43
41 BAB III KAJIAN KONSEPTUAL PANDANGAN AL-GHAZALI TENTANG MANUSIA A. Struktur Hakikat Manusia. Eksistensi hakikat manusia dianggap sebagai suatu “misteri”. Hal ini tidak saja menurut filosof, akan tetapi juga menurut yang lain,baik dari kalangan agamawan dan juga para ilmuan. Diskursus sengit tentang eksistensi manusia, tidak hanya sebatas prilaku manusia.tetapi juga tentang hakikat kemanusiaan itu sendiri. Studi-studi ilmu modern melakukan penafsiran tentang manusia yang sangat materialistis,baik eksistensinya yang pertama ketika berada di muka bumi atau eksistensinya ketika berada di rahim. Pendapat-pendapat ilmiah modern tersebut hanya melihat manusia sebagai sebuah rangkaian proses kausalitas. 1 1 Rauf Abid, Mathulul Al Insan Ruh La Jasad, (Kairo: Dar al-Fikr, 1980), hal. 17.

Bab III.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab III.doc

41

BAB IIIKAJIAN KONSEPTUAL PANDANGAN AL-GHAZALI

TENTANG MANUSIA

A. Struktur Hakikat Manusia.Eksistensi hakikat manusia dianggap sebagai suatu “misteri”.

Hal ini tidak saja menurut filosof, akan tetapi juga menurut yang lain,baik dari kalangan agamawan dan juga para ilmuan. Diskursus sengit tentang eksistensi manusia, tidak hanya sebatas prilaku manusia.tetapi juga tentang hakikat kemanusiaan itu sendiri.

Studi-studi ilmu modern melakukan penafsiran tentang manusia yang sangat materialistis,baik eksistensinya yang pertama ketika berada di muka bumi atau eksistensinya ketika berada di rahim. Pendapat-pendapat ilmiah modern tersebut hanya melihat manusia sebagai sebuah rangkaian proses kausalitas.1

Berbicara tentang hakikat2 manusia, mengandung makna sesuatu yang tetap dan permanen yang menjadi identitas esensial manusia. Dalam hal ini esensi lebih penting dari eksistensi. Dalam kajian kesejarahannya kajian-kajian tentang hal ini sangat dominan terjadi pada periode klasik dan pertengahan.

1 Rauf Abid, Mathulul Al Insan Ruh La Jasad, (Kairo: Dar al-Fikr, 1980), hal. 17.

2 Hakikat berasal dari bahasa Arab yaitu al-haqiqat yang dapat mengandung dua arti yaitu kebenaran dan esensi.namun dalam tulisan ini yang dimaksud dengan hakikat adalah “esensi”,dalam pengertian ini,al Jurjani mendefinisikannya dengan “ yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya.” Adapun ibn sina membuat definisi yang tidak berbeda dengan yang dibuat oleh al Jurjani, yaitu : kekhususan eksistensi sesuatu yang menyebabkannya ada karenanya.kata Arab lainnya yang juga digunakan menunjukkan esensi adalah al-Dzat dan al-Mahiyat. Al-Mahiyat biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang abstrak, dari sesuatu dengan mengeyampingkan perhatian dari wujud lahirnya.sesuatu yang diabstrakkan itu dari segi apa yang disebut al Mahiyat. Dan dari segi adanya disebut al-hakikat. Al-dzat apabila dihubungkan dengan kata lain (tidak berdiri sendiri),menurut Ibnu Rusy identik dengan al Mahiyat atau merupakan bagian dari padanya. Murad Wahbah dkk. Al Mu’jam al Falsafi,(Kairo: al-Saqafat al-Jadidat 1971), hal. 84, 99, dengan demikian yang dimaksud dengan hakikat disini adalah identitas esensial yang tetap dalam wujud sesuatu, tetapi bukan eksistensinya.

Page 2: Bab III.doc

42

Al-Ghazali yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari kecendrungan zamanya,dia memandang komposisi dasar manusia adalah al-nafs, al- ‘aql, al-Qalb, al-Ruh,adz dzawq.3 Term al-nafs dan al-aql tersebut sering dipergunakan oleh para filosof dan al-qalb, al-ruh, al-dzawq sering dipergunakan oleh para sufi.4

Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri dan tidak bertempat,5 dan merupakan tempat pengetahuan-pengetahuan intelektual (al- ma’qulat)6. Pendapat al-Ghazali ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan pula pada fungsi fisiknya. Esensi manusia dengan demikian adalah substansi inmaterial yang berdiri sendiri dan memiliki potensi pengetahuan.

Hakikat rumusan tentang manusia yang demikian berangkat dari prinsip umum yang dianut oleh para filosof, mabda’ al dzatiyyat yang lebih populer disebut dengan prinsip pertama.prinsip ini berbunyi; “sesuatu yang ada hanya identik dengan dirinya sendiri”7 semua yang ada memiliki identitasnya sendiri. Apabila tidak ada identitas yang esensial yang tergambar dalam pemikiran filosof adalah dunia tanpa konsep.sebab akan tidak ada alasan untuk menandai dan menyebut sesuatu.

Lebih lanjut al-Ghazali memperkuat argumen tantang al-nafs dengan menyebutkan bahwa “persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia dan seluruh beritan tentang akhirat tidak ada artinya8, apabila al-nafs tidak ada.sebab seluruh ajaran-ajaran agama hanya dapat difahami oleh al-nafs.

3 Muhammad Ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (selanjutnya disebut al-Ghazali) Ma’arij al Quds fi Ma’darij ma’rifat al-Nafs (Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal 19, 24; dan lihat juga al-Ghazali, Mi’raj al-Salikin, (Kairo: al-Saqafat al-Islamiyyat, 1964), hal. 16.

4 Lihat QS. Al-Isra’ ayat: 85, Al-Fajr ayat: 89, Al-Hajj ayat: 32, 46.5 Al-Ghazali, Mi’raj al Salikin, (Kairo: al-Saqafat al-Islamiyat, 1964), hal.

17.6 Al-Ghazali, Mi’raj as Salikin, ..., hal. 19.7 Ahmad Riyadh Turki, Turas al Insaniyyat, (Kairo: Dar al-Katib al-

Arabi, t.th) juz I. hal. 494.8 Al-Ghazali, Mi’raj as Salikin,..., hal. 26.

Page 3: Bab III.doc

43

Dalam kenyataannya manusia juga memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan. Karena manusia juga mampu berfikir (ta’aqul). Ini berarti manusia memiliki prinsip yang memungkinkannya berfikir dan memilih.9 Prinsip ini disebut dengan al-nafs al-insaniyyat.

Di dalam buku-buku tasawufnya, al-Ghazali mengunakan term al-nafs, al- aql ,al-qalb, al-ruh, al-dzawq untuk menunjukkan esensial manusia,dia juga menyatakannya dalam ihya’ Ulum al-Din, al-qalb adalah lathifah rabbaniyyat, hiya haqiqat al-insan.10

al- aql adalah sesuatu yang halus juga yang merupakan hakikat manusia sama dengan al qalb.11 Ini menunjukkan bahwa keempat term tersebut digunakan oleh al-Ghazali untuk menunjukkan esensi manusia.

Dalam buku Mi’raj al Salikin, al-Ghazali menyebutkan bahwa manusia terdiri dari al-nafs, al-ruh dan al-jism.12 Disini, yang dimaksud dengan al-ruh bukanlah sebagai unsur esensi manusia,13 untuk membedakan tiga hal-tersebut al-Ghazali membedakan dan menjelaskannya. Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri dan tidak bertempat; al-ruh adalah panas alam yang mengalir di dalam pembuluh nadi, otot dan syaraf. Kelihatan disini bahwa ruh bertempat di dalam organ tubuh secara menyeluruh, dan tidak mempunyai kekuatan untuk mengetahui.

