55
DIABETES MELITUS TIPE 2 Kelompok A7 Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Semester V Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2010 Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 PENDAHULUAN Diabetes Melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. 1 Masalah diabetes melitus di negara-negara berkembang tidak pernah mendapat perhatian para ahli diabetes di negara-negara barat sampai dengan Kongres International Diabetes Federation (IDF) ke IX tahun 1973 di Brussel. Baru pada tahun 1976, ketika kongres IDF di New Delhi India, diadakan acara khusus yang membahas diabetes melitus di daerah tropis. Setelah itu banyak sekali penelitian yang telah dilakukan di Negara berkembang dan data terakhir dari WHO menunjukan justru peningkatan tertinggi jumlah pasien diabetes malah di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. 2 Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%. 2 1

2. dm tipe 2.doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

DM tipe 2

Citation preview

Page 1: 2. dm tipe 2.doc

DIABETES MELITUS TIPE 2

Kelompok A7

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Semester V

Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2010

Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

keduanya.1 Masalah diabetes melitus di negara-negara berkembang tidak pernah mendapat

perhatian para ahli diabetes di negara-negara barat sampai dengan Kongres International

Diabetes Federation (IDF) ke IX tahun 1973 di Brussel. Baru pada tahun 1976, ketika

kongres IDF di New Delhi India, diadakan acara khusus yang membahas diabetes melitus di

daerah tropis. Setelah itu banyak sekali penelitian yang telah dilakukan di Negara

berkembang dan data terakhir dari WHO menunjukan justru peningkatan tertinggi jumlah

pasien diabetes malah di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.2

Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,

kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu

di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.2

Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah

urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural di suatu daerah

di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara

prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup

mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43%

di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi

Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di

daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.2

Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM

tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar,

1

Page 2: 2. dm tipe 2.doc

prevalensi diabetes terakhit tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun 2006, Departemen

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan

Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor

Risiko Penyakit Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan 1591 subyek, terdiri dari 640 laki-

laki dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi DM di lima wilayah DKI Jakarta

sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi

sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis

masih cukup tinggi, hampir 3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi (Gambar

1).2

Gambar 1. Prevalens DM di Indonesia

Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan

terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan

demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2

dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastic. Ini

sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan menempati peringkat

nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun

2025, naik 2 tingkat disbanding tahun 1995 (Tabel 1).2

2

Page 3: 2. dm tipe 2.doc

Tabel 1. Urutan 10

Negara dengan

Jumlah Pengidap Diabetes Terbanyak pada Penduduk Dewasa di Seluruh Dunia 1995 dan

2025

ISI

Anamnesis

Pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan pada saat anamnesis padien diabetes adalah

gejala-gejala khas diabetes serta komplikasi yang biasa sudah menyertainya pada saat

diagnose. Pertanyaan yang biasa diajukan antara lain :

Poliuria. Apakah pasien merasakan volume urin yang meningkat. Biasanya sering

disertai dengan adanya nokturia yang membangunkan pasien dari tidurnya dan sering

menganggu kualitas tidur.

3

Urutan Negara 1995

(Juta)

Urutan Negara 2025

(Juta)

1 India 19.4 1 India 57.2

2 Cina 16.0 2 Cina 37.6

3 Amerika 13.9 3 Amerika 21.9

Serikat

4 Federasi 8.9 4 Pakistan 14.5

Russia

5 Jepang 6.3 5 Indonesia 12.4

6 Brazil 4.9 6 Federasi 12.2

Russia

7 Indonesia 4.5 7 Meksiko 11.7

8 Pakistan 4.3 8 Brazil 11.6

9 Meksiko 3.8 9 Mesir 8.8

10 Ukraine 3.6 10 Jepang 8.5

Semua 49.7 103.6

negara lain

Jumlah 135.3 300

Page 4: 2. dm tipe 2.doc

Polidipsia. Tanyakan apakah pasien sering merasa haus. Polidipsia disebabkan oleh

banyaknya volume urin yang dikeluarkan.

Poliphagia. Tanyakan apakah pasien sering merasa lapar.

Penurunan berat badan.

Neuropati. Tanyakan apakah pasien mengalami kesemutan, hilang rasa pada bagian

distal tubuh seperti kaki.

Infeksi. Tanyakan apabila pasien mendapat luka, apakah luka tersebut sukar sembuh,

terutama pada bagian kaki..

Retinopati. Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami gangguan penglihatan.

Pemeriksaan Fisik

Sebagai tambahan dari pemeriksaan fisik komplit pada umumnya, perlu diberikan perhatian

khusus pada aspek-aspek yang berkaitan dengan DM seperti BMI, pemeriksaan mata,

tekanan darah ortostatik, pemeriksaan kaki, pemeriksaan denyut perifer. Tekanan darah >

130/80 mHg sudah dianggap sebagai tekanan darah tinggi pada pasien dengan diabetes.

Pemeriksaan ektremitas bawah yang teliti dilakukan untuk melihat adanya neuropati perifer,

calus, infeksi jamur superficial, penyakit kuku, reflex APR KPR, dan bentuk kaki yang

abnormal (hammer atau claw toes, dan charcoat foot). Dinilai juga kemampuan untuk

merasakan sentuhan menggunakan benang monofilament dan kemampuan untuk menentukan

letak sakit/tusukan (pinprick) untuk menentukan seberapa parah neuropati perifernya.

Penyakit periodontal, gigi, dan gusi lebih sering terjadi pada pasien DM, sehingga juga harus

diperiksa.3

Pemeriksaan Laboratorium

Temuan Laboratorium pada DM

Pemeriksaan glukosa dan badan keton dalam kemih , juga glukosa plasma atau darah

dari sampel yang diambil dalam keadaan basal dan sesudah pemberian glukosa sangat

penting dalam evaluasi pasien diabetes Uji untuk hemoglobin glikosilasi telah terbukti

bermanfaat untuk evaluasi awal dan dalam penilaian efektivitas terapi. Pada keadaan-

keadaan tertentu, pengukuran kadar insulin atau peptida C dan kadar hormon-hormon lain

yang terlibat dalam homeostasis karbohidrat (misal, glukagon, hormon pertumbuhan)

mungkin berguna. Dari pandangan tingginya risiko aterosklerosis pada diabetes, maka

4

Page 5: 2. dm tipe 2.doc

penentuan kadar kolesterol serum (termasuk fraksi HDL yang menguntungkan) dan

trigliserida dapat membantu. Dari tiga pengukuran ini dapat dibuat perkiraan kadar LDL.4

Glikosuria

Apapun metode yang dipakai, terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan

pemakaian glukosa kemih sebagai petunjuk glukosa darah. Yang pertama, kadar glukosa

kemih dalam kandung kemih mencerminkan kadar glukosa saat kemih dibentuk. Oleh sebab

itu, spesimen yang pertama dikeluarkan di pagi hari mengandung glukosa yang diekskresi

sepanjang malam dan sama sekali tidak mencerminkan kadar glukosa darah pagi hari. Sedikit

perbaikan dalam korelasi glukosa kemih dengan glukosa darah dapat diperoleh jika pasien

