotan
mutu pembelajaran nasional kita. Adalah tidak mungkin mengharapkan
guru-guru kita untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar dengan kemampuan berbahasa Inggris yang ada. Berdasarkan
hasil test TOEIC pada 600 guru dan kepala sekolah RSBI terungkap
14
bahwa 60% dari mereka berada pada level paling rendah kemampuan
bahasanya. Mengharapkan guru-guru yang berada pada level terendah
kemampuan berbahasa Inggrisnya untuk mengajarkan materi IPA dan
Matematika dalam bahasa Inggris adalah kebijakan yang sungguh tidak
bertanggungjawab.
3. Penggunaan kata atau istilah ‘bertaraf internasional’ akhirnya me-
nimbulkan banyak program yang dipaksakan agar dapat memenuhi
kriteria ‘bertaraf internasional’ tersebut. Penggunaan standar ISO,
pengadopsian sistem Cambridge, IBO, Sister School, dan lain-lain yang
dimaksudkan untuk memberikan justifikasi ‘bertaraf internasional’
tersebut sebetulnya tidaklah esensial dan sekedar aksesoris dan
kosmetik. Hal ini menimbulkan konsekuensi dan resiko di bidang
akademik maupun biaya yang mubazir. Salah satunya adalah kesalahan
asumsi bahwa Sekolah Bertaraf Internasional itu harus diajarkan dalam
bahasa asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media
pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD.
Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia,
Jerman, Korea, Italia, dan sejumlah negara lainnya yang dijadikan
rujukan olrh Indonesia tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka bertaraf
internasional.
4. Istilah ‘bertaraf internasional” ini kemudian diterjemahkan dan
diinterpretasikan secara bebas tanpa kajian dan studi yang layak.
15
Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan
canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa
itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian
besar sekolah hebat di luar negeri masih menggunakan kapur dan tidak
mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop,
LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program
ini nampaknya lebih mementingkan alat daripada proses. Sekolah
menafsirkan SBI itu sarananya harus ada laptop, infocus, hotspot, AC,
VCD. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang
alat. ‘Internasionalisasi’ pendidikan dipandang dari segi fasilitasnya dan
bukan pada prosesnya.
5. Konsep ini kemudian menimbulkan kesalahan asumsi yang mendasar.
Kesalahan mendasarnya adalah asumsi dan anggapan bahwa Sekolah
Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar
kecerdasan tertentu. Sekolah yang bertaraf internasional dianggap tidak
bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata.
Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan)
hanyalah bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini
adalah asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah
‘mengkhianati’ SNP itu sendiri karena menganggap SNP ‘tidak layak’
bagi siswa-siswa cerdas Indonesia. Kemudian, untuk apa Standar
Nasional Pendidikan jika dianggap belum mampu untuk memberikan
kualitas yang setara dengan standar internasional? Ini juga paham yang
16
diskriminatif dan eksklusif dalam pendidikan dan menganggap ke-
cerdasan intelektual yang menonjol merupakan segala-galanya sehingga
perlu mendapat perhatian dan fasilitas lebih daripada siswa yang tidak
memilikinya. Pendidikan yang berorientasi ke hasil adalah paradigma
lama dan telah digantikan oleh pendidikan yang berorientasikan pada
proses karena pendidikan itu sendiri adalah sebuah proses.