Berdasarkan tingkat daya-dayanya al-Ghazali juga membagi jiwa menjadi tiga macam yaitu :jiwa vegetatif, jiwa sensitif dan

9 Al-Ghazali, Mi’raj al Salikin, (Kairo: al-Saqafat al-Islamiyat, 1964), hal 30.

10Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), juz VIII, hal. 6.

11Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al Din, ..., hal. 8.12Al-Ghazali, Mi’raj al Salikin, ..., hal. 16.13Al-Ghazali menyebutkan bahwa al-ruh bukanlah sebagai unsur esensi

manusia, karena al-ruh tidak saja hanya terdapat pada manusia,akan tetapi dia juga ditemukan pada binatang, Al-Ghazali menyebutkan bahwa al-ruh sebagai sejenis uap yang sangat halus yang berpust pada rongga jantung dan menyebar ke seluh tubuh melalui syaraf dan pembuluh-pembuluh nadi.

Page 4: Bab III.doc

44

jiwa rasional.14 Semua jiwa ini adalah al-kamal al-awwal (kualitas primer) tubuh, dalam arti tidak membuntuhkan perantaraan kualitas yang lain,dan jiwa-jiwa tersebut berpotensi menghasilkan pengetahuan dan perbuatan.jiwa vegetatif adalah jiwa yang paling rendah dari jiwa-jiwa tersebut,dia hanya mendorong manusia untuk makan dan tumbuh.15

Jiwa sensitif memiliki dua potensi, yaitu: daya penggerak (al-muharrikat) dan daya persepsi (al-mudrikat). Al-muharrikat terdiri atas daya pendorong dan daya berbuat yang pertama adalah kemauan. Kedua adalah kemampuan,oleh karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama dengan istilah iradat dan yang kedua qudrat.16

Al-Mudrikat (daya persepsi) terdiri dari dua unsur daya, yaitu daya tangkap dari luar (al-mudrikat min zahir) dan daya tangkap dari dalam (al-mudrikat min bathin).Daya tangkap dari luar terdapat pada panca indra, sebenarnya yang menagkap informasi sesungguhnya bukanlah organ fisik tapi jiwa sensitif.17 Informasi yng ditngkap panca indra diteruskan kepada daya tangkap dari dalam untuk kemudian disimpan atau “diproduksi” kembali pada saat dibutuhkan. Daya tertinggi dan terakhir dalam proses pengolahan informasi pada daya tangkap dari dalam adalah al-mutakhayyilat, yang juga disebut dengan al-mufakkirat yang berfungsi menghubung-hubungkan dan memisah-misahkan informasi-informasi yang telah ditangkap oleh panca indra. Seluruh daya tangkap dari dalam ini menggunakan al ‘Aql sebagai alat.18

Daya-daya tersebut juga menggunakan organ fisik.Jiwa rasional memiliki dua daya yaitu al-‘amilat (praktis) dan

al-‘alimat (teoritis) berfunsi mengerakkan tubuh melalui daya-daya

14 Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), (Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal. 27.

15 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 27.16 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 28.17 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 47.18 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 55.

Page 5: Bab III.doc

45

jiwa sensitif, sesuai denga tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh jiwa al-‘alimat atau akal teoritis.19. jiwa rasional disebut juga dengan al-‘aql. Dan dengan interaksi dengan dua daya ini juga dapat menghasilkan tindakan dan gerak. Akallah yang mengaktifkan daya-daya jiwa sensitif untuk mengerakkan badan.

Akal teoritis substansinya bersifat inmaterial dan dia behubungan dengan pengetahuan yang abstrak dan universal. Dalam hal ini akal memiliki empat tingkatan, yaitu: al-‘aql al-hayulani (akal material), al-‘aql al-malakat (habitual intellect), al-‘aql bi al-fi’il (akal aktual) dan al-‘aql al-musthafad (akal perolehan).20 Al-‘aql hayulani adalah tingkatan yang paling rendah dan masih hanya bersifat potensi. Akal yang belum terlatih ini diumpamakan kemampuan menulis pada anak kecil.21

Dalam berfikir, akal tidak beraktifitas dengan sendirinya, tapi akal menggunakan daya al-mutkhayyilat atau al-mufakkirat yang terdapat pada jiwa sensitif dan bertempat di otak.22 Hubungan akal dengan al-mutkhayyilat dalam hal ini menurut al-Ghazali adalah bahwa al-mutakhyyilat berfungsi menyusun dan memisah-misahkan23 informasi yang diterimanya dan akal menangkap kesimpulannya. Jadi berfikir adalah kegiatan bersama antara akal dengan daya al- mutakhayyilat dan al-mufakkirat yang terdapat dalam jiwa sensitif. Dan potensi akal yang paling tinggi terdapat pada al-‘aql al-musthafad.

Jika kita perhatikan keterangan-keterangan al-Ghazali tentang eksistensi jiwa dan daya-dayanya serta unsur-unsur pembentukan manusia sebagai makhluk yang nyata.ia memiliki pandangan yang sama dengan para filosof sebelumnya terutama ibn

19 Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), (Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal. 56.

20 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 59-60.21 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 59-60.22 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 161.23 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 59.

Page 6: Bab III.doc

46

Sina,pandangannya tentang jiwa-jiwa yang tiga serta daya-dayanya tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Ibn sina.24

Persamaam pendapat al-Ghazali dengan pendapat-pendapat para filosof bila dilihat secara spintas lalu, menimbulkan kesan seolah-olah al-Ghazali tidak konsisten dengan sikapnya,karena pada satu sisi dia mengkritik dengan tajam para filosof namun pada sisi lain paradigma pemikirannya justru sama dengan para filosof. Akan tetapi jika kita cermati lebih jauh, sesungguhnya al-Ghazali tidaklah bermasud menyalahkan pemikiran para filosof secara menyeluruh, terutama pemikiran mereka tentang esensi yang berkenaan dengan jiwa-jiwa manusia. Dalam hal ini dia dengan tegas menunjukkan kesetujuaanya. Perbedaannya dan kritikannya terhadap para filosof hanyalah pada pengakuan mereka bahwa akal memiliki peran yang sangat besar dan dapat mengetahui kebenaran yang hakiki, bahkan tanpa adanya wahyu sekalipun.25

Berkenaan tentang daya-daya jiwa manusia, al-Ghazali meyebutkan dalam buku-buku filsafatnya bahwa akal dalam arti inteleknya adalah daya terpenting pada sustansi yang merupakan esensi manusia.pada buku-buku tasawufnya ketika dia memasuki cara hidup sufi, Mizan al-Amal, ketiga macam jiwa yang ada pada manusia : an nafs al nabatiyat, an nafs al hayawaniyat26 dan al-nafs al-insaniyat tetap ditemukan.

Pandangannya tentang al-nafs al-hayawaniyyat dalam buku tasawufnya (mizan al-amal) dengan yang ada dalam buku-buku

24 Ibn Sina membagi daya jiwa rasional kepada al-‘alimat dan al-‘amilat. Funsi masing-masing jiwa inisan persis seperti yang dikemukakn oleh al-Ghazali yang diuraikan sebelumnya.. Tingkatan-tingkatan kemampuan akal pun yang terdiri dari al-‘aql al-hayulani, al-‘aql bi al-malakt, al-‘aql bi al-fi’il dan al-‘aql al-musthafad, tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil dengan pendapat al-Ghazali. Al-Ghazali hanya membuat dalil-dalil dukungna dari syara’. Ini berarti memperkuat dan memberi legalisasi syara’ terhadap pandang Ibn Sina. Jamil Shaliba, Tarikh al Falsafah al Arabiyah, (Beirut : Dar al Kuttab al lubnani, 1970) hal. 254.