"berkemih dua kali"—yaitu, mengosongkan kandung kemih seluruhnya, membuang sampel,

dan kemudian berkemih lagi kira-kira setengah jam kemudian, dan hanya sampel kedua ini

yang diuji kandungan glukosanya. Akan tetapi, kesulitan dalam mengosongkan kandung

kemih seluruhnya (volume residu besar), masalah-masalah dalam memahami instruksi, dan

ketidaknyamanan mengurangi manfaat dari uji ini. Pemantauan kadar glukosa darah sendiri

telah menggantikan pemeriksaan kadar glukosa kemih pada kebanyakan penderita DMTI dan

sebagian pasien DMTTI (khususnya yang mendapat terapi insulin).4

Tersedia beberapa produk komersial untuk menentukan adanya glukosa dan

jumlahnya dalam kemih. Penilaian glikosuria di samping tempat tidur yang sudah lama dan

sulit dengan tablet Clinitest kini telah diganti dengan metode carik celup yang lebih cepat,

mudah dan spesifik glukosa. Metode ini menggunakan carik kertas (Clinistix, Diastix, Tes-

Tape) yang diimpregnasi dengan enzim (glukosa oksidase dan hidrogen peroksidase) dan

suatu zat warna kromogenik yang akan menjadi pucat dalam keadaan tereduksi.

Terbentuknya hidrogen peroksida di bawah pengaruh enzim akan mengoksidasi zat warna

untuk menghasilkan warna yang intensitasnya bergantung pada kadar glukosa. Uji carik

celup ini peka terhadap kadar glukosa sekecil 0,1 % glukosa(100 mg/dL) tetapi tidak bereaksi

terhadap umlah kecil glukosa yang biasanya terdapat dalam :emih. Carik kertas dapat

mengalami kerusakan ika terpapar udara, kelembaban dan panas yang lebat, dan perlu

disimpan dalam tabung kedap udara jika tidak digunakan. Hasil negatif palsu dapat liperoleh

bilamana ada alkaptonuria dan bila zat-zat tertentu seperti asam salisilat atau askorbat di-

consumsi berlebihan. Semua hasil negatif palsu ini erjadi akibat bahan-bahan pereduksi kuat

yang lapat mengganggu oksidasi kromogen.4

5

Page 6: 2. dm tipe 2.doc

Ketonuria

Dalam keadaan tidak ada insulin dalam jumlah cukup, maka tiga “badan keton"

utama dibentuk dan diekskresi ke dalam kemih: asam β-hidroksibutirat, asam asetoasetat. dan

aseton. Produk-produk komersil untuk menguji adanya keton dalam kemih kini tersedia.

Tablet Acetest, Ketostix, dan Keto-Diastix menggunakan suatu reaksi nitroprusida yang

hanya mengukur aseton dan asetoasetat. Dengan demikian, uji-uji ini dapat keliru

mengarahkan bila asam β-hidroksibutirat merupakan metabolit yang dominan.

Kondisi-kondisi lain di samping ketoasidosis diabetik dapat menyebabkan badan-

badan keton tampil dalam kemih; antara lain kelaparan, diet tinggi lemak, ketoasidosis

alkoholik, demam, dan kondisi lain di mana kebutuhan metabolik meningkat.4

Proteinuria

Proteinuria seperti yang ditemukan pada pemeriksaan carik celup rutin seringkali

menjadi tanda pertama komplikasi diabetes pada ginjal. Jika proteinuria terdeteksi, maka

perlu dilakukan analisis kumpulan kemih 24 jam untuk menentukan derajat proteinuria

(individu normal mengekskresikan < 30 mg protein per hari) dan laju ekskresi kreatinin

kemih; pada saat yang sama, kadar kreatinin serum perlu ditentukan sehingga bersihan

kreatinin (suatu perkiraan dari laju filtrasi glomerulus) dapat dihitung. Pada beberapa kasus

kelak terjadi proteinuria yang berat (3-5 g/hari) dengan gejala-gejala sindroma nefrotik lain

seperti edema, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia.4

Mikroalbuminuria

Albumin kemih kini dapat dideteksi dalam hitungan mikrogram menggunakan

metode radioimmunoassay yang lebih peka daripada metode carik celup yang batas deteksi

minimalnya adalah 0,3- 0,5%. Kumpulan kemih 24-jam konvensional menyebabkan

ketidaknyamanan bagi pasien, dan di samping itu juga memperlihatkan variabilitas ekskresi

albumin disebabkan beberapa faktor se perti berdiri larra protein dalam diet, dan latihan fisik

cenderung meninggikan lajuekskresi albumin. Karena alasan-alasan inilah banyak klinik

lebih suka melakukan pemeriksaan penyaring dengan suatu kumpulan kemih semalam yang

diberi batasan waktu yaitu mulai dari saat menjelang tidur, di mana kemih dibuang dan jam

dicatat. Pengumpulan kemih diakhiri saat kandung kemih dikosongkan di pagi hari. dan

kemih ini serta kemih yang dikeluarkan dalam semalam, ditera terhadap albumin. Subjek

normal mengekskresikan kurang dari 15 µg/menit dalam pengumpulan kemih semalam;

6

Page 7: 2. dm tipe 2.doc

angka di antara 20 dan 200 µg/menit atau lebih menggambarkan mikroalbuminuria abnormal

yang mungkin merupakan prediktor dini dari perkembangan nefropati diabetik.4

Pemeriksaan Glukosa Darah

Angka Normal

Nilai normal glukosa darah puasa bervariasi antara 60 hingga 110 mg/dL (3,3-6,1

mmol/L). Kadar plasma atau serum adalah 10-15% lebih tinggi karena komponen-komponen

struktural sel darah dihilangkan, sehingga akan lebih banyak glukosa per unit volume. Jadi,

nilai normal glukosa plasma atau serum puasa adalah 70-120 mg/dL (3,9-6,7 mmol/L).

Secara klinis, pengukuran glukosa plasma atau serum lebih sering digunakan karena bebas

dari hematokrit, lebih dekat dengan kadar glukosa ruang jaringan interstisial, dan me-

mudahkan prosedur analisis otomatis. Penentuan kadar glukosa darah penuh dilakukan di

tempat untuk menguji glukosa pada keadaan-keadaan darurat dan juga pada prosedur

pemantauan sendiri glukosa kapiler. Suatu teknik yang telah diterima luas dalam penatalaksanaan

diabetes melitus.4

Nilai normal glukosa plasma atau darah yang sudah diterima memerlukan koreksi

usia sebesar 1 mg/dL (0,056 mmol/L) per tahun usia di atas 60 tahun. Jadi kadar glukosa

plasma puasa pada orang tua non-diabetes berkisar antara 80 hingga 150 mg/dL (4,4-8,3

mmol/L).4

Sampel Darah Vena

Sampel perlu diletakkan dalam tabung yang mengandung natrium fluorida yang akan

mencegah glikolisis dalam darah sampel dan dapat menurunkan kadar glukosa yang diukur.