6. Eksperimen kebijakan RSBI ini jelas salah sasaran karena dengan
kecemasan yang sama akan kualitas pendidikan yang dianggap merosot
pemerintah Amerika Serikat di bawah George Bush kemarin justru
mengeluarkan paket NCLB (No Children Left Behind) yang justru
menyasar pada siswa-siswa di level terbawah yang diberi penanganan
khusus agar tak ada lagi yang tertinggal secara akademik. Dengan
mengangkat kualitas siswa paling bawah sehingga tak ada siswa yang
‘left behind’, maka diharapkan akan mengangkat agregat kualitas
pendidikan secara makro. Bandingkan ini dengan program RSBI yang
justru ditujukan pada siswa-siswa paling berbakat (cream of the cream)
dan diberi perlakuan khusus dengan dana berlimpah padahal mereka
secara ekonomi dan akademik sebenarnya lebih mampu dan tidak me-
merlukan bantuan dibandingkan siswa yang tertinggal. Program RSBI
ini malah mengabaikan siswa yang secara ekonomis dan akademis
justru membutuhkan penanganan dan biaya. Sesungguhnya program
RSBI ini adalah program yang memalukan bangsa dan mengkhianati
rakyat kecil.
17
7. Kesalahan asumsi lain adalah bahwa ‘sekolah bertaraf internasional’ ini
haruslah diajar oleh guru-guru yang memiliki gelar S-2 (tanpa memper-
dulikan kesesuaian dengan mata pelajaran yang diajarkan di kelas). Ini
adalah interpretasi yang tidak memiliki acuan akademik samasekali
selain ‘rule of thumb’ belaka. Kebijakan ini juga bertentangan dengan
UU Sisdiknas yang hanya mewajibkan guru untuk memiliki gelar
sarjana S-1. Tak ada kajian empirik yang menguatkan kebijakan
mengenai guru bergelar master ini dan hanya ditetapkan sekedar untuk
menunjukkan eksklusivitas.
8. Salah satu alasan yang dikemukakan dalam penyelenggaraan SBI ini
adalah untuk mencegah kalangan menengah ke atas untuk mengirim
anaknya ke luar negeri karena ingin memberikan pendidikan yang
bermutu bagi anaknya. Tentu saja alasan ini sangat mengada-ada. Apa
ada bukti bahwa dengan adanya program RSBI ini maka orang tua yang
semula ingin menyekolahkan anaknya di luar negeri lantas membelok-
kannya ke sekolah RSBI? Jika argumen bahwa program RSBI dibuat
untuk mencegah anak-anak orang kaya bersekolah ke luar negeri maka
ini sungguh naïf. Mengapa pemerintah harus membuat program khusus
untuk mencegah anak-anak kaya bersekolah di luar negeri? Berapa
banyakkah sebenarnya siswa menengah kita yang belajar ke luar negeri
dan seberapa urgen masalahnya sehingga harus dibuatkan program
khusus untuk mencegahnya? Mengapa pemerintah mesti mencegah
anak-anak orang kaya tersebut bersekolah ke luar negeri? Apa
18
kepentingan pemerintah (dalam hal ini kementerian pendidikan) dengan
mencegah mereka belajar ke luar negeri? Anak-anak pintar (apalagi
kaya) dengan mudah bisa mencari pendidikan bermutu di mana saja.
Bagi mereka itu pintu untuk masuk ke mana saja selalu terbuka lebar.
Mereka tidak butuh sekolah gratis dan bisa bayar sekolah swasta se
mahal apa pun. Uang bukan masalah bagi mereka dan pemerintah tidak
perlu repot-repot membuatkan sekolah khusus bagi mereka agar tidak
perlu belajar ke luar negeri dan justru sebaliknya dorong mereka untuk
bersekolah ke swasta dan kalau perlu ke luar negeri.
9. Program SBI ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan sosial
pada siswa. Program SBI menjadikan sekolah yang mengikutinya men-
jadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki
oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya pembiayaan
yang dikenakan pada orang tua siswa membuat sekolah-sekolah SBI ini
tidak dapat dimasuki oleh anak-anak dari kalangan bawah. Akibatnya
terjadi kesenjangan sosial di sekolah. Siswa yang belajar di program ini
merasa seperti kelompok elit yang berbeda dengan siswa kelas reguler.