25 Al-Ghazali, Tahafut al Falasifah, Sulaiman (ed)(Kairo: Dar al ma’arif, 1966) hal. 256.

26 Al-Ghazali, Mizan al Amal, (Kairo, Dar al- Ma’arif, 1964), hal. 212.

Page 7: Bab III.doc

47

filsafatnya, baik mengenai daya-daya dan tempat-tepat daya-daya itu, tidak ada terjadi perbedaan.pembagian jiwa manusia sebagai satu substansi kepada ‘alimat dan ‘amilat juga dijumpai dalam buku tasawufnya. Hanya perbedaan terjadi ketika dia menerangkan tenaga tingkat-tingkat kemampuan jiwa. Disini tingkatan-tingkatan jiwa tersebut hanya tiga; yaitu jiwa yang berupa potensi yang jauh dari aktualitas; jiwa yang telah terdapat padanya sejumlah pengetahuan aksiomatis (al-ma’qulat al-awwaliyat al-dharuriyyat); dan jiwa yang telah terdapat padanya pengetahuan-pengetahuan yang telah diusahakan (al-ma’qulat al-kasibiyyat) secara aktual.27

Apabila diperhatikan ciri-ciri dan tingkatan-tingkatan jiwa tersebut,yang pertama disini sama dengan al-‘aql al- hayulani; tingkatan kedua sama dengan al- ‘aql bi al-malakat; dan tingkatan ketiga mempunyai ruang yang luas. Al-Ghazali dalam buku ini tidak memberikan nama-nama yang khusus bagi tingkatan-tingkatan kemampuan jiwa tersebut. Hanya ada perbedaan pada tingkatan tertinggi dalam menemukan kebenaran dalam paradigma pemikiran al-Ghazali. Bila dalam buku-buku filsafatnya tingkatan kemampuan jiwa tertinggi adalah al-‘aql al- mustafad, namun dalam buku-buku tasawufnya dia menyebutkan al-dzauwq.

Menurut al-Ghazali terdapat perbedaan keilmuan antara para ilmuan, para filosof, para wali dan para nabi dari segi jumlah ilmu atau dari segi jenis dan cara memperolehnya.28 Menurutnya ilmu para filosof, para wali dan para nabi merupakan kemampuan jiwa tingkat ketiga. Yang mmbedakan mereka adalah jumlah ilmu yang dimiliki, jenis dan cara memperolehnya.ia megemukakan dua cara memperolaeh ilmu, yaitu: dengan cara ilham dari Tuhan dan dengan cara belajar dan diusahakan.29

27 Al-Ghazali, Mizan al Amal, (Kairo, Dar al- Ma’arif, 1964), hal. 105-106.

28 Al-Ghazali, Mizan al Amal, ..., hal. 207.29 Al-Ghazali, Mizan al Amal, ..., hal. 208.

Page 8: Bab III.doc

48

Kekhususan manusia terletak pada al-‘ilm dan al-iradat yang merupakan daya-daya substansi esensial manusia.30 Pengetahuan yang ditangkap daya mengetahui yang khas pada manusia. Dia menyebutkan tiga macam ilmu yang khas manusiawi, yaitu ilmu dunia dan akhirat, hakikat-hakikat abstrak, dan pengetahuan-pengetahuan aksiomatis.31 Bila dicermati lebih lanjut penjelasan beliau tentang ketiga ilmu ini, maka akan lebih tergambar kekhususan manusia.

Al-Ghazali sering mengadakan pembagian ilmu dengan berdasarkan beberapa sudut pandang, menurutnya dari satu sisi ilmu yang dapat ditangkap substansi esensial oleh manusia ada dua macam: ‘aqliyyat dan syar’iyyat. Pertama, datang secara otomatis, yang diperolah dengan jalan usaha, yaitu dengan belajar dan argumentasi. Kedua ada yang bersifat dunia seperti ilmu kedokteran dan ada yang bersifat akhirat, seperti ilmu tentang jiwa. Ilmu syar’iyyat adalah ilmu yang diperoleh dengan mengikuti penjelasan Nabi.32

Pandangan al-Ghazali tentang struktur hakikat manusia yang terdiri dari al-nafs memilki kuntinuitas dari buku-buku filsafatnya ke buku-buku tasawufnya. Namun tingkat-tingkat kemampuan jiwa ternyata mengalami reduksi di dalam buku-buku tasawufnya. Kemampuan menangkap hakikat dengan jalan ilham digantikan oleh intuisi (al-dzauwq), yang sebelumnya pada buku-buku filsafatnya diperoleh dengan al-‘aql al-mustafad. Menurutnya al-dzauwq menerima ilham dari Allah.

B. Sumber Perolehan Ilmu Pengetahuan

30Al-Ghazali, Ihya’ ulumu ad Din, juz 1, (Beirut: Dar al Fikr, t.th), juz VIII, hal. 14.

31Al-Ghazali, Ihya’ ulum al-Din, ..., juz VIII, hal. 15.32 Al-Ghazali, Ihya’ ulum al-Din, ..., juz VIII, hal. 28-30.

Page 9: Bab III.doc

49

Kajian tentang sumber pengetahuan manusia adalah kajian tentang aspek epistemologi yang merupakan bagian dari dimensi filsafat,33 Pembahasan tentang hal ini menjadi sangat penting, karena dia adalah produk dari aktivitas substansi esensial manusia sebagaimana pembahasan yang telah lalu. Dan pengetahuan juga sesuatu yang darinya mengawali perbuatan.

Dalam pandangan Islam ilmu pengetahuan memiliki kedudukan yang mulia, minimal karena Pertama, ilmu pengetahuan adalah alat untuk mencapai kebenaran. Kedua, Ilmu pengetahuan sebagai pra syarat amal shaleh. Ketiga, ilmu pengetahuan adalah sebagai alat pengembangan daya fikir.34

33 Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berati teori, uraian dalam lapangan filsafat, “logos” lebih tepat diterjemahkan pada arti teori, dengan demikian epistemologi dapat diartikan teori tentang ilmu pengetahuan. Pengertian epistemologi menurut terminologi adalah cabang filsafat yang bersangutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup ilmu pengetahuan, pra anggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta realibilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan. Lihat. Dagobert Rune, Dictionary of philosophy, (New Jersey: Adams and co, 1971). hal 94, sedangkan menurut Hartono, epistemologi merupakan cabang filsafat yang meneliti pengetahuan manusia, kepercayaan serta tabiat dan pengalaman, kancah perhatiannya adalah; “ apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Hartono, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Raja Wali, 1986). Hal. 23, Penciptaan awal dari epistemologi ini adalah plato, sebab ia telah berusaha membahas pertanyaan dasar seperti apakah indra dapat memberikan pengetahuan dan dapatkah akal menyediakan ilmu pengetahuan. Dalam lapangan filsafat epistemologi berkaitan dengan sifat dasar dari ruang lingkup ilmu pengetahuan. Dapat kita fahami bahwa epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan dan bagaiman dapat mengetahuinya. Dengan demikian, epistemologi merupakan pembahasan tentang bagaiman cara mendapatkan ilmu pengetahuan: Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia? (Suriasumantri 1988. hal 119) atau menurut Geoge Allaen and Unwin Ltd, episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti persoalan (discourse) atau ilmu (science). Epistemologi dimaksudkan sebagai salah satu cabang ilmu filsafat tentang teori ilmu pengetahuan. Geoge Allaen and Unwin Ltd, Intruduction to philosophy, London, 1964 , hal 325.

34 Choirun Niswah, perspektif Epistemologis Pendidikan Islam, (Majalah Conciencia, nomor 1 Volume IV, Juni 2004), hal. 22.

Page 10: Bab III.doc

50

Metode memperoleh ilmu pengetahuan yang pasti dan benar, tentang alam dan diri sendiri dalam medan empiris sering disebut dengan metode ilmiah.35 Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.

Socrates mewariskan metode kepada manusia dalam memperoleh ilmu penngetahuan. Metode tersebut disebut dengan motode dialektika36 yang ditandai dengan karakteristik-karakteristik tertentu.

