37
BAB III ANALISIS PROFIL 3.1 Pendahuluan 3.1.1 Maksud dan Tujuan Maksud dari pratikum analisis profil adalah salah satu cara untuk menentukan lingkungan pengendapan dan mendapatkan gambaran paleogeografinya. Metode yang digunakan sebenarnya adalah metode stratigrafi asli, yaitu dengan menganalisis urut-urutan vertikal dari suatu sikuen. Analisis profil sangat penting didalam mempelajari lingkungan pengendapan. Suatu lingkungan tertentu akan mempunyai mekanisme pengendapan yang tertentu pula. Karenanya urut-urutan secara vertikal (dalam kondisi normal) akan mempunyai karakteristik tersendiri. Dengan demikian dari suatu profil akan dapat diketahui perkembangan pengendapan yang terjadi dan sekaligus dapat ditafsirkan perkembangan cekungannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagian alir berikut: Gambar 1. Diagram alir analisis cekungan (Potter & Pettijohn, 1977)

BAB III.doc

Embed Size (px)

Citation preview

GEOLOGI REGIONAL

BAB IIIANALISIS PROFIL

3.1 Pendahuluan 3.1.1 Maksud dan Tujuan

Maksud dari pratikum analisis profil adalah salah satu cara untuk menentukan lingkungan pengendapan dan mendapatkan gambaran paleogeografinya. Metode yang digunakan sebenarnya adalah metode stratigrafi asli, yaitu dengan menganalisis urut-urutan vertikal dari suatu sikuen. Analisis profil sangat penting didalam mempelajari lingkungan pengendapan. Suatu lingkungan tertentu akan mempunyai mekanisme pengendapan yang tertentu pula. Karenanya urut-urutan secara vertikal (dalam kondisi normal) akan mempunyai karakteristik tersendiri. Dengan demikian dari suatu profil akan dapat diketahui perkembangan pengendapan yang terjadi dan sekaligus dapat ditafsirkan perkembangan cekungannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagian alir berikut:

Gambar 1. Diagram alir analisis cekungan (Potter & Pettijohn, 1977)

Gambar 1. Diagram alir analisis cekungan (Potter & Pettijohn, 1977)

3.2 Dasar Teori

3.2.1 Geologi Regional Sumatera Tengah

Tektonik RegionalCekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan belakang busur.

Cekungan Sumatra tengah ini relatif memanjang Barat laut-Tenggara, dimana pembentukannya dipengaruhi oleh adanya subduksi lempeng Hindia-Australia dibawah lempeng Asia (gambar 1). Batas cekungan sebelah Barat daya adalah Pegunungan Barisan yang tersusun oleh batuan pre-Tersier, sedangkan ke arah Timur laut dibatasi oleh paparan Sunda. Batas tenggara cekungan ini yaitu Pegunungan Tigapuluh yang sekaligus memisahkan Cekungan Sumatra tengah dengan Cekungan Sumatra selatan. Adapun batas cekungan sebelah barat laut yaitu Busur Asahan, yang memisahkan Cekungan Sumatra tengah dari Cekungan Sumatra utara (gambar 2).

Gambar 1. Peta pergerakan lempeng Daerah Sumatra dan kawasan Asia Tenggara lainnya pada masa kini Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan peregangan kerak di bagian bawah cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi panas ke atas dan diapir-diapir magma dengan produk magma yang dihasilkan terutama bersifat asam, sifat magma dalam dan hipabisal. Selain itu, terjadi juga aliran panas dari mantel ke arah atas melewati jalur-jalur sesar. Secara keseluruhan, hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan tingginya heat flow di daerah cekungan Sumatra tengah (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995).

Gambar 2. Lokasi Cekungan Sumatra tengah dan batas-batasnyaFaktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah adalah adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Subduksi lempeng yang miring dari arah Barat daya pulau Sumatra mengakibatkan terjadinya strong dextral wrenching stress di Cekungan Sumatra tengah (Wibowo, 1995). Hal ini dicerminkan oleh bidang sesar yang curam yang berubah sepanjang jurus perlapisan batuan, struktur sesar naik dan adanya flower structure yang terbentuk pada saat inversi tektonik dan pembalikan-pembalikan struktur (gambar 3). Selain itu, terbentuknya sumbu perlipatan yang searah jurus sesar dengan penebalan sedimen terjadi pada bagian yang naik (inverted) (Shaw et al., 1999). Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir sama dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang berkembang berupa struktur Barat laut-Tenggara dan Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995). Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan dibandingkan struktur Barat lautTenggara. Elemen tektonik yang membentuk konfigurasi Cekungan Sumatra tengah dipengaruhi adanya morfologi High Low pre-Tersier. Pada gambar 4 dapat dilihat pengaruh struktur dan morfologi High Low terhadap konfigurasi basin di Cekungan Sumatra tengah (kawasan Bengkalis Graben), termasuk penyebaran depocenter dari graben dan half graben. Lineasi Basement Barat laut-Tenggara sangat terlihat pada daerah ini dan dapat ditelusuri di sepanjang cekungan Sumatra tengah. Liniasi ini telah dibentuk dan tereaktivasi oleh pergerakan tektonik paling muda (tektonisme Plio-Pleistosen). Akan tetapi liniasi basement ini masih dapat diamati sebagai suatu komponen yang mempengaruhi pembentukan formasi dari cekungan Paleogen di daerah Cekungan Sumatra tengah.Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum dapat disimpulkan menjadi beberapa tahap, yaitu :

1. Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat laut-Tenggara.

2. Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan zaman Kapur.

3. Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen) menghasilkan sistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas tektonik ini terhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah terjadinya perubahan lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir fase rifting. 4. Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yang mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatif tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari arah Timur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur laut Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-Selatan. Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh fluktuasi muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode sedimentasi transgresif dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode sedimentasi regresif yang menghasilkan Formasi Petani. 5. Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif dengan rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan. Pegunungan Barisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill). Arah sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan dari arah selatan menuju utara dengan kontrol struktur-struktur berarah utara selatan. 6. Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya inversi-inversi struktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah Barat laut-Tenggara. Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan regional antara formasi Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di bawahnya. Stratigrafi Regional Proses sedimentasi di Cekungan Sumatra tengah dimulai pada awal tersier (Paleogen), mengikuti proses pembentukan cekungan half graben yang sudah berlangsung sejak zaman Kapur hingga awal tersier.

Konfigurasi basement cekungan tersusun oleh batuan-batuan metasedimen berupa greywacke, kuarsit dan argilit. Batuan dasar ini diperkirakan berumur Mesozoik. Pada beberapa tempat, batuan metasedimen ini terintrusi oleh granit (Koning & Darmono, 1984 dalam Wibowo, 1995).

Secara umum proses sedimentasi pengisian cekungan ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :Rift (Siklis Pematang)Secara keseluruhan, sedimen pengisi cekungan pada fase tektonik ekstensional (rift) ini dikelompokkan sebagai Kelompok Pematang yang tersusun oleh batulempung, serpih karbonan, batupasir halus dan batulanau aneka warna. Lemahnya refleksi seismik dan amplitudo yang kuat pada data seismik memberikan indikasi fasies yang berasosiasi dengan lingkungan lakustrin.

Pengendapan pada awal proses rifting berupa sedimentasi klastika darat dan lakustrin dari Lower Red Bed Formation dan Brown Shale Formation. Ke arah atas menuju fase late rifting, sedimentasi berubah sepenuhnya menjadi lingkungan lakustrin dan diendapkan Formasi Pematang sebagai Lacustrine Fill sediments. a) Formasi Lower Red Bed Tersusun oleh batulempung berwarna merah hijau, batulanau, batupasir kerikilan dan sedikit konglomerat serta breksi yang tersusun oleh pebble kuarsit dan filit. Kondisi lingkungan pengendapan diinterpretasikan berupa alluvial braid-plain dilihat dari banyaknya muddy matrix di dalam konglomerat dan breksi b) Formasi Brown ShaleFormasi ini cukup banyak mengandung material organik, dicirikan oleh warna yang coklat tua sampai hitam. Tersusun oleh serpih dengan sisipan batulanau, di beberapa tempat terdapat selingan batupasir, konglomerat dan paleosol. Ketebalan formasi ini mencapai lebih dari 530 m di bagian depocenter. Formasi ini diinterpretasikan diendapkan di lingkungan danau dalam dengan kondisi anoxic dilihat dari tidak adanya bukti bioturbasi. Interkalasi batupasir batupasirkonglomerat diendapkan oleh proses fluvial channel fill. Menyelingi bagian tengah formasi ini, terdapat beberapa horison paleosol yang dimungkinkan terbentuk pada bagian pinggiran/batas danau yang muncul ke permukaan (lokal horst), diperlihatkan oleh rekaman inti batuan di komplek Bukit Susah (gambar 6).Secara tektonik, formasi ini diendapkan pada kondisi penurunan cekungan yang cepat sehingga aktivitas fluvial tidak begitu dominan. c) Formasi Coal ZoneSecara lateral, formasi ini dibeberapa tempat equivalen dengan Formasi Brown Shale. Formasi ini tersusun oleh perselingan serpih dengan batubara dan sedikit batupasir. Lingkungan pengendapan dari formasi ini diinterpretasikan berupa danau dangkal dengan kontrol proses fluvial yang tidak dominan. Ditinjau dari konfigurasi cekungannya, formasi ini diendapkan di daerah dangkal pada bagian aktif graben menjauhi depocenter (gambar 6). d) Formasi Lake FillTersusun oleh batupasir, konglomerat dan serpih. Komposisi batuan terutama berupa klastika batuan filit yang dominan, secara vertikal terjadi penambahan kandungan litoklas kuarsa dan kuarsit. Struktur sedimen gradasi normal dengan beberapa gradasi terbalik mengindikasikan lingkungan pengendapan fluvial-deltaic.