10. Salah satu kritik terbesar dari masyarakat tentang SBI ini adalah bahwa
program ini telah memberi legitimasi kepada sekolah untuk melakukan
komersialisasi pendidikan. Pendidikan diperdagangkan justru oleh
pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kepada
rakyatnya secara gratis dan juga bermutu. Komersialisasi pendidikan ini
adalah pengkhianatan terhadap tujuan pendirian bangsa dan negara. Saat
19
ini sekolah-sekolah publik RSBI bahkan telah menjadi lebih swasta dari
swasta dalam memungut biaya pada masyarakat. Hampir semua sekolah
RSBI menarik dana dari masyarakat dengan biaya tinggi yang sebenar-
nya sungguh tidak layak mengingat mereka adalah sekolah publik yang
semestinya dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan ‘haram’ sifatnya
menjadi komersial. Saat ini biaya untuk masuk ke sekolah SMA RSBI
mencapai Rp. 15.000.000,- untuk biaya masuknya dan Rp. 450.000,-
untuk SPP-nya. (panduan Seminar Nasional SBI)
11. Salah satu masalah yang muncul dari istilah ‘bertaraf internasional’
adalah kerancuan dan keganjilan. Sungguh ganjil jika sebuah UU
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tiba-tiba memunculkan
sebuah istilah ‘bertaraf internasional’. Mau dimasukkan ke mana dan
dengan konstelasi bagaimana sebuah sistem pendidikan yang ‘bertaraf
internasional’ dalam sebuah Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
apalagi dianggap sebagai standar tertinggi? Alangkah ganjilnya sebuah
UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang justru meng-
agung-agungkan kurikulum negara asing (OECD).
12. Keganjilan dan ambigu lainnya adalah masalah evaluasi. Meskipun
menyandang nama ‘bertaraf internasional’, tapi siswanya masih harus
ikut ujian nasional. Alangkah ganjilnya jika sebuah sekolah yang
bertaraf internasional tapi kemudian masih harus mengikuti sebuah
Ujian Nasional! Adalah tidak mungkin sekolah harus mempersiapkan
siswa untuk mengikuti dua sistem ujian yang berbeda (nasional dan
20
internasional) karena itu sangat memberatkan guru dan siswa serta tidak
bermanfaat. Selain itu dengan terburu-buru sekolah RSBI/SBI kita
lantas mengadopsi sistem ujian Cambridge (CIE) bagi siswa-siswanya
agar dapat disebut ‘bertaraf atau berstandar intenasional’ padahal
kurikulum nasional kita tak ada hubungannya dengan sistem tersebut.
Coba juga jawab apa sebenarnya urgensi dari ujian Cambridge pada
siswa-siswa RSBI/SBI yang tidak ada hubungannya dengan sistem
pendidikan nasional kita? Ujian Cambridge juga TIDAK dipersyaratkan
bagi siswa yang hendak belajar ke luar negeri . Siswa-siswa kita yang
hendka belajar ke luar negeri tidakpernah dipersyaratkan harus memiliki
harus lulus ujian Cambridge sehingga mengikuti ujian Cambridge
sebenarnya justru memberatkan siswa kita apalagi yang tidak ingin
melanjutkan studinya ke luar negeri.
13. Kesalahan konseptual (R)SBI adalah terutama pada penekanannya pada
segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala yang non-
akademik. Semua keunggulan yang hendak dicapai oleh program SBI
ini adalah keunggulan akademik semata dan tak ada lain. Seolah tujuan
pendidikan adalah untuk menjadikan siswa untuk menjadi seseoarang
yang cerdas akademik belaka. Tak ada dibicarakan tentang keunggulan
di bidang Seni, Budaya, dan Olahraga. Padahal paradigma keunggulan
akademik adalah pandangan yang sudah sangat kuno. Seolah ‘bertaraf
internasional’ adalah keunggulan akademik padahal justru Seni,
Budaya, dan Olahragalah yang akan lebih mampu mengantarkan kita
21
untuk bersaing dan tampil di dunia internasional. Jika kita tanya pada
hampir semua orang mengenai apa yang mereka ketahui tentang Negara
Argentina maka jawaban yang kita dapatkan mayoritas menyatakan
“Maradona.”! Dan Maradona bukanlah symbol tentang keunggulan
akademik sama sekali. Di negara lain pemerintah juga menyelenggara-
kan pendidikan khusus bagi anak-anak yang paling berbakat agar
mereka dapat melesatkan potensi mereka tanpa bergantung pada siswa
yang lambat. Ada beberapa sekolah publik untuk gifted students di
Australia. Meski demikian pembiayaannya tidak dengan menarik iuran
pada orang tua. Sekolah tersebut harus kreatif mencari dana untuk
membiayai kegiatan-kegiatannya yang padat tersebut.