Jika tabung seper ini tidak tersedia, maka sampel perlu dipusing da lam waktu 30 menit

sesudah diambil dan plasma atau serum disimpan pada suhu 4 °C.4

Metode laboratorium yang biasa digunakan untuk menentukan glukosa plasma

menggunaka metode enzimatik (misal, glukosa oksidase atau heksokinase), metode

kolorimetrik (misal, o-tolui din) atau metode otomatis. Metode otomatis memanfaatkan

reduksi dari senyawa tembaga atau be dengan mereduksi gula dalam serum diálisis. Cara ini

mudah tetapi tidak spesifik terhadap glukosa karena juga bereaksi dengan bahan-bahan

pereduksi lainnya (yang meningkat pada keadan azotem atau asupan asam askorbat yang

tinggi).4

7

Page 8: 2. dm tipe 2.doc

Sampel Darah Kapiler

Terdapat beberapa metode carik kertas (glukosa oksidase) untuk mengukur glukosa

darah kapiler Semuanya sudah diadaptasi untuk pemakaian mudah dalam bentuk meter

pengukur bertenaga baterai yang dapat dibawa-bawa dengan bacaan digital Suatu perangkat

uji carik, Chemstrip bG, dilengkap; suatu bagan warna untuk perbandingan visual dan

perkiraan kadar glukosa darah. Meter pengukur yang lebih konvensional (misal, Glucometer,

Glu- coscan, Glucocheck, Diascan, atau AccuChek memerlukan penentuan waktu yang tepat

oleh pengguna serta pembersihan carik kertas dari jejas- jejas darah dengan teliti sebelum

pembacaan warna Alat-alat generasi kedua (misal, One Touch II, ExacTech) telah

menghapus dua sumber kesalahan teknis ini dengan penentuan waktu secara otomatis dan

memungkinkan kuantitasi kolorimeter tanpa membersihkan darah. Untuk memantau kadar glu-

kosa darahnya sendiri, pasien harus menusuk jarinya dengan lanset kecil (misal, Monolet),

yang dapat dipermudah pemakaiannya dengan alat pelatuk plastik kecil (misal, Autolet,

Penlet). Dengar instruksi teknik yang tepat, pasien dapat memperoleh pengukuran kadar

glukosa darah sendiri yang akurat dan dapat diandalkan, yang sangat bernila untuk

penatalaksanaan diabetes jangka panjang Metode ini juga sangat bermanfaat untuk para pro-

fesional kesehatan dalam penatalaksanaan di samping tempat tidur pasien DM serius yang

dirawat dirumah sakit.4

Uji Diagnostik Sederhana Dengan Kadar Glukosa Plasma

Kadar glukosa plasma puasa diatas 140 mg/dL (7,8 mmol/L0 pada lebih dari satu

pemeriksaan memastikan diagnostik DM. Sampel untuk pemeriksaan kadar glukosa paling

baik diamnbil pada pagi hari sesudah puasa semalaman.4

Uji Toleransi Glukosa Oral

Tes ini digunakan untuk mendiagnostik DM awal secara pasti, namun tes ini

tidakdibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan

manifestasi klinik DM dan hiperglikemia.4

Persiapan Uji

Guna mengoptimalkan sekresi insulin dan efektivitasnya, terutama bila pasien tengan

menjalani seatu diet rendah karbohidrat, maka jumlah minimum 150-200 g karbohidrat per

8

Page 9: 2. dm tipe 2.doc

hari perlu dimasukan dalam diet selama 3 hari sebelum menjalani uji.pasien tidak boleh

memakan apapun sesudah tengah malam sebelum hari pengujian.4

Prosedur Uji

Kadar glukukosa diukur sebelum dan sesudah membebanan 75 g glukosa. Orang

dewasa diberikan glukosa 75 g dalam 300 mL air, sedangkan anak –anak mendapat 1,75 g

glukosa per kilogram berat badan ideal. Beban glukosa dikonsumsi dalam 5 menit. Kadar

glukosa diukur setiap ½ jam selama 2 jam setelah pemberian glukosa.4

Interpretasi

Pada keadaan sehat, kadar glukosa puasa individu yang dirawat jalan dengan toleransi

glukosa normal adalah 70 hingga 110 mg/dL. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan

meningkat pada awalnya namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam atau

dengan kata lain glukosa plasma pu8asa kurang dari 115 mg/dL dan setelah 2 jam kadarnya

akan turun dibwah 140 mg/dL dan nilai – nilai dari sampel lainnya tidak ada yang melampaui

200 mg/dL (National Diabetes Data Group Criteri).4

Hasil – hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien yang mal nutrisi pada saat

pengujian, berbaring ditempat tidur, atau terserang suatu infeksi atau suatu stress emosional

yang berat. Diuretika, kontraseptif oral, glukokortikoid, tiroksin yang berlebihan, fenitoin,

asam, nikotinat, dan beberapa obat psikoteropik juga dapat menyebabkan hasil positif palsu.4

Kadar Insulin

Untuk menukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa, maka serum atau

plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah pengambilam spesimen sebelum

diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal berkisar antara 5 - 20µU/mL dalam keadaan

puasa, dan mencapai 50 – 130 µU/mL sesudah satu jam, dan biasanya turun kembali dibawah

30µU/mL sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang memiliki manfaat klinis karena

alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa melampaui 120 mg.dL, hiperinsulinemia

dapat timbul secara terlamabat sebagai akibat resistensi insulin pada penderita DM II; akan

tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana

pelepasan insulin dini yang lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat

merangsang pelepasan insulin berlebihan setelah 2 jam.4

9

Page 10: 2. dm tipe 2.doc

Uji Toleransi Glukosa Intravena

Uji toleransi glukosa IV dilakukan dengan cara pemberian infus glukosa secara cepat

diikuti serangkaian pemeriksaan glukosa plasma untuk menentukan laju hilangnya glukosa

per menit. Laju hilangnya glukosa mencerminkan kemampuan pasien untuk memindahkan

suatu beban glukosa. Uji ini digunakan untuk evaluasi toleransi glukosa pada pasien – pasien

dengan klainan GI (malabsorpi). Uji ini relatif tidak peka, dan belum ada kriteria yang

memadai untuk diagnostik diabetes pada berbagai kelompok umur.4

Working Diagnosis

Diabetes Melitus Type 2.