Formasi ini diendapkan secara progradasi pada lingkungan fluvial menuju delta pada lingkungan danau. Selama pengendapan formasi ini, kondisi tektonik mulai tenang dengan penurunan cekungan yang mulai melambat (late rifting stage). Ketebalan formasi mencapai 600 m.e) Formasi FanglomerateDiendapkan disepanjang bagian turun dari sesar sebagai seri dari endapan aluvial. Tersusun oleh batupasir, konglomerat, sedikit batulempung berwarna hijau sampai merah. Baik secara vertikal maupun lateral, formasi ini dapat bertransisi menjadi formasi Lower Red Bed, Brown Shale, Coal Zone dan Lake Fill.

Di beberapa daerah sepertihalnya di Sub-Cekungan Aman, dua formasi terakhir (Lake Fill dan Fanglomerat) dianggap satu kesatuan yang equivalen dengan Formasi Pematang berdasarkan sifat dan penyebarannya pada penampang seismik.

Sag

Secara tidak selaras diatas Kelompok Pematang diendapkan sedimen Neogen. Fase sedimentasi ini diawali oleh episode transgresi yang diwakili oleh Kelompok Sihapas dan mencapai puncaknya pada Formasi Telisa. (Siklis Sihapas ( transgresi awal)

Kelompok Sihapas yang terbentuk pada awal episode transgresi terdiri dari Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan Formasi Duri. Kelompok ini tersusun oleh batuan klastika lingkungan fluvial-deltaic sampai laut dangkal. Pengendapan kelompok ini berlangsung pada Miosen awal Miosen tengah. a) Formasi Menggala

Tersusun oleh batupasir konglomeratan dengan ukuran butir kasar berkisar dari gravel hingga ukuran butir sedang. Secara lateral, batupasir ini bergradasi menjadi batupasir sedang hingga halus. Komposisi utama batuan berupa kuarsa yang dominan, dengan struktur sedimen trough cross-bedding dan erosional basal scour. Berdasarkan litologi penyusunnya diperkirakan diendapkan pada fluvial-channel lingkungan braided stream. Formasi ini dibedakan dengan Lake Fill Formation dari kelompok Pematang bagian atas berdasarkan tidak adanya lempung merah terigen pada matrik (Wain et al., 1995). Ketebalan formasi ini mencapai 250 m, diperkirakan berumur awal Miosen bawah.

b) Formasi Bangko

Formasi ini tersusun oleh serpih karbonan dengan perselingan batupasir halus-sedang. Diendapkan pada lingkungan paparan laut terbuka. Dari fosil foraminifera planktonik didapatkan umur N5 (Blow, 1963). Ketebalan maksimum formasi kurang lebih 100 m. c) Formasi Bekasap

Formasi ini tersusun oleh batupasir masif berukuran sedang-kasar dengan sedikit interkalasi serpih, batubara dan batugamping. Berdasarkan ciri litologi dan fosilnya, formasi ini diendapkan pada lingkungan air payau dan laut terbuka. Fosil pada serpih menunjukkan umur N6 N7. Ketebalan seluruh formasi ini mencapai 400 m. d) Formasi Duri

Di bagian atas pada beberapa tempat, formasi ini equivalen dengan formasi Bekasap. Tersusun oleh batupasir halus-sedang dan serpih. Ketebalan maksimum mencapai 300 m. Formasi ini berumur N6 N8.

(Formasi Telisa ( transgresi akhir)

Formasi Telisa yang mewakili episode sedimentasi pada puncak transgresi tersusun oleh serpih dengan sedikit interkalasi batupasir halus pada bagian bawahnya. Di beberapa tempat terdapat lensa-lensa batugamping pada bagian bawah formasi. Ke arah atas, litologi berubah menjadi serpih mencirikan kondisi lingkungan yang lebih dalam. Diinterpretasikan lingkungan pengendapan formasi ini berupa lingkungan Neritik Bathyal atas. Secara regional, serpih marine dari formasi ini memiliki umur yang sama dengan Kelompok Sihapas, sehingga kontak Formasi Telisa dengan dibawahnya adalah transisi fasies litologi yang berbeda dalam posisi stratigrafi dan tempatnya. Ketebalan formasi ini mencapai 550 m, dari analisis fosil didapatkan umur N6 N11.

(Formasi Petani ( regresi)Tersusun oleh serpih berwarna abu-abu yang kaya fosil, sedikit karbonatan dengan beberapa lapisan batupasir dan batulanau. Secara vertikal, kandungan tuf dalam batuan semakin meningkat.