Menurut Francis Bacon (1561-1626) yang merupakan pengertian paling populer tentang pengertian metode ilmiah. Menurutnya hanya ada dua cara kemungkinan untuk mencari dan menemukan kebenaran, yang satu melalui panca indra dan hal-hal yang partikular menuju aksioma-aksiomatengahan. Cara lainnya bertitik tolak dari aksioma-aksioma melalui pengamatan dan hal-hal yang partikular, kemudian secara bertahap dan tanpa terputus meningkatkan sampai pada aksioma-aksioma yang paling umum sebagai tujuan paling akhir.37

Ilmu pengetahuan harus diperoleh berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang dipandang sebagai paradigma ilmu objektif yaitu landasan dogmatika yang digunakan dalam sain melalui prinsip-prinsip dasar yang dipandang benar. Prinsip sain yang dimaksud adalah rasionalistik, emperisme, netralisme etik dan objektivitas.38 Prinsip inilah yang diyakini oleh para ilmuan.

35 Sidi Gazalba, Pendidikan Umat Islam, (Jakarta : Bharata, 1970), hal.4436 Pertama. Dialektika, artinya metode tersebut dilakukan oleh dua orang

atau lebih yang pro dan kontra atau memiliki perbedaan pendapat. Kedua Konfersasi, artinya metode dilakukan dalam bentuk komunikasi lisan. Ketiga, Tentatif dan provisional, artinya kebenaran yang dicari hanya bersifat sementara atau tidak mutlak dan merupakan alternatif yang terbuka untuk segala kemungkinan. Keempat, Empiris dan induktif, artinya, segala sesuatu yang dibicarakan dan cara penyelesaiannya harus berdasarkan hal-hal yang empiris. Kelima, Konsepsional, artinya metode ditujukan untuk tercapainya pengetahuan, pengertian dan konsep-konsep yang lebih definitif dari pada sebelumnya.

37 AB. Shah, Metodologi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Yayasan Obor, 1986), hal. 33.

Page 11: Bab III.doc

51

Dalam epistemologi Islam mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik epistemologi pada umumnya. Al-Syaibani mengemukakan prinsip dasar pemikiran pengetahuan dalam Islam adalah, pertama, kepercayaan akan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai tujuan asasi pendidikan. Kedua, kepercayaan adalah segala yang dicapai dengan panca indra atau melalui akal, intuisi, ilham atau agama. Ketiga, kepercayaan terhadap bertingkatnya ilmu pengetahuan itu pada keutamaan nilai. Keutamaan dan martabat yang paling tinggi yaitu mengetahui Allah, perbuatan dan makhluknya. Keempat, kepercayaaan bahwa ilmu pengetahuan manusia memilki berbagai sumber seperti; percobaan ilmiah, renungan pemikiran, bacaan, intuisi, perasaan, ilham. Kelima, kepercayaan bahwa akal memilki batasan-batasan dalam mencari ilmu. Keenam, kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya mengandung keyakinan, kerendahan hati terhadap keagungan Allah sesuai dengan jiwa agama dan prinsip akhlak yang mulia serta menimbulkan ketentraman dalam jiwa.39

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Epistemologi Islam mengakui intuisi dalam memperoleh pengetahuan selain indera dan akal. Intuisi dalam Islam dianggap sebagai cara memperoleh

38 Hidayat Natamadja, Pemikiran ke Arah Humanistik, (Yogjakarta: PLP2M, 1984), hal. 17.

39 Omar Muhammad al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 259-310. Adapun Sardar mengemukakan sembilan ciri dasar epistemologi Islam, Yaitu: Pertama, didasarkan atas suatu kerangka pedoman mutlak, Kedua, epistemologi Islam bersifat aktif bukan pasif, Ketiga, memandang objektivitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi. Keempat, sebagian besar bersifaf deduktif. Kelima, memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam. Keenam, memandang pengetahuan bersifat inklusif dan bukan eksklusif. Ketujuh, menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian pengalaman-pengalaman ini, yang dari umat Islam sendiri diperoleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka. Kedelapan, memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran (imajinasi kreatif) dengan tingkat pengalamn mistis/spiritual. Kesembilan, tidak betentangan dengan pandangan holistik dan manusiawi.

Page 12: Bab III.doc

52

pengetahuan. Dalam epistemologi Barat kurang mengakui peran intuisi dan diutamakan kemampuan akal.

Di dalam kitab Ma’arij al-Quds, al-Ghazali menjelaskan arti “mengetahui” (al-idrak) sebagai sebuah upaya menangkap realitas sebuah objek.40 dan yang dinamakan al-Mahsus (hasil tangkapan panca indra)bukanlah objek ayang ada di luar manusia, tetapi gambar objek itu. Demikian juga yang disebut dengan al-Ma’qul (hasil tangkapan akal) bukanlah objek yang ada di luar akal. Kegiatan mengetahu itu melibatkan tiga hal: yaitu, subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dan pengetahuan (realitas subjektif).41

Al-Ghazali membagi proses abstraksi ilmu pada empat tahap yaitu: panca indra, al-khayal, al-wahm dan al-tadrij al-kamil.42

Pada proses abstraksi ini menampakkan bahwa panca indra merupakan pintu masuk pengetahuan dan akal tempat pengetahuan tertinggi. Namun indera, al-khayal, al-wahm dan akal sebagaiman yang tersebut diatas tidak sekedar tempat pengetahuan tapi juga sebagai tempat mengelola pengetahuan yang ditangkap pada tahapan sebelumnya. Indera, al-khayal dan al-wahm belum menangkap informasi dan pengetahuan yang paling mendasar dari objek. Informasi yang mendasar itu ditangkap oleh akal.pengetahuan sebagaimana adanya disebut tashawwur.43 Dan pada akallah tashawwur itu terjadi.

Pengetahuan dalam bentuk tashawwur adalah masih bersifat sederhana, baru hanya dalam bentuk sebuah konsep yang general,belum sampai pada pengetahuan tentang hubungan antara konsep dengan konsep yang disebut dengan tashdiq.44 Dan jalan untuk memperoleh tashdiq adalah dengan Hujjat yaitu pembuktian

40 Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal. 66.

41 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 67. 42 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ...., hal. 67.43 Al-Ghazali, Mi’yar al Ilm, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1960), hal. 67.44 Al-Ghazali, Mi’yar al Ilm, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1960), hal. 67.

Page 13: Bab III.doc

53

terhadap sebuah konsep.45 Hujjat dapat berbentuk al-qiyas (silogisme), al istiqra’ ( induksi atau generalisasi) dan al-tamsil (anologi).46

Sesuai juga dengan pembahasan sebelumnya tentang tingkatan-tingkatan kemampuan manusia dalam memperoleh pengetahuan. Maka dari segi tahapan munculnya pengetahuan manusia dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Pengetahuan dari aksiomatis yang datang dengan sendirinya pada usia tertentu.

2. Pengetahuan dalam bentuk tashawwur dan tasdhiq.3. Pengetahuan abstrak murni yang diperoleh tidak melalui

proses abstraksi, seperti pengetahuan tentang hakikat-hakikat yang tidak mempunyai realitas dalam jangkauan panca indra.Meskipun akal memilki pengetahuan untuk

mengertahui,namun tidak berarti bahwa pengetahuan yang ada pada akal tidak pernah salah.pengetahuan pada akal menurut al-Ghazali, bisa saja salah dan bisa juga benar.47 Tetapi kesalahan dalam hal ini bukanlah kesalahan akal,melaikan kesalahan daya-daya tangkap sebelum akal.