Diabetes mellitus (DM) mengacu pada sekelompok kelainan metabolik dengan gejala

hiperglikemia. Terdapat beberapa jenis DM dan disebabkan oleh interaksi antara faktor

genetic dan lingkungan. Berdasarkan etiologi yang menyebabkan DM, faktor yang ikut

berperan dalam terjadinya hiperglikemia adalah berkurangnya sekresi insulin, pengurangan

kemampuan menggunakan glukosa, dan peningkatan produksi glukosa. Kelainan metabolik

yang menyertai DM dapat menyebabkan perubahan patofisiologik sekunder pada berbagai

sistem organ. Di US, DM adalah penyebab utama terjadinya End-Stage Renal Disease

(ESRD), amputasi ekstremitas bawah non-trauma, kebutaan pada orang dewasa. DM juga

merupakan faktor predisposisi terjadinya kelainan kardiovaskular.1,3

Diabetes mellitus diklasifikasikan berdasarkan proses patogenik yang menyebabkan

terjadinya hipoglikemia. Secara garis besar dibagi menjadi DM tipe 1 dan tipe 2. Kedua jenis

DM ini didahului oleh fase hemostasis glukosa abnormal seiring dengan proses patogenik

berlanjut. Tipe 1 disebabkan oleh defisiensi insulin total atau mendekati total. DM tipe 2

merupakan sekelompok kelainan yang dicirikan dengan berbagai derajat resistensi insulin,

gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa. Defek metabolik dan genetic

yang jelas pada fungsi/sekresi insulin merupakan penyebab hiperglikemia yang umum pada

pasien DM tipe 2, dan mempunyai peranan yang penting dalam implikasi terapi karena

sekarang sudah terdapat obat yang dapat memperbaiki gangguan metabolic secara spesifik.

DM tipe 2 didahului oleh homeostasis glukosa abnormal yang disebut sebagai impaired

fasting glucose (IFT) dan impaired glucose tolerance (IGT).1,3

10

Page 11: 2. dm tipe 2.doc

Terdapat dua perbedaan yang membedakan klasifikasi DM dahulu dengan sekarang.

Pertama, istilah Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) dan Noninsulin Dependent

Diabetes Melitus (NIDDM) sudah tidak digunakan lagi. Karena terdapat banyak pasien

dengan DM tipe 2 pada akhirnya memerlukan terapi insulin untuk mengatur glikemia.

Perbedaan kedua adalah umur bukan merupakan suatu kriteria klasifikasi. Walaupun pada

umumnya DM tipe 1 tampak pada usia kurang dari 30 tahun, proses autoimun penghancuran

beta-cell dapat terjadi pada usia berapa saja. Sebaliknya, DM tipe 2 lebih sering tampak

seiring dengan penambahan umur, tetapi sekarang lebih banyak didiagnosis pada anak dan

dewasa muda terutama remaja dengan obesitas.1,3

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam

menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara

pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk

memastikan diagnosis DM , pemeriksaan glukosa seyogyanya di laboratorium klinik yang

terpercaya. Waalupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan

darah utuh (whole blood), vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria

diagnostic yang berbeda sesuai dengan pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil

pengobatan dapat diperiksa kadar glukosa kapiler.1,3

Ada perbedaan uji diagnostic DM pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM

dilakukan pada mereka yang menunjukkan tanda/gejala DM. sedangkan pemeriksaan

penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai

faktor risiko DM. serangkaian uji diagnostic akan dilakukan kemudian pada mereka yang

hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitive.1,3

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM

sebagai berikut:1,3

Usia > 45 tahun

BB > 110% berat badan ideal atau IMT > 23kg/m2

Hipertensi ( > 140/90 mmHg)

Riwayat DM

Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau berat badan lahir bayi > 4 kg.

Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL

11

Page 12: 2. dm tipe 2.doc

Catatan:

Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negative, pemeriksaan

penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusi > 45 tahun tanpa

faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.1,3

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya

(mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut

bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk

pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan

penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.1,3

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa

terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan

langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan

sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang

menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan

dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya atherosclerosis lebih

tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit

kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat

diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan

sekunder dapat segera diterapkan.1,3

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian

dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standart (Tabel 2).1,3

  Bukan DM Belum pasti  DM DM

Kadar glukosa darah sewaktu

plasma vena       < 110 110 – 199 >200

darah kapiler    <   90 90  - 199 > 200

 

Kadar glukosa darah puasa

plasma vena      < 110 110 – 125 > 126

darah  kapiler                            <   90 90  - 109 > 110

12

Page 13: 2. dm tipe 2.doc

Tabel 2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan

Diagnosis DM (mg/dl)

Langkah-langkah Untuk Menegakkan Diagnosis DM dan Gangguan Toleransi Glukosa.

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa

poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal,

mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Jika keluhan

khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan

diagnosis DM. hasl pemeriksaan kadar glukosa darh puasa > 126 mg/dL juga digunakan

untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan

glukosa darah yang baru satu kal saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan

diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka

abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dL, kadar glukosa darah sewaktu > 200

mg/dL pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa (TTGO) didapatkan kadar

glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dL. (Gambar 2).1,3

Gambar 2. Langkah-langkah diagnostic DM dan toleransi glukosa terganggu

13

Page 14: 2. dm tipe 2.doc

Differential Diagnosis

Diabetes Melitus Tipe 1

Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependent insulin;

namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak

30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat

disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya

autoimun dan tidak diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik

keturunan Afrika-Amerika dan Asia.5

Diabetes Melitus Tipe Lain.1

a. Defek genetik fungsi sel beta

- Kromososm 12, HNF-α (dahulu MODY 3)

- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

- Kromosom 20, HNF-α (dahulu MODY 1)

- Kromosom 13, insulin promoter factor (IPF dahulu MODY 4)

- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitokondria, lainnya

b. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, I eprechaunism, sindrom Rabson

Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya.

c. Penyakit eksokrin pankreas: pancreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis

kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya.

d. Endrokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme

somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.

e. Karena obat/ zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone

tiroid. Diazoksid, aldosteronoma, lainnya.

f. Infeksi: rubella congenital, CMV, lainnya.

g. Imunologi (jarang): sindrom “Stiffman”, antibody anti reseptor insulin, lainnya.

h. Sindrom genetic lain: Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom

Wolfram’s, ataksia Friedrich’s, chorea Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl

distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Wili, lainnya.

14

Page 15: 2. dm tipe 2.doc

Etiologi dan Patofisiologi

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih

sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan

sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.6

Genetika : toleransi karbohidrat dikontrol oleh berjuta pengaruh genetik. Oleh karena itu

DM II merupakan kelainan poligenik dengan faktor metabolik berganda yang berinteraksi

dengan pengaruh eksogen untuk menghasilkan fenotip tersebut koordinasi genetik pada

DM tipe 2 pada kembar identik mendekati 90%. 7 Tidak terkait dengan lokus HLA, tetapi

> 90% konkordans pada orang kembar. Suatu subkelompok mempunyai alel polimorfik

untuk glikogen sintase, perkecualiannya adalah maturity-onset diabetes of the young