C. Alternatif Pengganti RSBI/SBI
Berdasar atas kajian di atas, sejumlah pengamat pendidikan
mengusulkan beberapa perbaikan sebagai pengganti SBI/RSBI. Beberapa
pendapat tersebut adalah sebagai berikut.
1. Usulan Pertama
Karena interpretasi dari istilah ‘bertaraf internasional’ ternyata
menimbulkan kerancuan, ambigu serta masalah-masalah yang mendasar
dan serius di lapangan maka perlu adanya suatu REINTERPRETASI
dan REFORMULASI dari rumusan sekolah bertaraf internasional yang
ada selama ini. Usulan rumusan dasar tersebut adalah sebagai berikut.
“Satuan Pendidikan yang bertaraf Internasional adalah sekolah yang dapat memberikan pelayanan pendidikan berkualitas tinggi
22
kepada siswa-siswa yang memiliki potensi akademik dan non-akademik yang sangat menonjol sehingga siswa-siswa tersebut dapat memiliki bekal pengetahuan, ketrampilan dan sikap pribadi serta kompetensi dan prestasi akademik dan non-akademik yang menonjol dan memiliki kemampuan untuk berkolaborasi secara internasional.”
Pelayanan pendidikan yang bertaraf internasional di sini
mencakup 8 SNP dan ditambah dengan pelayanan pendidikan tambahan
yang akan dapat memunculkan kompetensi terbaik dari siswa agar dapat
memiliki daya saing internasional.
Ada tiga komponen penting yang mencakup pengertian ‘bertaraf
internasional’ di sini, yaitu :
a. Pelayanan sekolah yang bermutu tinggi
b. Input siswa yang memiliki potensi akademik dan non-akademik
yang sangat menonjol
c. Prestasi akademik dan non-akademik di bidang Seni, Budaya, dan
Olahraga serta kemampuan untuk bekerjasama dan berkolaborasi
secara internasional dengan lulusan dari mana pun. Interpretasi ini
sesuai dengan amanah Undang-undang yang mewajibkan
pemerintah untuk memberi pelayanan bagi anak berkebutuhan
khusus. Anak-anak yang memiliki bakat menonjol perlu mendapat
pelayanan pendidikan yang khusus pula. Rumusan ini akan
memberikan keleluasaan bagi pemerintah dan sekolah untuk
merumuskan keunggulan spesifik dari sekolah dalam memberikan
23
pelayanan yang unggul dan sebaik-baiknya bagi siswa-siswa
berbakat baik di bidang akademik maupun non-akademik.
Dengan konsep seperti ini maka tidak diperlukan lagi segala
macam aksesori dan kosmetik yang tidak perlu pada program ini agar
berbau internasional seperti: Standar ISO, Ujian Cambridge, IBO,
TOEFL, Sister School, Studi Banding ke luar negeri, kelas ber AC,
menggunakan laptop dan proyektor, dll. Sekolah dapat memusatkan
perhatiannya pada program-program dan proses pembelajaran yang
benar-benar dapat merangsang siswa untuk mengembangkan potensinya
secara optimal melalui program-program yang sudah diketahui
efektifitasnya. Pendidikan harus benar-benar diarahkan pada proses dan
bukan pada alat dan aksesori. India telah memberikan contoh
bagaimana menyelenggarakan pendidikan berkualitas dunia dengan
fasilitas dan sarpras yang sederhana.