Menurut al-Ghazali, sarana-sarana pengetahuan yang dimiliki manusia tergantung pada objek yang ditangkapnya, baik

45 Al-Ghazali, Mi’yar al Ilm, ..., hal. 131.46 Al-Ghazali, Mi’yar al Ilm, ..., hal. 161.47 Menurut al-Ghazali kesalahan bukan pada akal, melainkan kesalahan

pada daya tangkap, yaitu al-hiss dan al-wahm. Jiwa manusia sebelum mengalami kematangan sangat terikat dengan al-hiss dan al-wahm, sehingga keputusan keduanya dapat saja dibenarkan oleh jiwa (akal) manusia. Kesalahan al-wahm adalah keterbatasannya pada makna yang ada di alam fisik, Dengan demikian, kemungkinan terjadinya kesalahan pada pengetahuan di dalam akal terbatas pada pengetahuan yang diperoleh akal karena berhubungan dengan al-hisss dan al-wahm. Adapun pengetahuan aksiomatis dan pengetahuan tentang hakikat tidak mengandung kemungkinan salah, karena akal untuk mencapai pengetahuan tersebut tidak berhubungan dengan al-hiss dan al-wahm. Karena itulah, dalam uraiannya tentang muqaddimah al-qiyas (premis-premis silogisme), menyatakan bahwa diantara ilmu-ilmu yang dinyakini, pengetahuan aksiomatislah yang tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam buku-buku filsafatnya akal memiliki kedudukan yang paling tinggi.

Page 14: Bab III.doc

54

indera,akal atau dzawq sesuai dengan batas kemampuan sarana-sarana tersebut. Kemampuan akal melebihi dari pada kemampuan indera, meskipun demikian, akal memilki batasan kemampuan untuk mengetahuinya. Pernyataan al-Ghazali bahwa akal manusia dapat dimasuki al-haq dan al-bathil sehingga memerlukan al-ta’rif menunjukkan keterbatasan akal manusia, dan untuk mengetahui lebih komprhensif berkenaan dengan hal-hal yang abstrak maka bantuan dari dunia transedental.

Di dalam Ma’arij al quds, al-Ghazali menempatkan akal dan syara’ sebagai dua hal komplementatif, ibarat mata dengan cahaya. Akal tidak akan mendapatkan hidayah48 (lan yahtadiya) kecuali dengan syara’ dan syara’ tidak dapat difahami (lam yatabayyan) dengan jelas tanpa akal.49 Akal menurutnya tidak mengetahui secara rinci (fi syai’ syai’) baik dan buruk.50 Syara’ mengetahui baik dan buruk secara global dan terinci.51Akal mengetahui baik dan buruk secara global. Kelihatannya, ia menganggap pengetahuan global semacam itu tidak membaca manusia kepada tingkah laku yang secara partikular baik, sebab tingkah laku seseorang bersifat partikular sedangkan pengetahuan bersifat universal (global).

48 Menurut al-Ghazali, hidayah adalah prinsip kebaikan (Mabda’ al-Khairat) artinya dasar yang membuat manusia menjadi baik. Pernyataan tersebut, mengandung makna bahwa manusia memerlukan syara’ untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Ini tidak membatasi kemampuan akal untuk mengetahui konsep-konsep dan relasi-relasi antara konsep-konsep, al-hidayat hanya diperlukan untuk mengtahui yang baik dan yang buruk,sifat komplementer hubungan syara’ dan akal memperlihatkan pembagian kerja diantara keduanya. Dengan pembagian kerja seperti ini kelihatan akal tidak mampu mengetahui yang baik dan buruk. Meskipun demikian, al-Ghazali dapat mengetahui yanng baik dan buruk secara global seperti pengetahuannya bahwa beraqidah yang benar, berkata yang benar dan memelihara diri dari hal-hal yang merendahkan martabat (mulazamat al-iffaz) adalah baik. Lihat Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds, ..., hal 64 dan Mizan al Amal,..., hal. 301.

49 Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal. 64.

50 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 65.51 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds ,..., hal. 65.

Page 15: Bab III.doc

55

Di dalam buku Tahafut al-Falasifat, ia menyebutkan informasi-informasi tentang surga, neraka dan keadaan berbangkit diperoleh dari al-Quran.52 Di dalam Ma’arij al-Quds, keadaan sesudah mati dinyatakannya hanya diketahui dari syari’at mengandung ajaran yang dibawa oleh rasul.53 Selain itu, syari’at mengandung ajaran yang dibawa nabi-nabi untuk menghasilkan kesempurnaan jiwa manusia.54 Kelihatan, yang dimaksud dengan syara’ adalah informasi-informasi yang dibawa oleh nabi, baik menyangkut dengan ajaran (taklif) maupun yang menyangkut ajaran-ajaran sesudah mati. Di dalam al-Iqtishat fi al-I’tiqad, dia juga mencontohkan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dari syara’ dengan shalat, puasa dan sebagainya dan hal sesudah mati.55

Ini semua memperjelas bahwa yang dimaksud dengan syara’ adalah informasi-informasi yang dibawa oleh para nabi.

Ada empat pola hubungan akal dengan syara’ menurut al-Ghazali yaitu takrir, tanbih, tazkir dan ta’lim.56 Takrir (pengakuan) adalah hubungan yang terjadi apabila etik universal yang diketahui syara’. Syara’ dalam hal ini memberi pengakuan. Tanbih (penyadaran) adalah hubungan yang terjadi apabila akal lalai. Syara’ datang memperjelas dalil (izhhar al-dalil) sehingga akan sadar.57 Tazkir (pengingatan) terjadi apabila akal, karena faktor-faktor lain, kehilangan pengetahuan-pengetahuannya. Syara’ datang untuk mengingatkan. Ta’lim (pengajaran) terjadi apabila

52 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, Sulaiman Dunya (ed), (Kairo: Dar Al ma’arif, 1966), hal. 287.

53 Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal. 166-167.

54 Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds,..., hal. 202-203.55 Al-Ghazali, Al-Iqtishad Fii Al-‘Itiqad, (Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003),

hal. 107-109.56 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds,..., hal. 65. 57 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds,..., hal. 65.

Page 16: Bab III.doc

56

akal sama sekali belum memiliki pengetahuan-pengetahuan itu.58

Penjelasan ini memperlihatkan batas kemampuan akal. Sedangkan syara’ adalah akal di luar diri manusia (‘Aqlu min

kharij).59 Arti hubungan seperti ini tidak terlepas dari pandangannya tentang hakikat dan kesempurnaan manusia dan pandangannya tentang batas kemampuan akal. Hakikat manusia adalah jiwa (al-nafs). Meskipun demikian, badan mempunyai arti instrumental sangat penting. Penyempurnaan jiwa adalah kesuciannya dan untuk itu diperlukan syari’at yang dibawa para nabi.60 Akal dengan sendirinya tidak mengetahuinya cara untuk itu. Kesempurnaan manusia sebagai satu totalitas membutuhkan akal dan syara’.

Di dalam al-Iqtishad ia membagi ilmu yang tidak bersifat aksiomatis kepada tiga macam yaitu yang diketahui dengan akal, yang diketahui dengan syara’ dan yang diketahui dengan akal dan syara’.61 Contoh untuk jenis pertama adalah pengetahuan bahwa alam diciptakan, sedang contoh untuk jenis kedua adalah berkumpul (al-hasyr) dan berpencar (al-nash) serta pahala di akhirat. Al-Ghazali untuk yang ketiga adalah pengetahuan tentang melihat tuhan di akhirat dan bahwa hanya tuhan yang mencipta.62

Pada hal yang ketiga ini akal dan syara’ bekerja sama. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam buku-

buku filsafat dan ilmu kalam al-Ghazali, akal manusia dapat mengetahui wujud tuhan serta baik dan buruk secara global. Bahwa manusia cenderung kepada yang dianggap baik diakui oleh al-Ghazali. Ini kelihatan ketika dia membicarakan al-nafs. Di dalam daya al-ba’isat (daya pendorong, al-iradat) terdapat dua kecenderungan yang inheren, yaitu jadzab al naf (mengambil

58 Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal. 65.

59 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds,..., hal. 64.60 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, hal. 203.61 Al-Ghazali, Al-Iqtishad Fii Al-‘Itiqad, (Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003),

hal. 68.62 Al-Ghazali,Al-Iqtishad, ..., hal. 69.