(MODY) yang autosomal dominan : gen glukokinase yang mengalami mutasi (di

kromosom 7) menyebabkan perubahan mekanisme pengenalan glukosa (glucose-sensing

mechanism).6

Resistensi insulin

o Mekanisme mayor resistensi insulin pada otot skeletal meliputi gangguan aktivasi

sintase glikogen , disfungsi regulator metabo0lis, reseptor doen-regulation, dan

abnormalitas transporter glukosa.7

o Meningkatkan penurunan ambilan glukosa selular yang dimediasi oleh insulin.7

o Hepar juga menjadi resisten terhadap insulin, yang biasanya berespon terhadap

hiperglikemia dengan menurunkan produksi glukosa. Pada DM II, produksi

gl;ukosa hepar terus berlangsung meskipun terjadi hiperglikemia, mengakibatkan

peningkatan keluaran glukosa hepar basal secara tidak tepat.7

o Obesitas, terutama obesitas abdomen, berhubungan langsung dengan peningkatan

derajat resistensi insulin.7

Disfungsi sel beta

o Disfungsi sel beta mengakibatkan ketidakmampuan sel pulau (sel islet) penkreas

menghasilkan insulin yang memadai untuk menyediakan insulin yang cukup setalah

sekresi insulin dipengaruhi.7

o Diteorikan bahwa hiperglikemia dapat membuat sel beta semakin tidak responsif

terhadap glukosa karena toksisitas glukosa.7

o Sekresi insulin normalnya terjadi dalam dua fase. Fase pertama terjadi dalam

beberapa menit setelah suplai glukosa dan kemudian melepaskan cvadangan insulin 15

Page 16: 2. dm tipe 2.doc

yang disimpan dalam sel beta; fase dua merupakan pelepasan insulin yang baru

disintesis dalam beberapa jam setelah makan. Pada DM II, fase pertama pelepasan

insulin sangat terganggu.7

o Fungsi sel beta (termasuk fase awal sekresi insulin) dan resistensi insulin membaik

dengan penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik.7

Komplikasi Akut

Ketoasidosis diabetik

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik

yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh

defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut

diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat

diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai

menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul),

berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang

disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium.

Gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului

Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat

pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-

dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium,

atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab

penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi

merupakan faktor pencetus yang paling sering,8

Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

Keto asidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

(HHNK) merupakan komplikasi akut/ emergensi Diebetes Melitus (DM). Sindrom HHNK

ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama

adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis

dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam

jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas

meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya

16

Page 17: 2. dm tipe 2.doc

ditemukan kurang dari 10% kasus. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang

mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Keluhan

pasien HHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula

ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD.

Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis,

kejang atau koma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti

turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin

dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang

tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik

setelah rehidrasi adekuat. Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi

sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung

dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari

350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa

kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga teijadi hemiparesis yang bersifat

reversibel dengan koreksi defisit cairan.9

Hipoglikemik iatrogenik

Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2)

merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal

atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa

menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempurnaan

terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada malam hari meningkat

secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan

glukosa darah yang aman. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat

penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan

glukosa yang berkelanjutan. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple

merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi:

a), keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b), kadar

glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c), hilangnya secara

cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikorekasi. Akan tetapi pasien diabetes

(dan insulinoma) dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi

keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes yang

mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang dan berat.10

17

Page 18: 2. dm tipe 2.doc

Komplikasi Kronik

Retinopati diabetik

Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetic

non-proliferatif sampai perdarahan retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan

kebutaan.11 Retinopati diabetik nonproliperatif merupakan bentuk yang paling ringan dan

sering tidak memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan

oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara yang paling baik ialah dengan

menggunakan foto fundus dan FFA (Fundal Fluorescein Angiography). Mikroaneurisma

yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda paling awal yang dapat dilihat pada RDNP

(retinopati diabetic nonproliperatif). Kelainan morfologi lain ialah penebalan membrane

basalis , perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai bercak berwarna kuning dan

eksudat lunak yang tampak sebagai cotton wool spot. Retinopati diabetik nonproliperatif

berat sering disebut juga sebagai retinopati diabetic iskemik, obstruktif atau preproliperatif.

Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang berkelok tidak teratur akibat

dilatasi yang tidak beraturan dan cotton wool spot, yaitu daerah retina dengan gambaran

bercak berwarna putih pucat dimana kapiler mengalami sumbatan. Retinopati diabetik

proliperatif ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru. Pembuluh darah baru

tersebut berbahaya karena bertumbuh secara abnormal keluar dari retina dan meluas sampai

ke vitreus, menyebabkan perdarahan disana dan dapat menimbulkan kebutaan. Apabila

perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina.

Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering pada retinopati diabetik.

Makulopati diabetik dapat dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu makulopati iskemik

(akibat penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah sentral retina), makulopati eksudatif

(karena kebocoran setempat suhingga terbentuk eksudat keras seperti pada RDPN) dan

edema macula (akibat kebocoran yang difus).12

Nefropati diabetik

Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya

mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut

dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal

yang memerlukan pengelolaan dan pengobatan substitusi. Ditemukannya miroalbuminuria

mendorong dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang lebih intensif termasuk

18

Page 19: 2. dm tipe 2.doc

pengelolaan berbagai faktor resiko lain untuk terjadinya komplikasi kronik DM seperti

tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok. Penyandang DM dengan laju filtrasi

glomerulus atau bersihan kretinin < 30 mL/menit seyognyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit

ginjal untuk menjajagi kemungkinan dan untuk persiapan terapi pengganti bagi kelainan

ginjalnya, baik nantinya berupa dialisis maupun transplantasi ginjal.11

Neuropati diabetik

Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering

ditemukan pada diabetes melitus (DM). risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND antara

lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki.

Polineuropati sensori-motor simetris diatas atau distal symmetrical sensorymotor

polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan ND yang paling sering terjadi. DPN

ditandai degan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi motorik (lebih

jarang) yang berlangsung pada bagian diatal yang berkembang kea rah proksimal. Diagnosis

neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian

pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bentuk lain ND yang juga sering sitemukan

ialah neuropati otonom (parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy

(DAN). Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan tes respons denyut jantung

terhadap maneuver valsava, variasi denytu jantung (interval PR) selama napas dalam (denyut

jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan respons

tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik), respons tekanan darah terhadap

genggaman (peningkatan diastolik).13

Penyakit Jantung Koroner

Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM (baik DM tipe 1 maupun DM

tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah satu penyulit makrovaskular

pada diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini

yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak. Penyebab aterosklerosis pada

pasien DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai

keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, stress oksidatif, penuaan dini,

hiperinsulinemia dan/atau hiperproinsulinemia serta perubahan-perubahan dalam proses

koagulasi dan fibrinolisis. Pada pasien DM, risiko payah jantung meningkat 4 sampai 8 kali.