Selama pengendapan satuan ini, aktivitas tektonik kompresi dan volkanisme kembali aktif (awal pengangkatan Bukit Barisan), sehingga dihasilkan material volkanik yang melimpah. Kondisi air laut global (eustasi) berfluktuasi secara signifikan dengan penurunan muka air laut sehingga terbentuk beberapa ketidakselarasan lokal di beberapa tempat. Formasi ini diendapkan pada episode regresif secara selaras diatas Formasi Telisa. Walaupun demikian, ke arah timur laut secara lokal formasi ini memiliki kontak tidak selaras dengan formasi di bawahnya. Ketebalan maksimum formasi ini mencapai 1500 m, diendapkan pada Miosen tengah Pliosen.Inversi

Pada akhir tersier terjadi aktivitas tektonik mayor berupa puncak dari pengangkatan Bukit Barisan yang menghasilkan ketidakselarasan regional pada Plio-Pleistosen. Aktivitas tektonik ini mengakibatkan terjadinya inversi struktur sesar turun menjadi sesar naik. Pada fase tektonik inversi ini diendapkan Formasi Minas yang tersusun oleh endapan darat dan aluvium berupa konglomerat, batupasir, gravel, lempung dan aluvium berumur Pleistosen Resen.

Gambar 3 (a) Penampang seismik yang memperlihatkan adanya flower structure di daerah Sumai. (b) Flattening seismik yang memberikan ilustrasi konfigurasi half graben depocenter Sumai dan bagian yang tererosi

Gambar 4 konfigurasi Cekungan Sumatra tengah bagian tenggara (kawasan Bengkalis) yang memperlihatkan dominasi struktur dan paleomorfologi High Low (Moulds, 1989)

gambar 5. Stratigrafi daerah Teso-Cenako Sumatra tengah dengan variasi level eustasi (modifikasi dari Haq et al., 1988 dalam Wain et al., 1995). RSL fall pada 29 jtl sebanding dengan akhir deposisi Kelompok Pematang. Gambar 6. litostratigrafi Kelompok Pematang dan asosiasi fasies. (a) distribusi vertikal dan lateral litofasies. Batubara swamp pada bagian yang turun (flexure) dan ketidakselarasan lokal berkembang pada daerah yang aktif. (b) data core dangkal di daerah Bukit Susah. al., 1995).

gambar 7. konfigurasi cekungan saat ini dari half graben Cenako. (a) sebelum diinterpretasi (b) setelah diinterpretasi, memperlihatkan sesar-sesar dan geometeri cekungan (Wain et al., 1995).3.2.2 Fasies dan Lingkungan Pengendapan

Fasies merupakan kenampakan suatu tubuh batuan yang dikarakteristikkan oleh kombinasi dari litologi, struktur fisik dan biologi yang merupakan aspek pembedanya dari tubuh batuan diatas, dibawah ataupun disampingnya (Walker, 1992). Suksesi fasies merupakan suatu bagian vertikal dari fasies yang dicirikan dengan perubahan pada satu atau beberapa parameter seperti ukuran butir, maupun struktur sedimen. Sedangkan assosiasi fasies merupakan suatu kombinasi dari dua atau lebih fasies yang membentuk tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi yang secara genetik saling berhubungan pada suatu lingkungan pengendapan (Mutti & Ricci Luchi, 1972).

Model fasies dapat digambarkan sebagai suatu pandangan umum dari suatu sistem pengendapan yang terdiri dari beberapa contoh individual dari sedimen saat ini (recent) dan sedimen lampau (ancient) (Walker, 1992). Secara umum model fasies dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu model fasies terrigenous clastic dan model fasies karbonat. dan evaporit. Model fasies terrigenous clastic dibagi menjadi beberapa subkelompok berdasarkan endapannya : sistem pengendapan eolian, glacial, vulkanik, kipas alluvial, fluvial, delta, estuarin, lagoon. Tidal, turbidit dan kipas bawah laut. Sedangkan model fasies karbonat dan evaporit dibagi menjadi subkelompok yaitu shallow platform, pertidal carbonates, reefs, mound, dan evaporit.

Gambar 2. Parameter utama yang digunakan dalam pengelompokan

fasies sedimen (Homewood dan Lafont, 2000)Fasies dan lingkungan pengendapan memiliki hubungan yang sangat erat, hubungan tersebut pertama kali dikemukan oleh Walther (1984) yang dikenal sebagai hukum Walther, yaitu kenampakan fasies sikuen secara vertikal dapat dijadikan interpretasi penyebaran kearah lateralnya (Middleton, 1973 dan Selley, 1985).

Menurut Boggs (1995), lingkungan pengendapan adalah suatu tempat yang memiliki kondisi fisik, kimia, dan biologi tertentu yang bersifat statis dan dinamis, sedangkan fasies pengendapan yang merupakan kenampakan suatu tubuh batuan sedimen yang memiliki kekhasan sifat fisik, kimia dan biologi sebagai hasil atau produk dari lingkungan pengendapan tertentu (Selley, 1985).