Page 17: Bab III.doc

57

keuntungan, yang disebut juga al syahwat) dan daf al-dhurr (menolak kerugian yang disebut dengan al-ghadhab).63

Kecenderungan menurut beliau tidak sama dengan kewajiban.Namun, meskipun al-Ghazali membatasi akal, akal,

menurutnya tetap menjadi alat yang mutlak untuk mengetahui syara’.64 Ini tidak berarti bahwa akal paralel dengan syara’ karena syara’ tidak dapat digantikan oleh akal.

Al-Ghazali menyebutkan bahwa kedudukan para nabi dan segala yang berkaitan dengan ar risalat tidak diperoleh dengan usaha,tetapi diperoleh dengan ketetapan Tuhan.65 Al-risalat adalah satu tingkat diatas al-insaniyyat,66 sebagaimana insan menempati tingkat kesempurnaan diatas al-hayawaniyyat. Manusia dengan segala kesempurnaannya tidak akan sampai kepada al-risalat.

Di dalam buku tasawufnya, baik yang ditulis sebelum memasuki cara hidup sufi atau setelah dia menempuh cara hidup sufi, kedudukan daya tangkap yang terdapat pada jiwa sensitif sebagai sarana menangkap ilmu pengetahuan tidak bebeda dengan yang ada pada buku-buku filsafatnya. Panca indra, al-khayal dan al-wahm tetap merupakan pintu masuk informasi dari realitas objektif.67 Perbedaan mulai kelihatan pada pembicaraan tentang tingkat-tingkat kemampuan akal dalam menangkap ilmu pengetahuan.

Di dalam mizan al amal, tidak dijumpai lagi al-‘aql al-mustafad. Dan jika pada buku-buku filasafatnya pengetahuan

63 Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal. 43

64 Ia mengatakan, “siapa yang mendustakana akal, maka ia juga mendustakan syara’. Sebab kebenaran syara’ diketahui dengan akal. Al-Ghazali, Qanun al Ta’wil (dikumpulkan dengan ma’arij al Qudsi oleh syekh Abu al-A’la, (Kairo: Maktabat al Jundi, 1968), hal. 238

65 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 144-14566 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 14567 Hal ini dapat iketahui dengan tidak adanya perbedaan rumusannya

tentang daya-daya jiwa sensitive antara buku-buku filsafat dan buku-buku tasawufnya. Lihat al-Ghazali, Mizan al Amal,.., hal 202-203 dan Ihya’ Ulum al Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), VIII, hal. 10

Page 18: Bab III.doc

58

abstak murni ditangkap oleh al-‘aql al-mustafad namun pada buku Mizan al-Amal pengetahuan tersebut ditangkap melalui ilham yang merupakan satu daya jiwa di atas daya berfikir (akal). Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, pada tingkat jiwa yang tertinggi ini, dia membedakan dua cara untuk memperoleh ilmu, yaitu dengan cara ilham dan cara belajar atau diusahakan. Lebih lanjut dia menyebutkan bahwa adanya al-dzawq untuk memperoleh hakikat-hakikat.68 Al-dzawq berhubungan dengan ilham dan al- mukasyafah.69 Dalam pembahasan selanjutnya dapat kita ketahui bahwa al-dzawq, al-ilham dan al kasyf 70menggantikan kedudukan al-aql al-mustafad.

Kata al-ilham mengandung arti mengajari secara rahasia dan langsung. Karena itu, ia menyebut cara memperoleh pengetahuan itu dengan al-ta’allum al-rabbani,71 dan ilmu yang diperoleh darinya itu disebut ilmu ladunni.72 Penggunaan kata ilham dengan demikian adalah untuk menggambarkan cara datangnya pengetahuan tanpa diusahakan dengan perantaraan berfikir.

Untuk lebih jelas melihat jenis-jenis pengetahuan yang dapat ditangkap oleh manusia dan alat yang menangkapnya, perlu diketahui pandangan beliau tentang tingkat-tingkat wujud,

68 Al-Ghazali, Misykat al Anwar, ( Kairo: Maktabat al Jundi, 1970), hal. 37

69 Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), juz VIII, hal. 14

70 Al-Ghazali juga menyebutkan istilah al-Kasyf yang bermakna keterbukaan, yang dipertentangkan dengan al-hijab yang bermakna sesuatu yang menutupi. Jiwa manusia, meskipun pada asalnya adalah bersih, namun setelah berhubungan dengan badan, ia terpengaruh dengan tuntutan badan. Badan dan tuntutan-tuntutannya menjadi hijab yang menjadi penghalang hubungan jiwa dengan Tuhan.

71 Al Ghazali, al Risalat al Laduniyyat, dikumpulkan oleh Syaikh Musthafa Abu al ‘Ala bersama buku al Qushur al ‘Awali juz I , (Kairo: Maktabat al-Jundi, 1970), hal. 112

72Al-Ghazali, al-Risalat al Laduniyyat, ..., hal. 117

Page 19: Bab III.doc

59

menurutnya ada empat tingkatan wujud, yaitu: wujud al-lawh al-mahfuzh, wujud jasmani, wujud al-khayali dan wujud al-‘aql.73

Al-Ghazali menyebutkan bahwa untuk menangkap hakikat-hakikat tersebut harus melalui al-ilham, al-dzawq dan al-kasyf. Dalam hubungan ini, dia menyebutkan juga bahwa manusia mempunyai dua pintu, yang satu terbuka ke panca indra, berhadapan dengan ‘alam al mulk atau ‘alam al syahadat dan yang satu lagi menghadap ke ‘alam al-malakut atau al-lawh al-mahfuzh.74

Meskipun dikatakan bahwa ilmu yang diperoleh melalui ilham tidak diusahakan, tidak berati bahwa tidak ada usaha manusia sama sekali untuk mencapainya. Untuk mendapatkan ilmu melalui ilham, manusia harus membuat kondisi, sehingga jiwanya memenuhi syarat untuk menerima ilham, dalam kondisi jiwa yang baik dan membersihkan jiwa serta mengisi jiwa dengan mengingat Tuhan,75 maka al-kasyf pun dengan sendirinya akan terjadi karena jiwa telah memiliki kesiapan untuk itu.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan besar yang terjadi dalam teori pengetahuan al-Ghazali akibat digantikannya kedudukan al-‘aql al- mustafad dengan al-dzawq. akal dengan sendirinya dibatasi kemampuannya untuk tidak mengetahui hakikat-hakikat secara langsung.

C. Perbuatan Manusia

73Wujud al-lawh al-Mahfuzh adalah hakikat-hakikat sesuatu yang terdapt di al-Lawh al-Mahfuzh yang merupakan model dari alam. Wujud jasmani adalah realitas objektif dari hakikat-hakikat yang ada pada wujud yang pertama tadi. Berarti, alam semesta merupakan penjelmaan jasmani dari hakikat-hakikat yang ada pada wujud pertama. Wujud al-Khayali adalah gambar-gambar realitas objektif yang ditangkap panca indra dan dikirim ke al Khayal di otak. Wujud al ,aql adalah kesan-kesan dari gambar tersebut yang ditangkap oleh akal. Al-Ghazali, al ihya, ..., VIII, hal 36

74Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), juz VIII, hal 37

75Al-Ghazali, al Munqiz mi al Dhalal, (Kairo: Silsilat al Saqafat al Islamiyyat,1971), hal. 47

Page 20: Bab III.doc

60

Menurut al-Ghazali di dalam Ma’arij al-Quds, perbuatan adalah bagian dari gerak.76 Gerak apabila dihubungkan dengan manusia, terdiri atas gerak yang disadari (al-iradiyyat) dan gerak yang tidak disadari (al-thabi’iyyat). Di sini yang akan dikaji adalah perbuatan yang disadari, karena perbuatan inilah yang terjadi secara jelas melalui proses tertentu di dalam jiwa dan berhubungan dengan usaha pengungkapan diri. Perbuatan yang disadari ini juga disebut dengan perbuatan iktiyar.77 Perbuatan semacam ini, menurut al-Ghazali terjadi setelah melalui tiga tahap dalam diri manusia, yaitu: pengetahuan (al-‘ilm), kemauan (al-iradat) dan kemampuan (al-qudrat). Yang lebih dekat dengan perbuatan manusia adalah al-qudrat, karena dia adalah penggerak dari jiwa sensitif (muharrikat), dia adalah momen terakhir yang secara langsung berhubungan dengan wujud perbuatan.