Peningkatan risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit jantung iskemik. Dalam

19

Page 20: 2. dm tipe 2.doc

beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa pasien DM dapat pula mempengaruhi otot

jantung secara independen. Selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini arteri koroner yang

menyebabkan penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi perubahan-perubahan berupa

fibrosis interstitial, pembentukan kolagen dan hipertrofi sel-sel otot jantung. Pada tingkat

selular terjadi gangguan pengeluaran kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T

dan peningkatan aktivitas piruvat kinase. Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan

gangguan kontraksi dan relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan end-diastolik

sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif.14

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari: pertama terapi

non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola

makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi

berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus

menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat ati diabetes oral dan

injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non

farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah

sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan

terapi nom farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.15

TERAPI GIZI MEDIS

Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat

direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada

prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi

diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.15

Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:15

1. menurunkan berat badan

2. menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik

3. menurunkan kadar glukosa darah

4. memperbaiki profil lipid

20

Page 21: 2. dm tipe 2.doc

5. meningkatkan sensitivitas reseptor insulin

6. memperbaiki system koaguasi darah

Tujuan Terapi Gizi Medis

Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:15

1. kadar glukosa darah mendekati normal

glukosa puasa berkisar 90 – 130 mg/dl

glokosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl

kadar A1c <7%

2. tekanan darah < 130/80

3. profil lipid

kolesterol LDL < 100 mg/dl

kolesterol HDL > 40 mg/dl

Trigliserida <150 mg/dl

4. berat badan senormal mungkin

Jenis Bahan Makanan

Karbohidrat. Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh

lebih dari 55 - 56% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika

dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA =

monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi

sebesar 4 kilokalori.15

Rekomendasi pemberian karbohidrat:15

1. kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih ditentukan

oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri.

2. dari total kebutuhan kalori per hari, 60 – 70% diantaranya berasal dari sumber

karbohidrat.

3. jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat maksimal 70%

dari total kebutuhan kalori per hari.

4. jumlah serat 25 – 50 gram per hari.

21

Page 22: 2. dm tipe 2.doc

5. jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan sampai

lebih dari total kalori per hari.

6. sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin, aspartame,

acesulfam dan sukralosa

7. penggunaan alcohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram/hari

8. fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari

9. makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi

Protein. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10 – 15% dari total kalori

per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan

protein sampai 40 gram per hari, maka diperlukan tambahkan pemberian suplementasi asam

amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram.15

Rekomendasi pemberian protein:15

1. kebutuhan protein 15 – 20% dari total kebutuhan energi per hari.

2. pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan

mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.

3. pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8 –

1,0 mg/kg berat badan/hari.

4. pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85 gram/kg

berat badan/hari dan tidak kurang dari 40 gram

5. jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih dianjurkan

dari protein hewani.

Lemak. Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan

makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin

A, D, E, K. berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh

dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi

diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai

pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty

acids), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan

profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan dadar trigliserida,

kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam

lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA = polyunsaturated fatty acid) dapat melindungi

22

Page 23: 2. dm tipe 2.doc

jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung

asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan

aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer,

sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.15

Rekomendasi pemberian lemak:15

1. batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari

total kebutuhan kalori per hari

2. jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan lemak jenuh diturunkan sampai

maksimal 7% dari total kalori per hari.

3. konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl,

maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari.

4. batasi asupan asam lemak bentuk trans

5. konsumsi ikan seminggu 2 – 3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak

jenuh rantai panjang.

6. asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan kalori per

hari.

Perhitungan Jumlah Kalori

Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya stress akut,

dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau

rumus Brocca.15

Penentuan Status Gizi Berdasarkan IMT

IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan tinggi

badan (dalam meter) kuadrat.15

Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT:15

Berat badan kurang < 18,5

BB normal 18, 5 – 22,9

BB lebih ≥23,0

Dengan risiko 23 – 24,9

23

Page 24: 2. dm tipe 2.doc

Obes I 25 – 29,9

Penentuan Status Gizi Berdasarkan Status Brocca

Pertama – tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus: berat badan

idaman (BBI kg) = (TB cm – 100) – 10%.15

Untuk laki – laki < 160 cm, wanita <150 cm, perhitungan BB idaman tidak dikurangi

10%.

Penentuan status gizi dihitung dari: ( BB actual : BB idaman) x 100%

Berat badan kurang BB < 90% BBI

Berat badan normal BB 90 – 110% BBI

Berat badan lebih BB 110 – 120% BBI

Gemuk BB >120% BBI

Untuk kepentingan praktis dalam praktek di lapangan, digunakan rumus Brocca.

Penentuan kebutuhan kalori per hari:15

1. kebutuhan basal

Laki – laki : BB idaman (kg) x 30 kalori

Wanta : BB idaman (kg) x 25 kalori

2. koreksi atau penyesuaian

Umur di atas 40 tahun : -5%

Aktivitas ringan : +10%

(duduk – duduk, nonton televise, dll)

Akitivitas sedang : +20%

(kerja kantoran, ibu rumah tangga, perawat, dokter)

Aktivitas berat : +30%

(olahragawan, tukang becak, dll)

Berat badan gemuk : -20%

Berat badan lebih : -10%

Berat badan kurus :+20%24

Page 25: 2. dm tipe 2.doc

3. Stress metabolic : +10 – 30%

(infeksi, operasi, stroke,dll)

4. kehamilan trismester I dan II : + 300 kalori

5. kehamilan trismester III dan menyusui : +500 kalori

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang

(30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan berat.

Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturan jadwal

makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk merubah pola makan ini secara bertahap sesuai

dengan kondisi dan kebiasaan penderita.15

LATIHAN JASMANI

Pengelolaan diabetes mellitus (DM) yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan

salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang

diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetisi

sebagai kegiatan sehari – hari, seperti misalnya: bangun tidur, memasak, berpakaian, mecuci,

makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa,

merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh

diabetisi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhadap DM sehari – hari.15

Diabetes merupakan penyakit sehari – hari. Penyakit yang akan berlangsung seumur

hidup. Kadang, diabetes dipandang sebagai tantangan, diwaktu lain dianggap sebagai beban.

Tanggung jawab terhadap pengelolaan diabetes sehari – hari, merupakan milik masing –

masing diabetisi. Mereka yang telah memutuskan untuk hidup dengan diabetes dalam

keadaan sehat mempunyai satu persamaan, bahwa mereka harus melakukan kegiatan fisik.15

Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi telah dilakukan sejak seabad

yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih terus

diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan semn\entara dari penelitian itu aialah bahwa

kegiatan fisik diabetisi (type 1 maupun 2), akan mengurangi resiko kejadian kardiovaskular

dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman baik secara

fisik, psikis maupun social dan tampak sehat. Kemajuan teknologi agak bersebrangan dengan

anjurang untuk melakukan kegiatan fisik, karena akan membuat seseorang kurang bergiat.

25

Page 26: 2. dm tipe 2.doc

Mengingat hal ini, maka harus dibuat suatu kegiatan fisik yang terencana dengan baik dan

teratur bagi diabetisi.15

Penyuluhan Diabetes

Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien diabetes dan meningkatnya komplikasi

terutama PJK. Diperlukan tenaga trampil yang dapat berperan sebagai perpanjangan tangan

dokter endokrinologis. Di luar negri tenaga tersebut sudah ada disebut diabetes educator

yang terdiri dari dokter, perawat. Ahli gizi atau pekerja social dan lain – lain yang berminat.