Klasifikasi Fasies

Klasifikasi Fasies dilakukan berdasarkan sifat fisik, kimia dan biologis batuan Karakteristik yang biasa menjadi acuan yaitu struktur sedimen dalam tubuh batuan karena berkaitan erat dengan proses transportasi yang dapat menjelaskan setting dan lingkungan pengendapannya. Karekteristik kimia biasanya didasarkan dari komposisi batuan seperti mineral yang dikandungnya dan aspek biologi biasanya didasarkan dari keberadaan fosil jejak seperti burrow dan rootlet. Berikut ini beberapa klasifikasi fasies dari peneliti sebelumnya.Tabel 2.4 Klasifikasi Menurut Andrew D. Miall (1978)

Facies CodeFaciesSedimentary StructuresInterpretation

GmsMassive, matrix supported gravelGradingDebris flow deposits

GmMassive or crudely bedding gravelHorizontal bedding, imbricationsLongitudinal bars, lag deposits, sieve deposit

GtGravel, stratifiedTrough cross bedsMinor channel fills

GpGravel, stratifiedPlanar cross bedsLongitudinal bars, deltaic growths from older bar remnats

StSand, medium to very coarse, may be pebblySolitary or grouped trough cross bedsDunes (lower flow regime)

SpSand, medium to very coarse, may be pebblySolitary or grouped planer cross bedsLinguoid transverse bars, sand waves (lower flow regime)

SrSand, very fine to coarseRipple cross laminationRipples (lower flow regime)

ShSand, very fine to very coarse may be pebblyHorizontal lamination parting or streaming lineationPlaner bed flow (upper flow regime)

SISand, very fine to very coarse may be pebblyLow angle ( < 100 ) cross bedsScour fills, wash-out dunes, antidunes

SeErosional scours with intraclastsCrude cross beddingScour fills

SsSand, fine to very coarse, may be pebblyBroad, shallow scoursScour fills

FI Sand, silt mud depositsFine lamination, very small ripplesOverbank or waning flood

FscSilt, mudLaminated to massiveBackswamp deposit

FcfMudMassive, with freshwater mollusksBackswamp pound deposits

FmMud, siltMassive, desiccation cracksOverbank or drape deposits

CCoal, carbonaceous mudPlant, mud filmsSwamp deposits

PCarbonatePedogenic featuresPaleosol

CharacteristicFluvial channelTidal channelSubmarine channelDeltaic distributary

TextureFine courseFine-course mediumNo-patternFine-medium little pattern

Sorting GoodGoodFair-GoodGood

Lithology Sand clay drapeSand clay layersSand clay lensFine-medium sand silt layers

Structures Current ripple, laminated festton, X-BedsPlanar X-Beds, Facing upstream, current ripplesCurretnt ripple, laminatedPlanar X-beds, facing downstream, laminated

Trace fossilVery rare burrowVertical burrowsCommon burrowsRare burrows

Lag depositWood clay clastWood, shells clay clastsSome clay clastWood clay cast

Sand thickness10-60 ft50-200 ft100-500 ft50-500 ft

Length 10-100 m1-5 m1-20 m20-200 m

Width 1-30 m1-30 m1-5 m1-3 m

Lingkungan PengendapanLingkungan Pengendapan Lakustrin

Lingkungan pengendapan lakustrin atau danau, terbentuk ditempat dengan topografi yang rendah dan distribusi air atau material sedimen kedalamnya. Material sedimen di lingkungan lakustrin umumnya berasal dari sungai dan/atau evaporasi di permukaan. Lakustrin merupakan daerah yang tidak berhubungan dengan laut dan umumnya merupakan lingkungan pengendapan dari sedimen klastik walaupun juga terdapat karbonat da material evaporit.

Gambar 6.30 Lingkungan Pengendapan LakustrinFasies yang terendapkan pada lingkungan ini dikontrol oleh kedalaman air, pasokan sedimen dan kimia air. Lingkungan lakustrin yang dangkal biasanya terendapkan batuan sedimen kasar meskipun karbonat dan endapan evaporit dapat juga mungkin terdapat. Di lingkungan yang lebih dalam terendapkan material suspensi dan arus turbidit yang berasal dari batas dengan wilayah lakustrin dangkal. Lingkungan pengendapan merupakan tempat mengendapnya material sedimen beserta kondisi fisik, kimia, dan biologi yang mencirikan terjadinya mekanisme pengendapan tertentu (Gould, 1972). Lingkungan pengendapan terbagi menjadi 2 macam yaitu continental dan transisi. Membahas tentang lingkungan pengendapan, akan ada parameter-parameter yang berkaitan dengan proses terbentuknya lingkungan pengendapan tersebut, yaitu: parameter fisik, kimia, dan biologi. Pengendapan atau sedimentasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: pengendapan oleh angin, air,gletser.