Fungsi al qudrat pada dasarnya adalah menggerakkan tubuh dan bentuk gerakan tubuh. Bentuk gerakan tubuh ditentukan oleh al-iradat, berdasarkan salah satu kecendrungan yang inhern di dalamnya, positif atau negatif.78 Positif sebagai reaksi yang menguntungkan dan negatif sebagai reaksi yang merugikan. Dengan pengertian ini, menunjukkan bahwa pada iradat terdapat kegiatan memilih, iradat bersifat aktif terhadap qudrat, sehingga qudrat menjadi aktual.

Iradat memilki inisiatif untuk memilih, iradat menentukan pilihan berdasarkan pengetahuan yang dia miliki. Daya mengetahui memilki kekuasaan yang lebih besar dari pada al iradat, tetapi dia memilki hubungan yag jauh dengan perbuatan. Yang terlibat langsung dengan perbuatan adalah al- iradat al-qudrat. Namun al-Ghazali juga tidak menafikan kekuasaan Tuhan dalam hal ini.79

76Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal. 45

77 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 4478 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 4479Al-Ghazali, Mi’raj al Salikin, (Kairo: al-Saqafat al-Islamiyat, 1964), hal.

62

Page 21: Bab III.doc

61

Perbuatan yang diwujudkan oleh al-qudrat itu bertempat pada jasmani, perbuatan-perbuatan jasmani menurutnya berifat terpaksa dan alami.80 Yang dikehendaki dengan pernyataan ini adalah bahwa perbuatan akan terjadi apabila al-qudrat telah menjadi aktual. Al-qudrat sepertinya juga sangat tergantung pada al-iradat. Al-iradat mengaktifkan al-qudrat setelah memperoleh informsi dari akal. Di sini nampaknya al-iradat juga sangat tergantung pada akal.81 Namun demikian, secara lebih spesifik, al-iradat bisa saja tidak mengikuti akal,82 apabila dorongan-dorongan kepentingan jasmani lebih dominan.83 Dengan demikian, al-iradat memiliki pilihan untuk mengikuti akal atau jasmani. Hal ini disampaikan oleh al-Ghazali untuk menjelaskan cara terwujudnya perbuatan baik, akal menurutnya selalu menggerakkan ke arah yang baik, namun badan pada dasarnya, menghendaki kesenangan-kesenangan yang dapat bertentangan dengan tuntutan akal. Hal ini di akibatkan karena adanya perbedaan hakikat dan sifat dasar pada keduanya.84dan disinilah iradat memiliki pilihan, apakah dia akan mengikuti akal atau mengikuti tuntutan jasmani. Dalam kegiatan memilih di sini terjadi dua hal, yaitu : keinginan memilih tuntutan akal dan meninggalkan tuntutan badan atau sebaliknya. Menurut al Ghzali, yang pertama adalah perbuatan Tuhan, sedangkan yang kedua adalah dari diri manusia sendiri.85

Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa manusia untuk memilih perbuatan baik dari yang buruk memerlukan al-ta’yid (penguatan) dari Tuhan, yaitu bagian dari inayat dan taklif dari Tuhan,86 yang berkaitan dengan perbuatan manusia.

80Al-Ghazali, Mi’raj al salikin, ..., hal. 6681Al-Ghazali, Mi’raj al salikin,..., hal. 67-6882Al-Ghazali, Mi’raj al salikin, ..., hal. 6883Al-Ghazali, Mi’raj al salikin, ..., hal. 6984Al-Ghazali, Mi’raj al salikin,..., hal. 6285Al-Ghazali, Mi’raj al salikin, ..., hal. 6586Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh

Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal 47.

Page 22: Bab III.doc

62

Dari uraian di atas, kelihatan bahwa al-iradat dan al-qudrat yang ada pada manusia meskipun merupakan daya-daya yang tetap di dalam diri manusia namun tidak bearti efektif sesunggahnya. Rangakaian aktifitas antara al-‘aql, al-iradat, al- qudrat yang mengahsilkan aktualisasi perbuatan juga ditentukan atas ‘kehendak” Tuhan. Bahwa hubungan antara sebab dan akibat tidak bersifat deterministik. Hal ini ditulisnya juga di dalam tahafut al-falasifah.87 Corak pemikiran seperti ini sepertinya tidak terlepas dari corak pemikirannya sebagai pengikut Asy ‘ariyah, dimana kehendak Tuhan menjadi faktor dominan terjadinya perbuatan.

Ketika berbicara khusus tentang perbuatan manusia di dalam ihya’, ia menyebutkan tiga jenis perbuatan: perbuatan yang bersifat alami (tathbi’i) perbuatan yang bersifat disadari (iradi) dan perbuatan yang bersifat pilihan (ikhtiyari).88 Ia juga menghubungkan hal ini dengan tingkatan pengetahuan manusia tentang tauhid.

Namun, perbuatan katagori ketiga yaitu, ikhtiyari, senantiasa dianggap berasal dari manusia, seperti perbuatan menulis atau berbicara. Ikhtiyar menurutnya adalah kemauan yang muncul karena petunjuk akal, berdasarkan apa yang disetujui oleh akal. Kelihatannya, yang ingin dikemukakn oleh al-Ghazali adalah bahwa kehendak itu tidak dengan sendirinya merupakan sebab munculnya perbuatan. Tapi kehendak itu membutuhkan akal dan akal membutuhkan takhyil dan indera dalam mewujudkan perbuatan.

Terkadang memang agak sulit memadukan pendapat al-Ghazali, kerena pada satu sisi dia mengakui “mata rantai” peroses sehingga terwujudnya suatu perbuatan pada manusia tapi pada sisi yang lain dia juga menyatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan-perbuatan manusia tanpa melalui rangkaian mata rantai

87 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifat, Sulaiman Dunya (ed), (Kairo: Dar Al ma’arif, 1966), hal. 240.

88 Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), juz. XIII, hal. 158.

Page 23: Bab III.doc

63

yang panjang itu, ini sangat dipengaruhi oleh pandangan teologisnya yang sangat menekankan kemahakuasaan Tuhan. Keberadaan mata rantai yang panjang itu menjadi pertanyaan karena Tuhan tidak menciptakan sesuatu tanpa makna.89 Akan tetapi sepertinya al-Ghazali juga mengakui manusia memiliki “pengaruh” mewujudkan sebuah perbuatan. Hal ini dapat kita fahami dari tulisan-tulisannya yang menyatakan bahwa upaya membersihkan hati mempunyai efek bagi melahirkan perbuatan-perbuatan baik (al-ahammiyah fi tazkiah al-nafs).

D. Manusia ParipurnaPengertian paripurna disini adalah kesempurnaan yang

mungkin diperoleh (al-kamal al-mumkin), yang dirindukan oleh semua orang.90 Kalimat kesempurnaan yang mungkin diperoleh mengacu pada esensi sesuatu. Kesempurnaan manusia sesungguhnya sesuatu yang sesuai dengan substansi esensialnya yaitu al-nafs. Tujuan hidup manusia dengan demikian, adalah kesempurnaan jiwa.