Dengan meninggalkan program yang tidak substantif seperti
ujian Cambridge dan TOEFL maka kerancuan dan kritik tentang sistem
pendidikan nasional yang ujiannya mengacu pada sistem lain di luar
ujian nasional akan berhenti dengan sendirinya. Sekolah-sekolah publik
hanya akan menyelenggarakan ujian yang diamanatkan oleh Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Konsep SBI yang lama yang hanya menonjolkan kemampuan
akademik siswa semata hendaknya direinterpretasikan ulang dan
kemudian haruslah memberikan porsi yang sama besarnya kepada bakat
24
menonjol siswa yang bersifat non-akademik seperti Seni, Budaya, dan
Olahraga karena pada hakikatnya dalam kehidupan nyata bakat di
bidang non-akademik dan kecerdasan-kecerdasan lain yang tercakup
dalam multiple intellegencies justru sangat dibutuhkan dalam kehidupan
mereka di dunia nyata kelak. Pengagungan kepada bakat akademik
semata menunjukkan ketidakpahaman kita akan dimensi pendidikan itu
sendiri yang memang tidaklah semata akademik. Pengembangan potensi
akademik semata hanya akan menciptakan siswa yang cerdas akademik
semata tapi tidak memiliki kecakapan lain yang justru dibutuhkannya
dalam kehidupan nyata kelak.
2. Usulan Kedua
Usulan kedua berkaitan dengan perbaikan rumusan perundang-
undangan. Ayat pada UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) tersebut
harus diganti agar tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan.
Usulan penggantiannya adalah sebagai berikut.
”Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-
kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan
sebuah sekolah khusus bagi siswa-siswa yang memiliki tingkat
kecerdasan dan bakat tertentu yang menonjol.”
Dengan digantinya pasal tersebut maka :
25
a. Masalah siapa penyelenggara program ini menjadi jelas dan tidak
menimbulkan perbedaan persepsi lagi. Program ini adalah program
pemerintah pusat dan daerah secara bersama.
b. Tidak akan muncul lagi masalah dari interpretasi tentang frase
‘bertaraf internasional’ dan ‘standar negara maju’ yang
membingungkan tersebut.
c. Jelas bahwa konsep sekolah ini adalah sekolah khusus bagi anak-
anak yang memiliki tingkat kecerdasan dan bakat menonjol tertentu.
Dengan demikian tidak akan terjadi kastanisasi dan komersialisasi
dalam program ini.
Perlu dipahami bahwa Sekolah Khusus bagi Anak-Anak yang Cerdas
dan berbakat Menonjol (School for the Gifted and Talented) ada dan
diselenggarakan oleh negara-negara maju lainnya. Sebagai referensi
bisa dilihat pada Sydney Boys High School di Australia.
3. Usulan Ketiga
Opsi ketiga bersifat lebih kompromistis, yaitu dengan tidak
mengubah ayat atau pasal dalam Undang-undang tersebut tapi lebih
kepada perbaikan dan penyempurnaan pada Permendiknasnya. Dengan
demikian maka bunyi UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) adalah tetap
sebagai berikut.
”Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan
26
untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”
Meski demikian karena interpretasi dari istilah ‘bertaraf
internasional’ ternyata menimbulkan kerancuan, ambigu serta masalah-
masalah yang mendasar dan serius di lapangan maka perlu adanya suatu
REINTERPRETASI dan REFORMULASI dari rumusan sekolah
bertaraf internasional yang ada selama ini. Usulan rumusan dasar
tersebut adalah sbb :
“Satuan Pendidikan yang bertaraf Internasional adalah sekolah yang dapat memberikan pelayanan pendidikan berkualitas tinggi kepada siswa-siswa yang memiliki potensi akademik dan non-akademik yang sangat menonjol sehingga siswa-siswa tersebut dapat memiliki bekal pengetahuan, ketrampilan dan sikap pribadi serta kompetensi dan prestasi akademik dan non-akademik yang menonjol dan memiliki kemampuan untuk berkolaborasi secara internasional.”