Salah satu bagian dari lingkungan pengendapan yaitubeachatau pantai. Kawasan pantai merupakan kawasan transisi dari lahan daratan dan perairan laut. Proses pembentukan kawasan pantai sangat dipengaruhi oleh gaya-gaya dinamis yang berada disekitarnya. Gaya-gaya dinamis utama dan dominan yang mempengaruhi kawasan pantai adalah gaya gelombang.

Pesisir merupakan wilayah pengendapan di sepanjang pantai. Biasanya terdiri dari material pasir. Ukuran dan komposisi material di pantai sangat bervariasi tergantung pada perubahan kondisi cuaca, arah angin, dan arus laut. Arus pantai mengangkut material yang ada di sepanjang pantai. Jika terjadi perubahan arah, maka arus pantai akan tetap mengangkut material material ke laut yang dalam. Ketika material masuk ke laut yang dalam, terjadi pengendapan material. Setelah sekian lama, terdapat akumulasi material yang ada di atas permukaan laut. Akumulasi material itu disebut spit. Jika arus pantai terus berlanjut, spit akan semakin panjang. Kadang kadang spit terbentuk melewati teluk dan membetuk penghalang pantai (barrier beach).Terdapat beberapa tipe lingkungan pengendapan yang ada di bumi sekarang :

Lingkungan Pengendapan TransisiLingkungan pengendapan transisi adalah semua lingkungan pengendapan yang berada atau dekat pada daerah peralihan darat dengan laut.

1. Delta:endapan berbentuk kipas, terbentuk ketika sungai mengaliri badan air yang diam seperti laut atau danau. Pasir adalah endapan yang paling umum ditemui.2. Pantai danbarrier islands:didominasi oleh pasir dengan faunamarine.Barrier islandsterpisah dari pulau utama olehlagoon. Umumnya berasosiasi dengan endapantidal flat.

Gambar 5. Lingkungan pengendapan pantai3. Lagoons: badan dari air yang menuju darat daribarrier islands.Lagoonsdilindungi dari gelombang laut yang merusak olehbarrier islandsdan mengandung sediment berbutir lebih halus dibandingkan dengan yang ada di pantai (biasanya lanau dan lumpur).Lagoonsjuga hadir di balikreefatau berada di pusat atoll.

4. Tidal flats: membatasilagoons, secara periodik mengalami pasang surut (biasanya 2 kali sehari), mempunyai relief yang rendah, dipotong oleh saluran yang bermeander.Terdiri dari lapisan-lapisan lempung, lanau, pasir halus. Stromatolit dapat hadir jika kondisi memungkinkan.

Gambar 5. Lingkungan pengendapan pasang surut

.Facies Delta

Delta merupakan proses akumulasi sedimen (dari darat), terutama akumulasi pada muara sungai yang terdapat terjadi di pantai maupun di danau. Secara umum akan mempunyai asosiasi antara endapan darat seperti perlapisan pada facies fluvial dan perlapisan pada laut terbuka.

Syarat terbentuknya delta antara lain :

Jumlah di material yang dibawah sungai sebagai hasil erosi cukup banyak.

Bahan sedimentasi tidak terganggu oleh air laut.

Arus sungai pada bagian muara mempunyai kecepatan minimum.

Laut pada muara cukup tenang.