Di Indonesia sejak tahun 1933 telah diselenggarakan kursus penyuluh diabetes yang sampai

saat ini masih berlangsung secara teratur. Kursus itu ternyata mendapat sambutan luar biasa

dari rumah sakit seluruh Indonesia. Dalam pelaksanaan nya para penyuluh diabetes itu

sebaiknya memberikan pelayanan secara terpadu dalam suatu instansi misalnya dalam bentuk

sentral informasi yang bekerja 24 jam sahari dan akan melayani pasien atau siapapun yang

ingin menanyakan seluk beluk tentang diabetes. Isi dari penyuluhan diabetes mengenai

pengenalan mengenai diabetes mellitus, perencanaan makan, latihan jasmani, pengenalan

tentang obat – obatan yang dipakai serta pemantauan laboratorium baik urin maupun gula

darah. 15

Medika Mentosa

Langkah pertama dalam mengelola DM selalu dimulai dengan pendekatan non –

farmakologis,, yaitu berupa perencanaan makan/terapi nutrisi medic, kegiatan jasmani dan

penurunan berat badan bila didapat obesitas. Bila denganlangkah – langkah tersebut sasaran

pnegendalian diabetes belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau

intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu

diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam – macam penyebab terjadinya

hiperglikemia. Pada kegawatan tertentu (ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stress),

pengelolaan farmakologis dapat langsung diberikan, umumnya dibutuhkan insulin. Keadaan

seperti ini memerlukan di perawatan rumah sakit.16

MACAM – MACAM OBAT ANTI HIPERGLIKEMIK ORAL :16

1. Golongan Insulin Sensitizing26

Page 27: 2. dm tipe 2.doc

Biguanid

Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin

terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi

secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin

biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari dalam bentuk extended release. Pengobatan

dengan dosis maksimal akan dapat menurunkan A1C , sebesar 1-2%. Efek samping yang

dapat terjadi adalah asidosis laktat dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada

pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1.3 mg/dL pada perempuan dan > 1.5

mg/dL pada laki – laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus

diberikan denga hati – hati pada orang lanjut usia.

Penggunaan dalam klinik

Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan SU,

repaglinid, nateglinid, penghambat alpha glikosidase dan glitazone. Efektivitas metformin

menurunkan glukosa darah pada orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Karena

kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan

memperbaiki profil lipid maka metofrmin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan

diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan

pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi

dengan SU atau obat anti diabetic lain.

Glitazone

Golongan Thiazolidinediones atau Glitazone adalah golongan obat yang mempunyai

efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.

Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak

berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki

konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dL dan A1C 1.4 – 2.6% dibandingkan

dengan placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan

sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.

Penggunaan dalam klinik

27

Page 28: 2. dm tipe 2.doc

Rosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga

sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Secara klinik rosiglitazon

dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki

konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dL dan A1C sampai 1.5% dibandingkan dengan

placebo. Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila

digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dL

dosis tunggal.

2. Golongan Sekretagok Insulin

Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemikdengan cara stimulasi sekresi

insulin oleh sel beta penkreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid.

Sulfonylurea

Sulfonylurea telah digunakan untukpengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat

ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama

bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonylurea

sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau

mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan

sedikit efek samping (termasuk hipoglikemi) dan rwlatif murah. Berbagai macam obat

golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis

dan mekanisme kerjanya.

Penggunaan dalam klinik

Pada pemakaian sulfonylurea, umumnya selalu dimulai dari dosis rendah , untuk

menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana kadar glukosa darah

sangat tinggi, dapat diberikan sulfonylurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian

khusus bahwa dalam beberapa ahri sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1

minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna.

Dosis permulaan sulfonylurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila

konsentrasi glukosa puasa < 200 mg/dL, SU sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis

kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa

90-130 mg/dL. Bila glukosa darah puasa > 200 mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih

28

Page 29: 2. dm tipe 2.doc

besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih

baik. Pada obat yang diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi

terbesar.

Kombinasi sulfonylurea dengan insulin,.

Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan bahwa rerata kadar glukosa darah sepanjang

hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar

glukosa darah sesudah makan kureang lebih sama, tidak tergantung pada kadar glukosa darah

pada keadaan puasa. Dengan memberikan dosis insulin kerja atau insulin glargin pada

malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah

puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian

sulfonylurea seperti biasa.

Kombinasi sulfonylurea denga insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin sendiri

dan dosis insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih

dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multiple.

Glinid

Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonylurea dan merupakan glinid.

Kerjanya juga melalui reseptor sulfonylurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip

dengan sulfonylurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid

kedua – duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan

melalui metabolism dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid

dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai paruh yang singkat karena

lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.

Sedang nateglinid mempunyai masa tinggi lebih singkat dan tidak menurunkan kadar

glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan

glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai

efek terhadap glukosa darah puasa maka kekuatannya menurunkan A1C tidak begitu kuat.

3. Penghambat Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa glukosidase di dalam

saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan

29

Page 30: 2. dm tipe 2.doc

menurunkan hiperglikemik postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak

menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.

Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti

meteorismus, flatulens, dan diare. Flatulens adalah efek yang paling tersering terjadi pada

hamper 50% pengguna obat ini. Penghambat Alfa Glukosidase dapat menghambat

bioavailibilitas metformin jika bersamaan dengan orang normal.

Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran pencernaan.

Acarbose mengalami metabolism di dalam saluran pencernaan, metabolism terutama oleh

flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh

eliminasi plasma kira – kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui

feses.

Penggunaan dalam klinik

Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi dengan

insulin,metformin, glitazone, atau sulfonylurea. Untuk mendapatkan efek maksimal, obat ini

harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan

penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama

karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya 15 menit sebelum atau sesudahnya

makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa postprandial. Monoterapi

dengan acarbose dapat menurunkan rata – rata gluokosa postprandial sebesar 40-60 mg/dL

dan glukosa puasa rata – rata 10-20 mg/dL dan A1C 0.5-1%. Dengan terapi kombinasi

bersama sulfonylurea, metformin dan insulin maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak

terhadap A1C sebesar 0.3-0.5% dan rata – rata glukosa postprandial sebesar20-30 mg/dL dari

keadaan sebelumnya.

Sasaran pengelolaan DM bukan hanya glukosa darah saja, tetapi juga termasuk factor

– factor lain yaituberat badan, tekanan darah, dan profil lipid, seperti tampak pada sasaran

pengendalian DM yang dianjurkan dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe

2 di Indonesia tahun 2006 (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia).

30

Page 31: 2. dm tipe 2.doc

4. Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV).

Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan

vildagliptin. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunkan HbA1c sebesar

0,79-0,94% dan memiliki efek pada glukosa puasa dan post prandial. Penghambat DPP-IV

dapat digunakan sebagai terapi alternative bila terdapat intoleransi pada pemakaian

metformin atau pada usia lanjut. DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun

kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan

risiko infeksi saluran kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang ditemukan.