Pelayanan pendidikan yang bertaraf internasional di sini
mencakup 8 SNP dan ditambah dengan pelayanan pendidikan tambahan
yang akan dapat memunculkan kompetensi terbaik dari siswa agar dapat
memiliki daya saing internasional.
Ada tiga komponen penting yang mencakup pengertian ‘bertaraf
internasional’ di sini, yaitu :
a. Pelayanan sekolah yang bermutu tinggi
b. Input siswa yang memiliki potensi akademik dan non-akademik
yang sangat menonjol
27
c. Prestasi akademik dan non-akademik di bidang Seni, Budaya, dan
Olahraga serta kemampuan untuk bekerjasama dan berkolaborasi
secara internasional dengan lulusan dari mana pun.
Interpretasi ini sesuai dengan amanah Undang-undang yang
mewajibkan pemerintah untuk memberi pelayanan bagi anak
berkebutuhan khusus. Anak-anak yang memiliki bakat menonjol perlu
mendapat pelayanan pendidikan yang khusus pula. Rumusan ini akan
memberikan keleluasaan bagi pemerintah dan sekolah untuk
merumuskan keunggulan spesifik dari sekolah dalam memberikan
pelayanan yang unggul dan sebaik-baiknya bagi siswa-siswa berbakat
baik di bidang akademik maupun non-akademik.
4. Usulan Kempat
Usulan keempat yang diajukan adalah mengganti RSBI/SBI
menjadi sekolah unggulan tertentu dengan nama lain. Praktik-praktik
SBI/RSBI yang tidak sesuai dengan amanat undang-undang dihilangkan
dan sepenuhnya menjalankan sistem pendidikan nasional. Semua mata
pelajaran (kecuali bahasa asing) harus diajarkan dalam bahasa Indonesia
yang baku dan standar untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
menggunakan bahasa nasional tersebut. Janganlah lagi kita mengikuti
kesalahan yang sama yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia yang
telah pernah melakukan program PPSMI yang mewajibkan penggunaan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar yang ahirnya justru
28
menurrunkan mutu siswa dan sekolah pada mata pelajaran yang
diajarkan dalam bahasa Inggris tersebut. Dengan dihapuskannya
kewajiban menggunakna bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di
kelas maka guru dapat kembali memfokuskan persiapannya pada proses
pembelajaran yang efektif dan tidak perlu berjibaku menggunakan
bahasa Inggris yang samasekali tidak dikuasainya tersebut.
Untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam menggunakan
bahasa Inggris sebagai bekal untuk hidup di dunia global maka
pelajaran bahasa Inggris mesti ditambah porsinya baik itu jumlah jam
belajarnya mau pun efektifitas pembelajarannya. Pembelajarannya juga
harus lebih variatif agar dapat mendukung berkembangnya kemampuan
siswa dalam 4 ketrampilan berbahasa Inggris yang mencakup :
Listening, speaking, Reading dan Writing. Berbagai program dapat
sidusun untuk meningkatkan kompetensi siswa ini. Ada banyak
program dari lembaga-lembaga internasional yang dapat diadopsi untuk
mencapai tujuan ini.
Untuk menghindari komersialisasi pendidikan maka semua
biaya yang ditimbulkan oleh program ini harus ditanggung sepenuhnya
oleh pemerintah pusat dan daerah. Ini adalah program yang seharusnya
menjadi program kebanggaan pemerintah pusat dan daerah sehingga
pembiayaannya memang tidak membebani orang tua siswa. Anak-anak
yang berbakat luar biasa sudah selayaknya mendapat bea siswa untuk
menunjang perkembangan potensi mereka tersebut. Untuk mendapat
29
tambahan biaya pendidikan maka pemerintah daerah dapat menggalang
bantuan dari berbagai perusahaan yang ada di daerahnya.