Al-Ghazali menyatakan bahwa manusia itu berada diantara dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama ialah bahwa ia memperolah kesempurnaan sehingga ia dapat dekat dengan Tuhan melalui dunia malaikat. Kemungkinan kedua ialah bahwa ia mengikuti persamaan-persamaannya dengan binatang-binatang seperti mengembangkan al-syahwat al-ghadhab sehingga ia turun ke tingkat binatang-binatang itu.91

Kesempurnaan manusia berkaitan erat dengan keutamaan-keutamaan (al- fadhail) yang dimaksud dengan keutamaan adalah berfungsinya daya-daya yang dimiliki manusia sesuai denga

89Muhammad Ibrahim al Fayumi, al Imam al-Ghazali wa ‘alaqat al Yaqin bi al ‘aql, (Kairo: al-Anglo al-Mishriyyat, 1987), hal. 11

90Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal. 101.

91Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal 102

Page 24: Bab III.doc

64

tuntutan kesempurnaan manusia.92 Tidak berfungsinya daya-daya sesuai dengan tuntutan kesempurnaan itu dinamakan keburukan-keburukan (al-radza’il). Dalam hal ini, al-Ghazali mengemukakan empat keutamaan tertinggi yaitu: al- hikmah93 sebagai keutamaan akal, al-syaja’ah, sebagai keutamaan daya al- ghadhab, al-“iffat sebagai keutamaan daya al-syahwat, dan al-‘adalat. Al-adalat merupakan keseimbangan diantara dua buah kutub yang berbeda.94

Untuk mengetahui yang baik sebagai kualitas moral yang menjadi kondisi bagi tujuan hidup, perlu diketahui lebih dahulu apa yang menyebabkan kebahagian akhirat menjadi tujuan hidup. Melihat sifat-sifat kebahagian akhirat yang dikemukakannnya. Ada empat hal yang menyebabkan kebahagian akhirat menjadi tujuan hidup, yaitu: keabadian, kegembiraan, pengetahuan dan kekayaan.

Al-Ghazali menyatakan bahwa kebahagian yang paling tinggi adalah melihat Tuhan di akhirat (al-nazhr ila al-jamal al-haq)95

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang membahagiakan di akhirat itu adalah pengeatahuan yang sempurna tentang Tuhan.96

Al-Ghazali mengemukakan bahwa orang dapat mengetahui baik atau buruk mulai tingkat yang paling rendah adalah melalui al hidayat dari Tuhan. Satu hal yang menarik perhatian disini adalah bahwa akal disebutnya sebagai sumber pengetahuan yang baik.

92Murad Wahbah,dkk, al-Mu’jam al falsafi, (Kairo: al-Saqafat al-Jadidah, 1971), hal. 161.

93Al-Ghazali membagi hikmat (kebijaksanaan) sesuai dengan kedua daya akal yaitu al hikmat al-ilmiyat al-nazahariayat (kebijaksanaan teoritis) yang ditangkap oleh akal teoritis dan al hikmat al khuluqiyyat (kebijaksanaan praktis) yang berhubungan dengan akal praktis. Yang pertama adalah pengetahun-pengetahun yng abstrak yang dinyakini bersifat tetap dan universal, seperti pengetahuan tentang Tuhan, sifat-sifat-Nya dan adanya kebahagian dan kesengsaraan di akhirat. Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal 94.

94 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 1190-19195 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 17696 Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs.al-Syaikh

Muhammad Musthafa Abu al ‘Ala (ed), Kairo: Maktabat al-Jundi, 1986), hal. 194-195.

Page 25: Bab III.doc

65

Apabila diperhatikan pandangan al-Ghazali tentang al-fadhail al- tawfiqiyyat, dapat disimpulkan bahwa keharusan untuk melakukan kebaikan datang dari Tuhan. Pandangan seperti ini mengambarkan usaha penyempurnaan diri lebih merupakan kewajiban dari pada kesadaran. Manusia perlu menyempurnakan dirinya karena diwajibkan Tuhan.97

Pada buku-buku filsafatnya, dia memandang hubungan dengan dunia adalah dalam rangka penyempurnaan diri. Meskipun dunia mempunyai sifat-sifat dasar yang dapat menghalangi kesempurnaan jiwa, namun dia memandangnya lebih optimis. Dunia dapat digunakan untuk usaha penyempuranaan diri, bahkan kemampuan menggunakan dunia, dalam arti mengarahkannya sesuai dengan tuntutan hakikat manusia, merupakan bagian dari usaha penyempurnaan diri. Penyempurnaan diri meskipun bergerak secara intensional, tetap bersifat terbuka.bahkan al-Ghazali beraktifitas dan berinteraksi dengan masyarakat dan penguasa juga bagian dari upaya penyempurnaan jiwa.98

Di dalam buku-buku tasawufnya terdapat penekanan yang kuat kepada penajaman al-dzawq sehingga sesorang mencapai tempat yang erat sekali dengan Tuhan. Tempat ini disebut juga dengan al-Maqam al-Muqarrabin dan al- Shiddiqin.99

Kedua maqam (stasiun) ini, sesungguhnya, sudah berada pada tingkat al-Kasyf. Al-kasyf pada tingkat yang paling tinggi yaitu ketika seseorang menyadari hanya satu; kesadarannya terhadap selain Tuhan termasuk dirinya telah hilang, disamakan al-

97 Al-Ghazali, Ma’arij al Quds, ..., hal. 202-203.98Abdul Karim Usman, Sirat al-Ghazali, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), hal.

203 99Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), juz. XIII,

hal. 159

Page 26: Bab III.doc

66

Ghazali dengan al-fana fi al-tauhid yang ada dalan tasawuf.100 Di tempat lain dia menyamakan tempat ini dengan ittihad.101

Ada dua kesan yang timbul dari sikap mempersamakan al-kasyf pada tingkat terakhir ini dengan al- ittihad dan al-fana fi al tauhid. Yang pertama adalah kesan bahwa al-Ghazali bermaksud merehabilitasi pandangan yang keliru tentang al-ittihad.102

Dari uraian tentang tujuan hidup ini disimpulkan bahwa kebahagaian manusia yang sesungguhnya dan yang merupakan tujuan hidupnya adalah di akhirat. Dunia dan segala isinya hanya mempunyai nilai apabila dipergunakan dan diarahkan untuk pencapaian tujuan akhirat itu.

Disamping itu, al-ma’rifat digunakannya juga untuk menunjukkan pengetahun yang tertinggi yang diperoleh melalui al dzawq, khususnya tentang Tuhan. Pengetahuan yang tertinggi tentang Tuhan di dunia adalah yang diperoleh dengan al-kasyf pada tingkat kedua, yaitu ketika kesadara hanya terpusat pada Tuhan; tidak ada yang disadari kecuali Tuhan.

100Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, ..., juz. XIII, hal. 158101Al-Ghazali, Misykat al Anwar, Terj. Muhammad Baqir, Dengan Judul

Misykat Cahaya-Cahaya, Cet III, (Bandung: Mizan, 1989), hal. 65 102Al-Kasyf tingkat terakhir sebagai keterpusatan kesadaran yang

menyeluruh kepada tuhan dan hilangnya kesadaran secara penuh dari selain Tuhan, maka anggapan bahwa al-ittihad sebagai persatuan hakikat manusia dengan tuhan tertolak. Kelihatannya, yang dimaksud dengan al- ittihad pada sufi-sufi sebelumnya juga adalah seprti yang dimaksud al-Ghazali, bukan persatuan hakikat manusia dengan Tuhan. Dengan demikian, al-ittihad bukanlah sesuatu yang mengandung makna syirik, melainkan tingkat pengenalan yang tertinggi terhadap Tuhan di dunia. Al-Ghazali memang menyalahkan al-Ittihad dalam sebagian tulisannya tetapi yang disalahkan adalah al-ittihad dalam pengertian persatuan hakikat. Al-ittihad dalam arti kesadarannya yang penuh pada Tuhan tidak disalahkannya. Lihat: Al-Ghazali, al Muqshad al-asna fi al-ma’rifat asma’ Allah al-husna. (Kairo: Maktabat al-Jundi, 1968), hal. 146-147.