Tidak ada gangguan tektonik.Asosiasi Fasies

Setelah semua perlapisan di dalam suatu rangkaian ditentukan fasiesnya, selanjutnya pola distribusi fasies-fasies ini dapat diselidiki. Contoh (Gambar 5.2), apakah perlapisan bioturbated mudstone lebih umum terdapat bersamaan dengan (di atas maupun di bawahnya) shelly fine sandstone atau medium sandstone with rootlets ? manakah dari tiga di atas yang terdapat dengan fasies batubara ? Ketika berusaha menentukan asosiasi fasies, sangat berguna jika mengingat proses pembentukannya masing-masing. Dari empat contoh fasies yang dicontohkan, bioturbated mudstone dan shelly fine sandstone keduanya mungkin mewakili pengendapan di lingkungan subaqueous, kemungkinan laut, sedangkan medium sandstone with rootlets dan coal keduanya terbentuk di setting subaerial. Oleh karena itu dua asosiasi fasies dapat ditentukan jika, diperkirakan pasangan fasies pengendapan subaqueous cenderung terdapat bersamaan, begitu juga pasangan fasies subaerial. Fasies yang jelas, dapat diinterpretasikan proses-proses yang mengawali pembentukan sedimennya. Sebagaimana dicatat di atas, banyak dari proses-proses ini tidaklah unik pada lingkungan tertentu tapi satu cara dalam melihat lingkungan pengendapan adalah dengan memikirkan kombinasi proses-proses yang terjadi di dalam lingkungan pengendapan. Contoh, estuaria tidal (12.7), adalah setting fisiografi yang jelas dimana ada channel yang menyuplai air tawar memasuki lingkungan laut, setting ini dipengaruhi oleh arus tidal dan mudflats yang secara berkala dibanjiri oleh laut: hal ini mewakili kombinasi yang sangat jelas mengenai proses fisika, kimia, dan biologi. Hasil dari proses ini terlihat sebagai fasies sedimen yang diendapkan di dalam channel dan di atas mudflats. Oleh karena itu asosiasi fasies mencersminkan kombinasi proses-proses yang terjadi di dalam lingkungan pengendapan. Selanjutnya prosedur analisis fasies dapat dibagi dalam dua tahap proses: pengenalan fasies dapat diinterpretasikan ke dalam proses-prosesnya; dan menentukan asosiasi fasies yang mencerminkan kombinasi proses-proses dan selanjutnya lingkungan pengendapannya (Gambar 5.1). Hubungan waktu dan ruang antara fasies pengendapan di saat ini dan di rekaman batuan sedimen telah diperkenalkan oleh Walther (1894). Hukum Walther secara sederhana diringkas sebagai pernyataan bahwa jika satu fasies ditemukan menindih (superimposed) fasies lain tanpa jeda dalam rangkaian stratigrafi maka dua fasies itu telah diendapkan berdekatan satu sama lain pada satu waktu. Tidak semua litofasies dikelompokkan ke dalam asosiasi. Suatu fasies tunggal mungkin telah dibentuk oleh proses-proses yang jelas berbeda maka tidaklah tepat memasukkannya ke dalam asosiasi fasies lain. Sebagai contoh, rangkaian endapan yang terbentuk di dalam daerah kering (arid region) (8.1) memiliki fasies kerikilan yang berbeda yang mungkin dikelompokkan ke dalam asosiasi endapan kipas aluvial dan asosiasi danau playa (dasar suatu cekungan pengaliran gurun pasir) yang terdiri dari fasies evaporit dan batulumpur: fasies batupasir sedang terpilah baik, berstruktur cross bedding tidak sesuai ke dalam asosiasi kipas aluvial dan danau playa dan oleh karena itu harus dipertimbangkan sebagai suatu kesatuan yang tersendiri (hasil dari pengendapan aeolian dune: 8.2.3).

3.3 Metode PenelitianDalam melakukan analisis lingkungan pengendapan dengan menggunakan analisis profil sebaiknya melalui tahap-tahap sebagai berikut :

3.3.1 Pemerian a. Menyiapkan alat-alat yang diperlukan antara lain :

- Palu geologi

-Kompas

-Tali ukur (diberi tanda tiap 1 mil)

- Pita meteran

-Komparator besar butir

-Larutan HCL

-Lembar pengukuran stratigrafi

-Alat tulis menulis

-Kamera

b. Merencanakan lintasan pengamatan

Lintasan pengamatan yang akan dilalui sebaiknya dipilih :

Dianggap mewakili dengan lintasan yang cukup panjang.

Sepanjang lintasan batuannya tersingkap baik.

Medan yang tidak terlalu sulit, sehingga memudahkan dalam pengamatan.

3.3.2 Pendataan Lapangan

a. Buatlah sketsa lintasan yang diambil.

b. Ukur kedudukan lapisan dan tentukan posisi stratigrafinya.

c. Tentukan arah lintasan (dari muda ke tua atau sebaliknya).

d. Tentukan masing-masing unit genetiknya.

e. Diamati atau jenis alas perlapisannya apakah tegas, berangsur atau erosional.

f. Diskripsi litologi tiap lapisan dan ukur ketebalannya.

g. Struktur sedimen yang berkembang.Dalam hal ini struktur sedimen meliputi :

Struktur eksternal (pada bidang perlapisan) atau sering disebut struktur bidang perlapisan :

Pada analisis lapisan (sole mark) misalnya : cetak suling, cetak beban, grove marks, dsb.

Pada bagian atas lapisan (surface mark) : rain inprint, mud crack, bioturbasi, dsb. Struktur internal atau struktur perlapisan misalnya : Perlaipisan sejajar, lapisan bergelombang, lapisan bersusun, dsb.

h. Membuat foto, dalam pengambilan gambar sedapat mungkin menggambarkan close up : litologi, struktur sedimen, batas lapisan.

i. Sikuen vertikalnya.