Preventif

o Pencegahan primer. Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena

yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih

sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi

tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus

mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup berisiko.

Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada

mengobatinya. Kampanye pola makan sehat dengan pola tradisional yang

mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan

harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak.

Tempe misalnya adalah makanan tradisional kita yang selain sangat bergizi, ternyata

juga banyak khasiatnya misalnya sifat anti bakteri dan menurunkan kadar kolesterol.

Caranya bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan

juga cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk,

dengan olahraga teratur. Dengan menganjuran olah raga kepada kelompok resiko

tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan

primer yang sangat efektif dan murah. Motto memasyarakatkan olah raga dan

mengolahragakan masyarakat sangat menunjang upaya pencegahan primer. Hal ini

tentu saja akan menimbulkan konsekuensi, yaitu penyediaan sarana olah raga yang

merata sampai ke pelosok, misalnya di tiap sekolahan harus ada sarana olah raga yang

memadai.2

o Pencegahan sekunder. Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika

lebih mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah

31

Page 32: 2. dm tipe 2.doc

diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataanya tidak demikian. Tidak gampang

memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan bisa menerima kenyataan bahwa

penyakitnya tida bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar

glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari

sepanjang tahun. Di samping itu seperti tadi sudah dibicarakan, tekanan darah dan

kadar lipid juga harus normal. Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya

pengendalian kadar glukosa darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara non

farmakologis dulu secara maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak

merokok dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun

insulin. Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti

pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan

kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A

sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan

penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai

penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi. Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga

yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang sudah dapat pelatihan

ntuk itu (diabetes educator). Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien

diabetesnya juga luas, artinya selain pasien yang selama ini sudah berobat juga harus

dapat mencakup pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya

kelompok penduduk dengan resiko tinggi. Kelompok yang tidak terdiagnosis ini

rupanya tidak sedikit. Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa

pendeteksian pasien baru dengan cara skrining dimasukkan ke dalam upaya

pencegahan sekunder agar supaya bila diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah

karena masih reversibel. Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka pasien

yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasien jangan datang minta pertolongan kalau

sudah sangat terlambat dengan berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan

kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang harus sudah dilakukan upaya bagaimana

caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu agar mereka dapat melakukan

upaya pencegahan baik primer maupun sekunder.2

o Pencegahan tersier. Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang

diakibatkannya termasuk ke dalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap :

Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebagai

pencegahan sekunder

32

Page 33: 2. dm tipe 2.doc

Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada

penyakit organ

Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau

jaringan.

Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali baik antara pasien dengan

dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait

dengan komplikasinya. Dalam hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk

meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu

saja akan merepotkan dokter yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu dia harus

dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk keperluan itu yaitu penyuluhan

diabetes (diabetes educator).2

Strategi pencegahan

Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien

dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ada 2 macam strategi untuk dijalankan,

antara lain:2

1. Pendekatan populasi / masyarakat. Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah

perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar

menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini

ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga unuk mencegah penyakit

lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh

karena itu harus dilakukan tidak hanya oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan

ma yarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masyarakat dan agama)

2. Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada

individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak. Pada

golongan ini termasuk individu yang: berumur > 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat

keluarga DM, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan,

dislipidemia.

Prognosis

33

Page 34: 2. dm tipe 2.doc

Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Hal ini tergantung pada

penanganan yang cepat dan pengobatan yang tepat, seperti penyuluhan diabetes yang

diberikan oleh orang yang ahli di bidangnya, melakukan aktivitas fisik, perencanaan

makanan, dan terapi OHO (Obat Hipoglikemik Oral). Prognosis akan baik bila kita

melakukan penanganan dan pengobatan yang cepat. Prognosis akan buruk jika kita tidak

dapat menjaga pola hidup kita dan lain sebagainya.

KESIMPULAN

Pengendalian hiperglikemi dan hipertensi terbukti dapat mencegah atau

memperlambat progresivitas dari diabetic microangiopathy. Sekarang ini, prospek untuk

mengurangi progresivitas dari komplikasi mata pada pasien diabetic sudah cukup baik karena

adanya laser photocoagulation. Edukasi tentang perawatan kaki telah memberikan kontribusi

yang besar dalam menurunkan morbiditas pada masalah kaki diabetes. Pengaturan hipertensi,

dislipidemi, dan penghentian merokok memberikan keuntungan yang besar dalam

mengurangi progresivitas dari retinopati, nephropati, dan atherosclerosis. Hipoglikemi masih

tetap menjadi masalah besar dalam semua regimen pemberian insulin dalam usaha untuk

menormalkan kadar glukosa darah. Kecerdasan, motivasi, dan kesadaran pasien memberikan

peranan yang sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal. Sebagai tambahan, edukasi

yang memadai untuk pengetahuan pasien, tatalaksana, dan alat-alat yang digunakan akan

meningkatkan prognosis jangka panjang.17

DAFTAR PUSTAKA

1. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1880-82.

2. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5.

Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1874-76.

3. Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17 ed. USA:

McGraw-Hill; 2008.p.2293.

34

Page 35: 2. dm tipe 2.doc

4. Karam JH, Forsham PH. Hormon-hormon pancreas dan diabetes melitus. Dalam:

Greenspan FS, Baxter JD, editors. Endokrinologi dasar dan klinis. Edisi ke-4. Jakarta:

EGC, 1998.h.754-72.

5. Schteingart DE. Pankreas: metabolisme glukosa dan diabetes melitus. Dalam: Price SA,

Wilson LM, editor. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2006.h.1261-70.

6. Tjarta Achmad, Himawan Sutisna, Kurniawan A.N. Diabetes melitus. Buku saku dasar

patologi penyakit. Edisi ke-5. Jakarta:EGC, 2004.h.557- 558.

7. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan & manajemen; ahli bahasa, HY

Kuncara, editor bahasa Indonesia, Devi Yulianti. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2007.h.456-8.

8. Soewondo P. Ketoasidosis diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5.

Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1906-8.

9. Soewondo P. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1912-13.

10. Soemadji DW. Hipoglikemik iatrogenik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5.

Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1900.

11. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi

pengelolaan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S,

editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu

Penyakit Dalam,2009.h.1925-6

12. Pandelaki K. Retinopati diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata

MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1932-3.

13. Subekti I. Neuropati diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata

MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1949.

35

Page 36: 2. dm tipe 2.doc

14. Shahab A. Komplikasi kronik DM penyakit jantung koroner. Dalam: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1937.

15. Yunir EM, Soebardi S. Terapi non farmakologis pada diabetes melitus. Dalam: Sudoyo

AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1891-5.

16. Soegondo S. Farmakoterapi pada pengenfalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Dalam:

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit

Dalam,2009.h.1884-90.

17. Masharani U. German MS. Pancreatic hormone & diabetes mellitus in : Greenspain’s

Basic and Clinical Endocrinology. 8 ed. USA: McGraw-Hill; 2007.p.743.

36