Untuk menjamin keberhasilan program ‘sekolah berkeunggulan
tinggi (school for the gifted and talented)’ ini maka semua guru harus
memenuhi kriteria kompetensi yang ditetapkan dan sekolah yang
ditetapkan harus melakukan upaya penjaminan kualitas SDM-nya.
Untuk itu maka sebenarnya tidak diperlukan guru yang berkualifikasi
S2. Apalagi jika kualifikasi S2 yang dimiliki tidak memiliki korelasi
dengan mata pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut. Saat ini para
guru berlomba-lomba mengejar gelar S2 tanpa perduli apakah mata
pelajaran yang ingin dicapainya itu sesuai atau linear dengan mata
pelajaran yang diajarnya di sekolah. Dengan menghapus persyaratan
kualifikasi S2 tapi mensyaratkan kompetensi profesional di mata
pelajaran yang diajarkannya (on the job performance) maka kualitas
pembelajaran di kelas akan dapat tercapai.
30
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan-kesimpulan
sebagai berikut.
1. Pengertian SBI/RSBI mengacu kepada penjelasan Kemdiknas yang
berbunyi bahwa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah
Sekolah Standar Nasional (SSN) yang menyiapkan peserta didik
berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) Indonesia dan
bertaraf Internasional sehingga diharapkan lulusannya memiliki
kemampuan daya saing internasional.
2. Terdapat kerancuan dan kelemahan yang berawal dari rumusan pasal
50 ayat (3) USPN serta Peratusan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
yang menafsirkan ”pendidikan yang bertaraf internasional” menjadi
”sekolah bertaraf internasional”. Kesalahan ini kemudian berkembang
menjadi kesalahan-kesalahan lain yang berkaitan dengan fisik
pendidikan, perlakuan pendidikan, peserta pendidikan, serta biaya
sekolah.
3. Terdapat sekurang-kurangnya empat usulan untuk menyelamatkan
SBI/RSBI yang meliputi perbaikan rumusan pasal 50 ayat (3) USPN,
memberikan penjelasan yang lebih benar atas konsep ”pendidikan
31
yang bertaraf internasional”, atau mengubah SBI/RSBI menjadi
sekolah berkeunggulan khusus bagi siswa-siswa yang memiliki bakat
dan kemampuan di atas rata-rata. Dengan catatan, biaya pendidikan
tetap ditanggung oleh pemerintah.
B. Rekomendasi
Bagaimanapun juga, SBI/RSBI adalah salah satu produk pemerintah
yang (meskipun dianggap gagal) memerlukan perhatian khusus dari
berbagai kalangan, baik pemikir, praktisi, meupun pengamat pendidikan.
Asset SBI/RSBI yang sekarang telah dimiliki oleh sekolah-sekolah
pelaksana hendaknya dapat dipelihara dan digunakan semaksimal mungkin
untuk kepentingan anak didik.
32
DAFTAR PUSTAKA
Administrator, Ditjen Manikdarmen-Kementrian Pendidikan Nasional, Pengantar Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, (Online), (htt://www. Ditjen Manikdarmen-Kementrian Pendidikan Nasional, diakses 25 Maret 2011)
Cepi Safruddin Abdul Jabar. 2009. Manajemen Sekolah Dasar Bertaraf Internasional. Makalah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Kementrian Pendidikan Nasional. 2009. Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Mandikdasmen.
Satria Dharma. 2013. Kritik dan Usulan Perbaikan pada Program Sekolah Bertaraf Internasional Ditinjau dari UU Sisdiknas dan Revisi Permendiknas. (Online). Terdapat pada http://www.satriadharma.com/. Diunduh tanggal 4 Februari 2013.
33