3.3.3 Analisis Data

a. Gambarkan kolom stratigrafinya dengan detail, serta tafsirkan mekanisme arus yang mengendapkannya, untuk pendekatan lingkungan pengendapan.

b. Dari kolom stratigrafinya, kemudian dibuat suatu rangkuman urutan secara vertikal.

c. Pilih model yang sesuai dengan model profil yang dibuat.

d. Dengan menggunakan model, dianalisis perkembangan cekungannya, apakah mengalami regresi (progradasi) atau trangresi (retrogradasi).3.4 Hasil dan PembahasanDalam melakukan analisis profil dengan menggunakan melalui tahap-tahap sebagai berikut :

3.4.1 Lithofasies

Pada interval 1802' - 1805' menunjukkan Batupasir, halus-menengah, pada interval 1805 1807,5 menunjukkan Batupasir menengah-kasar, abu-abu kekuningan, pada interval 1807,5' - 1815' menunjukkan Batupasir, halus-menengah, abu-abu kekuningan struktur sedimen cross bedding, Pada interval 1815' 1817,5' menunjukkan Batupasirmenengah - kasar, abu-abu kekuningan Bioturbasi. Pada interval 1817,5' 1823' menunjukan Batupasir menengah - kasar, abu-abu kehitaman, struktur sedimen wavy bedding, cross bedding dan juga shale rip ups dengan burrow yang kompleks. Pada interval 1823' 1825,5' menunjukkan Batupasir menengah - kasar, abu-abu kekuningan, membundar - membundar tanggung, pemilahan menengah - buruk, terdapat butiran melayang, kemas tertutup, agak keras - keras, struktur sedimen cross laminasi. Pada interval 1825,5' - 1831' menunjukkan Batupasir menengah - kasar, abu-abu kekuningan, menghalus keatas, membundar - membundar tanggung, pemilahan menengah - baik, kemas terbuka, agak keras - keras, struktur sedimen wavy bedding, cross laminasi, terdapat hancuran cangkang.

3.4.2 Assosiation

Dari Lithofacies diatas dapat dikelompokan menjadi 3 asosiasi fasies

1. Tidal Sand Bar

2. Tidal Sand Channel

3. Fluvial Tidal Channel

3.4.3 Interpretasi Lingkungan Pengendapan

Pada semua interval yang sudah ada, di simpulkan bahwa interpretasi lingkungan pengendapannya adalah lingkungan pengendapan delta ( transisi ).

3.5 Kesimpulan

Analisis profil adalah salah satu cara untuk menentukan lingkungan pengendapan dan mendapatkan gambaran paleogeografinya. Metode yang digunakan sebenarnya adalah metode stratigrafi asli, yaitu dengan menganalisis urut-urutan vertikal dari suatu sikuen. Analisis profil sangat penting didalam mempelajari lingkungan pengendapan. Suatu lingkungan tertentu akan mempunyai mekanisme pengendapan yang tertentu pula. Karenanya urut-urutan secara vertikal (dalam kondisi normal) akan mempunyai karakteristik tersendiri.

Dengan demikian dari suatu profil akan dapat diketahui perkembangan pengendapan yang terjadi dan sekaligus dapat ditafsirkan perkembangan cekungannyaDAFTAR PUSTAKA

Wendy, K., 2003, Application of Core Analysis in Reservoir Description and Characterization, Guest Lecture Material, Core Laboratories,, Yogyakarta.

Boggs, Sam.2006.Principles of Sedimentary and Stratigraphy 4thEdition. New Jersey Pearson Education, Inc.Moulds, P.J., 1989, Development Of The Bengkalis Depression, Central Sumatra and Ins Subsequent Deformation A Model for Other Sumatran Grabens, Proceedings Indonesian Petroleum Association Eighteenth Annual Convention vol.1, Jakarta.

Shaw, J.H., Hook, S.C. dan Sitohang E.P., 1999, Extensional Fault-Bend Folding and Synrift Deposition: An Example from the Central Sumatra Basin, Indonesia, AAPG Bulletin, V. 81, No. 3 - Online presentation.

http://www.searchanddiscovery.net/documents/Indonesia

Wain, A.S. dan Jackson, B.A., 1995, New Pematang Depocentres on The Kampar Uplift, Central Sumatra, Proceedings Indonesian Petroleum Association Twenty Fourth Annual Convention vol.1, Jakarta.

Wibowo, R.A., 1995, Pemodelan Termal Sub-Cekungan Aman Utara Sumatra Tengah, Bidang Studi Ilmu Kebumian Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung, Unpublished. http://willy-lasano.blogspot.com/2011/09/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html.http://one-geo.blogspot.com/2010/01/stratigrafi-regional-cekungan-sumatera.html.http://wandymausharing.blogspot.com/2012/07/lingkungan-laut-dangkal.html.Tabel 2.3 Karakteristik Fisika dari Channel Sand Bodies (Reineck&Singh, 1980)

Fasies

Fasies Associations

Facies Succetions

Lingkungan pengendapan

SISTEM LINGKUNGAN PENGENDAPAN

Fasies Models

perbandingan sedimen yang ada sekarang dengan batuan sedimen yang lebih tua

model ini

mengkarakterisasikan

dikombinasikan dengan proses

Gambar 2. Hubungan antara Facies, lingkungan pengendapan

dan sistem pengendapan (Walker, 1992)

PAGE